Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Istri Yang Tergadai [Drama & Pemaksaan]

Apa balasan yg setimpal buat Hendra ?


  • Total voters
    375


Episode 5
Janjian dengan Pak Aditya


Sore sebelum jam kerja berakhir, Pak Aditya datang ke kantorku. Dia muncul tiba-tiba begitu saja tanpa memberi tahu. Ih... ngapain sih si Pak Aditya menjemput aku sampai masuk segala ke kantor ? Kesal dan malu kan.

"Hai Bella...." Katanya sambil senyum-senyum ngga jelas.

"Bapak.... ngapain sih kesini !" Desisku, terkaget melihat kehadirannya di kantorku tanpa pemberitahuan. Surprise.

Pak Aditya tidak menjawab tapi tetap berjalan sambil melambaikan tangan. Dia melewati mejaku dan langsung membuka pintu Pak Dhani.

Ya ampun......
Kupikir dia mau ketemu aku, rupanya dia mau ketemu Pak Dhani.
Tapi bisa marah nih si Pak Dhani kalau ada tamu tanpa pemberitahuan.
Aduuh bagaimana ini ?

"Woy.... Dhani... tidur aja lu !" Teriaknya kencang saat pintu ruang direktur dibukanya lebar-lebar.

Tamat sudah riwayatku.
Pak Dhani paling tidak suka kalau ada tamu datang tanpa membuat janji dulu lewat aku sekertarisnya.

"Eeeeh Pak Adit.... kok ngga bilang bilang dulu...." Suara Pak Dhani terdengar dari dalam.

Tuh kan, si Pak Dhani juga kaget atas kehadirannya. Mampus guaaaa, batinku berteriak.

"Hahaha... nyantai aja Dhan..."

Klek
Pintu ditutup dan hanya terdengar suara samar-samar mereka berbincang didalam.

Kepanikan melanda, bagaimana kalau aku sampai dipecat ? Sementara aku butuh pekerjaan ini untuk menghidupi keluarga kecilku.

Keringat dingin mulai bermunculan. Rasa mulas di perut menghampiri.

"Billa..... sakit ?"
Bu Agnes yang kebetulan lewat di mejaku bertanya khawatir karena mungkin melihat aku stres.

"Aduh bu... gimana ya... itu Pak Aditya masuk begitu aja ke ruangan Pak Dhani tanpa janji dulu." Siapa tahu bu Agnes punya solusi.

"Emang kenapa kalau langsung masuk ?" tanya bu Agnes heran.

"Ituu buuuu... Pak Dhani itu pasti ngomel kalau ada yang mau ketemu tanpa ijin dia." Masa sih bu Agnes ngga ngerti.

"Emang kamu ngga tau ?" Bu Agnes heran lagi.

"Aku ngga tau buuu... dia dateng langsung nyelonong begitu aja...." Badanku sekarang yang jadi dingin ketakutan.

"Bukan itu Billa..... Emangnya kamu ngga tau kalau Pak Aditya itu pemilik saham perusahaan ini ?"

Hah ?
Aku menggelengkan kepala perlahan sambil memandang bu Agnes.

"Ck ck ck ck ......" Bu Agnes mendecakkan lidah sambil ngeloyor pergi ke ruangannya.


**********

Dan sekarang Pak Aditya duduk di hadapanku.

"Cafe nya rame yah Bell." Sang pemilik perusahaan tempat aku bekerja itu mengomentari keadaan cafe Stubruk yang sedang penuh. Pak Adit selalu memanggil aku sebagai Bella, bukannya Billa.

Aku tak menjawab, hatiku masih kesal sama beliau.
Bagaimana mungkin dia tidak pernah memberitahu aku kalau itu perusahaan miliknya ?
Tapi aku tahu diri, siapalah aku ini ?
Aku orang yang tak tahu diri karena sudah ditolong orang yang begitu baik ini tapi masih saja kesal.

"Pak maaf, saya ngga tau kalau bapak adalah pemilik perusahaan." Aku berbicara serendah-rendahnya untuk meminta maaf sama beliau.

"Pindah yuk Bell. Disini ngga enak terlalu ramai"

Pindah ? Kemana ?

"Saya ada tempat favorit, kamu pasti suka." Tanpa menunggu persetujuanku, dia sudah berdiri.

Ya Tuhan... untuk traktir dia ngopi di tempat ini aja pasti harus menyisihkan uang transportku untuk beberapa hari. Apalagi 'di tempat favorit' pak Adit yang pasti bukan tempat biasa.

"Ehh.... anu... pak..." Mulai deh otakku mencari-cari alasan supaya kita ngga kemana-mana. Aku yakin tak akan sanggup mentraktir Pak Aditya di 'tempat favorit' nya.

Seakan tak menggubris omonganku, dia memegang tanganku dan menuntun keluar.

Aku ini manusia, tapi saat itu aku seperti kerbau yang sedang dicucuk hidungnya, nurut aja ditarik-tarik sama dia.

Kami menunggu mobil Pak Adit dibawakan oleh Valet Service. Setelah datang, aku ragu-ragu untuk naik ke sebuah SUV Range Rover warna putih. Tapi pak Adit sudah membukakan pintu depan untukku dan dia menahannya untuk tetap terbuka agar aku masuk.

"Cepetan Bell ! Ngapain kamu bengong !" Dia menghardik sampai aku kaget. Buru buru aku masuk.

gaa...Blek !
Pintu ditutup.

Kalo pintu angkot ditutup suaranya 'krepyakkkk'.
Ternyata kalau mobil yang mahal itu suara pintunyg 'gaaBLEK'.
Sesuai....

Panas dingin aku duduk di sebelah Pak Adit yang nyupir sendiri.

"Bapak.... ngga pakai supir ?" Berani-beraninya mulut ini bertanya. Heran sama diri sendiri.

"Ngga... saya lebih suka nyupir sendiri. Bebas." Jawabnya.

Kami melaju ke arah selatan menembus beberapa kemacetan. Sepintas aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 18:30. Jam berapa aku pulang ke rumah ? kekhawatiran mulai menyerang.

Kami melewati sebuah stadion sepak bola yang dibangun tahun 1960an.
Belok kanan.... lurus.... ngga tau mau dibawa kemana aku.

Tiba-tiba dia belok kiri, masuk ke sebuah tempat yang kelihatannya sepi. Kepalaku celingak celinguk berusaha melihat barangkali ada tulisan nama tempat ini.

"Hotel Mulia Senayan".

Dek dek dek dek dek dek dek.....

Jantungku langsung berdenyut kencang dan keras. Rasanya suara jantungku bisa terdenggar oleh Pak Adit di keheningan mobil yang nyaman ini.

"Saya diajak kemana pak......" hati-hati aku bertanya.

"Pokoknya enak deh." Lelaki 40an yang menyebalkan itu cengengesan.

Mau benci, tapi dia pemilik perusahaan.

Dia mau apa ngajak aku ke hotel ?
Mungkinkah.......
Ah tidak.

Dulu waktu pertama bertemu di private room Blok M juga dia cuman ngerokok dan ngobrol, padahal kesempatannya untuk berbuat sesuatu padaku terbuka lebar.

Aku sedikit tenang. Tidak mungkin bapak ini macam macam.
Aku teruuus aja ikut, tepatnya diseret olehnya masuk ke hotel.
Ini hotel mewah banget ya, aku celingukan bagai orang kampung.
Tanganku terus dituntun oleh Pak Adit.

"Selamat malam Pak Aditya." Sapa sekuriti hotel.

"Malam Mbang.... shift malem nih ?" Pak Adit rupanya kenal satpam sini.

"Shift sore pak sampai nanti jam 10 malam." Satpam itu menjawab sambil memeriksa tas yang aku bawa.

"Lama ngga pernah kesini, Pak Aditya." Lanjutnya.

Ih, berati Pak Adit sering ngamar di hotel ini ya, sampai kenal sekuriti.

"Saya sibuk Mbang." Katanya pada sekuriti bernama Bambang itu.

"Silahkan Pak Aditya, masuk." si Bambang mempersilahkan masuk pada Pak Adit sambil matanya mengerling ke arahku. Senyumnya mencurigakan.

Aku setengah percaya setengah tidak, bahwa Pak Adit sering bawa perempuan ke hotel ini.

Memikirkan itu, tanpa sadar aku berhenti dan berdiri mematung. Kalau tadi bagai kerbau dicucuk hidung, sekarang aku bagai kambing yang menolak ditarik-tarik. Pak Aditya terpaksa berhenti juga.

"Bapak mau ngapain ngajak saya kesini ?" Aku bertanya dengan nada ngambek.

"Udah pokoknya ikut. Enak deh, ngga bisa dikasih tau nih anak." Dia menjawabku sambil tetap cengengesan.

Ih nih orang udah om-om tapi gaya bicaranya kaya anak SMA aja.

"Nggak !" Jawabku tegas.

"Hahahaha." Dia malah ketawa ngakak.

Aku ngambek.

"Disini ada restoran italia tempat saya makan dengan tenang. Jangan takut."

Restoran ? di tempat seperti ini ??? Harganya berapaaaa ? Sebulan gaji guaaaa ?
Kepanikan melandaku.

"Saya yang bayar kok." Katanya enteng banget sambil kembali menarik tanganku.

Aku kembali jadi kerbau yang dicucuk hidungnya, mau aja ditarik-tarik lagi.

Baru pertama kali dalam hidupku merasakan makan di tempat yang menurutku sangat mewah. Pak Aditya menjelaskan tentang menu-menu yang ada di buku dan memberi beberapa saran. Aku nurut saja sama beliau.

Pak Adit selalu sopan dalam berbicara, tak sedikitpun dia mengeluarkan godaan atau berbuat kurang ajar. Aku merasa nyaman berada dekat dengannya. Kami berbicara banyak hal, tetapi terutama Pak Adit bertanya mengenai masa laluku, rumah tangga saat ini, dan rencana serta cita-citaku kedepan.

"Saya yakin, kamu bisa bekerja dengan baik karena kamu cerdas Bella."

Hatiku terbang oleh pujiannya.



**********

Hati-hati aku membuka pintu rumah, berharap supaya Hendra sudah tidur.

Rumah sepi, lampunya mati. Mungkin benar si Hendra suamiku itu sudah tidur.

Kututupkan pintu dengan perlahan, lalu kukunci.

Ceklik.

"Abis dari mana lu jam 11 malem baru balik ? Ngga inget sama anak ?"
Hendra, sedang duduk di lantai sudut ruangan dalam kegelapan. Dia rupanya menunggu aku pulang. Puntung rokok telah menggunung di asbaknya. Ruangan penuh sesak oleh asap. Dia berdiri menghampiri.

KLEPAK ! KLEPAK !!

Sebuah tamparan keras bulak balik mengenai pipi kiri dan kanan.

Blukk
Tubuhku didorong dan ditekan ke pintu yang baru saja tertutup oleh sebelah tangannya.

"Ngkkkkk."
Cekikan kedua tangan si Hendra mengunci leherku. Matanya merah.

Dia murka.

"Lu mulai macem-macem ya.... awas gua bunuh." Tangannya tambah erat mencekik.

"Jelasin, lu abis ngentot sama siapa ?" Cekikannya mengendur.

"Buruan atau gua cekik lagi sampe mampus." Ancaman itu membuatku berbicara. Panik.

"Mbun tadi ada miting pemegang saham di kantor sampai malam, yah." Otakku bekerja mencari kebohongan yang bisa menyelamatkan nyawa.

Hendra berdiri mematung. Empat mata kami saling tatap, lama sekali.

Dia mencari sedikit tanda di mataku yang menunjukkan kalau aku berbohong.
Tapi aku tidak berbohong, aku bertemu dengan pemegang saham utama.
Dan aku lolos dari tes uji kebohongan.

"Besok gua ke kantor, mau nanya sama bos elu."

Apaaa ?
Ini bukan cuma panik, ini lebih panik daripada mau dibunuh sama si Hendra.
Masalahnya ada di perasaan malu..... aib kalau sampai suamiku datang ke kantor dan ketemu Pak Dhani untuk menanyakan kebenarannya. Aku tak akan sanggup lagi untuk bekerja disana.

"Lonte." Katanya mulai menghinaku.

"Lonte murahan aja pake belaga selingkuh." Hinaan itu makin menusuk.

"Gua bukan lonte." Jawabku.

Keberanian dari mana itu ? Mungkin karena aku sudah lelah ngadepin suami seperti ini. Emosiku mulai naik dan merasa telah cukup aku dikata-katai sepanjang rumah tangggaku ini.

"Eh... berani ya ngelawan." Matanya melotot.

Bukkk.... bukkk.. bukkk... plakk....Dzig..dziggg
Dan aku menggelosoh di lantai.

"Ayo ngelawan lagi !" Tantangnya.

Karena dendam yang telah membara didalam dada, perlahan aku berdiri lagi tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuh.

Aku menegakkan badan, dan memandang sinis dan tajam.

"Ngkkk...."
Sebelah tangan Hendra kembali mencekikku dengan tiba-tiba, sebelah tangah yang lain menarik baju dan rok yang aku kenakan sekuat tenaga.

Bret... bret... bret...

Dia melemparkan bajuku dan rok yang berhasil dia robek ke tengah ruangan.

Aku tetap berdiri tegak memandangnya tajam.

Menantangnya.

Tubuhku setengah telanjang hanya dengan bh dan celana dalam saja.

"LONTE JALANG !" Desisnya.

Aku tak bergeming.

Klek....
Hendra membuka kunci, lalu membuka lebar lebar pintu rumah kontrakan.
Dia berusaha mempermalukanku. Gimana kalau ada orang lewat ?

"Apa maksud lu ?" Desisan tajam kuarahkan ke wajah Hendra.
Hendra ini suami tak berperikemanusiaan, dia berusaha mempermalukan istrinya sendiri dengan mempertontonkan aku.

"Lonte kaya elu biar dientot orang sekampung."
Belum berhasil kucerna maksudnya, tubuhku sudah melayang ditendang keluar pintu.

Bluk.
Aku terjatuh di tengah gang yang remang. Walau sakit lututku, tapi aku langsung berdiri dan lari masuk ke dalam rumah lagi. Dia menghalangiku dan kami saling dorong.

"Ayah... nanti ada orang !".

"Biarin."

"Yah... sadar yah...."

Kami terus saling dorong. Aku berussaha masuk kedalam rumah, dia berusaha menahanku tetap diluar. Rasa dingin mulai menyergap tubuhku yang setengah telanjang. Aku ingin nangis sejadi-jadinya saat ini.

Biar bagaimanapun, tenagaku hanya seorang perempuan yang tak mampu melawan tenaga lelaki yang sedang kalap seperti Hendra. Aku ambruk, lemas karena perasaanku yang tak kuat lagi menahan derita memiliki suami seperti dia.

Hendra terdiam saat aku ambruk di depan pintu kontrakan. Kurasakan dia akhirnya menyeretku ke dalam rumah tetapi tak jauh dari pintu yang masih terbuka lebar.

Aku dibuatnya bersujud, tak mampu melawan. Hatiku sudah begitu lemah menahan siksaan batin. Aku, ingin cerai dengan suamiku.

"Aaaah....." Bibirku masih mampu menjerit lirih waktu Hendra melorotkan celana dalamku dan melakukan penetrasi dari belakang. Doggy style.

Pintu rumah masih dalam keadaan terbuka, dan aku dipermalukan oleh suamiku sendiri yang berusaha mempertontonkan adegan setengah pemerkosaan ini.

Masih untung, hari sudah larut malam dan tak ada orang yang lewat.

Hendra terus menghajar vaginaku yang kering.

Perih.
Tak mampu kulawan, bahkan untuk menggerakkan tangan pun tak mampu kulakukan.
Aku hanya nungging tanpa pakaian.
Pasrah walaupun misalnya ada yang lewat dan melihatku dalam keadaan terhina.

srak.. srak.. srak
Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki beberapa orang.

Kepanikan mulai melanda, jantungku berdebar lebih kencang.
Siapa itu yang sedang berjalan di gang ?
Ingin aku bergerak melawan dan berlari tetapi tangan dan kakiku lemah, selemah jantungku.
Bahkan tak akan mampu kulawan jika teman-teman si Hendra datang ke rumah dan ikut menyetubuhiku dalam keadaan nungging seperti ini.

Pandanganku gelap.
Pingsan.

**********
Bersambung ke :
6. Running Away
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd