BAGIAN 16-A
KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI
“Jangan pernah menyerah saat berjuang.
Lebih baik menderita sekarang,
lalu menjalani sisa hidup kelak sebagai juara.”
- Muhammad Ali
.:: PADA SUATU KETIKA
Gua Eyang Bara terasa dingin di heningnya malam.
Di saat burung hantu berkelakar, jangkrik saling bercanda, dan kelelawar bermain-main di sela-sela pohon atau batu tetes di dalam gua - Nanto malah duduk bermeditasi di dalam ruang yang sunyi senyap. Pemuda bengal itu duduk di atas batu pipih yang dulu konon pernah digunakan oleh Eyang Bara sendiri. Selain suara para satwa penghuni malam, hanya denting bekas air hujan yang turun menimpa genangan yang terdengar di dalam gua itu.
Syahdu dalam kesepian, sunyi dalam ketenangan.
Si Bengal mendalami dan mempelajari, menenangkan diri dan menyelami. Semua petuah, ajaran, dan masukan yang diberikan oleh keempat sosok yang selama ini menemani. Dalam keadaan tenang, pasrah, dan damai – si Bengal mempersiapkan dirinya untuk kedatangan sang sepuh untuk mempelajari jalan hidup yang kini.
Nanto berbisik mengisi senyap dalam gua, “Saya siap, Eyang. Silakan diberikan kawruh.”
Eyang Bara turun dari langit-langit gua dalam posisi duduk bersila, tangan di dada, mata terpejam. Ada energi di dalam kekosongan perwujudannya. Wujud yang kosong, kosong yang mewujud. Manifestasi sosok yang ada tapi tiada, hadir namun tak tiba. Sang eyang turun perlahan-lahan sampai kemudian duduk tepat di hadapan si Bengal.
“Bagaimana perkembangan kemampuanmu?”
Eyang Bara tidak membuka mulut namun suaranya menggema langsung di dalam batin si Bengal. Pemuda itu tidak membuka mata, tapi merasakan kehadiran dan melihat perwujudan dalam bayangan. Keduanya berbicara tanpa suara, melihat tanpa mata, merasakan tanpa rasa.
“Gerbang pertama hingga kesembilan bisa dibuka secara berkesinambungan menggunakan gerbang kesepuluh, yakni Gerbang Kemanunggalan. Syaratnya adalah Ki yang tersimpan secara natural dalam diri mencukupi untuk mengemban semua kebutuhan energi tiap tingkatan gerbang yang telah dibuka. Setelah berlatih sesuai petunjuk Eyang, saat ini saya sudah mampu melakukannya, meskipun masih dalam hitungan waktu yang pendek karena keterbatasan tenaga yang bisa saya himpun.” Nanto menarik napas. Tangan si Bengal memainkan gerakan naik turun dengan cepat, mencoba mengumpulkan energi dan melepaskannya secara perlahan. “Sebagai solusi, saya melatih diri untuk melebarkan kapasitas daya agar mampu menyimpan Ki yang lebih besar, tahan lama, dan lebih stabil. Kelemahan utama saya selama ini adalah cadangan daya. Harus dibiasakan secara mandiri secara terus menerus agar mampu menyeimbangkan kekuatan luar dan kekuatan dalam. Melebarkan daya dengan mengasah upaya.”
“Bagus sekali. Tepat seperti itu yang harus dilakukan. Jika sudah mencapai tahap kemanunggalan Kidung, tidak ada lagi yang bisa membantu selain dirimu sendiri. Jadi dengarkan suara dari dalam hati, dengarkan suara batin, lalu kembalikan hasilnya kepada alam. Semua yang berawal dari dalam, manfaatkan untuk kepentingan luar. Begitu pula sebaliknya. Apa yang diambil dari luar juga harus bermanfaat ke dalam.”
“Bagaimana kita memanfaatkan unsur alam ke dalam diri kita, Eyang?”
“Hidup manusia ditentukan oleh persepsi pikiran terhadap dunia luar, persepsi kemudian membentuk pandangan dan pengetahuan berdasarkan fakta. Jadi secara proses fakta akan menjadi informasi, informasi naik tingkat menjadi pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan menjadi ilmu. Dengan mempersepsikan alam sebagai sumber tenaga, maka kita bisa meningkatkan kemampuan dengan bantuan alam secara natural.
“Tapi bagaimana semua proses ini dimungkinkan? Dengan menggunakan apa kita mendapatkan fakta? Dengan menggunakan panca indera. Panca indera menerima semua informasi dari dunia luar yang kemudian diolah menjadi persepsi oleh pikiran kita. Nah, tatanan yang ada di dunia lantas tercipta dari persepsi-persepsi manusia,” kata Eyang Bara memberikan masukan. “Apa yang dipahami dan dimaklumi, kemudian menjadi fakta atas dasar persepsi. Pemahaman ini dipupuk dan dikembangkan, lalu ditingkatkan sampai nantinya menjadi tahapan ilmu.”
“Paham, Eyang.”
“Tapi kamu tetap harus berhati-hati dengan persepsi. Ada kalanya persepsi justru akan membentuk kesenggangan. Sebuah pemikiran jumawa bahwa seorang aku adalah individu yang berdiri bebas tanpa batas dan tidak membutuhkan apapun yang ada di luar diriku. Pemikiran semacam itu adalah sebuah persepsi yang menjebak, menimbulkan keterpisahan diri dari alam. Ego yang secara struktur dibentuk karena adanya kesalahpahaman persepsi, suatu ilusi manusia mengenai keterpisahan dirinya dari segalanya karena merasa dirinya lebih di atas dari yang lain – baik itu persepsi akan manusia lain ataupun persepsi akan alam sekitar. Tidak menyadari bahwa aku adalah sebuah konsep dan ide yang merupakan representasi dari pemahaman manusia yang juga sebatas nalar, terlahir juga dari persepsi.
“Manusia adalah makhluk yang terhubung dengan segala hal, termasuk dengan manusia lain dan dengan alam sekitar. Kita sebagai aku bukanlah individu yang terpisah dari alam, kita adalah kesatuan. Memang seakan-akan tindakan yang kita lakukan adalah hasil dari pemikiran akal dan budi pekerti kita. Pemikiran yang merupakan pengejawantahan kecerdasan dan kebebasan kita sebagai manusia – meskipun kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada banyak tindakan yang lahir dari ketidakbebasan yang tidak dapat kita atur. Kita harus bernapas untuk hidup, kita akan kelaparan saat kekurangan makan, kita bakal kehausan karena kekurangan cairan, jantung akan berdetak tanpa harus diperintah, semua ini terjadi begitu saja tanpa kita putuskan, sebuah kenyataan yang menyatakan bahwa – kamu ada dan kamu bisa, tapi kamu bukan di atas segalanya, kamu adalah bagian dari kita, karena kamu pun memiliki batasan dan aturan sebagaimana halnya setiap makhluk di muka bumi ini.
“Jadilah satu dengan alam karena manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari keniscayaan pergerakan alam. Begitu kita memahami konsep kesatuan ini, konsep yang berbentuk aku ini melebur bersama alam, konsep individual ini akan menghilang, dan kita akan menjadi bagian dari keseluruhan. Persepsikan dirimu sebagai bagian dari keseluruhan alam, bukan sebagai penguasa, bukan sebagai majikan, bukan sebagai pengatur yang telah dititahkan, bukan sebagai yang berhak memiliki, tapi sebagai bagian dari ciptaan yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Nanto, cah bagus. Dengan ini, tuntas sudah semua yang perlu kuajarkan. Selesai sudah semua pelajaran yang bisa kuberikan. Setelah ini – mungkin Aku akan jarang menemuimu. Aku hanya akan datang saat kamu benar-benar membutuhkan.” ujar Eyang Bara dengan kalimat lembut. Ia menepuk pundak si Bengal. “Takdir Trah Watulanang adalah takdir para naga. Jadilah seekor naga yang bercahaya dalam kegelapan, lalu terbang dan sebarkan kehangatan. Anak lanang, dengan ini kamu sudah menyelesaikan ajaran dariku.”
“Tidak.” Nanto menggeleng dan menolak, “Saya masih harus banyak belajar, Eyang. Rasa-rasanya masih banyak yang belum saya tuntaskan. Masih ada yang terasa kurang. Saya masih ingin belajar dan terus belajar.”
“Bagus! Bagus itu! Sudah pasti manusia tidak akan cepat berpuas diri. Justru bagus jika kamu terus menerus haus akan ilmu. Teruslah belajar tanpa henti. Jadikan kehidupan sebagai kawah candradimuka, jadikan cobaan sebagai pelajaran untuk menempa diri, dan jadikan kesulitan sebagai penghadang yang harus dicari solusi – bukan untuk disesali. Hanya kamu sendiri yang tahu, seberapa jauh apa yang telah kamu pelajari akan kau bawa terbang. Seberapa jauh kamu akan membawa kemampuanmu untuk mengharumkan nama keluarga.”
“Eyang…”
“Belajar, belajar, dan belajar,” bisik suara lembut seorang wanita di samping si Bengal, tangan halusnya lantas mengelus rambut Nanto. “Jangan pernah lupa pesan-pesan sebelumnya dari kami. Selalu makan makanan yang sehat, jangan mie instan terus. Aku sudah sering mengajarkanmu cara memasak yang lebih variatif. Bukan cuma belajar jurus-jurus saja. Belajarlah memasak, jangan menggantungkan semuanya pada calon istrimu. Bagaimana kalau kemudian kamu hidup sendiri?”
Nanto tersenyum, “Siap. Apakah sudah menentukan pilihan calon menantu yang disuka? Kadang-kadang mertua sering tidak setuju dengan calon menantu pilihan anaknya.”
“Siapapun yang kamu pilih, kami pasti setuju.”
“Kalau begitu…”
“Kecuali calon yang akhir-akhir ini. Bapakmu suka, Simbahmu yang gemblung itu apalagi. Tapi aku tidak setuju. Tidak elok rasanya murid mengencani gurunya sendiri, secantik dan seseksi apapun gurunya itu. Masih banyak yang lain di luar sana. Carilah yang lain.”
Nanto tertawa. “Dia sudah bukan guruku lagi, hubungan kami sudah bukan murid dan guru.”
“Dasar bocah ngeyel. Karepmu lah. Satu lagi pesan penting dariku… pakailah pengaman to, Nak. Tobat… tobat… mau berapa gadis lagi yang akan jadi korbanmu? Bertanggung jawab ya. Awas aja kalau sampai tidak. Cari pekerjaan yang layak dan bisa menghidupi semua yang harus kamu tanggung. Sudah berapa saja ini gadis yang menjadi korban karena ulahmu. Apalagi calon yang terakhir ini… kelak dia akan…”
Nanto tertawa.
“Jangan malah cengengesan. Banyak yang kelak harus kamu tanggung. Bisa bikin legenda sendiri mereka nanti. Oalah… aku memang telah salah mendidikmu. Jadi apa kamu sekarang ini…? Aku tidak membesarkanmu jadi penjahat kelamin. Jangan biarkan hasil perbuatan bejatmu itu terlahir tanpa ayah. Jadilah adil dan bertanggung jawab, jangan sakiti mereka – peluk mereka.”
“Baik, Ibu.”
Kali ini satu tangan memijat lembut pundaknya. Suara seorang pria dewasa membuat batin Nanto terasa damai, suara yang sudah sejak lama ia rindukan. “Akan ada peristiwa besar yang silih berganti membuatmu sangat pusing hingga tidak bisa tidur. Bukan karena kamu tidak mampu mengatasinya, tapi karena peristiwa demi peristiwa ini akan menentukan jalan hidup orang-orang yang kamu sayangi. Ingat baik-baik bahwa kamu hanya harus mencoba melakukan yang terbaik, meskipun hasil akhirnya tidak ada di tanganmu, dan tidak sesuai dengan harapanmu. Percayakan pada proses. Paham? Lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Kamu seorang Watulanang. Jadilah demikian.”
Nanto mengangguk.
Si Bengal menunggu satu suara lagi. Suara yang biasanya galak dan penuh canda. Tapi ada yang berbeda saat suara itu akhirnya muncul. Biasanya suara itu akan menjelaskan kilas kehidupan secara panjang lebar, bercanda tawa dan mengungkap rasa bahagia. Memaki-makinya dengan canda. Tapi entah kenapa hari ini hanya mengucapkan satu kalimat saja. Itupun dengan nada yang tidak enak didengarkan.
Suara itu seperti kosong, jauh, dan mengambang. Seperti ada jeda dan ketidakpungkasan, sesuatu yang membuat batin terasa hampa karena ada yang kurang. Ada yang tidak pas dan seperti biasanya. Ada yang berbeda.
Hanya satu kalimat saja yang terucap.
“Aku titipkan Sagu padamu, Le.”
Lalu tenang, terdiam, dan hilang. Sudah begitu saja. Tidak ada pesan tambahan? Tidak ada canda?
Tiba-tiba saja ada rasa sakit yang menyeruak di dalam dada. Sakit yang menjalar. Membuat perasaan benar-benar tidak nyaman. Padahal ini wisata batin, bagaimana bisa sakit itu terasa nyata?
Mata Nanto terbuka, ia terengah-engah. Entah kenapa dadanya sesak sekali. Seperti ada perasaan yang tidak nyaman yang memenjara batinnya. Apa yang membuat Kakek-nya meninggalkan pesan seperti itu? Kenapa perasaannya tidak nyaman? Apakah akan ada sesuatu yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang telah terjadi? Pertanda apakah ini?
Sagu?
.::..::..::..::.
.:: JUGA SUATU KETIKA
“Minum dulu, sayang.”
Asty melenggang dengan indahnya dan meletakkan nampan di atas lincak bambu. Wanita jelita itu mengenakan pakaian seadanya yang mungkin bisa ditemui dan dijual di pasar malam, bukan baju yang berkelas dan bukan pakaian yang sering malang melintang di media sosial para selebgram, benar-benar hanya baju sederhana yang dicuci beberapa kali pasti luntur. Namun tampil sederhana begitupun, si cantik itu tetap terlihat mempesona. Satu dua bulir keringat yang menetes di wajah bagaikan permata yang menambah indah wajah tanpa polesannya.
Di atas nampan terdapat dua gelas besar berisikan es teh manis. Sebelumnya Asty sudah menyiapkan buah-buahan segar di sebuah piring di lincak bambu yang sama. Sebuah hidangan yang akan menyegarkan hari yang panas kala mentari terik mulai bermain-main di antara awan.
Matahari bersinar dengan terang, menembus ke setiap sudut gelap yang sebelum pagi menyapa sempat disembunyikan oleh malam. Seolah menghindari sinaran, lintas bayangan masuk di antara rerimbunan dahan atau di bawah bebatuan. Bayangan yang enggan menyapa hadirnya pagi, beristirahat untuk berlari-lari kembali di gelap malam.
Asty duduk dengan santai di lincak rotan. Rambutnya yang sebahu dibiarkan diikat kucir dan melambai-lambai tertiup angin. Jika hanya berdua saja dengan si Bengal atau dengan sang putra, Asty tidak lagi mengenakan kerudungnya.
Nanto masih terus memukul dan menendang sandsack dengan gerakan berirama. Sesekali ia juga beralih ke wooden dummy yang digunakan untuk berlatih wingchun yang diajarkan oleh almarhum bundanya. Pemuda bengal itu sepertinya tidak mendengar panggilan dari Asty dan berkonsentrasi pada latihannya. Keringat deras mengalir di sekujur tubuh Nanto. Pemuda yang hanya mengenakan celana pendek selutut itu fokus dengan apa yang sedang dikerjakan, memastikan gerakan sudah dilakukan dengan sempurna. Tatapan matanya tajam lurus ke depan, seakan menusuk sampai ke jantung siapapun yang memandang. Bagi wanita terlihat tampan dan menarik, bagi pria terlihat berbahaya dan berkharisma.
Nanto sudah berubah sekarang. Asty memandangi sang kekasih dari tempatnya berada. Dia sudah bukan pemuda bengal yang lebih sering berkelahi daripada bersekolah. Dia sudah menjadi seorang laki-laki yang bisa diandalkan.
Saat Nanto beraksi, Sagu berteriak-teriak tak jauh darinya dan ikut melompat-lompat dengan senangnya. Ia selalu senang jika dapat berkumpul kembali dengan tuannya yang asli. Ia kini memang dirawat dengan baik oleh majikannya yang baru yang bernama Pak Di. Pak Di adalah sahabat Kakek Nanto. Mereka menyayangi Sagu seperti peliharaan sendiri. Sagu disayangi tidak hanya oleh keluarga Nanto tapi juga masyarakat desa sekitar.
“Maaas. Minum duluuuu,” sekali lagi Asty memanggil Nanto dengan merdu.
Si Bengal akhirnya mendengar panggilan itu. Ia berhenti berlatih dan tersenyum di bawah sinar matahari pagi yang bersinar terik. Dengan menggunakan handuk, ia menyeka seluruh peluh yang turun di wajah dan badannya. Si Bengal menyampirkan handuk kecil berwarna putih ke leher, menatap ke arah Asty, dan mengangguk. Nanto berjalan ke arah lincak sembari menyeka dahinya yang basah oleh keringat dengan menggunakan handuk yang sama.
Bersama Sagu, Nanto melangkah duduk di samping sang bidadari jelita. Dengan manja anjingnya itu mendengus-dengus dan duduk di kaki si Bengal.
“Duh, keringatmu itu lho.” Asty menggunakan kain handuk kecil yang masih kering dan menyeka keringat sang pemuda. Mulai dari atas, lalu ke dada. “Makan semangka dulu, Mas. Seger banget nih semangkanya. Tadi pagi aku beli di pasar. Kan lumayan kalau panas begini.”
Nanto tersenyum. Ia mengangkat dagu Asty dan memainkan bibir sang wanita jelita dengan telunjuknya, “Aku tahu yang lebih segar lagi. Sesuatu yang bikin aku gemas setiap hari.”
Jantung Asty berdegup kencang saat mata sang pemuda gagah itu menatapnya dengan pandangan yang sangat dalam dan penuh percaya diri. Benar. Nanto sudah berbeda, jauh berbeda dari pemuda yang menemuinya di ruang BK saat pertama kali pergi dari SMA CB ataupun pemuda yang pertama kali pulang ke kota. Dia jauh lebih percaya diri dan lebih tenang. Ada sesuatu yang misterius di kedalaman pandangan matanya.
“Eh, jangan ngawur, Mas! Ini di luar lho! Nanti kalau ada yang lihat…”
Ucapan sang bidadari terpotong. Nanto menurunkan wajahnya. Asty hanya bisa memejamkan matanya dan membiarkan bocah bengal itu melanjutkan niatnya. Bibir mereka bersua. Asmara yang sudah tak lagi terhalang menjadikan mereka bebas melakukan apa saja, menabrak norma, melewati pandangan masyarakat yang tak memahami kedua insan berbeda usia ini dulunya adalah guru dan siswa.
Untung saat itu sedang sepi dan sebagian masyarakat sudah berangkat untuk bertani atau ke ladang. Hanya burung-burung yang berkeciap yang menjadi saksi permainan asmara keduanya.
Bersuanya bibir mereka adalah bersuanya hasrat yang terpendam selama bertahun-tahun. Niat ingin memiliki yang tak mungkin bisa terwujud kini bisa dilampiaskan tanpa penghalang dan tanpa aturan. Mereka sudah dewasa dan berhak melakukannya. Status sudah tak lagi jadi penghalang rasa cinta. Betul kan? Betul atau tidak?
Saat bibir itu dilepas, masing-masing insan tahu kalau ciuman sayang itu bukan untuk yang terakhir kali. Mereka akan melakukannya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Hingga suatu saat nanti mereka sadar bahwa ada yang sudah harus dicukupkan – tapi itu bukan saat ini dan bukan hari ini, jadi nikmati saja. Nanto menatap mata Asty dengan lembut lalu ia mengetukkan dahinya pelan ke dahi wanita yang akan selalu ia kagumi sepanjang masa itu.
“Nggak mengajar hari ini?” bisik si Bengal. Ia mengangkat kepala dan mulai mengambil semangka yang sudah dipotong-potong kubus oleh sang kekasih.
“Enggak.” Asty menggeleng, “Hari-hari istirahat sebelum ujian - minggu tenang. Khusus hari ini guru-guru diliburkan sembari diminta untuk mengirimkan soal-soal ke panitia. Aku sudah selesaikan itu kemarin. Jadi hari ini aku hanya ingin kamu ajarin, Mas.”
“Ajarin apa?” si Bengal tertawa. “Kok malah kebalik aku yang ngajarin.”
“Ajarin bagaimana caranya menjadi orang yang mengagumkan seperti kamu. Masih muda tapi bikin klepek-klepek. Apa adanya, cuek, naif, peduli dengan sesama, dan setia kawan. Yang nyebelinnya sih ternyata kamu tidak setia pada pasangan. Sumpah sebel banget. Tapi yang aku puja adalah karena kamu selalu bangkit di saat terjatuh dan selalu mengusahakan yang terbaik bagaimanapun kondisinya.” Asty mengecup bibir Nanto, “Aku sayang sama kamu, Mas… tetaplah menjadi pemuda yang meskipun bengal tapi selalu berani memperjuangkan hak orang-orang yang berhak.”
Si Bengal tersenyum dan mengecup dahi wanita yang dulu pernah menjadi guru BK-nya. “Aku belajar semua itu dari guru BK tertangguh yang pernah aku kenal. Berani menghadapi anak-anak bandel selama bertahun-tahun di sekolah yang terkenal sebagai sekolahnya kaum berandalan.”
“Mbelgedes.”
“Serius. Aku jadi seperti sekarang berkat jasa guru BK paling sabar dan paling cantik sejagat raya. Terseksi, terindah, termanis, ter…”
“…terang bulan? Dasar gombal mukiyo.” Asty mencibir sembari menowel hidung si Bengal. “Sudah selesai latihannya?”
“Belum. Masih beberapa kali lagi. Ada beberapa tahapan yang harus aku lakukan sebelum berhenti hari ini. Masih mau menunggu kan?”
“Tidak perlu dibilangin gitu juga aku terus menunggu. Aku kan tidak kemana-mana, bakal ada di sisi kamu terus. Tapi tidak kemana-mana pun lebih sering dianggurin. Kirain bakal disayang tiap hari.” Asty mencibir, “Kamu lebih sering latihan dan meditasi daripada ngajak aku berduaan. Sekalian saja setelah ini diterusin lari sepuluh kilometer, push-up seratus kali, sit-up seratus kali, squat seratus kali, setiap hari, selama tiga tahun. Kan ntar jadi gundul tapi powerful.”
“Wahahahahah. Wah ngeri kalau itu. Bisa-bisa aku selalu bisa menang hanya dengan sekali pukul.”
“Mas…”
“Hmm?”
“Setelah menyelesaikan latihan di desa, Mas akan kembali ke kota? Atau masih akan tetap bertahan di sini untuk sementara waktu? Di kota sedang ada perang antara dua kelompok besar seperti yang Mas ceritakan dan temanku kabarkan. Agak berbahaya kalau Mas pulang. Kenapa tidak tinggal di sini dulu sampai semuanya aman?”
“Temanku? Temanku yang mana hayooo…?” ada sedikit nada cemburu di kata-kata yang diucapkan si Bengal.
“Kan memang dia temenku…”
“Siapa?”
“Kapten Ri.”
“Kapten Ri?”
“Iya, Kapten Ri.”
“Jadi selama ini kamu masih berhubungan dan kontak-kotakan sama dia?” Nanto berdiri. “Kalian chatting mesra begitu setiap hari? Oooh, bisa-bisanya ya di belakangku seperti itu? Oke, fine.”
Pemuda itu melangkah pergi dengan muka masam.
Buru-buru Asty mengikuti dan memegang tangannya. Menahan pemuda itu supaya tidak lebih jauh meninggalkan Asty. Wajah janda muda itu menjadi sangkat khawatir. “Ih, Mas apaan sih! Beneran kami cuma temenan aja! Jangan begini dong. Masa aku gak boleh temenan sama orang lain? Mas cek saja HP-ku, WhatsApp-ku. Tidak pernah ada yang aku hapus. Kalau sampai ketemu ada yang aneh-aneh boleh deh Mas marah. Lha ini tidak ada.”
Nanto menyentakkan tangannya hingga pegangan Asty terlepas. Bidadari itu sangat terkejut! Untuk pertama kalinya ia melihat Nanto seperti ini! Apakah dia benar-benar marah dan cemburu? Aduh… aduh…
Nanto menatap Asty dengan pandangan tajam, berbalik dan melangkah pergi.
“Maaas!!” panggil Asty dengan kalut, “Ja-jangan pergi… aku minta maaf… aku minta maaf! Aku tidak akan pernah lagi… tidak akan pernah lagi… Maaaaaaaaaass!!”
Sebenarnya Asty merasa tidak adil. Kenapa Nanto boleh berhubungan dengan teman-teman wanita lain sementara Asty sama sekali tidak boleh berteman dengan orang yang justru sangat baik dan perhatian? Ya okelah kalau Kapten Ri memang punya niat lebih dan menaruh hati padanya, tapi sampai saat ini Kapten Ri tahu bagaimana sikap Asty pada dirinya – tidak akan pernah bisa berjalan niat itu karena cinta Asty yang sekaang hanya untuk si kaleng sarden.
“Maaaaaaaaaasss!! Aku minta maaf!!”
Tiba-tiba Nanto berbalik lagi dan tersenyum lebar. “Becanda kok.”
Asty yang sempat panik langsung terbelalak, si cantik itu pun memukul lengan Nanto. “Ih! Apaan sih! Kirain beneran marahnya! Sebel banget tau gaaa!? Jeleeeeeeeek!!”
Nanto tertawa.
“Jeleeek!! Aku udah jantungan tahu ga sih!!” Asty cemberut, “jangan diulangi lagi!!”
“Kamu kan tahu aku tidak pernah bermasalah kamu temenan sama siapapun, Sayang. Aku juga tahu kok hubungan kalian berdua. Dia gagah, jujur, tegas, mapan, dan dewasa. Bukan tipe yang bisa dibandingkan denganku. Aku hanya pemuda yang masih hijau, naif, dan harus terus belajar. Kalau boleh jujur, kamu sebenarnya lebih pantas bersanding dengannya daripada denganku.”
Asty memukul lengan Nanto lebih keras.
“Aduh! Kok jadi beneran?” si Bengal protes sambil cengengesan.
“Ngomong begitu lagi nanti malam ga akan aku kasih jatah. Awas saja kalau berani-berani ngerayu.”
“Lho, kok gitu sih…? Lho kok marah?”
“Makanya kalau ngomong jangan ngelantur. Aku tuh sayangnya sama kamu, bukan sama dia! Sudah jelas-jelas aku setiap hari tidur sama kamu! Atau jangan-jangan… jangan-jangan kamu bosen? Benera kan? Sudah bosen kan sama aku? Mau cari yang lebih muda kan? Memang aku cuma janda, jadi bisa dipermainkan! Dasar cowok!”
“Ya nggak laaaaaah… Bu Asty mah selalu di hati dan tak kan pernah pergi.”
“Gombal. Curang banget tau ga? Mas aja pacarnya entah ada berapa. Lha aku yang baru temenan sama satu orang – temenan nih, bukan pacar! Bener-bener temenan, malah dicemburuin kayak apaan tahu. Gimana ga sebel! Pokoknya awas kalau sampai diulangi lagi! Ga lucu!”
“Hihihi. Berarti nanti malam masih dapet jatah kan?”
Asty mencibir. “Giliran begituan aja... huh! Dasar emang! Kalau emang Mas mau begituan, kenapa harus nunggu sampai nanti malam? Sekarang juga ayo.”
“Oho. Mau sekarang?”
“Ga juga sih. Kalau setelah ini Mas mau istirahat sebentar dan mandi, mungkin setelahnya kita bisa membicarakan masalah jatah.” Asty mengedipkan mata pada si Bengal yang langsung membuka mata dan tersenyum lebar.
Tapi sang bidadari kemudian menunjuk ke arah jam kotak kecil berwarna putih seharga lima belas ribuan yang dibawa oleh Nanto dari kontrakannya. “Waktumu tidak banyak, kaleng sarden. Aku beri waktu satu jam dari sekarang untuk melakukan itu.”
“Siaaaaaaap!”
.::..::..::..::.
Rumah om Janu cukup mewah untuk ukuran rumah di desa. Salah satu fasilitas yang ada adalah kamar mandi yang dilengkapi dengan shower sementara rumah-rumah lain masih mengandalkan bak mandi dan ember. Nanto mandi dengan santai, mencuci badan supaya bersih, melepas semua penat dalam hati.
Saat ini Nanto hanya tinggal bertiga saja bersama Asty dan Adek putra Asty. Setelah dijemput pulang ke kota oleh om Janu nanti, mereka bertiga akan sama-sama meninggalkan rumah pinjaman ini.
Nanto tenggelam dalam nikmatnya mandi, merasakan segarnya air membasuh badan. Dia bahkan tak mendengar ketika pintu kamar mandi dibuka. Nanto memang sengaja tidak menguncinya. Langkah kaki lembut berkecipak masuk ke dalam, mensejajari si Bengal dan menyelinap di belakangnya.
Nanto tentu saja sadar siapa yang datang. Tangan pemuda itu merenggang untuk memeluk tubuh wanita yang tiba-tiba saja masuk ke kamar mandi.
“Jangan berbalik,” bisik suara di belakang si Bengal. Suara yang menghentikan niat pemuda itu untuk membalikkan badan dan memeluk sang wanita. Tidak perlu jadi detektif untuk menyadari bahwa sosok di belakang si Bengal adalah Asty. “Aku hanya ingin… bersamamu…”
Asty menggerakkan tangannya ke punggung si Bengal, menelusurinya, mengikuti bentukan otot-ototnya dengan lembut. Mulai dari bahu, ke tengah, lalu membelai sepanjang tulang punggung ke bawah. Turun dan turun dan turun sampai akhirnya sampai di pinggul.
Nanto mendesah, menikmati air pancuran yang mengguyur tubuhnya dan belaian lembut di punggung oleh sang kekasih hati.
Asty menempatkan jari-jemarinya di punggung sang pemuda, lalu menekan dan menggosok, menggeser dan memijat beberapa gundukan-gundukan otot yang menegang. Nanto mendesah kencang ketika Asty melakukannya. Si cantik itu pun melanjutkan. Menekan lebih dalam dan lebih kuat. Setelah semua yang kencang mulai terurai, Asty mengambil sabun cair dan mulai membasuh punggung sang kekasih.
“Terima kasih, sayang…” bisik Nanto. Pemuda itu menyandarkan kedua tangannya di dinding kamar mandi, di bawah pancuran air. Ia menundukkan kepala supaya air turun di atas kepala dan mengenai punggungnya.
“Hei… jangan buru-buru. Masih banyak yang harus disabuni sebelum dibilas.”
Nanto tertawa.
Sesaat kemudian pemuda bengal itu terkesiap! Tawanya terhenti karena ada tangan bersabun yang tiba-tiba saja meremas kantung kemaluannya dari belakang. Widih. Nakal banget ya ibu BK-nya? Nanto tersenyum menanggapi. Tangan lembut itu menyentuh, mengelap, mengelus, dan memainkan. Kalau hanya mengoleskan sabun, kayaknya ini jauh lebih lama dari seharusnya.
“Kamu menyukainya?” bisik Nanto.
“Banget.”
“Apa yang kamu suka? Kenapa suka?”
“Punya Mas… mmmhhh… karena… mmmhh… begitulah…”
“Begitulah gimana?”
“Pokoknya aku suka. Titik.” Asty membalasnya perlahan dengan manja. Suaranya terdengar tercekat. Janda muda itu juga tengah menahan ribuan rasa yang menghujaninya. “Mmmhhh… Aku selalu suka punya Mas.”
“Enak banget kamu bersihkan begini.”
“Oh ya? Hmmm… mmmhhh…” Asty mengerang lembut selama ia membersihkan kantong kemaluan Nanto. Kini kedua tangan sang ibu muda jelita melingkar di pinggang si Bengal, tujuannya adalah untuk membersihkan seluruh bagian kejantanan sang pemuda kesayangan. Dada Asty nan sentosa melekat di punggung si Bengal, memberikan nuansa kenyal nan erotis yang selalu diidam-idamkan setiap pria yang pernah berjumpa dengan sang ibu muda. Asty mendesah lirih, “Aku selalu menyukai milikmu, Mas… selalu…”
Batang kejantanan Nanto mulai mengencang dan membesar.
Asty memejamkan mata saat ia mulai mengurut dan menyentuh batang kejantanan sang kekasih. Nanto melenguh dan merasakan sentuhan tangan sang ibu muda jelita yang selalu menjadi idolanya itu. Kemaluannya dipenjara oleh kenikmatan jeratan tangan nan matang, sabun membuat batang itu dengan mudahnya menyusuri jemari lembut Asty. Untuk naik dan untuk turun, naik dan turun, naik dan turun, lalu naik dan turun.
“Ternyata Bu Guru nakal ya?”
“Nakal gimana? Kan hanya bersihin aja.” Asty tersenyum. Wanita jelita itu memamerkan deretan gigi sempurna yang sayangnya tak terlihat oleh si Bengal. Asty perlahan-lahan mengecup punggung sang kekasih sementara tangannya terus menggosok dan membelai batang kejantanan Nanto. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri.
Lidah Asty bermain di punggung Nanto, menyusuri setiap jengkal bagian lebar sang pemuda idaman. Kadang mengecup, kadang mengoleskan bibir, kadang menjilat, kadang menggigit. Semua dilakukan Asty sementara tangannya terus beraksi. Satu tangan naik turun batang, satu tangan meremas-remas bola-bola.
Nanto kian menegang, “Kayaknya sih sudah bersih banget yang depan itu.” Pemuda itu mencoba berbalik. “Giliranku memandikanmu…”
Asty menolak. Janda muda itu mengencangkan cengkramannya di batang kejantanan sang kekasih, “Eh, belum dong! Belum bersih. Harus bener-bener bersih… supaya… supaya… higienis.”
Nanto tertawa.
Asty mempercepat gerakan naik turun tangannya, merasakan panjang dan besar ukuran batang milik sang pemuda. Tidak lupa ia memutar jemarinya sedikit di ujung botak yang menambah rangsangan bagi si Bengal juga bagi dirinya. Napas keduanya berpacu. Birahi mereka sama-sama terpicu. Tersengal-sengal dan seakan-akan memberitahu, bahwa semakin lama semakin nikmat meski berbatas waktu. Asty sudah mulai tak tahan. Ia mendesah-desah sendiri. Bagaimana ini? Aduh, bagaimana ini? Dia ingin sekali… dia butuh sekali… dia mau…
“Mmmhh… sepertinya sudah cukup bersih kalau sekarang…” Suara Asty seperti tertahan di dalam dada. Nadanya terdengar malu-malu.
“Oh, begitu.” Si Bengal paham.
Nanto membalikkan badan, merangkul bahu Asty, lalu mendorongnya supaya bersandar di tembok di bawah pancuran. Air mengguyur tubuh mereka berdua. Nanto baru melihat kalau ternyata Asty sudah telanjang bulat. Buah dadanya nan sentosa menghunjuk ke depan, seakan minta dibelai, dan di belakang, pantat bulat merona mengundang untuk diremas dan disayang.
Bagaimana mungkin di dunia ini ada makhluk secantik, seindah, dan seseksi Asty? Bukankah itu tidak adil untuk wanita lain?
Kedua tangan si Bengal langsung beraksi. Yang satu meremas buah dada, yang satu lagi meremas pantat bulat menggiurkan. Sementara kedua tangan Nanto berkerja membangkitkan selera, kedua insan yang dimabuk asmara itu bertatapan penuh arti, mengirimkan rasa sayang hanya dengan pandangan. Pandangan yang dipahami keduanya sebagai rasa ingin bersama, rasa ingin bersatu, sekarang juga, saat ini juga, sekarang.
“Aku sayang kamu, Mas…” bisik lembut sang bidadari jelita. Asty memejamkan mata, membiarkan bibirnya naik untuk menemukan pasangannya. Bibir keduanya bertemu. Saling mengatup dan menikmati elusan. Saling merasakan rasa sayang menggunung yang akhirnya diwujudkan.
Tangan jahil Nanto turun ke bawah.
Menuruni perut langsing sang dewi, lalu turun ke bawah lagi, ke arah gundukan semak mewangi yang dicukur rapi dan bersih, lalu turun ke bawah lagi, ke tujuan utama, ke lipatan surgawi. Jari nakal si Bengal mengelus-elus gerbang kewanitaan milik Asty, mencari tonjolan kecil dan mulai memainkannya. Ibu muda itu pun melenguh dan mendesah, terjebak dalam hasrat, antara keinginan dan kebutuhan.
“Massss… mmmhhh… Maaaaasss…”
“Enak?”
Asty mengangguk tanpa suara.
“Suka?”
Asty kembali mengangguk. Tubuhnya menggelinjang menandakan kenikmatan. Jemari Nanto beraksi, memainkan belah bibir bawah nan atraktif milik sang dewi. Lalu jemarinya diselipkan, pertama hanya ujungnya saja, lalu perlahan-lahan masuk ke dalam. Asty menggigit bibir bawah dan mendesah. Kedua tangannya berpegangan erat pada bahu Nanto.
“Eeennnnghhhh…”
“Suka?”
Asty mengangguk.
Nanto memasukkan jari yang kedua dan menggerakkannya maju mundur. Tubuh Asty kelojotan.
“Heeenggghhhhh!!”
“Suka?” tanya Nanto.
Asty mencibir dan protes pada si Bengal, “Nakal kamu.”
“Kalau tidak nakal, bagaimana mungkin bisa masuk ke BK dan ketemu guru BK paling cantik sejagad?”
“Masssss…”
Saat membuka mata, pandangan mata sayu Asty menyampaikan satu pernyataan yang pasti. Dia sudah tenggelam dalam gelombang tinggi nafsu birahi. Nafsu yang ingin dituntaskan dalam satu padu padan dengan si Bengal. Harus dengan si Bengal. Dia hanya ingin bersama dengan si Bengal. Hanya dengan Nanto.
“Mas… tolong…”
“Tolong?” Nanto tersenyum, “tolong apa?”
Asty memandang ke arah sang kekasih dengan mata penuh hasrat – lalu memohon dengan pandangan manja dan suara pasrah, godaan yang gak ada obat. Dipandangi seperti itu oleh Asty damage-nya parah. “A-aku mau, Mas. Aku pengen…”
“Pengen apa? Mau diapain, Bu Guru?” kumat nakalnya si Nanto pun kembali menggoda. “Muridmu ini tidak tahu apa yang Bu Guru inginkan. Mau apa sih? Ajarin dong, Bu.”
“Maaaaass… kok gitu sih? Nakal kaaaan…” Asty cemberut dan merajuk, sifat manjanya keluar. Sifat manja yang dulu tak terbayangkan akan ia tunjukkan di hadapan Nanto sang murid. Guru macam apa yang saat ini menggeliat dalam pelukan sang siswa? Asty merasa dirinya bagaikan gadis remaja usia belasan yang luruh dimabuk asmara.
Kuatkah dia? Tidak.
Asty akhirnya menyerah pada godaan, pada tusukan jemari si Bengal di gerbang kewanitaannya. Dia sudah sangat berhasrat. Harus segera dilampiaskan. Dengan mata berlandaskan birahi, Asty memeluk si Bengal, menatapnya dalam-dalam, jari jemari Asty mengelus batang kejantanan si Bengal yang sudah mengeras. “A-Aku pengen dimasukin, mu-muridku sayang… aku pengen… pengen punyamu… masukin punyamu, Mas. Masukin ke punyaku…”
“Masukin ke tempatnya Bu Guru?”
“Iyaaaa… udah cepetaaaan…”
“Saya kan murid, Bu… yakin boleh dimasukin ke dalam?”
“Aaaaaaah, cepetaaaan… nakal banget sih!”
Nanto nyengir bandel dan mulai mencium bibir Asty nan seksi dengan buas. Keduanya berpagutan seperti tiada hari esok. Lidah saling terkait dan terikat. Bibir mereka beradu, mata terpejam, fokus pada nafsu. Bibir Asty adalah salah satu keindahan dunia yang seharusnya masuk ke dalam eight wonders of the modern world saking indahnya.
“Mmmmhhh….” Tidak ada kata, hanya gumaman. “Mmmmhhh…”
Tak perlu ada kata terucap, rasa sayang terungkap melalui pelukan, dan ciuman yang menyatukan hasrat dan harap. Bibir si Bengal tak ingin berpisah dari bibir Asty, seakan sudah betah tinggal dan menetap.
Nanto melepas pagutannya dan menjelajah leher Asty dengan bibirnya. Meninggalkan jejak-jejak merah di sana. Lalu turun ke bawah, ke buah dada sentosa yang selalu menggoda semua pria. Nanto menjajah bongkahan kenyal itu dengan lidahnya.
Asty memejamkan mata, napasnya satu dua. Berat dan sesak. Janda muda jelita itu berbisik perlahan, suaranya merdu dan sopan. “Boleh minta dimasukin sekarang, Mas…? Aku sudah tidak tahaaaan… tangan kamu nakal bangeeet… boleh?”
Nanto tersenyum, mengeluarkan jarinya dari liang cinta Asty dan menghunjukkan jemarinya tepat di hadapan sang bidadari. “Sudah basah…”
Asty menatap ke arah si Bengal dan mengangguk. Ia bersiap, satu kakinya sudah diangkat dan diletakkan ke tembok sisi lain untuk memudahkan Nanto mengatur pertemuan badan mereka. Batang kejantanan bocah itu sudah tegak bagaikan bendera merdeka, bibir surgawi sang bidadari sudah menunggu bagai rindu lama tak sua.
Nanto mendorong batang penisnya ke bibir vagina Asty.
Perlahan-lahan, menyesuaikan nafas dan hati. Sedikit demi sedikit. Lenguhan pelan sang bidadari jadi indikasi kenikmatan tak terperi. Ujung gundul batang sang pemuda sudah melesak ke dalam liang cinta. Rasanya menyajikan sensasi, letupan sengatan nikmat dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Mmmhhh…”
“Terus?”
“He’emmmmhhh…”
Batang penis Nanto melesak makin dalam, menjajah lokasi yang kini menjadi miliknya pribadi. Area yang dipersembahkan untuk sang pemuda demi menaiki puncak kenikmatan birahi. Melesak makin dalam, menghunjam, dan merajam. Ditarik, dimasukkan, ditarik, dimasukkan, ditarik, dimasukkan. Sekian kali, berulang kali, berkali-kali.
Tubuh Asty tersengal-sengal, bergoyang-goyang naik turun, napasnya satu dua, nyaman dirasa. Merem melek sang ibu muda, dipermainkan oleh sang pemuda perkasa.
Semakin lama Nanto bergerak lebih cepat, lebih kuat, lebih bertenaga, tapi terukur dan tertahan, dia tidak ingin menyakiti sang kekasih hati. Asty membuka mata dan tersenyum, ia mengecup bibir si Bengal, lalu menggigit bibir bawahnya. Bibir janda muda jelita itu lalu mendarat di telinga si Bengal dan berbisik, “Lebih kencang lagi boleh?”
Nah begitu dong.
Nanto menarik penisnya, meninggalkan ujung gundul tetap di dalam liang cinta sang dewi, lalu menghentak dan menancapkan batang kejantanannya tanpa ampun. Lebih kencang, lebih kuat, dan penuh tenaga. Asty memekik dan menjerit-jerit lirih sembari melenguh keenakan. Kadang meneriakkan nama si Bengal saat batang kejantanan Nanto masuk ke bagian terdalam liang cintanya.
Kedua tubuh berlainan jenis itu saling menumbuk satu sama lain, membangun sinergi yang makin meningkat untuk kemudian mencapai puncak pelepasan. Saat mereka berpelukan, Nanto bisa merasakan tajamnya hujaman jemari Asty menusuk kulitnya hingga ke dalam – wanita jelita itu jelas sedang mencoba menahan kenikmatan yang tak kuasa ditahan. Ia tenggelam dalam fantasi yang menjadi nyata. Siapa dulu yang bisa menyangka bahwa guru BK seperti Asty akan bersetubuh dengan muridnya sendiri?
Keduanya berciuman sementara kemaluan mereka saling menyatu. Air deras dari pancuran yang mengalir tidak lagi dipedulikan saat keduanya beradu nafsu, saling mengejar ketertinggalan mencapai puncak kenikmatan. Sama-sama saling membantu.
Bagai mendaki, semakin lama semakin naik. Bagai berpacu, semakin lama semakin kencang. Bagai beradu, semakin lama semakin menghentak. Kenikmatan itu tak lama lagi akan dapat diraih. Berdua. Bersama. Naik, terus, terus, teruuuuus, teruuuuuuuuusssss!!
“Enaaaaakghhh!! Enakkghh!! Enaaaaaaakkkggghhh!!!”
“Aaaaaahhhhhhhhhhh!!!”
Akhirnya puncak terlampaui.
“Hahh… hahh… hahh…”
Sambil mengatur napas, Nanto mengistirahatkan kepalanya di pundak sang bidadari. Air pancuran masih mengguyur mereka. Ada cairan kental yang meleleh dari liang cinta sang ibu muda. Asty memeluk Nanto dan mengecup pelipisnya, ia menggesekkan pipinya di pipi si Bengal.
“Enak?” tanya Asty.
“Selalu.”
“Kamu suka?”
“Selalu.”
Asty tersenyum, seperti biasa. Itu hanya pembuka. Masih akan ada sesi-sesi berikutnya di kamar tidur setelah ini. Mereka berdua menikmati sisa waktu selagi masih bisa.
“Lebih baik kita udahan mandinya. Kelamaan ini diguyur air. Bisa-bisa malah masuk angin,” bisik Asty.
Nanto tertawa. “Iya deh.” Pemuda itupun mematikan keran pancuran. Menghentikan derasnya air yang sejak tadi menyiram mereka berdua.
“Mas…”
“Hmm?”
“Mau lanjut lagi?”
“Jelas. Masih boleh kan? Masa cuma begitu saja?”
“Sudah pasti boleh. Di kamar saja.” Asty mendekatkan kepalanya dan mencium bibir si Bengal. Penuh rasa, penuh kasih, penuh penghayatan. Ibu guru itu benar-benar bucin terhadap sang peuda perkasa. Asty melepas bibirnya, ada liur yang menempel di antara bibir keduanya, membentuk jembatan. Asty berbisik perlahan, “Tubuhku hanya untukmu, sayang. Hanya buat kamu.”
Nanto menatap sang kekasih, lalu kembali mengecup bibirnya.
Malam itu akan menjadi malam yang panjang. Seperti yang biasa mereka lalui setiap hari selama berada di desa ini. Perwujudan pernyataan rasa yang dulu terpendam dan kini terlampiaskan.
Malam ini akan jadi malam yang sangat panjang.
.::..::..::..::.
.:: MALAM SEBELUM PULANG
Menatap rembulan membulat melingkar di angkasa malam yang terselubungi awan, rasanya syahdu dan tenang. Malam bermandikan bintang memang jarang ditemui di kota, apalagi di tengah siraman angin lembut yang menyejukkan seperti di desa. Pepohonan rindang berjajar menyelubungi perbukitan mengikuti sungai di setiap aliran. Meski gelap menyelimuti cakrawala dari timur ke barat, namun senandung hewan malam terasa menentramkan.
Inilah alam.
Duduk berdua di lincak bambu yang berada di tempat si Bengal terbiasa berlatih, om Janu dan Nanto membicarakan berbagai permasalahan di cabang-cabang ilmu kanuragan, bagaimana mengelola kelompok, dan bagaimana hidup di kota.
Om Janu tersenyum, ia menepuk pundak si Bengal. “Sudah saatnya, Le. Besok kita akan meninggalkan desa dan kembali ke kota. Sudah siap?”
Nanto mengangguk dengan yakin.
“Sudah dapat semuanya dari gua itu?” tanya om Janu dengan nada bercanda, namun sebenarnya sedikit menyelidik.
Nanto hanya tersenyum, dia tidak menjawab.
Om Janu sebenarnya bisa saja mengejar dan bertanya lebih jauh, tapi si Bengal sekarang memiliki sesuatu yang berbeda, ada aura yang lebih matang dan dewasa darinya. Tidak ada keragu-raguan dalam melangkah. Dia kini jadi lebih percaya diri. Om Janu menyadari hal itu dan tidak menuntut jawaban, dia hanya tahu si Bengal telah menghadapi perubahan.
Nanto malah balik bertanya karena om Janu tidak segera melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana keadaan di kota, Om? Pertempuran masih berlangsung?”
“Masih. JXG versus QZK masih terjadi. KRAd juga sudah mulai turun ke arena dengan menantang JXG, kita belum tahu perkembangan dari Dinasti Baru. Tapi kalau BMW terus menerus terdesak, pasti dia akan bergerak. Dinasti Baru saat ini memang masih terlihat adem ayem, tapi posisi dan wilayah operasionalnya makin dikikis oleh JXG. Itu pasti akan membuatnya bergerak.”
“Apa tidak dimungkinkan dilakukan pertemuan saja untuk membahas hal ini di antara keempat pimpinan, Om? Bukankah lebih baik diadakan negosiasi dan pembicaraan secara dewasa sebelum wilayah pertempuran meluas dan korban yang jatuh lebih banyak?"
“Sebagai pimpinan Aliansi kamu pasti sudah tahu kalau pertarungan antara QZK dan JXG tidak bisa dihentikan semudah itu, dan juga sudah bisa dipastikan kalau wilayah pertarungan akan semakin meluas dengan melibatkan semua kelompok di kota. Perang besar seperti ini sudah pernah terjadi dan pasti bakal terulang.”
“Apakah Tim Garangan tidak akan menurunkan pasukan, Om?”
“Tim Garangan bakal kewalahan menghadapi letupan-letupan pertempuran sporadis antara tiga sampai empat kelompok yang saat ini tengah bertikai. Semua kelompok saling menjatuhkan dan saling menyerang. Benar-benar tidak ada kawan. Semua jadi lawan.” Om Janu berjalan ke mobil sembari menjelaskan, dia membuka bagian bagasi dan memasukkan beberapa keranjang salak yang sejak tadi dibawa si Bengal. “Kamu tidak perlu khawatir, toh tujuan utama kita kembali ke kota bukan untuk menjalani pertarungan melawan kelompok manapun. Kita ke kota untuk menghadiri pesta keluarga besar kita, pertemuan akbar pertama Trah Watulanang. Saudara-saudara kita pasti tidak sabar untuk bertemu denganmu.”
“Sama sih. Aku juga tidak sabar bertemu dengan mereka, Om. Penasaran siapa saja anggota keluarga Trah Watulanang yang masih ada.”
“Begitulah, Om dan Tante-mu sudah pasti akan datang, ditambah kehadiran Pakdhe Wira dari pulau seberang. Akhirnya setelah puluhan tahun, keluarga kita akan berkumpul kembali, Le. Dari undangan yang tersebar, ada sekitar lima puluh orang anggota keluarga Trah Watulanang yang akan hadir.”
Asty berjalan mendekati Nanto dan om Janu sembari membawa sebuah keranjang berisikan mangga.
“Loh, kok njenengan bawa sendirian.” Om Janu geleng-geleng kepala, “Nanto ini gimana sih, ayo bantu Mbak Asty memasukkan buah-buahannya. Sudah, Mbak. Biar si Nanto saja yang bantu saya. Ini jadinya malah merepotkan njenengan.”
Nanto garuk-garuk kepala yang tidak gatal sembari meringis.
.::..::..::..::.
.:: KEESOKAN PAGINYA
“Kopi susu sepertinya tepat dinikmati dengan suasana seperti ini, Pak Mangku. Apalagi kalau kopi susunya pakai rumus 123. Satu sendok teh kopi, dua sendok teh krimer, dan tiga sendok teh gula.” Denting suara sendok membentur pinggiran gelas menjadi musik yang indah dipadukan dengan aroma kopi yang merebak ke seluruh ruang. Om Janu menatap keluar jendela kamarnya. “Bagaimana laporan terakhir?”
“Sendiko dhawuh. JXG sedang melakukan persiapan untuk menghadapi KRAd di ajang Tarung Antar Wakil yang akan segera dilangsungkan. Pak Zein secara resmi telah menerima tantangan dari KRAd. Jadwal sudah dipastikan dan venue sudah disiapkan. Uniknya jadwal pelaksanaan Tarung Antar Wakil itu akan bersamaan dengan rencana pesta Trah Watulanang.”
“Oh ya? Di hari yang sama dengan pelaksanaan pesta Trah Watulanang?”
“Leres. Betul sekali. Jadi di hari itu njenengan sibuk, Pak Zein juga sibuk. Apakah ini semacam janjian?”
Om Janu tertawa renyah. “Menarik sekali... menarik.”
“Menurut njenengan siapa yang akan turun dari pihak JXG dan KRAd?”
Om Janu mengangkat bahu, “Aku sebenarnya tidak peduli. Tapi akan jadi sangat menarik apabila yang terjadi adalah yang tidak disangka-sangka. Bukankah sangat seru nantinya jika justru KRAd yang mampu memenangkan pertarungan itu? Hahhaaha. Apa kata dunia? Bakal heboh. Hahahahaha.”
“JXG akan mengamuk memberantas KRAd.”
“Benar sekali tapi nama JXG akan tercoreng selamanya. Sebelum itu terjadi, menurutku Pak Zein akan turun sendiri. Untuk memastikan wilayah selatan tetap aman di tangan JXG, Pak Zein harus turun tangan dan menghabisi Bambang Jenggo. Mereka tidak ingin selatan jatuh ke tangan KRAd.”
Pak Mangku memeriksa catatan di handphone. Sepertinya ada satu berita lagi yang belum dia sampaikan ke sang pimpinan, “Ditengarai kalau Tim Garangan juga sudah dipastikan akan mulai bergerak dalam waktu dekat. Kita baru saja memperoleh informasi dari telik sandi kita di Mabes Garangan kalau mereka akan melakukan operasi pembersihan. Kegelisahan warga kota akan menjadi alasan utama pergerakan mereka.”
Om Janu mengangguk lagi dan tersenyum.
Pak Mangku terlihat bahagia, “Semua tepat seperti yang sudah njenengan perkirakan. Luar biasa.”
Om Janu mengedipkan mata pada Pak Mangku. Tangan pimpinan QZK itu masih terus mengaduk gula dan krimer di dalam cangkir kopi. Ia sedang berdiri di depan jendela yang mengarah keluar. Dari tempatnya berdiri, om Janu bisa menikmati taman nan asri yang ada di depan rumah tetirahnya dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di sana.
“Betul sekali, Pak Mangku.” Om Janu mengangguk-angguk puas, “Satu persatu bidak telah ditempatkan di papan catur, saatnya menunggu reaksi. Ahh. Dunia terasa jadi sedikit lebih indah kalau semua rencana berjalan dengan lancar. Bukankah demikian, Pak Mangku?”
“Sendiko dhawuh.” Pak Mangku menundukkan wajah.
Om Janu melihat seperti ada sesuatu yang mengganjal pikiran abdi setianya itu. “Ada yang mau sampeyan tanyakan?”
“Nuwun sewu, dengan situasi yang menguntungkan kita ini, apakah tidak sebaiknya kita melancarkan serangan ke lawan yang tengah kerepotan? Tarung Antar Wakil akan membebani JXG. Sangat pas sekali sepertinya untuk bergerak ke selatan. Mumpung sedang terjadi kekacauan.”
Om Janu menyeruput kopi susunya. Ah. Sudah pas.
“Pak Mangku, dalam The Art of War, Sun Tzu mengatakan in the midst of chaos, there Is also opportunity. Dalam kekacauan, akan ada kesempatan. Jadi jawaban pertanyaanmu itu, Pak Mangku… adalah ya. Tapi kita harus pintar melihat peluang.” Om Janu terkekeh, seperti melihat sebuah bentangan rencana yang tidak diketahui oleh siapapun, “Kekacauan memang akan terjadi, tapi bukan berarti kita lantas akan bertindak bodoh dengan membabi-buta. Kita tetap harus mengkalkulasi tiap langkah dengan baik. Kebetulan sekali apa yang terjadi saat ini sudah sesuai dengan rencana awal, jadi tetap tenang dan pastikan semua rencana berjalan. Pak Zein bukan orang bodoh, dia pasti sudah siaga dengan segala kemungkinan.”
“Sendiko dhawuh.”
“Kita harus tetap subtle dan bertindak sesuai situasi. Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, siapapun yang berhasil menguasai kekacauan baik itu datang dari diri sendiri maupun lawan, maka dia yang akan menjadi pemenang.”
“Sendiko dhawuh.”
“Baiklah. Kita bicara masalah lain saja dulu.” Pimpinan QZK itu mengalihkan pembicaraan. “Sebentar lagi ajang pertemuan Trah Watulanang akan diadakan. Apakah semua persiapan sudah selesai? Aku tidak ingin setengah-setengah menjamu para saudara. Ini kali pertama seluruh anggota Trah Watulanang dipertemukan, jadi harus benar-benar rapi dari A sampai Z.” kata om Janu sembari mempersiapkan meja kerjanya untuk menandatangani beberapa surat yang harus ia berikan ke perangkat desa terkait sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah.
Om Janu mengoles jemarinya di ujung meja. Ada debu di sana. Pak Mangku buru-buru mengambil lap dan membersihkannya.
Sudah agak lama sejak terakhir kali om Janu mengunjungi tempat tetirahnya ini. Jadi mejanya pun harus dibersihkan. Seluruh ruangan sebenarnya sudah dibersihkan oleh Pak Mangku yang dibantu oleh Asty yang untuk beberapa waktu tinggal di tempat itu bersama si Bengal. Tapi tentu saja mereka tidak menyentuh bagian-bagian privat dari meja dan lemari om Janu.
“Sampun. Untuk persiapan sudah hampir seratus persen. Katering dan gedung semua sudah dipersiapkan untuk siap pada hari H. Seperti yang njenengan instruksikan, kita akan memakai hotel dan gedung yang ada di utara perempatan – di timur candi Prambaru.” jawab Pak Mangku.
Om Janu mengangguk-angguk. Dia kembali berdiri dan berjalan menuju jendela. Dari jendela di lantai dua ini, dia bisa melihat kesibukan Nanto dan Asty yang sedang memasukkan koper dan beberapa hasil bumi dari kebun om Janu ke dalam kendaraan yang jika sudah siap akan segera kembali ke kota.
“Siapapun yang berhasil menguasai kekacauan baik itu datang dari diri sendiri maupun lawan, maka dia yang akan menjadi pemenang.” Om Janu mengulang quotes yang tadi dia ucapkan.
Tidak beberapa lama setelah mengamati kedua sejoli itu, Om Janu lantas mengambil ponsel yang ada di laci lemari kecil di samping jendela. Sebuah ponsel jadul Nopia seri 5510. Om Janu menyalakan ponsel itu dan mengirimkan satu pesan SMS ke seseorang. Bisa nyala saja sudah ajaib, lebih ajaib lagi ternyata masih berfungsi dengan sangat baik.
“Ujian pertama,” bisik om Janu.
Ada senyum aneh di wajah sang pimpinan QZK itu. Senyum yang tak terlihat siapapun kecuali Pak Mangku. SMS apa yang dikirim? Pada siapa? Mungkin hanya Pak Mangku yang tahu apa yang sedang direncanakan oleh sang pimpinan.
“Sebentar lagi kita akan pulang – rumah tetirah ini bisa jadi tidak akan dipakai untuk sementara waktu, kemungkinan bakal aku sewakan. Ada baiknya kita mengamankan beberapa barang yang tidak boleh ada di tempat ini.”
“Ndoro?”
“Ambilkan barang itu, Pak Mangku. Kita bawa pulang ke kota.”
“Barang yang…?”
“Barang itu. Masih ada satu di rumah ini. Di lemari rahasia yang ada di bawah tangga. Ambilkan.”
“Oh. Sendiko dhawuh.” Pak Mangku bergegas.
Om Janu masih terus memperhatikan gerak-gerik Nanto dan Asty sementara Pak Mangku menuju ke ruang penyimpanan untuk mengambil sesuatu yang diminta oleh om Janu. Pimpinan QZK itu masih terlibat pertempuran dengan JXG dan seharusnya tidak boleh lengah sedikitpun. Itu sebabnya hanya bisa sebentar saja datang ke tempat ini. Beruntung Pak Zein sedang disibukkan oleh urusan KRAd sehingga sudah dipastikan tidak akan ada pertikaian JXG dan QZK untuk sementara waktu ini.
Nanto sang anomali. Nanto sang pemuda pilihan. Yang mana sebenarnya peran bocah itu?
Bagi keluarga, Nanto adalah harapan Trah Watulanang untuk kembali menjadi keluarga yang dikenal sakti mandraguna. Nama Watulanang harus agung, tidak dikenal sebagai keluarga penjahat, bukan pula keluarga pengkhianat. Sekarang semua beban keluarga ada di pundak Nanto, pemuda yang menguasai Kidung Sandhyakala dan Nawalapatra 18 Serat Naga – warisan utama Trah Watulanang. Kembali berkibarnya nama Watulanang di dunia persilatan, akan bergantung pada si Bengal.
“Nuwun sewu.” Pak Mangku masuk kembali ke dalam ruang kerja om Janu dan meletakkan sebuah koper berukuran kecil di atas meja.
“Buka,” perintah om Janu sambil duduk kembali di kursinya di depan meja kerja.
Pak Mangku pun mengatur kode kunci di koper.
Ketika koper kemudian terbuka, Pak Mangku memutarnya supaya posisi isi koper tepat berada di hadapan sang pimpinan QZK. Saat melihat barang yang terdapat di dalam koper itu, baik Pak Mangku dan om Janu sama-sama saling berpandangan. Ada sejuta makna tersirat dalam pandangan keduanya.
“Monggo, Ndoro,” ucap Pak Mangku pada sang pimpinan.
Di dalam koper itu terdapat satu barang, hanya satu barang saja – namun disimpan dengan hati-hati dan penuh kerahasiaan, seperti sebuah barang keramat. Om Janu mengamatinya sembari tersenyum puas, ia sungguh menikmati keindahan lekuk dan nilai artistik yang tertuang dalam karya tersebut. Dengan ini, dia akan menghanyutkan dunia dalam sebuah melodi sendu di bawah langit merah jambu dan suasana terawang kelabu. Dengan barang yang ada di dalam koper itu, om Janu tahu dia akan menaklukkan kota dan menjadikannya satu padu.
Barang itu adalah satu Topeng Klana klasik berwarna merah.
.::..::..::..::.
Kapten Ri, Hafiz, dan Rama berdiri di depan pasukan mereka yang bersenjata lengkap.
Mereka berjajar dengan rapi. Orang yang hendak mereka tangkap bukanlah tokoh yang main-main sehingga dirasa perlu melakukan persiapan prima. Dia adalah gembong dari segala gembong, orang dengan pergerakan rapi yang susah sekali dijebak oleh alasan apapun juga. Jika ada harapan untuk membawanya ke balik jeruji besi, maka inilah satu-satunya kesempatan yang ada.
Kapten Ri mengayunkan tangan. Rama menganggukkan kepala.
Pemuda itu berjalan ke depan orang yang sedang mereka hadapi. Antara segan, takut, tapi juga harus menunaikan tugas. Rama mencoba memberikan dalih. “Sa-Saya tidak ingin melakukan ini… tapi saya harus…. maafkan saya… sungguh saya tidak bisa membantah apa yang telah…”
“Rama! Lakukan tugasmu!” tegas Kapten Ri memberikan perintah. Tidak ada negosiasi.
“Siap, Kapten!”
Sang pria yang berdiri di hadapan mereka mendengus mendengarkan semua alasan Rama. “Aku tidak percaya kamu setuju untuk melakukan ini, Rama. Setelah semua yang telah kita lakukan bersama. Aku tidak melakukan apa-apa dan kamu tahu itu. Tapi tetap saja kamu melakukannya. Ini jelas jebakan.”
“Maafkan saya… tapi ini tugas, Pak… dan saya…”
“Apakah ini gara-gara kamu sudah tidak lagi bersama Nada? Apakah karena Nada berpaling kepada pria lain kamu lantas memperlakukan aku seperti ini? Asal tahu saja, kamu sudah aku anggap seperti anak sendiri!”
Rama menatap garang ke arah Pak Zein. “Mohon jangan bawa-bawa Nada! Kalau saja…”
“Rama!”
“Siap, Kapten!” Rama menganggukkan kepala. Dia menatap ke orang yang berada di hadapannya. Tatapannya berubah menjadi tajam dan suaranya menjadi lebih tegas. Tanpa ampun, tanpa jeda, tanpa sela. “Bapak Zein, berikut kami sertakan surat permintaan keterangan. Anda kami mohon kerjasamanya untuk ikut kami ke markas Tim Garangan terkait dengan maraknya kasus kekerasan yang akhir-akhir ini merisaukan warga. Kasus kekerasan yang diduga keras terkait dengan kelompok yang Bapak pimpin. Untuk lebih jelasnya, silakan anda ikut kami ke kantor untuk penjelasan dan pengambilan keterangan lebih lanjut.”
Pak Zein tersenyum ke arah Kapten Ri. “Apa saja kesalahan-kesalahanku, Kapten? Apakah aku pernah berbuat salah pada pemerintah kota? Pada kraton? Apakah aku pernah merugikan kalian? Apakah Ngarso Dalem sudah menyetujui tindakan ini?”
Kapten Ri membalas senyum Pak Zein.
Keduanya bagaikan dua singa yang berhadapan di sebuah medan laga.
Kapten Ri tak menunjukkan sedikitpun wajah takut, “Saya ulangi Pak Zein. Silakan Anda datang ke kantor untuk memberikan keterangan yang jelas dan jujur terkait kasus yang meresahkan warga. Garis bawahi dua kata tersebut, jangan diputarbalikkan dulu. Meresahkan warga. Kami bertindak berdasarkan laporan. Ngarso Dalem tahu atau tidak, itu bukan jaminan Anda bakal lolos. Lagipula ini masih belum menjadikan Anda tersangka, kenapa mesti takut? Hanya akan diminta keterangan.”
“Kenapa tidak meminta keterangan di sini saja? Kenapa harus jauh-jauh ke Mabes Garangan? Lagipula ini semua pasti salah paham. Jangan berlebihan, Kapten Ri.”
“Tidak ada salah paham dan tidak ada negosiasi. Kami disebut pihak yang berwajib dan Anda disebut warga. Kami yang berwenang dan Anda seharusnya mengikuti aturan dari negara. Sampai sejauh ini Anda paham? Kami tidak main-main. Silakan ikut dengan kami ke kantor untuk kami mintai keterangan.”
Pak Zein terkekeh.
Kapten Ri tersenyum.
Kedua monster itu mendekat, sama-sama saling menatap. Jarak antara keduanya mungkin hanya hitungan sentimeter.
“…dan kalau aku tidak ingin ikut?” tanya Pak Zein dengan nada tegas mengancam. “Apakah kalian akan bertindak sewenang-wenang dengan memaksaku? Jangan mengkhayal, Kapten. Kita bisa duduk bersama dan membicarakan masalah ini baik-baik. Aku merasa bahwa ini semua hanyalah akal-akalan dari KRAd. Mereka punya seribu cara busuk untuk mencegahku turun dalam laga yang akan dilaksanakan.”
“Tidak ada campur tangan kelompok manapun dan tidak ada kaitan dengan penyelenggaraan apapun. Semua kekacauan di kota saat ini adalah sebab akibat pertarungan dua kelompok yang dimulai oleh salah satu kelompok. Kami tahu Anda adalah pimpinan kelompok tersebut, Pak Zein. Mau disangkal bagaimanapun sudah banyak saksi. Jadi mari kita lakukan ini dengan baik dan benar,” Kapten Ri menyeringai sembari membuka Ki-nya. “Yang mana pilihan Anda, Pak Zein? Mau pakai jalan damai, atau kita buka arena di sini?”
Di belakang Pak Zein, SSX bersiaga penuh dan mengambil kuda-kuda.
Pak Zein sudah menyiapkan jawaban.
BAGIAN 16-A SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 16-B