Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
Selamat malam menjelang pagi.
Sudah diupdet semua ya.
Jangan tanya kapan updet lagi, mau istirahat dulu.

Mohon dimaafkan kalau ada salah ketik, karena mata sudah gak bisa diajak kompromi.
Semoga masih dinikmati.
Jangan lupa saran dan masukan.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
g dimaafkan kalau ada typo...

:Peace::D
Btw, makasih bosqyu dah doble update....
Ditunggu lanjutannya...
:beer::beer:
 
Amiinnn......... 🙏
Aamiinn..... Aamiinn....
Hadir absen siang dahulu
Hadir lagi...
Nitip njihh oom..... :kopi:
amin yrb....



absen sore bareng shifu shifu mesum
ngabsen malam :beer: :beer: :beer: :beer::beer::beer: sambil minum teh SEMONGKO........:berat::berat::berat::berat::berat:
Nitip sekalian
Ikut ngumpul sama temen² saru
 


BAGIAN 20
YANG TERSAYANG



Aku sekarang berdiri didepan papan pengumuman jurusan dan aku sedang membaca pengumuman tentang beasiswa, dari sebuah perusahaan pertambangan dipulau seberang. Sebenarnya kemarin aku sudah membaca sekilas, tapi hanya sekilas saja dan itupun hanya judulnya saja, tidak terlalu detail seperti saat ini.

Kenapa aku hanya membacanya sekilas, tentu saja aku ingin membahasnya dengan Joko terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, aku dan Joko berangkat kekota ini bersama. Jadi untuk kabar seperti ini, aku harus berdiskusi dengan sahabatku itu. Semalampun aku sudah membahasnya bersama Joko dan dijurusannya juga ada beasiswa seperti ini.

Dan setelah pembahasan yang cukup alot dan disertai mata yang melotot, akhirnya kami berdua sepakat untuk mempelajari dulu isi dari program beasiswa itu, baru akan diputuskan ikut atau tidak. Dan ternyata setelah aku membaca sampai detail pengumuman ini, isinya sangat gila sekali.

Bagaimana tidak gila.? Sebuah tawaran yang sangat luar biasa dari perusahaan itu, membuat kedua mataku terbuka dengan lebar dan siapa saja yang membaca pasti tergiur.

Bayangkan saja, biaya kuliah kita akan ditanggung sampai selesai dan setiap bulannya akan mendapatkan uang saku satu juta. Itu diluar biaya semesteran dan biaya skripsi yang juga ditanggung. Dan yang lebih wah nya lagi, setelah lulus kita akan di rekrut menjadi karyawan perusahaan pertambangan tersebut. Apa gak luar biasa gila.?

Uang saku bulanan untuk kuliah aja luar biasa besar, bagaimana kabar gaji bulanan ketika menjadi karyawan diperusahaan tersebut. Huu, pasti sangat besar sekali. Apalagi itu perusahaan asing, pasti gaji kita dibayar dengan nilai mata uang luar negeri. Waw.

Untuk persyaratan mengikuti program beasiswa tersebut, memang agak berat. IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimal 3.50 dan lulusnya harus sesuai target yaitu 4 tahun. Untuk aku sendiri, IP (Indeks Prestasi) semester satu 3.70 dan IP semester dua 3.80. Jadi IPK ku sekarang 3.75. Itu sudah lebih dari cukup untuk aku mendaftar program beasiswa ini. Kalau masalah lulus target 4 tahun, itu bisa aku usahakan.

Terus bagaimana sekarang.? Apa aku tidak ada kemauan untuk mengikuti program beasiswa yang fantastis itu.? Gila aja. Peluang yang sangat bagus seperti itu, masa aku biarkan lewat begitu saja.

Terus bagaimana impianku tentang membuat sebuah perusahaan konsultan atau kontraktor setelah lulus nanti.? Ya tetap buatlah, tapi mungkin aku tunda dulu waktunya. Kalau aku diterima diperusahaan pertambangan itu, aku bisa mengumpulkan modal yang banyak, setelah itu baru aku mendirikan konsultan atau kontraktor.

Kelihatannya aku harus segera menyiapkan segala persyaratan untuk mendaftar beasiswa tersebut. Walaupun hanya satu orang saja yang dibutuhkan dari jurusan teknik sipil, aku harus tetap optimis.

Aku lalu mencatat semua persyaratan yang harus aku persiapkan dan aku juga mencatat jadwal seleksinya.

“Piye cok.?” (Bagaimana cok.?) Tanya Joko yang baru datang.

“Aku ndaftar. Piye awakmu.? Sido ndaftar beasiswa nang perusahaan kontruksi nasional.?” (Aku daftar. Gimana kamu.? Jadi daftar beasiswa ke perusahaan kontruksi nasional.?) Tanyaku kepada Joko.

“Aku yo wes nyatet persyaratane, tapi.” (Aku ya sudah mencatat persyaratannya, tapi.) Ucap Joko terpotong dan terdengar agak berat sekali.

“Wes talah Jok, mambengi awak dewe wes mbahas masalah iki. Saiki iku seng penting awak dewe focus ben iso nerimo beasiswa. Lek wes nerimo beasiswa, awak dewe gak mikir nggolek duwek maneh. Awak dewe iso focus kuliah, gak mikir masalah biaya. Emben lek wes kerjo terus nduwe duwek akeh, awak dewe iso join nggawe perusahaan dewe.” (Sudahlah Jok, tadi malam kita sudah bahas masalah ini. Sekarang itu yang penting kita focus supaya bisa menerima beasiswa. Kalau sudah menerima beasiswa, kita gak mikir cari uang lagi. Kita bisa focus kuliah, gak mikir masalah biaya. Besok kalau sudah kerja terus punya uang banyak, kita bisa join buat perusahaan sendiri.) Ucapku, karena Joko berat kalau pisah denganku ketika lulus nanti.

“Iyo seh. Ngedekno perusahaan iku butuh modal gede.” (Iya sih. mendirikan perusahaan itu butuh modal besar.) Ucap Joko dengan suara pelan.

Akupun tersenyum, lalu aku melanjutkan menulis persayaratan beasiswa lagi.

Oh iya, aku dan Joko ikut mendaftar program beasiswa ini, bukan karena bermasalah dengan kantor milik Pak Danang. Kami kerja disana baik – baik saja sampai saat ini dan tidak ada masalah yang begitu berarti. Kami mengikuti seleksi beasiswa ini bukannya karena tidak bersyukur, karena kami sudah ada penghasilan dari kantor Pak Danang. Tapi gak ada salahnya kami mencoba hal baru yang lebih menjanjikan.

Tujuan kami bekerja dikantor Pak Danang selain untuk belajar tentang dunia kerja, tentu saja karena masalah mistery kematian Intan dan Mas Hendra. Kalau saja misteri itu sudah terpecahkan, mungkin kami sudah keluar dari kantor Pak Danang dan mencari pekerjaan lain.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ada uneg – uneg sedikit sih dikantor Pak Danang itu. dan uneg – uneg itu lama – lama membuatku bosan juga bekerja ditempat Pak Danang. Hatiku mulai gak nyaman bekerja disana. Bukan karena Dani loh ya, bukan. Manusia aneh itu jarang sekali kekantor. Kalaupun kekantor, dia pasti akan cuek dan pura – pura tidak melihat ketika ada aku dan Joko.

Hiuffftt, huuu.

Hampir sembilan bulan kami bekerja dikantor Pak Danang. Dan dalam Sembilan bulan itu, kami mendapatkan beberapa informasi baru, tapi diluar tentang mistery kematian Intan. Salah satu informasi yang kami dapat adalah, perusahaan Pak Danang ini masuk gerbong keluarga Jati dan beberapa konsultan serta kontraktor ada yang masuk digerbong aliansi selatan.

Awalnya aku bingung maksud dari gerbong keluarga Jati dan gerbong aliansi selatan itu apa. Tapi setelah Pak Jarot hari itu menjelaskan, aku baru memahaminya. Jadi konsultan dan kontraktor yang ada dipropinsi ini, mempunyai beking keamanan dibelakangnya. Dan beking keamanannya hanya ada dua, keluarga besar Jati dan aliansi selatan.

Sebenarnya Keluarga Jati maupun aliansi selatan, tidak ada yang terjun langsung dibidang kontruksi dipropinsi ini. Mereka hanya bergerak dibidang keamanan disegala bidang. Mulai keamanan perusahaan, hotel, terminal, pasar, tempat hiburan malam, sampai parkiran.

Aku heran dengan semua ini. Kenapa harus minta keamanan kepada mereka.? Kenapa tidak meminta kepada aparatur pemerintahan aja.? Memang harus aku akui, premanisme ditahun – tahun ini sangat luar biasa. Tapi masa harus dibiarkan terus menerus.? Gila.

Selain heran aku juga sangat terkejut. Aku kira kebesaran nama Mbah Jati, hanya di ditingkat jalanan saja. Tapi ternyata nama besar Mbah Jati itu, juga terkenal di tingkat atas dan sangat ditakuti sekali. Kalau aliansi selatan, aku justru baru mendengarnya. Dan ternyata aliansi selatan ini lebih gila lagi. Mereka bukan hanya dibidang kemanan saja. tapi mereka juga bermain dibidang pencurian, perampokan, bandar narkoba dan kejahatan lainnya. Dan ketiga gudang tua didesa utara, adalah markas mereka di kota ini. bajingaann.

Banyak hal yang aku pelajari dikota ini dan banyak sekali yang membuka mataku, tentang kerasnya kehidupan yang tidak aku dapatkan dijalanan. Kalau dijalanan, semua kenyataan hidup dapat aku lihat. Mulai dari yang buruk sampai yang baik. Mulai dari pencopetnya, malingnya, perampoknya, pedagang asongannya, pengamennya, sopirnya dan semua yang terlibat diperutaran uang, aku bisa melihatnya. Tapi kalau bisnis yang dijalankan oleh keluarga besar Jati dan aliansi selatan, hanya sedikit yang aku ketahui dan banyak hal yang masih belum aku ketahui. Mulai bermainnya dari mana, cara permainannya seperti apa dan orang – orangnya yang terlibat siapa aja, aku tidak tau. Tapi yang jelas, perputaran uangnya pasti lebih besar dari pada kehidupan jalanan yang aku ketahui.

Itulah yang membuat aku bosan dikantor Pak Danang. Kenapa kita harus menghidupi para beking itu, padahal mereka hanya ongkang – ongkang kaki saja. Aku jadi sedikit curiga kalau permasalahan dilapangan itu, hanya mereka – mereka saja yang membuat dan kalau kita memberi uang, mereka juga yang menghentikannya. Bajingaann.

Kalau saja impianku membuat sebuah kantor konsultan atau kontraktor tercapai, aku tidak akan ikut blok manapun juga. Lebih baik uangnya aku sumbangkan untuk mereka yang membutuhkan, dari pada untuk para beking – beking yang gak jelas itu. Dan lebih baik aku bersimbah darah, dari pada hasil keringatku dinikmati para manusia – manusia pemalas itu.

Hiuuffftt, huuu.

Terus bagaimana sekarang.? Bagaimana kalau seandainya aku lolos beasiswa ini.? Apa aku berhenti dari kantor Pak Danang.? Enggak, aku gak akan berhenti dari kantor Pak Danang. Aku harus tetap bersabar disana, karena tujuan utamaku memecahkan mistery tentang kematian Intan dan Mas Hendra, belum berhasil. Itu saja.

“Ayo balik nang kosan.” (Ayo balik kekosan.) Ucap Joko ketika aku sudah selesai mencatat.

“Ayo.” Jawabku sambil memasukan semua peralatan menulisku kedalam tas.

“Rame yo kampus.” (Ramai ya kampus.) Ucap Joko sambil mengeluarkan rokoknya lalu membakarnya.

“Iyolah. Saiki iku mulai pendaftaran mahasiswa baru.” (Iyalah. Sekarang itu mulai pendaftaran mahasiswa baru.) Jawabku dan memang kondisi kampus sangat ramai sekali.

“Cok, gak kroso wes setaun awak dewe nde kene.” (Cok, gak terasa satu tahun kita di sini.) Ucap Joko lalu tersenyum, lalu kami berdua berjalan kearah luar kampus.

“Iyo. Awak dewe yo setaun gak muleh nang omah. Hehehe.” (Iya. kita juga setahun gak pulang ke rumah. Hehehe.) Rumah = Desa. Ucapku lalu aku mengeluarkan rokokku dan membakarnya.

“Assuu. Sakjane awak dewe muleh minggu iki, tapi ono beasiswa iki dadine ditunda.” (Anjinggg. Seharusnya kita pulang minggu ini, tapi ada beasiswa ini jadinya ditunda.) ucap Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“Awakmu wani ta muleh.?” (Kamu beranikah pulang.?) Tanyaku.

“Cok, awakmu nyindir masalah sapine Mbahku seng tak djol yo.?” (Cok, kamu nyindir masalah sapinya Mbahku yang kujual ya.?) Tanya Joko sambil melotot.

“hahaha.” Akupun hanya tertawa.

“Assuu.” Maki Joko

Dan pada saat kami lewat depan aula utama, tampak Gandi, Naryo dan beberapa temanku, sedang mengobrol dengan beberapa calon mahasiswa baru. Tidak jauh dari mereka berkumpul, tampak Rendi, Bung Toni, Wawan dan Bendu, sedang bersantai dipos security.

“Untung kalian masuk sekarang. Kalau masuk tahun kemarin, kalian pasti tersiksa.” Ucap Gandi bercerita kepada para calon maba itu.

Aku dan Joko langsung berhenti tidak jauh dari mereka bercerita. Gandi, Naryo dan beberapa temanku, tidak menyadari kehadiranku serta Joko, karena mereka memunggungi kami.

“Kenapa bisa begitu Mas.?” Tanya seorang calon maba.

“Selain ospeknya yang sangat keras, tradisi hari pertama kuliah dikampus teknik kita itu lebih gila.” Jawab Naryo.

Aku lalu melihat kearah Joko dan ketika aku akan menghentikan pembicaraan itu, Joko langsung menahan tubuhku sambil menggelengkan kepalanya.

“Kalau ospek yang sangat keras, kami sudah pernah dengar dan kami sudah mempersiapkan diri Mas. Tapi kalau tradisi hari pertama kuliah, kami gak pernah tau.” Ucap Calon maba itu.

“Iya Mas, tradisi apa itu.?” Tanya calon maba yang lain.

“Jadi gini. Para mahasiswa baru seperti kalian, akan ditantang sama senior – senior dan akan bertarung dilapangan, sampai sisa satu yang terkuat.” Ucap Gandi menjelaskan.

“Serius Mas.” Tanya para calon mahasiswa baru itu dengan terkejutnya.

“Iya, dan itu masing – masing jurusan.” Ucap Naryo.

Telingakupun langsung gatal mendengar cerita dari Gandi dan Naryo ini, tapi Joko terus menahanku.

“Terus.?” Tanya Salah seorang calon maba lagi.

“Ya berkelahi sampai berdarah – darahlah.” Sahut Gandi.

“Gila.” Sahut para calon maba itu.

“Bukan gila aja, tapi super gila.” Ucap Naryo.

“Tapi tujuannya apa Mas.?” Tanya seorang calon maba.

“Tradisi gila itu bisa dibilang ujian bagi siapa saja yang punya ambisi untuk memegang jurusan masing - masing.” Ucap Gandi dan semua calon maba terlihat bingung.

“Maksudnya itu, para senior yang mau menjadi bajingan disetiap jurusan, membuktikannya di ajang itu. Tapi kalau maba yang menang, mau gak mau mereka harus menerimanya dengan lapang dada.” Ucap Naryo menjelaskan

Para calon mahasiswa baru itu langsung terdiam dan tidak ada yang bersuara lagi.

“Tapi itu dulu, kelihatannya tahun ini dan seterusnya sudah gak ada tradisi macam itu lagi.” Ucap Naryo.

“Kok bisa.?” Tanya calon maba itu lagi.

“Karena salah satu angkatan kami, bisa menumbangkan salah satu jagoan terhebat kampus ini, dan dia melarang adanya tradisi gila itu lagi dikampus ini selamanya.” Jawab Gandi.

Cok, aku harus menghentikan semua cerita ini. Tidak ada yang boleh tau kalau aku yang menghentikan tradisi itu dan kalau bisa cerita tradisi gila itu jangan sampai terdengar lagi. Memang sulit menghentikan cerita ini supaya tidak menyebar, karena yang tau satu kampus teknik kita, para alumni dan orang – orang sekitaran kampus. Tapi selagi aku dikampus ini, aku harus memutus mata rantai cerita itu. Bagaimanapun caranya.

“Siapa dia Mas.? Sampeankan mahasiswa baru tahun kemarin. Kok bisa ada maba yang merobohkan salah satu senior terkuat.? Hebat sekali dia.” Ucap calon maba itu dengan takjubnya.

“Namanya.” Ucap Naryo terpotong, karena aku langsung berjalan mendekatinya, lalu aku memegang pundaknya dan meremasnya pelan.

“Kalian percaya ada tradisi gila macam itu.?” Tanyaku kepada para calon maba, sambil terus meremas pundak Naryo.

Gandipun langsung dirangkul Joko.

“Gak tau Mas, kami kan gak pernah lihat.” Jawab salah satu calon maba itu.

“Gak ada tradisi macam itu dan gak ada maba yang memenangkan pertarungan itu. Itu cuma cerita khayalan temanku ini aja.” Ucapku dan Naryo langsung tertunduk.

Aku mengucapkan kata – kata itu juga agak keras, sehingga orang - orang yang ada disekitar kami termasuk empat sekawan sahabatku itu, juga mendengarnya.

“Sekarang lebih baik kalian pergi saja. selesaikan pendaftaran kalian.” Ucapku kepada para calon maba itu.

“Iya Mas, kalau gitu kami pamit dulu.” Pamit para calon maba itu dan aku hanya mengangguk saja.

Dan setelah para calon mahasiswa baru itu pergi, disekitarku hanya tinggal para mahasiswa lama yang sedang berkumpul.

“Tolong dengarkan ya. Aku tidak mau mendengar ada yang bercerita tentang tradisi gila itu lagi, apalagi ada yang menyebut nama siapa yang menghentikan tradisi gila itu. Kalau sampai terdengar ada yang bercerita tentang hal itu kapanpun juga, jangan salahkan aku kalau sampai kubuat dia gak bisa berbicara dan akan aku buat dia menyesal pernah terlahir didunia ini.” Ucapku sambil melihat orang – orang yang ada disini.

“Tolong sampaikan ini kepada siapapun orang yang tau tentang tradisi gila itu. Kalau ada yang tidak terima, suruh temui aku. Siapapun orang itu.” Ucapku dan tidak ada yang menjawab ucapanku ini.

“Oke.” Ucapku sambil menepuk pundak Naryo pelan dan Joko juga melepaskan rangkulannya kepada Gandi.

“I, i, iya Lang.” Ucap Naryo terbata.

“Santai ae rek. Tapi ojo diulangi.” (Santai aja bro. Tapi jangan diulangi.) Ucapku lalu aku dan Joko meninggalkan mereka dan berjalan kearah empat sekawan.

“Ga usah usah melotot gitu kalau ngomong cok.” Ucap Wawan kepadaku, ketika aku berdiri didepan empat sekawan.

“Jangan banyak bicara ko Wan. Mau ko tra bisa bicara lagi.?” Ucap Bung Toni yang menyindirku.

“Cukimaii.” Sahut Joko.

“Gosii.” Maki Bung Toni ke Joko.

“Hehehe.” Jokopun hanya tertawa.

Akupun hanya tersenyum sambil menyalami para empat sekawan itu.

“Lang, kamu dan Joko mau dimasukin panitia keamanan sama Mas Pandu.” Ucap Rendi Bule kepadaku.

Oh iya, empat sekawan ini sekarang sudah menjadi keluarga besar pondok merah. Rendi, Wawan dan Bung Toni kos disana, sedangkan Bendu tetap tinggal dirumahnya, karena dia asli kota ini.

“Iya kah Le.? Asiikkk.” Ucap Joko dengan senangnya.

“Enggak, aku gak mau.” Jawabku lalu aku menghisap rokok kretekku.

Mereka berlima lalu melihatku dengan terkejutnya.

“Tenanan ta.? Awakmu wani nolak omongane Mas Pandu.?” (Benerankah.? Kamu berani nolak ucapannya Mas Pandu.?) Tanya Bendu.

“Kenapa emangnya.? Nanti aku sendiri yang ngomong sama Mas Pandu.” Jawabku.

“Serius koen cok.?” (Serius kamu cok.?) Tanya Joko kepadaku.

“Iyo. Lek awakmu kepengen dadi panitia ya gak po – po.” (Iya, kalau kamu kepingin jadi panitia ya gak apa – apa.) Ucapku kepada Joko.

“Cok.” Maki Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Ya sudah, aku balik kekosan dulu ya.” Pamitku kepada empat sekawan itu.

“Serius kamu gak mau Lang.?” Tanya Rendi kepadaku.

“Iya Ren, aku serius. Oh iya, aku juga minta tolong sama kalian. Tolong redam semua cerita tentang tradisi gila itu, dan kalau bisa jangan sampai ada mahasiswa baru yang tau tentang aku. Aku ingin menikmati masa kuliahku dengan caraku sendiri.” Ucapku dengan seriusnya.

Rendi hanya mengangguk, begitu juga Bung Toni, Wawan Dan Bendu. Akupun tersenyum kepada mereka berempat, lalu balik kekosan bersama Joko.

Dan sekarang, aku sedang menyiapkan segala persyaratanku untuk mendaftar beasiswa itu, karena hari ini hari terakhir dimasukannya.

“Kamu jadi daftar beasiswa itu Lang.?” Tanya Intan yang duduk dikursi kamarku.


Intan

“Iya.” Jawabku sambil melihat kearah wajah cantik wanita pujaan hatiku itu.

“Biasanya yang daftar itu ratusan orang loh.” Ucap Intan.

“Gak apa – apa. Selagi ada kamu yang menyemangati aku, jutaan orang yang mendaftarpun bukan menjadi masalah bagiku.” Jawabku dan Intan langsung tersenyum malu.

“Apasih.” Ucapnya yang malu – malu.

“Apalagi kalau nanti kamu antar kepergianku dengan senyuman, pasti kubereskan lawan – lawanku itu.” Ucapku lagi dan Intan kembali tersenyum dengan manisnya.

“Opo maneh lek ndelok senyumku, iso modar koen cok.” (Apalagi kalau lihat senyumku, bisa mampus kamu cok.) Sahut Joko yang berdiri didepan pintu kamarku.

“Matamu.” Makiku.

“Hihihi.” Intanpun langsung tertawa mendengarnya.

“Gak usah kakean cangkem, ayo ndang budal. Jam piro saiki iku.” (Gak usah banyak omong, ayo cepat berangkat. Jam berapa sekarang itu.) Omel Joko.

“Iyo cok, aku wes mari iki.” (Iya cok, aku sudah selesai ini.) Ucapku sambil merapikan dokumenku kedalam tas.

Jokopun langsung berjalan kearah luar kosan dan aku langsung melihat kearah Intan yang melangkah kearahku.

“Semoga lancar ya Lang.” Ucap Intan dengan lembutnya dan dia mengatakan itu, sambil membelai pipiku dengan lembutnya.

Aku hanya diam sambil memalingkan wajahku, lalu aku menyentuh pipi kiriku dengan telunjuk kananku. Aku mengkode Intan untuk memberikan aku sebuah kecupan dipipiku.

“Uuhhhh, maunya.” Ucap Intan sambil mendorong pipi kiriku dengan sangat lembut.

Aku tetap diam dan tetap memalingkan wajahku, berharap Intan segera mengecup pipiku.

“Gak mau.” Ucap Intan dengan manjanya, sambil melipatkan kedua tangannya didada.

“Plisss…” Ucapku memohon dengan posisi yang tetap tidak melihat kearah Intan.

“Gak mau.” Ucap Intan lagi.

“Ya sudah, aku gak jadi berangkat.” Ucapku sambil menoleh kearah Intan.

“Kok gitu.?” Tanya Intan sambil menurunkan kedua tangannya, dari lipatan didadanya.

“Pokoknya sun dulu.” Ucapku sambil menolehkan wajahku lagi, dan menunjuk pipi kiriku lagi.

“Cok. suwine. Raimu njalok disun karo ban’e kimba ta cok.?” (Cok, lamanya. Wajahmu minta dicium sama bannya kimba kah cok.?”) Teriak Joko dari teras kosan.

“Sabar cok.” Teriakku.

“Hihihihi.” Intan tertawa pelan, sambil menutup mulutnya.

“Tan.” Rengekku dengan manja, sambil melihat kearah wajah Intan, lalu memalingkan wajahku lagi.

“Iiiiihhh. Manja banget sih.” Ucap Intan dan dari ujung ekor mataku, aku melihat Intan memajukan tubuh dan wajahnya kearahku.

Bibirnya manisnya itu maju dan ketika sudah dekat dengan pipi kiriku, aku langsung melihat kearahnya dengan cepat, dan.

CUUPPP.

Bibir kami bertemu dan Intan langsung terkejut dengan mata yang melotot.

“MUACCCHHH.” Aku mencium bibirnya yang dingin itu dengan lembut, lalu aku memundurkan wajahku dengan cepat.

“Iiihhhh, jahat.” Ucap Intan meraju lalu membersihkan bibirnya dengan tangan kanannya.

“Pergi dulu sayang. Dada.” Ucapku sambil mengenakan tasku dan aku segera berlari kearah pintu kamarku.

“Gilang.” Gerutu Intan dan aku langsung berbalik kearahnya.

“Terimakasih ya.” Ucapku sambil melambaikan tangan kananku kearahnya.

“Awas ya.” Ucap Intan sambil menunjuk kearahku.

“Hahahaha.” Aku hanya tertawa sambil menutup pintu kamarku, lalu aku berjalan kearah pintu kosan.

Aku meninggalkan kosan dengan hati yang senang dan berbunga – bunga. Aku merasa hari ini semesta dan isinya, tersenyum kepadaku. Assuu.

Dan sekarang tujuan pertamaku dan Joko, memasukan berkas di alamat tempat perusahaan Joko mendaftar.

Tampak ratusan orang mengantri yang juga ingin memasukan berkas beasiswa diperusahaan itu.

“Tinggalen ae disek. Engko awakmu telat ngelebokno otekmu.” (Tinggal aja dulu. Nanti kamu telas masuk punyamu.) Ucap Joko yang turun dari kimba.

“Yo wes, engko tak susul rene maneh yo.” (Ya sudah, nanti aku susul kesini lagi ya.) Ucapku sambil memasukan porseneling satu gigi kimba.

Kletek.

Trenteng, teng, teng, teng.

“Yo.” Ucap Joko sambil membalikkan tubuhnya, lalu berjalan kearah kantor sana.

“SEMONGKO.” Teriakku dan Joko langsung menoleh kearahku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Jawab Joko sambil mengepalkan tangan kirinya ke udara.

Trenteng, teng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba menuju alamat kantor yang tertempel di papan pengumuman kampus tadi.

Tidak terlalu sulit mencari alamat kantor yang aku tuju ini, walaupun itu berada di deretan perkantoran didekat pusat kota. Dideretan beberapa perkantoran ini, ada sebuah kantor yang sangat ramai dengan antrian ratusan mahasiswa.

Aku lalu memarkirkan kimba, setelah itu aku ikut antrian ratusan mahasiswa ini.

Gila, luar biasa sekali antusias untuk mendaftar beasiswa ini. Padahal slotnya hanya satu yang diperebutkan. Dan kelihatannya para mahasiswa ini bukan hanya dari kampus teknik kita saja, tapi juga dari beberapa kampus dikota pendidikan ini.

Ketika giliranku memasukan berkas dan menulis daftar tanda terima berkas, namaku berada di urutan 377 dan itu belum termasuk banyaknya yang antri dibelakangku. Luar biasa sekali.

“Besok langsung seleksi psikotes ya mas.” Ucap seorang wanita yang menerima berkasku.

“Dimana ya mba.?” Tanyaku.

“Dikantor ini. Sampean urutan 377 ya.? Datangnya jam dua siang aja ya Mas.” Ucap Si Mba.

“Siap Mba.” Jawabku sambil tersenyum.

Akupun langsung pergi dari kantor ini dan menjemput Joko ditempat tadi. Joko telah menungguku disana dan kami balik kekosan, dengan harapan baru yang tumbuh dihati kami berdua.

Dan ketika aku masuk kedalam kamarku, tampak Intan duduk dikursi kamarku. Dia hanya melirikku dan wajahnya terlihat cemberut manja.

Aku berjalan mendekat kearahnya dan Intan langsung memalingkan wajahnya.

CUUPPP.

Aku mengecup kepala bagian atasnya, lalu aku merangkul lehernya sambil sedikit membungkukan tubuhku.

“Kamu gak mau aku dapat beasiswa ya.?” Tanyaku dan wajahku berada disamping wajahnya.

“Kok gitu.?” Tanya Intan sambil menolehkan wajahnya kearahku dan memundurkannya sedikit. Kalau Intan tidak memundurkan wajahnya, pasti bibirnya akan bertemu dengan bibirku.

“Kamunya gitu sih. Aku datang kok dicemberutin.” Ucapku sambil melepaskan rangkulanku, lalu aku berdiri tegak sambil meletakan tas punggungku.

Intan lalu berdiri dan membalikan tubuhnya kearahku.

“Kamunya juga gitu. Kenapa tadi pakai cium – cium bibirku.?” Ucap Intan yang meraju.

“Kalau ciuman dipipi aja bisa buat aku semangat, apalagi kecupan dibibir.” Jawabku dengan cueknya.

“Iihhhh.” Ucap Intan yang manja.

“Mandi ahhh. Siapa tau nanti dikasih kecupan dibibir lagi.” Ucapku sambil melangkah kearah pintu kamarku.

“Kamu ya Lang.” Ucap Intan sambil melangkah kearahku.

Tiba – tiba Intan menjewer kedua telingaku dari arah belakang, dan dengan refleknya aku langsung membungkukan tubuhku.

“Aduh, duh.” Ucapku yang pura – pra kesakitan, padahal jewerannya tidak terlalu kuat.

Aku lalu membungkukan tubuhku lagi, lalu dengan cepatnya kedua tanganku kuarahkan kebelakang sampai menyentuh bagian belakang paha Intan. Setelah itu aku langsung menggendong tubuh Intan dibelakangku.

“Gilang, Gilang. Turunin aku.” Ucap Intan dan sekarang kedua tangannya langsung merangkul leherku.

“Sun dulu.” Ucapku sambil mendekatkan pipiku diwajah Intan yang ada disamping kanan wajahku.

“Aku gigit kupingmu ya, biar gak kotor pikiranmu.” Ucap Intan sambil berusaha menggigit kupingku.

“Ampun Tan, ampun.” Ucapku sambil menggoyangkan kepalaku, menghindari gigitan manja Intan.

Aku lalu memutarkan – mutarkan tubuhku dan Intan makin mengeratkan rangkulannya dileherku.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

“Lang, Lang, jangan putar – putar dong. Pusing kepalaku.” Rengek Intan.

“Ngomongnya yang mesra dong. Hehehehe.” Ucapku sambil terus memutarkan tubuhku.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

“Hahahaha.” Aku tertawa dengan senangnya.

“Gilaaanggg.” Intan terus merengek dengan manjanya.

“Hahaha.” Aku hanya tertawa saja.

“Iiiiiihhhhh.” Intan kembali merengek dan sekarang dagunya diletakkan dipundak kananku. Intanpun langsung memejamkan kedua matanya.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Aku terus berputar dan kepalaku mulai terasa pusing.

“Ampun sayang, ampun.” Akhirnya intan menyerah dan dia memanggilku dengan sebutan kata sayang.

“Hahahaha.” Akupun langsung menghentikan gerakanku dan bumi ini langsung terasa berputar.

“Ampun thel, ampun gathel.” Ucap Joko dari luar kamarku yang tertutup, dan dia mengucapkannya dengan manja.

“Asssuu.” Makiku sambil membungkukan sedikit tubuhku dan Intan langsung turun dari gendonganku.

Dan ketika aku berdiri, kepalaku terasa berputar putar dan,

JEDUKK.

Jidatku menghantam pintu kamarku dengan agak keras.

“Cok.” Makiku sambil mengelus jidatku yang sakit akibat terbentur dan kepalaku yang pusing akibat berputar – putar tadi.

“Bongko thell, bongko.” (Mampus thel, mampus.) Ucap Joko yang mengejekku, padahal dia tidak melihat jidatku yang terbentur.

“Hihihihi.” Intan tertawa dengan senangnya.

“Puas.? Senang.?” Ucapku kepada Intan, sambil mengelus jidatku yang sakit ini.

“Hihihihi.” Intan kembali tertawa dan sekarang tertawanya menjadi sangat manja sekali.

Aku lalu kamar, setelah itu mandi dan malamnya beristirahat untuk mempersiapkan hari esok yang sangat penting bagi kelanjutan impianku.

Keesokan harinya, aku mengantarkan Joko untuk mengikuti seleksi psikotes dikantor tempat pendaftarannya kemarin. Dia mendapatkan jadwal tes jam 10 pagi.

Hampir dua jam aku menunggu Joko mengikuti seleksi itu. Lalu setelah dia selesai, kami berdua makan siang dan berisirahat didekat kantor tempatku untuk mengikuti seleksi.

Semingguan ini aku dan Joko tidak banyak kegiatan dikantor, karena pekerjaan kami sudah banyak yang selesai. Sedangkan Pak Jarot dan Pak Jaka, mempersiapkan dokumen tender diproyek lanjutan bendungan yang ada dikabupaten sebelah. Aku dan Joko tidak dilibatkan dalam persiapan itu, makanya kami banyak dikosan saja. Kata Pak Jarot, nanti pada saat pelaksaan baru kami akan di libatkan.

Tepat jam dua, aku masuk kekantor dan mengikuti seleksi psikotes. Aku mengikuti tes itu dengan semangat dan bisa melewatinya dengan baik. Setelah selesai tes, aku dan Joko tidak langsung balik. Aku menunggu pengumuman siapa aja yang lulus lanjutan untuk tes wawancara esok hari. Rencananya jam lima ini pengumuman itu akan ditempel didepan kantor.

Tepat jam lima, pengumuman itu ditempel didepan kantor. Ratusan orangpun langsung menyemut dan melihat dengan hati yang berdebar. Akupun dengan sabar menanti sampai kondisi didepan kantor cukup lengang. Sebagian dari ratusan orang yang melihat pengumuman itu ada yang bersedih dan sisanya senang karena bisa lanjut esok hari.

Dua puluh menit kemudian, aku melihat kepapan pengumuman. Dan betapa senangnya hatiku, ketika aku melihat namaku tertulis diurutan kelima dari seratus lima puluh orang yang lolos untuk lanjut esok hari.

Aku dan Joko lanjut pergi ketempatnya ujian tadi, karena ditempat itu akan ada pengumuman sore ini juga. Dan berita baiknya, Joko juga lulus untuk tahap lanjutan esok hari. Kami berdua lalu balik kekosan dan lagi – lagi dengan hati yang senang.

Hari kedua test untuk wawancara dikantor tempatku mendaftar.

Aku mengikuti test wawancara dengan sangat baik dan bisa menjawab semua pertanyaan dari tim penguji dengan sangat lugas. Ilmu dari Pak Jarot ketika dilapangan, sangat berguna sekali saat ini.

Sore jam lima, lagi – lagi pengumuman ditempel didepan kantor dan kembali aku lulus untuk tahap selanjutnya. Namaku berada diurutan teratas dari lima orang yang lulus hari ini, dan besok adalah final dari tiga hari yang sangat melelahkan ini.

Gila, aku urutan pertama hasil test hari ini dan itu berarti peluangku untuk lulus mendapatkan beasiswa sangat terbuka lebar.

Akupun meninggalkan kantor ini dengan senyum yang terus mengambang dibibirku. Aku menuju ketempat Joko yang juga test hari ini dan dia menungguku dengan wajah yang sangat menggathelkan sekali.

“SEMONGKO.” Teriak Joko dengan kerasnya.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Jawabku dengan keras juga.

“Aku lulus maneh cok. Hahahaha.” (Aku lulus lagi cok. Hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa dengan senangnya.

“PODO. HAHAHA.” (Sama. Hahaha.) Jawabku dan Joko langsung memelukku yang lagi diatas kimba ini.

Aku membalas pelukannya dan kami berdua menikmati sejenak kesenangan hari ini.

Kami berdua lalu balik kekosan dan kami berdua optimis, beasiswa itu bisa kami dapatkan. Bukannya kami sombong. Tapi pikiran yang optimis, merupakan doa yang terbaik untuk melangkah menjemput impian.

Malam hari dikosan.

Hari – hari yang sangat melelahkan dan aku sangat – sangat butuh istirahat. Aku lalu merebahkan tubuhku dikasur dan bantal yang empuk.

Hiuufftt, huuuu.

Entah kenapa disela keletihanku saat ini, aku sangat – sangat merindukan suasana rumahku didesa. Aku kangen senyuman Bapak, Ibu, Damar dan Lintang. Aku kangen masakan Ibu. Aku kangen kopi buatan Ibu. Aku kangen aroma tanah lantai kamarku. Aku kangen suara aliran sungai didesaku dan aku kangen suasana desaku.

Kasur dan bantal busa dikosku ini memang empuk, tapi tidak bisa membuat aku tidur senikmat kasur dan bantal kapukku dirumah. Tv dikosan ini memang menghiburku, tapi tidak bisa membuatku terbuai seperti ketika aku mendengar suara radio tua milik Bapakku.

Setahun sudah aku meninggalkan desaku dan aku belum pernah pulang sama sekali. Hanya surat dari Ibuku yang dititipkan kepada Cak Ndut sebagai obat kangenku pada orang rumah.

Harusnya kemarin lusa aku balik kedesa, karena saat ini kami sedang liburan semester. Tapi tawaran beasiswa yang sangat luar biasa ini, menunda rindu yang sudah mengakar dihati.

“Semoga lulus ya Lang.” Ucap Intan yang tidur disebelahku dan dia memelukku dari samping.

“Terimakasih.” Jawabku singkat dan aku memandang kearah langit – langit kamarku.

“Mikirin apasih Lang.?” Tanya Intan sambil membelai pipiku.

“Aku kangen orang rumah.” Ucapku sambil melihat kearah Intan.

“Ohhh.” Ucap Intan sambil menatap mataku.

“Kenapa.? Kok sepertinya kamu memikirkan sesuatu.?” Tanyaku.

“Aku lagi membayangkan bagaimana dua orang tua hebat yang bisa mendidik laki – lakiku ini, sampai bisa menjadi luar biasa seperti saat ini.” Ucap Intan lalu tersenyum dengan manisnya.

“Kasih sayang tan. Semua berawal dari kasih sayang yang ditanamkan kedua orang tuaku mulai aku lahir, sampai sekarang ini.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kasih sayang yang ditanamkan itu, pasti yang membuat cinta dihatimu ini tulus.” Ucap Intan dan aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Betapa beruntungnya wanita yang bisa mendapatkan cinta yang tulus ini.” Ucap Intan sambil meraba dadaku pelan.

“Dan wanita itu adalah kamu.” Ucapku dan mata Intan langsung berkaca – kaca.

Perlahan Intan langsung menggeser tubuhnya dan meletakkan wajah sampingnya didadaku. Sebagian dadanya pun, menindih bagian dadaku.

Intan menunduk dan yang terlihat hanya rambut bagian kepala atasnya saja. Aku lalu membelai rambut Intan sangat pelan sekali.

“Tapi aku tidak kalah beruntung, karena aku bisa berada disampingmu. Keberuntunganku ini akan makin sempurna, kalau cinta kita bisa bersatu.” Ucapku lagi dan aku merasa dada Intan perlahan bergetar.

Isakan tangisnya yang pelan, perlahan mulai terdengar dan aku hanya bisa terus membelai kepalanya dengan sangat lembut.

Malam semakin larut dan perlahan aku memejamkan kedua mataku, dengan cinta yang memelukku malam ini.

Hari penentuan pun tiba. Entah hari ini apa yang akan di uji di kantor itu, yang jelas lima orang yang lulus tes kemarin, akan tersisa satu orang saja yang diterima. Hari ini penentuan segalanya dan hari ini juga tanda tangan perjanjian untuk menerima beasiswa itu, akan dilakukan.

Dengan semangat yang menggebu dan harapan untuk masa depan, aku dan Joko keluar kosan menggunakan kimba. Dan sebelum kekantor masing – masing, kami berdua sarapan dulu ditenda biru milik Pak No.

Pada saat aku dan Joko sedang menikmati sarapan yang nikmat ini, dua orang manusia berwajah gathell masuk kedalam warung tenda biru ini. Siapa lagi kalau bukan Trisno dan Guntur, dua orang pemuda dari desa asalku.

Ngapain dua orang ini masih dikota ini.? Mereka tidak liburan ke Desa.? Ah sudahlah, biarkan saja. Untuk apa juga aku menghiraukan dua orang ini, lebih baik aku melanjutkan makanku aja.

“Anak gak tau diri, Ibunya didesa sakit keras malah gak pulang – pulang.” Ucap Guntur yang tiba – tiba mendatangi aku, ketika aku menelan makananku.

“Uhuk, uhuk, uhuk.” Aku tersedak makananku, mendengar kabar yang sangat membangsatkan ini.

Aku lalu berusaha menelan makananku bersusah payah, sambil berdiri dihadapan Guntur.

“Jangan main - main kamu Tur.?” Ucapku dengan emosinya, setelah makananku tertelan.

“Jiancokk.” Maki Joko dan dia terlihat emosi sekali.

“Kenapa kamu kasih tau Tur.? Bukannya dia berterima kasih, dia malah marah - marah. Harusnya biarkan saja dia menyesal seumur hidupnya, kalau sampai terjadi apa – apa sama Ibunya.” Ucap Trisno dan aku langsung tersadar mendengar ucapannya.

“Te, terimakasih.” Ucapku terbata dan aku langsung keluar warung tenda biru dengan terburu – buru.

Aku sudah tidak memikirkan beasiswa itu lagi dan aku harus pulang sekarang juga.

“Aku ae seng Nggowo kimba cok.” (Aku aja yang bawa kimba cok.) Ucap Joko yang berlari duluan kearah kimba.

“Terno aku nang terminal yo.” (Antarkan aku keterminal ya.) Ucapku setelah Joko menyalakan kimba dan aku langsung naik dibelakangnya.

“Hem.” Ucap Joko, lalu.

Kletek.

Treng, teng, teng, teng.

Joko menarik gas kimba dengan kencangnya dan aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Dipikiranku yang ada hanya penyesalan, penyesalan dan penyesalan saja. Aku terlalu memikirkan impian masa depanku, tanpa memikirkan kesehatan keluargaku didesa. Aku juga terlalu angkuh dengan mengejar impianku, tanpa sekalipun pulang kerumah. Padahal dengan uang yang aku miliki sekarang, bisa saja aku pulang kerumah sebulan sekali.

Bodoh, bodoh, bodoh. Bodoh sekali aku ini. Kenapa hanya impian dan cita – citaku saja yang aku kejar. Bodoh banget sih.

Semoga tidak terjadi apa - apa dengan Ibu. Kalau saja sampai ada hal yang diluar dugaanku, aku pasti tidak akan memaafkan diriku sendiri.

Kimba terus melaju dan ketika sudah mendekati terminal kota, Joko tidak membelokan kimba kearah kanan jalan yang menuju terminal. Joko terus melaju lurus ke arah depan.

“Jok, lapo gak menggok nang terminal cok.?” (Jok, kenapa gak belok keterminal cok.?) Tanyaku sambil menepuk pundak Joko.

“Seng loro iku duduk Mbokmu tok cok, iku yo Mbokku.” (Yang sakit itu bukan ibumu aja cok, itu ya Ibuku.) Jawab Joko dengan emosinya.

“Beasiswamu piye cok.?” (Beasiswamu bagaimana cok.?) Ucapku yang tak kalah emosi.

“Beasiswa iku opo seh.? Nyowo ta iku.? Aku kuliah gak entok beasiswa gak patekken cok. Aku iso nggolek duwe’ dewe.” (Beasiswa itu apa sih.? Nyawa kah itu.? Aku kuliah gak dapat beasiswa gak masalah cok. Aku bisa cari duit sendiri.) Jawab Joko sambil menarik gas kimba makin kencang.

Aku langsung terdiam mendengar ucapan Joko ini dan kedua mataku langsung berkaca – kaca. Aku tidak kuat lagi menahan sedihnya didalam hatiku yang bergejolak ini. Selain karena kabar Ibuku yang sakit keras, aku juga didampingi seorang sahabat yang sangat luar biasa sekali. Padahal kesempatan ini bisa saja didapatkan Joko dan dia bisa meraih masa depannya tanpa memikirkan biaya.

Cok. Semua kejadian hari ini langsung membuat dadaku bergetar dan air mataku menetes perlahan. Dan tiba – tiba.

Hup.

Dadaku terasa sakit dan aku sangat kesulitan bernafas. Sakit ini sangat luar biasa rasanya dan lebih sakit dari pada sebelum – sebelumnya. Entah kenapa bisa sakit seperti ini. Apa karena kejadian – kejadian yang sangat membangsatkan ini.? Atau jangan – jangan sesuatu telah terjadi kepada Ibuku.? Jiancok.

Jangan, jangan sampai hal yang tidak aku inginkan terjadi kepada Ibuku. Bisa – bisa aku akan menyesal seumur hidupku dan aku akan hidup didalam kegelapan semesta ini.

Hup.

Aku menarik nafasku pelan, tapi sangat sekali. Aku lalu mengurut dada bagian bawah dekat perutku, sampai ketengah dadaku. Aku terus mengulangi urutanku, sambil menempelkan keningku dipunggung Joko.

“Hiuft,” Tarikan nafasku pendek dan sangat sakit sekali.

“Hhhu, hhhu, hhhu.” Aku mengeluarkan sedikit demi sedikit nafasku, dengan bersusah payah.

Aku terus mengulanginya, sampai nafasku perlahan agak panjang tarikannya dan keluarnya juga agak panjang.

Air mataku menetes dan makin deras keluarnya. Sakit di dada dan memikirkan keadaan Ibuku, bercampur dipikiranku dan menjadi satu dengan sesak nafas ini.

“Hiuuufffttt, huuuuu.” Nafas agak panjang sudah bisa aku tarik dan aku keluarkan.

Perlahan sakitnya mulai mereda dan aku mulai bernafas dengan agak pendek dan cepat.

“Hiuft, hu, hiuft, hu, hiuft, hu, hiuft, hu.” Lalu,

“Hiuuuuufffttt, huuuuuuuu.” Akhirnya aku bisa menarik nafas panjangku, dan aku bisa mengeluarkannya agak panjang juga.

Kimba terus melaju dan kami berhenti beberapa kali hanya untuk mengisi bensin, setelah itu melaju lagi. Tidak ada kata istirahat untuk sekedar minum, makan atau bahkan rokokkan.

Yang ada dipikiranku dan mungkin juga dipikiran Joko, bagaimana caranya agar cepat sampai di Desa Sumber Banyu. Itu saja.

Setelah beberapa jam perjalanan yang terasa bertahun – tahun lamanya ini, akhirnya kimba masuk kedalam gerbang Desa Sumber Banyu.

Perasaanku semakin tidak menentu, ketika kimba melaju dijalan desaku. Aku sampai tidak memperdulikan semua orang yang melihat kearah kami ataupun menyapa kami.

Treng, teng, teng, teng.

CHITTTTT.

Joko mengerem mendadak tepat didepan rumahku.

Akupun langsung meloncat dari kimba dan berlari kearah pintu rumahku yang terbuka.

“IBU, IBU, IBUUU.” Teriakku ketika berlari masuk kedalam rumah.

“Mas Gilang.” Ucap Damar adik laki – lakiku keluar dari kamarku dan dia sangat terkejut dengan kedatanganku ini.

“Mas.” Ucap Lintang yang keluar dari kamar Ibu.

“MANA IBU, MANA IBU.?” Tanyaku dengan paniknya dan kedua adikku itu terlihat kebingungan.

“Gilang.” Suara seorang wanita paruh baya yang sangat aku khawatirkan dari tadi terdengar dan beliau keluar dari arah dapur.

Wajah beliau terlihat sayu dan agak memucat. Dibagian wajah samping kanan dan kiri didekat bagian mata beliau, tampak tertempel salonpas. Tubuh beliaupun terlihat agak mengurus dan sedikit lemas.

“Ibu.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan mata yang berkaca – kaca.

“Ada apa Nak.? Kok Gilang menangis.?” Ucap Ibuku, lalu.

“Uhuk, uhuk, uhuk.” Beliau batuk dan aku langsung memeluk tubuh beliau dengan eratnya.

“Ibu, hiks, hiks, hiks.” Ucapku sambil menangis dipelukan Ibu.

“Ada apa nak.? Ada apa.? Kok Gilang sedih seperti ini.? Gilang kangen sama Ibu ya.?” Ucap Ibu sambil membelai rambut belakangku.

“Iya Bu, iya. Gilang sangat kangen dengan Ibu. Ibu sakit apa.?” Ucapku dan aku langsung melepaskan pelukanku. Aku lalu memegang kedua pipi beliau dengan sangat lembut.

“Ibu sakit apa Bu.? Sakit apa.? Ayo kita kedokter sekarang. Ayo bu.” Ucapku dan aku sekarang memegang tangan kanan beliau, sambil membalikkan tubuhku, lalu menariknya pelan.

“Hey, hey. Ada apa nak.? Ibu gak apa – apa.” Ucap Ibu sambil menahan tarikanku dan aku langsung membalikan tubuhku, melihat kearah wajah beliau.

“Gak apa – apa bagaimana.? Ibu pucat dan agak kurus begini kok.” Ucapku dengan paniknya.

“Mas, Mas ini kenapa sih.?” Tanya Damar adikku dan aku tidak menghiraukannya.

“Ibu ini cuman agak nggreges (meriang) aja nak. Buat apa ke dokter.? Minum wedang jahe aja sudah sembuh kok.” Ucap Ibuku dengan tenangnya.

“Iya Mas, Ibu ini cuman kecapean.” Ucap Lintang.

“Beneran Ibu gak apa – apa.?” Tanyaku sambil mendekat kearah Ibu dan memegang kening beliau.

“Iya nak.” Ucap Ibuku dan keningnya terasa sedikit menghangat.

“Beneran Bu.?” Tanyaku memastikan sekali lagi.

“Iya Nak. Kok Gak percaya sama Ibu sih.?” Ucap Ibu sambil membelai kedua pipiku.

“COK.” Maki Joko dibelakangku.

“Kenapa sih Mas.? Kok kelihatannya ada sesuatu.?” Tanya Damar ke Joko.

“Combe ngomong kalau Ibu sakit parah.” Jawab Joko. (Maksud Joko, combe itu si Guntur. Combe = orang yang suka membicarakan orang lain.)

“Combe kok dipercaya Mas, Mas.” Ucap Damar sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Husss. Gak boleh manggil Mas Guntur gitu le.” Ucap Ibuku menegur Damar dan juga Joko.

Joko langsung mendekati Ibuku dan mencium punggung tangan Ibuku.

“Aku kira Guntur gak berani bercanda masalah yang seperti tadi itu Bu. Kurang ajar.” Gerutu Joko.

“Sudah Le, sudah.” Ucap Ibuku sambil mengelus kepala Joko pelan.

“Ibu.” Ucapku dan kembali aku memeluk tubuh Ibuku dengan erat.

“Gimana kabarnya Nak.? Lancar kuliah sama kerjanya.?” Tanya Ibuku, sambil membalas pelukanku dan mengelus rambutku.

“Lancar Bu, berkat doa Ibu.” Jawabku, sambil melepaskan pelukanku.

“Mas Gilang.” Ucap Lintang sambil memelukku.

Tubuh mungil adik perempuanku ini, sekarang sudah mulai meninggi.

“Sudah besar aja kamu De. Jadi masuk SMP mana.?” Tanyaku dan kami berdua melepaskan pelukan masing – masing.

“SMP satu lah.” Jawab Lintang dengan bangganya.

“Eh, mas Gilang kok tambah putih gini sih wajahnya.? Sudah putih, tambah ganteng lagi. Bajunya aja keren gini, pasti disana ada yang ngerawat ya.?” Ucap Lintang menggodaku.

“Masnya Damar kok.” Ucap Damar sambil merangkulku dan aku membalas rangkulannya.

“Emang dulu Gilang gimana De.?” Tanya Joko dan suasana sudah terasa santai sekali.

“Kumus – kumus. Hihihihi.” Ucap Lintang lalu tertawa. (Kumus – kumus = dekil.)

“Ooooo. Berani ngeledek Mas ya.” Ucapku sambil memencet hidung Lintang.

“Apa sih Mas ini.” Ucap Lintang meraju.

“Sudah, sudah. Makan dulu sana. Kebetulan Ibu masak sayur asem iwak kutuk, terus pakai sambel tomat.” Ucap Ibuku. (Iwak kutuk = ikan gabus)

“Gilang lapar Bu.” Ucapku dan sekarang pikiranku sudah sangat – sangat lega sekali.

“Ayo makan Jok.” Aku mengajak Joko makan.

“Aku tak muleh disek ae. aku kangen ambe mbokku.” (Aku pulang dulu aja. Aku kangen sama Ibuku.) Jawab Joko.

“Joko pamit ya Bu.” Ucap Joko dan langsung meraih tangan Ibuku lagi, lalu mencium punggung tangan Ibu pelan.

“Sudah punya alasan ketemu sama Mbahmu Le.?” Tanya Ibu lalu beliau tersenyum.

“Hahahaha.” Damar dan Lintang langsung tertawa senang.

“Ibu juga tau masalah itu.?” Tanya Joko malu – malu.

“Bukan Ibu aja Mas, tapi satu desa ini. Jadi kalau ada yang manggil Mas Joko dengan panggilan sapi, sampean jangan kaget. Hahahaha.” Ucap Damar lalu tertawa.

“Kalau ada yang manggil aku sapi, kusepak mukanya.” Gerutu Joko sambil berjalan kearah depan rumah.

“Hahaha.” Kembali Damar dan Lintang tertawa, tapi Joko tidak menghiraukannya.

“Kimba kubawa Lang.” Ucap Joko tanpa melihat kearahku.

“Yo.” Jawabku.

“Loh, vespa siapa itu Mas.?” Tanya Damar.

“Punya kami berdualah.” Jawabku.

“Wihhh. Keren.” Ucap Lintang dan Damar dengan kompaknya.

“Sudah, makan dulu sana.” Ucap Ibu kepadaku dan aku langsung berjalan kearah dapur.

Makanan yang sangat lezatpun, langsung menyambutku dimeja makan. Aku makan dengan sangat lahap, sampai tambah tiga kali. Aku kangen dengan masakan Ibu dan aku ingin makan sepuasnya selama dirumahku ini. Kebetulan Ibuku masak banyak dan masih cukup untuk Bapak, Ibu dan kedua Adikku nanti.

Setelah makan, aku lalu mengganti pakaianku dan aku bersantai sejenak diruang tengah, sambil menikmati rokok kretek dan segelas kopi panas.

Dan ketika Bapakku datang, suasana haru hadir dan aku memeluk tubuh Bapak yang mulai menua. Suasana keakraban yang penuh canda dan tawa, membuat rumah mungilku ini terasa ramai.

Ketika sore hari tiba, aku pamit kepada Ibu kerumah Joko. Aku ingin mengetahui kabar sahabatku itu. Apakah dia baik – baik saja, atau wajahnya sudah gak berbentuk karena disepak kaki sapi. Hehehe.

“Eh Gilang, piye kabare Le.?” (Eh Gilang, gimana kabarnya Nak.?) Tanya Bu Tejo dengan suara lembut, ketika aku berjalan kerumah Joko.

“Baik Bu.” Jawabku lalu aku tersenyum.

“Lapo muleh.? Ra kuat mbayar kuliah yo.? Hehehe.” (Kenapa pulang.? Gak kuat bayar kuliah ya.? Hehehe.) Ucap Bu Tejo dan suaranya sekarang terdengar berbeda, lalu beliau tertawa mengejekku.

Akupun hanya tersenyum sambil terus berjalan kearah rumah Joko. Aku malas terlalu menanggapi ucapannya, karena hanya akan membuang – buang waktuku. Sapaan dan pertanyaan seperti itupun, bukan hanya dari Bu Tejo. Para orang tua dan beberapa pemuda yang aku lewati, banyak juga yang mengejekku.

Aku hanya terus berlalu sambil tesenyum kepada mereka satu persatu.

Dan ketika aku sudah sampai dirumah Joko, tampak Joko duduk diruang tengah bersama Bapak dan Ibunya. Bapaknya seperti baru datang dari sawah dan beliau seperti sedang menyidang Joko.

Kelihatannya aku harus segera masuk dan aku harus ikut membantu sahabatku itu, menjawab semua pertanyaan Bapaknya. Bagaimanapun juga, aku harus ikut bertanggung jawab, karena Joko mengikuti aku kuliah di Kota Pendidikan.

“Pak, Bu.” Ucapku sambil berdiri didepan pintu rumah Joko.

Kedua orang tua Joko langsung melihat kearahku dengan tatapan yang tajam. Aku menganggukan kepalaku, sambil tersenyum kepada beliau berdua.

“Mlebuo Lang.” (Masuklah Lang.) Ucap Joko dengan suara dan wajah yang memelas.

Akupun langsung masuk dan salim kepada kedua orang tua Joko, lalu aku duduk disebelah Joko. Suasana sangat tegang dan tidak ada pembahasan lagi, ketika aku duduk didekat Joko. Kedua orang tua Joko hanya diam, sambil melihat kami berdua bergantian.

“Mana Joko.?” Terdengar suara orang tua dari depan rumah Joko.

Suara itu seperti suara Mbahnya Joko yang sapinya dijual Joko. Beliau itu tinggalnya di pinggiran desa sana. Beliau jarang datang kemari dan hari ini datang cuma mencari Joko.

Joko yang ada disebelahku langsung terlihat pucat dan ketakutan, sementara kedua orang tuanya langsung bediri dari kursi masing – masing.

“Jok,” Ucap Simbah yang sudah berdiri didepan pintu, dengan wajah yang terlihat garang.

“Mb, Mb, Mbah.” Ucap Joko terbata dan dia berdiri dengan kedua kaki sedikit bergetar.

Aku juga langsung berdiri dan berjalan dengan santainya kearah Mbahnya Joko. Aku meraih tangan kanan beliau lalu mencium punggung tangannya.

“Kamu yang ngajarin Joko ya Lang? Pasti uangnya sudah kalian bagi berduakan.?” Ucap Simbah sambil melotot kearahku.

“Enggak Mbah, uangnya Joko sendiri yang pakai.” Jawab Joko dibelakangku dan dia langsung berjalan pelan kearahku, lalu salim kepada Mbahnya.

“Betul itu Lang.?” Tanya Simbah kepadaku.

“Mohon maaf Mbah. Apapun yang dilakukan Joko, saya ikut bertanggung jawab.” Ucapku dengan sangat sopannya.

“Jadi kalau dia dihukum atas kesalahannya, saya juga harus dihukum.” Ucapku lagi.

“Lang.” Ucap Joko pelan.

Wajah Simbah langsung berubah dan tidak terlihat garang lagi.

“Aku itu sebenarnya gak marah, kalau Joko jujur sebelum berangkat ke kota pendidikan. Jangankan dua, sepuluh sapiku pun pasti akan aku jual. Aku itu senang dan bangga, cucuku mau kuliah dan mau merubah nasib keluarganya yang pendidikannya pas – pasan. Dia ini cucuku satu – satunya yang mau sekolah tinggi. Cucu – cucuku yang lain bisanya cuma meminta uang kepada kedua orang tuanya, bahkan meminta juga sama aku. Uangnya juga pasti dipakai main dadu sama mabuk.” Ucap Simbah. (Main dadu = judi dadu)

Aku dan Joko langsung saling melihat dengan wajah yang sangat lega sekali.

“Tapi bukan berarti Joko tidak aku hukum atas kesalahannya itun. Joko harus mempertanggung jawabkan kesalahannya.” Ucap Simbah dan wajah Joko kembali terlihat tegang.

“Dia harus membersihkan kandang sapiku selama liburan didesa ini dan dia harus mencarikan makan sapi setiap pagi.” Ucap Simbah lalu beliau membalikkan tubuhnya dan pergi tanpa berbicara lagi.

Aku dan Joko saling melihat sambil tersenyum lega, setelah itu melihat Bapak dan Ibu Joko. Beliau berdua langsung masuk kedalam kamar tanpa bersuara.

“Nang kali yo.” (Ke sungai yo.) Ucap Joko sambil menepuk pundakku.

“Ayolah.” Jawabku.

Joko lalu masuk kedalam dapurnya dan keluar lagi sambil membawa sabun batangan dan sampo sachetan.

Kami berdua kesungai sambil mengendarai kimba. Joko yang duduk didepan dan dia selalu memblayer kimba ketika penduduk desa melihat kearah kami.

Treng, teng, teng, teng. Teeeenggg.

Dan ketika melewati rumah Bu Nyoto, tampak pintu rumahnya tertutup dan kelihatannya beliau tidak berada dirumah.

Joko terus memacu kimba dan melewati jalan setapak. Kami berhenti tepat dipinggir sungai, lalu Joko memarkirkan kimba.

“Aku pengen ngelangi cok.” (Aku mau berenang cok.) Ucapku sambil membuka kaosku, celana panjangku dan menyisakan celana pendekku.

Aku lalu berlari kearah sungai, dan.

Byurrrr.

Aku menyelam agak kedalam dibagian tengah, lalu aku menimbulkan kepalaku dipermukaan.

“AAHHHHHH. SEGER COKK.!” Teriakku dan Joko langsung melompat kedalam sungai.

Byurrrr.

“AAHHHHH.” Teriak Joko ketika kepalanya timbul dipermukaan, sambil merapikan rambutnya yang basah.

“Balapan yo.” Ucapku kepada Joko, sambil menunjuk kepinggir sungai diseberang sana.

“Ayolah.” Jawab Joko.

Dan kami langsung bersiap, lalu berenang kepinggiran sungai sana, lalu balik lagi ketempat semula. Aku dan Joko dulu seringkali berlomba seperti ini disungai ini. Biasanya sampai lima kali putaran, tapi kali ini cukup satu putaran. Aku dan Joko lalu naik keatas batu dan beristirahat sejenak, sambil menikmati rokok kretek kami.

“Cok.” Maki Joko, lalu dia menghisap rokoknya.

“Lapo seh.? Awakmu jek kepikiran omongane Guntur maeng ta.?” (Kenapa sih.? Kamu masih kepikiran ucapannya Guntur tadi kah.?) Tanyaku tanpa melihat kearah wajah Joko.

“Jaincok combe iku.” Ucap Joko dengan emosinya.

“Jangan gitulah Jok. Kamu gak tau bagaimana kalau seandainya kabar itu benar, apa aku gak menyesal disisa hidupku.? Masa gara – gara mengejar impian, aku tidak menghiraukan keluargaku.? Aku itu harusnya berterimakasih sama Guntur, karena dia mengingatkan aku tentang Ibuku.”

“Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tidak mengejar surga yang berada ditelapak kakinya. Yang aku kejar hanya senyum yang keluar dari bibirnya, dan itu senyum kebanggaannya buat aku. Itu saja.”

“Dan kalau benar – benar ada sesuatu yang terjadi dengan Ibuku, untuk apa aku meraih impianku.? Percuma saja.” Ucapku dan Joko hanya diam, sambil terus menikmati rokoknya.

Aku pun akhirnya diam, sambil menatap kearah matahari yang mulai terbenam.







#Cuukkk. Matahari yang ukurannya lebih besar dari bumi saja, bisa istirahat malam hari dan sinarnya digantikan oleh rembulan yang ukurannya lebih kecil dari bumi. Apalagi aku.? Aku yang bukan siapa – siapa ini pasti juga butuh istirahat sejenak, dipangkuan Ibuku yang tersayang.
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan Tante.

Updetnya tipis - tipis aja ya..
semoga masih bisa diterima dan dinikmati..

oh iya, untuk updet minggu ini, IMPIAN aja.
kalau ada yang tanya MATAHARI nya kapan.? sabar dulu, kalau gak sabar mending saya gembok sekalian.
kalau sudah saya gembok, biasanya saya pasti lupa taruh kuncinya dimana.
mohon bersabar sekali lagi.

salam hormat dan salam persaudaraan..

:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd