Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Istri Yang Tergadai [Drama & Pemaksaan]

Apa balasan yg setimpal buat Hendra ?


  • Total voters
    375
Bimabet
menarik ceritanya
 
Episode 2
Permufakatan Jahat


"Loh kok jam segini udah pulang, Bella ?"
Di rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal sementaraku, Pak Aditya sedang membongkar salah satu motornya. Sebuah BMW R25 tua produksi tahun 1960-an. Tangannya berlumuran oli yang hitam. Dia mengenakan celana jeans belel yang robek-robek dengan bagian tubuh atas bertelanjang dada.
Ototnya mengkilap oleh keringat.

Pria 40 tahun ini mendebarkan hati.

Rendi terlihat bermain di sampingnya.

"Mbuuuun....." teriaknya sambil berlari terseok-seok menyambutku.

Aku meraih tubuhnya lalu memeluk rapat, erat.
Rendi-ku, pengobat kesedihanku.

"Rendi lagi apa ?" Dengan penuh kasih aku bertanya.

"Main motoy cama papa."
Hah ? Main motor sama papa ?

Papa ?

Aku mengangkat wajah, menatap lelaki di depanku yang berdiri tegap berlumuran oli.
Dia salah tingkah karena kutatap tajam.

"Eh... anu... Bella.... " Katanya terbata-bata.

"Namaku Billa Pak, bukan Bella."

Pak Aditya cengengesan.

"Iya... Bella." Tetap saja nama itu yang melekat.

"Terus.... ini anakku kenapa manggil bapak jadi 'papa' ?"

"Hahaha...... gapapa.... hahaha..."
Eh dia malah ketawa ngakak.

Akupun akhirnya tertawa karena kami seperti keluarga kecil yang bahagia dengan satu anak.

Ah.... andai saja.....

Aku langsung menepis fikiran.

"Ini jangan disentuh ya, biarin aja berantakan." Kata Pak Aditya sambil menunjuk motor yang masih berantakan.

"Emang kenapa ? motornya ngga suka disentuh sentuh ya ?" godaku.

"Hus..... saya ngga suka barang milik saya diserobot orang lain." Katanya tegas, memastikan bahwa tak ada yang mengganggu motor yang sedang dia kerjakan.

"Iya pak... nggak akan diganggu motor bututnya. Siap komandan." Dengan berpura-pura aku memberi hormat ala militer.

"Enak aja motor butut.... ini motor antik tau. Biarpun tua tapi harganya luar biasa." Tak rela dia motornya disebut motor butut.

Gitu ya, ujarku setengah tak percaya kalau motor butut itu harganya mahal.
"Masa sih ? motor buluk begini mahal ?"

"Gimana pekerjaan ? lancar ?" Pak Aditya tak menggubris ketakpercayaanku.

"Aman, komandan." Jawabanku menyembunyikan masalah yang baru saja kutemui tadi di kantor. Aku tak ingin dia pusing, karena aku sekarang tahu bahwa dia juga punya masalah dengan hidupnya.

"Syukurlah....." katanya. "Terus, suamimu ada menghubungi ?"

Aku menggelengkan kepala.
Nomornya sudah aku blokir di handphone-ku.

"Saya mau mandi, terus pulang dulu." Katanya sambil melihat jam tangan.

Pulang ? padahal ini juga rumahnya.

Aku mengangguk, menatap punggungnya saat dia berbalik masuk ke dalam rumah untuk mandi.


**********


Malam itu setelah Rendi tertidur, aku memutuskan untuk membuka blokiran nomor Hendra.

"Maksud lu apa ngirimin foto gua ke bos gua ?" Kukirim sebuah pesan.

Centang dua.

Selang beberapa detik kemudian kulihat dia mengetikkan balasan pesan.
"Mbun... kamu dimana ?"

Malah sok perhatian.
"Hendra, Lu mau ngancurin hidup gua sama Rendi ?"

"Mbun.... ayah kangen..."
Eh dasar lelaki ga tau diri. Sudah KDRT sepanjang berumah tangga, minta jatah tiap hari, ngambil uang penghasilanku, mempermalukanku, sok perhatian pula.

"Najis." Jawabku singkat.

Hendra tak terima dimaki 'najis'.

"Eh dasar lonte." Diapun membalas singkat.

Aku juga tak terima dibilang lonte.

"Gua bukan lonte !" Perang dimulai.

"Bukan lonte gimana ? Tadi lu udah dipake sama bos lu kan ?" Dia mengejek.

"Tai lu" Aku heran, darimana dia tau kalau tadi bosku berusaha menyetubuhiku ?

"Jadi lonte jangan belagu. Gua udah gade'in memek lu ke bos lu. Tadi udah sekali kan, berarti tinggal 9x lagi lu dientot. Lunas deh."

Benarkah apa yang diucapkan Hendra ?
Aku percaya, mengingat dia memang suami yang tega'an.

"Bangsaaaattttt....." Ketikku pada handphone, sambil kuucapkan juga di mulut.

"Enak juga punya bini lonte, gua dapet sejuta tiap kali lu dientot." Katanya membuat emosiku meledak lagi.

"Gua minta cerai." Tak sudi lagi aku jadi istrinya.

"Gak akan gua kabulkan. Lu sampai mati tetep jadi bini gua." Balasnya.

Oh Tuhan, suamiku telah membuat kesepakatan dengan bosku. Sebuah permufakatan jahat.

Kublokir kembali nomornya, lalu kubanting handphone di kasur.

Cinitnitnit.....
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Aku mengambil kembali handphone-ku.

"Lu ga bisa lari dari gua."
Pasti suamiku, pakai nomor baru.

Sekarang aku kembali membanting handphone-ku. Ke lantai.

Prakkk.

Pecah berantakan.


**********



malam terlarut dalam air mata
hingga datang pagi buta
bening embun tak kuasa hapuskan duka

hati ini begitu luka



**********

"Billa... masuk ke ruangan saya." Kepala Pak Dhani muncul di balik pintu.

Aku menarik nafas dalam.
Ruangan tengah di kantor telah kosong karena semua karyawan tengah istirahat siang.

"Kunci pintunya." Lelaki gemuk itu duduk di sofa sambil mengeluarkan titah.

Aku tahu apa maksudnya dia memanggilku ke ruangan kantornya, tapi aku tetap nurut.

Ini seharusnya perkara yang mudah, karena pada kejadian pertama lelaki gemuk berpangkat direktur itu tak bertahan lama bahkan sudah KO saat kejantanannya bergesekan di bibir kewanitaanku.

Dengan wajah ditekuk namun tetap tabah aku mengunci pintu dan berbalik ke arahnya.

Pak Direktur telah ada di belakangku, sehinggga saat aku berbalik dia langsung memeluk.
Tubuh ini diam tegak, kedua tanganku menggelantung dibawah, pasrah.

"Kaku banget sih...." Komentarnya.

Bibirnya berusaha menggapai bibirku tetapi aku selalu berhasil menghindari.
Sambil memeluk erat serta menggerayangi, aku dirorongnya sampai pantatku tertahan di ujung meja kereja direktur yang besar.

"Duduk." Katanya lagi.

Aku duduk di sudut meja.
Kedua tangan gempal pak direktur bekerja melucuti blazer yang kukenakan. Tak sepatah katapun kuucapkan. Aku berusaha menerima keadaan agar aku bisa tetap bekerja dan anakku tetap bisa makan dan minum susu. Aku berharap bahwa dia masih seperti kemarin, loyo sebelum berhasil menggagahiku.

"Hkkk...."
Nafasku tertahan menahan rasa sakit akibat remasan keras Pak Dhani pada susuku.

Lelaki gempal ini seperti tidak pernah bercumbu, tak mengerti caranya meremas.

"Istri saya gemuk dan udah gombyor." Katanya mulai bercerita. Apa peduliku ? Cepatlah selesaikan !

"Ah...." aku bersuara kesakitan, bukan kenikmatan, manakala jempol dan telunjuk Pak Dhani memilin keras puting susuku.

sret.... sret....
Aku mengangkat pantat memberi jalan agar rok terlepas., bukan bermaksud menyetujui perbuatannya. Hanya bermaksud agar semua ini cepat berakhir.

"Angkat kakinya, sayang." Difikirnya aku mulai menyerah karena telah mengikuti keinginannya.

Aku duduk di meja dengan kaki tertekuk dan menapak di pinggir meja. Pantat dan kakiku membentuk huruf "M".
Sulit sebetulnya duduk seperti ini, terutama karena kakiku masih mengenakan sepatu high heels.

Lelaki didepanku bagaikan anjing mengendus-endus daging.

Wajahnya memuakkan.

Anjing itu menjilati betisku.

"Hehehe....." Seringainya bagai srigala lapar.

Kepala setengah botak itu makin masuk ke dalam pahaku yang terbuka. Dia sibuk mengendusi gundukan empuk yang ada di pusat selangkangan.

"Hmmmmmmmhhhhhhhh...... memek kamu harum sekali Billa...."

Peduli amat, pujiannya makin menyebalkan.

"Memek istri saya bau ikan asin."

Halo bapak.... tidak tahukah bahwa menghina istri bapak dengan ucapan bau ikan asin dapat dikenai pasal pidana ?

Mataku terpejam agar tak ingin melihat kelakuannya yang menjijikkan.

"Sayang.... mau jadi istri saya ngga ?"

Mataku terbuka kembali, terbelalak dengan tawarannya.

"Kamu cerai aja sama si Hendra, daripada saya bayar 10 juta ke dia."

Kepalaku menggeleng, tak percaya akan tawarannya. Berarti benar, suamiku telah menggadaikan aku pada Pak Dhani.

"Ooh yaudah....kalau ngga mau, saya masih punya jatah 9x lagi sama kamu." Katanya sedikit kecewa.

Dia terus mengendusi lagi selangkanganku.
Celana dalamku tersibak kesamping, dan jemari sang direktur menyelinap mengorek-ngorek.

"Memek kamu bagus banget... ngga ada jenggernya. Kalau jengger istri saya menggelambir."

Dia menjelek-jelekkan istrinya lagi.
Peduliku apa ?
Cepatlah selesaikan.

Dua jari mengorek kewanitaanku hingga dalam.
Mataku terpejam kembali, berusaha tak merasakan.

Perih hati ini.

Pak direktur gemuk tertawa mengekeh kesenangan. Jarinya makin menggila mengocok isi kewanitaanku.

Puas menyakitiku dengan jarinya, lidahnya bergerilya mengorek-ngorek celah kewanitaanku.
Benda kasar hangat itu mengail-ngail dan menguwil-uwil.

slurp.... slurpp.....
Persis suara anjing sedang minum.

"Gurihnya....." anjing itu berbicara.

"Akhh.... jangan !"
Lidahnya tak sengaja menyentuh klitorisku, bagian paling sensitif.
Aku tak mau dirangssang klitoris. Tak sudi.

"Hehehehe....." dia tertawa mengekeh. Dan dia meyentuh klitorisku lagi.

Lelaki ini tak tahu cara memperlakukan bagian sensitif itu. Dia menyentuhnya dengan kasar. Tangannya malah membuat klitorisku perih, bukannya enak.

Aku bertahan dengan rasa tak nyaman. Membiarkan ia memuaskan dirinya dengan mengobrak-abrik selangkanganku.

"Hehehehe......" Ketawanya yang genit itu teramat sangat memuakkan. Apalagi ketika ia mencabut kemudian mengendusi jarinya yang telah mengorekku.

"Hmmmmmmmmhhhhhhh" Matanya setengah jereng menikmati aroma kewanitaanku yang melekat pada jarinya.

"Slurp." Jari itu dijilatinya dengan rakus.

Matanya nyalang penuh nafsu.

Bosku sekarang mengendurkan ikat pinggang dan ritzluiting celana sampai melorot di kaki.
Celana dalamnya dilorotkan pula, numpuk semua di kaki.

Burung kecilnya telah tegang maksimal. Seukuran jempol tangan.
Namun demikian, ujungnya yang berbentuk helm telah begitu mengkilap berwarna ungu.

Pak Dhani mendekatkan tubuhnya pada tubuhku yang duduk mengangkang diatas meja kerja direktur.
Pelukannya erat.

Burung itu mencari-cari celah untuk dimasuki.

Cepatlah ! dalam hati kusumpahi dia.

Tapi burung itu tak kunjung menemukan tujuannya.

"Mejanya terlalu tinggi." Umpatnya.

Bukan mejanya terlalu tinggi, bego !
Kamu yang terlalu pendek.

Dia jinjit sekarang, lalu kembali pantatnya bergerak. Perutnya yang buncit menumbuk-numbuk perutku yang langsing rata.

Bangsat itu memaksa untuk memasukkan penis kecilnya yang tak sampai ke kewanitaanku walaupun sudah jinjit.

Dia terus berusaha dengan terengah engah.

Kumajukan dudukku sampai di pinggiran meja, kakiku semakin mengangkang.

"Nah, gitu sayang.... kamu juga pengen kan ?"

Bukan karena ingin disetubuhi lelaki berpenis kecil ini, tetapi biar semua cepat berlalu. Kakiku sudah pegal ngangkang.

Pak Dhani berusaha lagi. Pantatnya maju mundur.

tap.... tap...

"Akkkkkkkh....." si bangsat mengerang ketika kepala penisnya yang kecil bersentuhan dengan pahaku.

Dia berusaha makin keras agar penis kecilnya sampai ke vaginaku.

Menekan-nekan dengan kuat.

Tapi tetap saja hanya ujung penisnya yang mampu bersentuhan.

Sepertinya dia makin tak tahan dengan nafsunya.

Bosku itu dengan kuat menubrukkan seluruh badannya kearahku.

tap.

kepala penis kecil itu hinggap....
di lobang pantatku yang lebih rendah dari vagina.

"Aaaaaah........."

Dia diam, tak bergerak.
Kakinya mengejang berusaha jinjit agar burungnya bisa masuk, bukan hanya hinggap di pinggir sarang.

Dengan sekali hentak, penis kecil itu kembali bergesekan dengan pantatku.

Tetapi karena tubuh pendeknya, walaupun sudah jinjit dan menghentak sekuat tenaga maka penis kecil itu terpeleset menjauh.

Pria setengah botak yang sedang diselimuti nafsu itu terus berusaha agar burung kecilnya sampai di vaginaku.

Dia maju mundur, jinjit semakin tinggi.

Tapp.
Kepala burungnya tetap tak bisa menggapai pintu masuk vaginaku, melainkan tetap ke bagian yang lebih bisa dicapainya yaitu lobang pantat.

"Aahhhhhh." Katanya karena tak tahan jinjit terlalu lama.

Setelah menarik nafas, dia mengulang lagi gerakan yang tadi.

Tapp.

Kepala helm-nya hinggap lagi di lobang pantat.
Dia jinjit lebih tinggi lagi sambil berusaha menarik pantatku agar lebih maju.

plep.

Ah sialan, masuk juga penis kecil itu.

Tapi sebentar, kok berasa perih. Tidak mungkin penis kecil itu bisa membuat perih kewanitaanku.

"Akhhhhhh....." Pak direktur mengerang.

Kepala penisnya yang kecil berhasil menyelinap satu senti.

Ke lobang pantatku yang perawan.

Aku berontak.

Rasanya aneh.

Pak Dhani menatapku sambil mulutnya ternganga.

"Peret banget...... Bella." Desisnya. Kedua tangannya menahanku agar tak berontak lebih lanjut.

Iyalah peret, bangsat. Lu masuk ke lobang pantat.
Batinku.

Dengan sekuat tenaga aku berusaha memundurkan pantatku agar penis itu terlepas.

plop.

Ahhh... lega.

Pak Dhani kembali merengkuh pantatku dan dipaksanya maju kembali ke arahnya.
Dia menghentak maju sambil jinjit.

plep.

Akkkh..... masuk lagi ke lobang pantat, kali ini lebih dalam.

Karena berasa sakit, aku mengempot.

Harapanku adalah menghilangkan rasa sakit dengan mengempotkan lobang pantatku, tetapi hasilnya adalah empotan pantatku malah membuat dia keenakan.

"Billa.... meki kamu luar biasa, kaya perawan." Katanya, tak menyadari bahwa dia salah masuk.

Dia memeluk sambil berusaha mencium bibirku yang dengan mudah kuhindari dengan mendongakkan kepala ke belakang.

Gecak...

Penis kecil itu mengentod (menarik dan menghunjam).

"Jangan..... pak... jangan...!!" Aku melawan dengan memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan mengepal.

Tak ingin melepas kenikmatan, lelaki yang mengira pantatku adalah kewanitaanku, tetap mengentod-nya.

Gecak.......

Gecak...

Gecak.

Gecak gecak gecak gecak gecak.....

Serangan 'entod-entod' nya belanjut dari mulai perlahan menjadi lebih cepat, dan selanjutnya ia mengentod-ku bak kereta-api cepat.


cak-kecak-kecak-kecak.

Aduuuuh... penis kecil itu membuatku merintih perih.

"Aduuuuuh.... sekertaris cantikku mekinya enak bangeeeeeetttt...." katanya.

Lobang pantatku seperti mendapat rangsangan pagi hari, maksudku terasa ingin buang air, sehingga aku mengejan dan mengempot berusaha mengeluarkan penisnya.

Dia malah keenakan.


Gecakannya makin cepat, lalu tubuhnya tiba-tiba diam. Sesaat tubuhnya bergetar.

Pantatku mengempot lagi secara otomatis.

pot.

Bersamaan dengan desahannya yang lirih, dia mencapai puncak kenikmatan yang didapat dari empotan pantatku yang menjepit kuat leher penisnya yang masuk setengah.

"aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh......"

Sambil mengerang, buaya darat itu melepaskan jinjitannya karena mungkin tak tahan berlama-lama jinjit. Karena itu kepala helmnya keluar terdorong dari pintu masuk belakangku.

"Jangan.... jangan.... jangan sekarang..." Katanya seakan menyesali dirinya yang tak mampu menahan puncak kenikmatan yang datang terlalu cepat.

crot......
crot......
crott.....

Penis kecil itu memuntahkan cairan lengket menyirami gundukan selangkanganku yang terkangkang.

Tubuhnya masih berdiri bergetar hingga terbungkuk-bungkuk menikmati guncangan ejakulasi.

Dalam keadaan seperti itu, kujulurkan kaki kananku yang masih bersepatu high heels.
Kudorong dadanya dengan ujung kakiku agar menjauh. Dia berjuang mempertahankan keseimbangan.

Tapi tak berhasil.

Tubuhnya melayang jatuh di lantai sambil terus berkelojotan dan tersengal.

"Titit kecil aja belagu pengen nikahin saya !" Kata-kataku sinis.

"Cuman bisa bikin saya sakit dan ngotorin baju saya." Puas sekali rasanya menghina lelaki bejat itu.

Dengan kuat, aku mengelap sperma yang dimuntahkannya di permukaan selangkanganku.
Spermanya berantakan ke perut, bukit vagina, belahan vagina, dan lobang pantatku yg terasa perih.

Tissue yang telah basah lengket berlumuran sperma itu kulemparkan ke wajahnya yang masih tergolek di lantai berkarpet tebal.

Kukenakan celana dalamku, lalu kujinjing blazer dan melangkah pelan keluar rurangan dengan agak ngangkang karena pada pantatku berasa masih terganjal sesuatu.

Perlahan aku melangkah pergi ke toilet, agak ngengkang karena perih.

"Kenapa lagi, Billa ?"

Emma bertanya lagi seperti kemarin.

"Susah buang air" Dengan sambil lalu aku terus ngeloyor ke toilet.

"Kemarin sakit perut.... sekarang susah buang air." katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala di belakangku.



**********



Pulang ke rumah, tak kutemui Rendi ataupun mbak Atun. Aku mencari mereka ke seluruh kamar yang berjumlah tiga. Di dapur atau halaman belakang juga didak ada. Ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga yang dijadikan garasi motor antik juga kugeledah.

Bahkan mobil Toyota Hard Top dan Nissan Terrano tua dengan ban tahu sebesar-besar gaban yang kutelusuri di garasi tak membuahkan hasil.

Tidak ada !

"Rendiiiii...... mbak Atuuuuuun...." Aku mulai berteriak memanggil.

Tapi mobil Range Rover putih yang biasa dipakai Pak Aditya ada di halaman rumput.
Apakah Pak Aditya datang lalu mereka pergi ? Kalau pergi, pakai apa ?

Aku masuk lagi ke ruang tamu dan kuhitung jumlah motor. Seharusnya ada 8, tapi ini cuman ada 7. Berarti benar Pak Aditya pergi dengan Rendi. Aneh, Rendi nempel sekali pada Pak Aditya. Tidak kurang mengherankannya juga Pak Aditya sebagai orang berada, mau aja direpotin sama anak kecil yang bukan anaknya.

Saat itu terdengar suara menggemuruh masuk ke halaman.

Dud dud dud dud dud dud dud.....

Seorang lelaki bercelana jeans belel denggan kaos hitam lekat di badan dan jaket kulit hitam yang terbuka zippernya tampak mengendarai sebuah motor antik bermerk BMW bermesin 500cc.

Seorang anak lelaki duduk dekat di tangki, terlindung dua tangan kekar lelaki itu. Tubuhnya yang pejal tanpa lemak seakan memayungi anak kecil yang tertawa gembira itu.

"Mbuuun..... aik otoy....." Rendi melambaikan tangan padaku.

Aku menghambur, menghampiri mereka.

"Kirain kemana." Keluhku.

"Maaf tadi si Atun pamit pulang katanya musti nganter ibunya ke klinik, jadi saya yang ngasuh Rendi." Jelas Pak Aditya sambil turun dari motor, melepas helm, memangku si kecil Rendi, dan menyerahkannya ke pelukanku.

"Papah.... aik otoy.... aik otoy." Rendi tak mau diserahkan kepadaku. Kedua tangannya berusaha berpegangan erat pada Pak Aditya.

"Iiih Rendi.... Pak Adit sibuk." Aku berusaha memangkunya, tetapi Rendi terus saja memeluk Pak Aditya dengan erat.

"Yaudah, bun.... yuk ikut saya naik motor." Ajak Pak Aditya

Hah ? dia memanggilku 'bun' ?

Rendi didudukkan lagi di motor antik berharga ratusan juta itu.
Pak Aditya naik lagi keatas motor. Matanya menatapku.

"Duduk." Dia menunjuk bagian belakang jok motor dengan goyangan kepala.

"Tapi saya masih pakai baju kantor Pak...."

"Udah.... gapapa..... naik aja."

Aku naik ke belakang motor Pak Aditya. Rok yang kukenakan tersingkap sampai ke paha, memamerkan kulit putih mulus dan jenjangnya kakiku. Sepatu high heels yang kukenakan membuat sedikit kagok bertengger pada foot-step.

Kaki Pak Aditya menyelah motor tiga kali.

Dududud !

Dududud !

Dududud !

Brummmmmmmm

Dududududududududududud......

Aku, Pak Aditya, dan Rendi, melaju diatas motor.

Tiupan angin menggerai-lambaikan rambut hitamku.
Setiap orang yang melihat kami, selalu tertegun.
Entah melihat motor antik yang indah ini, ataukah melihat kaki yang indah ini.

Aku bahagia.


**********

Rendi tertidur di sofa sebuah cafe berselimutkan jaket kulit. Sekarang lelaki yang duduk di sampingku hanya mengenakan kaos hitam ketat karena jaket kulitnya dikorbankan menjadi selimut.

Hujan turun merintik sejak kami sampai di Cafe yang terkenal di Bogor ini.
Rendi ngantuk karena kekenyangan makan kentang goreng, aku hanya menghabiskan sisa kentangnya.

Secangkir kopi hitam Turkish Style alias Americano dalam budaya bule, masih ngebul walau hanya tinggal setengah isinya.

Pandangan lelaki itu jauh kearah pohon yang basah di jalanan. Pada bibirnya terselip sebuah rokok yang tak dibakarnya dari tadi.

Dia hanya ketawa saat kutanya kenapa rokoknya tak dibakar.
"Kasian Rendi kalau ikut menghisap racun rokok saya." Itu alasannya.

Aku terharu.
Begitu perhatiannya lelaki ini pada si kecil Rendi.

Malam telah larut.
Gerimis mengundang kabut.
Tetes air jatuh turun dari atap kanopi kaca.

Dalam gigil mataku berkaca-kaca.

Sebuah lengan merangkulku.
Hangat.

"Kedinginan ?" bisiknya di telingaku.

Aku terpana akan pelukan sebelah tangannya di bahuku. Baru kali ini Pak Aditya menunjukkan keintiman lebih dari sekedar ngobrol. Aku lupa untuk menjawab pertanyaannya.

"Bun....." bisiknya.

Ah, ini kedua kalinya dia memanggilku lagi dengan sebutan 'bun'.

"Ih ngapain sih bapak manggil saya bun. Memangnya bapak ini Rendi ?"

Sebetulnya aku senang dipanggil 'bun' oleh Pak Aditya, rasanya.... ah... seperti dekat tak berjarak, tapi gimana ya..... kan aku bukan siapa-siapanya.

Pak Aditya tertawa renyah. Lalu tawanya berhenti tiba-tiba, lengannya lepas dari bahuku. Sebuah tangannya menyentuh daguku lalu memalingkan wajahku ke arahnya.

Kami bertatapan.
Dekat.
Lelaki itu berbicara lirih.

"Bun yang aku ucapkan tidak sama,
dengan Bun yang Rendi ucapkan.
Bun dari Rendi adalah bunda.
Bun dari aku adalah 'embun'.
Kamu seperti embun buatku.

Menyejukkan hati."

Gerimis terus menyiram malam di Bogor, kota hujan.
Hatiku luluh.
Secercah rasa hangat merekah dalam dada, juga di mata.

Aku,
terjatuh dalam pelukan.

Bersambung ke
Episode 3 : Perlawanan
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd