Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
Matahari telah bersinar
Jauh tinggi diatas awan
Anak manusia sibuk dibawah sana
Suka duka mengiringi setiap langka
Drama demi drama telah digelar
Peran demi peran telah dilakoni
Kau suka atau tidak
Itulah kisah perjalanan
Antagonis protagonis Tiada beda
Semua sama, tinggal di sisi mana kita berdiri
Apa susahnya?
Apa sulitnya?
Mewujudkan IMPIAN

Salam Gondal Gandul @Kisanak87
Lanjutkan, tak tunggu sambil ngupi

Wkwkwkwkkwk
 
sugeng enjang poro shifu2... absen enjang sXan gawe kopi...
kopi aja ? gorengan ada gak gua nyampe ni :motor1::motor1::motor1:
Gw kupi lendoth ya bwaaaang....
Selain gorengan, pizza ada nggak? Ato kraby patty?

@Kisanak87 dan dulur² semua di akhir tahun 2020ini moga selalu sehat dan semangat dan ditahun 2021 besok semoga pagebluk yang melanda ini segera berakhir, dan kita semua selalu diberi kesehatan, semangat dan kelancaran rejeki.
Aaaaaaammmiiiiiiiiinnnnnn.......
Aamiin....
Slamat tahun baru 2021 utk sedulur semuanya
Met taon baru juga suhu...
Selamat Tahun 2021.
Waktu itu sekejab
Ho'oh, waktu emang cuma sekejab, tapi kalo nunggu apdet kok rasanya berkejab kejab ya?
 

BAGIAN 16
CINTA YANG SEJATI



Hiuuffttt, huuu.

Sore ini aku baru pulang dari kampus, karena jadwal kuliahku hari ini sangat nanggung sekali. Pagi ada jadwal kuliah, siang kosong dan baru menjelang sore hari tadi ada jadwal lagi. Jadwal mengamenkupun, harus mengikuti jadwal kuliah. Nanti setelah istirahat sebentar, aku akan mengamen bersama Joko.

Sekarang aku dalam perjalanan kekosan dan aku berjalan sambil menikmati rokok kretek yang sangat nikmat ini. Dan ketika aku melewati rumah Bu Har, aku menghentikan langkahku tepat didepan pintu pagarnya. Kok tiba – tiba aku kangen dengan Bu Har ya.? Apa aku singgah kerumah nya aja.? Tapi alasan apa aku.? Masa aku datang tanpa ada keperluan sih.?

Sudahlah, yang penting bertamu aja dulu. Bertamu itukan baik untuk merekatkan hubungan persaudaraan. Tapi masa iya sih tujuanku untuk merekatkan hubungan persaudaraan.? Bukannya merekatkan sesuatu yang pernah merapat, menimbulkan keringat, dan hasil akhirnya merengkuh nikmat.? Arrghhh, kok pikiranku begini ya.?

Aku itu sebenarnya ingin menenangkan pikiranku sejenak, dari rutinitas kampus yang membuat kepalaku mulai pening. Belum lagi masalah dengan Gendhis yang membuat kepalaku dan hatiku cenut – cenut gak karuan. Mungkin setelah melihat senyum manis Bu Har dan melirik tubuh montoknya, pikiranku bisa rileks sejenak. Syukur – syukur kalau bisa mengulangi lagi, permainan hangat dengan Bu Har seperti waktu itu.

Arrghhh. Kok jadi makin ngelantur seperti ini ya.? Emang semudah itu apa menikmati tubuh wanita.? Kenapa selama kuliah kok pikiranku jadi mesum seperti ini.? Bajingaann.

Masuk, enggak, masuk, enggak, masuk, enggak, kok aku jadi ragu masuk rumahnya Bu Har.?

“Sore Bu.” Tiba – tiba mulutku berteriak dari depan pagar rumah Bu Har, sambil membuang puntung rokokku.

Duh, beneran nih aku mau bertamu kerumah Bu Har.? Kok nekat banget aku.?

“Masuk Mas Gilang.” Tiba – tiba suara Bi Ati terdengar dari arah dapur, dibelakang garasi.

Akupun langsung membuka pintu pagar dan masuk kedalam halaman rumah Bu Har. Setelah itu aku menutup lagi pintu pagarnya, lalu aku berjalan kearah dapur rumah Bu Har.

TOK, TOK, TOK.

Aku mengetuk pintu dapur rumah Bu Har.

“Masuk Mas, gak dikunci.” Ucap Bi Ati lagi.

Hiufftt, huuu. Beneran masuk nih.? Ya masuk lah, sudah terlanjur didepan pintu kok gak masuk. Ini namanya sudah terlanjur basah, ya harus dilanjutkan. Masa harus nunggu kering.? Bisa kesakitan kalau kering dipaksakan masuk..? Sudah sakit, bisa lecet lagi. Arrgghh, ngomong apa sih aku ini.? Makin gak jelas aja pikiranku ini.

Akupun membuka pintu dapur dan pemandangan yang sangat indah serta mengundang birahi, langsung menyambutku. Bi Ati berdiri diatas meja dan kursi yang ditumpuk, dengan kedua tangannya menggapai bola lampu yang menempel diplafond.



Bi Ati / Mba Tika

Bi Ati menggunakan kaos ketat tak berlengan dan celana legging yang juga ketat sebatas lutut. Pakaian yang dikenakannya itu, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang semok dan montok.

Dengan posisi yang agak menjinjit, kaosnya terangkat dan memperlihatkan perut serta pusarnya yang seksi menggoda. Ketiaknya yang putih dan bersih, juga terlihat jelas dari tempatku berdiri ini. Dibagian selangkangannya, belahan mekinya pun, tampak tercetak jelas dilegingnya yang ketat itu. Jiancuk.

Aku terus memandang mulai dari kaki sampai kearah dada Bi Ati, sedangkan Bi Ati mendanga melihat kearah lampu. Cetakan daging kecil yang menyembul dibuah dada Bi Ati pun, semakin membuat mataku melotot. Bajingaann. Bi Ati gak pakai Bra dan CD. Assuuu.

“Ehh, ehh, ehh.” Ucap Bi Ati yang bergoyang.

Aku dengan refleknya masuk kedalam dapur sambil menutup pintu, lalu berlari kearahnya dan memeluk bagian bawah pahanya agar dia tidak terjatuh.

“Aaaaa..” Ucap Bi Ati setengah berteriak, sambil membungkuk dan menjambak rambutku, untuk dibuatnya pegangan.

“Aduh, duh Bi.” Ucapku yang kesakitan, sambil terus memeluk pahanya.

“Maaf Mas, Maaf.” Ucap Bi Ati lalu melepaskan jambakannya, lalu berdiri perlahan.

“Turun aja Bi, biar aku aja yang ganti lampunya.” Ucapku sambil melihat keatas.

Pandanganku kewajah Bi Ati dari bawah ini, terhalang buah dadanya besar, serta puttingnya yang mencetak dikaosnya. Gilaaa.

“Nanggung Mas, Biar Bi Ati aja yang ganti. Tapi tolong tetap dipegang ya.” Ucap Bi Ati lalu kembali menjijitkan kakinya.

Akupun tetap memeluk bagian bawah pahanya, lalu pandanganku sekarang tertuju pada belahan selangkangan yang tepat berada didepan mataku.

Cok, tembem banget meki Bi Ati ini. kelihatannya mekinya bersih dan tidak ada rambutnya. Bagaimana aku bisa tau dalaman meki Bu Ati.? Itu karena leggingnya yang ketat dan tipis ini, memperlihatkan bayangan belahan mekinya yang tembem itu. bajingaann.

Dan saking dekatnya, aroma mekinya juga tercium dihidungku. Hummmm. Wangi cokk.

Kemaluankupun perlahan mulai bangun, lalu tegak berdiri dengan gagahnya.

“Tolong ambilkan lampu itu Mas.” Ucap Bi Ati sambil menyerahkan bola lampu yang lama, lalu menunjuk bola lampu baru yang ada didekatku berdiri.

Aku melepaskan pelukanku dan mengambil bola lampu yang lama, setelah itu meletakkan dimeja.

“Ehh, ehh.” Kembali Bi Ati bergoyang dan aku langsung memeluk bagian bawah paha Bi Ati lagi.

Bugghh.

Wajahku pun langsung menghantam selangkangan Bi Ati dan mulutku terkena belahan mekinya.

Cok. Empuk dan enak. Ghuathelll. Belum apa – apa aku sudah mencium mekinya Bi Ati yang tembem ini.

“Maaf Mas, Maaf.” Ucap Bi Ati sambil memegang kepala bagian atasku, lalu melepaskannya lagi.

“Udah deh Bi, turun aja.” Ucapku sambil mengangkat wajahku dan melihat keatas lagi.

“Nanggung Mas.” Ucap Bi Ati.

Ya aku nanggung juga Bi. Enak tau meluk paha sambil lihat kue apem didepanku ini. dilama – lamain juga gak apa – apa kok. hehehe.

Aku lalu melepaskan salah satu tanganku dari pelukan dipaha Bi Ati, lalu mengambil lampu baru, setelah itu menyerahkan kepada Bi Ati.

Dan setelah menyerahkan kepada Bi Ati, aku kembali memeluk bagian bawah paha Bi Ati. Pandanganku kembali tertuju kearah selangkangannya, yang mengundang untuk aku jilat ini.

Arrgghhh. Kok disaat lagi pengen enjoy seperti ini, aku harus dihadapkan dengan pemandangan yang menggugah birahi ini.? uhhh.

Tapi kira – kira, belahan meki ini sering dimasukin gak ya.? Bi Ati inikan pecinta sesama jenis.? Atau jangan – jangan malah belum pernah dimasukin.? Uhhh, pasti dalamannya rapet banget ini. Gila.

“Sudah Mas.” Ucap Bi Ati.

“Serius.? Sering atau enggak Bi.?” Tanyaku yang terkejut, karena aku konsentrasi melihat selangkangannya ini.

“Apanya yang sering.?” Tanya Bi Ati sambil menunduk dan kepalaku mendanga, melihat kearah wajahnya.

Cok, keceplosan aku. bajingan. Kenapa aku tanya seperti itu ya.? Bodoh banget aku ini.

“Maksudku lampunya Bi. Sering mati apa enggak.” Tanyaku dengan agak grogi.

“Oh.” Ucap Bi Ati.

Kami berdua masih saling menatap dan aku masih memeluk bagian bawah paha Bi Ati.

“Bibi mau turun Mas.” Ucap Bi Ati.

“Oh iya Bi, maaf.” Ucapku sambil melepaskan pelukanku dan mundur selangkah.

“Bisa turunkan Bi.?” Tanyaku dan Bi Ati langsung menganggukan kepalanya, lalu membungkukan tubuhnya dan menurunkan satu kakinya.

Dan tiba – tiba.

“Ehh, ehh, ehh.” Ucap Bi Ati dengan tubuh yang terdorong kearahku, lalu.

Bruaakkk. Bugghhh.

Bi Ati terjatuh kearahku dan aku terjatuh kebelakang, sambil menahan tubuh Bi Ati.

Buummm.

Aku tertidur dilantai, dengan posisi punggungku duluan yang menghantam keramik, terus ditambah dengan Bi Ati yang menindih tubuhku.

Bajingaann. Untung aku sering jatuh diaspal ketika ospek kemarin. Kalau enggak, bisa remuk tubuhku. Lagian jatuh sekarang itu enak, dari pada jatuh ketika ospek. Sekarang aku jatuhnya tertimpa buah yang empuk. Bukan hanya buahnya aja, tapi pohonnya juga. Jiancookk.

Posisiku yang jatuh terlentang dan Bi Ati yang menindihku ini, membuat kami berdua saling bertatapan mata dengan sangat dekat sekali.

Uhhh.. empuk banget.

“Duhh.” Desah Bi Ati sambil menatapku dan aku diam saja, sambil menikmati empuknya tubuh Bi Ati.

“Mas.” Ucap Bi Ati pelan.

“Eh. Iya Bi.” Ucapku yang terkejut.

“Bibi mau berdiri.” Ucap Bi Ati.

“Oh iya Bi, berdiri aja. Aku gak kuat angkat Bi Ati, soalnya tubuhku kan tertindis tubuhnya Bi Ati.” Ucapku.

“Iya Bibi tau, tapi tangannya jangan meremas terus dong.” Ucap Bi Ati dengan tatapannya yang menggoda.

Bajingan. Rupanya tangan kiriku memeluk punggung Bi Ati, tapi tangan kananku sekarang berada dibuah dada Bi Ati yang besar ini. Jiancok, makanya kok empuk banget dari tadi.

“Maaf Bi, Maaf.” Ucapku sambil melepaskan remasanku dibuah dada Bi Ati.

“Gak apa – apa Mas. Bibi juga salah, jatuhnya kok ke Mas Gilang.” Ucap Bi Ati sambil mengangkat tubuhnya lalu duduk perlahan disebelahku.

“Iya Bi.” Ucapku dan aku juga duduk perlahan.

Suasana langsung canggung dan kami berdua diam beberapa saat.

“Kok sepi Bi.? Kemana Bu Har.?” Tanyaku, untuk meredakan suasana yang canggung ini.

“Mba Yu lagi keluar kota.” Jawab Bi Ati sambil berdiri lalu tersenyum kepadaku.

Cok, Mba Yu.? Bi Ati manggil Bu Har itu Mba Yu.? Atau Bi Ati menyindirku, karena aku memanggil Bu Har dengan sebutan Mba Yu.? Tapi Bagaimana Bi Ati tau kalau aku manggilnya seperti itu.? Apa Bu Har yang cerita.? Gila banget kalau begitu cok.

“Mba Yu.?” Tanyaku yang memancing Bi Ati, sambil berdiri perlahan.

“Kenapa.? Kamu lupa kalau manggilnya seperti itu.?” Tanya Bi Ati lalu berbalik dan mengambil kursi yang terjatuh dilantai.

Uhhh. Waktu mengambil kursi yang jatuh itu, Bi Ati membungkuk dan memperlihatkan bokongnya yang semok. Gila, itu kalau bokongnya diceples (ditampar) pasti enak banget. Apalagi kalau ditambah dengan rintihan Bi Ati, pasti lebih enak lagi suasananya. Bajingan.

“Ditanyain kok malah lihat yang lain.” Ucap Bi Ati yang sudah berdiri tegak.

“Apa Bi.?” Tanyaku yang terkejut.

“Gak jadi.” Ucap Bi Ati dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“Bibi kenapa sih.?” Tanyaku lagi.

“Aku dipanggil Bibi, giliran dia dipanggil Mba Yu.” Ucap Bi Ati dengan ketusnya.

Cok, rupanya Bu Har cerita tentang aku kepada Bi Ati. Kira – kira apa aja yang diceritain ya.? Apa pertarungan kami juga diceritakannya.? Kalau memang diceritakannya, berarti sekarang aku punya kesempatan untuk bermain dengan Bi Ati dong.? Kelihatannya Bi Ati cemburu dan perlu kehangatan juga dari aku.

Arrgghh. Kok bisa mesum begini ya pikiranku.?

“Jadi Bi Ati cemburu, kalau aku manggil Bu Har dengan sebutan Mba Yu.?” Tanyaku, untuk mengalihkan pikiran mesumku ini.

“Yang cemburu siapa.?” Ucap Bi Ati dan makin ketus jawabnya.

“Sudahlah, gak usah cemburu. Aku gak punya perasaan sama Bu Har kok.” Ucapku dengan santainya dan Bi Ati langsung melirikku dengan tajam.

“Oh, jadi Yana sudah cerita tentang hubungan kami.?” Ucap Bi Ati dan sekarang bicaranya terdengar serius.

“Yana.?” Tanyaku.

“Nadya Yana Sahara, itu nama Ibu kosmu. Har itu nama suaminya.” Jawab Bi Ati.

“Oh.” Ucapku sambil menganggukan kepalaku pelan.

“Kamu belum jawab pertanyaanku loh.” Ucap Bi Ati dengan seriusnya.

Ini maksudnya apa ya.? Apa Bi Ati sengaja memancingku, untuk membicarakan apa yang aku ketahui tentang mereka berdua.? Bukannya Bu Har sudah cerita.? Atau malah tidak cerita sama sekali.? Tapi bagaimana Bi Ati tau kalau aku memanggil Bu Har dengan sebutan Mba Yu.? Aneh.

“Bu Har gak banyak cerita.” Jawabku singkat.

“Gak Banyak cerita, tapi banyak goyang sama desah ya.?” Tanya Bi Ati dan aku langsung menundukan kepalaku sejenak, lalu melihat kearahnya lagi.

“Mba Tika cemburu ya.?” Tanyaku dan aku sekarang memanggil Bi Ati dengan sebutan Mba Tika. Atika Vega Widyani, itu nama lengkap Bi Ati.

“Untuk apa aku cemburu. Itu urusan kalian.” Ucap Mba Tika, lalu membalikkan tubuhnya.

“Mba.” Panggilku ketika Mba Tika akan melangkah.

“Kenapa.? Kamu mau menggoda aku, seperti menggoda Yana.?” Ucap Mba Tika sambil menoleh kearahku.

“Ya kalau Mba Tika mau kugoda ya gak apa – apa.” Jawabku dengan entengnya.

“Kukira kamu itu lugu, gak taunya brengsek juga.” Jawab Mba Tika sambil membalikkan tubuhnya kearahku, lalu melipatkan kedua tangannya didada.

Dia menatapku dengan tatapan yang dingin sekali.

“Emang kebrengsekan seseorang itu dinilai dari apa sih Mba.?” Tanyaku sambil membalas tatapannya.

“Kenapa kamu tanya seperti itu sama aku.? Kamu mau menyindir aku karena aku mencintai wanita yang sudah berkeluarga, gitu.?” Tanya Mba Tika dan tatapannya sekarang mulai terlihat marah.

“Kenapa Mba kok jadi sensitive begitu.? Salah ya pertanyaanku.?” Tanyaku balik.

“Pintar juga kamu membalikkan kata – kataku ya. Sepertinya kamu mencari pembenaran karena kamu sudah meniduri wanita yang sudah mempunyai suami.” Ucap Mba Tika dengan kata – kata yang pelan dan tegas.

“Ngomongin apasih kita ini Mba.? Apa kita mau membuka aib kita berdua.?” Ucapku dan aku juga berbicara dengan sangat serius sekali.

“Aib.? Aku tidak memiliki aib dengan Yana, karena bagiku cinta itu bukan aib. Cinta itu ungkapan kata dari hati. Jangan samakan aku dengan kamu, yang menikmati tubuh Yana karena dipenuhi nafsu. Aibmu itu nafsumu. Paham.” Ucap Mba Tika dengan mata yang melotot.

“Kalau bukan aib, kenapa gak diresmikan aja hubungan kalian berdua.” Ucapku lalu aku membalikkan tubuhku dan berjalan kearah pintu dapur.

Nafsuku yang tadinya bergelora ketika memeluk paha Mba Tika dan mencium mekinya dari luar legging, langsung turun seketika. Aku sudah tidak memiliki nafsu lagi dan justru kepalaku semakin cenut – cenut.

“Berhenti dan kita bahas ini sampai selesai.” Ucap Mba Tika ketika aku memegang gagang pintu dapur.

“Kepalaku pusing dan aku lagi malas bahas masalah seperti ini Mba.” Ucapku sambil menoleh kearahnya.

“Kamu yang mulai pembahasan, kok malah gak mau menyelesaikannya. Apa memang benar kamu itu laki – laki pengecut.?” Ucap Mba Tika yang membuat gatal telingaku.

“Memang benar laki – laki pengecut.? Maksudnya.?” Tanyaku sambil membalikkan tubuhku dan menghadap kearahnya.

“Iya memang kamu pengecut kan.? Buktinya sama Gendhis aja, kamu gak menyelesaikan masalahmu, malah langsung menghindar.” Ucap Mba Tika yang langsung membuatku terkejut.

Bajingan, tau dari mana Mba Tika tentang masalahku.? Kok dia sampai tau tentang masalahku dan Gendhis sih.? Gila.

“Kenapa.? Memangnya cuman kamu aja yang tau tentang kehidupan pribadiku.?” Ucapnya dan dia berkata seperti sedang menantang diriku.

“Bagiku sih itu bukan aib dan gak perlu aku tutupi.” Ucapku dan kubuat setenang mungkin.

“Iiiihhh, ih.” Ucapnya yang terdengar jengkel dan wajahnya langsung cemberut manja.

“Sudah.? Apa aku dilarang balik kekosan, cuman mau disuruh lihat Mba kesel seperti ini.?” Tanyaku dan Mba Tika langsung melihat kearah yang lain. Matanya terlihat berkaca – kaca dan bibirnya bergetar.

Cok, kok hasil akhirnya seperti ini sih.? Kenapa juga harus ada sedih - sedihan seperti ini.? Jiancok.

“Hiks.” Isakan tangisnya mulai terdengar dan Mba Tika langsung membersihkan matanya yang mulai berair.

Tuhkan, mulai nangis. Bajingaann.

Walaupun wajahnya tidak melihat kearahku, tapi dari arah samping ini, tampak kesedihan yang jelas terlihat diwajah Mba Tika.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku berjalan mendekati Mba Tika. Aku ingin menenangkannya sejenak, dari kesedihan akibat ulahku tadi.

Walaupun dia nanti mengusirku, tapi aku harus menenangkannya dulu supaya tidak menangis lagi. Terus terang, sedikit banyaknya dia bersedih kali ini, pasti karena ucapanku barusan.

Dan ketika sudah berdiri tepat dihadapannya, aku langsung memeluk Mba Tika dan merapatkan wajah sampingnya didadaku. Aku memeluknya dengan sangat lembut, walaupun dia tidak membalas pelukanku.

Tidak ada penolakan atau dorongan yang dilakukan dari Mba Tika kepadaku, justru tangisnya makin terisak didalam pelukanku ini.

“Hiks, hiks, hiks,” Tangisnya yang terdengar sedih dan aku hanya bisa mengelus punggungnya pelan.

“Hiks, hiks, hiks,” Dan tangisnya semakin menjadi.

“Maaf.” Ucapku singkat sambil terus mengelus punggungnya.

Dadanya makin bergetar dan aku merasakan keempukan serta kebulatan buah dadanya yang menempel didadaku.

Cok, Bahasa apa keempukan dan kebulatan itu.? Kok aneh kedengarannya.? Tapi itulah yang aku rasakan saat ini. Buah dadanya yang besar, tidak dilapisi Bra, dan hanya dihalangi kaos tipisnya itu, membuat kekenyalan yang kembali membangkitkan gairahku perlahan.

Pikiranku pun langsung terbelah dua. Satu dikuasai kesangean dan satu dikuasai rasa bersalah. Tapi rasa bersalah itu, lama – kelamaan dijajah oleh rasa kesangean yang sangat luar biasa.

“Jahat.” Ucap Mba Tika dan tangisnya sudah terhenti.

“Kenapa juga Mba bahas masalah yang menjancokkan tadi sih.?” Ucapku dan Mba Tika langsung mengangkat wajahnya, lalu menatap wajahku.

“Kok malah aku yang salah.?” Tanyanya dan aku masih tetap memeluknya, walau dia belum membalas pelukanku.

“Iya, iya. Maaf.” Ucapku dan Mba Tika langsung menempelkan wajah sampingnya didadaku lagi.

Hemm, Rambut bagian kepala atasnya yang berada tepat dibawah hidungku ini, aromanya sangat wangi sekali.

Perlahan kedua tangannyapun, mulai membalas pelukanku.

Uhhh. Enaknya cok. bajingan.

Karena Mba Tika mulai membalas pelukanku, akhirnya kesangean benar – benar menguasi seluruh tubuhku dan kemaluanku mulai berdiri dengan tegaknya lagi.

Kami berdua berpelukan cukup lama dan tanpa ada gerakan tambahan sedikitpun. Gila, ini gila banget. Kalau seperti ini terus posisinya, bisa kejang – kejang disiksa sange aku. assuu.

Aku yang sudah sangat tersiksa oleh kesangeanku ini, akhirnya mulai menurunkan pelukanku dipunggungnya, kearah kedua bokongnya yang semok ini.

Kedua tanganku hanya sekedar turun, tanpa ada gerakan meremas. Padahal kedua telapak tanganku terbuka lebar dan menempel dibongkahan bokongnya yang semok ini.

“Kamu lagi bernafsu ya.?” Tanya Mba Tika tanpa mengangkat wajahnya dari dadaku.

“Enggak.” Jawabku berbohong.

“Terus apa yang berdiri diselangkanganmu ini.?” Tanya Mba Tika, sambil mengangkat wajahnya dan menatap kearah wajahku. Pingulnya pun bergerak kekanan dan kekiri pelan, sehingga selangkangannya menggesek diselangkanganku.

“Itu gak bernafsu, tapi memang bangun karena panggilan alam.” Jawabku sambil menahan nafsuku.

“Susah banget sih ngomongnya.? Tinggal ngomong sange aja, pakai alasan panggilan alam.” Ucapnya, lalu menempelkan wajahnya didadaku lagi.

Cok, ini kode dari Mba Tika kah.? Dia mau merasakan batangku, seperti Bu Har waktu itu.? Beneran.?

“Hehe.” Akupun hanya tertawa pelan, dengan nafsu yang menguasai kepalaku.

“Aku itu pecinta sejenis Mas. Percuma aja kalau kamu lagi bernafsu, itu akan sia – sia saja. kamu gak akan bisa membangkitkan birahiku.” Ucapnya sambil merapatkan pelukannya, sehingga dadanya makin menggencet dadaku.

Cok, apa maksudnya ini.? Mba Tika meragukan kemampuanku, untuk bisa membuatnya terbuai dengan sentuhanku.? Assuu.

Oke, oke. Karena aku sudah sange, jangan salahkan aku kalau sampai dia bisa aku taklukan, seperti Mba Yu Har waktu itu. Bajingan.

Kedua tanganku yang ada dibokongnya inipun, langsung meremas dengan agak kuat.

Tap, ehhhmmm.

“Gilang.” Ucap Mba Tika yang terkejut, sambil mengangkat wajahnya dan menatapku lagi.

“Kenapa Mba.? Sange ya.? Katanya gak bisa sange sama aku.?” Tanyaku menggodanya, sambil memainkan kedua alis mataku dan terus meremas kedua bokongnya yang semok.

“Ehm, enggak, aku gak sange.” Ucapnya sambil menggoyangkan pinggulnya pelan.

“Benaran.? Entar kalau aku bisa buat sange bagaimana.?” Tanyaku sambil menatap matanya yang mulai sayu itu.

“Iya, mana mungkin aku sange sama laki – laki.” Ucapnya dan dia agak menunduk, mengindari tatapan mataku.

“Serius.?” Ucapku, lalu kedua tanganku aku masukkan kedalam legingnya yang ketat itu, sampai kedua telapak tanganku menyentuh kulit bokongnya yang tak ber CD itu.

“Hep.” Ucapnya menahan nafas dan matanya langsung melotot kearahku.

“Kenapa.? Enak ya sentuhan laki – laki ini.?” Tanyaku sambil meraba kulit bokongnya.

“e, e, enggak.” Ucapnya terbata.

“Beneran.?” Tanyaku yang terus menggodanya.

Rabaanku dikulit bokongnya, sekarang mulai aku selingi dengan remasan yang lembut.

“Hem, iya.” Ucapnya dengan suara sedikit bergetar.

Aku terus meraba sambil diiringi remasan – remasan lembut dibokong Mba Tika. Perlahan aku membuka agak lebar bongkahan bokong Mba Tika, lalu menyelipkan jari tengah kananku, keatas lobang bokong Mba Tika.

“Gilang.” Ucap Mba Tika, sambil mengangkat wajahnya lagi dan menatap mataku, untuk kesekian kalinya. Lagi – lagi Mba Tika menyebut namaku langsung, tanpa ada embel – mebel Mas lagi.

Aku tersenyum sambil menyentuh lubang bokong Mba Tika, yang berkedut - kedut karena permaiananku ini. Pelan - pelan aku mulai menurunkan jari tengahku, sampai menyentuh bagian tepi bawah lobang mekinya.

“Ahh.” Desah Mba Tika, sambil memajukan pinggulnya kearahku.

Lobang meki Mba Tika terasa lembab dan basah sekali. Gila, katanya gak bernafsu. Kok basah banget dibawah ini.? bajingan.

Aku memajukan bibirku dan Mba Tika langsung memundurkan wajahnya.

“Aku gak mau berciuman sama kamu.” Ucapnya dan aku langsung menghentikan gerakanku.

“Oke.” Ucapku lalu aku mulai membelai belahan meki Mba Tika, sampai kakinya terjinjit.

“Uhhh.” Desah Mba Tika dan matanya terpejam sesaat, lalu menatap mataku lagi.

Wajahnya terlihat memerah dan Mba Tika langsung mengigit bibir bawahnya, sambil mendongakkan kepalanya keatas.

Cupp.

Aku mengecup lehernya yang putih, sambil terus memainkan jari tengahku ditepi bibir mekinya.

“Ahhhh.” Desah Mba Tika dan sekarang tangannya meremas kepala belakangku, karena aku mulai menjilati bagian lehernya.

Sruuppp.

Mba Tika tidak menolak cumbuanku dan jilatanku di seluruh bagian lehernya. Dia hanya terus meremas rambut belakangku.

Tubuhnya menggeliat kegelian, karena aku menyerang bagian atas dan bagian bawahnya berbarengan.

Aku yang sudah sangat bernafsu ini, langsung mengangkat kedua tanganku dari bokongnya dan memegang ujung legging bagian pinggulnya, lalu menurunkannya setengah paha.

Dan ketika aku akan menunduk untuk melihat kearah mekinya, Mba Tika langsung menahan pundakku.

“Aku gak mau kamu lihat mekiku, apalagi menjilatinya.” Ucapnya.

Akupun hanya mengangguk, lalu aku memegang mekinya dari arah depan.

Tap.

“Uhhhh.” Desah Mba Tika sambil memjamkan kedua matanya, ketika jari tengahku mulai menyentuh belahan mekinya yang sangat basah itu.

Dan ketika jari tengahku mulai membelah mekinya dan mau masuk kedalamnya, Mba Tika langsung membuka kedua matanya sambil menahan tanganku.

“Jangan masukan jarimu kedalam mekiku.” Ucapnya dan kembali aku menganggukkan kepala, sambil memainkan jariku ditepi meki Mba Tika.

“Hemmm” Desah Mba Tika sambil memejamkan kedua matanya.

Wajahnya semakin memerah dan keringatnya mulai membasahi keningnya. Pemandangan yang mengairahkan tepat didepan mataku ini, membuat nafsuku semakin menggila. Lalu dengan gerakan yang cepat, aku membuka ikat pinggangku, lalu membuka kancing celanaku, menurunkan resletingku, celanaku dan Cdku, sampai sebatas pahaku. Lalu setelah itu aku meraih tangan Mba Tika, untuk memegang batang kemaluanku yang berdiri tegak ini.

“Aku gak mau memegang batangmu, apalagi sampai mengulumnya.” Ucapnya, ketika sadar tangannya memegang batangku, lalu menariknya kebelakang.

Bajingan. Susah banget sih main sama Mba Tika ini.? Terus aku harus bagaimana untuk mengeluarkan nafsu yang menggila ini.? Ciuman gak boleh, memasukan jariku kedalam mekinya gak boleh, aku suruh memegang batangku gak mau, mengulum apa lagi. Terus bagaimana caranya aku dan dia mendapatkan kepuasan.? Jiancok.

“Mba gak nafsu ya.?” Tanyaku memancing Mba Tika, sambil menyentuh mekinya yang basah lagi.

Mba Tika hanya memejamkan matanya sebentar, lalu menatapku lagi. Akupun langsung mendorong tubuhnya pelan kebelakang, sampai bokongnya tersandar dimeja makan yang tingginya sepinggang bawahku dan sangat kokoh ini.

Aku lalu menatap kearah matanya dan seakan meminta ijinnya, untuk melanjutkan permainan gila ini.

“Jangan menciumku, jangan menjilat mekiku, jangan memasukan jarimu kedalamnya. Dan kalau kemaluanmu mau masuk, jangan kasar. Aku baru sekali saja main dan itu sangat kasar sekali. Kalau kamu mengingatkanku dengan permainan kasar itu, kita hentikan permainan ini.” Ucap Mba Tika lalu duduk diatas meja makan.

Cok, ini dilanjut gak.? Mau dilanjut kok banyak sekali persyaratannya. Tapi kalau gak dilanjut, bisa gila karena sange aku. bajingaan.

Mba Tika perlahan merebahkan dirinya diatas meja, dengan kedua kakinya menjuntai dilantai. Celana legingnya pun, masih terturun setengah pahanya.

Uhh, posisinya menggoda banget cok. Buah dadanya pun seakan menantangku untuk aku remas dan aku hisap puttingnya.

Aku lalu mendekat dan berdiri diantara kedua selangkangannya. Kedua tanganku meraba perutnya, lalu masuk kedalam kaosnya dari arah bawah. Pelan – pelan aku merabanya sampai menyentuh buah dadanya yang besar dan aku mengangkatnya sedikit, sampai kaosnya terangkat diatas buah dadanya. Puttingnya yang kecil dan berwarna coklat kehitaman, terlihat mengeras dan siap untuk diemut.

“Uhhh.” Desah Mba Tika ketika aku meremas kedua buah dadanya dengan lembut.

Remasan demi remasan, aku lakukan dengan lembut. Lalu setelah beberapa saat, aku memainkan kedua puttingnya dengan jempol dan jari tengahku.

“Ahhh.” Desah Mba Tika yang menikmati remasanku ini.

Aku lalu membungkukan wajahku dan ketika aku akan mengemut puttingnya yang imut,

“Jangan emut puttingku.” Ucapnya sambil menutup kedua puttingnya.

Cok, cok, cok. Lagi – lagi kata jangan yang keluar dari mulutnya. Bajingaan.

Lebih baik aku sekarang langsung keinti permainannya saja, dari pada keluar kata jangan lagi.

Aku angkat kedua kakinya dan aku sandarkan telapak kakinya dimeja, lalu aku tekukan sedikit. Tampak mekinya yang kemerahan, bersih dan tidak ada bulunya itu, mengintip diselangkangannya.

“Jangan lihat mekiku dan cepat masukkan.” Ucap Mba Tika dan aku hanya bisa menggelengkan kepalaku pelan.

Aku memegang batang kemaluanku, lalu aku urut pelan sampai benar – benar berdiri tegak. Setelah itu aku langsung menggesek kepala kemaluanku dibelahan meki Mba Tika pelan.

“Uhhh. Pelan – pelan ya.” Ucap Mba Tika, setelah mendesah pelan.

Mekinya yang basah pun terasa berkedut, dikepala batangku yang mulai merengsek masuk kedalam.

Blessss.

“Ahhhh.” Desah Mba Tika, sambil mendangakkan kepalanya keatas.

Aku menghentikan gerakanku, ketika kepala batangku sudah didalam bibir meki Mba Tika.

Gila, baru kepala batangnya saja yang masuk, sudah sangat sempit sekali. Kelihatannya aku harus bersabar dan aku harus memperlakukan Mba Tika dengan lembut, dari pada dia kesakitan dan permaianan gila ini langsung dihentikannya.

Aku membiarkan kepala batangku sejenak didalam sana, agar kemaluan yang sudah lama tidak dikunjungi itu, beradaptasi dengan besarnya kemaluanku.

Tubuh kami berdua terhalang oleh lutut Mba Tika, yang tertekuk dan setengah berdiri didepanku.

“Uhhhh. Kamu boleh dorong lagi, tapi jangan kuat – kuat.” Ucap Mba Tika pelan.

Lalu dengan berpegangan pada kedua lututnya, aku mulai mendorong pelan pinggulku kearah depan.

“Ahhhhh.” Desah Mba Tika Panjang, sambil meremas kedua punggung tanganku yang ada dilututnya.

Mulutnya menganga dan matanya terbuka dengan lebarnya. Aku kembali menghentikan gerakanku, sambil menatap kearah wajah Mba Tika.

Cok, ini baru seperempat yang masuk dan aku sudah kesusahan untuk menekannya lebih dalam lagi. Padahal cairan pelumas yang keluar dari dalam meki Mba Tika, cukup banyak membasahi disekitar lubang kenikmatan itu. Tapi kenapa lubang meki ini masih susah dimasukin ya.?

Batangkupun terasa dijepit dan diremas dengan kuatnya.

Hiuufftt, huuu. Gimana caranya aku merangsang Mba Tika, sementara aku gak boleh menciumnya atau mengemut Putingnya.? Cok, cok.

Aku lalu melepaskan pegangan tangan Mba Tika, lalu aku meremas kedua buah dada Mba Tika, sambil sesekali memainkan kedua puttingnya dengan lembut.

“Ahhh. Ahhh. Ahhh.” Desah Mba Tika dan sekarang matanya kembali memejam.

Mekinya berkedut dan perlahan aku merasa ada cairan yang membasahi batang kemaluanku dari dalam sana. Akupun kembali mendorong pinggulku kedepan, dengan sangat perlahan.

“Ahhh. Ahhh. Ahhh.” Desah Mba Tika sambil menggelengkan kepala kekanan dan kekiri.

Batangku sudah setengah masuk dan aku menghentikan gerakanku, sambil terus memainkan kedua puttingnya.

“Uhhhhh.” Tubuh Mba Tika terdorong keatas, tapi aku langsung menahan pinggulnya dan menariknya kebawah lagi.

Sempit, kehimpit dan kejepit, setengah batang kemaluanku didalam kemaluan Mba Tika. Nikmat dan ngilu, itu yang aku rasakan sekarang ini.

Lalu setelah beristirahat sejenak, aku menekan lagi pinggulku kedepan. Kedua telapak tangan Mba Tika mengarah kepadaku dan aku langsung menyambutnya. Jari – jari kami berdua menyatu dan Mba Tika mencengkramnya dengan kuat.

“Ahhhhhh.” Desah Mba Tika sambil menatap kedua mataku.

Sekarang batangku telah benar – benar masuk sepenuhnya didalam meki Mba Tika. Cengkraman dinding meki Mba Tika dan sedotan dari arah dalam, membuat sensasi kenikmatan yang sangat luar biasa aku rasakan.

“Ahhhhh.” Desah kami berdua, dengan kedua tangan saling mencengkram.

“Uhhh, huh, uh, uh, uh, uh, uh.” Terdengar nafas yang cepat dan memburu dari mulut Mba Tika.

“Gila, gila, gila. Setelah belasan tahun tidak pernah dimasukin, bisa juga mekiku menerima batangmu yang besar ini Lang. hu. Hu. Hu. Hu.” Ucap Mba Tika, lalu diakhiri dengan nafas yang memburu.

Tahap pertama sukses, batangku sudah bisa masuk sepenuhnya kedalam meki Mba Tika. Sekarang lanjut tahap yang kedua, menggoyangkan pinggulku.

Tapi aku harus bersabar dan aku harus menggoyangnya perlahan. Untuk sementara, aku membiarkan dulu batangku didalam meki Mba Tika ini. aku ingin merasakan kedutan dan jepitan yang sangat luar biasa sempit ini.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Mba Tika mencoba mengatur nafasnya.

Lalu setelah beberapa saat,

“Boleh aku goyang.?” Tanyaku dan Mba Tika langsung mengangguk pelan, dengan tatapan sayunya.

Aku memundurkan pinggulku sedikit, sampai batangku keluar seperempat, lalu menekannya lagi kedalam.

“iiiii, iii, iii.” Ucap Mba Tika kenikmatan, dengan urat – urat yang keluar disekitar lehernya.

Aku menarik lagi pinggulku kebelakang sampai batangku sisa setengah, lalu menekannya lagi dan aku mengulanginya terus, sampai meki Mba Tika benar – benar basah dan terbiasa dengan keluar masuknya batangku.

“Ah, ah, ah, ah, ah.” Desah kami bersahut – sahutan, dan aku terus menggoyang dengan lembut.

Sekarang aku sudah mulai berani menarik agak panjang pinggulku kebelakang, sampai meninggalkan kepala batangku saja didalam meki Mba Tika, lalu aku tekan kedalam lagi sepenuhnya.

“Gilaaaa.. ahhhhh.” Desah panjang Mba Tika.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Bunyi selangkanganku ketika bertemu selangkangan Mba Tika, yang sudah berceceran air kenikmatan itu.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Goyanganku yang pelan, lalu perlahan mulai meningkat tempo kecepatannya.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“AHH, AHH, AHH, AHHH.” Desah Mba Tika yang semakin liar.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“AHHHHH.” Tubuh Mba Tika mengejang dan matanya langsung terpejam.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Gila, sempitnya dan kuatnya jepitan meki Mba Tika, membuat air kenikamatan yang ada didalam kantong kemihku, berontak dan langsung menuju kekepala batangku.

Cok, masa aku harus secepat ini keluarnya.? Mba Tika kan belum mengucurkan air kenikmatanya.? Bajingan. Apa memang Mba Tika sudah mengeluarkannya, tapi aku gak menyadarinya.?

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Aku terus menggoyangkan pinggulku dengan tempo yang agak cepat.

“Ah, aku mau keluar, ah, ah, aku mau keluar, ah, ah, ah” Ucap Mba Tika, disela desahannya.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Iya Mba, iya. aku juga mau keluar. Ah, ah, ah, ah.” Ucapku.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Cabut, cabut, cabut.” Ucap Mba Tika sambil menatapku dan aku langsung memundurkan pinggulku, sampai batangku keluar dari meki Mba Tika. Lalu,

Sreeet.. sreett.. sreettt..

Cairan keluar dari kemaluan Mba Tika, dan sekarang seperti air yang sangat deras mengalir.

“AHHHHHHHH.” Desah Mba Tika, dengan tubuh yang mengejang kearah atas..

Air kenikmatan Mba Tika, tampak membasahi meja makan dan sebagian tertumpah kelantai. Sedangkan aku harus menahan kecewa, karena air kenikmatanku tidak jadi keluar.

“UHHHHHH.” Desah Mba Tika sambil mengangkat pinggulnya keatas, dengan tetesan sisa – sisa air kenikmatan yang keluar dari mekinya.

“Haaaaa.” Desah Mba Tika lagi, sambil menurunkan pinggulnya kemeja makan lagi.

Huuu.. huuu.. huuu.. huuu.. huuu..

Huuu.. huuu.. huuu.. huuu.. huuu..

Nafasnya terdengar cepat dan memburu.

“Gila, gila, gilaaa.” Ucap Mba Tika dengan mata yang merem melek.

“Lebih gila lagi, kalau kita mainnya sambil berciuman.” Ucapku sambil memegang batang kemaluanku yang mengkilat dan lengket ini.

“Enggak, hu, hu, hu, hu,” Jawab Mba Tika singkat, lalu dia mengatur nafasnya.

“Oke.” Ucapku lalu aku menggesekkan batangku dibibir kemaluan Mba Tika.

“Sabar Lang, sabar. Hu, hu, hu, hu,” Ucap Mba Tika.

“Kalau kelamaan, entar kering dan susah dimasukin loh.” Ucapku sambil menggesek batang kemalaunku.

“Uh, uh, terserahlah.” Ucap Mba Tika dan,

Blesss.

Batangku mulai masuk lagi dan Mba Tika langsung melotot, dengan kepala yang terangkat.

“Gilang.” Ucapnya kepadaku.

“Maaf, maaf.” Ucapku lalu aku tersenyum dan aku menghentikan dorongan pinggulku, dengan posisi batang kemaluanku, setengah masuk kedalam mekinya.

“Jangan kasar ya.” Ucapnya sambil melotot.

“Iya Mba, iya.” Ucapku.

Lalu perlahan aku mendorong lagi pinggulku kedalam.

“Uhh.” Desah kami berdua dan kedua tangan kami saling mencengkram lagi.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Aku mulai menggoyang lagi pelan.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Ah, ah, ah, ah, ah.” Desah kami bersahut – sahutan.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Ahhh.. ahhhhh.. ahhhhhh.. ahhhhhh..” Desah Mba Tika sambil menggelengkan kepala kekanan dan kekiri, dengan tangannya yang semakin kuat mencengkram kedua tanganku.

Gila, rapat banget mekinya. kemaluankupun serasa diperas didalam sana..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“aahhhhh.. uhhhhh.. ahhhhh..” desahku sambil menggoyangkan pinggulku dan sekarang aku agak mempercepat goyanganku..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“aahhhhhhhhhh.. aahhhhhhhhh..” Desah Mba Tika, dengan tubuhnya yang dipenuhi keringat.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Aku terus menggoyangkan pinggulku, dan sekarang aku melepaskan cengkaraman tanganku ditangan Mba Tika, lalu aku mengagapai kedua buah dadanya untuk kujadikan pegangan.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Aku mau keluar lagi Lang, aku mau keluar lagi.” Ucap Mba Tika sambil memegang punggung tanganku, yang meremas kedua buah dadanya.

“Aku juga Mba, aku juga.” Jawabku.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Aku makin mempercepat goyanganku.

“Jangan keluarkan didalam, jangan ya. ah, ah, ah, ah.:” Ucap Mba Tika sambil menganggukan kepalanya, mengikuti goyangan pinggulku.

“Uh, uh, uh.” Aku aku hanya mengangguk sambil terus menggoyang.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Air kenikmatanku sudah mau keluar dari kepala batangku dan meki Mba Tika juga makin berkedut dengan kuatnya.

“AHHHHH.” Desah Mba Tika panjang dan aku langsung mencabut batangku, lalu aku mengocoknya cepat dengan tangan kananku.

Srettt… srettt.. srettt.. srettt.. srettt.. srettt.. srettt..

Crotttt.. crotttt.. crotttt.. crotttt.. crotttt.. crotttt. crotttt..

Mba Tika mengejang sambil mengeluarkan cairan putih yang kental, sedangkan aku mengeluarkan air kenikmatanku diperut Mba Tika yang seksi itu.

“Aaahhhhhhh..” desahku dan desah Mba Tika bersama.

Huuu.. hu.. hu.. hu.. hu… hu..

Nafasku memburu, begitu juga Mba Tika.

Kami berdua sama – sama menikmati sisa - sisa orgasme yang keluar sambil mengatur nafas kami.

Huuu.. hu.. hu.. hu.. hu.. hu..

Perlahan Mba Tika menurunkan kedua kakinya, sampai menjuntai kelantai.

“Huuuu, huuuuu, huuuuu,” Aku menarik nafas panjangku, begitu juga Mba Tika.

Aku lalu mengulurkan kedua tanganku ke arah Mba Tika, yang masih terlentang di meja makan. Mba Tika menyambutnya, lalu dia duduk sambil menarik tanganku.

“Ahhhh.” Ucap Mba Tika, sambil memejamkan kedua matanya sesaat.

Aku menaikkan celanaku, lalu menarik resletingnya keatas, mengancingkan kancingnya, lalu memakai sabukku lagi.

Setelah itu aku merapat kearah Mba Tika yang duduk dimeja makan dan menatapku dengan pandangan yang sangat keletihan sekali.

Aku memegang ujung kaosnya yang masih berada diatas buah dadanya, lalu menurukannya, sampai menutupi perutnya.

Aku sempat melirik kearah mekinya, tapi Mba Tika langsung memegang daguku dan mengangkatnya, sampai wajah kami bertemu.

“Jangan lihat mekiku.” Ucapnya, lalu turun dari meja makan dan menaikkan legging ketatnya itu.

Aku mendekatkan wajahku kearahnya dan Mba Tika langsung mendorong pipiku.

“Aku gak mau ciuman sama kamu.” Ucap Mba Tika dengan dinginnya.

Aku menghadap kearah Mba Tika lagi, lalu.

Cuupp.

Aku kecup keningnya dengan lembut dan Mba Tika hanya diam saja.

“Aku.” Ucapku terpotong, karena Mba Tika menutup mulutku dengan jari telunjuknya.

“Pulang, sudah mau malam.” Ucap Mba Tika dengan ekspresi yang datar.

“Tapi,” Ucapku terpotong lagi.

“Pulang,” Ucap Mba Tika dan kali ini wajahnya sangat serius sekali.

“Baiklah. Ma.” ucapku terpotong, padahal aku mau meminta maaf kepadanya.

“Pulang,” Ucap Mba Tika dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan berjalan kearah pintu dapur.

Sebelum keluar, aku sempat menoleh kearah Mba Tika, Tapi dia langsung membuang wajahnya.

Cok, masa seperti ini sih akhirnya.? Gak ada penutup kata – kata apa gitu.? Bajingan.

Aku pun langsung membuka pintu dapur, lalu aku keluar dan menutup kembali pintu dapurnya.

Aku berjalan kearah kosanku dengan perasaan lega, sedih, senang, bingung, dan marah kepada diriku sendiri. Entah perasaan apa yang ada dikepalaku saat ini, yang jelas aku mau mandi dulu, tubuhku ini rasanya lengket sekali.

Ketika sampai kosan, aku disambut canda tawa oleh Joko dan pandangan yang sangat dingin dari Intan. Intan tidak marah kepadaku, seperti ketika aku bermain dengan Bu Har waktu itu. Ada apa ya.? Apa dia gak tau kalau aku habis bermain dengan Mba Tika.? Sudahlah, lagian apa urusannya.? Aku lagi mendiamkannya beberapa hari ini, karena permasalahan Gendhis yang selalu diungkitnya.

Malam setelah selesai mandi, aku makan bersama Joko. Kami berdua masuk kekamar masing - masing dan tidak mengamen. Joko lagi ada tugas, sementara aku terlalu letih akibat permainan bersama Mba Tika tadi.

Malam ini aku tidur cepat dan lagi – lagi aku tidak menghiraukan Intan yang menatapku dari tadi.

Pagi hari aku bangun dengan tubuh yang lumayan segar, dan aku bergegas untuk mandi karena ada jadwal kuliah pagi. Setelah mandi aku membuat sarapan untukku dan Joko yang masih tertidur. Dan setelah sarapan, aku masuk kekamar dan berganti pakaian.



Intan

“Kamu itu kenapa sih.?” Tanya Intan kepadaku dan aku hanya meliriknya sebentar, lalu mengaitkan kancing kemejaku lagi.

“Lang, sudah seminggu ini kamu mendiamkan aku dan kamu gak mau menjawab setiap aku mengajak ngobrol. Kamu itu kenapa.?” Tanya Intan lagi dan aku tetap diam.

Aku mengambil minyak rambut orang – aring milikku, lalu meneteskan ditelapak tanganku dan mengusapkannya dirambutku.

“Lang.” Panggil Intan lagi dan aku tetap berkaca, sambil mengusap rambutku yang sudah tumbuh ini. Walaupun tidak panjang, aku tetap memberinya minyak rambut.

“Hiuufftt, huuu. Ternyata orang pintar itu, gak semuanya bijak. Percuma pintar, tapi melihat suatu permasalahan cuman dari kulitnya aja.” Ucap Intan dengan sinisnya.

Akupun langsung melihat kearah Intan, dengan tatapan yang dingin kearah matanya. Intan membalas tatapanku dengan tatapan yang sangat marah, sambil melipatkan kedua tangannya didada.

“Aku bukan orang pintar, apalagi bijak.” Ucapku dengan cueknya, lalu aku berjalan kearah tasku dan memakainya. Setelah itu aku berjalan kearah pintu kamarku.

“Berhenti dan kita bahas masalah ini sampai selesai.” Ucap Intan dengan jengkelnya, ketika aku berjalan melewatinya.

Cok, kok perkataannya sama seperti Mba Tika kemarin sih.? Bajingan.

“Apa yang mau dibahas.? Masalah cintaku.? Kamu dengar baik – baik ya. Jangan pernah bahas ini lagi, karena cintaku sudah mati dan terkubur dibagian hatiku yang terdalam.” Ucapku sambil menoleh kearahnya dan wajah Intan langsung terlihat sedih, dengan mata yang berkaca – kaca.

Akupun langsung keluar kamar dan menutup pintu kamarku.

Aku tau Intan pasti ingin membahas masalah Gendhis, seperti selama seminggu kemarin. Tapi aku selalu mendiamkannya dan baru hari ini aku berbicara kepada Intan, itupun dengan nada yang gak enak banget.

Sebenarnya aku merasa bersalah sekali dengan Intan, karena aku melampiaskan kejengkelanku ini kepadanya. Tapi apa mau dikata, itu semua aku lakukan karena dia selalu menyebut nama Gendhis dan membuat telingaku sakit mendengarnya.

Aku sudah cukup sakit melihat Gendhis dimalam itu dan aku ingin melupakannya. Tapi Intan selalu saja mengingatkannya.

Gila. Apa dia sengaja memancing kemarahanku.? Apa dia mau menguji aku.? kenapa dia ingin sekali aku jadian dengan Gendhis.? Apa dia tidak tau kalau Gendhis sudah berduaan dengan Dani.? Sudahlah, aku malas untuk membahasnya. Aku mau konsentrasi dengan Impianku saja.

“Koen iku lapo muring – muring ae.?” (Kamu itu kenapa marah – marah aja.?) Tanya Joko yang keluar kamar dan masih menggunakan celana kolor serta bertelanjang dada.

“Seng muring – muring sopo cok.?” (Yang yang marah – marah siapa cok.?) Tanyaku balik, sambil mengambil sepatuku dan mengenakannya.

“Lambemu mecucu ngono kok gak muring – muring. Jiancok.” (Bibirmu maju begitu kok gak marah – marah. Jiancok.) Ucap Joko lalu dia membakar rokoknya.

Akupun hanya mendiamkan ucapan Joko sambil mengenakan sepatuku. Lalu setelah selesai mengenakan sepatuku, aku melihat kearah Joko.

“Gak kuliah koen cok.?” (Gak kuliah kamu cok.?) Tanyaku sambil menadahkan tanganku kearahnya.

“Isuk iki gak ono jadwal’e. Awan engko jadwalku kuliah.” (Pagi ini gak ada jadwalnya. Siang nanti jadwalku kuliah.) Jawab Joko sambil menyerahkan bungkusan rokoknya.

“Oh.” Ucapku singkat, sambil mengambil rokoknya sebatang, lalu membakarnya dan mengembalikan bungkusan rokoknya kembali ke Joko.

“Yo wes, tak tinggal sek.” (Ya sudah, kutinggal dulu.) Ucapku sambil membalikan tubuhku, lalu keluar kosan.

“Hem.” Sayub - sayub aku mendengar Joko menjawab ucapanku.

Aku pun berjalan kearah kampus dan aku tidak melewati jalan yang melewati kos Barbara. Aku melewati jalan yang dulu sering aku lewati, waktu pertama kali datang kekampus teknik kita. Dan ketika aku melewati rumah Bu Har, tampak Mobil Bu Har terpakir digarasi dan kelihatannya dia baru datang dari luar kota.

Aku terus berjalan sambil menikmati rokokku dan menenangkan sejenak hatiku, yang agak kacau ini. Aku ingin focus kuliah dipagi ini, dengan pikiran yang tenang. Aku ingin ilmu yang akan aku terima dimata kuliah nanti, benar – benar masuk kedalam otakku, tanpa ada gangguan pikiran yang gak penting ini.

Entah kenapa ketika sudah bermasalah dengan cinta, aku sangat sulit mengendalikan hatiku dan aku sangat kesusahan untuk mengontrolnya. Aku takut permasalah seperti itu, malah bisa mengacaukan impian yang ingin aku raih.

Kelihatannya setelah ini, aku tidak ingin bermain lagi dengan hatiku. Cukup sudah satu wanita yang membuat ganjalan hatiku. Aku tidak ingin menambahnya dengan wanita – wanita yang lain.

“Lang.” Tiba – tiba terdengar seorang wanita yang memanggilku dari arah belakang, ketika aku sudah sampai disamping jalan kampus teknik kita.

Akupun langsung menoleh kearah belakang dan terlihat Mba Sarah berjalan kearahku.



Sarah

Duh, kenapa harus ketemu Mba Sarah sih.? Semoga saja dia tidak membahas masalah Gendhis juga. Makin gak bisa tenang kuliahku, kalau begitu caranya.

“Mau kuliah.?” Tanya Mba Sarah yang terlihat segar dan seperti habis keramas ini.

Mba Sarah berjalan mendekati aku, lalu berdiri disampingku dan tersenyum kepadaku.

“Mau ngamen.” Jawabku singkat, lalu menoleh kearah depan lagi dan mulai melangkah dengan diiringi isapan rokok kretek dimulutku.

“Dingin banget sih jawabnya.” Ucap Mba Sarah, yang berjalan disebelah kiriku.

“Emang suasananya lagi dingin, huuuu.” Ucapku sambil menggerakkan pundakku, karena hawa dingin dipagi ini.

“Gak nyambung terus jawabannya. Iiiiii.” Ucap Mba Sarah, sambil mencubit pundakku dengan gemasnya.

“Aduh, duh, duh. Sakit Mba.” Ucapku sambil memegang punggung tangannya, yang masih mencubit pundakku.

Langkah kami tiba – tiba terhenti, dengan kedua mata yang saling menatap. Tatapan mata Mba Sarah yang biasanya dingin, sekarang berubah menjadi sayu. Suatu rasa yang teramat dalam, tampak tersembunyi dibalik tatapan matanya yang sayu itu. Mba Sarah tampak menyembunyikan sesuatu, dibalik bola matanya yang indah itu. Sesuatu yang pasti tentang perasaannya.

Arrghhh. Kenapa harus menatapku dengan tatapan seperti itu sih.? Bukannya kemarin dia menyuruhku untuk bersatu dengan Gendhis.? Tapi kenapa sekarang dia yang seperti ini sama aku.? Terus kenapa juga aku membalas tatapannya ini, dengan sangat dalam sekali.? Masa iya aku benar – benar mencintainya sih.? Belum reda rasa sakit ini dan hatiku masih berdarah karena Gendhis, masa harus kupaksakan berbunga – bunga.? Bagaimana aku mau tenang kuliah, kalau aku harus dikelilingi dengan perasaan seperti ini.? Perasaan cinta yang mudah hinggap dan menguasai hatiku. Gak bener ini, gak bener.

“Eh.” Ucap Mba Sarah, sambil melepaskan cubitannya dan pegangankupun langsung terlepas.

Mba sarah menunduk sebentar, lalu melihat kearah depan dan berjalan lagi. Dia terlihat salah tingkah dan mencoba menyembunyikan ekspresi wajahnya dari tatapanku. Gila.

Aku pun mengiringi langkahnya, sambil menggelengkan kepalaku pelan. Kami berdua berjalan tanpa berbicara lagi. Aku gak tau apa yang ada dipikirannya, dan aku juga gak tau apa yang kupikirkan. Kepalaku makin cenut – cenut cok.

“Lang.” Ucap Mba Sarah tanpa melihat kearahku, ketika kami sampai digerbang pagar kampus teknik kita.

“Aku lagi males bahas masalah yang gak penting.” Ucapku sekenanya, lalu aku membuang puntung rokokku.

“Kamu itu kenapa sih.? Kok ketus terus jawabnya dari tadi.” Ucap Mba Sarah sambil melirikku, lalu memalingkan wajahnya dan berjalan duluan. Setelah beberapa langkah, dia belok kearah jurusan teknik industri.

Mba Sarah pergi meninggalkan aku, tanpa menunggu jawaban dari aku. Dia tampak marah sekali kepadaku, tanpa kutau apa kesalahanku.

Arrgghh. Kenapa juga aku bersikap seperti itu kepada Mba Sarah.? Iya kalau tadi dia mau membahas masalah Gendhis.? Kalau dia mau membahas masalah yang lain gimana.? Kenapa orang yang ada disekitarku, harus terkena imbas keegoisan hatiku ini sih.? bajingan.

Aku lalu melangkah kearah jurusan teknik sipil. Dan didepan jurusan gedung teknik sipil, tampak teman – teman kelasku dan angkatanku yang berbeda kelas, berkumpul dan sedang bersenda gurau.

Sudahlah, aku harus melupakan semua ganjalan ini. Kalau tidak, aku akan makin larut dengan kesakitan ini dan bisa mengacaukan semua impian yang sudah mulai aku jalani ini.

“SEMONGKO.” Teriak temanku yang bernama Naryo, ketika melihat kedatanganku. Dia berteriak sambil mengepalkan tangan kiri keudara.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Jawab semua teman – teman angkatanku, dengan semangatnya dan tangan kiri terkepal diudara.

Akupun mengangkat tangan kiriku keudara sambil tersenyum, lalu aku mendatangi mereka dan menyalami satu persatu.

“Hai Lang.” Ucap Ratna yang ada dikumpulan teman – temanku itu, bersama beberapa teman – teman wanita angkatanku.



Ratna Silvi Juwita

“Hai Rat.” Jawabku lalu aku tersenyum.

“Gilang sang pejuang. Selamat datang masa depan penuh harapan.” Sambut Gandi, salah satu temanku yang sangat berpengaruh diangkatanku. Dia menyalami aku sambil memelukku.

“Joh. Pakai acara meluk lagi. Bajingan.” Omelku.

“Hahahaha.” Gandi pun langsung tertawa dan melepas pelukannya.

“Hahahaha.” Teman – temanku yang lainpun ikut tertawa.

“Yang pejuang itu bukan hanya aku, tapi kita semua yang ada disini. Pejuang yang akan meraih masa depan, dengan semangat dan harapan dari orang – orang tersayang. SEMONGKO.” Teriakku dengan tangan yang terkepal keudara.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Jawab semua teman – temanku dengan kompaknya.

Para kakak tingkat yang ada disekitar kami, hanya melihat tingkah kami ini, tanpa ada yang berani menegur atau bersuara kepada sesama angkatannya. Mereka hanya diam dan tanpa ekspresi diwajah.

“Pagi – pagi sudah teriak aja kalian ini, kusepak nanti satu persatu. Cepat masuk keruangan sekarang.” Ucap Pak Dullah dosen gambar kami, yang berdiri didekat tangga sambil berkacak pinggang.

“I, i, iya Pak.” Sahutku dan teman – teman dengan paniknya, lalu kami semua berhamburan naik ketangga dan berebut masuk kedalam ruangan.

Kami duduk dengan rapi tanpa bersuara, sambil menunggu kedatangan Pak Dullah, yang belum masuk kedalam ruangan.

Ini adalah minggu ketiga kami berkuliah, dan baru hari ini Pak Dullah masuk untuk mengajar. Minggu kemarin atau minggu kedua, beliau tidak masuk karena sedang berada diluar kota. Pada pertemuan pertama, beliau hanya menemui kami sebentar. Itupun hanya menyampaikan kalau tidak ada perkuliahan dan berpamitan akan keluar kota.

“Selamat pagi.” Ucap Pak Dullah ketika memasuki ruangan kuliah.

“Pagi Pak.” Jawab kami dengan kompaknya, lalu suasana kembali hening.

Pak Dullah berdiri didekat meja, sambil meletakkan tas yang beliau bawa diatas meja.

“Siapa ketua kelasnya.?” Tanya Pak Dullah sambil melihat kearahku.

“Saya Pak.” Jawab Gandi sambil mengacungkan tangan kanannya.

“Oh kamu.” Ucap Pak Dullah sambil melihat kearah Gandi.

Sebenarnya yang ditunjuk teman – teman untuk menjadi ketua kelas itu aku, tapi aku menolaknya. Aku tidak mau menjabat apapun selama masa kuliah ini dan aku juga tidak mau mengikuti kegiatan kemahasiswaan apapun. Aku ingin berkuliah saja dengan tenang, tanpa harus memikirkan tanggung jawab selain untuk diriku sendiri. Memikirkan diriku sendiri saja, aku sudah pusing. Jadi buat apa aku menambah beban dengan tanggung jawab lainnya.? Bukannya aku tidak perduli, aku tetap akan membantu teman – temanku, tapi hanya dibalik layar.

Dan sekarang, setelah Pak Dullah memulai perkenalan dan mengabsen satu persatu, Pak Dullah memulai kegiatan perkuliahan.

“Saya hari ini akan mengajarkan dasar - dasar gambar teknik. Mungkin sebagian dari kalian yang dari STM, pernah mendapatkan mata pelajaran ini waktu disekolah. Tapi yang dari SMA, pasti asing dengan mata kuliah ini. Tapi bukan berarti yang dari STM tidak menyimak mata kuliah saya ini.” Ucap Pak Dullah sambil menatap kami satu persatu.

“Saya paling tidak suka, ketika saya mengajar ada yang bersuara. Nanti ada waktunya tersendiri untuk tanya jawabnya.” Ucap Pak Dullah lagi dan kami semua menyimak setiap ucapan Pak dullah.

Lalu setelah itu Pak Dullah memulai menjelaskan tentang teknik dasar menggambar. Walaupun aku mempunyai dasar tentang ilmu gambar waktu sekolah dulu, aku tetap menyimak ilmu yang diberikan Pak Dullah ini. dan ternyata banyak sekali ilmu – ilmu baru yang aku dapatkan dari penjelasan Pak Dullah.

Setelah hampir dua jam mata kuliah ini berlangsung, kegiatan perkuliahan ini ditutup dengan tugas gambar yang harus kami kumpulkan, sebelum ujian tengah semester nanti.

“Lang, ajarin aku gambar ya nanti.” Ucap Ratna kepadaku, ketika kami keluar dari ruangan perkuliahan.

“Iya.” Jawabku singkat sambil menoleh kekanan dan kekiri.

“Cari apa.?” Tanya Ratna sambil menoleh kekanan dan kekiri juga.

“Mau rokokkan dulu, sebelum nanti masuk lagi.” Jawabku dan memang setelah ini, kami ada mata kuliah lagi.

“Ya sudah, rokokkan aja disini.” Ucap Ratna dengan santainya.

“Rokokku habis, aku tadi lupa beli.” Ucapku lalu aku menggaruk kepalaku sambil tersenyum.

“Nyoh, udud sek.” (Nih, rokok dulu.) Ucap Naryo kepadaku, sambil menyodorkan rokok putihannya.

“Cok, koen iki apik’an loh.” (Cok, kamu ini baik banget loh.) Ucapku sambil menerima bungkusan rokoknya, lalu mengambil sebatang, membakarnya, lalu menghisapnya perlahan. Setelah itu aku mengantongi bungkusan rokok itu ke kantongku.

“Iku jenenge ngelamak cok.” (Itu namanya kurang ajar cok.) Omel Naryo kepadaku.

“Hahahaha. Suwon yo.” (Terimakasih ya.) Ucapku lalu tertawa dengan santai.

“Malah ngekek, endi rokokku.” (Malah ketawa, mana rokokku.) Ucap Naryo.

“Guyon cok, guyon.” (Bercanda cok, bercanda.) Ucapku sambil mengambil rokok yang aku kantongi, lalu menyerahkan kembali ke Naryo.

“Lang, nanti habis kuliah kita main bilyard ya.” Ajak Gandi yang ikut bergabung bersama kami.

“Engga ah, mau ngamen aku nanti.” Jawabku, lalu aku menghisap rokok putihan yang sangat ringan dan pahit ini.

“Jangan bercanda.” Ucap Ratna sambil melirikku.

“Hahahaha.” Naryo dan Galih langsung tertawa dengan kerasnya. Aku hanya melirik mereka berdua bergantian sambil menikmati isapan rokok ini.

“Ngamen dimana.? Dilampu merah.? Hahaha.” Ucap Naryo lalu tertawa lagi.

“Permisi Om. Semua terserah padamu, aku begini adanya. Kuhormati keputusanmu, apapun yang akan kau katakan.” Ucap Gandi sambil bertepuk tangan dengan bergaya mengamen.

Prok, prok, prok, prok.

“Sebelum terlanjur, kita jauh melangkah. Kau katakan saja.” Naryo dan Gandi bernyanyi bersama, lalu menadahkan tangannya.

“Kasih gak.? Kalau enggak, kugores mobilmu.” Ucap Gandi lagi, sambil terus menadahkan tangannya.

“Hahahaha.” Kembali mereka berdua tertawa, sedangkan Ratna hanya menatapku saja.

Akupun tetap diam sambil melihat kearah lapangan, dari lantai dua gedung kuliah ini.

“Kamu serius Lang.?” Tanya Ratna sambil membelakkan kedua matanya dan aku hanya menganggukan kepalaku.

Naryo dan Gandi yang masih tertawa, langsung terdiam. Mereka berdua langsung salah tingkah melihatku yang diam sambil menatap kearah lapangan ini.

“Sepurane yo Lang. Aku mek guyon.” (Maaf ya Lang. aku hanya bercanda.) Ucap Naryo.

“Maaf Lang.” Ucap Gandi dengan nada suara yang agak takut.

“Santai aja rek. (rek = arek = bro) aku memang pengamen kok.” Ucapku sambil melihat kearah mereka bertiga bergantian.

“Tapi aku gak memaksa seperti itu kalau mengamen. Dikasih syukur, gak dikasih ya sudah.” Ucapku dengan santainya, lalu menghisap rokokku lagi.

“Iya Lang, iya. Jadi gak enak aku.” Ucap Gandi dengan nada yang sangat bersalah sekali.

“Eh, dosennya sudah datang.” Ucap Ratna dan kami melihat kearah dosen yang masuk kedalam ruangan.

“Masuk yo.” Ucapku sambil membuang puntung rokokku, lalu menepuk pundak Naryo dan Gandi bergantian.

Mereka berdua saling melihat, lalu mengikuti berjalan dibelakangku.

Kali ini aku mengikuti kuliah hampir tiga jam lamanya. Lumayan juga rasanya dihantam jadwal beruntun seperti ini, padahal baru dua mata kuliah dan itu dasar – dasarnya aja. Bagaimana kabar tingkat semester selanjutnya, yang bisa empat sampai lima mata kuliah dalam sehari.? Apa gak mumet kepala.? Belum lagi tugas – tugas besar dan praktikum nantinya.

Rupanya ini salah satu manfaat mengikuti kegiatan ospek kampus. Dalam satu hari ospek, kita bisa mengikuti materi tiga sampai empat kali di aula utama. Belum lagi tugas - tugas yang berikan secara beruntun oleh panitia, bisa mumet kepala.

Benar juga kata Pak Tomo waktu itu, kuliah ini sangat menyibukkan, belum lagi ditambah mengerjakan tugas waktu dikosan. Aku gak mungkin bisa mengamen dengan bebasnya. Padahal ini baru semester satu, semester selanjutnya pasti lebih padat lagi.

Kelihatannya aku harus mencari pekerjaan sampingan, yang tidak mengganggu jadwal kuliahku. Tapi apa ya.? kok aku belum bisa berpikir dengan jernih.? Mungkin pikiranku masih lelah karena selesai kuliah barusan. Aku mau balik kekosan dulu, setelah itu baru akan memikirkan apa yang harus aku lakukan, agar aku bisa bertahan dikota ini sampai lulus nanti.

Dan sekarang, aku berjalan kearah toko yang ada diseberang kampus teknik kita. Aku ingin membeli rokok dulu, sebelum balik kekosan.

“Lang.” Panggil Joko dari arah dalam kampus.

“Apa.?” Tanyaku sambil menoleh kearahnya.

“kate nangdi koen.?” (Mau kemana kamu.?) Tanya Joko.

“Kate muleh. Awakmu gak kuliah ta.?” (Mau pulang. Kamu gak kuliah kah.?) Tanyaku balik.

“Gak ono dosenne.” (Gak ada dosennya.) Jawab Joko dan kami berdua menyebrang jalan.

“Terus piye.?” (Terus gimana.?) Tanyaku.

“Yo muleh.” (Ya pulang.) Jawabnya singkat.

“Iyo wes, aku tak tuku rokok sek.” (Iya sudah, aku mau beli rokok dulu.) Ucapku sambil berjalan kearah Toko, lalu membeli sebungkus rokok kretek.

Setelah membeli rokok, kamipun berjalan kearah kosan kami dan melewati gang masuk pondok merah, lalu tiba – tiba.

Bugghh.

Aku menabrak seseorang yang keluar dari gang itu dan membuatku sangat terkejut sekali.

“Naskleng loe.” Ucap orang yang aku tabrak.

Orang itu adalah Bli Oka. Bli Oka terlihat sangat terkejut sekali dan dia melotot kearahku.

“Sabar Bli, sabar. Aku loh gak sengaja.” Ucapku lalu aku tersenyum kepadanya.

“Sengaja Bli. Sengaja Gilang itu.” Ucap Joko memanasi Bli Oka.

“Matamu cok.” Makiku ke Joko.

“Hahahaha.” Joko tertawa dengan senangnya.

“Sundel.” Ucap Bli Oka lagi.

“Mau kemana Bli.?” Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

“Beli rokok.” Jawab Bli Oka singkat.

“Oh gitu. Saya balik dulu ya Bli.” Pamitku ke Bli Oka.

“Kamu langsung pulang.? Ha, ha.” Tanya Bli Oka sambil mengepalkan tangan kanannya, lalu meniupnya.

“Sabar Bli, sabar.” Jawabku sambil memundurkan kedua kakiku.

“Masuk.” Ucap Bli Oka sambil menolehkan kepalanya kearah dalam gang kosan pondok merah.

“Saya mau balik Bli.” Ucapku lagi.

“Masuk.” Jawab Bli Oka sambil melotot.

“Iya, iya Bli.” Ucapku sambil melirik kearah Joko.

Joko mengangkat kedua bahunya, lalu mengangguk. Bli Oka langsung berjalan kearah toko, sementara Aku dan Joko masuk kedalam gang kosan pondok merah.

“Kate di ospek maneh ta awak dewe.?” (Mau di ospek lagi kah kita.?) Tanya Joko.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawabku sambil membuka rokok kretekku, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Setelah itu aku menyerahkan bungkusan rokokku ke Joko.

“Dinikmati ajalah.” Jawab Joko dengan senyum yang sangat menggathelkan sekali.

Dan ketika sampai didepan kosan pondok merah, terdengar suara canda tawa dari dalam kosan. Aku dan Joko pun langsung saling melihat, setelah itu mengangguk bersama.

“Halo Om.” Sapaku kepada mereka semua, yang ada didalam ruang tengah sambil tersenyum.

“SEMONGKO.” Ucap Joko dengan lantangnya.

“Cok. Ngageti ae.” (Cok, ngagetin aja.) Ucap Mas Wagiyo sambil melihat kearah kami.

“angel wes, angel ngene iki. Angel temen tuturanmu, angel temen tuturanmu.” (Susah sudah, susah kalau begini. Susah benar nasehati kamu, susah benar nasehati kamu.) Ucap Mas Adam dengan mendayu – dayu, sedangkan penghuni yang lain, hanya menggelengkan kepala mereka pelan.

“Mlebuo.” (Masuklah.) Ucap Mas Pandu kepada kami berdua.

Kami berdua masuk kedalam ruang tengah lalu menyalami para senior kami ini satu persatu.

“Tumben koen dulen rene.?” (Tumben kamu main kesini.?) Tanya Mas Pandu, kepadaku.

“Dia mau ajak saya duel Mas.” Tiba – tiba Bli Oka muncul dari depan pintu kosan, lalu berjalan kearah kami.

“Tenanan ta.?” (Benerankah.?) Tanya Mas Pandu sambil melihat kearahku.

Akupun langsung terkejut, tapi aku buat sesantai mungkin dihadapan para penguhuni pondok merah ini.

“Duel gini loh.” Sahut Joko dengan jemari tangan kanannya membentuk lingkaran, lalu digoyangkan naik dan turun.

“Sundel.” Gerutu Bli Oka.

“Hahahaha.” Semua penghuni kosan ini langsung tertawa dengan senangnya.

“Anak sumber banyu mau dilawan, otaknya mereka ini sudah miring.” Ucap Mas Pandu sambil melihat kami berdua bergantian, lalu melihat kearah Bli Oka.

“Aku memang rencananya bercanda Mas, tapi malah keduluan sama Ki Joko ini.” Ucap Bli Oka.

“Hahaha. Percuma Ka, percuma.” Ucap Mas Pandu lalu berdiri.

“Kemana Mas.?” Tanya Mas Adam.

“Duel.” Ucap Mas Pandu sambil mengikuti gerakan tangan Joko tadi.

“Cok. hahahaha.” Semua penghuni kosan pun langsung tertawa.

“Ayo Lang.” Ucap Mas pandu kepadaku.

“Emoh ah. lapo duel ambe sampean.” (Enggah ah. ngapain saya duel sama anda.) Tolakku.

“Matamu. Aku itu ngajak kamu kekamar baruku.” Ucap Mas Pandu sambil melotot.

“Terus kate lapo Mas.?” (Terus mau apa Mas.?) Tanya Joko.

“Mancal lambemu, ben gak kakean cangkem.” (Nginjak mulutmu, biar gak banyak mulut.) Ucap Mas Pandu dengan entengnya.

“Cok.” Gerutu Joko pelan.

“Hahahaha.” Penghuni kosan pondok merah, kembali tertawa dengan senangnya.

Mas Pandu lalu berjalan kearah tangga. Aku dan Joko kembali saling melihat, lalu berjalan dibelakang Mas Pandu.

“Kamar baru Mas.?” Tanyaku ke Mas Pandu, sambil mengikuti Mas Pandu yang naik kelantai dua.

“Iya lah. Enak kalau posisinya diatas.” Jawab Mas Pandu.

“Jek sanggup ta Mas.? Nde ndukur iku kudu jos staminane loh.” (Masih sanggup kah Mas.? diatas itu staminanya harus jos loh.) Celetuk Joko.

“Cok, maksudmu apa Jok.?” Ucap Mas Pandu sambil menoleh kearah Joko dibelakangku.

“Kamar nde ndukur iku kudu munggah mudun ondo Mas. sampean gak kesel ta.?” (Kamar diatas itukan harus naik turun tangga Mas. sampean gak kecapean.?) Ucap Joko lalu tersenyum.

“Staminaku iku jek kuat loh. kate dites ta.? Kene tak pancal raimu teko ndukor kene.” (Staminaku ini masih kuat loh. mau dites kah.? Sini kuinjak mukamu dari atas sini.) Ucap Mas Pandu sambil melotot.

“Injak Mas. Injak. Tuman Joko itu.” Ucapku yang berdiri diantara mereka berdua, lalu aku membuang puntung rokokku. (Tuman = kebiasaan)

“Lambemu Lang, lambemu.” (mulurmu Lang, mulutmu.) Ucap Joko kepadaku.

“Assuu.” Maki Mas Pandu, lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah salah satu kamar yang ada dilantai dua ini.

“Yang dua kamarnya siapa Mas.?” Tanyaku, ketika Mas Pandu membuka pintu kamarnya.

“Arief sama Adam.” Jawab Mas Pandu lalu masuk kedalam kamarnya.

“Ooo.” Ucapku singkat lalu aku dan Joko berdiri didepan pintu kamar Mas Pandu.

“Masuk cok.” Ucap Mas Pandu sambil duduk didekat kasurnya.

“Iya Mas, permisi.” Ucapku dan joko, lalu kami berdua masuk kedalam kamar Mas Pandu.

Pandanganku langsung tertuju pada sebuah foto yang digeletakkan diatas meja dan diatas album foto. Kelihatannya foto itu sengaja dikeluarkan dari album foto, tapi belum dimasukkan lagi.

Akupun berjalan kedekat meja, lalu duduk lesahan bersama Joko. Meja yang tingginya dibawah lututku ini, semakin memperlihatkan gambar didalam foto itu dengan jelasnya.

Foto yang bergambar dua orang wanita cantik dan sedang tertawa bahagia itu, langsung membuatku terkejut. Salah satu wanita itu sangat aku kenal sekali. Salah satu wanita itu adalah Intan.

Tapi entar dulu, Intan atau Gendhis ya.? Wajah mereka kan kembar, jadi kira – kira ini foto Gendhis atau Intan.? Dan siapa wanita yang ada dibelah Gendhis atau Intan ini.? kok aku seperti mengenal wanita itu.? Tatapan mata wanita yang ada difoto itu, seperti sangat tidak asing bagiku dan dia seolah ada disekitarku. Tapi kenapa aku kok gak mengenalnya ya.?

“Cantik juga Mba Intan dan Mba Gendhis ini.” Ucap Joko yang ada disebelahku, sambil mengambil foto itu.

“Ha.!” Ucapku dan Mas Pandu yang terkejut mendengar ucapan Joko ini.



Intan dan Gendhis

Wanita didalam foto itu Intan dan Gendhis.? Gak salah nih.? Bukannya salah satu aja yang Intan atau Gendhis.?

“Kok kamu tau Jok.?” Tanya Mas Pandu dengan tatapan tajamnya.

“Tau dong Mas. Ini kan Mba Gendhis, terus yang ini Mba Intan.” Ucap Joko sambil menunjuk gambar Gendhis, ketika menyebut nama Gendhis. Lalu Joko menunjuk gambar wanita yang tidak aku kenal itu, ketika menyebut nama Intan.

“Cok, anak Sumber Banyu ini memang gila.” Ucap Mas Pandu sambil menggelengkan kepala dan aku masih terpaku dengan foto yang dipegang Joko.

“Emang kenapa sih Mas.?” Tanya Joko dengan herannya.

“Kamu itu gila atau atau pura – pura gila.? Kalau kamu kenal Gendhis itu wajar dan aku tidak akan heran, karena kamu setiap hari lihat dikampus. Tapi kalau Intan.? Dia kan sudah lama meninggal. Bagaimana kamu tau itu Intan, sedangkan dia bukan dari desa Sumber Banyu atau kota kita.? Intan itu tinggal dikota yang jauh dari kota ini.”

“Coba tolong jelaskan sama aku, bagaimana kalian tau tentang Intan, padahal dia sudah gak ada jauh sebelum kedatangan kalian.? Atau jangan – jangan, kalian ini beneran bisa lihat Intan dikosan.?” Ucap Mas Pandu yang makin lama, makin memperlambat nada bicaranya. Mas Pandu mengatakan itu, sambil melihatku dan Joko bergantian. Mungkin Mas Pandu mengira, kalau aku juga mengetahui wajah Intan yang asli. Padahal kenyataanya, arrgghh.

Cok, jadi beneran gambar wanita yang tidak aku kenal itu adalah Intan.? Gak bohong nih.? Kok bisa.? Tapi kenapa Intan selama ini, menampakkan wujudnya kepadaku sebagai sosok seorang Gendhis.? Dan kenapa dia menampakan wujud aslinya hanya kepada Joko.? Ada apa ini.? kenapa bisa pandanganku dikelabui seperti ini.? bajingaan.

“Itu anu Mas, anu.” Ucap Joko yang terdengar salah tingkah.

“Jiancok. Kalian memang gila.” Maki Mas Pandu sambil terus menggelengkan kepalanya.

Dan tiba – tiba.

“Hup.” Aku menahan nafasku, karena dadaku terasa sangat sakit sekali. Aku sangat kesulitan bernafas, karena dadaku seperti diiris – iris dan sangat perih sekali.

“Kenapa Lang.?” Tanya Mas Pandu kepadaku.

“Koen gak po – po ta cok.?” (Kamu Gak apa – apa kah cok.?) tanya Joko sambil meletakkan fotonya, lalu memegang pundakku.

Aku menundukkan wajahku, sambil terus memegangi dada bagian bawah dekat perutku.

“Hiuffttt.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, sambil mengelus bagian atas perut bagian kiriku, lalu mengurutnya kebagian tengah dengan menggunakan tangan kanan.

“huuuuu.” Aku mengeluarkan nafas panjangku, sambil menekan agak dalam bagian atas perutku dengan kedua mata yang terpejam.

Kenapa dadaku sakit seperti ini ya.? Apa karena aku baru mengetahui tentang kebenaran semua ini.? Kenapa Intan melakukannya kepadaku.? Kenapa dia mengelabui pandanganku.? Apa tujuannya.? Apa dia sengaja melakukannya untuk menjodohkan aku dengan Gendhis.? Kalau memang aku mau dijodohkan dengan Gendhis, kenapa harus seperti itu caranya.?

Setiap hari dia selalu menampakan wujudnya sebagai seorang Gendhis. Dan bukan hanya penampakannya saja, tapi segala sesuatu yang ada di diri Gendhis, dilakukannya kepadaku. Tatapannya, senyumnya, manjanya dan segala tingkah laku Gendhis, semua ditunjukkan kepadaku. Dia seperti menginginkan aku mengenal sosok Gendhis lewat dirinya.? Gila gak.?

Kenapa, kenapa, dan kenapa Intan melakukan ini.? Atau jangan – jangan semua ini ada hubungannya dengan kematiannya.? Astagaa. Beneran ini ada hubungannya dengan kematiannya.?

“Hupppp, uhhhh.” Duh, kenapa sakit didada ini makin terasa ya.? arrgghh.

“Lang. Kok raimu pucet.?” (Lang, wajahmu kok pucat.?) Ucap Mas pandu yang mengejutkanku dari lamunan.

“Gak apa – apa Mas. huuu..” Ucapku sambil menggoyangkan kepalaku kekanan dan kekiri.

“Lang.” Panggil Joko.

“Aku gak apa – apa.” Jawabku sambil melihat kearah Joko, lalu melihat kearah Mas Pandu lagi.

Hiuufftt, huuuuu.

Aku menarik nafas panjangku, dan perlahan sakit didadaku mulai mereda.

“Apa penyebab kematian Intan Mas.?” Tanyaku tanpa basa – basi dan Mas Pandu melihatku sebentar, lalu menunduk dan mengambil rokoknya.

“Kamu pasti taulah penyebabnya. Cerita itu sudah melegenda dikampus teknik kita.” Jawab Mas Pandu lalu membakar rokoknya.

Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu mengambil rokokku dan membakarnya. Aku ingin menenangkan hati dan pikiranku, lewat isapan rokok kretek ini.

“Apa sampean percaya dengan cerita – cerita itu.?” Tanyaku setelah aku menghisap rokokku, lalu aku memutarkan batang rokokku disela – sela jariku.

“Lang, pikiranmu gak dipengaruhi sama wanita itu kan.?” Ucap Joko dan aku langsung melihat kearah Joko.

“Enggak, pikiranku sama sekali gak dipengaruhi oleh Intan. Aku sangat sadar kali ini dan aku sangat yakin, Intan mengakhiri hidupnya tidak dalam keadaan hamil. Makanya aku sekarang mau tanya ke Mas Pandu, karena Mas Pandu salah satu orang terdekat Intan waktu itu.” Jawabku sambil melihat kearah Joko, lalu melihat kearah Mas Pandu.

“Apa yang Intan bicarakan tentang aku.?” Tanya Mas Pandu.

“Kita gak usah bahas masalah itu Mas. Yang perlu kita bahas sekarang, hanya tentang kematian Intan.” Jawabku.

“Apa Mas percaya tentang kematian Intan yang seperti itu.?” Tanyaku lagi.

“Gak tau, karena aku tidak melihat jasad Intan waktu terakhir kalinya.” Jawab Mas Pandu.

“Intan sahabat sampean Mas, gak mungkin sampean gak tau permasalahannya, sebelum Intan mengakhiri hidupnya.” Ucapku yang terus mengejar jawaban dari Mas Pandu.

“Kenapa kamu tanya masalah itu sama aku.? Harusnya kamu tanya sama Intan, karena kamu sudah berkomunikasi dengannya.” Jawab Mas Pandu, lalu dia menghisap rokokknya.

“Saya sebenarnya gak pengen tanya masalah ini sama sampean Mas. Tapi sampean sendiri yang memancing saya, untuk bertanya masalah ini sama sampean.” Ucapku dengan sangat tegas dan Mas Pandu langsung mengerutkan kedua alis matanya.

“Untuk apa sampean mengajak saya kekamar ini, dan kenapa sampean sengaja mengeluarkan foto ini dari albumnya.?” Tanyaku.

“Lang.” Tegur Joko kepadaku dan aku tidak menghiraukannya. Aku sudah tidak perduli dengan keadaan ini, karena Mas Pandu sendiri yang mengajakku kekamarnya. Dan kalau sudah seperti ini, aku harus mendapatkan jawaban dari apa yang aku ingin kan.

“Aku gak punya tujuan apa – apa Lang. Aku hanya ingin memastikan, kalau kamu benar – benar telah melihat wujud Intan. Itu saja.” Jawab Mas Pandu.

“Iya, saya memang melihat wujud Intan. Tapi bukan sebagai wujud aslinya, melainkan wujud seorang Gendhis. Itulah alasan kenapa saya terus mengejar jawaban dari sampean saat ini.” Jawabku dan Mas Pandu terlihat terkejut mendengar jawabanku.

“Cok. beneran.?” Tanya Joko dan aku hanya mengangguk sambil melihat kearah Joko.

“Bajingan. Makanya aku heran, kenapa kamu tanya Gendhis punya kembaran atau gak, dirumah Bu Har waktu itu.” Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

Akupun kembali melihat kearah Mas Pandu. Aku menatapnya dengan tatapan yang sangat berharap sekali, sebuah jawaban yang memuaskan darinya.

“Mungkin Intan ingin menebus semua kesalahannya kepada Gendhis.” Jawab Mas Pandu, yang akhirnya mulai membuka sedikit jawaban yang aku harapkan.

“Maksudnya Mas.?” Tanyaku yang terkejut mendengar jawaban Mas pandu.

“Ketika persahabatan dua wanita sudah dicampuri dengan satu percintaan, semuanya akan luluh lantak seketika itu juga.” Jawab Mas Pandu pelan.

“Jadi.” Ucapku terpotong.

“Ya. Gendhis mencintai seorang laki – laki bernama Hendra, tapi Hendra sudah mencintai Intan terlebih dahulu.”

“Walaupun Intan tidak membalas cintanya Hendra, Gendhis sudah terlalu benci dengan keadaan yang melandanya waktu itu.” Ucap Mas Pandu dengan suara yang bergetar.

“Tapi kenapa Intan sampai mengakhiri hidupnya Mas.?” tanyaku lagi.

“Hati Intan itu sangat sensitive sekali Lang. Apalagi ditambah Gendhis cuti kuliah pada waktu itu. Padahal, Gendhis cuti bukan karena masalah percintaan yang membangsatkan itu. Dia mempunyai permasalahan keluarga yang sangat – sangat luar biasa mengganggunya.” Ucap Mas Pandu.

“Terus Intan mengakhiri hidupnya dengan cara tragis, karena menurut sepengetahuannya, Gendhis cuti karena orang yang dicintainya, mencintai dirinya. begitu?” Tanyaku.

“Mereka itu sama – sama memiliki hati yang sensitive dan mereka sama – sama memiliki masalah yang sangat besar. Broken home.”

“Persahabatan mereka, didasari karena mengalami suatu permasalahan yang sama. Kurangnya kasih sayang dikeluarga.” Ucap Mas Pandu yang langsung membuatku tertunduk.

“Permasalahan semakin memuncak, ketika kedua orang tua dari Intan dan Gendhis sama – sama mau bercerai. Mereka yang selalu mendengar perkelahian kedua orangtuanya mulai dari kecil, harus merasakan kenyataan pahit ketika sudah dewasa seperti itu. Dan pada saat genting – gentingnya seperti itu, mereka tidak bisa saling mencurahkan isi hati. Perasaan kecewa tentang cinta, membuat mereka semakin terpuruk dengan keadaan.” Ucap Mas Pandu.

“Intan yang merasa seorang diri menghadapi masalah tersebut, mengakhiri hidupnya. Sementara Hendra yang mengetahui cintanya pergi, juga ikut mengakhiri hidupnya. Hendra ditemukan tewas didalam jurang, bersama motornya di kota pariwisata sana.” Ucap Mas Pandu sambil menatapku.

“Mungkin ini alasan Intan menampakkan wujudnya kepadamu sebagai Gendhis, sebagai ‘penebus dosa’ masa lalunya.” Ucap Mas Pandu lagi dan aku makin terkejut mendengar ucapan Mas Pandu ini.

“Kamu tau kan siapa Hendra itu.?” Tanya Mas Pandu kepadaku.

“Hendra Sanjaya, pemuda dari desaku. Desa Banyu Bening.” Ucapku dan Mas Pandu langsung mengagukkan kepalanya.

“Cok.” Terdengar makian pelan Joko.

Aku tau kisah itu, kisah seorang pemuda dari desaku yang katanya bunuh diri. Tapi kabar yang beredar didesaku berbeda dengan penjelasan Mas Pandu. Mas Hendra mengakhiri hidupnya karena tidak kuat dengan tekanan kedua orang tuanya, yang memintanya untuk segera lulus. Jadi kabar mana yang benar ini.? Mas Hendra meninggal karena tekanan orang tua, atau karena kekasihnya yang bunuh diri.? Tapi yang jelas, cara meninggalnya sama, bunuh diri bersama motornya kedalam jurang.

Gila, ini gila banget. Semua kabar simpang siur, termasuk Intan yang katanya hamil duluan. Bajingan.

Dan yang jadi pertanyaanku terbesarku, kenapa Intan memilihku untuk dijodohkan dengan Gendhis.? Apa hanya karena aku dan Mas Hendra sama – sama dari Desa Banyu Bening.? Arrghhh, Makin gila aja pikiranku ini.

“Aku sebenarnya gak percaya kalau Intan mengakhiri hidupnya, karena dia sedang hamil. Seperti ada yang ditutupi dalam kasus ini, dan prosesnya begitu cepat.” Jawab Mas Pandu.

“Kenapa sampean gak mencari tau Mas.? Hal itu pasti mudah bagi sampean yang hidup dilingkaran keluarga besar Mbah Jati. Intan sahabat sampean loh.” Ucapku.

“Gak semua permasalahanku, harus melibatkan keluarga besarku Lang. Lagian tidak ada bukti indikasi lain, selain bunuh diri.” Jawab Mas Pandu. Tapi dari nada ucapannya, seperti ada sesuatu yang mengganjal.

“Tapi sampean beneran yakin kan kalau Intan bunuh diri bukan karena lagi hamil.?” Tanyaku dan Mas Pandu hanya melirikku saja.

“Baiklah, tatapan sampean cukup menjelaskan semuanya.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Apa yang akan kamu lakukan.?” Tanya Mas Pandu.

“Mencari kejelasan tentang semua ini, sampai membuat Intan tenang dan kembali kealamnya.” Jawabku.

“Gendeng koen cok.” (Gila kamu cok.) Sahut Joko yang dari tadi diam saja.

“Aku terikat janji dan aku harus menunaikan janji itu.” Jawabku sambil melirik Joko.

“Asuu.” Maki Joko.

“Aku gak akan mengalangi jalanmu Lang. Dan kalau kamu sudah menemukan sedikit jalan, aku harap kamu memberitahu aku.” Ucap Mas Pandu.

“Kita lihat nanti Mas. Karena yang berjanji membantu Intan, itu hanya aku sendiri.” Jawabku.

“Oke, aku menyerahkan semua keputusannya kepadamu. Dan aku hanya bisa memberimu sedikit petunjuk, Dani. Kelihatannya dia bisa menjadi awal langkahmu untuk memulai semua ini. Maaf, hanya itu yang aku tau.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung menganggukan kepalaku.

“Terimakasih untuk pembahasan yang sangat luar biasa ini mas, saya pamit dulu.” Ucapku sambil mematikan rokokku diasbak.

“Iya, hati – hati ya.” Ucap Mas Pandu.

Aku dan Jokopun langsung pamit dan meninggalkan pondok merah.

“Awakmu tenanan kate marekno masalah iku ta.?” (Kamu beneran mau menyelesaikan masalah itu kah.?) Tanya Joko ketika kami berjalan kearah kosan kami.

“Hem.” Jawabku singkat.

“Oke, aku gak berhak menghalangi kamu. Tapi aku harap kamu ingat pesan Pak Tomo waktu itu. “Lakukanlah, sesuatu yang bisa kamu lakukan. Tapi kalau itu diluar batas kemampuanmu, tinggalkan. Karena gak semua permasalahan itu harus kamu yang selesaikan.”” Ucap Joko yang diakhiri dengan pesan Pak Tomo kepada waktu itu.

“Hem.” Jawabku sambil menganggukan kepalaku.

“Tapi apapun keputusan yang kamu ambil, aku akan tetap berdiri disebelahmu. Walapun kamu tidak memintanya, atau kamu malah menyuruhku pergi, aku akan tetap mengiringi langkahmu.” Ucap Joko sambil menepuk pundakku pelan.

Aku menunduk sebentar, lalu melihat kearah Joko.

“Kita berdua melangkah kekota ini bersama – sama cok, dan kita harus balik kedesa bersama – sama juga. Entah bagaimanapun kondisi kita esok hari, kita berdua harus bersama – sama menunjukkan senyum kemenangan kita, dihadapan orang – orang yang meremehkan kita. Itukan tujuan awal kita datang kesini.?” Ucap Joko dengan semangatnya, sambil meremas pundakku.

“Tapi kita berdua harus membawa sapi dua ekor Jok. Cerita awal kedatanganmu dikota pendidikan ini, pasti sudah menyebar diseluruh desa kita.” Ucapku untuk mengalihkan pembahasan tentang masalah Intan tadi, lalu aku tersenyum kepada Joko.

“Gak terimo luru aku cok, tapi rung puluh sapi tak tukuno. Ben lambene uwong – uwong iku dipancali karo sapi seng awak dewe gowo.” (Gak terima dua aku cok, tapi dua puluh sapi aku beli. Biar mulutnya orang – orang itu dinjak sama sapi yang kita bawa.) Ucap Joko lalu tersenyum dengan sinisnya, sambil menurunkan tangannya dari pundakku.

“Semongko.” Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku kearah Joko.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Teriak kami berdua dengan semangatnya.

“HAHAHAHAHA.” Lalu kami berdua tertawa dengan kerasnya, sambil menatap kearah langit.

Kami seolah menantang seluruh semesta, karena begitu banyak yang meremehkan kami berdua. Hari ini kami tertawa menghadap kearah langit, tapi esok hari, kami akan tertawa dengan kepala yang menghadap lurus kedepan. Bukan karena sombong, tapi kami hanya ingin menunjukkan, kalau kami bisa menertawakan keadaan yang meremehkan orang seperti kami ini.

“Sekarang kamu diam dan masuk kedalam kamarmu. Jangan melakukan apapun, ketika kamu mendengar sesuatu dari arah kamarku. Tidur dan tutup kepalamu dengan bantal. Paham gak.?” Ucapku berbisik kepada Joko, ketika kami berdua sampai didepan pagar kosan.

“Maksudmu apa.?” Tanya Joko sambil melotot dengan suara agak keras.

“Assuu, kamu aku bisikkin, malah jawabnya teriak.” Ucapku sambil membekap mulutnya dengan tangan kananku.

“Lambemu iki gak iso mingkem dilut ae ta.?” (Mulutmu ini gak bisa diam sebentar aja kah.?) Ucapku sambil mencengkram bibirnya yang agak maju ini.

“Bajingan.” Ucap Joko sambil melepaskan tanganku yang ada dimulutnya.

“Koen kiro lambeku iki urap – urapan opo.? Assuu’ig.” (Kamu kira mulutku ini sayur urap apa.?) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Gak usah kakekan cengkem, menengo ae cok.” (Gak usah banyak mulut, diam aja cok.) Ucapku kepada Joko, lalu aku membuka pintu pagarku.

“Kate lapo seh koen iku.?” (mau ngapain sih kamu itu.?) Tanya Joko dan aku langsung menoleh kearahnya.

“Iyo, iyo. Aku meneng cok.” (Iya, iya. aku diam cok.) Gerutu Joko

Aku lalu melihat kearah depan lagi dan berjalan kearah pintu kosan, dengan hati yang sedikit berdebar. Aku sekarang ingin menuntaskan semuanya dengan Intan. Aku harus tau semua tentang masa lalu Intan dan apa maksudnya dengan semua ini. Cukup sudah aku memendam semua ini selama beberapa minggu dikosan ini. Apalagi hari ini aku mendapatkan tambahan informasi tentang Intan dikosan Mas Pandu tadi. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, hari ini dia harus menjelaskan semuanya kepadaku, atau aku akan pergi dari kosan hari ini juga.

“Koen kate ngomong ambe Intan yo.?” (Kamu mau ngomong sama Intan ya.?) Ucap Joko bersuara lagi, ketika aku membuka kunci pintu kosan.

Cok, gimana caranya membungkam mulut Joko sebentar aja ya.? Mau gila aku rasanya. Susah banget sih disuruh diam aja manusia satu ini.

“hiufftt, huuuu.” Aku menarik nafas dalam – dalam, lalu menoleh kearah Joko.

“Iyo, iyo. Aku meneng cok.” (Iya, iya. aku diam cok.) Ucap Joko dan aku langsung membuka pintu kosan.

Aku masuk kedalam kosan dan Joko mengikuti aku dibelakangku.

Dan ketika aku akan membuka pintu kamarku,

“Kate ngomongi opo seh.?” (Mau ngomongin apasih.?) Tanya Joko lagi dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan, sambil menunduk. Beberapa saat kemudian, aku menoleh kearah Joko yang berdiri didepan pintu kamarnya.

“Iyo, iyo. Aku meneng cok.” (Iya, iya. aku diam cok.) Ucap Joko, lalu membuka pintu kamarnya dan masuk kedalam.

Dan sebelum pintu kamarnya ditutup, Joko sempat memunculkan wajahnya dan ingin mengucapkan sesuatu kepadaku. Aku pun langsung menatapnya dengan tajam.

“Aku gak ngomong opo – opo cok, aku meneng ae iki loh.” (Aku gak ngomong apa – apa cok, aku diam aja ini loh.) Ucap Joko lalu menutup pintu kamarnya.

Aku lalu menarik nafasku dalam – dalam lagi, setelah itu aku mengeluarkannya perlahan. Lalu setelah menenangkan hatiku sejenak, aku membuka pintu kamarku.

Tampak Intan duduk dikursiku dengan kepala yang menunduk, sambil merapikan rambutnya dengan jari – jarinya. Walaupun dia menunduk, tapi terlihat sebagian wajahnya yang masih menampakkan wujud Gendhis.

Gila, masih saja dia menampakkan wujudnya sebagai seorang Gendhis. Apa dia tidak tau atau tidak merasa sedikitpun, kalau kami sudah membahas tentangnya dikosan Mas Pandu tadi.?

Oke, oke. Kalau dia terus main gila, aku juga bisa main gila dan mungkin lebih gila dari pada permainan yang dimainkannya.

Aku lalu dengan santainya berjalan kearah lemariku, tanpa menyapanya sama sekali. Setelah itu aku menurunkan tas punggung yang aku kenakan dan membukanya resletingnya. Aku buka lemari bajuku dan aku mengambil sebagian pakaianku, lalu aku masukkan kedalam tas punggungku ini.

“Ma, ma, mau kemana kamu.?” Tanya Intan dengan suara yang bergetar.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, justru aku menekan pakaianku yang ada didalam tas agar lebih padat. Setelah itu aku mengambil lagi sisa pakaianku dilemari, lalu aku masukan lagi kedalam tas.

“Ini gak lucu Lang, ini gak lucu.” Ucap Intan dan terdengar nada suaranya mulai meninggi.

Aku tetap tidak menghiraukan ucapannya, dan aku menutup resleting tas punggungku yang sudah sesak dengan pakaianku ini. Aku lalu berdiri dan merapikan semua buku dan dokumenku diatas meja, didepan Intan yang masih duduk dengan wajah yang emosi.

Intan lalu berdiri dan kursinya langsung terdorong kebelakang dan menghantam dinding dengan keras.

BRAKKKKK.

“GILANG.” Ucap Intan dengan kerasnya yang berdiri didekatku ini.

“Percuma kamu bicara, percuma kamu marah dan percuma kamu mencegahku. Aku akan tetap pergi dari kosan ini.” Ucapku sambil menatap kearah matanya yang memerah.

“Silahkan kamu pergi dari kosan ini dan pergilah yang jauh. Jangan pernah kembali lagi.” Ucap Intan dengan sangat emosinya, dengan diiringi nafas yang cepat dan memburu.

“Sabar le, sabar nduk. Gak pareng muring – muring koyo ngono iku.” (Sabar anak laki – laki, sabar anak perempuan. Gak baik marah – marah seperti begitu.) Ucap Joko dari luar kamarku.

“DIAM.” Ucapku dan Intan sambil melihat kearah pintu kamarku yang masih tertutup.

“Assuu’ig.” Sahut Joko lalu terdengar dia masuk kedalam kamarnya dan menutup pintunya.

“PERGI, PERGI KAMU. DASAR LAKI - LAKI PENGECUT.” Ucap Intan sambil menunjuk kearah pintu kamarku

“Yang pengecut itu kamu, bukan aku. Kamu yang bersembunyi dengan wujud wanita lain, dan tidak berani menampakkan wujud aslimu.” Ucapku dengan emosinya, lalu aku meraih tas punggungku dan mengenakannya. Setelah itu aku meraih dokumenku dimeja, lalu berjalan kearah pintu kamarku.

Aku memang sengaja melakukan ini, agar Intan tidak main – main lagi denganku. Cukup sudah dia menutupi semuanya dari aku, cukup. Dan aku yakin, dia pasti akan menyesali ucapannya barusan.

Dan ketika aku sudah memegang gagang pintu kamarku,

“Hiks, hiks, hiks,” Terdengar tangis dari arah belakangku yang sangat menyayat hatiku.

Tiba – tiba dadaku terasa sakit mendengar tangisan itu dan kembali aku merasa sesak yang sangat luar biasa.

Buhhgg.

Dokumen yang aku pegang jatuh dan aku langsung memegang dadaku bagian kiri, lalu menekannya agak kuat.

“Hup.” Ucapku sambil menahan nafas.

Gila, kenapa aku sangat sulit bernafas.? Apa karena mendengar tangisan Intan.? Padahal kan aku hanya ingin memberi pelajaran saja kepadanya, tapi kenapa justru aku yang kesakitan seperti ini.?

“Hu, hu, hu, huupp.” Aku menarik nafasku pelan – pelan, untuk mengurangi sakit yang sangat luar biasa ini.

Sakit banget ketika aku menarik nafas seperti ini, tapi aku harus memaksanya bernafas. Kalau tidak, jantungku akan berhenti berdetak dan pasti aku akan mati disini.

“Hu, hu, hu, hu, huuuu.” Aku mengeluarkan sedikit demi sedikit nafasku, sampai terkeluar semua.

Cok. sakit, perih dan sesak yang sangat terasa didadaku.

“Hu, hu, hu, huupp.” Kembali aku menarik nafasku pelan dan mengeluarkannya perlahan, sampai berulang – ulang dan rasa sakit ini berkurang.

“Huuuuuuuu.” Akhirnya nafas panjangku bisa terkeluar, tanpa ada rasa sakit yang menyertainya.

“Kenapa kamu masih berdiri disitu.? Kenapa.? Hiks, hiks, hiks hiks.” Ucap Intan lalu terdengar lagi tangisnya yang sangat menyedihkan itu.

Aku lalu membalikkan tubuhku pelan dan melihat kearahnya yang menunduk, sambil menutupi wajahnya.

“Ucapkan sekali lagi, maka aku akan benar – benar pergi.” Ucapku sambil terus menatap kearahnya.

Intan lalu mengangkat wajahnya dan melihat kearahku.



Intan
Cok. akhirnya dia menampakkan wujudnya yang asli kepadaku, dengan tatapan yang sayu dan deraian air matanya.

Cantik, manis dan aku sangat suka dengan wajah aslinya seperti ini. Bukannya aku mau membandingkan dengan wujudnya sebagai Gendhis selama ini. Tapi jujur, aku lebih suka kalau dia menampakkan wajah aslinya seperti ini.

Aku terus menatap mata Intan yang sangat sayu itu. Dan anehnya, walaupun wujudnya telah berubah, tapi tatapannya tetap sama. Entah memang seperti ini tatapannya, atau Gendhis yang menyerupai tatapan Intan selama ini.? aku gak tau. Yang jelas tatapan ini sangat menenangkan jiwaku.

“Pergi, pergilah.” Ucap Intan dengan deraian air mata yang terus keluar dari matanya.

Aku pun terdiam beberapa saat, sambil terus menatap kearah matanya. Perlahan aku menurunkan tasku, lalu aku berjalan mendekatinya.

“Jangan dekati aku, jangan. Lebih baik kamu pergi sekarang.” Ucap Intan dengan suara yang bergetar dan nada yang sangat menyedihkan. Deraian air matanyapun, tidak henti keluar dari kelopak matanya.

Aku tidak menuruti kemauannya dan aku tetap berjalan mendekatinya. Aku berhenti tepat dihadapannya, sambil terus menatap kearah matanya. Perlahan dia menunduk, sambil terus menangis.

“Hikis, hiks, hiks, hiks.” Ucap Intan dan aku langsung memeluk tubuhnya dengan sangat erat.

“Lepas, lepas, lepaskan aku. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Intan tanpa menggerakkan tubuhnya, atau meronta dipelukanku. Diapun tidak membalas pelukan ini dan dia hanya berdiri sambil terus menangis.

Aku mengelus rambutnya yang panjang, dengan sangat pelan dan sangat lembutnya.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tubuhnya yang dingin dipelukan ini, terus bergetar karena tangisnya yang tidak juga berhenti.

“Maaf.” Ucapku singkat, sambil terus membelai rambut belakangnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangisnya mulai pelan terdengar dan aku terus menenangkannya, dengan belaianku ini.

Cukup lama aku memeluk tubuhnya, sampai tangisnya benar – benar mereda. Dan ketika tangisnya benar – benar mereda dan tubuhnya sudah tidak bergetar lagi, perlahan aku merasa dia mengangkat kedua tangannya, lalu membalas pelukanku yang erat ini.

Kedua tangannya yang baru membalas pelukanku ini, membuat dada kami semakin merapat dan mengalirkan getaran – getaran yang sangat luar biasa. Tubuhku dan ragaku pun, serasa melayang terbang tinggi keangkasa.

Gila, kenapa tiba – tiba tubuhku seperti melayang dan aku sangat menikmati pelukan Intan ini ya.? Kenapa aku merasa seperti memeluk tubuh Gendhis, ketika didepan kosannya waktu itu dan ketika didepan gedung rektorat.? Ada apa ini.? Kenapa aku merasakan perasaan yang sangat luar biasa dan hatiku kembali berbunga – bunga.? Apa memang benar ini pelukan Intan, atau dia merubah wujudnya lagi seperti Gendhis.? Atau jangan – jangan, ketika berpelukan dengan Gendhis waktu itu, tubuhnya dikuasai Intan.? Bajingaann.

Apa memang perasaan ini hadir dari dalam hatiku, atau akunya saja yang mudah jatuh cinta dengan wanita yang ada didekatku.? Tapi kelihatannya perasaan ini memang keluar dari dalam hatiku yang terdalam. Ini bukan tentang aku yang mudah takluk dengan yang namanya wanita, tapi aku benar – benar mencintai mahluk yang berbeda alam ini. Aku sangat mencintainya, aku sangat ,encintainya, aku sangat mencintainya, bukan sebagai pelarian karena Gendhis telah berdua dengan Dani.

Intan yang sebelumnya menampakkan wujudnya sebagai Gendhis, mungkin menuntunku agar aku menjalin hubungan dengan Gendhis.

Tapi dia salah. Walaupun wujud dan tingkahnya bisa menyerupai Gendhis, tapi tidak dengan rasa pelukannya dan tatapannya. Mungkin kemarin aku tidak bisa membedakan mana yang Intan atau mana yang Gendhis. Tapi sekarang, pelukan ini cukup menjelaskan. Intan sangat mencintaiku dan dia rela mengorbankan apapun untuk menebus kesalahannya kepada Gendhis.

“Uhuk, uhuk, uhuk, asyyuu.” Ucap seseorang yang berdiri didepan pintu kamarku, yang baru dibukanya.

Aku dan Intan langsung melihat kearah pintu kamarku, tanpa melepaskan pelukan erat kami ini.

“Nggatelli.” Ucap Joko lalu membalikan tubuhnya dan menutup pintu kamarku pelan.





#Cuukkk. Aku mencintai wanita yang berbeda alam ini cok. Aku sekarang benar – benar menemukan cinta yang selama ini hilang, dari lubuk hatiku yang terdalam cok. Terus sekarang aku harus bagaimana.? Kalau aku mencari tentang kebenaran kematian Intan, pasti setelah itu Intan akan pergi selamanya dari aku. Dan itu dapat dipastikan, aku akan kehilangan cinta sejatiku. Gila.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Selamat siang Om dan Tante.

Updet dipenghujung tahun yang sangat luar biasa ini.
Semoga ditahun depan nanti, bumi kita ini terbebas oleh musibah yang ganas ini.
Selamat menikmati dan semoga kita semua diberi kebahagiaan dan kesehatan.
Jangan Lupa saran dan sarannya.

Mohon maaf atas segala kesalahan,
Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
Oh iya, terimakasih untuk om yang sudah membantu membuatkan lukisan ilustrasi tokoh ya.
Sengaja saya menggunakan ilustrasi seperti ini,
Kalau Om Dan Tante kurang suka dengan tampilannya, bisa membayangkan ilustrasi sesuai dengan keinginan hati.
Terimakasih.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd