Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG I N S Y A F

Bimabet
Selamat om @bidjimu tulisannya masuk Hot Thread #2

BUtZgxr.jpg

Wah makasih Suhu, baru tau kalau masuk rank hot-hot an. Heheh
Terimakasih sudah berkunjung Hu :cendol:
 
III. Menapaki Jalan Terjal

"Manusia cuma pemeran dalam cerita kehidupannya sendiri. Manusia bukan penulis dalam cerita kehidupannya yang seenaknya memilih diksi dan narasi untuk setiap langkah yang ditujunya"

Langit masih gelap, namun kokok ayam sudah mulai bersahutan, di pekarangan belakang rumah besar nampak bayangan hitam bergerak-gerak, meloncat, memukul dan menyepakkan kaki. Bayangan itu berhenti sejenak, kakinya memasang kuda kuda khas seperti gerakan silat, lalu meloncat lagi ke depan sambil mengangkat kaki kanannya ke arah depan sejajar dengan kepala manusia dewasa.

Bayangan itu adalah Hamid, Hamid yang sudah terbiasa bangun menjelang Subuh di Pesantren membawa kebiasaan itu ke tempat barunya, Hamid pun kembali melatih jurus jurus silat yang di ajarkan ketika di Pesantren oleh Sutan Sati atau yang dikenal orang dengan sebutan Pandeka Sati, entah mengapa firasat Hamid mengatakan akan ada hal besar yang akan dihadapinya, entah apa itu, namanya juga firasat, hanya Hamid dan fikirannya yang faham.

Setelah hampir satu jam berlatih, Adzan Subuh pun berkumandang, Hamid bergegas ke kamar mandi dan langsung berwudhu. Setelah itu Hamid kembali ke kamar dan membangunkan Rizal. Sambil menggerutu Rizal akhirnya terbangun, setelah satu sepakan kaki Hamid mampir dulu ke kakinya.

"Uda pagi sekali bangunnya"
kata Rizal setelah Hamid selesai Sholat

"saya kan disuruh pak Herman disini untuk bantu-bantu kau Zal, sekalian mau bertanya, apa saja yang harus dikerjakan"

"oh i tu, he he.. Kerja disini santai Da. Paling kita bersih bersih saja ruangan rumah besar itu, kalau ada tamu dari Jakarta mampir kesini baru kerjaan kita agak sibuk. Kalau tidak ada tamu dari pusat, ya kita santai-santai aja"

"Ya sudah, kalau begitu aku bersih bersih dulu ke depan. Jadi kalau ada yang datang, semuanya sudah nampak bersih"

"bentar Da, aku cuci muka dulu" balas Rizal lalu bergegas menuju ke belakang.

Hamid pun menyusul Rizal ke kamar mandi, lalu kembali ke depan membawa ember berisi air. Hamid berjalan menuju rumah besar. Karena masih terkunci Hamid mulai membersihkan kaca dari luar. Tak lama berselang, Rizal pun datang, lalu Rizal membuka pintu rumah dan ikut membersihkanya. Pukul setengah tujuh, kegiatan bebersih itu sudah selesai. Rizal mengajak Hamid keluar mencari sarapan.

Pulang dari mencari sarapan, Hamid dan Rizal bicara sepanjang jalan, tempat nya tidak terlalu jauh bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sampai di perempatan, Rizal dan Hamid belok ke kiri menuju tempat mereka tinggal. Dari kejauhan Hamid melihat beberapa buah motor berhenti di depan rumah kuning dengan kondisi motor masih menyala, tampak dua orang melempar sesuatu ke arah rumah kuning, nampak ada kejadian buruk yang akan terjadi, Hamid berlari kencang ke arah rumah tanpa mempedulikan Rizal yang sontak ikut berlari ketika melihat Hamid sudah agak jauh di depannya.

"Woiii kalian...!"
Hamid berteriak sambil berlari

Gerombolan motor tadi langsung kabur ketika sadar ada orang yang memergoki mereka, namun ada satu motor yang tertinggal di belakang, tanpa pikir panjang, Hamid langsung melompat ke arah motor menarik orang yang duduk di boncengan. Orang ini tadi yang dilihat Hamid melemparkan sesuatu ke Rumah kuning, dan ternyata benar, nampak api mulai menyala dari rumah kuning.

Orang diboncengan itu terjatuh dengan pantat duluan menghantam aspal, sementara pengendara motor terus menarik tuas gas nya dan meninggalkan temannya dalam kondisi terjatuh.

Hamid memutar tubuhnya, lalu mengangkangi orang itu, Hamid menekan lututnya ke leher, tangan kirinya menarik tangan orang itu kesisi dalam tubuhnya, lalu langsung melepaskan pukulan tangan kirinya ke pipi orang tersebut.
Bhuuugh... Buuughh.. Buuughh..

3 x Hamid melepas kan pukulan ke wajah orang tersebut, pada pukulan ketiga Hamid mendaratkan kepalan tangannya yang besar itu batang hidung orang tersebut.

"aarrrrgggghhhhhhh... Addduuuuhhhh"

Orang itu berteriak kesakitan, sementara buku kepalan tangan Hamid kecipratan darah orang tersebut.

Kejadiannya begitu cepat, Rizal yang baru sampai terengah-engah melihat Hamid memukuli orang, langsung diteriaki Hamid

"Zal, cepat ambi air, padamkan apinya"
Rizal pun bergegas kembali berlari ke arah belakang rumah besar.

Muka Hamid merah padam, menahan geram lalu Hamid menyeret orang yang sudah tak berdaya itu ke arah kamar mandi. Sampai di kamar mandi, Hamid mencari tali, karena tidak menemukan tali, cuma menemukan kawat, Hamid mengikat orang tersebut dengan kawat, lalu menguncinya di dalam kamar mandi. Hamid kembali lagi keluar, ternyata Rizal sudah di bantu orang orang sekitar untuk memadamkan api, apinya dari molotov yang dilemparkan gerombolan pemotor tadi, tampak pecahan kaca disana sini, api nya baru sempat membakar kain tirai yang melapisi kaca, untung Hamid dan Rizal lekas bergegas kembali ketika membeli sarapan tadi.

Hamid membersihkan bekas pecahan kaca tersebut, sementara Rizal ke dalam rumah besar menelpon Pak Herman untuk memberitahukan kabar yang baru saja terjadi.

"Pak Herman sudah diberi tahu, Zal?"

"Sudah, Da. Sebentar lagi Pak Herman mau menuju kesini"

"Polisi tidak ditelpon sekalian kah? Hamid bertanya kembali

"Kata Pak Herman tidak usah, Da. Ini urusan internal kata beliau"

Hamid memutar bola matanya sambil memikirkan sesuatu, lalu bergumam tak jelas.
Setelah selesai membersihkan pecahan kaca dan abu sisa kebakaran, Hamid kembali ke kamar mandi, Hamid menarik pelaku pembakaran tadi keluar dari kamar mandi, lalu menyenderkan tubuh yang sudah lemah itu ke dinding. Kepalanya terkulai, sementara kaki dan tangan diikat Hamid dengan kawat.

Hamid mengambil air seember lalu tiba-tiba Hamid menyiramkan kepada tubuh yang terikat lemas itu, si pelaku pembakaran itu mengerjap, kepalanya mengadah ke atas mencoba mengembalilan kesadarannya, rupanya terkena tiga pukulan ke wajahnya membuat dia pingsan.

Dari arah depan Rizal nampak berlari, ada orang lain bersamanya, berambut agak gondrong mengenakan kemeja motif kembang.

"Da, siapa orang ini? " laki laki yang bersama Rizal ini bertanya kepada Hamid

" Dia salah satu pembakaran" jawab Hamid dengan dingin.

"Da Hamid, ini Da Chairul, baru datang dari kampung, dia tinggal disini juga

"oh" Hamid mengibas-ngibas tangannya ke celananya lalu bersalaman dengan Chairul sambil tersenyum. Tidak adalagi kesan bengis di raut muka Hamid

"Sebentar Da, Zal, " Hamid lalu kembali menuju ke pelaku kebakaran tadi.
Hamid menjambak rambut orang itu, lalu menamparnya

Plaaaaaaakkk.. Plaaaaaaakkk...

Hamid menampar pipi kiri kanannya dengan cukup keras.

" Siapa yang menyuruhmu? "

Kembali Hamid menghadiahi pipi orang tersebut tamparan.

Plaaaaaaakkk...!!

Orang itu cuma menyeringai menatap ke muka Hamid
"Percuma, kau siksa aku sampai mati pun tidak akan aku buka mulut"

Buuuuuummmm..

Haaaakkk.. Huaaaaakkkk.. Haaaaaakkk....

Secepat kilat Hamid menghantamkan tapak kakinya ke dada orang tersebut, si penerima terbatuk, matanya melotot, dan mulutnya memuntahkan darah, kepalanya terkulai, lalu pingsan lagi.

Rizal dan Chairul yang menyaksikan itu semua bergidik ngeri. Rizal sebenarnya tidak menyangsikan bahwa Hamid memiliki jiwa berandalan seperti yang dialaminya ketika di terminal kemarin, tapi seumur-umur baru kali ini Rizal melihat penyiksaan manusia seperti yang dilakukan Hamid.

"Sudah Da, biarkan saja dulu, kita tunggu Pak Herman" Sela Chairul

Hamid hanya tersenyum, dan masuk kembali ke kamar mandi dan keluar lagi membawa ember yang berisi air dengan penuh.

Hamid menaruh ember tadi di atas paha si pelaku pembakaran, lalu mengambil kepalanya dan membenamkan kepala itu ke dalam ember. Tak lama bunyi air berkecipak kepala dalam ember tersebut bergerak liar ke kiri dan ke kanan.
Hufffffffttttt haaaaaaaaaah. Hosssh.. Hoooshhh.. Hoooosshhh

Kepala itu diangkat Hamid mengeluarkannya dari dalam ember. Si pelaku pembakaran terengah engah karena baru saja kepalanya dibenamkan ke dalam ember berisi air.

"Kau masih tidak mau bicara? "

Hamid bertanya sambil menampar nampar pelan pipi orang tersebut.

"Kau masih tidak mau bicara?"

lanjut Hamid lagi, kali ini Hamid bertanya sambil mengeraskan suaranya, matanya liar menatap sekeliling seperti mencari sesuatu. Mata Hamid berhenti di sebuah sudut, tampak sebuah obeng terletak disitu

"Zal, tolong ambilkan obeng yang disitu"

Hamid menunjuk ke arah obeng tersebut

"bu.. Bu.. Buat apa, Da?"
Rizal agak tergagap, takut kalau Hamid menggunakan obeng tersebut untuk membunuh orang.

Hamid tidak menjawab pertanyaan Rizal, Hamid cuma tersenyum ke arah Rizal, lalu berdiri dan mengambil sendiri obeng tersebut.
Hamid kembali berbalik dengan obeng yang sudah di gengga dalam kepalan tangannya.

"ini terakhir kalinya saya bertanya"
"Jadi, kau melakukannya atas perintah siapa?"

Kembali Hamid menanyai orang tersebut
Yang ditanya cuma diam sambil menatap lemah ke arah Hamid.
Hamid berjongkok hingga sejajar dengan pelaku pembakaran tersebut,

"Masih tidak mau bicara? "

Hamid menatap tajam ke mata orang itu lalu mencekek lehernya dengan tangan kiri, tidak begitu kuat, hanya saja membuat orang itu terbatuk-batuk
Hamid tidak melepaskan cekikannya
Dan bertanya lagi

" Siapa yang menyuruhmu? "

sambil menguatkan cengkramannya ke leher orang itu
Lalu Hamid menancapkan obeng yang sudah dipersiapkannya tadi ke paha orang tersebut

Aaaaaaaaaaaaargggghhhhh... Aaampuuunnn...
Aaaaaakkk... Aaaakk.. Aaaaaahhh...

Lolongan panjang terdengar nyaring lalu hening, kepala orang itu terkulai kembali. Sepertinya pingsan lagi.

Hamid berdiri, membiarkan obengnya tertancap. Lalu mendekati Rizal dan Chairul

"Kita biarkan dia disini dulu, kita tunggu saja pak Herman datang"

Chairul dan Rizal mengangguk lalu mengikuti langkah Hamid yang menuju ke arah luar.

"Ngeri sekali Da" ucap Rizal

"Zal, aku harus melindungi rumah ku, aku tinggal disini dan disini adalah rumah ku, kalau ada yang menganggu, berarti juga menganggu diriku"
Hamid tersenyum kepada Rizal

"Si Uda seram ah" Chairul menimpali sambil tertawa
Hamid juga tertawa, mereka bertiga tertawa..

Memang begitulah pesan buya Abdullah, Hamid harus menjaga rumahnya, melindungi saudaranya dimana pun dia berada.
Hamid melamun, ia rasakan ada sesuatu dalam dirinya yang terbangun dan itu pun membuat dada Hamid menjadi lega. Kenapa setelah memukul dan menyiksa orang, Hamid merasakan kelegaan yang luar biasa, apakah jalan ini yang dicari oleh Hamid selama ini, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan pesantren?
Entahlah, Hanya Hamid dan dirinya yang mengetahui

Tidak berapa lama, Pak Herman dan Rafi datang, terlihat mobilnya sudah memasuki pekarangan rumah besar. Rafi dan Pak Herman turun bersamaan, lalu meihat kaca depan yang sudah bolong karena pecah dilempar batu dan molotov.
Hamid Rizal dan Chairul menyongsong Pak Herman,

"Kalian Sudah sarapan? Berat sekali pekerjaan kalian pagi ini." kata pak Herman sambil tersenyum menatap mereka satu persatu
Itulah ajaibnya pak Herman, ia tidak mencerca anak anak asuhnya dengan pertanyaan yang aneh atau menggebrak dengan nada tinggi
"Sudah Pak, ini kejadian ketika kami sarapan" ucap Rizal
"Sudahlah, saya tidak menyalahkan kalian, ini biasa terjadi, dan sebelum kalian tinggal disini, kejadian yang lebih parah pun pernah terjadi "
" kalian tidak perlu merasa bersalah atas kejadian ini " lanjut pak Herman kembali.
"bagaimana kejadiannya?" kembali Pak Herman bertanya
Rizal pun menjelaskan kepada Pak Herman kejadiannya seperti yang ia saksikan, termasuk soal Hamid yang berhasil menangkap satu orang pelaku. Tentu saja bagian penyiksaan Hamid tidak diceritakan Rizal, biarlah Pak Herman yang melihat sendiri hasilnya.
Selama Rizal menerangkan kejadian, Pak Herman cuma manggut-manggut sambil sesekali mengelus brewoknya dan menatap ke arah Hamid. Setelah Rizal selesai bicara, tiba tiba pak Herman tertawa

"haa.. Haaa. Haaa.. Ternyata murid Pandeka Sati tidak pernah mengecewakan "

Hamid terkejut, tentu saja Chairul Rizal dan Rafi tidak faham tentang Pak Herman, selain Hamid tentunya.

" Saya pribadi mengucapkan banyak terimakasih pada mu Hamid, Pandeka Sati itu Guru silat mu bukan? Dari Darek hingga ke Pasisia, Pandeka Sati belum ada lawan yang sepadan, sekarang muridnya ada disini. Ha.. Haa.. Ha.. " Pak Herman tertawa lagi menutup kalimatnya

"Bapak tidak perlu berterima kasih kepada saya, saya hanya melakukan yang seharusnya saya lakukan ketika ada orang berniat jahat memasuki rumah saya, Pak"

Hamid memandang sebentar ke arah Pak Herman lalu menundukkan kepalanya kembali

"Khas sekali didikan Pandeka Sati itu di dalam dirimu Hamid. Haa.. Ha.. "
Pak Herman kembali tertawa.

" Ayo, mari kita lihat keadaan pelakunya"

seru Pak Herman segera melangkahkan kakinya menuju ke belakang.

Sampai di belakang, Pak Herman dan Rafi terbelalak, melihat tangan dan kaki pelaku pembakaran itu terlilit kawat dengan kondisi wajah yang hancur dan di pahanya tertancap sebuah obeng. Pak Herman menarik nafasnya dalam dalam melirik sebentar ke arah Hamid, lalu menatap kembali ke pelaku yang masih terlilit kawat.

"Siapa pelaku utamanya kira-kira? " gumaman Pak Herman di dengar oleh Chairul

" mungkin orang-orang partai merah, pak" Chairul menimpali gumaman Pak Herman

"ha... Ha.. Ha.. " Pak Herman kembali tertawa

"Orang-orang partai merah tidak akan mengambil resiko dengan menyerang di hari terang seperti ini. Yang berani berbuat seperti ini hanyalah orang orang dalam yang masih ada hubungan dengan Pak Herman, atau orang orang dari partai kita juga" Hamid memotong cepat

Rafi berdehem

"Benar juga yang dikatakan Hamid. Orang luar tidak akan mengambil resiko, tapi yang perlu kita ingat semua kemungkinan bisa terjadi"

"Oh ya, sebentar lagi polisi datang, biar polisi yang mengurus berandalan ini. Pelajaran yang diberikan Hamid Sudah cukup" Ayo kita ngobrol di luar."

Ucap Pak Herman seraya melangkahkan kakinya ke arah rumah besar.

"Zal, tolong buatkan kopi, kita bicara di teras saja, sambil menunggu polisi datang"

Mereka berempat minus Rizal tentunya berjalan menuju rumah besar.
Tidak berapa lama, setelah Rizal menaruh kopi di meja teras tempat mereka berkumpul, satu mobil datang, seorang personel polisi turun menemui Pak Herman, Pak Herman tampak menjauh dari teras tempat mengobrol tadi, entah apa yang dibicarakan Pak Herman.

Para personel polisi dari polsek tengah kota tersebut menuju belakang rumah, lalu kembali lagi sambil menggotong si pelaku pembakaran tadi. Kemudian personel polisi yang bicara dengan Pak Heman tadi pun pamit.

"Sudah beres semuanya. Nanti biar polisi yang mengurus soal penyerangan ini."

kata Pak Herman sembari menyalakan sebatang rokok kreteknya.
Semua terdiam, hanya tampak sesekali Rafi ingin bicara, namun karena Pak Herman tampak sedang sangat khusyuk menikmati kreteknya, Rafi mengurungkan niatnya kembali.

"Mid, kau tidak ingin kuliah seperti Rizal?" Pak Herman membuka keheningan
Hamid yang ditanya seperti itu, cuma menariknya nafasnya dalam-dalam.

"Maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya saya pribadi ketika memutuskan untuk keluar dari pesantren adalah untuk mencari kerja. Cuma setelah sampai di kota ini, saya bingung mau kerja apa. Terlebih ijazah saya cuma ijazah pesantren. Tentu saja semakin tipis harapan saya. Ketika bapak mengizinkan saya untuk tinggal disini, maka saya pun menurut saja apa kata bapak"

Hamid pun diam, hanya terdengar bunyi deru mesin kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

"Hamid, kau sangat lama di Pesantren. Sepertinya kau pun sudah kenyang dengan Ilmu agama, lalu kemana langkah yang kau tuju setelah keluar dari Pesantren?"
"Tapi terserah kau Hamid, mau kemana pun hidup hendak kau tuju, namun ketika kau tinggal disini, berarti kau di bawah tanggung jawab ku. Pun selama engkau mau bekerja bantu bantu disini, engkau pun akan beri gaji sama dengan Chairul dan Rizal. "

" Cuma, yang harus kau ingat Hamid, kau harus mempersiapkan dirimu untuk sesuatu di masa yang akan datang, begitu juga dengan kalian, Zal, Rul,Fi. Mungkin di suatu hari arah angin akan berganti, aku tidak lagi punya jabatan, lalu kemana kalian setelah itu? "

Pak Herman menghembuskan asap rokoknya ke Udara. Semua hanya diam

" Saya akan ikut Pak Herman, meski nanti tidak punya jabatan apa apa lagi"

"ha ha ha.... ".

Pak Herman hanya tertawa sambil menghisap kreteknya dan menghembuskan asapnya ke udara.

" kalau tidak menjadi pejabat, aku kembali bertani di kampung ku di kaki gunung Singgalang sana Mid, kalau keluar Pesantren kau cuma jadi petani, lebih baik kau kembali ke Pesantren, bisa mengajar disana, atau mengabdikan dirimu ke Pesantren."

Ha.. Ha. Ha.. "
kembali pak Herman tertawa.

"Saya hanya ingin di kemudian hari melihat kalian menjejak tanah dengan kaki yang kuat dan bahu yang tegap, mempunyai sesuatu yang dibanggakan, dan tidak diremehkan orang lain"

"tidak muluk keinginan saya, kalian punya potensi dalam diri masing-masing. Tinggal kalian mau mengembangkannya seperti apa"

Pak Herman kembali menimpali omongannya.

"Untuk kasus ini kalian harus faham, ini ada hubungannya ada orang yang iri dengan saya. karena langkahnya selama ini saya tahan. Tapi tenang, targetnya bukan kalian, tapi saya"

"Dalam politik ini hal yang biasa terjadi, saling jegal, saling menjatuhkan, dan saya sudah bersiap untuk itu, adapun kawan atau pun musuh dalam politik tidak pernah abadi, mereka akan terus berganti posisi. Sekarang lawan, besok bisa menjadi kawan begitu pula sebaliknya. Tapi sekali waktu, kau harus merangkul musuh mu yang kuat, untuk menghancurkan musuh mu yang lain"


Semua hanya diam, tidak ada yang menimpali omongan Pak Herman.

Saling diam, tiba tiba satu buah mobil sedan hitam memasuki pekarangan rumah besar, di belakang sedan itu ada dua buah mobil lagi yang beriringan pelan.

Pak Herman mengode Rafi agar mengajak Rizal, Chairul dan Hamid untuk pindah ke rumah samping. Rafi paham, setelah kejadian pelemparan molotov tadi pagi, tentu saja orang partai akan ramai datang.

Ketika sampai di paviliun tempat Rizal dan Hamid tinggal, mereka duduk di teras depannya masih saling diam, belum ada yang mulai bicara, semua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tiba-tiba ada seorang yang berpakaian safari datang, menyapa Rafi, lalu mengajak Rizal ke rumah besar karena dipanggil Pak Herman.

"Hamid, kau tau pria buncit berkumis tebal yang turun dari mobil hitam tadi?"

"Tidak tau saya, Uda, kan saya masih baru disini"
Jawab Hamid

"Ha ha ha" Chairul malah tertawa
Ditimpali pula tawanya oleh Rafi.

"Tapi kau bisa sekejam itu Hamid dalam Menyiksa orang? "

Hamid cuma tertegun mendengar pertanyaan Rafi

" Uda akan melakukan hal yang sama bukan kalau ada orang yang mengusik rumah Uda?"
Hamid balas bertanya kepada Rafi. Rafi pun menganggukkan kepalanya.

"Nah, itulah yang saya lakukan" jawab Hamid sambi kembali tersenyum.

"Yang melakukan penyerangan tadi adalah orang suruhan dari pria buncit tadi Mid, dia iri sama Pak Herman, seperti kata Pak Herman, dia kesal karena langkahnya terus dihilangi oleh Pak Herman."

"Ya sudah, kalau Uda sudah tau pelakunya, kita hajar saja sekarang " lalu Hamid bangkit dari duduknya

" Santai anak muda, jangan terburu nafsu, duduk dulu anak muda, bukan begitu cara mainya, kita harus membaca kontra indikasi sebelum minum obat" ucap Chairul, Rafi hanya tertawa, Hamid terheran lalu duduk lagi

"Kenapa? Kan kita sudah tau otak pelakunya, ya kita hajar, beres persoalan"

Rafi dan Chairul cuma tersenyum,

"Begini, Mid. Kita belum punya bukti konkret kalau dia di belakang penyerangan ini, makanya kita sabar dulu. Menunggu waktu yang pas, saya yakin, dia bukan lawan kau Hamid, pukulan kau akan langsung mengirimkannya ke Rumah Sakit, kau murid langsung dari Pandeka Sati, bukan?

Rafi bertanya sambil tersenyum kepada Hamid.

"Kalau menurut saya, semakin cepat urusannya diselesaikan, semakin baik, Da."
"Iya, tapi kita tidak bisa bergerak langsung secara frontal, kita tunggu arah angin yang baik dulu, Mid"
"Baiklah, saya menurut apa kata Uda saja"

Rafi mengasurkan rokok kepada Hamid, namun dengan halus Hamid menolaknya, Chairul tentu saja mengambilnya dengan sigap.

"Si Buncit tua itu ingin membangun arena judi lengkap dengan layanan prostitusi di dalamnya, dia mau membangunnya di sebuah pulau di dekat pantai Bungus, namun itu dipatahkan Pak Herman, makanya dia kesal, dan akan membunuh Pak Herman jika mendesak"

Hamid tersesiap mendengar omongan Rafi, tangannya ditangkupkan ke wajah, seperti gerakan orang yang tengah mencuci muka. Lalu menarik nafas dalam-dalam.

Hamid berfikir sedikit aneh, bagaimana manusia ingin saling bunuh demi kepentingan pribadi, tidak ada lagikah harga nyawa manusia?

"Saya pastikan itu tidak akan terjadi Uda. Saya akan menjaga Pak Herman" ucap Hamid sambil mengeratkan gerahamnya

"itulah yang kulakukan Mid, mengawal Pak Herman kemana dia pergi, karena saya tau, dia diincar oleh orang suruhan Si Azwar itu"

"Kau harus hati-hati dengan sekelilingmu Mid, tingkatkan kewaspadaan, kau pun demikian Rul"

"Kalian harus memperhatikan benar siapa saja yang keluar masuk rumah besar, kita tidak tahu pasti apa yang akan direncanakan si ular itu"

"Sebentar, Saya ke depan dulu Mid, Rul"

"Ya, Uda" Chairul dan Hamid menjawab serempak, Rafi pun melangkah menuju rumah besar.

"Itulah, Uda Hamid, intrik intrik orang politik ini banyak, meski di luarnya keliatan baik"

Hamid cuma angguk-angguk mendengar perkataan Chairul.
Saya cuma heran Rul, kenapa kita tidak langsung mengambil tindakan"

"Seperti yang dikatakan Bang Rafi tadi, Da. Kita menunggu waktu yang tepat"

Tengah mengobrol seperti itu, mereka dikejutkan oleh deru knalpot mobil yang digeber-geber, sontak Hamid dan Chairul menatap ke arah suara tersebut.

"Ha.. Ha.. Ha.. " Chairul tertawa sangat keras

" Kenapa Rul? Siapa itu yang datang?"
Hamid terheran melihat reaksi Chairul yang tertawa sangat keras.

"Itu yang datang anak bupati Kabupaten sebelah Da, tampaknya kabar penyerangan tadi pagi sudah tersebar."

Hamid hanya mengangguk tapi tak paham

Mobil Jeep yang bersuara knalpot keras itu parkir serampangan, dua pemuda gondrong dengan celana robek turun bergegas dari mobil tersebut. Mereka menuju ke tempat Hamid dan Chairul bukan ke rumah besar.

Assalamualaikum Rul" pemuda pertama menyapa Chairul dan mengangguk kepada Hamid

"Walaikumsalam Uda Geri, Uda Hasan"
Jawab Chairul

"Jadi mana pelaku nya" ucap pria gondrong yang bernama Geri

"Sudah dibawa polisi, Uda. Tapi sudah dipukul duluan sama Da Hamid"

Jawab Chairul sambil menunjuk Hamid
"Oh, Saya Geri, dan itu Hasan" ucap pria gondrong itu sambil menyalami Hamid
Sedang pria gondrong yang bernama Hasan cuma mengangkat tangannya ke arah Hamid, lalu merogoh kantongnya entah mencari apa.

"Si buncit Azwar sudah datang? Tanya Geri kepada Chairul

"Sudah uda" Chairul menimpali

"Tidak sabar ingin saya kerok kumisnya pakai gergaji besi ha haha.. "

Geri tertawa, Chairul dan Hasan pun tertawa, cuma Hasan tertawanya agak lama dan di ulang ulang, sementara Hamid hanya tersenyum.

" Hamid dari mana?" Geri bertanya ke Hamid
"Bukittinggi, Uda"
"Bisa main musik? " Geri bertanya sambil tertawa
" tidak bisa uda"
"Kalau berkelahi sih jago. Hahaha" kelakar Chairul memotong pembicaraan Geri.

Ha.. Ha.. Ha.. Geri dan Hasan tertawa, kembali Hasan tertawanya lebih panjang.

"Si Buncit itu tamaknya tidak hilang-hilang. Begitu juga kebiasaannya main perempuan, semoga terkena raja singa kalempongnya itu. Ha.. Ha.. Ha.. " Geri tertawa, begitu pula dengan Hasan dan Chairul, Hamid cuma senyum-senyum saja

" Kalau dia berdiri, tititnya tidak kelihatan dari atas" sela Hasan

"Kenapa San? " Geri bertanya

"ketutup sama perut buncit nya itu lah, tititnya kecil pasti"

"Kanciang!! Ha.. Ha.. Ha.. " Geri tertawa mendengar jawaban Hasan, Chairul dan Hamid juga ikut tertawa.

" Benar Ger, orang perutnya buncit, pasti tititnya kecil."

"Kau sudah pernah mengintipnya San? Hafal benar kalau persoalan kelamin jantan. Ha. Ha. Ha." Sontak ucapan Geri memancing tawa mereka semua.

"Da Hasan memang sudah berpengalaman soal kelamin pria dewasa, Da Ger" Mendengar sambaran dari Chairul, sontak mereka berempat tertawa lagi.

"Setan kau Rul, giliran urusan kelamin om-om kau bersemangat sekali" pungkas Hassan. Kembali mereka tertawa mendengar perkataan Hasan

"Nanti malam tidak ada acara kan? Kita main ke club di Selatan. Kabarnya banyak perempuan baru dari pulau seberang"

"ah, kau kalau mabuk rusuh, Ger. Saya kapok ke tempat hiburan kalau kau terus-terusan membuat masalah" jawab Hasan

"Tenang, ada Hamid. Kalau saya rusuh, paling di peteng Hamid dengan tangannya yang besar itu. " ha.. Ha. Ha.. Mereka kembali tertawa.

Hamid cuma senyum-senyum sendiri, baru kali ini Hamid merasakan pergaulan di luar pesantrean rasa hangat dan kekeluargaan yang serupa, tapi entah kenapa ada kebebasan di tiap candaan atau obrolan yang terjadi.

"Tapi nanti malam harus San, kita perkenalkan kota ini kepada Hamid"

"Saya belum pernah ke tempat seperti itu, Uda" jawab Hamid

"Maka nya Mid, kau diajak Geri, biar tau keadaan disana" Hasan memotong sebelum Geri menjawab.

"Kau mirip Rizal, Mid. Terlalu kaku. Perlu sentuhan perempuan agar tidak kaku. Ha... Ha. Ha"

Mereka tertawa kembali.

Wanita? Seumur-umur Hamid belum pernah dekat dengan wanita, dulu sempat sekali Hamid tertarik dengan seorang gadis di Canduang sana, Halimah, anak seorang saudagar disana, Hamid sering berbelanja kebutuhan Pesantren di kedai milik keluarga Halimah di Aur Kuning, beberapa kali Hamid bertemu Halimah, Hasrat kelelakian Hamid bangkit melihat senyuman dan sorot mata Halimah yang teduh, namun itu cuma sekedar saja, setelah beberapa kali tidak lagi bertemu dengan Halimah di kedainya, akhirnya Hamid mendapat kabar, kalau Halimah telah menikah dengan anak sesama saudagar pula tentunya. Hamid sedikit terpukul mendengar kabar pernikahan Halimah tersebut, bibit cinta yang baru tumbuh tunasnya layu kembali, tidak sempat menikmati indahnya berbuah.

Ah, Halimah. Hamid larut dalam lamunannya

"Mid, Mid, Hamid! Assalamualaikum"
Hasan meneriaki Hamid

Hamid terkesiap dari lamunannya

"Ah, iya Uda, ada apa? "

" Kau Mid, sedap sekali rupanya lamunan kau, kita mengajak ngobrol, kau diam saja" pungkas Geri

"melamunkan perempuan yang ditinggalkannya di kampung, mungkin" balas Chairul

Ha.. Ha.. Ha.. semuanya kembali tertawa.

"Benar Mid, Sudah terpaut pula hati mu pada gadis Bukittinggi yang cantik cantik dan molek molek itu?"
Geri kembali bertanya.

"ah, sama sekali tidak Uda, saya selama ini cuma di Pesantren, belum pernah sekali pun berhubungan dengan perempuan" Hamid tersipu-sipu

"Berarti sudah cocok, San. Nanti malam kita ajak Hamid ke Selatan untuk melepas perjaka "

" ha.. Ha.. Ha.. Kalau kau jadi bandarnya, saya ikut aja Ger" Hasan tertawa, tawanya panjang dan berulang-ulang

"Urusan kecil lah itu, kau tidak usah risau San, seperti biasa saja aturan mainnya. Saya bayar perempuan, kau yang bayar minuman. Ha.. Ha.. Ha.. " Geri kembali tertawa

Sementara Hasan cuma merungut-rungut tak jelas.

"Kalau saya terserah Uda Uda saja, kalau diajak, tentu dengan senang hati saya ikut" Chairul tersenyum menatap Geri

"Kau Rul, tidak diajak pun paling menyusul sendiri kesana. Ha.. Ha.. Ha.. Ke kawinan saja kau berani datang tanpa diundang" jawab Hasan sembari tertawa

Chairul, Hamid, dan Geri pun ikut tertawa

"Kita jemput Fadly, San? Tanya Geri ke Hasan

"Fadly itu mau jadi polwan Ger, merokok saja dia enggan, apalagi diajak ke tempat hiburan" Ha.. Ha.. Ha."

"Benar Da Hasan, tidak jadi homo saja sudah bersyukur itu Uda Fadly hahaha" Chairul ikut tertawa

"Hush.. Kalian, jelek jelek begitu, Fadly masih coli pakai tangan kiri kok"

Ha.. Ha.. Ha.. Kali ini mereka tertawa lebih keras..

Sementara itu dari Rumah Besar tampak beberapa orang keluar dari sana, seperti nya masih ada pembicaraan serius. Mereka masih berdiri di teras terlihat sedang membicarakan sesuatu.

"Itu kalian liat si kumis buncit, kalau sedang berdiri seperti dia tidak bisa melihat titit sendiri " ha.. Ha.. Ha.. Mereka tertawa keras mendengar Hasan bicara seperti itu

Kontan saja, orang orang yang di rumah besar melihat ke arah mereka, si buncit juga ikut menoleh, tentu saja dia tak sadar kalau sedang jadi bahan ejekan.

" dia merasa itu kalau jadi bahan ejekan, nanti preman suruhannya akan dikirim untuk mencukur rambut kau San" Geri menoleh ke Hasan

"Tulang delapan kerat ini masih kuat kalau hanya untuk kelahi dengan anjing-anjing peliharaan si buncit itu Ger" balas Hasan sambil mengangkat tinju kirinya

Ha.. Ha.. Ha.. Geri tertawa keras mendengar jawaban Hasan

Sontak si buncit dan bodyguard nya menoleh
Geri beradu pandang dengan bodyguarnya si buncit, lalu meludahkan ludah nya ke tanah.

"Anjing!! Bodyguarnya menantang saya seperti nya" ucap Geri

Hasan bangkit dari duduknya lalu berdiri, dengan cepat Hasan melangkah menuju ke rumah besar. Geri, Hassan, Chairul, melongo melihat langkah cepat Hamid menuju rumah besar

"Mid!! " teriak Geri keras sekali, namun terlambat
Bersamaan dengan teriakan Geri, Hasan sudah sampai di teras rumah besar. Orang orang yang mendengar te riakan Geri serempak menoleh,

Hamid dengan cepat menarik bodyguard si buncit, di tarik dengan tiba-tiba dan dalam posisi yang tidak siap, bidyguard si buncit terhuyung ke samping, dengan cepat lutut Hamid bersarang di rusuk si bodyguard, Hamid masih menahan tubuh si bodyguard dengan tangan kirinya, lalu Hamid melayangkan sebuah pukulan keras dari tangan kanannya tepat di wajah si bodyguard.

BUUUUGHHHH..!
Sebuah pukulan bersarang telak di wajahnya
Si bodyguard jatuh tertelungkup sambil mengaduh dan mengerang kesakitan, lalu Hamid menekan leher bagian belakang si bodyguard dengan lutut nya, dan tangan si bodyguard di tarik Hamid ke arah atas.

Aah... Aduhh.. Aduh...

Si bodyguard masih mengerang kesakitan
Kejadia nya begitu cepat, membuat semua orang yang berada di teras rumah besar terkejut, tampak Pak Herman, menahan senyumnya. Sementara si buncit menahan geram karena tak mungkin melawan Hamid.

Dengan cepat Rafi menarik tubuh Hamid
"Mid, sudah Mid, mati nanti anak orang" teriak Rafi sambil menarik Hamid

Hamid bangkit, lalu menatap tajam ke arah si buncit.
Si buncit pun membalas tatapan Hamid dengan tidak kalah tajam..

"Maaf, bapak bapak semuanya, orang ini dari tadi menatap saya seperti nya saya ini maling. Pak Herman, saya Minta maaf" ucap Hamid sambil menunduk

"Sudah, biasa itu, laki-laki ya adu otot. Kalau tidak mempunyai nyali tentu main dengan cara belakang. Bukan begitu Azwar? " Kata pak Herman sambil tersenyum kepada si buncit Azwar.

"iya bang, hal yang biasa kalau laki-laki berkelahi" jawab si buncit Azwar merasa tersindir

Geri lalu menarik Hamid ke arah rumah belakang, diikuti Chairul dan Hasan, sementara si bodyguard tadi tampak sedang jongkok membersihkan diri nya dibantu oleh Rizal. Tidak beberapa lama Azwar si buncit dan bodyguard nya itu naik ke mobil nya lalu meninggalkan rumah besar, sementara beberapa orang tampak masih bicara dengan pak Herman di teras rumah besar.

"Gila kau Mid, langsung main tangan tanpa basa basi" Ucap Geri ketika telah sampai di belakang
"Uda terlalu banyak pidatonya, kalau tidak senang pukul aja langsung" kata Hamid sambil tersenyum.

"Disana teman Ayah saya semua Mid, saya harus jaga sikap."

"Tapi, Pak Herman tidak marah kan? Tanya Hamid sambil menatap Chairul, Hasan, Geri bergantian

"Tidak tau juga Mid, ke Saya Pak Herman berani marah. Ha. Ha.. Ha.. " Geri tertawa disambung Chairul dan Hasan

" Saya merasa tidak enak, soalnya kejadian nya tepat di depan Pak Herman"

"Tadi waktu kau memukul orang itu kau memikirkan apa Mid? Geri menanyai Hamid balik

"Tidak ada, Da, tidak ada pikiran apapun selain keinginan untuk memukul orang itu"

"Nah, besok jangan diulang lagi kalau begitu, Mid. Sabar sedikit. Baca aturan pakai sebelum minum obat. Ha.. Ha.. Ha.. " Geri tertawa

" Mantap Mid" kombinasi pukulan yang bagus, ungkap Rafi yang tiba tiba muncul dari depan.

"Tapi Da? Pak Herman tidak marah kan? "

" Tidak marah kok, santai saja"

"Tadi di dalam memang sempat tegang. Pak Azwar bersikukuh kalau pelaku pelemparan bukan orang suruhannya, cuma sepertinya Pak Herman tidak percaya, bodyguardnya tadi sempat memperlihatkan pistol di pinggangnya ketika di dalam tadi kepada saya. Seperti nya untuk ke depannya kita harus berhati-hati, khususnya kau Mid. Sepertinya kau juga sudah ditandai Pak Azwar." ucap Rafi sambil menerawang.

"Tenang saja Fi, saya, Hasan, dan kawan kawan yang lain akan sering berada disini. Si buncit juga tidak akan berani lagi mengirimkan orangnya "

" Iya, tapi kalian jam sadarnya cuma sedikit, habis itu mabuk semua. "

Mereka serempak tertawa mendengar jawaban Rafi.

" Nanti malam kau ikut Fi? Tanya ke Geri ke Rafi..

"kemana? "

" Selatan kota"

"iya, kemarin saya sudah janji mau mengajak Hamid"

"Sekalian saja kalau begitu" jawab Rafi.

Baru hari kedua, Hamid sudah berjumpa dengan masalah di tempat ini. Hamid makin yakin dengan perasaannya. Akan ada hal lain yang akan terjadi. Entah kapan itu, Hamid pun tak tau. Hamid cuma meningkatkan kewaspadaanya mulai dari sekarang

******​


Sementara itu, di sebuah kantor di arah Timur Kota.
Tampak dua orang tengah bercakap sambil setengah berbisik.

"bagaimana? Berhasil? " tanya orang pertama
" Satu orang tersangkap sudah dibawa ke Polsek" jawab orang ke dua
"Sesuai rencana kan? Orang pertama kembali bertanya
"Iya, sesuai rencana, nanti dia akan bernyanyi, kalau dia orang suruhan Azwar. Biasanya kalau sudah internal partai, Herman tidak akan memperpanjang urusannya"

"Bagus, pastikan semua berjalan seuai rencana, bermain lah yang rapi"
"Nanti malam kita ke club di selatan kota, kabarnya banyak perempuan baru yang datang dari seberang" orang pertama kembali melanjutkan pembicaran

"Baiklah, saya pun sudah bosan dengan daging yang di rumah. Mau mencoba daging yang di luar, biasanya lebih menggigit.

Ha.. Ha.. Ha.. Mereka tertawa berbarengan

"Ayo kita lanjutkan pembicaraan ini sambil makan siang di Restoran Selamat "
Kata orang pertama mengajak orang kedua sambil bangkit dari duduk nya.
 
Update meluncur suhu-suhu sekalian:cendol:
Silakan dinikmati seada-adanya :Peace:
Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan disana sini. Baik dari penulisan, jalan cerita, atau update yang kurang panjang.

Ditunggu juga kritik dan saran suhu-suhu sekalian. Selamat malam. Salam hangat persaudaraan :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd