Seperti biasa, rutinitas pagiku adalah menyiapkan bekal makan untuk suami dan anakku, setelah berpamitan untuk pergi belanja ke Alan yang masih tiduran di ranjang, aku segera mengenakan jaket hitam untuk menutup dasterku dan mengeluarkan sepeda kayuh. Tak butuh waktu lama aku pun sampai di Warung Kelontong miliki Bu Seng, meskipun masih pagi, aku lihat sudah beberapa ibu-ibu yang mengantri dan memilih bahan makanan yang disajikan disana.
Sambil memilih bahan makanan, aku sesekali mengintip sedikit kedalam warung itu, memastikan akan suatu hal yang selalu menggangguku, dan untungnya tak kutemukan adanya gangguan itu.
“Bu Seng, telur ayamnya kok ngga ada??”, tanyaku pada pemilik warung yang sudah sangat akrab sekali denganku bernama Bu Seng
“eh mbak Rima, waduh… kebetulan sama bapak telurnya belum sempat di antar ke sini”, jawab Bu Seng, “mbak Rima ambil ke kandang aja ya, bapak kayanya masih di sana, dah nanti sy kasih korting sekilonya”, lanjut Bu Seng
“Aduuh, mesti ngambil ke kandang…”, gumamku dalam hati.
“Yauda deh bu, ini nanti belanjaanku gimana, aku titip sini dulu aja ya”, kata ku dan lanjut kembali kunaiki sepeda kayuhku
“Iya mbak Rim, nanti ibu jadiin satu di sini belanjaannya mbak Rima”, jawab bu Seng
Aku pun kembali melanjutkan perjalanan menelusuri jalan kampung dan pematang sawah untuk sampai di peternakan itu. Aku terus membayangkan bahwa aku akan bertemu lagi dengan pria tua yang selalu menggodaku dan melecehkanku.
Meskipun sebenarnya aku enggan untuk menemuinya, tapi rasanya kaki ini tidak berhenti mengayuh sepeda dan tetap berjalan menuju ke tempat dimana ada seekor ular yang pasti akan memangsaku, bukannya malah menghindarinya seolah-olah aku ini adalah mangsa yang justru mengharapkan untuk dimakan sang hewan buas itu.
Sesampainya di pintu peternakan yang terletak di antara sawah dan kebun itu, aku segera mengucapkan salam kepada pemilik peternakan. Beberapa kali aku berteriak tapi tak ada jawaban, akhirnya perlahan aku berjalan masuk menuju kandang ayam sebagaimana arahan dari Bu Seng dan kembali mengucapkan salam.
Tiba-tiba dari arah belakang, sepasang tangan berusaha memelukku dan meremas kedua buah asetku yang berharga, aku pun menjerit kaget dan bersuaha lepas dari cengkraman tangan itu.
“wah..wah.. ada mbak Rima, kenapa mbak, kangen kontol bapak ya”, kata seorang pria yang mencoba memelukku dengan kasar dari belakang. Tentu aku segera sadar dengan pria yang dari tadi mencoba memelukku dan dengan kasar meremas-remas buah dadaku
“sudah pak seng…ahhh.. lepaskan”, jawabku sambil terus berusaha melawan cengkraman tangan Pak Seng
Saat itu Pak Seng tampak bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung untuk menutupi bagian fitalnya, tangannya dengan kasar memelukku dari belakang dan sesekali mencengkram kedua payudaraku dengan sangat keras
“Akkhh.. sudah pak, jangan !!!”, berkali kali aku berusaha melepaskan tangan itu tapi seakan tenagaku tidak berdampak apapun terhadapnya
Tiba-tiba Pak Seng mencium bagian belakang leherku dan menjilati setiap jengkal kulitnya bagai sebuah permen, terkadang dia mencium dan mencumbu bagian belakang telingaku
“ahh pak…sudah pak..ampun…, jangan pak….”, rengekku
Tanpa ampun Pak Seng menarikku masuk lebih dalam ke bagian dalam peternakannya, sambil terus memelukku dari belakang dan menuntunku masuk lebih dalam ke bagian dalam peternakannya, saat pertahananku mulai longgar salah satu tangan Pak Seng menurunkan resleting jaketku dan tangan yg lain segera menyelusup ke dalam dasterku yang longgar, tentu saja tangan itu segera mengincar payudaraku yang sedikit tegang karena cumbuan yang bercampur dinginnya udara pagi.
“akkkhh.. ampun pak.. jangan”, rengekku kembali
Pak Seng seakan tidak bergeming dengan segala upayaku, dia tetap maksa memelukku. Bahkan salah satu tangannya yang sudah berhasil menyusup ke dalam dasterku dan menggenggam payudaraku mulai meremas dengan kasar mulai dari pangkal dan ditariknya ke ujung sampai ke putingku, meskipun sakit… kini tubuhku mulai merasakan dorongan seksual yang sangat kuat.
Tangan pria tua itu terus memijat-mijat kasar payudaraku tanpa ampun, gerakannya sama seperti dia mencoba memerah susu sapi
“Akhhh… tolong pak… jangan… ahhhhh”, kata-kata itu terus kusampaikan berharap pria tua itu mengasihaniku
Ditengah kandang yang berisikan suara ayam, teriakan dan keluhanku seakan tidak terdengar
Tangan Pak Seng semakin mempercepat gerakannya, dia memijat dari pangkal payudaraku mengurutnya sampai keujung putingku dan menariknya dengan kasar membuat pertahanannku makin kendor, seakan tenagaku terserap habis dan tanganku yang awalnya menahan tangan pria tua itu tidak melecehkanku lebih jauh seakan mulai pasrah.
Menyadari diriku yang sudah tak berdaya, Pak Seng langsung sigap menurunkan semua resleting jaketku dan salah satu tangannya berusaha mengarahkan wajahku menyamping, sehingga dia bisa melumat bibirku sambil terus memijit-mijit payudaraku dengan kasar.
“Akhh… emmmhhh…emmmhhh….emmmmmmm… sudah pak….emmmmhhhh… ampunn…”, desahku ketika Pak Seng mencoba mencumbu bibirku dengan bibir tuanya yang memiliki kumis tipis berwarna putih itu, sesekali dia juga menghisap lidahku dan semua cairan yang ada di mulutku.
Pertahananku kian runtuh ketika salah satu tangan Pak Seng yang tadi mengarahkan wajahku agar menghadap kearahnya beralih menaikkan dasterku dan segera mengusap bibir kemaluanku.
“ahhhh…. jangan pak…ammppppphhhh..ummmhhhhh…ummmmmmhhhhh”, belum sempat aku berkata-kata Pak Seng langsung melahap bibirku dengan ganas.
Saat ini posisi Pak Seng masih dibelakangku, wajahku berpaling kesamping dan bibirku dihisap penuh nafsu olehnya, tangan kanan Pak Seng melalui pundakku masuk ke dalam dasterku dan meremas-remas payudaraku bergantian dengan gerakan meremas seperti memerah susu seekor sapi, sementara tangan kirinya berada di pingganggu masuk melalui bagian bawah dasterku dan mulai mengusap bibir kemaluanku.
Ohhhh, rasanya sungguh sangat nikmat, meskipun kasar dan terasa sakit diawal, lama-lama gairahku memuncak mengikuti permainan dari pria tua ini, aku bahkan mulai manjulur-julurkan lidahku agar segera disambut oleh ciuman pria tua itu. Tanpa ragu dia menghisap semua air liurku dan sesekali menjilat pipi dan hidungku.
Pak Seng kemudian melepaskan jaketku dan menaruhnya di atas sebuah gazebo yang berada di dekat kandang, sementara itu dia kini beralih kedepanku, dia dorong tubuhku kesebuah pilar kayu untuk menyangga kandang dan langsung mencium dan menghisap kedua payudaraku yang mulai memerah tangan kasarnya tadi.
Untuk menjaga keseimbangan, aku pun segera mengangkat tanganku dan berpegangan pada pilar kayu itu, kupasrahkan tubuhku ini pada pria tua yang seharusnya ku panggil ayah tersebut.
“ahhhh..oouuwhhhh….ahhhhhh…..”, kata-kata yang selalu keluar setiap bibir pria tua itu menghisap payudaraku
Kali ini tangan kiri Pak Seng meremas remas payudara kananku sementara bibirnya melumat dan menghisap puting payudara kiri ku bagai seorang bayu, sementara tangan kanannya yang tadinya hanya memainkan permukaan vaginakau mulai berani menusukkan jari telunjuknya dan mengorek ngorek isi vaginaku.
Kombinasi gerakan ini membuatku terangsang hebat, aq berusaha memejamkan mata dan pasrah menerima perbuatan ini, sambil sesekali mendesah pelan aku tetap berusaha menahan agar desahanku tidak terdengar orang lain, yah meskipun aku tahu tidak mungkin ada orang lain yang berada di sini, karena di Rumah Peternakan ini, yang tinggal hanyalah ada Pak Seng dan istrinya.
Seperti mengorek sesuatu di dalam vaginaku, jari telunjuk Pak Seng mempercepat gerakannya membuat nafsuku semakin menderu, terlebih putting susuku yang dihisapnya dengan kasar sambil sesekali digigitnya perlahan membuatku akhirnya sampai di depan pintu orgasme pertamaku…
“akhhh.. pak… sudah..sudaaahh…ohhh,, aahhhh.. ampunn… ahhhh, Rima keluar pak…. Ahhhh akhhh… sudah Rima keluar pak.. sudahhh ahhhhhh…..”, teriakku menjelaskan bahwa aku mengalami orgasme hebat dan hampir membuat tubuhku ambruk.
Dengan sigap Pak Seng segera meraih tubuhku dan merebahkanku di atas Gazebo, tubuhku tergeletak terlentang tak berdaya, aku masih menikmati nikmatnya orgasme yang baru kurasakan, aku sudah tak mempedulikan lagi apa yang akan Pak Seng lakukan kepadaku, vaginaku masih berdenyut ketika tiba-tiba kurasa benda basah mulai mendarat di permukaan vaginaku yang basah dengan cairan orgasme itu.
*Gambar ilustrasi.
Perlahan kubuka mataku dan betapa kagetnya aku ternyata Pak Seng tanpa jijik malah menghisap cairan kewanitaan yang keluar dari vaginaku, di bahkan mencium dan mengorek-orek lubang vaginaku dengan lidahnya dan sesekali dia hisap semua cairan yang teresisa.
Aku hanya bisa pasrah menerima perlakuannya, vaginaku terasa masih berdenyut kencang, dan nikmatnya sungguh membuat tubuhku lemas tak berdaya, dan kembali aku memejamkan mata.
*Gambar ilustrasi.
Beberapa detik kemudian kurasakan sebuah benda tumpul dan keras mulai menggesek-gesek bibir vagiaku, dan tiba-tiba sebuah dorongan kuat memaksa masuk benda itu membuatku sedikit berteriak dan terkejut, akan tetapi belum sempat aku berteriak, Pak Seng dengan sigap segera mencium bibirku.
Yah.. sensasi ini, oooohh… dan aku pun langsung menyadari bahwa Pak Seng kali ini tengah berada di atas tubuhku dengan penis besarnya tengah menancap tepat kedalam vaginaku.
Tanpa aba-aba, Pak Seng langsung memompa penis jumbonya itu di dalam vaginaku, yaah.. penis Pak Seng memang benar-benar nikmat, besar dan berurat, meskipun ditumbuhi bulu-bulu putih disekitarnya yang menunjukkan usianya tidak muda lagi,
Tapi mengapa punya Mas Alan tidak seperti ini, “oohhh, penis ini,, ahhhh… sungguh besar sekali…setiap tusukannya, bagian ujungnya langsung menusuk rahimku….”, ungkapku dalam hati
Sambil menciumku, Pak Seng memompa penisnya keluar masuk lubang vaginaku dengan perkasa.
Tidak butuh waktu lama, aku kembali merasakan adanya kenikmatan yang akan meledak dari dalam diriku, yah.. sepertinya orgasmeku hanya tinggal beberapa detik saja..
Aku ingin berteriak, tapi mulut Pak Seng membungkam mulutku dan terus menghisap lidahku..
“hmmmppp… hmmmmffff….hmppppppppppp…”, desahku ketika orgasme keduaku datang, tubuhku bergetar, vaginaku berdenyut dengan keras seakan berusaha menelan penis Pak Seng bulat-bulat, ditengah orgasmeku pria tua itu kemudian melepas ciumannya dari bibirku.
Nafasku tersengal-sengal sambil tubuhku terus bergetar hebat, vaginaku yang tadinya kering setelah dihisap Pak Seng kini kembali basah dengan buih putih yang merembes keluar dari sela-sela liang vaginaku
Pak Seng hanya tertawa dan kemudian berkata, “hahaha, enak kan cah ayu… sudah, kalau suamimu ga bisa kasih adiknya Bela, sini biar bapak yang bantuin bikin ya…”
“Ahhh.. hahhh.. ampun pak, sudah….Ammmp….”, belum selesai aku berkata-kata, Pak Seng kembali mencium bibirku dan langsung menhujamkan penis besarnya itu kedalam vaginaku.
Tanpa ampun dia mulai menggoyangkan lagi pinggulnya dengan gerakan yang kasar, lama-lama aku merasakan sakit di bagian dalam perutku, aku menyadari bahwa penis itu terlalu besar dan panjang sehingga dia bisa menusuk dan mencapai dinding rahimku..
Beberapa menit berlalu aku hanya bisa pasrah, tanpa tenaga aku hanya bisa pasrah menerima perlakuan kasar pria tua itu.
Perih tapi nikmat, itu yang kurasakan, hingga akhirnya dia mempercepat goyangan pinggulnya dan dengan sebuah hentakan keras, dia benamkan penis itu hingga ujungnya menyentuh dinding rahimku.
“Akkkhhhh sakit sekali… “, jeritku dalam hati, dan aku merasa sebuah cairan panas seperti berusaha merembes masuk kedalam rahimku
“ooh tidak…tidaaaakkkkk”, aq rasanya ingin menangis ketika menyadari bahwa cairan hangat itu adalah sperma pria tua ini dan sedang berusaha meresap masuk ke rahimku..
*Gambar ilustrasi.
Bebarengan dengan lelehan sperma menghangatkan rahimku, tubuhku kembali bergetar hebat, rasanya semua indraku tersengat kenikmatan yang luar biasa, aku memejamkan mata dan kurasakan tubuhku masih bergetar sampai beberapa detik kedepan.
Setiap detik pada waktu itu membuatku merasakan nikmat yang tak terkira, bahkan ketika aku berhubungan badan dengan Mas Alan, rasanya nikmat itu tidak pernah aku dapatkan.
Tubuhku ambruk terlentang di atas gazebo itu dan tak bertenaga, dengan perlahan Pak Seng mencabut penisnya dari dalam vaginaku, aku seperti tak tega melihatnya, aku masih berusaha memejamkan mataku sambil berusaha mengebalikan kesadaranku
Sementara itu Pak Seng sepertinya sudah pergi meninggalkanku, beberapa menit kemudian perlahan kubuka mataku. Ketika aku palingkan wajahku ke salah satu sudut di gazebo tersebut, kulihat jam sudah hampir menunjukkan pukul enam pagi.
“Astagah, sudah jam enam… aku harus pulang, aku belum menyiapkan sarapan Mas Alan dan bekal Bela”, gumamku dalam hati
Setelah mendapatkan kekuatanku kembali, aku segera bangkit dari gazebo tadi, dan segera merapikan pakaian serta mengenakan jaketku, kupandang sekitar tak kujumpai sosok pria tua yang sudah melecehkanku tadi.
Aku pun segera bangkit dan berjalan keluar dari dalam peternakan tersebut, hingga tiba di tempat dimana aku meletakkan sepeda kayuhku tadi. Tiba-tiba Pak Ceng datang menghampiriku sambil membawa telur ayam pesananku.
“Hehehe, gimana servicenya.. mantab kan??”, tanya Pak Ceng sambil menyerahkan nampan berisi telur ayam.
Aku hanya diam, aku malas menjawab pertanyaannya, karena menurutku lebih baik kusimpan tenagaku untuk mengayuh sepedaku untuk segera pulang kerumah
“Jangan lupa kalau belanja, nanti kesini lagi ya, hahahaha”, kata Pak Ceng sambil mempersilahkanku pergi meninggalkan peternakannya
Aku segera mengayuh sepedaku secepat mungkin, menyadari bahwa aku tidak mungkin sempat memasak, aku segera mampir salah satu warung lain yang menjual nasi bungkus, setidaknya Mas Alan bisa sarapan nasi bungkus ini nantinya.
Sesampainya dirumah, aku segera memasukkan sepeda kedalam garasi, sesaat sebelum masuk ke dalam rumah, di depan pintu rumah aku sedikit terdiam, aku mencoba menata Moodku sehingga ketika aq bertemu Mas Alan dia tidak akan mencurigaiku.
Sesampainya dirumah aku segera menyapa suamiku yang ternyata telah bersiap-siap untuk berangkat kerja, agar tidak rusak, telur yang kudapat dari Pak Seng segera ku tata di dalam kulkas, ketika menata telur-telur tersebut aku merasa ada yang merembes melalui bibir vaginaku yang masih terasa ngilu karena persetubuhan tadi.
Tentu aku tak mau suamiku tahu bahwa ada bekas sperma yang tercecer di vaginaku, jadi aku segera berlari ke kamar mandi untuk segera mandi.
Setelah melepas semua pakaianku di Kamar Mandi, aku mencoba mengcek liang vaginaku, dan benar saja, cairan putih dengan jumlah yang cukup banyak mengalir menetes dari dalam vaginaku dan sebagiannya mengalir menuruni pahaku.
Tanpa piker panjang aku segera membasuh vaginaku dan membersihkan tubuhku dari sisa-sisa perbuatan bejat dari pria tua yang semakin hari, semakin berani mencoba menggodaku.
Tapi sebenarnya juga, ini bukan murni karena kesalahan pria tua itu, seandainya saja waktu itu aku tidak menceritakan keluh kesahku padanya, seandainya saja waktu itu aku menolak ajakannya… Tapi bagaimana pun, nasi telah menjadi bubur.. inilah kenyataan pahit yang harus aku terima dan jalani.