Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Istri Yang Tergadai [Drama & Pemaksaan]

Apa balasan yg setimpal buat Hendra ?


  • Total voters
    375
BAGIAN 2 : MAJA
*************************************

Episode 1
Petugas Berseragam.


Siang itu aku sedang menyusun materi rapat yang diminta Pak Dhani. Minggu depan Pak Dhani dan beberapa staf akan mengadakan acara seminar di Bali. Kertas-kertas berisi penawaran beberapa hotel berserakan di mejaku. Ada beberapa pilihan yang belum sempat kubicarakan dengan bagian keuangan. Biaya sewa ruang rapat di hotel bintang lima di Bali ternyata mahal sekali.

Dari sudut mata terlihat Pak Sargo tergopoh-gopoh menghampiriku. Pak Sargo adalah executive security di kantor.

"Mbak Billa.... anu... ada dua orang petugas berseragam meminta ketemu Pak Aditya." Nafasnya ngos-ngosan, maklum beliau itu sudah berusia menjelang 60 tahun. Pak Sargo adalah pensiunan militer yang dikaryakan di kantor.

"Wah... ada apa yah ?" Aku juga kaget dengan kedatangan mereka. "Coba mereka diminta menunggu di ruang rapat, Pak Sargo." perintahku.

Aku segera masuk ke ruangan pak Dhani.
"Pak... ada dua petugas berseragam nyari Pak Aditya, saya sudah suruh Pak Sargo untuk meminta mereka menunggu di ruang rapat."

Pak Dhani yang sedang browsing internet di laptopnya langsung terlihat kaget.
"Waduh......" katanya.

Aku menunggu perintah selanjutnya dari Pak Dhani.

"Cepet panggil bu Agnes dan Pak Abito !" dia terlihat panik.

Aku jadi makin kebingungan, ada apa sih kok tiba-tiba dia panik ?

Begitu juga Bu Agnes dan Pak Abito ketika kuberitahu. Mereka bertiga langsung miting dadakan dengan pintu tertutup. Samar-samar dapat kudengar pembicaraan mengenai audit, laporan tahunan, amplop, uang, dll.

Apa sih ?

Sepuluh menit kemudian mereka bertiga keluar dari ruangan. Bu Agnes membawa sebuah amplop coklat tebal.

"Bella, ayo ikut kita untuk ketemu mereka." Pak Dhani memberikan perintah sambil berlalu menuju ruang rapat dimana dua petugas itu menunggu. Aku menguntit mereka bertiga dari belakang.

Kedua petugas berseragam coklat itu langsung berdiri sewaktu kami masuk.

"Selamat datang bapak-bapak, saya mohon maaf karena bapak-bapak harus menunggu lama. Kami tadi sedang miting." Bu Agnes memperesilakan mereka duduk kembali.

"Kami mohon maaf sebelumnya karena belum sempat berkunjung bulan lalu ke komandan, sampai-sampai beliau mengutus bapak-bapak kemari untuk menjemput dokumen. Ini, pak mohon diterima dokumennya." Pak Dhani memulai pembicaraan itu.

Yang dimaksud dengan 'dokumen' adalah amplop coklat tebal berisi uang gepokan.
Dua petugas itu saling pandang, lalu mengambil amplop coklat tebal.

"Kami mohon disampaikan ucapan maaf sama komandan, sampai-sampai telat ngasih dokumennya." Pak Abito menyambung pembicaraan Pak Dhani.

Tetapi dua petugas itu kembali berpandangan satu sama lain.
"Begini bapak dan ibu..... kami sebetulnya kemari bukan diutus komandan untuk mengambil dokumen tetapi karena ada tugas lain. Ini ada surat panggilan untuk Pak Aditya Pramono untuk pemeriksaan terkait kasus penculikan."

Salah seorang dari mereka mengangsurkan sebuah surat bercap pihak berwajib.

Sekarang Pak Dhani, Bu Agnes dan Pak Abito saling pandang-pandangan.

Hening.

Pak Dhani bertanya.
"Penculikan ? Pak Aditya ? tidak salah Pak ?"

"Betul, nanti hari Senin tanggal 8 diharap untuk datang ke kantor kami untuk pemeriksaan."

"Penculikan gimana pak maksudnya ?" Bu Agnes menyela.

"Penculikan terhadap Ibu Salsabila Yunita dan anaknya, yang melapor bapak Hendra Kurniawan."

Pandangan mata tiga orang langsung menatap kearahku, meminta penjelasan.

"Billa...... ada apa ini ?" Tanya Pak Dhani tajam.

Aku kebingungan.

"Oh... ini ibu Salsabilla yang dilaporkan diculik ?" tanya petugas itu.

"Eh... betul pak, saya Salsabilla." Aku menjawab dengan jantung berdegup kencang.

"Ahhhhh......." kata dua orang itu berbarengan. "Mungkin ini perihal rumah tangga ya ?".
Tebakan kedua petugas tadi tepat, mungkin mereka sering menemukan kasus seperti ini.

Aku mengangguk lemah.

"Baiklah kalau begitu, kehawatiran kita adalah yang diculik mengalami kesulitan. Tapi saya lihat ibu Salsabilla sehat-sehat aja bahkan ternyata bekerja di perusahaan ini."
Seorang diantara petugas tadi menyampaikan kehawatirannya sambil senyum-senyum.

"Namun demikian sebaiknya Pak Aditya Pramono tetap datang untuk berkordinasi dengan kami. Sampaikan salam kami ke Pak Aditya. Kami mohon pamit kalau begitu."

Akhirnya dua orang petugas itu pulang dan aku diinterogasi oleh para bos.
Malu sekali rasanya menceritakan apa yang kualami, tapi aku hanya menceritakan sedikit hal yang penting saja. Hal yang membuatku malu tak aku ceritakan.


**********


Keesokan harinya aku masih tetap datang ke kantor dan bekerja.

"Billa, masuk ke ruangan saya dan tutup pintunya." Pak Dhani sepertinya masih ingin membicarakan hal yang kemarin.

Kini aku duduk berhadapan dengan Pak Dhani di meja kerjanya.

"Kamu belum cerita semua ke saya." Katanya. Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan gontai ke sofa yang ada di dekat jendela kaca besar yang memperlihatkan kota Jakarta dibawah sana. Dengan santai dia mengambil rokok, menyalakannya, lalu menyalakan sebuah air purifier agar asap rokok tersaring dan ruangan itu tetap tak berbau.

"Ada hubungan apa antara kamu dengan Pak Aditya ?" tanya Pak Dhani sambil menghisap rokoknya di depan kaca jendela.

Aku merasa tidak ada hubungan aneh-aneh dengan Pak Aditya, apakah Pak Dhani mencurigai ?

"Ngga ada apa-apa pak. Saya cuman pernah ditolong beberapa kali oleh Pak Aditya." Rasanya itulah yang terjadi.

"Kemarin setelah kita kedatangan petugas itu, malamnya saya diteror oleh seseorang yang mengaku sebagai suami kamu, dia memaki-maki saya." Pak Dhani berbalik ke arahku ketika mengucapkan itu.

Duarrrr.
Si Hendra suamiku itu masih saja cari gara-gara.

"Lalu dia bilang kalau kamu dulunya adalah LC di sebuah executive club." Lanjut Pak Dhani.

Duar Duar.

Duar-nya 2 kali.
Malu sekali aku akan kelakuan si Hendra.

"Padahal saya menerima cerita yang begitu baik tentang kamu dari Pak Aditya. Sekarang jelaskan, kamu ada hubungan apa dengan Pak Adit." Kalimatnya santai, tetapi nada nya menusuk.

"Sumpah pak, saya ngga ada apa-apa sama beliau." Aku menjawab dengan yakin.

Lama Pak Dhani direkturku itu menatapku seakan mencari kebenaran.

"Duduk sini." Katanya sambil menunjuk ke sofa. Aku mengikuti perintahnya untuk pindah duduk di sofa yang empuk. Saking empuknya pantatku tenggelam cukup dalam di sofa. Rok yang kukenakan terangkat sampai tinggi ke paha. Lututku menjadi lebih tinggi dari pantatku, membuat kaki putih ini menjadi terekspos. Mata Pak Dhani seakan menelanjangiku.

"Walaupun kamu sudah membuat banyak masalah....." Katanya sambil duduk di sebelahku. Sofa yang empuk membuat tubuhku miring mendekat ke arahnya waktu dia duduk. "Tapi kamu masih bisa bekerja disini." Lanjutnya.

Fikiranku meraba-raba kearah mana pembicaraan ini berlanjut. Pak Dhani mengeluarkan hp dari sakunya.

"Ini kamu ?"
Handphone itu ditunjukkan.

"Ya Tuhannnnn...."

Hati ini langsung hancur melihat apa yang ada di layar handphone Pak Dhani.
Sebuah foto yang menunjukkan dua lelaki sedang memapahku yang bugil tanpa mengenakan sesuatu apapun. Aku terlihat dalam keadaan tak sadar di foto itu. Dua lelaki itu adalah Acong dan Leo yang kutemukan tertidur bareng dengan Hendra di rumah ketika aku kabur. Mungkin aku telah ikut digagahi oleh mereka saat aku tak sadarkan diri malam itu.

Jahanaaaaam kamu Hendra !!!

Tanpa dapat ditahan, tangisku pecah.
Ini sudah diluar jangkauan nalarku, kenapa ada suami yang begitu tega seperti Hendra ?
Apa keinginannya ? Dia ingin membuatku hancur ? Tidak ingatkah dia bahwa pekerjaan ini membuat aku bisa membiayai kebutuhan Rendi, anaknya, darah dagingnya ? Jika aku sampai di-PHK bukankah anaknya, darah dagingnya, akan kesulitan lagi ?

Tolol.
Lelaki toloooool..... !

Aku tergugu dalam tangis.
Lama sekali aku menangis.
Tak mampu kucerna perkataan yang diucap Pak Dhani.
Hingga akhirnya kurasakan sebuah tangan hinggap di bahu, merangkul tubuhku.

"Saya juga ngga nyangka bahwa suami kamu sampai melaporkan Pak Aditya ke pihak berwajib. Rasanya kamu harus menyelesaikan hal ini dengan suamimu. Jangan melibatkan Pak Aditya dalam masalah rumah tangga kalian." Pak Dhani sepertinya tak ingin urusan ini membuat sulit Pak Aditya sebagai pemilik perusahaan.

Rangkulan Pak Hendra makin erat. Aku masih tergugu dalam tangis.

Cup.
Sesuatu yang basah dan hangat menyentuh keningku.

Aku bingung dengan sifat dan fikiran Hendra suamiku. Bodoh sekali dia, tanpa pemikiran yang matang melakukan hal-hal yang merugikan dirinya, diriku, dan anaknya sendiri.

Cup.
Sebuah kecupan hangat terasa di bibirku.

Mungkinkah dengan aku kembali ke Hendra akan menyelesaikan masalah ? Takutnya masalah akan semakin berat karena tindakan-tindakan bodohnya.

"Mmmmmpppffhhhh......."
Bibirku sakit.
Aku membuka mata.
Pandanganku buram oleh air mata yang terus mengalir.
Samar-samar kulihat sebuah wajah begitu dekat di wajahku.

"Mpppppppghhhhhhh"
Pak Dhani tengah memagut bibirku dengan penuh nafsu.
Tubuhku berada di pelukannya, satu tangannya sudah ada didalam rok yang kukenakan, menggerayangi sepanjang pahaku yang tersingkap. Merayap menuju ke selangkangan.

Kesadaranku sekarang kembali.
Tubuhku berontak, mendorong tubuh Pak Dhani begitu kuat hingga terjatuh di lantai berkarpet tebal.

Kami berpandangan dengan nafas sama-sama tersengal. Pak Dhani berdiri, lalu berbicara tanpa ekspresi.

Kami sama-sama tersengal karena nafsu.
Dia karena nafsu syahwat.
Aku karena nafsu amarah.

Dia adalah lelaki bejat yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

"Kalau kamu masih ingin dibantu untuk kerja disini..... kita harus saling bantu." Katanya dengan nada yang mengancam.

Aku ingin tetap kerja disini untuk membiayai hidupku dan Rendi. Aku yang telah berhasail kabur dari sarang singa tak ingin terjebak lagi untuk masuk ke sarang buaya. Apalagi buaya yang ini punya kekuasaan dan uang. Aku harus berhati-hati.

"Saya tahu, kamu butuh pekerjaan ini." Katanya sambil bangkit dari jatuhnya dan berjalan kembali mendekat ke arahku yang masih duduk di sofa.

Otakku berputar, berfikir bagaimana untuk lepas dari buaya darat yang satu ini. Jika dilawan, dia adalah bosku, direktur di perusahaan ini.

Hey, bukannya direktur sebuah perusahaan itu sama saja seperti aku ? Direktur itu adalah pegawai dengan pangkat tertinggi. Yang lebih tinggi dari direktur adalah pemilik perusahaan. Bukannya aku dekat dengan pemilik perusahaan ini, Pak Aditya ?

"Saya akan laporkan ke Pak Aditya." Kuancam buaya darat itu.

Benar, Pak Dhani langsung menghentikan langkahnya. Sejenak dia berfikir.
"Hahahaha....... kamu fikir, siapa Aditya ?" dan tertawanya berlanjut terbahak-bahak.

"Pemilik perusahaan !" Jawabku tetap melawan dengan kata-kata.

"Hahahaha...... sok tau." Katanya.
"Pemilik perusahaan ini adalah mertuanya. Dia cuman jadi komisaris boneka yang tak memiliki kekuasaan. Kalau kamu laporkan ke Aditya, saya akan laporkan Aditya ke istrinya. Tentunya dia akan murka karena suaminya punya simpanan seperti kamu. Kamu tahu akibatnya buat dia kan ?"

Aku goyah, tak menyangka bahwa ternyata Pak Aditya bukan pemilik sebenarnya dari perusahaan ini.

Lelaki culas di hadapanku kembali melangkah disertai rangkaian cerita bahwa Pak Aditya dulunya adalah mahasiswa miskin yang terpaksa menikahi seorang gadis anak pengusaha kaya yang telah hamil duluan. Demi menyelesaikan kuliah dan menghidupi orangtua serta adik-adiknya, Pak Aditya menerima tawaran itu.

Pak Dhani sampai di hadapanku, lalu jongkok di depan lututku.

"Yang berkuasa disini adalah saya." Pandangan matanya terarah ke pahaku.

Aku diam tak tahu harus bagaimana lagi. Secercah harapan akan masa depan yang lebih baik atas bantuan Pak Aditya sekarang meremang, redup. Orang yang telah menjadi penolong didalam hidupku ternyata tidak seperti yang terlihat selama ini, dia sendiri masih butuh pertolongan dari orang lain : keluarga istrinya yang kaya raya.

Nafas hangat Pak Dhani mulai terasa di lututku, membuat bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Sekarang apa yang harus kulakukan ?

Cup.
Bibir hangat itu menjalar di pahaku yang mulus.

"Nah begitu..... jangan pura-pura suci..."

Aku menarik ujung rok berwarna hitam yang kukenakan agar setidaknya menutupi sebagian paha yang sedang dikecup dan dihirup oleh lelaki bejat itu. Tapi tangannya menahan tanganku.

"Anggap aja kamu masih kaya LC." Dia bergumam, dan kedua tangannya merenggangkan lututku.
Aku bertahan, menutup rapat-rapat.

"Kasian kan anakmu kalau kamu saya pecat." Apakah itu kalimat berlandaskan rasa kasihan ataukah ancaman ? Yang jelas aku merasa terancam. Dan otot kakiku melemah hingga terbukalah lututku yang rapat.

"Nggak nyangka sekertaris yang kuterima kerja disini ternyata mantan wanita malam." Katanya bernada meremehkan.

Apa salahnya wanita yang bekerja malam, selama pekerjaan itu untuk menghidupi anak ? Tiddak semua LC bisa 'dipakai', masih sangat banyak diantara mereka yang mampu menjaga batasan. Aku tidak antipati terhadap profesi perempuan apapun, tetapi aku tidak seperti yang dibayangkan Pak Dhani. Aku hanya beberapa jam saja menjalani profesi LC itu, dan tamu pertamaku langsung menyelamatkanku.

"Berapa tarif kamu biasanya untuk sekali pakai ?" Difikirnya aku pernah menjadi wanita bayaran. Maaf pak, dirimu salah. Ingin kujawab seperti itu, tetapi aku mingkem.

"Mulus sekali, Billa. Sudah berapa lelaki yang menikmati paha mulus ini ?" Lidahnya yang basah menggerayang. Geli sekali.

Hanya satu yang menikmatinya pak. Jawabku dalam hati saja. Dan dia statusnya suamiku, walau dia sering berlaku kasar.

Sekarang aku sadar, lelaki seperti Pak Dhani lebih berbahaya daripada Hendra.

Rok yang tadi sempat kutahan, sekarang disingkapkan tinggi oleh direkturku itu.
Celana dalam warna hitam berpotongan mini dengan hiasan bunga-bunga kecil berwarna putih itu mulai menampakkan diri.

"Perempuan dengan pakaian dalam warna hitam memang lebih menawan." Puji Pak Dhani sembari tangannya menggerayang ke belakang bokongku, dan wajahnya mendekat ke pangkal paha. Nafasnya terasa panas, penuh hawa nafsu. Pantatku ditarik kearahnya hingga selangkanganku mendekati wajahnya.

Kedua tangannya mulai meremas buah pantatku yang terbenam pada sofa empuk dan nyaman, namun tak ada kenyamanan yang aku rasakan di saat itu. Hanya kesedihan, keterpaksaan, dan kebuntuan pada fikiran.

Hidungnya menempel tepat di bagian tengah selangkanganku, lalu dia menghirup dalam-dalam seperti orang menghirup asap ***** yang memabukkan.

"Perempuan secantik kamu dan semulus kamu bahkan wanginya senikmat ini." Dia seperti nge-fly dengan aroma yang menguar dari selangkanganku.

"Hmmmpf...." Lelaki dengan rambut mulai menipis di bagian depannya itu menggigit gundukan celana dalam yang menggembung. Aku menangkupkan kedua tangan di dada, melindungi payudara.

Apakah kalian sering memperhatikan, jika wanita merasa terancam maka dia akan berusaha melindungi payudaranya, bukan bagian bawah tubuhnya ? Itu karena payudara lebih sensitif terhadap rangsangan daripada selangkangan. Wanita dalam keadaan terpaksa akan mengorbankan selangkangan demi melindungi payudaranya. Menyentuh payudara adalah hal yang sangat pribadi, jarang sekali perempuan memberikannya pada lelaki asing kecuali yang sudah dipercayainya.

Sebuah jari merabai dan menyentuh-nyentuh gundukan bukit kewanitaanku.

"Indah sekali, Bella." Bibir beracun itu melontarkan pujian.

Pak Dhani berdiri, melonggarkan celananya.
Jantungku berdebar kencang.

"Isep !" Katanya menyodorkan kejantanannya yang sudah keras.

Aku bergeming, diam dan memalingkan wajah menjauhi kejantanannya.

"Isep !" Katanya memaksa, tangannya memegang kepalaku dan menariknya.

Di hadapanku, kejantanannya terpampang jelas.

Kecil.

Ya, Hanya sebesar jempol saja.

Pengen ketawa, tapi takut dosa.
Jadi sebegitu saja ukurannya ?

"Isep, Bella." Katanya memaksa, tapi aku tetap diam.

Kejantanannya maju, didorong mendekat ke mulutku.

Nempel.

Tapi bibir ini rapat tertutup.

"Buka Bella...." Bibirku tetap tertutup.

"Atau aku pecat kamu biar anakmu jadi gelandangan." Ancamnya.

Terbukalah bibirku.

plep

Terasa asin di lidah, karena ujung kejantanannya telah mengeluarkan cairan bening yang asin.

"Aaaah......" Lirih desahannya.

"Isep.... jangan diem aja dong. Jangan jual mahal."

Para pembaca yang terhormat, pernah mencoba menghisap jempolmu sendiri?
Ya, sebegitu saja yang terasa di mulut dan lidah. Bahkan nyaris tak berasa.

Dan aku tetap diam, tak berniat untuk menghisap burung kecil itu. Najis !

Akibatnya, Pak Dhani langsung menarik keluar kejantanannya dari mulutku untuk berikutnya dia menubrukku hingga jatuh telentang di sofa. Tubuhnya yang gemuk menindihku.

"Hkkkkkk......." Nafasku tertahan menerima tindihan tubuhnya yang gempal dan berat.

Dia menggumuliku dengan penuh nafsu. Bibirnya mencari-cari bibirku, tapi aku menghindar kekiri dan kekanan. Yang dia dapat akhirnya adalah leherku.

Clepot.
Clepot.

Jangan dicupang, bangsat !

Hatiku memaki.

Kecupannya di leherku bertubi-tubi mendarat.
Di bagian bawah tubuhku terasa burung kecil itu menubruk-nubruk selangkanganku yang terkangkang.

"Hhhhh..... Hhhh... Hhh..." Dia seperti orang yang baru saja menyelesaikan lari marathon.

Pelukannya erat.

Dia terus saja berusaha menusuk-nusuk selangkanganku, tetapi karena masih kukenakan celana dalam maka usahanya tak berhasil.

Pak Dhani menggumuliku dengan menghentak-hentakan tubuhnya diatas tubuhku.

"Heggh.... hegghhh.... Heghhh..." Nafasku tertahan-tahan menerima hempasan.

Beratku hanya 47kg, sementara dia rasanya tidak kurang dari 90kg. Hampir dua kali berat tubuhku.

Tangannya sekarang berusaha melucuti celana dalam yang kukenakan.
Akupun menghindar. Kugeser pantatku ke kiri dan kekanan.

"Diem.... Bella..... " Perintahnya di sela-sela nafasnya yang ngos-ngosan.

"Jangan pak... jangan...." aku memohon dengan sangat agar dia mengurungkan niatnya.

"Ayolah Bella.... sudah sebulan saya cuman tersiksa memandangi kamu.... pengen juga saya merasakan hangatnya selangkangan kamu." Dia juga memohon.

Karena tak mampu melucuti celana dalamku, taktik lelaki busuk itu berganti.
Dia sekarang menjawil celana dalamku dari samping, dan menyingkapnya.

"Aaaah....." Aku terkejut dengan taktik barunya.

Tubuhku menggerinjal dibawah tinddihan.

Berat sekali.
"Heggggghhh"

Pantatnya menekan.

plep

Kurasa ada sesutu yang menyelinap ke bibir vaginaku, tapi nyaris tak berasa apa-apa.

"Aaaaah..... Billa....... memek sekertaris cantik ..... enak banget." Dia ceracauan seperti burung yang baru diberi makan.

Aku mendorong tubuhnya, tetapi berat sekali. Tak mampu tangan ini mendorongnya.

Dia terus menghempas-hempaskan tubuh bawahnya, kurasa burung kecilnya berusaha masuk namun terhalang oleh perut buncitnya.

Ujung kepala burungnya hanya menggeleser-geleser di sela bibir vaginaku.

"Oowh.... Bella.... enak sekali memek sekertarisku....."

Enak ? padahal belum masuk.
Dasar lelaki bodoh.

Pak Dhani mengangkat kakiku hingga bukit vaginaku terdongak, dan dia mendorong tubuhnya.

Ini bahaya.... burung kecil itu akan bisa masuk ke vaginaku kalau vaginaku tengadah seperti ini.

Beppp
Tubuh itu menghantamku lagi, tetapi burungnya kembali hanya sanggup menyelinap di sela bibir vaginaku.

Nyaris masuk, tetapi masih saja terhalang perutnya.

Ketika dia mengambil ancang-ancang lagi, aku berkesimpulan bahwa hantaman berikutnya pasti kejantanan kecilnya akan mampu memasukiku. Jadi, kudorong dia sekuat tenaga dengan kedua kakiku yang tengah diangkatnya.

Bepp.
Burung kecilnya kembali menyelinap di sela-sela bibir vaginaku. Untung keburu kudorong.
Direktur gemuk itu terguling dari atas tubuhku.

Srotttt...
Srotttttttttt......

"Aaaaaaakkkkh......."

Kejantanan kecilnya memuncratkan sperma berkali-kali, membasahi celana dalam yang kukenakan, bahkan beberapa muncrat ke kemeja putih yang kukenakan.

Bahkan bibir vaginaku saja telah membuatnya KO, belum lagi dia sempat menikmati hangatnya lorong vaginaku.

Lelaki itu terus memuncratkan cairannya berkali-kali sambil mengocok dirinya sendiri dengan dua jari, bukan dengan genggaman tangan. Maklum, burungnya kecil sekali.

Sofa mulai basah oleh cairan lengket, dan aku berdiri menghindarinya.

Dengan wajah memerah, cepat-cepat kurapikan rok-ku yang tersingkap hingga pinggang.
Tanganku meraih tissue yang ada di meja, mengelap cairan lengket pada kemeja.

Dan dengan tergesa-gesa aku melangkahkan kaki keluar ruangan meninggalkan direktur gila itu terengah-engah menikmati sisa-sisa ejakulasinya.

"Kenapa, Billa ?" Tanya Emma sang receptionist keheranan melihatku tergesa-gesa ke toilet.

"Mules...." Jawabku selintas.

Emma tertawa di belakangku.

Di toilet, aku menangis lamaaa sekali.
"Untung keburu ngecrot sebelum masuk ke kewanitaanku" Fikirku mencari sisi positif dari kejadian itu.

"Baru merasakan gesekan di bibir kewanitaanku aja lelaki itu sudah KO."

Kubersihkan muka dengan air hangat dari wastafel. Lalu mengaca untuk melihat keadaanku.
Mataku sembab, merah.

Sejenak kurasa ada sesuatu mengalir di paha.

"Ahhh... sialan.... sperma Pak Dhani yang tadi melumuri celana dalamku sekarang mulai mencair dan mengalir di sepanjang pahaku.

Akupun meraih tissue, mengelapnya.

Aku menggerutu dan memaki-maki. Kuputuskan untuk pulang saja langsung walaupun jam kerja belum berakhir.


Bersambung ke :
Episode 2. Permufakatan Jahat
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd