Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Incest Story : Arti Keluarga (Update Terbaru)

Kenapa ga dimasukkan ke thread Sedarah aja
Soalnya bakal muncul satu karakter yang gak sedarah :Peace:
Saran,jngan terlalu singkat eks nya hu.klo bisa d tambah bumbu" Hinaan dan kasar
Sabar suhu ini masih awal awal :D
Request POV alvin dong
izin nongkrong
Nanti jam 8 malem akan update hu Chapter 2 itu juga ada beberapa POV termasuk Alvin, jangan lupa yang nongkrong atau masang tenda siapin kopi buat nemenin baca :tegang:
 
Chapter 2

**

Aku sedikit terkejut saat mendengar suara pintu depan dibuka dari luar. Lalu aku pun menghampirinya dan melihat seseorang yang paling aku cintai di dunia ini.

“Suamikuuuuuu.”

Aku langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat-erat. Meskipun di dalam hati kecilku aku masih terus merasa bersalah atas apa yang telah aku lakukan selama ia tak ada di rumah.

Aku pun langsung menciumnya di bibir. Dapat terasa olehku bahwa ia sedikit terkejut dengan ciuman dariku.

Whoa whoa whoa, slow down darling.” ucapnya.

“Mau pulang kok gak ngasih kabar dulu, bikin kaget aja.” ucapku lagi, setelah tak lagi memeluknya dan kini tengah membukakan jas yang dipakainya.

“Tapi mama seneng kan? Papa udah pulang?” ucapnya sambil menaikan kedua alisnya yang tebal.

“Seneng bangeeeet.”

“Sini cium lagi.” ucapku tanpa menunggu jawaban darinya.

Kali ini ia menikmati saat bibir kami berdua bertemu dan bersentuhan satu sama lain. Kami berciuman di ruang tamu, tak peduli bahwa Alvin, ataupun Emma dan Adam bisa muncul kapan saja di detik selanjutnya. Tapi kami tidak peduli, aku tidak peduli, aku merindukan suamiku.

Lalu aku mengajaknya ke kamar.

“Anak-anak pada kemana ma?” tanyanya seraya melepas kemejanya.

Tubuhnya begitu fit, itu yang paling aku sukai darinya. Selain tampan, untunglah dia tidak seperti pria buncit yang ada di kepolisian. Aku benci itu.

“Alvin ada di kamarnya, Emma pergi kerja kelompok di rumah Chelsea, pulangnya nanti paling jam 6 sore. Kalo Adam pergi main sama temennya, dia akan pulang sebelum jam 9 malam.”

“Begitu rupanya.”

Suamiku sudah mengganti seragam kantornya dengan pakaian rumahnya yang lebih santai, sebuah kaus putih lengan panjang nan celana panjang berbahan katun.

“Kalau begitu tolong ya ma.” ucap suamiku.

“Sudah menjadi tugasku sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga untuk mencuci pakaian kotor suaminya.”

“Hihihi apaan sih ah, lucu deh.”

Kami berdua keluar dari kamar sambil aku membawa tumpukan pakaian kotor yang telah digunakan suamiku selama bekerja. Aku langsung pergi ke mesin cuci sedangkan suamiku pergi ke ruang tengah.

“Mau dibuatkan kopi ga pa?”

“Boleh deh.” ucap suamiku setelah duduk di atas sofa.

Aku langsung membuatkan kopi untuk suamiku, kopi susu adalah kesukaannya. Suamiku tidak pernah menyukai kopi hitam, terlalu pahit katanya. Lalu setelah aku selesai membuatkan kopi, aku mempersiapkan beberapa camilan untuknya.

“Ini kopi, dan ini camilannya pa.” ucapku, sambil menaruh pisin di atas meja dan piring kecil berisikan camilan.

“Terima kasih ma, pokoknya mama istri terbaik sedunia.” ucapnya seraya mengambil kacang di atas piring kecil.

“Ih apaan sih papa, berlebihan deh.”

Setelah itu, suamiku menceritakan bagaimana pekerjaannya di tempat kerja. Aku hanya tersenyum disaat ia menceritakan semuanya, meskipun aku tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakannya, aku senang dapat mendengar suaranya saat ia bercerita, dan aku senang bahwa ia sudah kembali pulang ke rumah. Kembali kepadaku.

***

(POV Emma)

“Akhirnya selesai juga.” ucap Chelsea seraya menyeka keringat yang ada di dahinya dengan punggung tangan kirinya.

“Syukurlah sudah selesai, jam berapa sekarang…”

Aku melepas ikat rambutku lalu melihat layar hapeku dan sudah menunjukkan angka ‘07:58 pm’.

“Oh sial, sebaiknya aku langsung pulang.”

“Kenapa memang?”

“Aku berjanji pada ibuku aku akan pulang jam 6 sore, dan sekarang sudah jam segini.”

Aku langsung merapikan barang-barangku dan memasukannya ke dalam tas. Sementara Chelsea tengah merapikan kekacauan yang sudah kami buat.

“Maaf ya Chel, aku ga ikut bantu bersih-bersih.”

“Gapapa, biar aku aja yang beresin, kamu kan udah bantuin bikin prakarya buat besok kita.” ucap Chelsea seraya mengikat rambutnya ke belakang.

“Kalo gitu aku pulang duluan ya, sampai jumpa besok.”

“Sampai jumpa besok, hati-hati di jalannya Em!”

Aku langsung pergi meninggalkan lingkungan rumah Chelsea dan menuju perjalanan pulang.

Saking asyiknya aku dan Chelsea membuat kerajinan untuk besok, aku sampai lupa waktu dan sekarang sudah malam.

Semoga aku tidak bertemu dengan yang aneh-aneh. Meskipun jam 8 masih terbilang ‘siang’ tetap saja, aku tidak ingin bertemu dengan yang aneh-aneh malam ini.

Sekarang aku merasa bahwa ada orang yang mengikutiku dari belakang. Perasaanku tidak enak kali ini.

“JANGAN DEKAT-DEKAT!”

“Cih, aku masih tetap belum bisa ngagetin kak Emma.”

“Adam? Ngapain kamu disini?”

“Aku baru pulang dari rumah temen, soalnya aku udah janji ke mama harus pulang sebelum jam 9. Kalo kak Emma habis darimana?”

“Kerja kelompok di rumah temen, aku bilang ke ibu kalo aku bakalan pulang jam 6 sore. Tapi akunya malah lupa waktu, dan disinilah aku sekarang.”

“Duh, aku takut ibu marah…”

“Tenang saja, mama gaakan marah kok. Lagipula kak Emma tetap pulang pada akhirnya mah kan?”

“Ya iya sih.”

Adam tersenyum kepadaku, seolah-olah berusaha menenangkanku yang tadinya sedang panik. Kini aku tenang setelah melihat senyumannya.

Tingginya kurang lebih sama sepertiku, tapi sepertinya aku lebih tinggi darinya. Walaupun hanya berbeda tiga sentimeter tapi tetap saja. Rambutnya berwarna coklat dan rambutnya begitu tebal nan bergelombang. Wajahnya putih bersih, akan tetapi ada bintik-bintik yang muncul di area hidungnya. Meskipun begitu, Adam adalah anak yang manis. Berlebihan jika aku harus menyebutnya tampan, kata manis jauh lebih cocok untuknya.

Lalu aku pun pulang berdampingan bersamanya sampai ke rumah.

“Mamaaaa, aku pulang.” ucap Adam setelah masuk ke dalam rumah.

“Aku pulang…”

Selagi aku melamunkan skenario dimana ibu memarahiku, tiba-tiba ayah menghampiri kami berdua.

“Selamat datang. Syukurlah kalian pulang tepat waktu. Ibu sedang membuat makan malam.”

“Papa pulang? Kenapa gak bilang-bilanggg?” ucap Adam seraya memeluknya.

“Hehehe, gapapa sekali-kali mah. Udah sana cuci kaki cuci tangan baru bantuin mama.”

“Iyaaaaa.”

Adam masuk terlebih dahulu. Aku masih menundukan kepala. Menunggu Ayah untuk mulai berbicara.

“Ibu bilang Emma berjanji akan pulang pukul 6 sore.” ucap ayah, nadanya tidak terlalu dingin.

“Aku keasyikan sampai lupa waktu, maaf ayah…”

Aku terus menunduk, ayah tak mengatakan apa-apa lagi, yang dapat kudengar hanyalah suara hela nafas panjang dari ayah. Kemudian aku dapat merasakan tangannya yang besar tengah mengusap-usap rambutku.

“Ayah tidak marah, begitu juga dengan ibu. Kami hanya khawatir saja. Lain kali jangan pulang terlambat ya?”

“Baik ayah…”

“Yaudah, sekarang masuk terus cuci kaki cuci tangan. Jangan lupa minta maaf sama ibu, ya?”

“Baik ayah…”

Good girl.”

Aku menyimpan tasku di kamar, duduk di atas kasur dan menghembuskan nafas panjang berulang kali seraya menutupi wajah dengan kedua tanganku.

Itu hampir saja, aku beruntung ayah pulang. Kalau tidak, pastinya aku sudah diomeli ibu karena pulang telat.

“Emma, makan malam siap.” ucap kak Alvin di ambang pintu.

“Ih, kakak ngagetin aja.”

“Cepatlah, makan malam siap. Oh dan juga aku yang membantu ibu mempersiapkan makan malam, kamu berhutang padaku Em.”

“Iya iya… gitu aja perhitungan banget…”

Kak Alvin kemudian kembali turun ke meja makan, mungkin sebaiknya aku menyusulnya. Setelah aku mencuci kaki dan tanganku.

Ayah, Ibu, kak Alvin dan Adam sudah duduk di meja makan. Makanan sudah tersaji di depan mereka, tapi sama sekali belum disentuh ataupun tersentuh. Seolah-olah mereka menunggu kehadiranku.

*

*

*

(Awal mula terjadinya hubungan Julia dan Alvin)

*

*

*

(POV Alvin)

Sekarang tanggal 31 Oktober, hari Halloween. Komplek sungguh ramai dengan anak-anak yang mengenakan kostum dan berkunjung ke setiap rumah dan meminta permen. Dan disinilah aku, duduk di teras bersama ayah sambil mengobrol dan merokok.

Ayah memberitahu kepadaku bahwa dia akan pergi dinas ke luar kota selama satu bulan. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli, tapi ternyata. Hal tersebut akan berdampak sekali kepada ibu.

“Alvin, Ayah harus dinas ke luar kota dan diharuskan menetap disana selama satu bulan. Tapi jangan beritahu ibu terlebih dahulu ya?“ ucap ayah.

“Oh… begitukah?“

“Iya, sampai papa pulang. Tolong jagalah mama dan juga adik-adikmu ya? You’re the big man while i’m gone.

Ayah memukul pundakku main-main.

Kemudian ayah menyuruhku untuk segera tidur. Lalu, pada pukul dua belas malam. Terdengar jelas perdebatan antara ibu dan ayah dari kamarku.

“APA YANG HARUS KULAKUKAN SELAMA KAMU PERGI PA!“ seru ibu, suaranya sedikit terisak karena sudah menangis.

“Sayang… sayang… sebulan bukan berarti aku tidak akan kembali pulang. Setelah tugasku selesai, pasti aku akan kembali pulang kepadamu sayang.“ ucap ayah, suaranya setenang mungkin untuk menenangkan ibu.

“TAPI AKU AKAN KESEPIAN! APA KAMU TIDAK MEMIKIRKAN SOAL PERASAANKU!?“ ibu kembali berseru, kemudian disusul oleh suara tangisan.

Ayah buru-buru menenangkannya, sepertinya ibu langsung dipeluk dan diusap-usap rambutnya oleh ayah. Hanya itu saja yang terdengar olehku sampai pada akhirnya aku tertidur.

Keesokan harinya, aku bangun sendiri pada pukul tujuh pagi. Aneh rasanya, biasanya ibu selalu membangunkanku. Lalu aku pun keluar dari kamarku. Aneh lagi, rumah terasa sepi sekali.

Lampu masih menyala, gorden belum dibuka, dan tidak ada tanda-tanda dari ibu. Jika ayah, pasti dia sudah berangkat sebelum matahari terbit. Aku pun menuju kamar Emma dan Adam.

“Em, bangun Em, udah pagi.“ ucapku seraya membangunkannya.

Emma akhirnya terbangun, selagi ia berusaha membangunkan Adam. Aku pergi ke kamar mandi, dan terlihat olehku. Di meja makan tidak ada makanan satu pun untuk sarapan.

Dengan perasaan bingung mana dulu yang terlebih dahulu dikerjakan. Akhirnya aku memutuskan untuk membuatkan roti lapis dan susu untuk Emma dan Adam.

Emma dan Adam akhirnya keluar dari kamarnya.

“Kalian mandilah terlebih dahulu, biar aku yang membuatkan sarapan.“

“Kak Alvin? Membuat sarapan?“ Emma meledekku, terlihat olehku senyuman sinisnya.

“Cepatlah mandi, nanti kalian terlambat.“

“Memangnya mama kemana kak?“ tanya Adam kali ini.

“Entahlah, sepertinya masih tidur. Sebaiknya jangan dibangunin dulu.“

Emma dan Adam mengangguk-angguk, sepertinya mereka paham, atau mungkin tidak.

“CEPATLAH KALIAN MANDI, AKU TIDAK TANGGUNG JAWAB JIKA KALIAN NANGIS KARENA TERLAMBAT!“

Setelah aku bentak mereka, akhirnya mereka pun menurutiku.

“AWAS AKU DULU YANG PAKE KAMAR MANDINYA!“ teriak Adam.

Benar saja, Adam yang pertama menggunakan kamar mandi, sedangkan Emma pergi ke ruang tengah untuk menonton kartun di pagi hari. Bisa-bisanya dia menonton kartun disaat sudah terlambat ke sekolah.

Sarapan mereka dan milikku sudah selesai dibuat, selagi Adam masih di kamar mandi. Aku pergi memeriksa ibu di kamarnya.

“Bu…?“

Meskipun aku telah membuka pintunya, sama sekali tak ada jawaban dari ibu. Lalu aku melihatnya masih berbaring dengan pakaian tidurnya yang semi-transparan, dengan posisi menyamping dan terisak menangis.

Aku pun masuk, mengambil kursi kosmetik ibu dan duduk di sampingnya.

“Ibu…“

Ibu sama sekali tak menjawabku, ia hanya terus menangis terisak. Mungkin ibu perlu waktu sendiri, sebaiknya aku kunci seluruh pintu begitu berangkat sekolah.

Begitu aku keluar dari kamar ibu, suara Emma terdengar berada di kamar mandi, dan Adam berada di kamar tengah berpakaian.

Sepuluh menit, Emma keluar dari kamar mandi. Dalam waktu segitu, terhitung cepat sekali bagi seorang perempuan. Tapi biarlah, aku pun langsung mandi.

Selagi air pancuran mengalir ke tubuhku, aku terus berpikir bagaimana aku mengatasi ibu yang galau ditinggal ayah sedang di luar negeri.

Tak kusangka ibu akan segalau itu, tidak heran jika ayah memberitahuku terlebih dahulu.

Setelah selesai mandi, aku keluar dengan handuk. Melihat Emma dan Adam sedang sarapan di meja makan.

“Cepatlah kalian berangkat, gerbang akan segera ditutup.“

“AKU BERANGKAT DULU.“ ucap Emma dan Adam hampir bersamaan.

Aku ke kamar untuk memakai seragam, lalu memakan roti lapis dan susu yang kubuat sendiri.

Setelah merapikan meja makan dengan menyimpan seluruh perabotnya ke dalam wastafel. Aku pamitan kepada ibu.

“Bu, aku berangkat sekolah dulu ya bu? Seluruh pintu akan kukunci supaya tidak terjadi apa-apa kepada ibu.“

Sekali lagi, ibu tidak menjawabku. Aku pun mengelus rambutnya terlebih dahulu sebelum aku berangkat ke sekolah.

Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci. Aku mengambil jaket denim, membawa helm dan menuju ke garasi mengeluarkan motor vixion, hanya lima belas menit aku pun sampai sebelum gerbang sekolah ditutup.

Untuk keesokan harinya dan lusa. Keseharian kami berjalan tanpa adanya ibu. Ibu masih tetap saja mengurung diri di kamar, merenungi kepergian ayah. Aku kewalahan sebenarnya. Mungkin sebaiknya aku melakukan sesuatu terhadap ibu.

“Bu Guru, aku izin untuk absen dari hari ini sampai pemberitahuan lebih lanjut.“

Setelah aku mengatakannya, hampir seisi ruang guru melirik ke arahku, seolah-olah aku telah mengatakan sesuatu yang tidak sepantasnya terhadap ibu wali kelasku. Tapi aku sudah mengatakannya sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan bukan?

“ ‘Sampai pemberitahuan lebih lanjut’? Sungguh tinggi betul dirimu itu ya?“ ucap bu guru.

Aku yakin usianya pasti tidak lebih dari tiga puluh tahun, dan dia memilih untuk mengajar di SMA. Aku menghormatinya.

“Aku sama sekali tidak bermaksud tidak sopan kepada ibu, tapi aku hanya ingin mengutarakan keperluanku disini.“

“Dan keperluan apa sehingga membuatmu perlu izin hingga pemberitahuan lebih lanjut?“

Aku tidak terlalu ingin mengatakannya tapi aku harus membuatnya percaya.

“Aku harus merawat ibuku.“

“Ibumu? Ada apa dengan ibumu?“

“Ibu sedang sakit, ayah sedang bekerja di luar negeri, dan dia menyuruhku untuk merawat ibu selagi ia tidak ada.“

“Sakit apa ibumu itu?“

Aku menghela nafas panjang, ibu guru masih tetap tidak percaya kepadaku.

“Biar aku tanya kepadamu bu guru. Apa ibu sudah mempunyai suami?“

Ibu guru sedikit terkejut setelah mendengar pertanyaanku, guru-guru yang lain langsung heboh.

“Belum menikah ibu wali kelas kamu mah Vin.“ ucap guru yang lain.

“Begitukah? Tidak heran jika ibu guru tidak mengerti betapa sedihnya ditinggal suami selama satu bulan.“

Guru-guru yang lain langsung bersorak dan tertawa mendengarnya. Sedangkan ibu wali kelasku hanya memasang senyum canggung dan dapat terlihat jelas bahwa wajahnya sangat merah. Aku sedikit bersalah kepadanya.

“B-baiklah… kalau begitu ibu izinkan… semoga ibumu cepat sembuh…“

Akhirnya.

“Terima kasih bu.“

Aku menunduk untuk mencium tangan ibu wali kelas, selagi aku mencium punggung tangan kanannya. Tangan kirinya memegang pundakku dan karenanya aku menjadi sedikit lebih dekat dengannya.

“Lihat saja setelah nanti kamu masuk sekolah lagi.“ bisiknya, tangannya meremas kuat-kuat tanganku.

Wtf is her problem?

Aku pun meninggalkan ruang guru, menuju tempat parkir dan menaiki vixion. Langsung aku pulang menuju ke rumah.

“Bu? Aku pulang.“

Tetap saja tidak ada jawaban dari ibu, aku hampir terbiasa dengan keaadan ini. Aku tidak mau terbiasa.

Setelah aku menyimpan tasku di kamar, aku menuju kamar ibu. Ibu masih tetap saja berbaring di kasur, terisak-isak. Air matanya sudah lama kering sejak dua hari yang lalu.

Badannya menjadi sedikit kurus dan pakaian tidurnya telah kusam. Botol-botol wine berserakan dimana-mana. Jelas sekali terkesan tidak terurus olehku, maafkan aku ibu. Aku akan mengurusmu dari detik ini.

“Ibu, ayo bangunlah. Ibu perlu mandi, dan juga perlu makan. Ayolah.“

“Jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan aku…“ lirih ibu, berulang kali.

“Ibu, ayolah. Ini aku.“

Pertama kalinya, ibu menoleh kepadaku. Seram sekali rasanya, tatapan matanya begitu kosong dan pipinya dihiasi oleh air mata yang telah mengering.

“Suamiku… apakah itu kau…?“ tanya ibu, seraya meraba-raba wajahku.

Sial, ibu sudah mulai berhalusinasi. Mungkin sebaiknya aku memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.

“Iya… papa sudah pulang ma…“

Wtf am I doing, mana mungkin ibu percaya dengan aku yang menirukan suara ayah seperti barusan.

Akan tetapi, sangat jauh berbeda sekali reaksi ibu dari yang kuharapkan. Mata ibu langsung berbinar-binar, lalu memelukku dengan begitu erat.

“Papaaaaaaaaa, mama kira kamu akan pergi selamanyaaaaa. Mama kangen banget sama kamuuuuu.“

“M-mana mungkin papa ninggalin mama ya ga?“

Fuck, apa yang sebenarnya aku lakukan.

Btw, mama belum mandi tiga hari ya? Terus juga badannya jadi kurus gini, belum makan sama sekali?“

“Maunya dimandiin sama papa~“

Setelah memelukku, ibu menjadi manja sekali kepadaku. Aku mulai bertanya-tanya apakah dia masih tetaplah ibuku atau bukan.

“Baiklah… sehabis mandi langsung kita makan ya? Papa buatin omurice spesial kesukaan mama.“

Kemudian, ibu menjadi diam. Sepertinya aku salah bicara. Lalu ibu memelototiku.

“Papa… bisa masak…?“

SUDAH KUDUGA, TIDAK SEHARUSNYA AKU BILANG ITU.

“Eh… Ah… Uhhh…“

“AKHIRNYA AKU BISA NYOBAIN MASAKAN PAPA UNTUK PERTAMA KALINYA.“

“Hehehe… iya… untuk sekarang ayo kita mandi terlebih dahulu…“

Ibu mengangguk, dan tetap saja manja kepadaku. Sepertinya ibu sungguh-sungguh berpikir kalo aku itu ayah. Aku jadi tidak enak karena telah membohonginya.

Kita berdua sampai di kamar mandi. Selagi ibu menunggu, aku mengisi bak mandi terlebih dahulu.

“Bu, eh maksudku, ma. Beneran pengen dimandiin sama papa?“

“Kenapa nanya lagi? Ini sih belum seberapa kalo dibandingin saat masih pacaran. Dulu papa yang sering pengen ngelakuinnya di kamar mandi.“

Wtf…

“Y-yaudah, buka bajunya mau sama sendiri atau dibukain…?“

“Bukain~“

Oh god, I’m sorry for this.

Aku lepasin baju tidur mama yang semi-transparan. Kini aku bisa melihat pakaian dalamnya yang berwarna putih bermotif bunga-bunga dengan jelas. Tidak seharusnya aku memperhatikannya, tapi itu sungguh indah. Ditambah lagi dengan bentuk badan ibu, meskipun belum makan selama tiga hari, ibu masih memiliki lekukannya. Karenanya, celanaku menjadi sempit. WTF IS WRONG WITH ME, THIS IS SO WRONG. STOP GET HARD.

“Pa? Kenapa malah bengong? Cepet bukain behanya.“

“I-iya ma, ini mau dibukain.“

Aku buka pengait behanya ibu dan celana dalam putihnya dengan cepat. Buru-buru aku membalikan badan.

“I-ibu, maksudku, mama cepatlah masuk ke dalam bak, kalau tidak, nanti akan masuk angin.“

“Iyaaaaaa.“

Begitu ibu sudah masuk ke dalam bak, dan setengah badannya sudah tertutupi oleh air, aku mengambil bangku kecil dan pelan-pelan membasuh ibu dari atas kepalanya.

“Jangan lupa gunakan sabunnya ma.“

“Iyaaaaaaa.“

Ibu menggunakan sabun cair dan menggosokan nya ke seluruh badannya termasuk wajahnya juga. Aku, jujur, tidak tahu harus melihat kemana.

“Sudah? Ayo angkat kepalanya.“

Ibu langsung menengadahkan kepalanya dan aku membasuhnya dengan pelan supaya air tidak masuk ke mata ibu.

“A-aduh duh, tolong ambilin handuk sayang.“

Fuck, aku buru-buru ambilin handuk dan kasihin ke ibu. Lalu langsung ibu gunakan untuk menyeka wajahnya.

“Hehe, busa hampir masuk ke mataku.“

Begitu ibu selesai menyeka wajahnya, dan melihat wajahku. Ia terkejut bukan main.

“Alvin…?“

Akhirnya ibu kembali sadar. Tapi situasi ini jadi canggung.

“I-iya bu…?“

“Selama ini kamu, nak…?“

“I-iya bu…“

Ibu melihat dirinya telanjang di depanku, langsung menutupi dadanya supaya tidak dilihat olehku.

“A-aku akan menunggu ibu di luar saja deh ya…?“

“I-iya…“

Aku keluar dari kamar mandi, meninggalkan ibu menyelesaikan mandinya. Semoga tidak terjadi apa-apa di dalam sana.

Sepuluh menit, aku khawatir menunggu. Pada akhirnya ibu keluar sambil mengenakan handuk untuk menutupi badannya.

“Syukurlah ibu tidak apa-apa…“

“Iya sayang…“

Sialan, situasi ini sungguh canggung sekali.

“S-selagi ibu ganti baju, aku masakin sesuatu buat ibu ya?“

“Oh… iya boleh… makasih ya sayang….“

Aku sedikit memperhatikan ibu dari belakang, kemudian aku mengusap-usap leher bagian belakangku dan langsung memasak.

Begitu aku sudah selesai, ibu tak kunjung kembali keluar dari kamar. Aku pun langsung membawakan sepiring hangat omurice ke kamar ibu.

Ibu terduduk di atas kasur, kembali melamun. Handuknya ia biarkan tergeletak di atas kasur, ini tidak seperti ibu seperti biasanya. Aku pun langsung menghampirinya.

“Ibu…“

“Alvin… papamu lagi kerja ya…?“

Aku udah gabisa berpura-pura lagi sebagai ayah.

“Iya bu…“

Mata ibu berkaca-kaca dan siap untuk kembali menangis. Aku menyimpan piring di atas laci tempat tidur dan langsung memeluk ibu.

“Ibu… ayah pasti pulang kok, ayah tidak akan meninggalkan kita, ayah pasti pulang.“

“Bagaimana jika papa selingkuh? Bagaimana jika dia sama persis seperti kakek kamu waktu dulu…?“

“Itu tidak akan terjadi bu, ayah tidak akan melakukan hal seperti itu ke Ibu.“

Aku hanya memeluk ibu erat, seraya mengusap-usap punggungnya, aku berusaha sebisaku untuk menenangkan ibu.

Setelah ibu sudah tenang. Aku menyuapinya makan. Sengaja aku buat porsi besar supaya memenuhi asupan yang tertinggal selama tiga hari.

Dan untuk pertama kalinya, aku mendengar ibu sendawa. Syukurlah, itu berarti ibu sudah kenyang.

“Akan kuambilkan minum ya bu?“

“Tidak apa, tidak usah, biar ibu ambil sendiri. Sekalian pengen nonton TV juga.“

“Baiklah kalau begitu.“

Aku menyimpan piring kotor di wastafel dan langsung mencuci semua perabotan yang telah digunakan dan juga mencuci piring-piring kotor tadi saat sarapan. Sedangkan ibu mengambil air minum.

“Aneh rasanya melihat Alvin cuci piring hehehe, biasanya paling gamau cuci piring tuh.“ ucap ibu seraya mengusap-usap rambutku.

Syukurlah ibu sudah kembali seperti biasa.

Setelah selesai minum, ibu duduk di sofa dan menyalakan TV. Begitu aku selesai cuci piring, aku duduk di samping ibu.

“Ibu… meskipun ayah sedang tidak ada di rumah, ibu masih punya kami bertiga kok, ibu tidak sendirian.“

“Terima kasih sayang… ibu akan berusaha…“

Ibu pun tersenyum, aku pun senang, dan lega melihatnya.

“Kamu gak sekolah?“ tanya ibu, saat iklan tiba.

“Aku ngambil izin beberapa hari, aku masih belum bisa meninggalkan ibu sendirian di rumah.“

“Ehhhhh, kamu jangan sampai segitunya. Sekolah kamu jangan sampai terganggu hanya karena ibu.“

“Aku akan kembali sekolah, setelah aku sudah sangat-sangat yakin kalau ibu tidak apa-apa meskipun aku tinggal pergi ke sekolah.“

Kemudian ibu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dua jam kemudian, Adam pulang ke rumah.

“Loh kok gak dikunci, mama?“ ucapnya samar-samar terdengar olehku setelah ia membuka pintu.

“Iya? Mama disini sayang.“

Setelah mendengar suara mama, dapat kudengar bahwa Adam buru-buru menghampiri ibu seraya berlari.

“MAMAAAAAA!“

Tidak menunggu respon dari ibu, Adam langsung memeluknya dengan begitu erat. Ibu sedikit terkejut karenanya, tapi pada akhirnya ia mengusap-usap kepala Adam.

“MAMA TERNYATA UDAH BANGUN! KIRAIN AKU MAMA GAAKAN BANGUN LAGI!“ ucap Adam, masih memeluk ibu.

“Hahaha… mana mungkin itu, lagian ibu gak kemana-mana kok.“ ucap ibu, akan tetapi yang kemudian terjadi ibu terlihat menyadari sesuatu.

“Mama?“ Adam menengadahkan kepalanya, tapi tangannya masih tetap memeluk ibu.

“Bu? Apa ada yang salah?“

Kemudian ibu menoleh kepadaku lalu tersenyum.

“Terima kasih sudah menyadarkan ibu ya Alvin, meskipun papa gaada di rumah. Ibu masih punya kalian.“

Baru kali ini kulihat ibu tersenyum sejak tiga hari terakhir. Tapi ada yang berbeda dengan senyuman ibu saat ini, senyumannya membuat jantungku berdebar-debar. Tidak biasanya aku seperti ini, hampir setiap hari aku melihat ibu tersenyum. Kenapa kali ini sungguh berbeda sekali rasanya.

Saking terpesonanya aku dengan senyuman ibu, aku lupa untuk mengatakan sesuatu. Akan tetapi, mulutku tidak ingin mengucapkan sepatah katapun.

Aku pun hanya menganggukan kepala dan menunduk, menatapi kedua kakiku yang masih mengenakan celana abu-abu, tak lama kemudian aku beranjak dari sofa dan pergi ke kamar. Sungguh aku tidak mengerti dengan diriku yang sekarang ini.



**
Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd