Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 15-B
SEPARUH NAFAS


.:: DI TEMPAT TERSEMBUNYI




“Dia adalah komoditi teranyar kami. Diambil dari jalan, diberikan obat-obatan untuk menetralkan, dan disiapkan sebagai persembahan. Bagaimana? Minat kan, njenengan? Uapik ini barangnya.”

“Bagaimana bisa bajingan semacam kamu mendapatkan daging empuk semacam itu? Kelihatannya legit banget. Dagingnya aman atau tidak? Jangan-jangan ada udang di balik apem? Surat-surat sudah beres diperiksa? Sudah dicek asal muasalnya? Tidak ada unsur sapi gila kan? Kesehatan dan segala macamnya? Aku tidak mau pulang dari sini nanti gatal-gatal.”

Seorang pria bertubuh bongsor mengamati sebuah cermin dua arah. Di sebalik cermin itu, ada sesosok wanita jelita yang tengah terbaring di atas ranjang, karena hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuh, berulangkali keindahan tubuhnya terekspos. Meski kondisi ruangan dan dirinya sendiri mengenaskan, namun ternyata hal itu tidak mengurangi kecantikan natural sang dara jelita yang minim make-up.

Di samping sang pria bongsor, ada seorang pria berseragam yang meskipun tampan, tapi memiliki senyum licik. Dia adalah Rama – anggota tim Garangan sekaligus salah satu anggota penting dari kelompok keji Komando Ratu Adil.

“Hehehehe. Bisa saja njenengan. Tentu saja komoditinya aman, kami selalu berikan service terbaik. Yang satu ini sample yang kami koleksi secara khusus. Surat-surat sudah kami cek, berasal dari keluarga orang baik-baik. Bahkan sebentar lagi akan menikah – calon manten. Sepertinya sesuai dengan selera njenengan yang suka netorare. Bwahahahahaha. Masalah yang lain-lain pokoknya beres, semua bisa diatur.” Rama tertawa sambil mengedipkan mata, “Yah mungkin perlu kami sampaikan di awal. Kalau sebaiknya berhati-hati dengan konsekuensi mencicipi daging wagyu yang ini – karena yang satu ini anjing penjaganya sangat galak. Tapi berhubung sampeyan Raja Para Anjing, saya yakin anjing penjaganya pun bisa sampeyan taklukkan.”

“Wueheheheh. Aku mencium bau-bau jebakan betmen ini. Hehehe. Orang licik semacam kamu patut diwaspadai. Aku tidak percaya sedikitpun upeti semacam ini gratis. Pasti ada something. Masa iya barang bagus begini diberikan buat aku gratis.”

“Welah, kalau memang tidak mau ya saya ambil lagi komoditinya. Saya yakin sample semenarik ini akan laku jika dilepas di pasar. Njenengan memangnya selera yang seperti apa? Jangan-jangan njenengan ngacengnya sama yang gagah, six pack, sering nge-gym, dan masih kuliah? Jangan-jangan njenengan penggemar Momogi keju?”

“Hehehehe, wasyuuuu! Yo yang seperti di dalam itu sudah bener. Aku cuma ragu-ragu saja, jangan diambil dulu lah. Aku paling doyan daging wagyu yang empuk, juicy, dan seger. Jadi ya masa bodoh dengan semua perangkap dan konsekuensimu. Mau dijebak atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting ada jajanan, ya dilahap sampai kenyang. Baahahhaaha.”

Rama tersenyum dan melemparkan kunci sel pada Bambang Jenggo.

Sang Raja Para Anjing pun melangkah ke pintu yang berada di samping cermin dua arah. Ketika pintu terbuka, sang gadis yang hanya berselimutkan handuk langsung menjerit ketakutan. Jenggo meringis sambil menyapu air liurnya. Bangsat, mulus banget jidat si teteh satu ini.

“Selamat malam, sayang.” Jenggo menjilat bibirnya sendiri. Asem, betul-betul seksi cewek satu ini. Bikin ngeces saja. Rama berdiri di samping Jenggo, saat melirik – ia puas karena Jenggo terlihat amat berminat pada sang dara telanjang.

“Ja-jangan mendekat! Apa yang mau kalian lakukan!!? Jangan mendekat!!” Ketakutan, gadis itu meringkuk di pojokan. Dia berusaha mencari celah untuk melarikan diri dari ruangan terkutuk tempatnya disekap. Tapi tidak ada celah. Rama dan dua bodyguard menjaga pintu di sisi kanan. Di sisi kiri, ada pria bongsor yang menatapnya tak senonoh.

“Keluar, Nyuk. Aku sudah tidak sabar,” kata Jenggo sambil menyeringai seram.

“Siap. Kami akan menunggu di luar. Ketuk saja pintunya jika sudah tuntas. Mudah-mudahan tidak keberatan jika semua adegan kami rekam ya.” Rama mengangguk dan tertawa. Ia melirik pada sang dara jelita yang sedang meringkuk ketakutan. “Selamat menikmati bulan madu, sayang. Mudah-mudahan malam ini jadi malam yang indah. Calon suamimu pasti mengerti pengorbananmu. Om Jenggo ini penyayang kok.”

“Siapa namanya?” tanya Jenggo.

Rama menyeringai, “Dinda. Namanya Dinda.”

Gadis jelita yang sesungguhnya adalah tunangan Amar Barok itu terbelalak dan memekik ketakutan saat menyaksikan Jenggo bergerak maju dan Rama sudah siap keluar dari ruangan. Secara otomatis sang dara jelita melesat hendak pergi dengan menerobos Rama dan kedua penjaga. Tapi saat ia hendak meloncat dari atas ranjang, Jenggo berhasil merenggut handuknya.

“Aaaaaaaaaahhh!” Dinda menjerit ketakutan, ia menutupi ketelanjangannya dengan jari.

Sang Raja Para Anjing terkekeh-kekeh, ia menjilat bibir sendiri saat melirik ke arah Dinda yang tak mengenakan sehelai benang pun. “Wuahahahahahahah. Wasyuuuuu. Poeeetiiih. Cantik dan seksi banget kamu. Ranum sekali minta dipetik. Masih fresh from the oven? Aku akan menikmatinya dengan senang hati.”

“Masih dong. Masih sueeeger. Buka saja segelnya. Tidak akan ada yang protes. Anjingnya tidak ada di sini.” Rama mengedipkan mata pada Dinda. “Lama-lama dilihat kok kalian berdua mirip ya? Pasti jodoh. Hahahaha.”

“Wasyuuuu. Hahahahaha. Mirip dari mananya. Aku buruk rupa, dia cantik jelita. Ini namanya Beauty and Kampret. Bahahahaha. Ya kan, sayang?”

“Hahahhaha.” Rama tertawa.

Dengan sengaja Rama tidak mengatakan pada Jenggo kalau gadis itu adalah tunangan Amar Barok. Seru sekali bukan kalau mereka berdua bakal berhadapan suatu saat nanti? Apalagi kalau si kembang ranum nan jelita ini sampai dihamili oleh Jenggo. Heheh. Rama akan sangat menikmati hasil akhirnya nanti. Amar Barok vs Bambang Jenggo. Pasti seru.“

“Njenengan tidak butuh kondom kan? Calon suaminya pasti bakal bahagia kalau sebelum nikah cewek ini sudah punya tabungan untuk masa depan kelak. Hitung-hitung ngasih rejeki.” Pancing Rama.

Bambang Jenggo tertawa dan mengangguk-angguk. “Akan kupastikan menyemprot di dalam.”

Dinda berteriak-teriak ketakutan. Apa yang akan terjadi pada dirinya? Mas Deka… Mas Amar… siapa yang bisa menolongnya sekarang? Siapa? Tidak ada orang yang bisa mendengar teriakannya. Tidak akan ada orang yang bisa mendengar jeritannya. Apakah tidak ada lagi orang di tempat ini yang punya nurani? Apa yang akan terjadi padanya?

Pintu sel ditutup.

Sosok pria tua gemuk yang menatapnya dengan menjijikkan makin mendekat. Tatapannya sangat mesum dan penuh nafsu birahi.

“JANGAN MENDEKAT!! KELUAAAAR!!” bentak Dinda galak.

Bambang Jenggo menggelengkan kepala sambil terus tertawa dan menjilat bibirnya, “Sudah cantik, manis, seksi, eh galak pula. Pasti memabukkan di ranjang. Kita akan bersenang-senang berjam-jam hari ini, sayang. Kamu benar-benar upeti yang harus dinikmati dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bahahahaha.”

Dinda geram, “Tidak sudi! Aku tidak sudi!”

Jenggo kembali tertawa sembari melepaskan celananya sendiri tanpa rasa malu sedikitpun. Dinda menjerit dan memalingkan wajah. Jenggo meletakkan celananya di sebuah meja dan mengeluarkan sebungkus rokok.

“KELUAAAAAARRR!! KELUAAAAAAARRR!!”

Rama tersenyum sambil terengah-engah sembari menyaksikan di cermin dua arah, entah kenapa ada rasa puas dan memuncak ketika ia menyaksikan seorang gadis jelita didominasi oleh pria durjana berwajah busuk seperti Bambang Jenggo ini. Mungkin dia punya fetish unik – melihat gadis baik-baik dirusak oleh pria bejat berwajah abstrak. Mungkin suatu ketika nanti dia akan membuat Nada merasakan hal yang sama karena telah menyakiti perasaannya.

Jenggo mengambil sebatang rokok dari dalam bungkus, menyalakan korek api, dan asap pun membumbung tinggi di dalam ruangan yang pengap itu. Ia tidak peduli ketika kemudian Dinda terbatuk-batuk karena asap. Puas sekali rasanya dia akan mendapatkan dara yang ranum begini. Satu lagi dara muda akan dia embat, satu lagi gadis baik-baik akan dia santap. Benar-benar mangsa yang bakal membuat dia kenyang lahir batin untuk seminggu ke depan.

Jenggo berjalan ke arah Dinda yang tak bisa lari kemana-mana. Gadis itu sudah terpojok dan terjebak.

Pria berperut buncit nan biadab yang mendekatinya memalangkan lengan di kanan dan kiri Dinda. Gadis itu gemetar ketakutan. Jenggo mengecup dahi Dinda. Gadis itu langsung berteriak kencang dan meringkuk ketakutan. Ia memeluk dirinya sendiri sembari melorot ke bawah. Air mata tumpah tanpa henti.

Dinda berteriak, “JANGAN SENTUH AKU!”

“Bwaahahahaha. Sok-sokan ngatain jangan sentuh, sebentar lagi kamu bakal melenguh keenakan sewaktu aku pakai. Kamu bakal tergila-gila pada kontolku dan melupakan pria-pria lain. Ingat baik-baik. Posisimu sedang tidak menguntungkan. Jadi jangan coba-coba melakukan hal bodoh atau nyawamu akan melayang.” Jenggo membenahi poni nakal Dinda.

“JANGAN SENTUH AKU!! DASAR BAJINGAAAN!! AKU TIDAK PERNAH MELAKUKANNYA DENGANMU!! KAMU BIADAB!! LEBIH BAIK AKU MATI!!”

“Mati? Kok sia-sia banget hidup kamu? Tubuh molek seperti punyamu itu diciptakan untuk dientotin. Buat apa disia-siakan, tiwas kamu rawat baik-baik kok malah dibawa mati. Huaduh eman. Kan sayang banget kalau mati. Mending buat aku aja bakal aku sayang dari pagi ketemu pagi. Buahahahahahah!”

“AKU BAKAL LAPOR POLISI!!”

“Bahahahahahahahahah! Ini lebih lucu lagi. Kamu sadar tidak? Orang yang tadi berada di dalam sel ini berada di sisi yang berwajib. Seandainya kamu membuka mulut dan lapor pada polisi, maka kami justru akan menjebloskanmu dan calon suamimu ke penjara dengan alasan yang sudah disiapkan dan tidak akan pernah kalian duga. Kalian masuk penjara, dan tidak akan pernah bertemu lagi. Aku akan memastikan kalian berdua berkenalan dengan napi-napi di dalam sel yang punya libido berlebih. Buahahahaha. Jangan salah, aku dan teman-temanku sudah beberapa kali melakukan hal semacam itu karena kami punya kuasa. Hahahaha… maafkan aku, sayang. Kamu sial karena berada di waktu dan tempat yang salah.” Jenggo menowel dagu Dinda yang menangis tersedu.

“JANGAN MENYENTUHKU!!” Dinda berteriak di sela-sela sesunggukan. Tangannya yang gemetar mencoba menutup ketelanjangannya dengan sia-sia. Dia berusaha berontak dan melarikan diri dari sosok Jenggo.

Tapi apalah daya seorang wanita lemah dibandingkan nafsu birahi menggelegak seorang Raja Para Anjing yang perkasa. Begitu pergelangan tangannya dicengkeram, Dinda dilemparkan ke atas ranjang. Jenggo terkekeh. Sosok seksi Dinda membuatnya nafsunya menggelegak. Tubuh yang teramat molek terlentang di atas ranjang tanpa sehelai benang, seksinya bersinar di antara bintang-bintang, ini yang namanya pemandangan yang mengundang.

Jenggo mengelus kaki mulus Dinda, meraba betis, lalu paha. Dinda menjejak, marah, dan meronta. Tapi apalah daya gadis lemah seperti dia di hadapan angkara murka? Dinda tak akan menyerah tanpa mencoba. Sebisa mungkin dia lolos dari bahaya sang pemerkosa. Meskipun nyawa taruhannya. Dia lebih baik mati daripada di-rudapaksa.

“Wanita sepertimu… adalah candu. Lekuk indah tubuhmu, Pesona cantik wajahmu, wangi harum yang kau tebarkan. Semua membuat pria bertekuk lutut dan ingin mendapatkannya lagi dan lagi dan lagi. Tanpa akhir dan tanpa henti,” bisik Jenggo pada Dinda yang gemetar ketakutan. Ia memeluk gadis telanjang itu dan mengecup berulang pipi dan telinganya. “Hari ini akan kujadikan kamu wanita yang utuh. Yang paham bagaimana memuaskan pria, yang paham apa artinya yoni dan lingga. Bukankah itu impian hidupmu yang paling paripurna?”

Jenggo tersenyum dan mengecup bibir Dinda yang terkatup rapat.

“Hmmmppphhh!!” Dinda meronta. Jijik dia.

Begitu kotornya ciuman sang preman. Seakan-akan mulut Jenggo hendak mengatup keseluruhan bibir Dinda. Sulit bagi gadis itu untuk bernapas. Bibirnya dihisap dan disesap, dicium dan digarap. Air liur berpindah, bibir dijajah, sang gadis pun meratap.

Tangan Jenggo mendarat di buah dada sang dara. Ia meremas dengan kencang tanpa ampun dan tanpa peduli, hanya nafsu yang jadi alasan utama.

“Montooookghhh…!!”

“Haaaaaaaaaaaaghh!” Dinda kesakitan. Mulutnya terbuka. Jenggo menjelajah bibirnya dengan leluasa. Tubuh Dinda bergetar hebat – antara ketakutan, malu, kesakitan, marah, dan ingin membunuh Jenggo. Kecupan kencang Jenggo menimbulkan bunyi berkecipak. Lidah berkelana, air liur berpindah dari satu mulut ke bibir yang lain. Jenggo tenggelam dalam kenikmatan, Dinda luruh dalam kesengsaraan.

“Mmmmmhhhh…” Jenggo melepas ciumannya. Preman bertubuh bongsor itu menikmati kecantikan Dinda, lalu menurunkan badannya ke bawah, bongkahan kenyal dan ranum sang dara jadi sasarannya kini. Sembari meremas-remas bulat buah dada Dinda, Jenggo menjilat ujung pentil kenikmatannya.

Tubuh Dinda menggelinjang, Ia menangis, air matanya mulai tumpah, Ia sesunggukan dan bergetar. Gadis itu memejamkan mata, ia mencoba menjadi kosong, tak ingin merasakan, tapi tidak bisa. Setiap kali ia meronta dan mencoba fana, ia justru merasakan tiap remasan sang Raja Para Anjing di tubuhnya. Meski Jenggo memperlakukannya dengan lembut, namun setiap sentuhan terasa bagaikan tusukan benda tajam di hati sang dara jelita.

Jenggo menjilat, mengecup, mencium, menggigit, dan memainkan puting payudara Dinda dengan gemas. Raja Para Anjing mendaki tubuh Dinda, lalu mengecup lehernya yang wangi. Pria itu berbisik amat pelan, “Jangan khawatir, sayang. Aku akan membuatmu nyaman. Aku akan membuatmu merasakan bagaimana sentuhan seorang pria sejati. Aku akan membuatmu merasakan bagaimana seks menjadi sensasi.”

Dinda menggeleng dan menggeleng. “Tidak mau… tidak mau… tidak mau… lepaskan aku… lepaskan…”

Kepala Jenggo luruh ke bawah, tepat di selangkangan Dinda yang wangi. Gadis itu melotot ketakutan dan menggelinjang. Ia menyepak-nyepak ke segala arah. Tangisan dan teriakannya membahana. Tapi sekali lagi… apa daya? Bibir Jenggo mendarat di bibir kemaluan sang dara.

Sang Raja Para Anjing menjulurkan lidahnya dan memainkan perannya. Dinda tak bisa berkutik, tubuhnya ternyamankan dengan terpaksa. Jari jemari gemuk Jenggo merenggangkan kaki dan kemaluan sang dara, sementara lidahnya menjelajah, dan bibirnya menghisap.

“Hmmmh… srrpppssss… ssrrrppsss… aaahhh… srrppsss…” Jenggo terkekeh, “Ini… jus paling nikmat yang pernah aku cicip, sayang. Hahaha… srrrppsss…”

Dinda meronta. Tidak sudi dia memberikan kenikmatan untuk sang preman!

Jenggo sudah tidak tahan lagi. Dia melepaskan Dinda dan berdiri di hadapan sang dara.

Raja Para Anjing itu menatap cermin dua sisi dan mengedipkan mata. Jenggo tahu dia tak bisa melihatnya dari sini, tapi ada seseorang di sebalik cermin. Dia bisa merasakan Ki milik Rama di sana. Si bangsat itu pasti sedang merekam apa yang tengah dia dan cewek ini lakukan. Dasar kampret memang.

Tapi Bambang Jenggo bukanlah kampret kelas abal-abal. Dia tahu Rama adalah seorang oportunis dan akan menggunakan segala cara untuk mengamankan posisi dimanapun dia berafiliasi. Kakinya mungkin berdiri dimana-mana. Jenggo tahu Rama pasti punya rencana busuk dengan menumbalkan gadis ini.

Tapi ya sudah biar saja. Apapun rencana Rama, Jenggo selalu siap. Apapun niat busuk si oportunis itu, Jenggo akan melaluinya. Seorang Bambang Jenggo yang pernah lolos dari kematian tidak takut dengan ancaman dan gangguan. Dia sudah pernah hampir mati ditusuk besi baja. Bukan masalah besar baginya untuk lolos dari ancaman Rama.

Sekarang saatnya menikmati sang dara.

Jenggo yang sudah melepas celananya makin memamerkan Jenggo Junior yang tegap menantang kencang dengan ornamen tonjolan-tonjolan gurat urat aneh yang makin membuatnya tidak sedap dipandang, apalagi ukurannya juga tidak kecil, dan warnanya kelam.

“Heheheh. Release the Kraken,” bisik Jenggo. “Yuk diicip yuk. Yuk bisa yuk.”

Penampakan barang mengerikan itu membuat Dinda menjerit-jerit karena panik. “Tidak! TIDAK MAUUU!! TIDAKK MAUUUU!!!”

Tapi Jenggo sudah gelap mata. Dia menjambak rambut Dinda, dan menarik kepalanya ke belakang. Dara jelita itu pun berteriak-teriak kesakitan. Jenggo mengatur supaya Dinda rubuh ke depan dengan pantat bulatnya yang putih mulus bak pualam menghunjuk ke atas. Lidah jenggo langsung menjilat bibirnya melihat penampakan indah bibir surgawi Dinda yang masih rapat.

“Jangaaaan… jangaaaaaaaan… aku mohooooon… jangaaaaaan… jangaaaaan… jangaaaaan…” Dinda merintih dan memohon ampunan dari Jenggo. Tapi tentu saja Jenggo tidak akan peduli apapun rintihan sang dara melihat keindahan tubuh Dinda yang amat ranum.

“Aku tidak peduli apakah kamu masih perawan atau sudah pernah ditusuk orang. Tapi akan kupastikan, hari ini kontolku akan membuatmu nyaman. Bahkan kalau kamu sudah tidak perawan, kamu akan merasa kembali seperti perawan karena akan kukuak bagian terdalammu yang belum pernah dijelajah oleh kontol-kontol lain yang sepengalaman.”

“Jangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannn!!”

“Hkkkghhh!” Sodokan Jenggo dihempaskan ke depan. Tapi Dinda menggoyang pantatnya ke arah yang tepat, penis Jenggo gagal masuk, hanya menubruk bongkah pantat. Jenggo tertawa. Hehehe, ada-ada saja. Coba lagi. Sekali lagi Jenggo mendorong kontolnya ke depan.

Hpph!! Sekali lagi gagal masuk! Kampret cewek satu ini, bisa-bisanya tahu posisi aman.

Tidak peduli! Kali ini tidak akan gagal lagi! Yang ketiga pasti… kampreeeeeeeet!!

Sang Raja Para Anjing jadi penasaran dan geram, “Bisa diam tidak sihhhhh!!?”

“Jangaaaaan… jangaaaaan… tidak akan muaaat… tidak muaaaat…”

Plaaaaaaaak!!

Pantat Dinda ditepuk teramat keras sehingga meninggalkan bekas telapak tangan memerah. Dinda menjerit kesakitan. Saat itulah akhirnya gadis itu lengah.

Slepp.

Dinda terbelalak, mulutnya menganga, tapi tidak ada suara. Rasanya luar biasa sakitnya. Bagian paling rahasia dari tubuhnya kini sudah dijajah oleh orang yang paling tidak berhak sedunia. Air mata deras mengalir dari pelupuk mata sang dara. Tubuhnya bergetar hebat. Ia menangis tersedu-sedu. Kenapa ini terjadi pada dirinya? Kenapa hal seperti ini terjadi padanya? Dia salah apa? Apa hal buruk yang pernah dilakukannya sehingga dia harus mengalami nasib seperti ini?

Kenapa bukan Deka? Kenapa bukan mas Amar? Kenapa justru… pria seperti ini yang menjadi…

Dinda tak berdaya melawan angkara murka, Jenggo mulai bergerak. Setiap kali Dinda menolak, Jenggo justru terus menerus memompa. Tanpa henti dan tanpa jeda. Memanfaatkan kerapatan di dalam vagina. Dinda memejamkan mata. Hancur hatinya. Apa yang akan terjadi jika Mas Amar tahu apa yang terjadi padanya? Apa yang akan dilakukan Deka jika mengetahuinya? Tubuhnya tak layak lagi ia persembahkan untuk salah satu dari mereka, ia sudah ternoda. Dara jelita yang nelangsa itupun berteriak kencang dengan parau karena putus asa.

Tubuh Dinda maju mundur ketika Jenggo mulai memainkan tempo. Kadang cepat, kadang lambat, kadang kencang, kadang pelan. Meski bajingan, tapi Jenggo tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita. Kapan harus kasar dan kapan harus berlaku santai. Dia ingin cewek ini takluk padanya dan itu butuh permainan yang pas untuk menjinakkannya. Tubuh Dinda terhentak-hentak karena digenjot dari belakang. Dadanya yang ranum bergoyang-goyang melawan irama gerakan maju mundur, sebuah pertanda bahwa gravitasi itu nyata.

Mungkin di luar kesadarannya, tapi Dinda mulai masuk dalam irama sang preman yang sedang memperkosanya.

“Tubuhmu… tubuhmu… indah bangeeeett… kamu cantik bangeeeet… jadi sayang aku yaaaaa!? Mau kan kamu jadi sayangku? Jadi pacarkuuu? Akan kuberikan segalanya untukmuuuuu!!” Jenggo merem melek merasakan denyutan liang cinta Dinda yang rapat, memeluk erat batang kejantanannya yang maju mundur, keluar masuk, ke dalam, keluar, dilepas, melesak, menggesek, dan merapat. Ini kenikmatan sempurna dunia akhirat.

“Jangaaaan… jangaaan… sudaaaah… sudaaaah… kumohooon… kumohoooooon…” rintih Dinda dalam sedu sedan. Tubuhnya masih maju mundur dan matanya dipejamkan. Rasanya ada sesak yang mendesak di liang cintanya yang menyingkirpun enggan. Jenggo sudah sangat berpengalaman menaklukkan, dia tahu kapan harus keluar, dan kapan memasukkan. Dinda tidak punya kesempatan. “Hnggkhh! Hnnngkkkhh!! Aaaahhh…! Ahhhhh!! Ahhhhh!!”

“Haaahhh… hahhh… hahhh… memek kamu bener-bener, sayang… bener-bener juaraaaaaa…!!!” Jenggo tidak buang waktu lama. Dia mendaki gunung kenikmatan dengan kecepatan. Tubuh Dinda yang jauh lebih mungil dibandingkan dirinya terus digoyang tanpa henti. Makin lama makin cepat. Terhentak-hentak. Tersengal-sengal.

“Ahaaaaaaaakghhhh!! Hssst…. Hssst… ssst… sssst… haaaakkkghhh…” Dinda melenguh-lenguh saat tubuhnya dipacu oleh nafsu birahi sang pemerkosa. Ia memekik ketika batang kejantanan milik Jenggo menjajah liang cintanya. Bagian tubuh yang seharusnya ia persembahkan hanya untuk suaminya seorang lenyap ditelan seorang jahanam. Bagian terdalam vagina Dinda bagaikan dirobek-robek oleh sayatan batang nakal yang ditenagai oleh hawa nafsu.

Tubuh Dinda menggelinjang. Tiap kali Jenggo menekan, saat itu pula ia tersiksa. Seakan selalu ada celah dan bagian-bagian dalam liang cintanya yang berhasil dijelajah untuk pertamakalinya oleh sang pemerkosa. Lenguhan berulang kali terdengar dari bibir Dinda yang terbuka. Ia tidak ingin membuka mata. Ia tidak bisa membuka mata. Hentakan demi hentakan menyakiti tubuh dan batinnya. Menyiksa. Sangat tersiksa. Sakit di badan, sakit di hati.

“Aaaahaaakghh… wueeenaaaaak sekali memek kamu, sayaaaaang. Bakal aku pakai siang dan malaaam!! Huahahahaha!! Nikmaaaaaat!! Gudeg mercon saja kalaaaaah wueeenaaaak!! Hahahahah!!” Jenggo semakin liar memompakan batang penisnya ke dalam vagina Dinda, tubuhnya tergoyang dan digoyang. Buah dada Dinda bergerak-gerak erotis menambah macetnya aliran kesadaran dalam sanubari Bambang Jenggo. Sesekali tangan Jenggo meremas-remas bongkahan kenyal yang meskipun tidak besar, namun menyempurnakan keindahan tubuh sang dara.

Sampai pada akhirnya, satu hentakan yang teramat kuat dan menyakitkan terjadi. Jenggo bagaikan menembus sisi terdalam di liang cinta sang dara jelita. Sisi yang belum pernah dimasuki oleh pria manapun di dunia. Preman bajingan itu berteriak kencang karena puas yang tak tertahan.

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!”

Dinda hanya bisa menjerit dan memejamkan mata.

Ada yang membanjir di liang rahimnya. Begitu banyak, begitu hangat, begitu tak diinginkan.

“Hahahahahahhaha!! Mantaaaaaaaap!! Hahahahahah!!” Sang Raja Para Anjing mengungkapkan rasa di dadanya.

Bambang Jenggo terkulai di samping tubuh Dinda yang masih terengah-engah. Lendir kental meleleh dari pintu gerbang surgawi sang dara jelita, seakan menandakan betapa penuhnya liang rahim Dinda telah diisi oleh kesesatan pekat dari sang pimpinan preman.

Meski sudah usai, namun Jenggo masih belum selesai. Ia masih saja mengelus-elus paha dan meremas-remas buah dada dara cantik itu. Air mata sang dewi masih terus menetes, sesunggukan tanpa jeda. Jenggo hanya terkekeh-kekeh ketika Dinda kemudian menepis tangan sang preman.

“Gimana, suka kan? Mau lagi kan?”

“MENJIJIKKAN!! AKU BENCI SAMA KAMU! JAHAT!”

“Hahahahaha! Tidak masalah kamu membenciku, yang penting setiap kali aku datang, buka kakimu lebar-lebar buat kontolku ya. Hhahahahaha. Juara banget memek kamu, sayang. Akhirnya aku bisa merasakan lagi memek rapet setelah sekian lama. Hehehehehe. Apem yang benar-benar sempurna jepitannya.”

Cuh!

Dinda meludahi wajah Jenggo. Jenggo tersenyum dan menghapus ludah Dinda dengan tangannya.

“Kenapa marah? Baru saja kamu menggelinjang keenakan bukan? Sayangnya memekmu yang sempit itu harus aku bikin renggang. Maaf kalau kontolku jadi bikin memekmu longgar, sayang. Mudah-mudahan kelak calon suamimu punya kontol yang jauh lebih besar dariku – jadi kamu bisa merasakan nikmatnya kenthu. Tapi kalau lebih kecil… aduh… kasihan banget kamu… buahahahahahha.”

Jenggo meninggalkan ranjang dan duduk di samping meja, di sana ada gelas kosong dan teko berisi teh. Jenggo menuang teh itu dan langsung menyeruputnya tanpa gula.

Ada rasa pahit yang menamparnya.

Dinda menatap pilu ke arah Jenggo – pria yang telah memuntahkan banyak air mani di dalam rahimnya. Gadis ayu itu terus menerus meneteskan air mata, membuat wajahnya semakin mengenaskan di dalam ketelanjangan yang tak lagi ia tutupi. Buat apa? Jenggo telah meninggalkan jejak di setiap jengkal tubuhnya, entah itu elusan ataupun kecupan. Untuk apa ditutupi? Pikiran Dinda menerawang jauh.

Bagaimana kalau…

Bagaimana kalau dia hamil? Dia sedang masuk di masa subur.

Berbagai penyesalan membanjir di benak Dinda. Berbagai rasa yang tak terucapkan tapi dirasakan bagai paku yang menghujani batin. Kalau tahu begini, dia seharusnya dulu melakukan ini. Kalau tahu begini, dia seharusnya sejak dulu melakukan itu.

Dia seharusnya memberikan yang terindah untuk Mas Amar. Dia seharusnya sejak dulu mengiyakan cinta Deka. Dia seharusnya tidak datang ke kota ini. Dia seharusnya tidak…

Ah.

Ingin mati saja rasanya.

Tiba-tiba saja Bambang Jenggo berdiri dan melangkah kembali ke arah ranjang. Mata Dinda terbelalak karena kaget dan ketakutan. Mau apa lagi pria menjijikkan itu sekarang?

Jenggo mengedipkan mata dan terkekeh, “sudah istirahatnya? Yuk masuk ronde kedua, sayang.”

Dinda menjerit ketakutan.

Tapi saat itu, tidak ada yang menolongnya.

Jenggo kembali bejat.





.::..::..::..::.





.:: SEMENTARA ITU



Deka dan Shinta terus mengendap-endap. Siapa yang menyangka kalau kedua orang tua Shinta ternyata disekap di tempat mereka tadi menyelinap masuk? Sungguh se-fruit kebetulan yang menguntungkan. Papa Mama Shinta disekap di kamar kos-kosan yang ada di halaman belakang rumah utama. Untung saja Deka dan Shinta memutuskan untuk langsung memeriksa tempat itu begitu masuk ke bagian terdalam kediaman Rahu Kala, sehingga Deka dan Shinta bisa langsung menyelamatkan mereka.

Kamar kos-kosan itu sebuah tempat yang gelap, pengap, dan tak bertuan. Ada sisa-sisa biskuit yang rupanya menjadi satu-satunya makanan yang diberikan pada mereka. Begitu Deka menjebol kunci pintu ruangan dengan keahliannya membongkar gerendel, Shinta langsung membawa kedua orangtuanya pergi. Mereka sangat lemah, ketakutan, dan terus menerus gemetaran. Beberapa jemari mereka hilang karena tindakan laknat sang Dewa Iblis.

Good news-nya, karena sudah menemukan target di kos-kosan belakang, mereka tidak perlu mencari dan menjelajah lagi. Bad news-nya, mereka bingung harus melarikan diri dari mana.

“Kita keluar dari mana, Mas? Di sini jalan buntu, semuanya pagar tembok yang tinggi-tinggi. Kita tidak mungkin balik lewat atas lagi, Mama Papa-ku tidak akan sanggup meloncat,” bisik Shinta perlahan-lahan – takut suara sekecil apapun akan terdengar oleh Rahu yang tengah bertarung dengan om Tarjo di sayap sebelah kiri rumah. Dia terus menggandeng sang Papa sementara Deka menggendong Mama-nya yang hampir tak sadarkan diri karena terlalu lemah.

Deka juga kebingungan. Di kejauhan masih terdengar suara pohon yang tumbang satu demi satu. Sepertinya berlangsung pertempuran yang sangat seru antara om Tarjo dan Rahu Kala. Sebenarnya Deka sangat ingin membantu om Tarjo, tapi dia tahu hal itu justru sama saja dengan mengantarkan nyawa dan dia hanya akan merepotkan om Tarjo. Itu sebabnya dia dan Shinta harus cepat, karena kalau tidak – Rahu bakal menyadari keberadaan mereka di dalam rumahnya.

Deka mencari, mencari, dan mencari sampai akhirnya menemukan satu celah di pojokan. “Pagar yang sebelah sana. Itu kan ada tumpukan tong-tong minyak yang sudah karatan. Kalau kita bisa naik ke tong-tong minyak itu, jarak atas pagar tembok jadi lumayan pendek, aku bisa mengangkat Mama dan Papa kamu dari bawah, kamu bantu tarik dari atas, lalu turun di sisi sebaliknya. Setelah semua melompati pagar tembok, kita bisa lari dari rumah sebelah.”

Tidak ada cara lain. Mereka harus mencobanya. Buru-buru Deka dan Shinta membawa Mama dan Papa Shinta mendekati tong yang harus mereka panjat. Satu persatu dari Papa dan Mama Shinta dinaikkan ke atas tong oleh Deka, lalu ditarik naik ke atas pagar oleh Shinta. Deka mengangkat dan mendorong dari bawah, sementara Shinta menarik dari atas.

“Ayo naik, Mas. Aku akan turun dan membantu Papa Mama turun di sebelah.”

Deka mengangguk. Dia melompat dengan cekatan lalu berdiri di atas pagar. Berhati-hati sekali, Deka menurunkan Papa dan Mama Shinta ke bawah sementara Shinta sendiri menerimanya di halaman rumah sebelah yang memang kebetulan sekali kosong. Setelah kedua orang sepuh itu berhasil turun, Shinta memberikan kode pada Deka.

Deka pun bersiap untuk meloncat turun.

Saat itulah malapetaka datang.

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

Suara berat sang Dewa Iblis berkumandang. Dia berdiri dengan tegap di atas pagar tembok, jumawa di belakang Deka.

Rahu Kala sang maut, sang Dewa Iblis, telah hadir.

Deka dan Shinta sama-sama terkejut saat melihat kehadiran sosok menakutkan itu! Orangtua Shinta yang amat lemah sampai duduk bersimpuh karena tak kuat lagi, orang-orang sepuh yang terluka itu sangat ketakutan melihat wajah Rahu. Jantung keempat orang itu berdegup dengan kencang. Padahal hanya tinggal beberapa langkah lagi mereka bakal sampai di gerbang kebebasan. Tinggal beberapa langkah lagi untuk dapat keluar dari neraka ini.

Tapi nasib ternyata berkata lain.

Rahu turun ke bawah.

Deka ikut turun. ia berdiri di antara Rahu dan rombongan Shinta. Deka berada di tengah – menghalangi laju Rahu agar tidak mencapai Shinta dan kedua orang tuanya. Si Gondes menelan ludah dengan tegang, bagaimana tidak tegang? Ada raksasa dengan wajah menyeringai menakutkan berdiri di hadapannya sembari bersidekap. Deka menatap ngeri wajah Rahu, matanya tajam menatap ke depan. Mata seorang pemburu yang gembira karena telah bertemu dengan mangsa.

Tunggu sebentar… Kalau si Dewa Iblis ini sudah sampai di sini… apakah itu artinya om Tarjo sudah…?

“Heheheh. Lho kok kalian sudah mau pergi saja? Tidak mau ngobrol-ngobrol dulu? Tidak ingin lebih lama tinggal di sini untuk sekedar berbincang santai? Mungkin sambil ngeteh atau ngopi? Mumpung harinya cerah tidak hujan, mungkin kita semua bisa duduk bersama-sama. Kalian suka teh Soros atau teh Asry Wangi? Hahahahah. Nanti aku siapkan.”

Deka tahu mereka tidak boleh menunggu. Setiap detik berharga.

“Shintaaaaaaaa! Lari!” Deka berteriak kencang. Dia mencoba menutup jalur Rahu dengan memanfaatkan lebar tubuhnya. Di belakang Deka, Shinta berusaha mengangkat kedua orangtuanya untuk segera melarikan diri.

Sesuatu yang sebenarnya sia-sia belaka.

“Hahaha, kok malah lari-lari? Mau olahraga? Boleeeeh. Boleeeeeh.” Sang genderuwo bertubuh besar di depan Deka merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, lalu menepukkannya sekuat tenaga.

Ka-Blaaaaaaaamnnn!

Tepukan disertai tenaga Ki itu begitu luar biasa. Hampir semua orang yang berhadapan dengan Rahu langsung terlempar terkena hembusannya, mereka terpental dan terhentak di tembok pembatas pagar, lalu terguling-guling ke halaman di sisi kiri garasi tetangga Rahu, sebuah rumah kosong yang lama tidak berpenghuni.

Semuanya ambruk, jatuh tak berdaya.

Deka yang berada di posisi terdepan ambruk dengan posisi tengkurap, setelah terbanting ke tanah beberapa kali. Tubuhnya terhentak ke bawah dengan kencang, mengenai satu pancang batu besar yang langsung menghantam tulang rusuknya. Deka berteriak kencang karena kesakitan. Dia mengerang dan berputar-putar di tanah dengan nelangsa.

Rahu tertawa-tawa dan berjalan melewati si Gondes, seakan-akan menganggap bahwa pemuda itu bukanlah ancaman yang berarti baginya. Sang Dewa Iblis juga melewati Shinta yang sedang berusaha keras untuk bangkit. Tujuan utamanya malah justru Papa dan Mama Shinta yang tergeletak kesakitan tanpa daya di atas rerumputan.

“Kalian pergi begitu saja. Datang tak diundang, pulang pun tak diantar. Mana bisa begitu.” Rahu tersenyum saat ia berdiri di atas kedua orang sepuh tak berdaya yang menatapnya dengan ketakutan. Papa Shinta yang kemudian melindungi sang istri dengan tubuh gemetar. Ia merangkul istrinya dan memejamkan mata. Kalau harus mati hari ini di tangan angkara murka, setidaknya mereka akan mati berdua sesuai janji suci.

Rahu mengangguk, dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seperti ada kilat-kilat yang muncul di kepalan tangan kanan yang ia angkat. “Akan kuwujudkan permintaan terakhir kalian.”

Shinta terbelalak dan berteriak kencang, “Papaaaaa! Mamaaaaaa!”

Swssh.

“Haish. Kutu beras mau ngapain?” Rahu mendengus.

Deka berdiri melindungi Papa Mama Shinta. Tepat di hadapan Rahu Kala. “Sedari tadi mulut busukmu terus saja merendahkan kami. Aku sudah tidak tahan. Harus ada orang yang membungkammu dengan karma. Mungkin aku bakal mati hari ini, tapi setidaknya aku mati sebagai laki-laki. Bukan seperti pengecut yang hanya bisa menyakiti orang tak berdosa – apalagi terhadap wanita dan orang tua.”

Deka melangkah ke depan tanpa rasa takut. Dia sudah tidak peduli lagi, jika memang dia harus mati ya sudahlah. Yang penting dia harus menutup mulut bedebah bongsor satu itu. Kesombongan tidak akan ada ujungnya kecuali disumpal balik ke mulut si bacot.

“Aku tidak peduli kamu siapa dan kamu bisa apa. Saatnya memasukkan kamu ke perut bumi, sekali dan selamanya. Kota ini tidak membutuhkan buto ijo seperti kamu.” gertak Deka sembari menyiapkan sesuatu yang sejak awal ia bawa, nunchaku-nya. Deka langsung memainkan senjata favoritnya itu dan membuat lingkaran membadai. “Mari kita lihat bisa apakah kami bisa menembus Perisai Genta Emas!”

“Bwahahahaha. Baru bisa Perisai Genta Emas saja sudah sombong! Maju! Akan aku tunjukkan bedanya petarung seperti aku dengan tae kemampul neng kalen.” Rahu berjalan gagah menghadapi Deka.

Deka berlari ke depan dengan gerakan nunchaku yang menggila. Kelebat serangannya bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Serangan dilancarkan, tapi dengan mudahnya Rahu Kala berkelit dan menepis serangan itu. Gerakan mundurnya sangat efektif. Satu langkah mundur, satu langkah ke samping, selalu berhasil menghindar dari serangan Deka. Rahu tidak pernah boros dalam bergerak.

“Shintaaaaaaa!!”

Sang dara jelita yang memperhatikan pertarungan Deka dengan Rahu dengan takjub akhirnya tersadar. Inilah kesempatan untuk membawa lari kedua orantuanya! Aduh! Kenapa dia malah bengong! Deka sudah jelas tidak akan bertahan lama bermain satu lawan satu dengan Rahu. Sekarang saja sudah terlihat perbedaan mereka, Deka begitu ngotot merangsek ke depan, tapi Rahu dengan mudahnya menghindar dan menepis setiap serangan Deka. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum keadaan berbalik.

Buru-buru Shinta berlari menuju Papa Mama-nya.

Rahu Kala tertawa, “Gadis itu bodoh juga ya. Sudah diberikan kesempatan lari malah tidak bereaksi. Malah bengong dengan bloonnya. Hahahaha. Baiklah, waktunya bermain-main sudah habis.”

Deka mendesis kesal, apakah dia harus mengerahkan ilmu hitamnya?

Tidak… tidak bisa… dia sudah berjanji pada om Tarjo. Dia akan mengatasi Rahu dengan kemampuannya sendiri, tidak dengan bantuan sosok yang bakal merasuk ke dalam tubuhnya dan selalu meminta tumbal sebagai balas jasa. Dia sudah berjanji.

Deka menjejakkan kakinya ke tanah, melompat teramat tinggi, mengayunkan nunchaku-nya ke belakang, memutar-mutarnya untuk mendapatkan momentum, lalu menghempaskannya ke kepala Rahu dengan sekuat tenaga.

“Maaaamppppuuuussssss!!”

Bledaaaaaaaaaakghhh!

Nunchaku
itu mental begitu saja setelah mengenai kepala Rahu. Tidak nampak rasa sakit di wajah sang Dewa Iblis, malah senyum lebarnya yang menghias wajah. Deka mendarat dengan mata melotot. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Sekali lagi Deka mengayunkan nunchaku-nya.

Hpph.

Tangan kanan jumbo milik Rahu Kala dengan mudahnya menangkap hempasan nunchaku dari Deka itu, dia bahkan melakukannya dengan tersenyum. Tangan kiri Rahu menangkap tubuh Deka, meremas dadanya – membuat si Gondes berteriak kesakitan. “Selain Kuasa Dewa Iblis, aku juga punya pertahanan Delapan Ksatria Perunggu. Masih terlalu dini bagimu untuk menghadapiku. Tenagamu tak beraturan, Ki-mu lepas lepas, napasmu kacau balau. Seandainya hari ini kamu tidak mati, aku tunggu kesempatan kita bertemu kembali.”

Shinta berusaha membawa kabur kedua orangtuanya, tapi melihat Deka diperlakukan bak mainan membuat gadis itu tidak tega. Bagaimanapun juga Deka-lah yang sejak tadi telah membantunya. Bagaimana ini? Dia bimbang. Membantu Deka berarti meninggalkan Papa dan Mama-nya. Tapi jika membantu mereka kabur, itu artinya Deka akan…

“Ma… Mas…”

Rahu melirik ke arah sang dara. Nunchaku pun direnggut lepas dari tangan Deka dan dilemparkan ke arah Shinta! Dara jelita itu langsung ambruk tak berdaya saat sambaran senjata Deka mengenai kepalanya!

“Shintaaaaaaaaaa!!!” Deka berteriak kesal. Dia lengah.

Dengan kedua tangannya, Rahu Kala mengangkat tubuh Deka dengan satu tangan. Pameran kekuatan yang mengagumkan, menyeramkan, menakutkan, nggegirisi, nggilani, medeni, sekaligus ngedab-edabi.

Rahu tidak menunggu lama dan sama sekali tidak menunggu keputusan dari siapapun. Dia melemparkan tubuh Deka ke tembok. Melemparkan mungkin bukan kata yang tepat. Rahu membanting dan menghempaskan tubuh pemuda itu begitu kerasnya.

Jblaaaaaaaaaaam!

Sekali? Tidak.

Jblaaaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaam! Jblaaaaaam! Jblaaaaaaaam!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Lima kali Deka dibenturkan ke tembok yang keras. Beruntung Perisai Genta Emas beraksi secara naluri. Deka ambruk terguling-guling ke bawah. Sepertinya ada tulangnya yang patah atau retak tapi entah di bagian mana. Seluruh tubuhnya terasa sakit semua. Darah mengucur dari pelipisnya yang bocor.

Rahu Kala bergerak dengan cepat dan menghujani Deka dengan hantaman membadai. Mengincar semua bagian tubuhnya yang terbuka.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Deka terhajar. Dia tidak punya kesempatan. Pemuda itu ambruk luruh ke belakang.

“Hehehehe. Ayo berdiri. Masa segitu saja sudah KO. Menjijikkan,” pancing Rahu.

Dengan tersengal-sengal Deka mencoba bangkit. Wajahnya sudah tidak karuan, sembab, dan bengkak. Bibirnya bergetar mencoba mengatakan hal-hal yang tidak akan berpengaruh banyak. Pemuda itu remuk redam di tangan sang Dewa Iblis.

Sblkghhh!

Satu tendangan sepatu Rahu yang dijejalkan ke dada Deka membuat tubuh si Gondes terhenyak dan terlempar ke belakang. Ia kembali terguling-guling. Sesak sekali dadanya, remuk semua terasa tulang rusuknya. Deka kembali rubuh tanpa daya.

Andai saja bisa, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia sudah berjanji untuk melindungi Shinta. Dia sudah berjanji! Deka paham, hari ini sepertinya dia akan tamat.

Sudah selesai tugas-tugasnya di dunia ini. Rahu akan menjadi malaikat maut yang mencabut nyawanya. Dia tidak akan sempat lagi bertemu dengan Nanto dan kawan-kawan dari Lima Jari, dia tidak akan sempat pamit dari sang kakak Amar Barok, dari sang sahabat masa kecilnya Dinda, dan tidak akan sempat mengucapkan kata berpisah dengan mantan tunangannya Ara.

Dia tidak akan bertemu mereka lagi.

Tapi setidaknya dia usai dengan penuh gaya. Deka mencoba tersenyum meski mulutnya terasa perih. Ada robek di ujung bibir. Dengan sekuat tenaga Deka mencoba bangkit. Susah sekali. Rasanya susah sekali.

Gunakan aku.

Heheheh. Dasar bajingan lelembut kurang ajar. Tidak akan Deka menyerah lagi pada nafsu buas untuk memangsa, untuk meminta tumbal. Mau membantu? Bantu menghadapi monster ini untuk yang terakhir kalinya! Maju bersama, mati bersama, lenyap bersama dari dunia!

Baiklah akan kubantu, tapi setelah ini jiwamu akan kugerus dan kuseret ke neraka.

Dasar munyuk. Bisa-bisanya.

Deka mengambil ancang-ancang. Ya sudahlah. Saatnya membenamkan bajingan satu itu ke lautan neraka terdalam, mau pakai ilmu putih atau hitam sama saja. Kalau Deka jatuh hari ini, maka Rahu juga harus ikut jatuh bersamanya.

Deka bersiap. “Ki Demang Undur-Undur… akan kupakai ilmumu untuk yang terakhir kalinya…”

Belum sampai Deka mengeluarkan ilmu hitamnya, satu tangan lembut menghentikan ancang-ancang sang pemuda.

“Kamu sudah berjanji tidak akan menggunakan ilmu hitammu lagi. Sudah berhasil bertahan sampai saat ini, jangan sia-siakan usahamu itu. Mundurlah dulu, bocah. Biarkan aku yang mengajarkanmu bagaimana menghadapi sosok seperti Dewa Iblis. Memahami langkah dan teknik lawan juga termasuk strategi pertarungan. Akan datang saatnya ilmu yang kelak akan kamu kuasai menjadi sesuatu yang berguna untukmu, tapi bukan sekarang dan bukan ilmu hitam. Pelajari yang telah aku berikan.”

Deka terdiam sesaat sebelum perlahan-lahan terbelalak. Meski matanya sudah tidak bisa lagi melek dengan sempurna, tapi pemuda itu tahu dia sedang bertatapan dengan om Tarjo yang tersenyum lembut kepadanya. Ada darah yang mengucur dari kepala sang pria tapi wanita itu.

“O-Om… Jangan bilang kalau… haaargh!”

Tangan om Tarjo bergerak sangat cepat, jauh lebih cepat dibandingkan Deka. Tubuh pemuda itu pun luruh ke bawah tanpa daya. Ia jatuh terduduk tanpa bisa bergerak sedikit pun. Mulutnya juga tak dapat bergerak, Deka tidak dapat berteriak untuk menghentikan langkah sang pria tua.

“Rahu, kita tuntaskan pertarungan kita hari ini! Setelah ini kita lihat apakah aku masih pantas hidup dan menuntaskan perjalanan panjangmu, ataukah justru dirimu yang berhasil mengakhiri warisan darah ajaib dari Kakek Segala Obat!”

“Boleeeeeh! Boleh! Ini baru seru. Tak kuduga sama sekali kamu masih hidup, jerangkong benyek. Aku pikir sudah dijadikan sop-sopan gule tulang kambing sama tukang sate setelah aku timbun di bawah pepohonan tadi! Hahahaha!”

“Sudah jangan banyak bicara! Waktuku tak banyak! Aku akan melawanmu tanpa bantuan siapapun dan berjanji akan bertarung dengan terhormat! Aku juga tidak akan pernah meminta murid-muridku untuk membalas dendam padamu jika nanti aku tumbang! Sebagai gantinya aku mau kamu berjanji untuk melepaskan mereka semua ini.” Om Tarjo memberikan syarat. “Nyawaku sebagai ganti mereka. Setuju?”

Rahu menyeringai dan mengangguk. “Setuju.”

Om Tarjo terbatuk-batuk beberapa kali, tubuhnya lemah sehingga dia terpaksa menopangkan tangan di pundak Deka. Meski begitu wanita transgender itu masih sanggup tersenyum lembut, ia berbisik lemah. “Aku baru saja menotok aliran darahmu, bocah. Kamu tidak akan dapat melepaskan diri sampai seperempat jam ke depan, gunakan untuk memulihkan tenaga. Jangan khawatir… Rahu tidak akan menyakitimu atau siapapun karena meskipun dia berangasan, dia selalu menepati janjinya. Bukan begitu, Rahu?”

Rahu menyilangkan tangan di depan dada. Dia sempat melirik ke arah Shinta dan kedua orangtuanya yang belum juga berhasil lolos dari tempat itu. Rahu mendengus dan mengangkat pundaknya tanda tak peduli lagi, “Tentu saja. Wong lanang seng dicekel omongane. Aku tidak akan mengutak-atik si kutu beras, ceweknya, atapun keluarganya hari ini. Tentu saja kalau mereka juga tidak macam-macam.”

“Terima kasih.” Om Tarjo mengangguk. Ia menatap wajah Deka, Shinta yang terkapar, dan keluarga Shinta yang sudah terlalu lelah untuk merangkak menjauh. Om Tarjo mengangkat dagu Deka, menegakkan wajahnya dan mulai berbisik. “Bocah ganteng… aku minta tolong jaga Shinta baik-baik. Dia gadis yang sangat kuat dan mandiri, tapi dia tetap membutuhkanmu untuk menjaganya karena ke depan nanti aku yakin kalian akan menemui banyak tantangan dan rintangan. Pelajari buku yang kuberikan untuk memahami apa yang masih kurang dari dirimu. Ingat baik-baik, Rahu bukanlah dewa sebenarnya. Dia masih manusia biasa. Manusia biasa punya batasan. Perhatikan bagaimana caranya mengalahkan Rahu Kala.”

Pria unik itu mengelus pipi Deka, menepuknya, kemudian berbalik badan, dan melangkah menuju ke arah sang lawan tanpa rasa takut sedikitpun. Meski dengan tubuh lemah dan kaki yang sepertinya harus diseret, om Tarjo menantang maut tepat di depan matanya.

Maut itu berjuluk Sang Dewa Iblis, musuh bebuyutannya – Rahu Kala.

“Bocah! Jaga Shinta untukku!”

Teriak Om Tarjo yang sudah siap mati. Demi memberitahukan cara menaklukkan sang Dewa Iblis pada Deka, om Tarjo mengubur dalam-dalam rasa takutnya.

Keringat deras membanjiri tubuh Deka. Dia mencoba memberontak karena tahu nasib apa yang akan menunggu om Tarjo. Tapi bagaimanapun caranya dia berontak, dia tidak bisa lepas dari totokan. Dia hanya sanggup memandang pria bertubuh lemah yang dengan gagah mendatangi seorang pria bertubuh raksasa.

“Heheheh. Akhirnya kita berhadapan untuk yang terakhir kalinya, Mas Tarjo. Orang yang konon mewarisi darah dewa. Orang yang mampu menyembuhkan luka apapun dengan ajaib. Orang yang menjadi keturunan terakhir tokoh legendaris Kakek Segala Obat. Sebenarnya aku tidak keberatan menghadapi kalian berdua bersama-sama. Tapi kalau kamu ingin memaksa menghadapi aku sendiri, ya ayo saja.” Rahu Kala menyeringai. “Sepertinya sudah waktunya garis keturunan Kakek Segala Obat terhenti. Tidak akan ada lagi darah-darah magis yang membuat pertarungan menjadi tidak seru. Kamu juga setuju kan, Mas Tarjo?”

“DEKA! PERHATIKAN PERTARUNGAN INI!” teriak om Tarjo dengan kencang. Dia tidak mempedulikan kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh sang Dewa Iblis. Pria lemah lembut itu berubah menjadi garang dan menunjuk ke arah sang Dewa Iblis, “MAJU RAHU!!”

Rahu Kala tertawa terbahak-bahak, tubuh raksasanya terguncang-guncang. “Apanya yang mau ditunjukkan ke bocah kutu beras itu? Kematianmu? Bwahahahha… kacau kamu, Mas Tarjo! Sini! Biar sekalian kutunjukkan pada si bocah, kekuatan macam apa yang bakal menguasai kota ini. Bwaahahhaah.”

Kedua petarung melangkah maju tanpa perlu berlari. Mereka hanya berjalan perlahan namun sama-sama meningkatkan Ki dalam diri. Nyala aura-nya memancar tak tertahankan.

Pertemuan dua kekuatan tidak bisa dihindari.

Deka hanya bisa memandang dengan geram. Apakah om Tarjo mampu melayani Rahu?

Rahu yang bertubuh raksasa melebarkan tangan, membuka diri, dan membiarkan om Tarjo masuk ke dalam area pertahanannya. Aura maut merajalela di seluruh penjuru lokasi. Om Tarjo siap meladeni. Dia melangkah dengan berani ke depan, tangannya bergerak-gerak seperti berusaha menghalangi arus angin yang sedang berhembus di antara kedua petarung.

Menghalangi? Bukan. Deka mengerutkan kening. Ia mulai paham apa yang sedang dilakukan oleh pria unik yang akhir-akhir ini memperoleh rasa hormatnya itu.

Bukan. Om Tarjo bukan berusaha menghalangi arus angin, dia justru sedang berusaha membiarkannya mengalir.

Alih-alih berusaha melawan arus Ki yang ditebarkan oleh aura sang Dewa Iblis, om Tarjo membiarkan Ki itu mengalir dan melaluinya. Tubuhnya bertindak bagaikan kapas yang diterbangkan oleh angin. Tapi tidak berhenti sampai di situ saja. Om Tarjo lama-kelamaan memutar arus tenaga Ki yang mengalir keluar dari tubuh sang Dewa Iblis dan menelannya seperti air terjun yang malahap arus sungai – dia mengubah arus yang menghentak menyerang menjadi kekuatan bagi dirinya sendiri.

Hembusan Ki yang keluar dari tubuh Rahu keluar dan menghentak, tubuh om Tarjo mengikutinya secara natural sehingga dia akan mundur setiap kali Rahu maju, om Tarjo dapat menghindar dengan mudahnya karena kekuatan Rahu justru memberitahukannya arah pembukaan serangan. Rahu tidak mampu mengunci posisi om Tarjo dengan pasti. Deka terus menerus mengawasi dari kejauhan, strategi yang bagus dari om Tarjo. Saat melawan Rahu, jangan langsung melawan secara frontal, ikuti arusnya dulu.

“Hahahaha. Jadi kamu main defensif ya? Bagus sekali. Bagus sekali! Permainan defensif seperti yang kamu peragakan adalah makananku! Permainan defensifmu akan ditelan mentah-mentah oleh Kuasa Dewa Iblis-ku!” Rahu kembali tertawa. “Sampai berapa lama kamu dapat bertahan?”

Sembari menyeringai meremehkan, Rahu menarik lengan kanannya sedikit ke belakang. Tangannya mengepal erat, kekuatan besar terasa terkumpul di kepalan tangan itu, tangannya sedikit berputar dan bergetar, seperti dinamo yang tengah mengumpulkan kekuatan, bagaikan torpedo yang tengah memutar baling-baling untuk diluncurkan.

“Bunyi kereta api , tut… tut… tut,” bisik om Tarjo lemah, “siapa hendak turut?”

Kaki Om Tarjo bergerak dengan gemulai seakan-akan ia sedang mengendarai seluncur es menuruni bukit salju. Begitu cepatnya manusia ganjil itu menyeruak masuk ke area pertahanan sang lawan. Tepat di tengah-tengah. Satu tangannya diangkat lalu disabetkan ke depan, membentuk garis serangan ke arah sang Dewa Iblis.

Rahu sudah bisa menebaknya, pertama dia berkelit lalu menjepit tangan yang disabetkan oleh om Tarjo dengan tepukan tangan raksasanya yang…

Plaaaaakgh!

Tepukan tangan Rahu menemui ruang kosong! Sang Dewa Iblis terbelalak. Mana mungkin!? Si penyakitan itu gerakannya bisa lebih cepat daripada Rahu!?

Bukan.

Dia tidak lebih cepat. Dia lebih cerdas. Om Tarjo sudah memperkirakan bahwa Rahu akan bergerak sesuai pancingannya. Itu sebabnya sekarang dia berada di atas angin.

Rahu Kala menggemeretakkan gigi karena dia keliru menebak, dia mengaku salah. Tapi bukan berarti lantas dia akan kalah. Bajingan penyakitan berpakaian wanita ini berani-beraninya menyerang di saat dia tak paham langkah. Sang Dewa Iblis memaksa gerakannya berubah tindakan, tangan yang tadinya diputar untuk menyerang kini digunakan secara langsung untuk memukul tepat arah, dari samping langsung meledak ke tengah.

Om Tarjo menyadari nyala api di hulu ledak sang lawan. Ia pun segera keluar dari jalur maut dengan bergulir ke samping sembari merunduk, tepat di bawah jangkauan garis serang.

Tapi Rahu tidak kalah mahir, dia mengikuti langkah sang pria yang wanita itu. Gagal memukul tidak berarti serangan tuntas. Tangan kiri dan kanan sang Dewa Iblis bergerak bersama, satu hendak menyambar baju om Tarjo, satu lagi hendak meremukkan lengan om Tarjo dengan satu sodokan kencang.

Lolos.

Tapi bahkan petarung Kelas A+ seperti Rahu Kala pun bisa terkejut. Tepukannya tak cukup kuat untuk menghentikan lengan om Tarjo! Alih-alih membuat om Tarjo terhenti, pria ganjil itu justru membalikkan kekuatan sang Dewa Iblis!

Mana mungkin!? Rahu tak percaya kekuatan mereka sebanding! Bahkan hanya dengan satu tangan, om Tarjo mampu terus menyeruak ke atas, mengincar dagu Rahu. Sang Dewa Iblis berteriak kencang dan memegang pergelangan tangan om Tarjo, lalu dengan sekuat tenaga melemparkan tubuh lemah itu ke atas.

Kali ini om Tarjo tak dapat menghindar.

Tubuh sang pria unik dilontarkan ke udara. Dia menggapai-gapai apapun yang bisa ia gapai, namun tidak ada yang bisa dijadikan pegangan.

Deka menatap dengan ngeri. Posisi om Tarjo tidak memungkinkan untuk menyerang balik! Tapi bukan om Tarjo namanya kalau semudah itu menyerah. Si ganjil itu berputar dan menghunjukkan lengan ke bawah, menyalurkan Ki ke dalam telapak tangan yang menuju ke bawah!

Rahu Kala memutar kembali lengannya seperti tadi, bagai mesin yang siap mencecar lawan. Dengan ketepatan, keduanya bertemu. Kepalan Rahu dengan telapak tangan om Tarjo!

Bledaaaaaaaaaaaaam!!

Rahu sedikit ambas ke tanah sementara om Tarjo terlempar dan terbang di udara.

Rahu dengan geram menatap ke atas dan melompat tinggi tanpa ancang-ancang. Hanya dalam waktu singkat ia berhasil menyusul posisi om Tarjo yang ada di atas. Keduanya kembali bertemu. Adu pukulan pun terjadi.

Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh! Bkgh!

Keduanya saling meluncurkan serangan dan saling menangkis selama di udara. Tidak ada yang berhasil masuk dan mengenai lawan. Kaki mereka sama-sama dilontarkan. Tendangan om Tarjo berhasil ditahan Rahu, sementara tendangan Rahu masuk ke punggung sang pria unik.

Keduanya turun di sisi yang berbeda.

Rahu dengan satu putaran ringan untuk mendarat sempurna, sementara om Tarjo terguling-guling sebelum akhirnya menggunakan tangan untuk mencakar tanah dan menghentikan putaran. Om Tarjo terbatuk-batuk, ia membuka mulut, dan meludahkan dahak darah dari dalam tenggorokan. Pria unik itu menghapus darahnya sendiri dari dagu. Apakah dia bakal bisa bertahan?

Rahu tertawa terbahak-bahak, “Hasil akhirnya sudah pasti. Kenapa harus terus seperti ini? Padahal punya kemampuan, tapi terpuruk dan hanya jadi tepung ketan. Kamu bisa saja menjadi petarung kelas A+, kawan. Tapi malah jadi pesakitan yang berdiri saja kesulitan. Menyedihkan.”

Bukannya kena mental, Om Tarjo malah ikut tertawa. “Menyedihkan? Hidupku menyenangkan dan aku bahagia meski sakit mendera. Aku tidak pernah menyesal dilahirkan dan berharap dapat berguna bagi banyak orang. Tidak pernah sekalipun aku berpikir bahwa hidupku menyedihkan. Sehat dan sakit itu dua sisi mata uang pemberian langit. Kenapa harus disesali dan disedihkan? Hidup kita sudah digariskan sejak kelahiran. Kalau memang aku mati di tanganmu hari ini, aku juga tidak akan menyesal.”

Sepertinya om Tarjo juga sadar bahwa inilah akhirnya. Dalam suatu pertarungan antara dua master dibutuhkan kekuatan dan Ki yang luar biasa untuk bisa saling mengungguli dalam pertarungan yang ambang batas kekuatannya tipis. Jika ragu-ragu – bahkan jika hanya sesaat, hasilnya sudah terpetakan karena nyawa taruhannya. Dengan kondisi sakitnya yang seperti saat ini, secara logis hampir mustahil om Tarjo bisa mengalahkan Rahu – bahkan hampir mustahil untuk menyamai kekuatannya.

Nasibnya sudah terbilang.

Om Tarjo melirik ke arah Deka. Tatapan mereka bertemu. Om Tarjo tersenyum lembut.

Sudah memperhatikan kan, Bocah? Itulah tadi rangkaian cara untuk menaklukkan sang Dewa Iblis, bukan dengan adu kuat tapi dengan adu otak. Jika memaksakan adu kekuatan, maka sudah pasti Rahu bakal menang dan kita akan tumbang lebih cepat. Aku mungkin gagal dan tewas hari ini, tapi pastikan kamu memahami bahwa masih ada jalan untuk mengalahkan sang maut. Gunakan otakmu. Jika kamu tidak bisa melakukan ini sendiri, ajaklah para sahabat, tumbangkan sang Dewa Iblis.

“Bwahahahahhaaha! Sudah mulai putus asa, Mas Tarjo?” Rahu berdiri dan berjalan dengan santai ke depan. “Bagaimana rasanya berhadapan dengan seorang dewa? Bagaimana rasanya menghadapi seorang malaikat maut? Kamu beruntung kamu tidak akan mati direnggut penyakitmu, biar kupermudah hidupmu dengan mengakhirinya hari ini, tidak perlu dibayar – akan kulakukan secara gratis. Tak akan ada lagi orang yang bisa diselamatkan darahmu. Hitung-hitung supaya kamu tidak perlu menderita oleh sakit yang kamu alami.”

Deka menggemeretakkan gigi dengan geram. Seandainya saja dia dapat bergerak! Seandainya saja dia dapat bergeraaaak!! Om Tarjo tidak perlu melakukan ini semua!! Ada bening air mata menggenang di pelupuk mata Deka, ia tidak tega melihat pria unik yang sakit-sakitan itu mengorbankan diri.

Tiba-tiba… ada tangan lembut menyentuh Deka dari belakang.

“To-tolong…”

Shinta!

Shinta ternyata sudah sadar dan merangkak lemah ke arah si Gondes. Dara jelita itu memohon pada Deka. Tapi Deka tak dapat bergerak. Orang tua Shinta sudah tak lagi terlihat, mungkin sudah berhasil meloloskan diri.

“Tolong selamatkan dia, Mas… tolong…! Hanya Mas yang bisa! Tolong selamatkan om Tarjo!” Shinta merengek, dia juga tidak bisa berdiri dengan tegap, tubuhnya sangat lemas. Dia berusaha keras mengguncang tubuh Deka yang masih tak bergerak. “Mas!! Ayo ke sana, Mas! Selamatkan om Tarjo! Berdiri, Mas! Jangan diam saja!”

Bangsaaaaaaaaaat!! Seandainya saja dia bisa bergeraaaaak!!

Deka geram pada dirinya sendiri yang masih tak bisa menguasai kemampuan yang mahir untuk bisa sejajar dengan dua master yang saat ini sedang bertarung di hadapannya. Dia tak akan bisa menyelamatkan siapa-siapa dengan kekuatannya yang sekarang.

Atau… apakah sebaiknya dia aktifkan kembali ilmu hitam yang sebelumnya sudah…

“JANGAN COBA-COBAAAA!!” Om Tarjo berteriak kencang dari kejauhan, mengagetkan si Gondes. Pria unik itu menggeleng dari kejauhan. Menyadarkan Deka untuk tidak mengembalikan apa yang sudah dia pendam dalam-dalam.

Jangan pernah menggunakan ilmu hitam lagi.

Om Tarjo seperti mampu membaca pikiran Deka, tapi pemuda itu sudah sangat putus asa. Bagaimana dia bisa menyelamatan om Tarjo dari nasib buruk dengan kemampuannya yang sekarang?

Rahu tersenyum menyeringai melihat ketidakmampuan Deka dan Shinta menyelamatkan diri mereka sendiri dan om Tarjo. Bukankah ini semua ironi? Saling mencoba menyelamatkan sementara mereka sendiri tidak bisa menyelamatkan diri mereka sendiri? Luar biasa sekali. Jaman macam apa sekarang ini? Konsep cinta kasih pada sesama yang menyebalkan. Hidup kok dikorbankan buat orang lain.

Konyol.

“Heheh. Pengorbanan yang indah. Tapi aku masih tidak paham dengan apa yang ingin kalian dapatkan dengan semua ini. Mukamu saja sudah sangat pucat, Mas Tarjo. Yakin ingin terus melawan? Sudahlah. Beristirahatlah dengan tenang. Pejamkan matamu, lepas tenagamu, jangan melawan, dan biarkan aku mematahkan lehermu dalam kedamaian.” Rahu menggoyangkan lengan.

“Suatu saat nanti, bocahku itu akan menghancurkanmu, Rahu. Kamu akan menangis-nangis meminta ampun dan pada saat itulah kamu akan paham artinya pengorbananku saat ini.”

Rahu menggeram sesaat, ia menarik tangan kanannya mundur, dan mulai memutarnya bagaikan mesin giling. Kuasa Dewa Iblis mulai dirapal. Rahu terkekeh, “Kita lihat apakah pengorbananmu sepadan!”

Pria bertubuh raksasa itu berdiri dengan tenang dan melambaikan tangannya pada om Tarjo. Seperti mengundang sang pria unik untuk datang. Searah dengan ayunan jemari Rahu, tubuh om Tarjo tiba-tiba saja terbang hingga di hadapan sang Dewa Iblis tanpa bisa melawan. Inilah kekuatan Ki yang sangat dahsyat yang dimiliki oleh sang petarung Kelas A+. Begitu om Tarjo datang, Rahu kembali tersenyum keji. Dia ternyata sudah menyiapkan kepalan yang diputar sejak tadi.

“Salam untuk penghuni neraka.” Kepalan itu meledak tanpa ampun.

Bledaaaaaaaaammmhhh!!

Tubuh om Tarjo terpelanting sampai memutar seratus delapan puluh derajat di udara. Dia terbang ke belakang sekitar enam meter jauhnya. Wajahnya dirombak paksa, gigi yang sudah tidak seberapa terlepas, hidungnya bengkok seketika. Om Tarjo terbanting dan terguling berkali-kali. Tak terhitung berapa kali darahnya muncrat membasahi tanah lapang.

Om Tarjo tergeletak tanpa gerak.

“OM TARJOOOOOOOOO!!” Shinta menjerit kencang.

Gadis itu berusaha berdiri tapi susah sekali karena ternyata kakinya terluka setelah terantuk batu cukup keras saat terbanting. Dia berusaha merangkak menuju sang paman tersayang. Dari kejauhan sepertinya om Tarjo sudah tak sadarkan diri. Entah pingsan entah mati. Yang jelas tidak baik-baik saja.

Rahu terdiam menatap Shinta, lalu melihat ke arah Deka, dan akhirnya berjalan ke arah om Tarjo.

Sampah.

Mereka semua sampah yang tidak ada artinya. Buat apa hidup kalau tidak punya kemampuan? Buat apa punya kemampuan tapi tidak bisa ditingkatkan? Untuk apa tetap menjadi bibit kalau sebenarnya kita bisa menjadi pohon raksasa? Buat apa hidup kalau hanya jadi sayuran? Ia bisa membunuh mereka semua dengan mudah asalkan darah dari om Tarjo tidak lagi tersedia. Sang Dewa Iblis berjalan dengan ringan. Terlihat santai namun sebenarnya berhati-hati.

Baru beberapa langkah berjalan, Rahu terdiam dan mendengus. Ada aura mengancam terasa.

Benar saja.

Om Tarjo tiba-tiba saja meloncat dengan kecepatan sangat tinggi. Kedua tangannya dikatupkan dan ia melesat bak anak panah terlepas dari busur. Ada selimut Ki yang melindunginya. Om Tarjo merubah dirinya menjadi anak panah yang melesat sekuat tenaga.

Rahu menghentakkan tenaga dalamnya ke depan, lalu menarik tangan dan memutarnya – mengisinya dengan tenaga. “Sejak tadi aku gagal mengeksekusi jurus ini. Sekarang harus berhasil atau namaku bukan Rahu Kala! Gemuruh Dewa Iblis!”

Tangan Rahu yang diputar dihentakkan sekuat tenaga ke depan!

Jboooooooooom!

Hentakan tenaga yang luar biasa itu menghempaskan semua benda yang berada dalam jangkauan tujuh meter di hadapan Rahu Kala. Ada dua pohon kecil yang tumbang karena desakannya, rerumputan hanya bisa rebah ke tanah, semak belukar tercerabut dari akarnya.

Untuk beberapa saat kencangnya tenaga dalam itu mendera apapun yang ada di hadapan sang Dewa Iblis sampai Rahu menarik tenaganya kembali. Meski tidak sampai menguras tenaga, tapi serangan tadi pasti sudah cukup untuk…

Rahu Kala terbelalak. Ketika debu-debu yang berterbangan tersingkap, ternyata masih ada tenaga Ki berkekuatan besar yang menerjang ke arahnya! Si pesakitan itu! Dia masih belum berhenti! Om Tarjo masih terus melaju dan kali ini tidak akan dapat dihentikan begitu saja! Serangannya tepat ke wajah Rahu!!

Sang Dewa Iblis menurunkan badannya ke belakang, hanya bertumpu ke dua kakinya yang kokoh memijak tanah, ia memutar badan tepat di saat-saat terakhir, sehingga serangan om Tarjo menemui ruang kosong. Tangan Rahu menangkup lengan om Tarjo yang terbang di atas badannya dan menguncinya dengan satu sergapan. Om Tarjo mencoba menggetarkan badannya namun Rahu begitu kencang menguncinya sampai-sampai si pria unik itu tak dapat lolos.

“Aku bahkan tidak membutuhkan Ki untuk menundukkanmu,” bisik Rahu dengan wajah dingin.

Begitu tangan om Tarjo terkunci oleh kempitan lengan kiri sang Dewa Iblis, Rahu mengulurkan tangan kanan dan mencengkeram leher sang lawan. Ia mencekiknya. Om Tarjo tak bisa bernapas dan mencoba meronta secara reflek, wajahnya yang penuh darah sudah tak lagi bisa dikenali. Dengan satu tangan Rahu mengangkat tubuh laki-laki penyakitan itu ke atas.

“Ada pepatah, Mas Tarjo. Semua yang naik, haruslah turun.”

Rahu Kala membanting tubuh rapuh om Tarjo ke tanah dengan sekuat tenaga!!

Jbooooom!!

“Haaaaaaaarrghhh...!”

Teriakan kesakitan dari om Tarjo mengubah suasana menjadi pilu. Semua yang hadir di tempat itu tahu apa yang terjadi. Ada tulang yang patah – mungkin tulang belakang. Lelehan air mata menetes di pipi Shinta dan Deka. Mereka hanya bisa menatap tanpa bisa berbuat apa-apa.

Tangan om Tarjo akhirnya lunglai ke bawah tanpa tenaga. Luruh tanpa daya.

Habis sudah semuanya.

Rahu Kala berdiri di atas tubuh om Tarjo yang sudah terdiam seribu bahasa. Raksasa itu senyap sejenak setelah menaklukkan mangsa. Puas dan bangga telah menuntaskan lawan bebuyutan. Mulai saat ini, tidak akan ada lagi orang yang mendadak bisa selamat setelah meminum darah ajaib sumber segala obat itu.

Sementara di sisi lain, ada nyala yang padam, ada pedih yang nyata. Ada leleh air mata yang tak bisa diredam, ada yang menyambut keabadian dengan senyum terakhirnya. Aura sang tetua mulai menurun secara berkala.

Napas Om Tarjo sudah mencapai puncaknya. Sudah saatnya beristirahat dan memejamkan mata dengan tenang, tanpa khawatir, tanpa kegelisahan, karena dia sudah mencoba sekuat tenaga. Tidak ada penyesalan sedikitpun.

Bocah, kutitipkan Shinta kepadamu.

Om Tarjo tersenyum.

Dalam tenang.

Dalam senyap.

Dalam diam.

Dalam usai.





BAGIAN 15-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 16

A tribute to HnK.
Ceritanya bagus banget, cm sll sj ada hal tragis.....
 
BAGIAN 16-A
KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI




“Jangan pernah menyerah saat berjuang.
Lebih baik menderita sekarang,
lalu menjalani sisa hidup kelak sebagai juara.”

- Muhammad Ali





.:: PADA SUATU KETIKA



Gua Eyang Bara terasa dingin di heningnya malam.

Di saat burung hantu berkelakar, jangkrik saling bercanda, dan kelelawar bermain-main di sela-sela pohon atau batu tetes di dalam gua - Nanto malah duduk bermeditasi di dalam ruang yang sunyi senyap. Pemuda bengal itu duduk di atas batu pipih yang dulu konon pernah digunakan oleh Eyang Bara sendiri. Selain suara para satwa penghuni malam, hanya denting bekas air hujan yang turun menimpa genangan yang terdengar di dalam gua itu.

Syahdu dalam kesepian, sunyi dalam ketenangan.

Si Bengal mendalami dan mempelajari, menenangkan diri dan menyelami. Semua petuah, ajaran, dan masukan yang diberikan oleh keempat sosok yang selama ini menemani. Dalam keadaan tenang, pasrah, dan damai – si Bengal mempersiapkan dirinya untuk kedatangan sang sepuh untuk mempelajari jalan hidup yang kini.

Nanto berbisik mengisi senyap dalam gua, “Saya siap, Eyang. Silakan diberikan kawruh.”

Eyang Bara turun dari langit-langit gua dalam posisi duduk bersila, tangan di dada, mata terpejam. Ada energi di dalam kekosongan perwujudannya. Wujud yang kosong, kosong yang mewujud. Manifestasi sosok yang ada tapi tiada, hadir namun tak tiba. Sang eyang turun perlahan-lahan sampai kemudian duduk tepat di hadapan si Bengal.

“Bagaimana perkembangan kemampuanmu?”

Eyang Bara tidak membuka mulut namun suaranya menggema langsung di dalam batin si Bengal. Pemuda itu tidak membuka mata, tapi merasakan kehadiran dan melihat perwujudan dalam bayangan. Keduanya berbicara tanpa suara, melihat tanpa mata, merasakan tanpa rasa.

“Gerbang pertama hingga kesembilan bisa dibuka secara berkesinambungan menggunakan gerbang kesepuluh, yakni Gerbang Kemanunggalan. Syaratnya adalah Ki yang tersimpan secara natural dalam diri mencukupi untuk mengemban semua kebutuhan energi tiap tingkatan gerbang yang telah dibuka. Setelah berlatih sesuai petunjuk Eyang, saat ini saya sudah mampu melakukannya, meskipun masih dalam hitungan waktu yang pendek karena keterbatasan tenaga yang bisa saya himpun.” Nanto menarik napas. Tangan si Bengal memainkan gerakan naik turun dengan cepat, mencoba mengumpulkan energi dan melepaskannya secara perlahan. “Sebagai solusi, saya melatih diri untuk melebarkan kapasitas daya agar mampu menyimpan Ki yang lebih besar, tahan lama, dan lebih stabil. Kelemahan utama saya selama ini adalah cadangan daya. Harus dibiasakan secara mandiri secara terus menerus agar mampu menyeimbangkan kekuatan luar dan kekuatan dalam. Melebarkan daya dengan mengasah upaya.”

“Bagus sekali. Tepat seperti itu yang harus dilakukan. Jika sudah mencapai tahap kemanunggalan Kidung, tidak ada lagi yang bisa membantu selain dirimu sendiri. Jadi dengarkan suara dari dalam hati, dengarkan suara batin, lalu kembalikan hasilnya kepada alam. Semua yang berawal dari dalam, manfaatkan untuk kepentingan luar. Begitu pula sebaliknya. Apa yang diambil dari luar juga harus bermanfaat ke dalam.”

“Bagaimana kita memanfaatkan unsur alam ke dalam diri kita, Eyang?”

“Hidup manusia ditentukan oleh persepsi pikiran terhadap dunia luar, persepsi kemudian membentuk pandangan dan pengetahuan berdasarkan fakta. Jadi secara proses fakta akan menjadi informasi, informasi naik tingkat menjadi pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan menjadi ilmu. Dengan mempersepsikan alam sebagai sumber tenaga, maka kita bisa meningkatkan kemampuan dengan bantuan alam secara natural.

“Tapi bagaimana semua proses ini dimungkinkan? Dengan menggunakan apa kita mendapatkan fakta? Dengan menggunakan panca indera. Panca indera menerima semua informasi dari dunia luar yang kemudian diolah menjadi persepsi oleh pikiran kita. Nah, tatanan yang ada di dunia lantas tercipta dari persepsi-persepsi manusia
,” kata Eyang Bara memberikan masukan. “Apa yang dipahami dan dimaklumi, kemudian menjadi fakta atas dasar persepsi. Pemahaman ini dipupuk dan dikembangkan, lalu ditingkatkan sampai nantinya menjadi tahapan ilmu.”

“Paham, Eyang.”

“Tapi kamu tetap harus berhati-hati dengan persepsi. Ada kalanya persepsi justru akan membentuk kesenggangan. Sebuah pemikiran jumawa bahwa seorang aku adalah individu yang berdiri bebas tanpa batas dan tidak membutuhkan apapun yang ada di luar diriku. Pemikiran semacam itu adalah sebuah persepsi yang menjebak, menimbulkan keterpisahan diri dari alam. Ego yang secara struktur dibentuk karena adanya kesalahpahaman persepsi, suatu ilusi manusia mengenai keterpisahan dirinya dari segalanya karena merasa dirinya lebih di atas dari yang lain – baik itu persepsi akan manusia lain ataupun persepsi akan alam sekitar. Tidak menyadari bahwa aku adalah sebuah konsep dan ide yang merupakan representasi dari pemahaman manusia yang juga sebatas nalar, terlahir juga dari persepsi.

“Manusia adalah makhluk yang terhubung dengan segala hal, termasuk dengan manusia lain dan dengan alam sekitar. Kita sebagai aku bukanlah individu yang terpisah dari alam, kita adalah kesatuan. Memang seakan-akan tindakan yang kita lakukan adalah hasil dari pemikiran akal dan budi pekerti kita. Pemikiran yang merupakan pengejawantahan kecerdasan dan kebebasan kita sebagai manusia – meskipun kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada banyak tindakan yang lahir dari ketidakbebasan yang tidak dapat kita atur. Kita harus bernapas untuk hidup, kita akan kelaparan saat kekurangan makan, kita bakal kehausan karena kekurangan cairan, jantung akan berdetak tanpa harus diperintah, semua ini terjadi begitu saja tanpa kita putuskan, sebuah kenyataan yang menyatakan bahwa – kamu ada dan kamu bisa, tapi kamu bukan di atas segalanya, kamu adalah bagian dari kita, karena kamu pun memiliki batasan dan aturan sebagaimana halnya setiap makhluk di muka bumi ini.

“Jadilah satu dengan alam karena manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari keniscayaan pergerakan alam. Begitu kita memahami konsep kesatuan ini, konsep yang berbentuk aku ini melebur bersama alam, konsep individual ini akan menghilang, dan kita akan menjadi bagian dari keseluruhan
. Persepsikan dirimu sebagai bagian dari keseluruhan alam, bukan sebagai penguasa, bukan sebagai majikan, bukan sebagai pengatur yang telah dititahkan, bukan sebagai yang berhak memiliki, tapi sebagai bagian dari ciptaan yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

“Nanto, cah bagus. Dengan ini, tuntas sudah semua yang perlu kuajarkan. Selesai sudah semua pelajaran yang bisa kuberikan. Setelah ini – mungkin Aku akan jarang menemuimu. Aku hanya akan datang saat kamu benar-benar membutuhkan.” ujar Eyang Bara dengan kalimat lembut. Ia menepuk pundak si Bengal. “Takdir Trah Watulanang adalah takdir para naga. Jadilah seekor naga yang bercahaya dalam kegelapan, lalu terbang dan sebarkan kehangatan. Anak lanang, dengan ini kamu sudah menyelesaikan ajaran dariku.”

“Tidak.” Nanto menggeleng dan menolak, “Saya masih harus banyak belajar, Eyang. Rasa-rasanya masih banyak yang belum saya tuntaskan. Masih ada yang terasa kurang. Saya masih ingin belajar dan terus belajar.”

“Bagus! Bagus itu! Sudah pasti manusia tidak akan cepat berpuas diri. Justru bagus jika kamu terus menerus haus akan ilmu. Teruslah belajar tanpa henti. Jadikan kehidupan sebagai kawah candradimuka, jadikan cobaan sebagai pelajaran untuk menempa diri, dan jadikan kesulitan sebagai penghadang yang harus dicari solusi – bukan untuk disesali. Hanya kamu sendiri yang tahu, seberapa jauh apa yang telah kamu pelajari akan kau bawa terbang. Seberapa jauh kamu akan membawa kemampuanmu untuk mengharumkan nama keluarga.”

“Eyang…”

“Belajar, belajar, dan belajar,” bisik suara lembut seorang wanita di samping si Bengal, tangan halusnya lantas mengelus rambut Nanto. “Jangan pernah lupa pesan-pesan sebelumnya dari kami. Selalu makan makanan yang sehat, jangan mie instan terus. Aku sudah sering mengajarkanmu cara memasak yang lebih variatif. Bukan cuma belajar jurus-jurus saja. Belajarlah memasak, jangan menggantungkan semuanya pada calon istrimu. Bagaimana kalau kemudian kamu hidup sendiri?”

Nanto tersenyum, “Siap. Apakah sudah menentukan pilihan calon menantu yang disuka? Kadang-kadang mertua sering tidak setuju dengan calon menantu pilihan anaknya.”

“Siapapun yang kamu pilih, kami pasti setuju.”

“Kalau begitu…”

“Kecuali calon yang akhir-akhir ini. Bapakmu suka, Simbahmu yang gemblung itu apalagi. Tapi aku tidak setuju. Tidak elok rasanya murid mengencani gurunya sendiri, secantik dan seseksi apapun gurunya itu. Masih banyak yang lain di luar sana. Carilah yang lain.”

Nanto tertawa. “Dia sudah bukan guruku lagi, hubungan kami sudah bukan murid dan guru.”

“Dasar bocah ngeyel. Karepmu lah. Satu lagi pesan penting dariku… pakailah pengaman to, Nak. Tobat… tobat… mau berapa gadis lagi yang akan jadi korbanmu? Bertanggung jawab ya. Awas aja kalau sampai tidak. Cari pekerjaan yang layak dan bisa menghidupi semua yang harus kamu tanggung. Sudah berapa saja ini gadis yang menjadi korban karena ulahmu. Apalagi calon yang terakhir ini… kelak dia akan…”

Nanto tertawa.

“Jangan malah cengengesan. Banyak yang kelak harus kamu tanggung. Bisa bikin legenda sendiri mereka nanti. Oalah… aku memang telah salah mendidikmu. Jadi apa kamu sekarang ini…? Aku tidak membesarkanmu jadi penjahat kelamin. Jangan biarkan hasil perbuatan bejatmu itu terlahir tanpa ayah. Jadilah adil dan bertanggung jawab, jangan sakiti mereka – peluk mereka.”

“Baik, Ibu.”

Kali ini satu tangan memijat lembut pundaknya. Suara seorang pria dewasa membuat batin Nanto terasa damai, suara yang sudah sejak lama ia rindukan. “Akan ada peristiwa besar yang silih berganti membuatmu sangat pusing hingga tidak bisa tidur. Bukan karena kamu tidak mampu mengatasinya, tapi karena peristiwa demi peristiwa ini akan menentukan jalan hidup orang-orang yang kamu sayangi. Ingat baik-baik bahwa kamu hanya harus mencoba melakukan yang terbaik, meskipun hasil akhirnya tidak ada di tanganmu, dan tidak sesuai dengan harapanmu. Percayakan pada proses. Paham? Lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Kamu seorang Watulanang. Jadilah demikian.”

Nanto mengangguk.

Si Bengal menunggu satu suara lagi. Suara yang biasanya galak dan penuh canda. Tapi ada yang berbeda saat suara itu akhirnya muncul. Biasanya suara itu akan menjelaskan kilas kehidupan secara panjang lebar, bercanda tawa dan mengungkap rasa bahagia. Memaki-makinya dengan canda. Tapi entah kenapa hari ini hanya mengucapkan satu kalimat saja. Itupun dengan nada yang tidak enak didengarkan.

Suara itu seperti kosong, jauh, dan mengambang. Seperti ada jeda dan ketidakpungkasan, sesuatu yang membuat batin terasa hampa karena ada yang kurang. Ada yang tidak pas dan seperti biasanya. Ada yang berbeda.

Hanya satu kalimat saja yang terucap.

“Aku titipkan Sagu padamu, Le.”

Lalu tenang, terdiam, dan hilang. Sudah begitu saja. Tidak ada pesan tambahan? Tidak ada canda?

Tiba-tiba saja ada rasa sakit yang menyeruak di dalam dada. Sakit yang menjalar. Membuat perasaan benar-benar tidak nyaman. Padahal ini wisata batin, bagaimana bisa sakit itu terasa nyata?

Mata Nanto terbuka, ia terengah-engah. Entah kenapa dadanya sesak sekali. Seperti ada perasaan yang tidak nyaman yang memenjara batinnya. Apa yang membuat Kakek-nya meninggalkan pesan seperti itu? Kenapa perasaannya tidak nyaman? Apakah akan ada sesuatu yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang telah terjadi? Pertanda apakah ini?

Sagu?





.::..::..::..::.





.:: JUGA SUATU KETIKA



“Minum dulu, sayang.”

Asty melenggang dengan indahnya dan meletakkan nampan di atas lincak bambu. Wanita jelita itu mengenakan pakaian seadanya yang mungkin bisa ditemui dan dijual di pasar malam, bukan baju yang berkelas dan bukan pakaian yang sering malang melintang di media sosial para selebgram, benar-benar hanya baju sederhana yang dicuci beberapa kali pasti luntur. Namun tampil sederhana begitupun, si cantik itu tetap terlihat mempesona. Satu dua bulir keringat yang menetes di wajah bagaikan permata yang menambah indah wajah tanpa polesannya.

Di atas nampan terdapat dua gelas besar berisikan es teh manis. Sebelumnya Asty sudah menyiapkan buah-buahan segar di sebuah piring di lincak bambu yang sama. Sebuah hidangan yang akan menyegarkan hari yang panas kala mentari terik mulai bermain-main di antara awan.

Matahari bersinar dengan terang, menembus ke setiap sudut gelap yang sebelum pagi menyapa sempat disembunyikan oleh malam. Seolah menghindari sinaran, lintas bayangan masuk di antara rerimbunan dahan atau di bawah bebatuan. Bayangan yang enggan menyapa hadirnya pagi, beristirahat untuk berlari-lari kembali di gelap malam.

Asty duduk dengan santai di lincak rotan. Rambutnya yang sebahu dibiarkan diikat kucir dan melambai-lambai tertiup angin. Jika hanya berdua saja dengan si Bengal atau dengan sang putra, Asty tidak lagi mengenakan kerudungnya.

Nanto masih terus memukul dan menendang sandsack dengan gerakan berirama. Sesekali ia juga beralih ke wooden dummy yang digunakan untuk berlatih wingchun yang diajarkan oleh almarhum bundanya. Pemuda bengal itu sepertinya tidak mendengar panggilan dari Asty dan berkonsentrasi pada latihannya. Keringat deras mengalir di sekujur tubuh Nanto. Pemuda yang hanya mengenakan celana pendek selutut itu fokus dengan apa yang sedang dikerjakan, memastikan gerakan sudah dilakukan dengan sempurna. Tatapan matanya tajam lurus ke depan, seakan menusuk sampai ke jantung siapapun yang memandang. Bagi wanita terlihat tampan dan menarik, bagi pria terlihat berbahaya dan berkharisma.

Nanto sudah berubah sekarang. Asty memandangi sang kekasih dari tempatnya berada. Dia sudah bukan pemuda bengal yang lebih sering berkelahi daripada bersekolah. Dia sudah menjadi seorang laki-laki yang bisa diandalkan.

Saat Nanto beraksi, Sagu berteriak-teriak tak jauh darinya dan ikut melompat-lompat dengan senangnya. Ia selalu senang jika dapat berkumpul kembali dengan tuannya yang asli. Ia kini memang dirawat dengan baik oleh majikannya yang baru yang bernama Pak Di. Pak Di adalah sahabat Kakek Nanto. Mereka menyayangi Sagu seperti peliharaan sendiri. Sagu disayangi tidak hanya oleh keluarga Nanto tapi juga masyarakat desa sekitar.

“Maaas. Minum duluuuu,” sekali lagi Asty memanggil Nanto dengan merdu.

Si Bengal akhirnya mendengar panggilan itu. Ia berhenti berlatih dan tersenyum di bawah sinar matahari pagi yang bersinar terik. Dengan menggunakan handuk, ia menyeka seluruh peluh yang turun di wajah dan badannya. Si Bengal menyampirkan handuk kecil berwarna putih ke leher, menatap ke arah Asty, dan mengangguk. Nanto berjalan ke arah lincak sembari menyeka dahinya yang basah oleh keringat dengan menggunakan handuk yang sama.

Bersama Sagu, Nanto melangkah duduk di samping sang bidadari jelita. Dengan manja anjingnya itu mendengus-dengus dan duduk di kaki si Bengal.

“Duh, keringatmu itu lho.” Asty menggunakan kain handuk kecil yang masih kering dan menyeka keringat sang pemuda. Mulai dari atas, lalu ke dada. “Makan semangka dulu, Mas. Seger banget nih semangkanya. Tadi pagi aku beli di pasar. Kan lumayan kalau panas begini.”

Nanto tersenyum. Ia mengangkat dagu Asty dan memainkan bibir sang wanita jelita dengan telunjuknya, “Aku tahu yang lebih segar lagi. Sesuatu yang bikin aku gemas setiap hari.”

Jantung Asty berdegup kencang saat mata sang pemuda gagah itu menatapnya dengan pandangan yang sangat dalam dan penuh percaya diri. Benar. Nanto sudah berbeda, jauh berbeda dari pemuda yang menemuinya di ruang BK saat pertama kali pergi dari SMA CB ataupun pemuda yang pertama kali pulang ke kota. Dia jauh lebih percaya diri dan lebih tenang. Ada sesuatu yang misterius di kedalaman pandangan matanya.

“Eh, jangan ngawur, Mas! Ini di luar lho! Nanti kalau ada yang lihat…”

Ucapan sang bidadari terpotong. Nanto menurunkan wajahnya. Asty hanya bisa memejamkan matanya dan membiarkan bocah bengal itu melanjutkan niatnya. Bibir mereka bersua. Asmara yang sudah tak lagi terhalang menjadikan mereka bebas melakukan apa saja, menabrak norma, melewati pandangan masyarakat yang tak memahami kedua insan berbeda usia ini dulunya adalah guru dan siswa.

Untung saat itu sedang sepi dan sebagian masyarakat sudah berangkat untuk bertani atau ke ladang. Hanya burung-burung yang berkeciap yang menjadi saksi permainan asmara keduanya.

Bersuanya bibir mereka adalah bersuanya hasrat yang terpendam selama bertahun-tahun. Niat ingin memiliki yang tak mungkin bisa terwujud kini bisa dilampiaskan tanpa penghalang dan tanpa aturan. Mereka sudah dewasa dan berhak melakukannya. Status sudah tak lagi jadi penghalang rasa cinta. Betul kan? Betul atau tidak?

Saat bibir itu dilepas, masing-masing insan tahu kalau ciuman sayang itu bukan untuk yang terakhir kali. Mereka akan melakukannya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Hingga suatu saat nanti mereka sadar bahwa ada yang sudah harus dicukupkan – tapi itu bukan saat ini dan bukan hari ini, jadi nikmati saja. Nanto menatap mata Asty dengan lembut lalu ia mengetukkan dahinya pelan ke dahi wanita yang akan selalu ia kagumi sepanjang masa itu.

“Nggak mengajar hari ini?” bisik si Bengal. Ia mengangkat kepala dan mulai mengambil semangka yang sudah dipotong-potong kubus oleh sang kekasih.

“Enggak.” Asty menggeleng, “Hari-hari istirahat sebelum ujian - minggu tenang. Khusus hari ini guru-guru diliburkan sembari diminta untuk mengirimkan soal-soal ke panitia. Aku sudah selesaikan itu kemarin. Jadi hari ini aku hanya ingin kamu ajarin, Mas.”

“Ajarin apa?” si Bengal tertawa. “Kok malah kebalik aku yang ngajarin.”

“Ajarin bagaimana caranya menjadi orang yang mengagumkan seperti kamu. Masih muda tapi bikin klepek-klepek. Apa adanya, cuek, naif, peduli dengan sesama, dan setia kawan. Yang nyebelinnya sih ternyata kamu tidak setia pada pasangan. Sumpah sebel banget. Tapi yang aku puja adalah karena kamu selalu bangkit di saat terjatuh dan selalu mengusahakan yang terbaik bagaimanapun kondisinya.” Asty mengecup bibir Nanto, “Aku sayang sama kamu, Mas… tetaplah menjadi pemuda yang meskipun bengal tapi selalu berani memperjuangkan hak orang-orang yang berhak.”

Si Bengal tersenyum dan mengecup dahi wanita yang dulu pernah menjadi guru BK-nya. “Aku belajar semua itu dari guru BK tertangguh yang pernah aku kenal. Berani menghadapi anak-anak bandel selama bertahun-tahun di sekolah yang terkenal sebagai sekolahnya kaum berandalan.”

“Mbelgedes.”

“Serius. Aku jadi seperti sekarang berkat jasa guru BK paling sabar dan paling cantik sejagat raya. Terseksi, terindah, termanis, ter…”

“…terang bulan? Dasar gombal mukiyo.” Asty mencibir sembari menowel hidung si Bengal. “Sudah selesai latihannya?”

“Belum. Masih beberapa kali lagi. Ada beberapa tahapan yang harus aku lakukan sebelum berhenti hari ini. Masih mau menunggu kan?”

“Tidak perlu dibilangin gitu juga aku terus menunggu. Aku kan tidak kemana-mana, bakal ada di sisi kamu terus. Tapi tidak kemana-mana pun lebih sering dianggurin. Kirain bakal disayang tiap hari.” Asty mencibir, “Kamu lebih sering latihan dan meditasi daripada ngajak aku berduaan. Sekalian saja setelah ini diterusin lari sepuluh kilometer, push-up seratus kali, sit-up seratus kali, squat seratus kali, setiap hari, selama tiga tahun. Kan ntar jadi gundul tapi powerful.”

“Wahahahahah. Wah ngeri kalau itu. Bisa-bisa aku selalu bisa menang hanya dengan sekali pukul.”

“Mas…”

“Hmm?”

“Setelah menyelesaikan latihan di desa, Mas akan kembali ke kota? Atau masih akan tetap bertahan di sini untuk sementara waktu? Di kota sedang ada perang antara dua kelompok besar seperti yang Mas ceritakan dan temanku kabarkan. Agak berbahaya kalau Mas pulang. Kenapa tidak tinggal di sini dulu sampai semuanya aman?”

“Temanku? Temanku yang mana hayooo…?” ada sedikit nada cemburu di kata-kata yang diucapkan si Bengal.

“Kan memang dia temenku…”

“Siapa?”

“Kapten Ri.”

“Kapten Ri?”

“Iya, Kapten Ri.”

“Jadi selama ini kamu masih berhubungan dan kontak-kotakan sama dia?” Nanto berdiri. “Kalian chatting mesra begitu setiap hari? Oooh, bisa-bisanya ya di belakangku seperti itu? Oke, fine.”

Pemuda itu melangkah pergi dengan muka masam.

Buru-buru Asty mengikuti dan memegang tangannya. Menahan pemuda itu supaya tidak lebih jauh meninggalkan Asty. Wajah janda muda itu menjadi sangkat khawatir. “Ih, Mas apaan sih! Beneran kami cuma temenan aja! Jangan begini dong. Masa aku gak boleh temenan sama orang lain? Mas cek saja HP-ku, WhatsApp-ku. Tidak pernah ada yang aku hapus. Kalau sampai ketemu ada yang aneh-aneh boleh deh Mas marah. Lha ini tidak ada.”

Nanto menyentakkan tangannya hingga pegangan Asty terlepas. Bidadari itu sangat terkejut! Untuk pertama kalinya ia melihat Nanto seperti ini! Apakah dia benar-benar marah dan cemburu? Aduh… aduh…

Nanto menatap Asty dengan pandangan tajam, berbalik dan melangkah pergi.

“Maaas!!” panggil Asty dengan kalut, “Ja-jangan pergi… aku minta maaf… aku minta maaf! Aku tidak akan pernah lagi… tidak akan pernah lagi… Maaaaaaaaaass!!”

Sebenarnya Asty merasa tidak adil. Kenapa Nanto boleh berhubungan dengan teman-teman wanita lain sementara Asty sama sekali tidak boleh berteman dengan orang yang justru sangat baik dan perhatian? Ya okelah kalau Kapten Ri memang punya niat lebih dan menaruh hati padanya, tapi sampai saat ini Kapten Ri tahu bagaimana sikap Asty pada dirinya – tidak akan pernah bisa berjalan niat itu karena cinta Asty yang sekaang hanya untuk si kaleng sarden.

“Maaaaaaaaaasss!! Aku minta maaf!!”

Tiba-tiba Nanto berbalik lagi dan tersenyum lebar. “Becanda kok.”

Asty yang sempat panik langsung terbelalak, si cantik itu pun memukul lengan Nanto. “Ih! Apaan sih! Kirain beneran marahnya! Sebel banget tau gaaa!? Jeleeeeeeeek!!”

Nanto tertawa.

“Jeleeek!! Aku udah jantungan tahu ga sih!!” Asty cemberut, “jangan diulangi lagi!!”

“Kamu kan tahu aku tidak pernah bermasalah kamu temenan sama siapapun, Sayang. Aku juga tahu kok hubungan kalian berdua. Dia gagah, jujur, tegas, mapan, dan dewasa. Bukan tipe yang bisa dibandingkan denganku. Aku hanya pemuda yang masih hijau, naif, dan harus terus belajar. Kalau boleh jujur, kamu sebenarnya lebih pantas bersanding dengannya daripada denganku.”

Asty memukul lengan Nanto lebih keras.

“Aduh! Kok jadi beneran?” si Bengal protes sambil cengengesan.

“Ngomong begitu lagi nanti malam ga akan aku kasih jatah. Awas saja kalau berani-berani ngerayu.”

“Lho, kok gitu sih…? Lho kok marah?”

“Makanya kalau ngomong jangan ngelantur. Aku tuh sayangnya sama kamu, bukan sama dia! Sudah jelas-jelas aku setiap hari tidur sama kamu! Atau jangan-jangan… jangan-jangan kamu bosen? Benera kan? Sudah bosen kan sama aku? Mau cari yang lebih muda kan? Memang aku cuma janda, jadi bisa dipermainkan! Dasar cowok!”

“Ya nggak laaaaaah… Bu Asty mah selalu di hati dan tak kan pernah pergi.”

“Gombal. Curang banget tau ga? Mas aja pacarnya entah ada berapa. Lha aku yang baru temenan sama satu orang – temenan nih, bukan pacar! Bener-bener temenan, malah dicemburuin kayak apaan tahu. Gimana ga sebel! Pokoknya awas kalau sampai diulangi lagi! Ga lucu!”

“Hihihi. Berarti nanti malam masih dapet jatah kan?”

Asty mencibir. “Giliran begituan aja... huh! Dasar emang! Kalau emang Mas mau begituan, kenapa harus nunggu sampai nanti malam? Sekarang juga ayo.”

“Oho. Mau sekarang?”

“Ga juga sih. Kalau setelah ini Mas mau istirahat sebentar dan mandi, mungkin setelahnya kita bisa membicarakan masalah jatah.” Asty mengedipkan mata pada si Bengal yang langsung membuka mata dan tersenyum lebar.

Tapi sang bidadari kemudian menunjuk ke arah jam kotak kecil berwarna putih seharga lima belas ribuan yang dibawa oleh Nanto dari kontrakannya. “Waktumu tidak banyak, kaleng sarden. Aku beri waktu satu jam dari sekarang untuk melakukan itu.”

“Siaaaaaaap!”





.::..::..::..::.





Rumah om Janu cukup mewah untuk ukuran rumah di desa. Salah satu fasilitas yang ada adalah kamar mandi yang dilengkapi dengan shower sementara rumah-rumah lain masih mengandalkan bak mandi dan ember. Nanto mandi dengan santai, mencuci badan supaya bersih, melepas semua penat dalam hati.

Saat ini Nanto hanya tinggal bertiga saja bersama Asty dan Adek putra Asty. Setelah dijemput pulang ke kota oleh om Janu nanti, mereka bertiga akan sama-sama meninggalkan rumah pinjaman ini.

Nanto tenggelam dalam nikmatnya mandi, merasakan segarnya air membasuh badan. Dia bahkan tak mendengar ketika pintu kamar mandi dibuka. Nanto memang sengaja tidak menguncinya. Langkah kaki lembut berkecipak masuk ke dalam, mensejajari si Bengal dan menyelinap di belakangnya.

Nanto tentu saja sadar siapa yang datang. Tangan pemuda itu merenggang untuk memeluk tubuh wanita yang tiba-tiba saja masuk ke kamar mandi.

“Jangan berbalik,” bisik suara di belakang si Bengal. Suara yang menghentikan niat pemuda itu untuk membalikkan badan dan memeluk sang wanita. Tidak perlu jadi detektif untuk menyadari bahwa sosok di belakang si Bengal adalah Asty. “Aku hanya ingin… bersamamu…”

Asty menggerakkan tangannya ke punggung si Bengal, menelusurinya, mengikuti bentukan otot-ototnya dengan lembut. Mulai dari bahu, ke tengah, lalu membelai sepanjang tulang punggung ke bawah. Turun dan turun dan turun sampai akhirnya sampai di pinggul.

Nanto mendesah, menikmati air pancuran yang mengguyur tubuhnya dan belaian lembut di punggung oleh sang kekasih hati.

Asty menempatkan jari-jemarinya di punggung sang pemuda, lalu menekan dan menggosok, menggeser dan memijat beberapa gundukan-gundukan otot yang menegang. Nanto mendesah kencang ketika Asty melakukannya. Si cantik itu pun melanjutkan. Menekan lebih dalam dan lebih kuat. Setelah semua yang kencang mulai terurai, Asty mengambil sabun cair dan mulai membasuh punggung sang kekasih.

“Terima kasih, sayang…” bisik Nanto. Pemuda itu menyandarkan kedua tangannya di dinding kamar mandi, di bawah pancuran air. Ia menundukkan kepala supaya air turun di atas kepala dan mengenai punggungnya.

“Hei… jangan buru-buru. Masih banyak yang harus disabuni sebelum dibilas.”

Nanto tertawa.

Sesaat kemudian pemuda bengal itu terkesiap! Tawanya terhenti karena ada tangan bersabun yang tiba-tiba saja meremas kantung kemaluannya dari belakang. Widih. Nakal banget ya ibu BK-nya? Nanto tersenyum menanggapi. Tangan lembut itu menyentuh, mengelap, mengelus, dan memainkan. Kalau hanya mengoleskan sabun, kayaknya ini jauh lebih lama dari seharusnya.

“Kamu menyukainya?” bisik Nanto.

“Banget.”

“Apa yang kamu suka? Kenapa suka?”

“Punya Mas… mmmhhh… karena… mmmhh… begitulah…”

“Begitulah gimana?”

“Pokoknya aku suka. Titik.” Asty membalasnya perlahan dengan manja. Suaranya terdengar tercekat. Janda muda itu juga tengah menahan ribuan rasa yang menghujaninya. “Mmmhhh… Aku selalu suka punya Mas.”

“Enak banget kamu bersihkan begini.”

“Oh ya? Hmmm… mmmhhh…” Asty mengerang lembut selama ia membersihkan kantong kemaluan Nanto. Kini kedua tangan sang ibu muda jelita melingkar di pinggang si Bengal, tujuannya adalah untuk membersihkan seluruh bagian kejantanan sang pemuda kesayangan. Dada Asty nan sentosa melekat di punggung si Bengal, memberikan nuansa kenyal nan erotis yang selalu diidam-idamkan setiap pria yang pernah berjumpa dengan sang ibu muda. Asty mendesah lirih, “Aku selalu menyukai milikmu, Mas… selalu…”

Batang kejantanan Nanto mulai mengencang dan membesar.

Asty memejamkan mata saat ia mulai mengurut dan menyentuh batang kejantanan sang kekasih. Nanto melenguh dan merasakan sentuhan tangan sang ibu muda jelita yang selalu menjadi idolanya itu. Kemaluannya dipenjara oleh kenikmatan jeratan tangan nan matang, sabun membuat batang itu dengan mudahnya menyusuri jemari lembut Asty. Untuk naik dan untuk turun, naik dan turun, naik dan turun, lalu naik dan turun.

“Ternyata Bu Guru nakal ya?”

“Nakal gimana? Kan hanya bersihin aja.” Asty tersenyum. Wanita jelita itu memamerkan deretan gigi sempurna yang sayangnya tak terlihat oleh si Bengal. Asty perlahan-lahan mengecup punggung sang kekasih sementara tangannya terus menggosok dan membelai batang kejantanan Nanto. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri.

Lidah Asty bermain di punggung Nanto, menyusuri setiap jengkal bagian lebar sang pemuda idaman. Kadang mengecup, kadang mengoleskan bibir, kadang menjilat, kadang menggigit. Semua dilakukan Asty sementara tangannya terus beraksi. Satu tangan naik turun batang, satu tangan meremas-remas bola-bola.

Nanto kian menegang, “Kayaknya sih sudah bersih banget yang depan itu.” Pemuda itu mencoba berbalik. “Giliranku memandikanmu…”

Asty menolak. Janda muda itu mengencangkan cengkramannya di batang kejantanan sang kekasih, “Eh, belum dong! Belum bersih. Harus bener-bener bersih… supaya… supaya… higienis.”

Nanto tertawa.

Asty mempercepat gerakan naik turun tangannya, merasakan panjang dan besar ukuran batang milik sang pemuda. Tidak lupa ia memutar jemarinya sedikit di ujung botak yang menambah rangsangan bagi si Bengal juga bagi dirinya. Napas keduanya berpacu. Birahi mereka sama-sama terpicu. Tersengal-sengal dan seakan-akan memberitahu, bahwa semakin lama semakin nikmat meski berbatas waktu. Asty sudah mulai tak tahan. Ia mendesah-desah sendiri. Bagaimana ini? Aduh, bagaimana ini? Dia ingin sekali… dia butuh sekali… dia mau…

“Mmmhh… sepertinya sudah cukup bersih kalau sekarang…” Suara Asty seperti tertahan di dalam dada. Nadanya terdengar malu-malu.

“Oh, begitu.” Si Bengal paham.

Nanto membalikkan badan, merangkul bahu Asty, lalu mendorongnya supaya bersandar di tembok di bawah pancuran. Air mengguyur tubuh mereka berdua. Nanto baru melihat kalau ternyata Asty sudah telanjang bulat. Buah dadanya nan sentosa menghunjuk ke depan, seakan minta dibelai, dan di belakang, pantat bulat merona mengundang untuk diremas dan disayang.

Bagaimana mungkin di dunia ini ada makhluk secantik, seindah, dan seseksi Asty? Bukankah itu tidak adil untuk wanita lain?

Kedua tangan si Bengal langsung beraksi. Yang satu meremas buah dada, yang satu lagi meremas pantat bulat menggiurkan. Sementara kedua tangan Nanto berkerja membangkitkan selera, kedua insan yang dimabuk asmara itu bertatapan penuh arti, mengirimkan rasa sayang hanya dengan pandangan. Pandangan yang dipahami keduanya sebagai rasa ingin bersama, rasa ingin bersatu, sekarang juga, saat ini juga, sekarang.

“Aku sayang kamu, Mas…” bisik lembut sang bidadari jelita. Asty memejamkan mata, membiarkan bibirnya naik untuk menemukan pasangannya. Bibir keduanya bertemu. Saling mengatup dan menikmati elusan. Saling merasakan rasa sayang menggunung yang akhirnya diwujudkan.

Tangan jahil Nanto turun ke bawah.

Menuruni perut langsing sang dewi, lalu turun ke bawah lagi, ke arah gundukan semak mewangi yang dicukur rapi dan bersih, lalu turun ke bawah lagi, ke tujuan utama, ke lipatan surgawi. Jari nakal si Bengal mengelus-elus gerbang kewanitaan milik Asty, mencari tonjolan kecil dan mulai memainkannya. Ibu muda itu pun melenguh dan mendesah, terjebak dalam hasrat, antara keinginan dan kebutuhan.

“Massss… mmmhhh… Maaaaasss…”

“Enak?”

Asty mengangguk tanpa suara.

“Suka?”

Asty kembali mengangguk. Tubuhnya menggelinjang menandakan kenikmatan. Jemari Nanto beraksi, memainkan belah bibir bawah nan atraktif milik sang dewi. Lalu jemarinya diselipkan, pertama hanya ujungnya saja, lalu perlahan-lahan masuk ke dalam. Asty menggigit bibir bawah dan mendesah. Kedua tangannya berpegangan erat pada bahu Nanto.

“Eeennnnghhhh…”

“Suka?”

Asty mengangguk.

Nanto memasukkan jari yang kedua dan menggerakkannya maju mundur. Tubuh Asty kelojotan.

“Heeenggghhhhh!!”

“Suka?” tanya Nanto.

Asty mencibir dan protes pada si Bengal, “Nakal kamu.”

“Kalau tidak nakal, bagaimana mungkin bisa masuk ke BK dan ketemu guru BK paling cantik sejagad?”

“Masssss…”

Saat membuka mata, pandangan mata sayu Asty menyampaikan satu pernyataan yang pasti. Dia sudah tenggelam dalam gelombang tinggi nafsu birahi. Nafsu yang ingin dituntaskan dalam satu padu padan dengan si Bengal. Harus dengan si Bengal. Dia hanya ingin bersama dengan si Bengal. Hanya dengan Nanto.

“Mas… tolong…”

“Tolong?” Nanto tersenyum, “tolong apa?”

Asty memandang ke arah sang kekasih dengan mata penuh hasrat – lalu memohon dengan pandangan manja dan suara pasrah, godaan yang gak ada obat. Dipandangi seperti itu oleh Asty damage-nya parah. “A-aku mau, Mas. Aku pengen…”

“Pengen apa? Mau diapain, Bu Guru?” kumat nakalnya si Nanto pun kembali menggoda. “Muridmu ini tidak tahu apa yang Bu Guru inginkan. Mau apa sih? Ajarin dong, Bu.”

“Maaaaass… kok gitu sih? Nakal kaaaan…” Asty cemberut dan merajuk, sifat manjanya keluar. Sifat manja yang dulu tak terbayangkan akan ia tunjukkan di hadapan Nanto sang murid. Guru macam apa yang saat ini menggeliat dalam pelukan sang siswa? Asty merasa dirinya bagaikan gadis remaja usia belasan yang luruh dimabuk asmara.

Kuatkah dia? Tidak.

Asty akhirnya menyerah pada godaan, pada tusukan jemari si Bengal di gerbang kewanitaannya. Dia sudah sangat berhasrat. Harus segera dilampiaskan. Dengan mata berlandaskan birahi, Asty memeluk si Bengal, menatapnya dalam-dalam, jari jemari Asty mengelus batang kejantanan si Bengal yang sudah mengeras. “A-Aku pengen dimasukin, mu-muridku sayang… aku pengen… pengen punyamu… masukin punyamu, Mas. Masukin ke punyaku…”

“Masukin ke tempatnya Bu Guru?”

“Iyaaaa… udah cepetaaaan…”

“Saya kan murid, Bu… yakin boleh dimasukin ke dalam?”

“Aaaaaaah, cepetaaaan… nakal banget sih!”

Nanto nyengir bandel dan mulai mencium bibir Asty nan seksi dengan buas. Keduanya berpagutan seperti tiada hari esok. Lidah saling terkait dan terikat. Bibir mereka beradu, mata terpejam, fokus pada nafsu. Bibir Asty adalah salah satu keindahan dunia yang seharusnya masuk ke dalam eight wonders of the modern world saking indahnya.

“Mmmmhhh….” Tidak ada kata, hanya gumaman. “Mmmmhhh…”

Tak perlu ada kata terucap, rasa sayang terungkap melalui pelukan, dan ciuman yang menyatukan hasrat dan harap. Bibir si Bengal tak ingin berpisah dari bibir Asty, seakan sudah betah tinggal dan menetap.

Nanto melepas pagutannya dan menjelajah leher Asty dengan bibirnya. Meninggalkan jejak-jejak merah di sana. Lalu turun ke bawah, ke buah dada sentosa yang selalu menggoda semua pria. Nanto menjajah bongkahan kenyal itu dengan lidahnya.

Asty memejamkan mata, napasnya satu dua. Berat dan sesak. Janda muda jelita itu berbisik perlahan, suaranya merdu dan sopan. “Boleh minta dimasukin sekarang, Mas…? Aku sudah tidak tahaaaan… tangan kamu nakal bangeeet… boleh?”

Nanto tersenyum, mengeluarkan jarinya dari liang cinta Asty dan menghunjukkan jemarinya tepat di hadapan sang bidadari. “Sudah basah…”

Asty menatap ke arah si Bengal dan mengangguk. Ia bersiap, satu kakinya sudah diangkat dan diletakkan ke tembok sisi lain untuk memudahkan Nanto mengatur pertemuan badan mereka. Batang kejantanan bocah itu sudah tegak bagaikan bendera merdeka, bibir surgawi sang bidadari sudah menunggu bagai rindu lama tak sua.

Nanto mendorong batang penisnya ke bibir vagina Asty.

Perlahan-lahan, menyesuaikan nafas dan hati. Sedikit demi sedikit. Lenguhan pelan sang bidadari jadi indikasi kenikmatan tak terperi. Ujung gundul batang sang pemuda sudah melesak ke dalam liang cinta. Rasanya menyajikan sensasi, letupan sengatan nikmat dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Mmmhhh…”

“Terus?”

“He’emmmmhhh…”

Batang penis Nanto melesak makin dalam, menjajah lokasi yang kini menjadi miliknya pribadi. Area yang dipersembahkan untuk sang pemuda demi menaiki puncak kenikmatan birahi. Melesak makin dalam, menghunjam, dan merajam. Ditarik, dimasukkan, ditarik, dimasukkan, ditarik, dimasukkan. Sekian kali, berulang kali, berkali-kali.

Tubuh Asty tersengal-sengal, bergoyang-goyang naik turun, napasnya satu dua, nyaman dirasa. Merem melek sang ibu muda, dipermainkan oleh sang pemuda perkasa.

Semakin lama Nanto bergerak lebih cepat, lebih kuat, lebih bertenaga, tapi terukur dan tertahan, dia tidak ingin menyakiti sang kekasih hati. Asty membuka mata dan tersenyum, ia mengecup bibir si Bengal, lalu menggigit bibir bawahnya. Bibir janda muda jelita itu lalu mendarat di telinga si Bengal dan berbisik, “Lebih kencang lagi boleh?”

Nah begitu dong.

Nanto menarik penisnya, meninggalkan ujung gundul tetap di dalam liang cinta sang dewi, lalu menghentak dan menancapkan batang kejantanannya tanpa ampun. Lebih kencang, lebih kuat, dan penuh tenaga. Asty memekik dan menjerit-jerit lirih sembari melenguh keenakan. Kadang meneriakkan nama si Bengal saat batang kejantanan Nanto masuk ke bagian terdalam liang cintanya.

Kedua tubuh berlainan jenis itu saling menumbuk satu sama lain, membangun sinergi yang makin meningkat untuk kemudian mencapai puncak pelepasan. Saat mereka berpelukan, Nanto bisa merasakan tajamnya hujaman jemari Asty menusuk kulitnya hingga ke dalam – wanita jelita itu jelas sedang mencoba menahan kenikmatan yang tak kuasa ditahan. Ia tenggelam dalam fantasi yang menjadi nyata. Siapa dulu yang bisa menyangka bahwa guru BK seperti Asty akan bersetubuh dengan muridnya sendiri?

Keduanya berciuman sementara kemaluan mereka saling menyatu. Air deras dari pancuran yang mengalir tidak lagi dipedulikan saat keduanya beradu nafsu, saling mengejar ketertinggalan mencapai puncak kenikmatan. Sama-sama saling membantu.

Bagai mendaki, semakin lama semakin naik. Bagai berpacu, semakin lama semakin kencang. Bagai beradu, semakin lama semakin menghentak. Kenikmatan itu tak lama lagi akan dapat diraih. Berdua. Bersama. Naik, terus, terus, teruuuuus, teruuuuuuuuusssss!!

“Enaaaaakghhh!! Enakkghh!! Enaaaaaaakkkggghhh!!!”

“Aaaaaahhhhhhhhhhh!!!”

Akhirnya puncak terlampaui.

“Hahh… hahh… hahh…”

Sambil mengatur napas, Nanto mengistirahatkan kepalanya di pundak sang bidadari. Air pancuran masih mengguyur mereka. Ada cairan kental yang meleleh dari liang cinta sang ibu muda. Asty memeluk Nanto dan mengecup pelipisnya, ia menggesekkan pipinya di pipi si Bengal.

“Enak?” tanya Asty.

“Selalu.”

“Kamu suka?”

“Selalu.”

Asty tersenyum, seperti biasa. Itu hanya pembuka. Masih akan ada sesi-sesi berikutnya di kamar tidur setelah ini. Mereka berdua menikmati sisa waktu selagi masih bisa.

“Lebih baik kita udahan mandinya. Kelamaan ini diguyur air. Bisa-bisa malah masuk angin,” bisik Asty.

Nanto tertawa. “Iya deh.” Pemuda itupun mematikan keran pancuran. Menghentikan derasnya air yang sejak tadi menyiram mereka berdua.

“Mas…”

“Hmm?”

“Mau lanjut lagi?”

“Jelas. Masih boleh kan? Masa cuma begitu saja?”

“Sudah pasti boleh. Di kamar saja.” Asty mendekatkan kepalanya dan mencium bibir si Bengal. Penuh rasa, penuh kasih, penuh penghayatan. Ibu guru itu benar-benar bucin terhadap sang peuda perkasa. Asty melepas bibirnya, ada liur yang menempel di antara bibir keduanya, membentuk jembatan. Asty berbisik perlahan, “Tubuhku hanya untukmu, sayang. Hanya buat kamu.”

Nanto menatap sang kekasih, lalu kembali mengecup bibirnya.

Malam itu akan menjadi malam yang panjang. Seperti yang biasa mereka lalui setiap hari selama berada di desa ini. Perwujudan pernyataan rasa yang dulu terpendam dan kini terlampiaskan.

Malam ini akan jadi malam yang sangat panjang.





.::..::..::..::.





.:: MALAM SEBELUM PULANG



Menatap rembulan membulat melingkar di angkasa malam yang terselubungi awan, rasanya syahdu dan tenang. Malam bermandikan bintang memang jarang ditemui di kota, apalagi di tengah siraman angin lembut yang menyejukkan seperti di desa. Pepohonan rindang berjajar menyelubungi perbukitan mengikuti sungai di setiap aliran. Meski gelap menyelimuti cakrawala dari timur ke barat, namun senandung hewan malam terasa menentramkan.

Inilah alam.

Duduk berdua di lincak bambu yang berada di tempat si Bengal terbiasa berlatih, om Janu dan Nanto membicarakan berbagai permasalahan di cabang-cabang ilmu kanuragan, bagaimana mengelola kelompok, dan bagaimana hidup di kota.

Om Janu tersenyum, ia menepuk pundak si Bengal. “Sudah saatnya, Le. Besok kita akan meninggalkan desa dan kembali ke kota. Sudah siap?”

Nanto mengangguk dengan yakin.

“Sudah dapat semuanya dari gua itu?” tanya om Janu dengan nada bercanda, namun sebenarnya sedikit menyelidik.

Nanto hanya tersenyum, dia tidak menjawab.

Om Janu sebenarnya bisa saja mengejar dan bertanya lebih jauh, tapi si Bengal sekarang memiliki sesuatu yang berbeda, ada aura yang lebih matang dan dewasa darinya. Tidak ada keragu-raguan dalam melangkah. Dia kini jadi lebih percaya diri. Om Janu menyadari hal itu dan tidak menuntut jawaban, dia hanya tahu si Bengal telah menghadapi perubahan.

Nanto malah balik bertanya karena om Janu tidak segera melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana keadaan di kota, Om? Pertempuran masih berlangsung?”

“Masih. JXG versus QZK masih terjadi. KRAd juga sudah mulai turun ke arena dengan menantang JXG, kita belum tahu perkembangan dari Dinasti Baru. Tapi kalau BMW terus menerus terdesak, pasti dia akan bergerak. Dinasti Baru saat ini memang masih terlihat adem ayem, tapi posisi dan wilayah operasionalnya makin dikikis oleh JXG. Itu pasti akan membuatnya bergerak.”

“Apa tidak dimungkinkan dilakukan pertemuan saja untuk membahas hal ini di antara keempat pimpinan, Om? Bukankah lebih baik diadakan negosiasi dan pembicaraan secara dewasa sebelum wilayah pertempuran meluas dan korban yang jatuh lebih banyak?"

“Sebagai pimpinan Aliansi kamu pasti sudah tahu kalau pertarungan antara QZK dan JXG tidak bisa dihentikan semudah itu, dan juga sudah bisa dipastikan kalau wilayah pertarungan akan semakin meluas dengan melibatkan semua kelompok di kota. Perang besar seperti ini sudah pernah terjadi dan pasti bakal terulang.”

“Apakah Tim Garangan tidak akan menurunkan pasukan, Om?”

“Tim Garangan bakal kewalahan menghadapi letupan-letupan pertempuran sporadis antara tiga sampai empat kelompok yang saat ini tengah bertikai. Semua kelompok saling menjatuhkan dan saling menyerang. Benar-benar tidak ada kawan. Semua jadi lawan.” Om Janu berjalan ke mobil sembari menjelaskan, dia membuka bagian bagasi dan memasukkan beberapa keranjang salak yang sejak tadi dibawa si Bengal. “Kamu tidak perlu khawatir, toh tujuan utama kita kembali ke kota bukan untuk menjalani pertarungan melawan kelompok manapun. Kita ke kota untuk menghadiri pesta keluarga besar kita, pertemuan akbar pertama Trah Watulanang. Saudara-saudara kita pasti tidak sabar untuk bertemu denganmu.”

“Sama sih. Aku juga tidak sabar bertemu dengan mereka, Om. Penasaran siapa saja anggota keluarga Trah Watulanang yang masih ada.”

“Begitulah, Om dan Tante-mu sudah pasti akan datang, ditambah kehadiran Pakdhe Wira dari pulau seberang. Akhirnya setelah puluhan tahun, keluarga kita akan berkumpul kembali, Le. Dari undangan yang tersebar, ada sekitar lima puluh orang anggota keluarga Trah Watulanang yang akan hadir.”

Asty berjalan mendekati Nanto dan om Janu sembari membawa sebuah keranjang berisikan mangga.

“Loh, kok njenengan bawa sendirian.” Om Janu geleng-geleng kepala, “Nanto ini gimana sih, ayo bantu Mbak Asty memasukkan buah-buahannya. Sudah, Mbak. Biar si Nanto saja yang bantu saya. Ini jadinya malah merepotkan njenengan.”

Nanto garuk-garuk kepala yang tidak gatal sembari meringis.





.::..::..::..::.





.:: KEESOKAN PAGINYA



“Kopi susu sepertinya tepat dinikmati dengan suasana seperti ini, Pak Mangku. Apalagi kalau kopi susunya pakai rumus 123. Satu sendok teh kopi, dua sendok teh krimer, dan tiga sendok teh gula.” Denting suara sendok membentur pinggiran gelas menjadi musik yang indah dipadukan dengan aroma kopi yang merebak ke seluruh ruang. Om Janu menatap keluar jendela kamarnya. “Bagaimana laporan terakhir?”

“Sendiko dhawuh. JXG sedang melakukan persiapan untuk menghadapi KRAd di ajang Tarung Antar Wakil yang akan segera dilangsungkan. Pak Zein secara resmi telah menerima tantangan dari KRAd. Jadwal sudah dipastikan dan venue sudah disiapkan. Uniknya jadwal pelaksanaan Tarung Antar Wakil itu akan bersamaan dengan rencana pesta Trah Watulanang.”

“Oh ya? Di hari yang sama dengan pelaksanaan pesta Trah Watulanang?”

“Leres. Betul sekali. Jadi di hari itu njenengan sibuk, Pak Zein juga sibuk. Apakah ini semacam janjian?”

Om Janu tertawa renyah. “Menarik sekali... menarik.”

“Menurut njenengan siapa yang akan turun dari pihak JXG dan KRAd?”

Om Janu mengangkat bahu, “Aku sebenarnya tidak peduli. Tapi akan jadi sangat menarik apabila yang terjadi adalah yang tidak disangka-sangka. Bukankah sangat seru nantinya jika justru KRAd yang mampu memenangkan pertarungan itu? Hahhaaha. Apa kata dunia? Bakal heboh. Hahahahaha.”

“JXG akan mengamuk memberantas KRAd.”

“Benar sekali tapi nama JXG akan tercoreng selamanya. Sebelum itu terjadi, menurutku Pak Zein akan turun sendiri. Untuk memastikan wilayah selatan tetap aman di tangan JXG, Pak Zein harus turun tangan dan menghabisi Bambang Jenggo. Mereka tidak ingin selatan jatuh ke tangan KRAd.”

Pak Mangku memeriksa catatan di handphone. Sepertinya ada satu berita lagi yang belum dia sampaikan ke sang pimpinan, “Ditengarai kalau Tim Garangan juga sudah dipastikan akan mulai bergerak dalam waktu dekat. Kita baru saja memperoleh informasi dari telik sandi kita di Mabes Garangan kalau mereka akan melakukan operasi pembersihan. Kegelisahan warga kota akan menjadi alasan utama pergerakan mereka.”

Om Janu mengangguk lagi dan tersenyum.

Pak Mangku terlihat bahagia, “Semua tepat seperti yang sudah njenengan perkirakan. Luar biasa.”

Om Janu mengedipkan mata pada Pak Mangku. Tangan pimpinan QZK itu masih terus mengaduk gula dan krimer di dalam cangkir kopi. Ia sedang berdiri di depan jendela yang mengarah keluar. Dari tempatnya berdiri, om Janu bisa menikmati taman nan asri yang ada di depan rumah tetirahnya dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di sana.

“Betul sekali, Pak Mangku.” Om Janu mengangguk-angguk puas, “Satu persatu bidak telah ditempatkan di papan catur, saatnya menunggu reaksi. Ahh. Dunia terasa jadi sedikit lebih indah kalau semua rencana berjalan dengan lancar. Bukankah demikian, Pak Mangku?”

“Sendiko dhawuh.” Pak Mangku menundukkan wajah.

Om Janu melihat seperti ada sesuatu yang mengganjal pikiran abdi setianya itu. “Ada yang mau sampeyan tanyakan?”

“Nuwun sewu, dengan situasi yang menguntungkan kita ini, apakah tidak sebaiknya kita melancarkan serangan ke lawan yang tengah kerepotan? Tarung Antar Wakil akan membebani JXG. Sangat pas sekali sepertinya untuk bergerak ke selatan. Mumpung sedang terjadi kekacauan.”

Om Janu menyeruput kopi susunya. Ah. Sudah pas.

“Pak Mangku, dalam The Art of War, Sun Tzu mengatakan in the midst of chaos, there Is also opportunity. Dalam kekacauan, akan ada kesempatan. Jadi jawaban pertanyaanmu itu, Pak Mangku… adalah ya. Tapi kita harus pintar melihat peluang.” Om Janu terkekeh, seperti melihat sebuah bentangan rencana yang tidak diketahui oleh siapapun, “Kekacauan memang akan terjadi, tapi bukan berarti kita lantas akan bertindak bodoh dengan membabi-buta. Kita tetap harus mengkalkulasi tiap langkah dengan baik. Kebetulan sekali apa yang terjadi saat ini sudah sesuai dengan rencana awal, jadi tetap tenang dan pastikan semua rencana berjalan. Pak Zein bukan orang bodoh, dia pasti sudah siaga dengan segala kemungkinan.”

“Sendiko dhawuh.”

“Kita harus tetap subtle dan bertindak sesuai situasi. Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, siapapun yang berhasil menguasai kekacauan baik itu datang dari diri sendiri maupun lawan, maka dia yang akan menjadi pemenang.”

“Sendiko dhawuh.”

“Baiklah. Kita bicara masalah lain saja dulu.” Pimpinan QZK itu mengalihkan pembicaraan. “Sebentar lagi ajang pertemuan Trah Watulanang akan diadakan. Apakah semua persiapan sudah selesai? Aku tidak ingin setengah-setengah menjamu para saudara. Ini kali pertama seluruh anggota Trah Watulanang dipertemukan, jadi harus benar-benar rapi dari A sampai Z.” kata om Janu sembari mempersiapkan meja kerjanya untuk menandatangani beberapa surat yang harus ia berikan ke perangkat desa terkait sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah.

Om Janu mengoles jemarinya di ujung meja. Ada debu di sana. Pak Mangku buru-buru mengambil lap dan membersihkannya.

Sudah agak lama sejak terakhir kali om Janu mengunjungi tempat tetirahnya ini. Jadi mejanya pun harus dibersihkan. Seluruh ruangan sebenarnya sudah dibersihkan oleh Pak Mangku yang dibantu oleh Asty yang untuk beberapa waktu tinggal di tempat itu bersama si Bengal. Tapi tentu saja mereka tidak menyentuh bagian-bagian privat dari meja dan lemari om Janu.

“Sampun. Untuk persiapan sudah hampir seratus persen. Katering dan gedung semua sudah dipersiapkan untuk siap pada hari H. Seperti yang njenengan instruksikan, kita akan memakai hotel dan gedung yang ada di utara perempatan – di timur candi Prambaru.” jawab Pak Mangku.

Om Janu mengangguk-angguk. Dia kembali berdiri dan berjalan menuju jendela. Dari jendela di lantai dua ini, dia bisa melihat kesibukan Nanto dan Asty yang sedang memasukkan koper dan beberapa hasil bumi dari kebun om Janu ke dalam kendaraan yang jika sudah siap akan segera kembali ke kota.

“Siapapun yang berhasil menguasai kekacauan baik itu datang dari diri sendiri maupun lawan, maka dia yang akan menjadi pemenang.” Om Janu mengulang quotes yang tadi dia ucapkan.

Tidak beberapa lama setelah mengamati kedua sejoli itu, Om Janu lantas mengambil ponsel yang ada di laci lemari kecil di samping jendela. Sebuah ponsel jadul Nopia seri 5510. Om Janu menyalakan ponsel itu dan mengirimkan satu pesan SMS ke seseorang. Bisa nyala saja sudah ajaib, lebih ajaib lagi ternyata masih berfungsi dengan sangat baik.

“Ujian pertama,” bisik om Janu.

Ada senyum aneh di wajah sang pimpinan QZK itu. Senyum yang tak terlihat siapapun kecuali Pak Mangku. SMS apa yang dikirim? Pada siapa? Mungkin hanya Pak Mangku yang tahu apa yang sedang direncanakan oleh sang pimpinan.

“Sebentar lagi kita akan pulang – rumah tetirah ini bisa jadi tidak akan dipakai untuk sementara waktu, kemungkinan bakal aku sewakan. Ada baiknya kita mengamankan beberapa barang yang tidak boleh ada di tempat ini.”

“Ndoro?”

“Ambilkan barang itu, Pak Mangku. Kita bawa pulang ke kota.”

“Barang yang…?”

“Barang itu. Masih ada satu di rumah ini. Di lemari rahasia yang ada di bawah tangga. Ambilkan.”

“Oh. Sendiko dhawuh.” Pak Mangku bergegas.

Om Janu masih terus memperhatikan gerak-gerik Nanto dan Asty sementara Pak Mangku menuju ke ruang penyimpanan untuk mengambil sesuatu yang diminta oleh om Janu. Pimpinan QZK itu masih terlibat pertempuran dengan JXG dan seharusnya tidak boleh lengah sedikitpun. Itu sebabnya hanya bisa sebentar saja datang ke tempat ini. Beruntung Pak Zein sedang disibukkan oleh urusan KRAd sehingga sudah dipastikan tidak akan ada pertikaian JXG dan QZK untuk sementara waktu ini.

Nanto sang anomali. Nanto sang pemuda pilihan. Yang mana sebenarnya peran bocah itu?

Bagi keluarga, Nanto adalah harapan Trah Watulanang untuk kembali menjadi keluarga yang dikenal sakti mandraguna. Nama Watulanang harus agung, tidak dikenal sebagai keluarga penjahat, bukan pula keluarga pengkhianat. Sekarang semua beban keluarga ada di pundak Nanto, pemuda yang menguasai Kidung Sandhyakala dan Nawalapatra 18 Serat Naga – warisan utama Trah Watulanang. Kembali berkibarnya nama Watulanang di dunia persilatan, akan bergantung pada si Bengal.

“Nuwun sewu.” Pak Mangku masuk kembali ke dalam ruang kerja om Janu dan meletakkan sebuah koper berukuran kecil di atas meja.

“Buka,” perintah om Janu sambil duduk kembali di kursinya di depan meja kerja.

Pak Mangku pun mengatur kode kunci di koper.

Ketika koper kemudian terbuka, Pak Mangku memutarnya supaya posisi isi koper tepat berada di hadapan sang pimpinan QZK. Saat melihat barang yang terdapat di dalam koper itu, baik Pak Mangku dan om Janu sama-sama saling berpandangan. Ada sejuta makna tersirat dalam pandangan keduanya.

“Monggo, Ndoro,” ucap Pak Mangku pada sang pimpinan.

Di dalam koper itu terdapat satu barang, hanya satu barang saja – namun disimpan dengan hati-hati dan penuh kerahasiaan, seperti sebuah barang keramat. Om Janu mengamatinya sembari tersenyum puas, ia sungguh menikmati keindahan lekuk dan nilai artistik yang tertuang dalam karya tersebut. Dengan ini, dia akan menghanyutkan dunia dalam sebuah melodi sendu di bawah langit merah jambu dan suasana terawang kelabu. Dengan barang yang ada di dalam koper itu, om Janu tahu dia akan menaklukkan kota dan menjadikannya satu padu.

Barang itu adalah satu Topeng Klana klasik berwarna merah.





.::..::..::..::.





Kapten Ri, Hafiz, dan Rama berdiri di depan pasukan mereka yang bersenjata lengkap.

Mereka berjajar dengan rapi. Orang yang hendak mereka tangkap bukanlah tokoh yang main-main sehingga dirasa perlu melakukan persiapan prima. Dia adalah gembong dari segala gembong, orang dengan pergerakan rapi yang susah sekali dijebak oleh alasan apapun juga. Jika ada harapan untuk membawanya ke balik jeruji besi, maka inilah satu-satunya kesempatan yang ada.

Kapten Ri mengayunkan tangan. Rama menganggukkan kepala.

Pemuda itu berjalan ke depan orang yang sedang mereka hadapi. Antara segan, takut, tapi juga harus menunaikan tugas. Rama mencoba memberikan dalih. “Sa-Saya tidak ingin melakukan ini… tapi saya harus…. maafkan saya… sungguh saya tidak bisa membantah apa yang telah…”

“Rama! Lakukan tugasmu!” tegas Kapten Ri memberikan perintah. Tidak ada negosiasi.

“Siap, Kapten!”

Sang pria yang berdiri di hadapan mereka mendengus mendengarkan semua alasan Rama. “Aku tidak percaya kamu setuju untuk melakukan ini, Rama. Setelah semua yang telah kita lakukan bersama. Aku tidak melakukan apa-apa dan kamu tahu itu. Tapi tetap saja kamu melakukannya. Ini jelas jebakan.”

“Maafkan saya… tapi ini tugas, Pak… dan saya…”

“Apakah ini gara-gara kamu sudah tidak lagi bersama Nada? Apakah karena Nada berpaling kepada pria lain kamu lantas memperlakukan aku seperti ini? Asal tahu saja, kamu sudah aku anggap seperti anak sendiri!”

Rama menatap garang ke arah Pak Zein. “Mohon jangan bawa-bawa Nada! Kalau saja…”

“Rama!”

“Siap, Kapten!” Rama menganggukkan kepala. Dia menatap ke orang yang berada di hadapannya. Tatapannya berubah menjadi tajam dan suaranya menjadi lebih tegas. Tanpa ampun, tanpa jeda, tanpa sela. “Bapak Zein, berikut kami sertakan surat permintaan keterangan. Anda kami mohon kerjasamanya untuk ikut kami ke markas Tim Garangan terkait dengan maraknya kasus kekerasan yang akhir-akhir ini merisaukan warga. Kasus kekerasan yang diduga keras terkait dengan kelompok yang Bapak pimpin. Untuk lebih jelasnya, silakan anda ikut kami ke kantor untuk penjelasan dan pengambilan keterangan lebih lanjut.”

Pak Zein tersenyum ke arah Kapten Ri. “Apa saja kesalahan-kesalahanku, Kapten? Apakah aku pernah berbuat salah pada pemerintah kota? Pada kraton? Apakah aku pernah merugikan kalian? Apakah Ngarso Dalem sudah menyetujui tindakan ini?”

Kapten Ri membalas senyum Pak Zein.

Keduanya bagaikan dua singa yang berhadapan di sebuah medan laga.

Kapten Ri tak menunjukkan sedikitpun wajah takut, “Saya ulangi Pak Zein. Silakan Anda datang ke kantor untuk memberikan keterangan yang jelas dan jujur terkait kasus yang meresahkan warga. Garis bawahi dua kata tersebut, jangan diputarbalikkan dulu. Meresahkan warga. Kami bertindak berdasarkan laporan. Ngarso Dalem tahu atau tidak, itu bukan jaminan Anda bakal lolos. Lagipula ini masih belum menjadikan Anda tersangka, kenapa mesti takut? Hanya akan diminta keterangan.”

“Kenapa tidak meminta keterangan di sini saja? Kenapa harus jauh-jauh ke Mabes Garangan? Lagipula ini semua pasti salah paham. Jangan berlebihan, Kapten Ri.”

“Tidak ada salah paham dan tidak ada negosiasi. Kami disebut pihak yang berwajib dan Anda disebut warga. Kami yang berwenang dan Anda seharusnya mengikuti aturan dari negara. Sampai sejauh ini Anda paham? Kami tidak main-main. Silakan ikut dengan kami ke kantor untuk kami mintai keterangan.”

Pak Zein terkekeh.

Kapten Ri tersenyum.

Kedua monster itu mendekat, sama-sama saling menatap. Jarak antara keduanya mungkin hanya hitungan sentimeter.

“…dan kalau aku tidak ingin ikut?” tanya Pak Zein dengan nada tegas mengancam. “Apakah kalian akan bertindak sewenang-wenang dengan memaksaku? Jangan mengkhayal, Kapten. Kita bisa duduk bersama dan membicarakan masalah ini baik-baik. Aku merasa bahwa ini semua hanyalah akal-akalan dari KRAd. Mereka punya seribu cara busuk untuk mencegahku turun dalam laga yang akan dilaksanakan.”

“Tidak ada campur tangan kelompok manapun dan tidak ada kaitan dengan penyelenggaraan apapun. Semua kekacauan di kota saat ini adalah sebab akibat pertarungan dua kelompok yang dimulai oleh salah satu kelompok. Kami tahu Anda adalah pimpinan kelompok tersebut, Pak Zein. Mau disangkal bagaimanapun sudah banyak saksi. Jadi mari kita lakukan ini dengan baik dan benar,” Kapten Ri menyeringai sembari membuka Ki-nya. “Yang mana pilihan Anda, Pak Zein? Mau pakai jalan damai, atau kita buka arena di sini?”

Di belakang Pak Zein, SSX bersiaga penuh dan mengambil kuda-kuda.

Pak Zein sudah menyiapkan jawaban.



BAGIAN 16-A SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 16-B
 
BAGIAN 16-B
KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI





Nanto dan Asty tertawa bersama, beberapa kali mereka bercanda saat memasuk-masukkan barang ke dalam mobil. Cukup banyak juga yang akan dibawa ke kota. Selain koper dan perlengkapan milik si Bengal, ada juga beberapa hasil kebun om Janu yang nantinya akan dibagi-bagikan. Memang di kampung ini om Janu memiliki perkebunan yang dikerjakan oleh orang-orang setempat. Beberapa buah-buahan akan dihidangkan di acara Trah Watulanang sehingga sekalian dibawa.

Setelah usai memasuk-masukkan barang, Nanto dan Asty duduk berdua di sebuah cakruk bambu di tepian sungai, di samping sebuah jembatan kecil. Sebuah cakruk dengan nuansa asri dan damai, dengan pepohonan rindang melindungi. Mendengarkan suara kecipak air menyapa bebatuan, sembari menatap sawah berpetak-petak nan hijau sejauh mata memandang. Masih terdengar bunyi burung-burung berkicau. Masih syahdu langit yang perlahan menuai warna merah jambu.

Pemandangan yang indah. Si Bengal menatap Asty dengan tatapan mata lembut, ia membenahi kerudung sang kekasih. Di sini juga ada pemandangan yang tak kalah indahnya.

“Kamu cantik banget.”

“Gombal.”

Si Bengal geli sedikit, tapi kemudian wajahnya berubah serius. “Jadi… kamu tidak akan ikut kembali ke kota?”

“Tidak.” Asty tersenyum dan menggeleng. “Tempatku di sini. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Aku sudah mendapatkan pekerjaan, Adek juga sudah sekolah. Rasa-rasanya tidak logis kalau aku kembali ke kota sekarang dan merubah lagi status quo-nya. Aku tidak boleh egois memikirkan diri sendiri, Mas. Aku harus memikirkan Adek juga. Sudah saatnya beristirahat dari segala hiruk pikuk kota, sudah saatnya hidup tenang. Lagipula di sini cukup aman dibandingkan kota yang berbahaya.”

“Tidak ada cara untuk memaksamu ikut?”

Asty mengelus pipi si Bengal, “Tidak sayang… lagipula kita sudah berkali-kali membicarakan hal ini. Keputusanku sudah bulat, demi kebaikan Adek juga. Kontrakan baruku yang ada di dekat sekolah sudah di-DP dan rumah di kota sudah dikontrakkan ke orang lain. Jadi tidak ada kata mundur lagi, tidak apa-apa kan? Kamu toh bisa mengunjungiku kapan saja. Aku akan selalu menunggumu di sini. Sampai kapanpun aku akan menunggumu.”

Nanto mengangguk, “Memang benar. Meski harus berjauhan, aku lebih tenang karena tahu kalian semua aman di sini. Di kota sedang berkecamuk perang yang tak kunjung usai. Akan banyak masalah jika kalian kembali saat ini. Keputusanmu sudah benar, hanya saja aku akan merasa kesepian tanpa kamu.”

“Mudah-mudahan kamu bakal sering mengunjungi kami. Jangan terlampau terlibat dengan semua masalah di kota. Aku tidak ingin ada apa-apa terjadi sama kamu, Mas. Aku selalu ingin kamu baik-baik saja, aku akan selalu mendoakan keselamatanmu.”

Nanto mengangguk.

“Yang pertama, selesaikan kuliahmu, cari pekerjaan yang bagus – dan… pulanglah padaku. Aku akan menunggumu.”

Nanto memeluk sang kekasih, “Yakin mau menungguku selama itu? Aku tidak akan mempermasalahkan jika kamu memilih orang lain. Kamu juga berhak bahagia. Sementara aku yang sekarang mungkin tidak bisa memberikan kebahagiaan itu padamu.”

“Hanya kamu yang aku harapkan.”

“Kapten itu?”

“Dih, kan sudah dibilang – aku memilihmu, bukan yang lain. Makanya buruan pulang ke sini sebelum aku direbut orang lain.”

“Hidupmu adalah milikmu, aku tidak berhak mengaturnya. Tapi jika menungguku, aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi, sampai kapan aku akan tinggal di kota, dan jadi apa aku kelak. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Masa depan masih abu-abu.”

“Tepat sekali, jadi jangan pernah membayangkan hal yang aneh-aneh. Ingat bahwa di tempat ini ada seseorang yang akan selalu menunggu pelukanmu dan akan selalu mencintaimu.”

“Mudah-mudahan kamu dan Adek betah tinggal di sini.”

“Mudah-mudahan.”

Ada jutaan kata yang ingin Asty ucapkan, tapi seperti tercekat di dalam dada dan tak ingin dia keluarkan. Dia benci perpisahan dan dia yakin kelak masih akan berjumpa. Meskipun entah kapan. Mantan guru BK si Bengal itu membenahi rambut sang pemuda. Ada bening air mata yang coba ditahan untuk tidak tumpah. Suara Asty lirih mendendangkan bait-bait lagu kesayangannya.

“Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui.
Ku berharap, meski berat kau tak merasa sendiri.
Kau tlah berjuang, menaklukkan hari-harimu yang tak mudah.
Biar kumenemanimu, membasuh lelahmu.

Izinkan kulukis senja, mengukir namamu di sana.
Mendengar kamu bercerita, menangis tertawa.
Biar kulukis malam, bawa kamu bintang-bintang.
Tuk temanimu yang terluka, hingga kau bahagia…”


Suara Asty tidak kencang, hanya lirih, hanya pelan. Tapi justru itu yang membuat si Bengal tergugah dengan lantunan lembut sang kekasih. Ia memeluk tubuh hangat yang ia sayangi itu. “Semoga kamu bahagia,” bisik si Bengal. “Kamu akan selalu berarti untukku.”

Ketika pelukan terlepas, garis air mata di pipi Asty telah terbentuk. Nanto menghapus air mata itu dengan punggung jari telunjuknya.

Keduanya berpandangan dalam-dalam. Banyak kata yang ingin terucap, tapi tak satupun yang bisa terjawab. Mereka tahu perpisahan sudah digariskan dan tak akan bisa diubah semudah membalikkan telapak tangan. Mereka berdua sama-sama tahu ini adalah jalan yang terbaik. Bukan sebagai wujud ego, tapi karena kedewasaan keduanya yang menyadari saat ini mereka tak bisa bersama. Andai saja menjadi suatu perumpamaan atau mungkin saja diwujudkan menjadi sebuah bayangan maka khayalan dan harapan akan menjadi pondasi, dan kenyataan akan selalu hadir untuk membentangkan jalan kehidupan dengan tematik syahdu berlabelkan suatu ketika dan suatu saat nanti.

“Mas…” Asty memejamkan mata, siap menerima kecupan dari si Bengal. Bibirnya sedikit terbuka. Nanto menurunkan wajahnya. Cantik. Asty terlalu cantik. Bibirnya terlalu indah untuk dibiarkan menganggur begitu saja. Bibir itu harus selalu dikecup dan disayang.

Saat itulah terdengar teriakan dari kejauhan.

“Mas Nantooooo! Mas Nantooooooo!”

Buru-buru si Bengal keluar dari cakruk. Asty mengikutinya.

Sebuah mobil Jeep berhenti di dekat mereka, seorang pria turun dan langsung berlari tergopoh-gopoh menemui pasangan yang tengah asyik masyuk itu. Nanto dan Asty saling berpandangan, ada apa ya? Mereka mengenali orang tersebut sebagai Pak Dukuh. Salah seorang aparat desa yang sering bekerja di kebun bersama si Bengal. Kenapa pula dia datang dengan wajah tegang dan ketakutan?

“Lho, Pak Dukuh? Ada apa ya? Kenapa lari ke sini? Apa ada yang bisa saya bantu?”

“Si… Si Sagu…”

“Sagu?” perasaan Nanto langsung tidak enak. Sagu selama ini dititipkan pada sahabat Kakek yang bernama Pak Di. “Apa yang terjadi pada Sagu?”

“Baru saja ada orang-orang yang menyerang Sagu! Dia terluka! Parah!”

Sagu!? Terluka parah!?

Ada seekor naga yang meraung dalam diri si Bengal mendengar kabar itu, tubuhnya bergetar hebat. Jika ada sosok yang sangat berarti baginya lebih dari keluarga, maka sosok itu adalah sang anjing yang setia. Asty menatap kekasihnya dengan khawatir. Jika terjadi apapun pada Sagu – Nanto pasti akan mengamuk hebat.

Pemuda itu pun segera menatap Asty, terlihat kesedihan luar biasa di wajahnya, sesuatu yang sangat jarang ia lihat pada si Bengal. Terakhir kali ia melihat wajahnya seperti itu adalah saat Nanto kehilangan sang Ibu di masa SMA. Si Bengal meminta ijin yang tak perlu diminta tanpa mengucap kata. Si cantik itu langsung mengangguk, “Pergilah. Cepat. Aku yang akan membantu om Janu berkemas-kemas, aku juga harus menjemput Adek.”

Nanto mengangguk pada Pak Dukuh tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka segera naik ke mobil Pak Dukuh dan melesat pulang kembali ke kampung di dekat hutan sementara Asty mengamati dari kejauhan dengan perasaan campur aduk.

Mobil itu meliuk-liuk melalui jalanan pedesaan dan akhirnya sampai di rumah Pak Di.

Nanto dan Pak Dukuh turun dari mobil. Ia berlari ke kerumunan beberapa orang yang sedang mengitari Sagu. Ada Pak RT, Pak Yatno, Pak Masrun, dan si pemilik rumah – Pak Di. Mereka tinggal di lingkungan yang sama dan saling bertetangga.

“Apa yang terjadi, Bapak-bapak?” Nanto buru-buru datang.

“Sa-sagu, Le. Sagu dicelakai orang!” Pak Di menjelaskan. Mata orang tua itu berkaca-kaca. Bukan hanya Nanto yang menyayangi si anjing putih yang ramah itu. Mereka membuka kerumunan, memperlihatkan kondisi Sagu pada si Bengal. “Mereka menyakiti Sagu… duh aduh Sagu…”

Anjing setia itu tergeletak pasrah. Tubuhnya penuh luka karena habis ditendang. Ada pisau menancap di kaki. ia mengerang kesakitan. Matanya menunjukkan bening air mata.

Tubuh si Bengal bergetar hebat melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu.

Ki-nya menyala dahsyat meski orang-orang di tempat itu tak ada yang bisa menyadarinya. Ia menekan Ki-nya sebisa mungkin. Wajah Sagu terlihat senang saat melihat sang tuan. Dia berusaha berdiri, namun tak sanggup. Kondisinya memelas, tubuhnya juga sangat lemah. Ia berusaha menyalak, tapi tak ada suara lantang seperti biasa keluar dari moncongnya. Hanya ada lolongan sedih. Seakan-akan bertanya, kenapa ada yang sampai hati menyakitinya padahal dia tidak salah apapun.

Nanto tidak terima.

Menyakiti? Lebih daripada itu. Siapapun mereka, bajingan-bajingan itu berusaha membunuh Sagu. Nanto tidak terima. Sungguh beruntung dia anjing yang kuat sehingga mampu bertahan. Nanto mengelus-elus kepala Sagu, ia berusaha menahan tangisnya.

“Tenang, Nak… tenang… aku sudah di sini.” Nanto memeluk Sagu dengan tangan gemetar. Ia mengelus-elus anjing itu sembari menumpahkan rasa sayang yang amat sangat. “Tenanglah… tenanglah… kamu istirahat dulu, tidak perlu berdiri. Aku tahu… aku tahu… pasti rasanya sakit sekali. Tenanglah, aku tidak akan membiarkanmu disakiti orang lagi, aku yang akan membalasnya. Kamu jangan khawatir, kamu tenang saja.”

Pak RT geleng-geleng kepala, “Kok ya ada yang setega ini sama binatang… biadab banget. Padahal dia anjing yang sangat manis dan penurut. Tidak pernah galak sama orang kampung sekitar.”

Pak Di melirik ke pemilik mobil Jeep, “Pak Dukuh, bagaimana ini enaknya?”

Pak Masrun yang kemudian menyumbangkan usulnya. “Saya tahu dokter hewan di dekat sini. Lokasinya tidak terlalu jauh. Saya bersedia mengantarkan Sagu kalau diijinkan.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya akan sangat berterima kasih kalau Bapak bersedia,” ujar si Bengal.

Pak Dukuh menunjuk ke arah mobilnya yang diparkir di depan halaman rumah. “Luka si Sagu masih belum lama, kondisinya juga tidak terlalu serius jika bisa dirawat secepatnya – lemasnya mungkin karena shock dan luka terbuka. Darahnya terus menerus mengucur, dia bisa mati kehabisan darah kalau kita terlambat. Kita harus membawanya sekarang. Kemungkinan selama masih sangat besar.”

Nanto mengangguk pada dua orang tersebut – Pak Dukuh dan Pak Masrun yang segera membungkus tubuh Sagu dengan selimut milik Pak Di, mereka menggendongnya untuk masuk ke mobil. Sagu sempat berontak, tapi Nanto terus menerus mengelus kepala anjing malang itu.

“Sabar… sabar… sebentar lagi kamu akan sembuh. Kita kejar-kejaran lagi di hutan kalau kamu sudah sembuh ya.” Si Bengal mengangguk pada Pak Dukuh dan Pak Masrun yang akhirnya berhasil menempatkan Sagu ke dalam mobil. “Terima kasih, Bapak-bapak berdua. Saya titip Sagu. Mohon maaf tidak bisa ikut bersama kalian karena saya…”

Baik Pak Dukuh maupun Pak Masrun tahu apa yang akan dilakukan oleh si Bengal. Setelah semua yang dilakukan pemuda itu saat membantu tanpa upah, tanpa mengeluh, dan tanpa pamrih di kebun mereka, hal inilah yang bisa mereka berikan untuk si Bengal.

“Santai aja, Mas. Cari bajingan-bajingan itu sampai dapat. Kami berangkat duluan.” Pak Dukuh berada di belakang kemudi. Ia langsung memasang sabuk pengaman. Di belakang, Pak Masrun menemani Sagu.

“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih. Tolong beri saya kabar mengenai perkembangan apapun, baik atau buruk. Saya akan datang setelah menyelesaikan persoalan.”

“Siap, Mas.”

Mobil yang dikendarai Pak Dukuh pun melaju dengan kecepatan tinggi ke arah dokter hewan terdekat agar Sagu segera mendapatkan perawatan intensif. Nanto tak kuasa menahan gemetar tubuhnya. Dia akan memburu orang-orang itu! Sampai ke neraka sekalipun dia akan memburu mereka!

Yang tinggal hanyalah Pak RT, Pak Di, dan Pak Yatno.

“Bapak-bapak bertiga. Apakah Bapak-bapak tahu siapa pelakunya?” suara Nanto terdengar berbeda, dingin dan dalam. Ia berusaha menekan kemarahan luar biasa yang ia rasakan. Wajahnya memerah menahan amarah, dia terus menerus berusaha tenang. “Apakah ada di antara Bapak bertiga yang melihat pelakunya?”

“Se-sepertinya aku tahu, Mas…” Pak Yatno menunjuk ke arah depan – ke arah hutan. “Mereka lari ke sana. Satu rombongan pakai jaket hitam, rambutnya gondrong-gondorng. Kayak rombongan begal. Bukan dari kampung sini.”

“Baiklah. Saya akan mengejar mereka.”

“Tidak perlu! Kami sudah datang!” terdengar suara lantang berkumandang, “Bahahahahaha! Jadi kamu yang namanya Nanto? Bagaimana rasanya melihat anjingmu mampus? Bahahahahaha.”

Seseorang menyeruak dari balik semak-semak belukar, di belakangnya ada beberapa orang lagi yang menyusul. Satu, dua, tiga, empat, lima… sepuluh, lima belas. Nanto mengamati bayangan-bayangan yang akhirnya datang itu.

Lima belas orang.

Siapa mereka?

Apa yang dikatakan Pak Yatno benar – mereka memakai jaket hitam dan berambut gondrong. Si Bengal tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Siapa, darimana, dan kenapa menyakiti Sagu?

“Bapak-bapak, silakan meninggalkan tempat ini dan mencari tempat aman,” bisik Nanto pada Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di. “Keadaan akan menjadi sangat buruk.”

Ketiga tetangga Nanto itu pun segera pulang ke rumah masing-masing dan mengunci pintu mereka. Ketiganya menutup tirai dan mengintip dari sela-sela tirai yang terpasang.

Arena terbuka.

Satu lawan lima belas.

Nanto mendengus. Dia menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menangkup jari jemari tangan kanan dengan jari jemari tangan kiri, menggemeretakkannya, dan melakukan sebaliknya setelah itu. “Kalian yang melakukannya? Kalian yang menyakiti Sagu?”

Pimpinan kelompok yang rambutnya gondrong jabrik maju paling depan. “Kalau iya memangnya kenapa? Heheheh. Dasar bocah. Bisa apa kamu lawan kami semua? Paling cuma bisa terkencing-kencing kalau kami keroyok. Tapi supaya kamu tenang, kami kasih tahu saja! Ya! Memang kami yang menendangi anjing bau itu, tapi bukan kami yang menusuk kakinya. Menurut kami sih anjing seperti itu memang lebih baik dibunuh – supaya tidak menimbulkan masalah untuk warga desa, supaya tidak mengotori jalanan dengan tae-nya! Jijik banget lihat anjing di sini!”

Nanto tidak mengucapkan apapun. Dia hanya berdiri dengan tenang dan matanya terpejam, ketika matanya terbuka, dia menatap tajam si Jabrik sembari mengucap satu rangkaian rapalan. “Sakdumuk bathuk, saknyari bumi, ditohi pati.”

Si Jabrik mulai kehilangan kesabaran. Dia mengayunkan tangan, “Midun! Maju kamu! Selesaikan dia supaya kita cepat pulang!”

Nanto mendengarnya. Rupanya begitu, mereka orang-orang bayaran.

Seorang pria bertubuh tinggi besar maju terdepan, namanya sudah pasti Midun. Midun seorang preman pasar yang sering jaga parkiran di Indom@ret. Wajahnya tersenyum culas dan meremehkan. Midun mencibir ke arah si Bengal. Jadi ini target mereka? Cuma precil. Kenapa harus sampai rombongan yang diundang kalau lawannya cuma seukuran Nanto begini? Dia sendiri juga sudah cukup. Memangnya si Nanto bisa apa? Paling-paling hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkannya.

Midun berjalan dengan santai. “Tenang saja, Bos. Saya juga sudah cukup untuk…”

Tap.

Telapak tangan Nanto mendarat di wajah Midun. Dia mencengkeram wajah pria bertubuh tinggi besar itu dengan teramat kuat. Midun mencoba melepaskan cengkraman dengan merobek lengan si Bengal namun pemuda itu tak bergeming sedikitpun. Lengannya sangat kuat dan kokoh. Ti-tidak mungkin!? Terbuat dari apa tangannya? Kenapa bisa sekencang ini cengkramannya?

Kenapa…

Midun merasakan seluruh tubuhnya terangkat, napasnya mulai sesak karena cengkraman Nanto mendesak wajahnya. Midun meronta-ronta tapi percuma! Nanto sama sekali tidak berniat melepaskan pria bertubuh besar itu.

Nanto mengangkat kepala Midun, lalu membantingnya ke bawah dengan sangat kencang.

Bledaaaaammmm!!!

Midun tak bisa bangkit, tubuhnya terasa sakit. Ada lekukan di tanah saking kencangnya Nanto membanting pria itu. Kepala belakangnya berasa sakit bukan kepalang. Dengan penuh rasa marah, si Midun berusaha bangkit. “Kurang aj…”

Tap.

Sekali lagi Nanto mencengkeram wajah Midun, lalu mengangkat dan membanting tubuh pria perkasa itu dengan sekuat tenaga seakan-akan hendak menanamnya ke bumi.

Bledaaaaammmm!!!

“Ku... kura…” Midun pusing bukan kepalang. Darah mulai menetes dari kepala belakangnya. Tapi Nanto masih belum selesai.

Tap.

Kali ketiga. Nanto mencengkeram wajah Midun, mengangkatnya, lalu membanting pria itu sekuat tenaga.

Bledaaaaammmm!!!

Lalu melakukannya lagi, lagi, dan lagi.

Bledaaaaammmm!! Bledaaaaammmm!! Bledaaaaammmm!!

Midun tersengal-sengal, darahnya mengucur lebih deras, ia sesak sekali. Matanya tak bisa terbuka. Napasnya tak lancar. Dia tak bisa bernapas! Midun menggapai-gapai ke atas. Meminta pertolongan seseorang untuk datang dan membantunya berdiri.

“Ba… bangs…”

Tapi bantuan tak datang, justru kaki Nanto yang merujak wajahnya.

Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh!

Berulang kali kaki si Bengal menginjak-injak wajah Midun dengan penuh amarah, merombak wajah pria itu hingga bermandikan darah. Midun akhirnya tak sadarkan diri. Wajahnya mungkin sudah tak bisa lagi dikenali. Rahangnya sudah geser dan giginya lepas kemana-mana.

“Satu,” desis Nanto dengan geram sembari menatap ke depan. “Masih empat belas bajingan lagi.”

Si Jabrik terbelalak, ia melangkah mundur sembari menunjuk dua orang. “Maju! Kalian berdua!! Majuu!”

Dua orang berlari ke depan, menuju posisi kiri dan kanan Nanto. Si Bengal masih tetap tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Nanto hanya bergerak dua kali. Ke kanan sekali, ke kiri sekali. Ia melakukannya tepat pada saat jarak kedua lawannya sudah tinggal dua langkah besar ke depan.

Saat melompat ke kanan, Si Bengal menyabetkan tangan kanannya.

Sblkgh!

Lawan di kanan terlempar sejauh tiga meter. Giginya rompak dan hidungnya bergeser. Darah muncrat dari wajahnya. Si Bengal sama sekali tak mengurangi tenaga Ki-nya. Dia tidak peduli mereka orang-orang tak berdaya atau bukan pengguna Ki. Mereka telah menyakiti Sagu, mereka harus membayarnya.

Nanto mengulang gerakan. Saat melompat ke kiri, Nanto menyabetkan tangan kirinya dua kali.

Sblkgh! Sblkgh!

Sang lawan juga terlempar. Kondisinya sama mengenaskan, hampir semua gigi depannya hancur dan patah, bisa dipastikan tulang dadanya retak karena membiru dan lebam. Begitu kerasnya pukulan si Bengal. Tulang pipinya juga langsung membiru karena ada yang retak di bagian itu.

Tidak cukup sampai di situ. Nanto mengejar lawan di kanan, lalu menyepak kepalanya.

Jbkkkghhhh!!

Darah bertebaran kemana-mana. Orang itu langsung pingsan tanpa bisa ditahan. Ia sudah tidak kuat lagi. Nanto melompat ke udara dan mengejar lawan yang di kiri, orang itu masih tersengal-sengal karena semua mulutnya berdarah. Tapi Nanto tak memberi ampun. Dia juga menyepak kepala orang di kiri.

Jbkkkghhhh!

Orang itu pun pingsan seketika.

“Tiga terbilang,” bisik Nanto. “Dua belas lagi.”

Si Jabrik tak percaya ini. Bagaimana mungkin Nanto bisa menghancurkan lawan-lawannya dengan sebegini mudahnya? Jangan-jangan dia seorang petarung kelas A? Tapi tidak… bacaan Ki oleh si Jabrik tidak mungkin salah, tidak mungkin Nanto seorang petarung kelas A! Tidak mungkin dengan Ki sekecil ini! Ini pasti salah! Ki milik Nanto bahkan hampir-hampir tak terbaca! Mana mungkin dia seorang petarung Kelas A atau B?

Jabrik geram, “Maju semua!! Maju semuanyaaaaaaaa!!! BUNUUUUUH DIAAAA!!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

“Seraaaaaaaaaaaaangg!!”

“Bunuh diaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Sembari berteriak kencang, Sebelas orang maju secara serentak, mengincar kepala si Bengal yang berjalan dengan tenang ke arah mereka. Si Bengal masih tak merubah ekspresi, tatapan matanya selalu tajam ke satu titik. Ke arah si Jabrik! Pemuda dengan rambut jabrik itu pun merasa gerah, keringatnya mengalir deras. Hanya ada satu solusi hari ini! Dia atau Nanto yang mati!

Nanto mengambil kuda-kuda ala Wing Chun seperti biasa. Ada ketenangan dalam gerakannya yang tegas dan kaku. Gerakan yang patah-patah tapi pasti. Sebelas lawan maju serentak. Apa yang harus dilakukan? Pertama adalah mengetahui pergerakan mereka, hendak kemana mereka melangkah, mau apa mereka, dan dalam jarak yang seberapa. Semuanya diperhitungkan dalam sepersekian detik. Kesalahan pengambilan keputusan akan fatal akibatnya.

“Weruh rosing roso kang rinuruh.” Nanto membuka Gerbang Pengamatan.

Si Bengal merunduk. Tangan kanannya menyentuh tanah, tangan kiri diletakkan menyilang di pinggang belakang. Kedua kaki ditekuk, kaki kiri lebih maju daripada kaki kanan. Kepala lurus ke depan.

Mata si Bengal berkilat. Ia mulai memindai situasi.

Orang pertama ke sana, orang kedua akan melakukan ini, orang ketiga akan menjadi seperti itu. Baiklah. Lanjut orang keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Orang kesembilan hingga kesebelas akan melakukan seperti itu rupanya. Nanto memahami pergerakan dan sikap mereka semua satu persatu hanya dalam hitungan detik.

Pemindaian selesai.

Nanto berdiri, kakinya mundur dua langkah. Tangannya melakukan gerakan dengan cepat, seperti sesuatu yang sudah dia hapal di luar kepala. Ada banyak gerakan dilakukan dengan kecepatan tinggi, tepatnya delapan belas gerakan. Dari posisi pertama hingga yang ke delapan belas dilakukannya tanpa cacat. Kedua tangan kanan Nanto menyentak ke depan, lalu diputar sembari ditarik ke belakang seperti menyedot udara ke dalam satu pusaran dahsyat. Seperti vacuum yang menghisap ke dalam.

Ki pada tubuh si Bengal menyala dahsyat, bibirnya terbuka, tipis-tipis rapalan diucapkan. “Geni dadi sucining jagad, dewa sang hyang girinata dadi raja, gagamaning naga kinarya dewa.”

Penyerang-penyerangnya semakin dekat. Sudah tidak ada waktu untuk mengelak. Sekarang atau tidak sama sekali. Kedua tangan si Bengal disentakkan ke depan, ada raungan binatang raksasa yang muncul dan terbawa oleh tenaga yang dihempaskan Nanto.

Lontaran tenaga dalam yang menghancurkan apa pun yang ada didepannya.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Sebelas orang terlempar ke belakang empat meter masing-masing jauhnya. Mereka semua jatuh bersamaan. Tidak ada yang berhasil menyentuh si Bengal sedikitpun. Mereka semua mengerang kesakitan. Tidak ada yang tubuhnya utuh. Ada yang kakinya patah, ada yang tangannya patah, ada yang tulang di bahunya patah dan tembus hingga keluar, ada yang sebagian tangannya terbakar. Ada yang tangannya berbelok ke arah yang salah.

Edannya, ada beberapa pohon kokoh yang juga ikut tumbang.

Efek dari 18 Serat Naga memang berbeda-beda untuk setiap penerimanya – karena terdiri dari 18 pukulan naga yang berbeda-beda jenis namun dilepaskan secara bersamaan. Kekuatannya jelas sangat dahsyat. Apalagi ini masih belum tingkatan pemuncak.

Jabrik gemetar ketakutan melihat semua teman-temannya tumbang, hanya menyisakan dia sendiri berdiri. Apa-apaan ini? Mana mungkin mereka kalah? Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia menyembunyikan aura Ki-nya? Apakah dia petarung kelas A? Hanya seorang petarung besar yang mampu melakukan hal semacam ini! Siapa dia?

Jabrik mulai belingsatan, “Banguuuun! Apa yang kalian lakukan? Bantu aku! Kita harus menghajar dia sampai mampuuuus!! Banguuun kalian semuaaaaa!!”

Tidak ada yang mampu menjawab Jabrik, berteriak pun mereka tidak akan mampu. Si Bengal berjalan dengan tenang ke arah Jabrik. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Seakan-akan apa yang dia lakukan ini memang sudah sepantasnya dia lakukan. Jika mengingat apa yang bajingan ini lakukan pada Sagu, maka Nanto tidak akan menahan pukulannya.

“Tu-tunggu dulu…” Jabrik melangkah mundur dan memohon ampun, wajahnya keringatan, bajunya basah kuyup. “Kamu tahu aku sebenarnya tidak ada masalah denganmu. Kami hanya orang-orang bayaran saja dari kota di pantai utara. Dibawa ke sini khusus untuk menghabisimu. Jangan salahkan kami, kami hanya ingin memberi makan anak istri… kamu tahu kan? Kamu pasti paham kan kalau…”

Jbooooooooooooooooooooooookghhhh!

Pukulan Nanto menghajar wajah Jabrik.

Tubuh preman itu terlontar sampai berputar ke belakang berulang-ulang kali gara-gara pukulan yang merombak wajah. Darah muncrat kemana-mana. Namun belum benar-benar sampai jatuh ke bawah, si Bengal sudah sampai di posisi jatuh si Jabrik. Tangan Nanto maju dan menahan kerah baju yang dikenakan Jabrik, mengunci posisinya. Jabrik yang lemah mencoba meronta, tapi dia tidak mampu. Cengkraman Baja si Bengal telah bekerja.

Nanto memegang erat kerah sang lawan yang lunglai supaya ia tidak benar-benar jatuh ke tanah. Masih ada sesuatu yang harus ditanyakan.

"Siapa yang menyuruh kalian?” tanya Nanto dengan suara tegas dan tenang, cengkramannya di kerah baju si Jabrik sangat kencang. Preman itu tak akan bisa kemana-mana. “Jawaaaaab!”

“Cuh!” Ludah si Jabrik mendarat di wajah si Bengal. Dia kesal bukan kepalang setelah dipukul oleh Nanto barusan. Kali ini dia melawan, “Aku tidak berkewajiban menjawab satu pun pertanyaanmu! Pergi saja ke neraka! Temui anjing sialanmu itu di sana!! Hahahahaha!!”

Nanto menarik napas, ia menatap ke arah Jabrik dengan tatapan mata tajam. Ia menyapu ludah Jabrik dengan punggung tangan dan mengelapnya menggunakan baju si preman. Ini bukan masalah ludah, ini masalah dendam Sagu.

Ada suara dari batin Nanto. Hitung sampai tiga dan berikanlah neraka. Tidak ada ampun.

Si Bengal memejamkan mata, lalu menarik napas panjang.

Satu. Dua. Tiga.

Hancurkan dia.

Nanto menarik tangannya ke belakang. Lalu dengan satu hentakan, ia meluncurkan badai pukulan tanpa henti.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!


Kepalan tangannya bekerja gattling gun. Pukulan demi pukulan dilepaskan tanpa ampun. Bagaikan mesin uap yang menjalankan kereta api. Ditarik, dilepaskan, ditarik, dilepaskan, ditarik, dilepaskan. Targetnya hanya satu. Wajah si Jabrik. Setiap lontarannya membawa serta kehancuran di wajah sang preman.

Nanto melepaskan cengkramannya di kerah baju Jabrik. Pemuda preman itu doyong tak tentu arah. Berhentikah si Bengal?

Tidak.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!


Pukulan demi pukulan terus masuk menghajar wajah si Jabrik. Dari kanan, dari kiri, dari tengah, dari kanan, dari kiri. Tubuhnya terlontar ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kanan, lalu doyong ke kiri, lalu ke kanan, kemudian ke kiri. Dia benar-benar dihajar sampai tak mampu berbuat apa-apa.

Akhirnya tubuh Jabrik sudah siap rubuh ke depan, kesadarannya sudah terpupus. Tapi sekali lagi tangan kiri Nanto mencengkeram kerah bajunya.

Enak saja! Tidak semudah itu pingsan! Tidak semudah itu menyerah! Bahkan Sagu pun pasti tidak menyerah sewaktu kalian hajar!

Nanto tahu itu dengan pasti.

Jabrik mencoba mengangkat tangannya yang bergetar. Menyerah. Ia menyerah.

Tubuh Jabrik sudah lemah tanpa daya. Dia tak bisa melakukan apa-apa sedikitpun, jangankan melawan – untuk mengangkat tangan pun sudah sangat susah. Tamat sudah semuanya. Hanya ada satu cara untuk menghentikan si Bengal menghajarnya. Jabrik pun akhirnya menyerah pada nasib, ia akhirnya bersedia mengaku siapa yang telah menyuruhnya.

“Haa… hakkk… haaakkkuww di… di… srrhrrhh… jj… hhaaantuww… ttpeeenn… gg… mmmeraaahhh…” suara Jabrik tak jelas, mungkin karena dia lemah, mungkin karena giginya sudah hampir seluruhnya tanggal, mungkin karena wajahnya pun sudah dirombak sedemikian rupa sehingga. Darah mengucur dari mana-mana. Kalau saja si Bengal tidak berhenti, Jabrik mungkin sudah mati sejak tadi.

“Apa maksudmu?” tanya Nanto. “Hantu?”

Si Jabrik menggeleng pelan, hendak membuka mulut. “Jjj… hhaaantuuuww… ttp… ngg… mmmmrhh… bknn… mmmrrh…”

Sblp!

Kepala Jabrik terkulai ke belakang. Ia tak sempat menuntaskan kalimatnya yang tak jelas. Ada bercak darah terciprat mengenai wajah si Bengal.

Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di muncul dari balik jendela rumah mereka masing-masing. Semua berteriak histeris sembari menunjuk-nunjuk.

“Mas! Mas! Di kepalanya, Mas!!”

Nanto menegakkan kepala Jabrik.

Di kepala pria itu sudah tertancap sebuah pisau. Pisau yang dilontarkan dari jarak jauh. Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di semuanya segera datang membantu si Bengal untuk mengamankan si Jabrik. Siapapun yang menyerang orang ini, pasti masih berada di lingkungan sekitar.

Nanto mengamati pisau itu. Pisau dengan motif gagang yang sama seperti pisau yang menancap di kaki Sagu. Orang yang juga tak boleh lolos.

Si Bengal mencoba memindai wilayah, membaca daerah, dan menjelajah denah. Siapa yang melakukan ini? Siapa yang mampu membunuh dari kejauhan? Apakah hantu yang disebut-sebut oleh si Jabrik tadi? Nanto meloncat ke atas atap rumah dengan satu gerakan ringan yang anggun, Ia mencoba membaca Ki di sekitaran tempat ini.

Sampai akhirnya dia menemukan satu tenaga Ki di kejauhan, tengah berlari menjauh menuju hutan. Tenaga Ki asing yang tidak dia kenali. Sudah pasti itu milik si pelontar pisau! Nanto menyerahkan mayat Jabrik kepada Pak Di, Pak Yatno, dan Pak RT.

“Tolong jaga dia dan teman-temannya, Bapak-bapak. Panggil polisi kalau perlu. Mereka bersalah telah melukai Sagu.”

“Sudah, Mas. Saya sudah memanggil polisi. Mereka akan segera datang. Orang yang kepalanya tertancap pisau itu juga akan kami…” belum sampai Pak RT selesai bicara, Nanto sudah melesat pergi. Pak RT sadar si Bengal tidak boleh buang-buang waktu.

Dia tahu Nanto sedang memburu seseorang dan saat Nanto sudah memburu, orang itu pasti tidak akan selamat.

Gerbang Kecepatan dipompa.

Satu orang lagi. Si pelempar pisau. Dia tak boleh lolos. Siapapun yang menyakiti Sagu, tidak akan mendapatkan maaf dari Nanto. Siapapun. Dengan kemarahan yang luar biasa pemuda itu bahkan tak menapak tanah untuk berhenti. Dia meloncat dari batang ke batang, dari pohon ke pohon, gerakannya tak akan bisa diikuti oleh mata telanjang.

Sampai akhirnya pemindaian tenaga pengguna Ki itu terhenti tak jauh dari sebuah tanah kosong. Sebuah petak sawah kering yang belum digunakan.

Sang pelempar pisau berhenti. Dia terengah-engah.

Tak mengira si Bengal akan mengejarnya tanpa henti. Darimana bocah sialan itu bisa mendeteksi posisinya? Apakah dari tenaga Ki yang ia kerahkan? Tapi dia bahkan tidak menggunakan Ki yang terlalu besar dan sudah menekannya sekecil mungkin. Mustahil mendeteksi Ki yang ia miliki kecuali bocah ini sudah mencapai petarung kelas…

“Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan di sini?” Nanto mendarat dengan ringan di sebuah pematang tak jauh dari posisi orang itu. Kakinya menapak begitu lembut bagaikan kapas.

Saat sang pelempar pisau berbalik, Nanto menjumpai wajah yang aneh. Hidungnya dicat merah, wajahnya dicat putih, rambutnya hijau dan di bibirnya ada hiasan merah lebar. Badut? Pelempar pisau itu seorang badut? Ia pun mengerutkan kening. Siapa orang ini?

“Hehehe. Sebenarnya tidak wajib menyebutkan nama bukan? Tapi tidak apa-apa. Namaku Zambo si Badut Pisau dan aku anggota Pasukan Badut. Ketahuan dari nama panggilanku, kalau keahlianku lempar pisau. Bukan lempar pisang apalagi lempar kulkas.” Sambil tertawa-tawa Zambo mengeluarkan dua pisau dari dalam jaketnya, Ia memainkannya dengan lihai. “Bagaimana anjingmu? Apakah harus diamputasi? Waahhahahahah! Sudahlah, dia sudah tamat. Mending dibikin tongseng saja. Waahhahahaha.”

Nanto geram. Ini orangnya yang telah mencelakai Sagu!

“Kamu mencelakai seekor anjing yang tak berdosa dan tak pernah berbuat salah kepadamu. Dosamu luar biasa. Anjing itu memang tidak akan mampu melawan dan hanya bisa pasrah kamu perlakukan seperti itu, tapi aku tak akan memaafkanmu,” ujar Nanto. “Sebelum kubuat kakimu cacat seumur hidup, sebutkan siapa yang telah mengirimmu. Bagaimana kamu bisa tahu tempat ini?”

“Hehhehe… panjang ceritanya. Tapi Ki Juru Martani dan KRAd kirim salam.”

Nanto menghela napas panjang. Lagi-lagi mereka. Sepertinya dia benar-benar harus membuat perhitungan dengan KRAd sesampainya di kota nanti. Baiklah. Dia sudah tahu siapa yang bertanggung jawab. “Terima kasih. Jangan khawatir, aku tetap akan membuatmu hidup supaya hidupmu sengsara selama-lamanya.”

“Bwahahahhahaha, apa maksudmu?”

Nanto menatap Zambo dengan mata tajam tanpa berkedip.

Ada sesuatu yang membuat wajah si Bengal sangat mengerikan meskipun sikapnya tenang dan tidak agresif. Sang badut mendengus. Tanpa ancang-ancang si Badut Pisau melemparkan kedua pisaunya,

“Modar wae kowe, suuu!”

Swwssh! Swwssh!

Kedua pisaunya jatuh tak menemui sasaran. Hanya ruang kosong. Hanya dalam sekejap mata, Nanto sudah menghilang dari pandangan mata Zambo. Sang badut pun terkesiap. Apa yang terjadi? Tidak mungkin ada yang bisa menghindar dari incarannya! Tidak mung…

Bldkkkkghhh!

Satu sapuan tepi tangan menghajar tengkuk Zambo dari belakang. Sang badut langsung terdorong ke depan dengan kepala pusing dan siap muntah-muntah.

Tapi dia tak bisa melakukannya.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Ada telapak tangan yang kemudian menghajar dagunya dari bawah, lalu ada kepalan menempeleng kepalanya dari kanan, lalu ada lutut yang menghantam rusuknya, lalu ada cengkraman yang memutar tangannya, dan akhirnya ada kekuatan yang membanting tubuhnya dengan sangat kencang ke tanah.

Bldkkkkghhh!

Mata Zambo terkejap saat ia kembali tersadar. Ia baru saja dibanting!

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terasa kesakitan karena menghantam tanah dengan keras dan dihajar dengan kecepatan tinggi. Dia tidak pernah mengira akan jatuh secepat ini. Zambo mencoba bangkit tapi…

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang terjadi yang membuatnya meronta-ronta dan menjerit seperti orang gila.

“Kamu menusuk kaki anjingku,” kata Nanto yang tengah mengunci tubuh Zambo, ia memegang kaki sang badut. “Seperti ini.”

Sblp!

“Heee? Heaaaaaaaaaaaaaaaaarghhhh!!”

Zambo berteriak kesakitan!! Pisau yang tadi ia lempar kini menancap di betis kaki kanannya. Menembus kakinya dari sisi kiri ke sisi kanan! Dia meronta-ronta meminta lepas, tapi Nanto sangat kencang mengunci tubuhnya. Zambo sama sekali tak bisa bergerak!

“Kamu pasti berharap lebih baik mati saja, bukan? Sakit kan? Aku tambah lagi supaya lebih adil.”

Sblp!

Zambo kembali berteriak. Tubuhnya meronta ke kanan dan kiri. Sakit sekali! Sakit sekali! Sakit sekali! Kali ini pisaunya yang kedua menusuk kakinya dari belakang ke depan, membentuk persilangan dengan pisau yang pertama. Ini sakit sekali! Dia mohon! Dia memohon! Dia memohon! Mulutnya terbuka tapi tak satu suara pun keluar karena rasa sakit hebat yang ia rasakan.

Nanto bukannya tak menyadari itu, dia memang sengaja.

“Maaf? Kamu minta maaf? Tidak. Siapapun yang menyakiti anjingku, tidak akan ada ampun.” Nanto menarik pisau pertama ke samping dan pisau kedua ke atas. Merobek kulit dan daging kaki kanan Zambo.

Shrrgh! Shrrhgg!

Zambo kesetanan. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Make-up badutnya sampai luntur. Dia masih meronta, tapi tetap tak bisa bergerak. Darah berceceran di mana-mana.

Dia mohon ampun. Dia mohon ampun. Dia mohon ampun. Dia tidak kuat lagi, dia tidak kuat. Tak ada kata terucap, hanya wajah penuh penderitaan dan penyesalan yang ditunjukkan.

“Tidak peduli,” dingin Nanto menanggapi. “Anjingku sedang sekarat, tapi mudah-mudahan selamat. Luka di kakinya tidak terlalu parah karena lemparan pisaumu tidak mengenai bagian vital. Tapi meski kakinya pulih kemungkinan dia akan pincang seumur hidup. Nah kalau kamu… kamu tidak akan seberuntung itu. Aku tidak akan membiarkan orang yang telah melakukan hal yang keji pada anjing yang tak berdosa bisa hidup dengan tenang. Orang yang tak pernah menghargai makhluk hidup lain, dipastikan tidak punya rasa simpati. Kamu juga tega terhadap yang lemah – kamu bahkan membunuh si Jabrik untuk membungkam mulutnya. Katakan padaku, apakah kamu pantas dimaafkan dan pantas hidup?”

Nanto berbisik, mengucap rapalan untuk membuka Gerbang Tangan Baja. Ada Ki dahsyat menyelubungi kedua tangan si Bengal. Zambo bisa merasakan maut akan segera menghampirinya. Si keji itu menggelengkan kepala dengan lemah. Jangan… jangaaaan… jangaaaaaaan…

Sbkghh!

Pukulan ringan dilontarkan. Pelan saja. Ke arah tengah kaki kiri Zambo. Satu pukulan lemah. Tapi pukulan lemah itu ternyata mampu meremukkan tempurung lutut. Sang badut bahkan sudah tak bisa lagi berteriak. Sakitnya luar biasa!! Mulut dan matanya terbuka lebar tanpa ada suara sedikit pun.

“Tenang saja. Tak akan kubiarkan kamu mati dengan mudah. Tidak setelah menyakiti Sagu. Yang berikut ini adalah untuk membuatmu sedikit lebih tenang, sobat.”

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Kepalan tangan Nanto beraksi. Seluruh tubuh Zambo tak ada yang lolos.

Tangan si Bengal bergerak dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, hanya dalam hitungan detik, dan dalam beberapa helaan napas. Begitu cepatnya si Bengal menghancurkan semangat Zambo dengan badai serangan pukulan tanpa ada yang bisa menahan.

“Sudah bisa membayangkan apa yang telah kalian lakukan terhadap Sagu? Bagaimana rasanya?”

Nanto mengangkat kaki kanan Zambo, mencengkeramnya, lalu memutarnya ke arah yang tidak dimungkinkan oleh akal sehat. Satu, dua, tiga. Si Bengal memutar tulang kaki Zambo ke tiga arah yang berbeda.

Krgh! Krgh! Krgh!

Mulut dan mata Zambo terbuka lebar tanpa ada suara sedikit pun.

Zambo bahkan sudah tak bisa lagi berteriak. Jangankan berteriak, bicara pun tak dimungkinkan. Tulang-tulang di kaki kanannya hancur, kulit dan daginya berceceran di sawah, tempurung lutut kaki kirinya hancur. Dia pasti akan cacat seumur hidup.

“Sampaikan pada Ki Juru Martani dan KRAd-nya kalau mereka akan berhadapan denganku. Tidak perlu mencariku ke sini karena aku yang akan mendatangi mereka.” Nanto berdiri dengan jumawa di atas tubuh Zambo. “Baiklah. Kaki sudah dibalas kaki, tapi tanganmu yang jahat akan tetap berbuat jahat karena sering dipakai untuk melemparkan pisau. Aku tidak bisa membiarkan itu. Sagu tidak akan membiarkan itu.”

Zambo menangis sesunggukan, untuk pertama kalinya akhirnya dia bicara. “S… sdh… sdhhh ckuppp… Sdhhhh… sddhhhh…”

Nanto masih diam tanpa ekspresi, tapi ia kemudian menirukan satu iklan yang populer. “Aku beri satu kesempatan…”

Zambo masih menangis, “Tma ksssshhh… tmm kssshhh…”

“…untuk tangan kirimu. Kamu masih butuh tangan kiri untuk cebok bukan? Rasanya sudah cukup satu tangan saja. Aku tidak akan memberi kesempatan pada tangan kananmu.”

Zambo terbelalak karena terkejut ketika si Bengal kemudian memegang pergelangan tangan kanannya. Dia menggeleng kepala dengan ketakutan. Kedua kakinya sudah hancur! Masa dia tidak diberi kesempatan untuk…

Kaki si Bengal menginjak siku tangan Zambo, lalu tangannya bergerak dengan cepat. “Demi Sagu.”

Krrgghhh!

“Demi Sagu.”

Krrgghhh!

“dan demi Sagu.”

Krrgghhh!

Zambo berteriak sangat kencang. Tulang tangan kanan Zambo sudah patah-patah tidak karuan, beberapa bagian keluar sampai tembus dari kulitnya. Begitu sakitnya sampai akhirnya Zambo mengerang dan pingsan. Darah mengucur deras dari semua bagian tubuhnya.

Melihat kondisi sang Badut, Si Bengal melepas kekuatan Gerbang Tangan Baja yang ia gunakan sampai tuntas. Zambo sudah tidak bisa apa-apa lagi kini. Dia sudah habis.

“Buat kamu, Sagu,” bisik Nanto perlahan sembari memejamkan mata. “Dendammu sudah kubalaskan, Nak.”

Ia berbalik badan dan hendak melangkah pergi. Ada bunyi notifikasi masuk dan ponselnya bergetar. Nanto menarik smartphone dari dalam saku. Dia menatap layar ponselnya, ada pesan WhatsApp masuk. Dari Pak Dukuh. Buru-buru si Bengal membukanya.

Kabar baik.

Sagu selamat dan tidak akan kenapa-kenapa, kakinya masih dapat disembuhkan meski mungkin akan pincang entah sampai kapan. Untuk sementara waktu anjing itu harus dirawat inap. Tapi pada intinya, Sagu selamat. Tebakan si Bengal benar sejak awal.

Si Bengal menarik napas lega sembari berjalan meninggalkan tempat itu. Syukurlah, Sagu… istirahatlah dulu. Kalau sudah sehat, baru lari-lari lagi. Syukurlah… syukurlah…

Satu suara menghentikan langkah kaki si Bengal.

Suara ringtone. Nanto melirik ponselnya lagi. Bukan. Ini bukan suara dering telepon dari ponselnya. Lalu darimana asalnya? Dari mana ringtone itu berasal? Nanto melirik ke belakang. Sepertinya dari arah Zambo.

Karena penasaran, Nanto kembali berbalik. Ia berjalan perlahan ke arah Zambo. Suara dering itu berasal dari kantong jaket yang ia kenakan. Nanto membungkuk dan memeriksa badan Zambo, ia menemukan satu feature phone dari dalam saku jaket sang Badut.

Ponsel jadul seri Siemons C45.

Tanpa rasa takut sedikitpun Nanto menekan tombol terima dan meletakkan ponsel itu di telinganya. Tapi setelah beberapa lama mendengarkan, tidak ada suara dari ujung sana. Hanya ada desah napas saja. Siapapun yang menelpon sepertinya juga menyadari kalau ada masalah.

“Sudah menelpon kenapa diam saja?” tanya Nanto.

“Kamu bukan Zambo.” terdengar suara yang aneh. Seperti ada suara ganda pria dan wanita yang bicara bersamaan. Apakah penelponnya menggunakan alat untuk mengaburkan suara asli? Bisa seperti itu ya di handphone jadul?

“Zambo sudah tidak bisa lagi menjawab. Dia sudah lumpuh. Apapun yang kamu perintahkan, Zambo sudah gagal melakukannya. Kalau mau menggangguku, tidak perlu repot-repot mengirim orang, sekarang juga aku akan datang ke tempatmu. Sebutkan saja di mana dan kapan aku perlu datang. Kita berhadapan satu lawan satu secara jantan.”

Suara di ujung sana terdiam, hening untuk beberapa saat. Lalu terdengar kekehan tawa.

“Hehe, bacot.”

Nanto tersenyum, meski dia tahu, orang di seberang sana tidak akan mampu melihat senyumnya.

Dengan suara yakin si Bengal menjawab, “Tidak. Ini bukan bacot. Ini bukan omong kosong, ini kenyataan. Aku tidak peduli pendapatmu. Terserah kamu mau menerimanya atau tidak. Aku sudah menaklukkan Zambo. Karena kamu berani mengganggu kehidupanku, maka aku juga akan mengganggu hidupmu. Jadi bersiap-siaplah. Hanya masalah waktu sebelum aku tahu siapa namamu, di mana kamu, dan apa alasanmu. Setelah itu aku akan memburumu sampai dapat. Saat aku menemukanmu, aku akan membunuhmu...”

“Terserah.”

“Tunggu aku.”

Terdengar sunyi yang lama. Lalu terdengar suara kekehan tawa. “Aku akan menunggumu.”

Klgh. Sambungan dimatikan.

Nanto menatap ke arah Zambo, lalu membawa ponsel itu pergi. Siapapun yang menantang si Bengal, dia tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Dia akan menyesal di kemudian hari karena telah membangkitkan amarah seekor naga. Naga yang saat ini akan kembali ke kota dan menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya.

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda.

Ini adalah kisah tentang kebangkitan amarah menghebat.

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda bernama Nanto, penguasa Kidung Sandhyakala, pewaris terakhir Nawalapatra 18 Serat Naga, pimpinan kelompok Aliansi dari utara, dan sahabat dari Lima Jari.

Ini adalah kisah seorang pemuda bernama Nanto, sahabat Sagu.

Ini… adalah kisah tentang kebangkitan sang Naga.





BAGIAN 16-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17

Contains Tribute to ED & Tkn.
 
BAGIAN 16-B
KITA TIDAK SEDANG BERCINTA LAGI





Nanto dan Asty tertawa bersama, beberapa kali mereka bercanda saat memasuk-masukkan barang ke dalam mobil. Cukup banyak juga yang akan dibawa ke kota. Selain koper dan perlengkapan milik si Bengal, ada juga beberapa hasil kebun om Janu yang nantinya akan dibagi-bagikan. Memang di kampung ini om Janu memiliki perkebunan yang dikerjakan oleh orang-orang setempat. Beberapa buah-buahan akan dihidangkan di acara Trah Watulanang sehingga sekalian dibawa.

Setelah usai memasuk-masukkan barang, Nanto dan Asty duduk berdua di sebuah cakruk bambu di tepian sungai, di samping sebuah jembatan kecil. Sebuah cakruk dengan nuansa asri dan damai, dengan pepohonan rindang melindungi. Mendengarkan suara kecipak air menyapa bebatuan, sembari menatap sawah berpetak-petak nan hijau sejauh mata memandang. Masih terdengar bunyi burung-burung berkicau. Masih syahdu langit yang perlahan menuai warna merah jambu.

Pemandangan yang indah. Si Bengal menatap Asty dengan tatapan mata lembut, ia membenahi kerudung sang kekasih. Di sini juga ada pemandangan yang tak kalah indahnya.

“Kamu cantik banget.”

“Gombal.”

Si Bengal geli sedikit, tapi kemudian wajahnya berubah serius. “Jadi… kamu tidak akan ikut kembali ke kota?”

“Tidak.” Asty tersenyum dan menggeleng. “Tempatku di sini. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Aku sudah mendapatkan pekerjaan, Adek juga sudah sekolah. Rasa-rasanya tidak logis kalau aku kembali ke kota sekarang dan merubah lagi status quo-nya. Aku tidak boleh egois memikirkan diri sendiri, Mas. Aku harus memikirkan Adek juga. Sudah saatnya beristirahat dari segala hiruk pikuk kota, sudah saatnya hidup tenang. Lagipula di sini cukup aman dibandingkan kota yang berbahaya.”

“Tidak ada cara untuk memaksamu ikut?”

Asty mengelus pipi si Bengal, “Tidak sayang… lagipula kita sudah berkali-kali membicarakan hal ini. Keputusanku sudah bulat, demi kebaikan Adek juga. Kontrakan baruku yang ada di dekat sekolah sudah di-DP dan rumah di kota sudah dikontrakkan ke orang lain. Jadi tidak ada kata mundur lagi, tidak apa-apa kan? Kamu toh bisa mengunjungiku kapan saja. Aku akan selalu menunggumu di sini. Sampai kapanpun aku akan menunggumu.”

Nanto mengangguk, “Memang benar. Meski harus berjauhan, aku lebih tenang karena tahu kalian semua aman di sini. Di kota sedang berkecamuk perang yang tak kunjung usai. Akan banyak masalah jika kalian kembali saat ini. Keputusanmu sudah benar, hanya saja aku akan merasa kesepian tanpa kamu.”

“Mudah-mudahan kamu bakal sering mengunjungi kami. Jangan terlampau terlibat dengan semua masalah di kota. Aku tidak ingin ada apa-apa terjadi sama kamu, Mas. Aku selalu ingin kamu baik-baik saja, aku akan selalu mendoakan keselamatanmu.”

Nanto mengangguk.

“Yang pertama, selesaikan kuliahmu, cari pekerjaan yang bagus – dan… pulanglah padaku. Aku akan menunggumu.”

Nanto memeluk sang kekasih, “Yakin mau menungguku selama itu? Aku tidak akan mempermasalahkan jika kamu memilih orang lain. Kamu juga berhak bahagia. Sementara aku yang sekarang mungkin tidak bisa memberikan kebahagiaan itu padamu.”

“Hanya kamu yang aku harapkan.”

“Kapten itu?”

“Dih, kan sudah dibilang – aku memilihmu, bukan yang lain. Makanya buruan pulang ke sini sebelum aku direbut orang lain.”

“Hidupmu adalah milikmu, aku tidak berhak mengaturnya. Tapi jika menungguku, aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi, sampai kapan aku akan tinggal di kota, dan jadi apa aku kelak. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Masa depan masih abu-abu.”

“Tepat sekali, jadi jangan pernah membayangkan hal yang aneh-aneh. Ingat bahwa di tempat ini ada seseorang yang akan selalu menunggu pelukanmu dan akan selalu mencintaimu.”

“Mudah-mudahan kamu dan Adek betah tinggal di sini.”

“Mudah-mudahan.”

Ada jutaan kata yang ingin Asty ucapkan, tapi seperti tercekat di dalam dada dan tak ingin dia keluarkan. Dia benci perpisahan dan dia yakin kelak masih akan berjumpa. Meskipun entah kapan. Mantan guru BK si Bengal itu membenahi rambut sang pemuda. Ada bening air mata yang coba ditahan untuk tidak tumpah. Suara Asty lirih mendendangkan bait-bait lagu kesayangannya.

“Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui.
Ku berharap, meski berat kau tak merasa sendiri.
Kau tlah berjuang, menaklukkan hari-harimu yang tak mudah.
Biar kumenemanimu, membasuh lelahmu.

Izinkan kulukis senja, mengukir namamu di sana.
Mendengar kamu bercerita, menangis tertawa.
Biar kulukis malam, bawa kamu bintang-bintang.
Tuk temanimu yang terluka, hingga kau bahagia…”


Suara Asty tidak kencang, hanya lirih, hanya pelan. Tapi justru itu yang membuat si Bengal tergugah dengan lantunan lembut sang kekasih. Ia memeluk tubuh hangat yang ia sayangi itu. “Semoga kamu bahagia,” bisik si Bengal. “Kamu akan selalu berarti untukku.”

Ketika pelukan terlepas, garis air mata di pipi Asty telah terbentuk. Nanto menghapus air mata itu dengan punggung jari telunjuknya.

Keduanya berpandangan dalam-dalam. Banyak kata yang ingin terucap, tapi tak satupun yang bisa terjawab. Mereka tahu perpisahan sudah digariskan dan tak akan bisa diubah semudah membalikkan telapak tangan. Mereka berdua sama-sama tahu ini adalah jalan yang terbaik. Bukan sebagai wujud ego, tapi karena kedewasaan keduanya yang menyadari saat ini mereka tak bisa bersama. Andai saja menjadi suatu perumpamaan atau mungkin saja diwujudkan menjadi sebuah bayangan maka khayalan dan harapan akan menjadi pondasi, dan kenyataan akan selalu hadir untuk membentangkan jalan kehidupan dengan tematik syahdu berlabelkan suatu ketika dan suatu saat nanti.

“Mas…” Asty memejamkan mata, siap menerima kecupan dari si Bengal. Bibirnya sedikit terbuka. Nanto menurunkan wajahnya. Cantik. Asty terlalu cantik. Bibirnya terlalu indah untuk dibiarkan menganggur begitu saja. Bibir itu harus selalu dikecup dan disayang.

Saat itulah terdengar teriakan dari kejauhan.

“Mas Nantooooo! Mas Nantooooooo!”

Buru-buru si Bengal keluar dari cakruk. Asty mengikutinya.

Sebuah mobil Jeep berhenti di dekat mereka, seorang pria turun dan langsung berlari tergopoh-gopoh menemui pasangan yang tengah asyik masyuk itu. Nanto dan Asty saling berpandangan, ada apa ya? Mereka mengenali orang tersebut sebagai Pak Dukuh. Salah seorang aparat desa yang sering bekerja di kebun bersama si Bengal. Kenapa pula dia datang dengan wajah tegang dan ketakutan?

“Lho, Pak Dukuh? Ada apa ya? Kenapa lari ke sini? Apa ada yang bisa saya bantu?”

“Si… Si Sagu…”

“Sagu?” perasaan Nanto langsung tidak enak. Sagu selama ini dititipkan pada sahabat Kakek yang bernama Pak Di. “Apa yang terjadi pada Sagu?”

“Baru saja ada orang-orang yang menyerang Sagu! Dia terluka! Parah!”

Sagu!? Terluka parah!?

Ada seekor naga yang meraung dalam diri si Bengal mendengar kabar itu, tubuhnya bergetar hebat. Jika ada sosok yang sangat berarti baginya lebih dari keluarga, maka sosok itu adalah sang anjing yang setia. Asty menatap kekasihnya dengan khawatir. Jika terjadi apapun pada Sagu – Nanto pasti akan mengamuk hebat.

Pemuda itu pun segera menatap Asty, terlihat kesedihan luar biasa di wajahnya, sesuatu yang sangat jarang ia lihat pada si Bengal. Terakhir kali ia melihat wajahnya seperti itu adalah saat Nanto kehilangan sang Ibu di masa SMA. Si Bengal meminta ijin yang tak perlu diminta tanpa mengucap kata. Si cantik itu langsung mengangguk, “Pergilah. Cepat. Aku yang akan membantu om Janu berkemas-kemas, aku juga harus menjemput Adek.”

Nanto mengangguk pada Pak Dukuh tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka segera naik ke mobil Pak Dukuh dan melesat pulang kembali ke kampung di dekat hutan sementara Asty mengamati dari kejauhan dengan perasaan campur aduk.

Mobil itu meliuk-liuk melalui jalanan pedesaan dan akhirnya sampai di rumah Pak Di.

Nanto dan Pak Dukuh turun dari mobil. Ia berlari ke kerumunan beberapa orang yang sedang mengitari Sagu. Ada Pak RT, Pak Yatno, Pak Masrun, dan si pemilik rumah – Pak Di. Mereka tinggal di lingkungan yang sama dan saling bertetangga.

“Apa yang terjadi, Bapak-bapak?” Nanto buru-buru datang.

“Sa-sagu, Le. Sagu dicelakai orang!” Pak Di menjelaskan. Mata orang tua itu berkaca-kaca. Bukan hanya Nanto yang menyayangi si anjing putih yang ramah itu. Mereka membuka kerumunan, memperlihatkan kondisi Sagu pada si Bengal. “Mereka menyakiti Sagu… duh aduh Sagu…”

Anjing setia itu tergeletak pasrah. Tubuhnya penuh luka karena habis ditendang. Ada pisau menancap di kaki. ia mengerang kesakitan. Matanya menunjukkan bening air mata.

Tubuh si Bengal bergetar hebat melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu.

Ki-nya menyala dahsyat meski orang-orang di tempat itu tak ada yang bisa menyadarinya. Ia menekan Ki-nya sebisa mungkin. Wajah Sagu terlihat senang saat melihat sang tuan. Dia berusaha berdiri, namun tak sanggup. Kondisinya memelas, tubuhnya juga sangat lemah. Ia berusaha menyalak, tapi tak ada suara lantang seperti biasa keluar dari moncongnya. Hanya ada lolongan sedih. Seakan-akan bertanya, kenapa ada yang sampai hati menyakitinya padahal dia tidak salah apapun.

Nanto tidak terima.

Menyakiti? Lebih daripada itu. Siapapun mereka, bajingan-bajingan itu berusaha membunuh Sagu. Nanto tidak terima. Sungguh beruntung dia anjing yang kuat sehingga mampu bertahan. Nanto mengelus-elus kepala Sagu, ia berusaha menahan tangisnya.

“Tenang, Nak… tenang… aku sudah di sini.” Nanto memeluk Sagu dengan tangan gemetar. Ia mengelus-elus anjing itu sembari menumpahkan rasa sayang yang amat sangat. “Tenanglah… tenanglah… kamu istirahat dulu, tidak perlu berdiri. Aku tahu… aku tahu… pasti rasanya sakit sekali. Tenanglah, aku tidak akan membiarkanmu disakiti orang lagi, aku yang akan membalasnya. Kamu jangan khawatir, kamu tenang saja.”

Pak RT geleng-geleng kepala, “Kok ya ada yang setega ini sama binatang… biadab banget. Padahal dia anjing yang sangat manis dan penurut. Tidak pernah galak sama orang kampung sekitar.”

Pak Di melirik ke pemilik mobil Jeep, “Pak Dukuh, bagaimana ini enaknya?”

Pak Masrun yang kemudian menyumbangkan usulnya. “Saya tahu dokter hewan di dekat sini. Lokasinya tidak terlalu jauh. Saya bersedia mengantarkan Sagu kalau diijinkan.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya akan sangat berterima kasih kalau Bapak bersedia,” ujar si Bengal.

Pak Dukuh menunjuk ke arah mobilnya yang diparkir di depan halaman rumah. “Luka si Sagu masih belum lama, kondisinya juga tidak terlalu serius jika bisa dirawat secepatnya – lemasnya mungkin karena shock dan luka terbuka. Darahnya terus menerus mengucur, dia bisa mati kehabisan darah kalau kita terlambat. Kita harus membawanya sekarang. Kemungkinan selama masih sangat besar.”

Nanto mengangguk pada dua orang tersebut – Pak Dukuh dan Pak Masrun yang segera membungkus tubuh Sagu dengan selimut milik Pak Di, mereka menggendongnya untuk masuk ke mobil. Sagu sempat berontak, tapi Nanto terus menerus mengelus kepala anjing malang itu.

“Sabar… sabar… sebentar lagi kamu akan sembuh. Kita kejar-kejaran lagi di hutan kalau kamu sudah sembuh ya.” Si Bengal mengangguk pada Pak Dukuh dan Pak Masrun yang akhirnya berhasil menempatkan Sagu ke dalam mobil. “Terima kasih, Bapak-bapak berdua. Saya titip Sagu. Mohon maaf tidak bisa ikut bersama kalian karena saya…”

Baik Pak Dukuh maupun Pak Masrun tahu apa yang akan dilakukan oleh si Bengal. Setelah semua yang dilakukan pemuda itu saat membantu tanpa upah, tanpa mengeluh, dan tanpa pamrih di kebun mereka, hal inilah yang bisa mereka berikan untuk si Bengal.

“Santai aja, Mas. Cari bajingan-bajingan itu sampai dapat. Kami berangkat duluan.” Pak Dukuh berada di belakang kemudi. Ia langsung memasang sabuk pengaman. Di belakang, Pak Masrun menemani Sagu.

“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih. Tolong beri saya kabar mengenai perkembangan apapun, baik atau buruk. Saya akan datang setelah menyelesaikan persoalan.”

“Siap, Mas.”

Mobil yang dikendarai Pak Dukuh pun melaju dengan kecepatan tinggi ke arah dokter hewan terdekat agar Sagu segera mendapatkan perawatan intensif. Nanto tak kuasa menahan gemetar tubuhnya. Dia akan memburu orang-orang itu! Sampai ke neraka sekalipun dia akan memburu mereka!

Yang tinggal hanyalah Pak RT, Pak Di, dan Pak Yatno.

“Bapak-bapak bertiga. Apakah Bapak-bapak tahu siapa pelakunya?” suara Nanto terdengar berbeda, dingin dan dalam. Ia berusaha menekan kemarahan luar biasa yang ia rasakan. Wajahnya memerah menahan amarah, dia terus menerus berusaha tenang. “Apakah ada di antara Bapak bertiga yang melihat pelakunya?”

“Se-sepertinya aku tahu, Mas…” Pak Yatno menunjuk ke arah depan – ke arah hutan. “Mereka lari ke sana. Satu rombongan pakai jaket hitam, rambutnya gondrong-gondorng. Kayak rombongan begal. Bukan dari kampung sini.”

“Baiklah. Saya akan mengejar mereka.”

“Tidak perlu! Kami sudah datang!” terdengar suara lantang berkumandang, “Bahahahahaha! Jadi kamu yang namanya Nanto? Bagaimana rasanya melihat anjingmu mampus? Bahahahahaha.”

Seseorang menyeruak dari balik semak-semak belukar, di belakangnya ada beberapa orang lagi yang menyusul. Satu, dua, tiga, empat, lima… sepuluh, lima belas. Nanto mengamati bayangan-bayangan yang akhirnya datang itu.

Lima belas orang.

Siapa mereka?

Apa yang dikatakan Pak Yatno benar – mereka memakai jaket hitam dan berambut gondrong. Si Bengal tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Siapa, darimana, dan kenapa menyakiti Sagu?

“Bapak-bapak, silakan meninggalkan tempat ini dan mencari tempat aman,” bisik Nanto pada Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di. “Keadaan akan menjadi sangat buruk.”

Ketiga tetangga Nanto itu pun segera pulang ke rumah masing-masing dan mengunci pintu mereka. Ketiganya menutup tirai dan mengintip dari sela-sela tirai yang terpasang.

Arena terbuka.

Satu lawan lima belas.

Nanto mendengus. Dia menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menangkup jari jemari tangan kanan dengan jari jemari tangan kiri, menggemeretakkannya, dan melakukan sebaliknya setelah itu. “Kalian yang melakukannya? Kalian yang menyakiti Sagu?”

Pimpinan kelompok yang rambutnya gondrong jabrik maju paling depan. “Kalau iya memangnya kenapa? Heheheh. Dasar bocah. Bisa apa kamu lawan kami semua? Paling cuma bisa terkencing-kencing kalau kami keroyok. Tapi supaya kamu tenang, kami kasih tahu saja! Ya! Memang kami yang menendangi anjing bau itu, tapi bukan kami yang menusuk kakinya. Menurut kami sih anjing seperti itu memang lebih baik dibunuh – supaya tidak menimbulkan masalah untuk warga desa, supaya tidak mengotori jalanan dengan tae-nya! Jijik banget lihat anjing di sini!”

Nanto tidak mengucapkan apapun. Dia hanya berdiri dengan tenang dan matanya terpejam, ketika matanya terbuka, dia menatap tajam si Jabrik sembari mengucap satu rangkaian rapalan. “Sakdumuk bathuk, saknyari bumi, ditohi pati.”

Si Jabrik mulai kehilangan kesabaran. Dia mengayunkan tangan, “Midun! Maju kamu! Selesaikan dia supaya kita cepat pulang!”

Nanto mendengarnya. Rupanya begitu, mereka orang-orang bayaran.

Seorang pria bertubuh tinggi besar maju terdepan, namanya sudah pasti Midun. Midun seorang preman pasar yang sering jaga parkiran di Indom@ret. Wajahnya tersenyum culas dan meremehkan. Midun mencibir ke arah si Bengal. Jadi ini target mereka? Cuma precil. Kenapa harus sampai rombongan yang diundang kalau lawannya cuma seukuran Nanto begini? Dia sendiri juga sudah cukup. Memangnya si Nanto bisa apa? Paling-paling hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkannya.

Midun berjalan dengan santai. “Tenang saja, Bos. Saya juga sudah cukup untuk…”

Tap.

Telapak tangan Nanto mendarat di wajah Midun. Dia mencengkeram wajah pria bertubuh tinggi besar itu dengan teramat kuat. Midun mencoba melepaskan cengkraman dengan merobek lengan si Bengal namun pemuda itu tak bergeming sedikitpun. Lengannya sangat kuat dan kokoh. Ti-tidak mungkin!? Terbuat dari apa tangannya? Kenapa bisa sekencang ini cengkramannya?

Kenapa…

Midun merasakan seluruh tubuhnya terangkat, napasnya mulai sesak karena cengkraman Nanto mendesak wajahnya. Midun meronta-ronta tapi percuma! Nanto sama sekali tidak berniat melepaskan pria bertubuh besar itu.

Nanto mengangkat kepala Midun, lalu membantingnya ke bawah dengan sangat kencang.

Bledaaaaammmm!!!

Midun tak bisa bangkit, tubuhnya terasa sakit. Ada lekukan di tanah saking kencangnya Nanto membanting pria itu. Kepala belakangnya berasa sakit bukan kepalang. Dengan penuh rasa marah, si Midun berusaha bangkit. “Kurang aj…”

Tap.

Sekali lagi Nanto mencengkeram wajah Midun, lalu mengangkat dan membanting tubuh pria perkasa itu dengan sekuat tenaga seakan-akan hendak menanamnya ke bumi.

Bledaaaaammmm!!!

“Ku... kura…” Midun pusing bukan kepalang. Darah mulai menetes dari kepala belakangnya. Tapi Nanto masih belum selesai.

Tap.

Kali ketiga. Nanto mencengkeram wajah Midun, mengangkatnya, lalu membanting pria itu sekuat tenaga.

Bledaaaaammmm!!!

Lalu melakukannya lagi, lagi, dan lagi.

Bledaaaaammmm!! Bledaaaaammmm!! Bledaaaaammmm!!

Midun tersengal-sengal, darahnya mengucur lebih deras, ia sesak sekali. Matanya tak bisa terbuka. Napasnya tak lancar. Dia tak bisa bernapas! Midun menggapai-gapai ke atas. Meminta pertolongan seseorang untuk datang dan membantunya berdiri.

“Ba… bangs…”

Tapi bantuan tak datang, justru kaki Nanto yang merujak wajahnya.

Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh! Jbkkkkghhh!

Berulang kali kaki si Bengal menginjak-injak wajah Midun dengan penuh amarah, merombak wajah pria itu hingga bermandikan darah. Midun akhirnya tak sadarkan diri. Wajahnya mungkin sudah tak bisa lagi dikenali. Rahangnya sudah geser dan giginya lepas kemana-mana.

“Satu,” desis Nanto dengan geram sembari menatap ke depan. “Masih empat belas bajingan lagi.”

Si Jabrik terbelalak, ia melangkah mundur sembari menunjuk dua orang. “Maju! Kalian berdua!! Majuu!”

Dua orang berlari ke depan, menuju posisi kiri dan kanan Nanto. Si Bengal masih tetap tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Nanto hanya bergerak dua kali. Ke kanan sekali, ke kiri sekali. Ia melakukannya tepat pada saat jarak kedua lawannya sudah tinggal dua langkah besar ke depan.

Saat melompat ke kanan, Si Bengal menyabetkan tangan kanannya.

Sblkgh!

Lawan di kanan terlempar sejauh tiga meter. Giginya rompak dan hidungnya bergeser. Darah muncrat dari wajahnya. Si Bengal sama sekali tak mengurangi tenaga Ki-nya. Dia tidak peduli mereka orang-orang tak berdaya atau bukan pengguna Ki. Mereka telah menyakiti Sagu, mereka harus membayarnya.

Nanto mengulang gerakan. Saat melompat ke kiri, Nanto menyabetkan tangan kirinya dua kali.

Sblkgh! Sblkgh!

Sang lawan juga terlempar. Kondisinya sama mengenaskan, hampir semua gigi depannya hancur dan patah, bisa dipastikan tulang dadanya retak karena membiru dan lebam. Begitu kerasnya pukulan si Bengal. Tulang pipinya juga langsung membiru karena ada yang retak di bagian itu.

Tidak cukup sampai di situ. Nanto mengejar lawan di kanan, lalu menyepak kepalanya.

Jbkkkghhhh!!

Darah bertebaran kemana-mana. Orang itu langsung pingsan tanpa bisa ditahan. Ia sudah tidak kuat lagi. Nanto melompat ke udara dan mengejar lawan yang di kiri, orang itu masih tersengal-sengal karena semua mulutnya berdarah. Tapi Nanto tak memberi ampun. Dia juga menyepak kepala orang di kiri.

Jbkkkghhhh!

Orang itu pun pingsan seketika.

“Tiga terbilang,” bisik Nanto. “Dua belas lagi.”

Si Jabrik tak percaya ini. Bagaimana mungkin Nanto bisa menghancurkan lawan-lawannya dengan sebegini mudahnya? Jangan-jangan dia seorang petarung kelas A? Tapi tidak… bacaan Ki oleh si Jabrik tidak mungkin salah, tidak mungkin Nanto seorang petarung kelas A! Tidak mungkin dengan Ki sekecil ini! Ini pasti salah! Ki milik Nanto bahkan hampir-hampir tak terbaca! Mana mungkin dia seorang petarung Kelas A atau B?

Jabrik geram, “Maju semua!! Maju semuanyaaaaaaaa!!! BUNUUUUUH DIAAAA!!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

“Seraaaaaaaaaaaaangg!!”

“Bunuh diaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Sembari berteriak kencang, Sebelas orang maju secara serentak, mengincar kepala si Bengal yang berjalan dengan tenang ke arah mereka. Si Bengal masih tak merubah ekspresi, tatapan matanya selalu tajam ke satu titik. Ke arah si Jabrik! Pemuda dengan rambut jabrik itu pun merasa gerah, keringatnya mengalir deras. Hanya ada satu solusi hari ini! Dia atau Nanto yang mati!

Nanto mengambil kuda-kuda ala Wing Chun seperti biasa. Ada ketenangan dalam gerakannya yang tegas dan kaku. Gerakan yang patah-patah tapi pasti. Sebelas lawan maju serentak. Apa yang harus dilakukan? Pertama adalah mengetahui pergerakan mereka, hendak kemana mereka melangkah, mau apa mereka, dan dalam jarak yang seberapa. Semuanya diperhitungkan dalam sepersekian detik. Kesalahan pengambilan keputusan akan fatal akibatnya.

“Weruh rosing roso kang rinuruh.” Nanto membuka Gerbang Pengamatan.

Si Bengal merunduk. Tangan kanannya menyentuh tanah, tangan kiri diletakkan menyilang di pinggang belakang. Kedua kaki ditekuk, kaki kiri lebih maju daripada kaki kanan. Kepala lurus ke depan.

Mata si Bengal berkilat. Ia mulai memindai situasi.

Orang pertama ke sana, orang kedua akan melakukan ini, orang ketiga akan menjadi seperti itu. Baiklah. Lanjut orang keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Orang kesembilan hingga kesebelas akan melakukan seperti itu rupanya. Nanto memahami pergerakan dan sikap mereka semua satu persatu hanya dalam hitungan detik.

Pemindaian selesai.

Nanto berdiri, kakinya mundur dua langkah. Tangannya melakukan gerakan dengan cepat, seperti sesuatu yang sudah dia hapal di luar kepala. Ada banyak gerakan dilakukan dengan kecepatan tinggi, tepatnya delapan belas gerakan. Dari posisi pertama hingga yang ke delapan belas dilakukannya tanpa cacat. Kedua tangan kanan Nanto menyentak ke depan, lalu diputar sembari ditarik ke belakang seperti menyedot udara ke dalam satu pusaran dahsyat. Seperti vacuum yang menghisap ke dalam.

Ki pada tubuh si Bengal menyala dahsyat, bibirnya terbuka, tipis-tipis rapalan diucapkan. “Geni dadi sucining jagad, dewa sang hyang girinata dadi raja, gagamaning naga kinarya dewa.”

Penyerang-penyerangnya semakin dekat. Sudah tidak ada waktu untuk mengelak. Sekarang atau tidak sama sekali. Kedua tangan si Bengal disentakkan ke depan, ada raungan binatang raksasa yang muncul dan terbawa oleh tenaga yang dihempaskan Nanto.

Lontaran tenaga dalam yang menghancurkan apa pun yang ada didepannya.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Sebelas orang terlempar ke belakang empat meter masing-masing jauhnya. Mereka semua jatuh bersamaan. Tidak ada yang berhasil menyentuh si Bengal sedikitpun. Mereka semua mengerang kesakitan. Tidak ada yang tubuhnya utuh. Ada yang kakinya patah, ada yang tangannya patah, ada yang tulang di bahunya patah dan tembus hingga keluar, ada yang sebagian tangannya terbakar. Ada yang tangannya berbelok ke arah yang salah.

Edannya, ada beberapa pohon kokoh yang juga ikut tumbang.

Efek dari 18 Serat Naga memang berbeda-beda untuk setiap penerimanya – karena terdiri dari 18 pukulan naga yang berbeda-beda jenis namun dilepaskan secara bersamaan. Kekuatannya jelas sangat dahsyat. Apalagi ini masih belum tingkatan pemuncak.

Jabrik gemetar ketakutan melihat semua teman-temannya tumbang, hanya menyisakan dia sendiri berdiri. Apa-apaan ini? Mana mungkin mereka kalah? Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia menyembunyikan aura Ki-nya? Apakah dia petarung kelas A? Hanya seorang petarung besar yang mampu melakukan hal semacam ini! Siapa dia?

Jabrik mulai belingsatan, “Banguuuun! Apa yang kalian lakukan? Bantu aku! Kita harus menghajar dia sampai mampuuuus!! Banguuun kalian semuaaaaa!!”

Tidak ada yang mampu menjawab Jabrik, berteriak pun mereka tidak akan mampu. Si Bengal berjalan dengan tenang ke arah Jabrik. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Seakan-akan apa yang dia lakukan ini memang sudah sepantasnya dia lakukan. Jika mengingat apa yang bajingan ini lakukan pada Sagu, maka Nanto tidak akan menahan pukulannya.

“Tu-tunggu dulu…” Jabrik melangkah mundur dan memohon ampun, wajahnya keringatan, bajunya basah kuyup. “Kamu tahu aku sebenarnya tidak ada masalah denganmu. Kami hanya orang-orang bayaran saja dari kota di pantai utara. Dibawa ke sini khusus untuk menghabisimu. Jangan salahkan kami, kami hanya ingin memberi makan anak istri… kamu tahu kan? Kamu pasti paham kan kalau…”

Jbooooooooooooooooooooooookghhhh!

Pukulan Nanto menghajar wajah Jabrik.

Tubuh preman itu terlontar sampai berputar ke belakang berulang-ulang kali gara-gara pukulan yang merombak wajah. Darah muncrat kemana-mana. Namun belum benar-benar sampai jatuh ke bawah, si Bengal sudah sampai di posisi jatuh si Jabrik. Tangan Nanto maju dan menahan kerah baju yang dikenakan Jabrik, mengunci posisinya. Jabrik yang lemah mencoba meronta, tapi dia tidak mampu. Cengkraman Baja si Bengal telah bekerja.

Nanto memegang erat kerah sang lawan yang lunglai supaya ia tidak benar-benar jatuh ke tanah. Masih ada sesuatu yang harus ditanyakan.

"Siapa yang menyuruh kalian?” tanya Nanto dengan suara tegas dan tenang, cengkramannya di kerah baju si Jabrik sangat kencang. Preman itu tak akan bisa kemana-mana. “Jawaaaaab!”

“Cuh!” Ludah si Jabrik mendarat di wajah si Bengal. Dia kesal bukan kepalang setelah dipukul oleh Nanto barusan. Kali ini dia melawan, “Aku tidak berkewajiban menjawab satu pun pertanyaanmu! Pergi saja ke neraka! Temui anjing sialanmu itu di sana!! Hahahahaha!!”

Nanto menarik napas, ia menatap ke arah Jabrik dengan tatapan mata tajam. Ia menyapu ludah Jabrik dengan punggung tangan dan mengelapnya menggunakan baju si preman. Ini bukan masalah ludah, ini masalah dendam Sagu.

Ada suara dari batin Nanto. Hitung sampai tiga dan berikanlah neraka. Tidak ada ampun.

Si Bengal memejamkan mata, lalu menarik napas panjang.

Satu. Dua. Tiga.

Hancurkan dia.

Nanto menarik tangannya ke belakang. Lalu dengan satu hentakan, ia meluncurkan badai pukulan tanpa henti.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!


Kepalan tangannya bekerja gattling gun. Pukulan demi pukulan dilepaskan tanpa ampun. Bagaikan mesin uap yang menjalankan kereta api. Ditarik, dilepaskan, ditarik, dilepaskan, ditarik, dilepaskan. Targetnya hanya satu. Wajah si Jabrik. Setiap lontarannya membawa serta kehancuran di wajah sang preman.

Nanto melepaskan cengkramannya di kerah baju Jabrik. Pemuda preman itu doyong tak tentu arah. Berhentikah si Bengal?

Tidak.

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!

Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh! Jbkgkh!


Pukulan demi pukulan terus masuk menghajar wajah si Jabrik. Dari kanan, dari kiri, dari tengah, dari kanan, dari kiri. Tubuhnya terlontar ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kanan, lalu doyong ke kiri, lalu ke kanan, kemudian ke kiri. Dia benar-benar dihajar sampai tak mampu berbuat apa-apa.

Akhirnya tubuh Jabrik sudah siap rubuh ke depan, kesadarannya sudah terpupus. Tapi sekali lagi tangan kiri Nanto mencengkeram kerah bajunya.

Enak saja! Tidak semudah itu pingsan! Tidak semudah itu menyerah! Bahkan Sagu pun pasti tidak menyerah sewaktu kalian hajar!

Nanto tahu itu dengan pasti.

Jabrik mencoba mengangkat tangannya yang bergetar. Menyerah. Ia menyerah.

Tubuh Jabrik sudah lemah tanpa daya. Dia tak bisa melakukan apa-apa sedikitpun, jangankan melawan – untuk mengangkat tangan pun sudah sangat susah. Tamat sudah semuanya. Hanya ada satu cara untuk menghentikan si Bengal menghajarnya. Jabrik pun akhirnya menyerah pada nasib, ia akhirnya bersedia mengaku siapa yang telah menyuruhnya.

“Haa… hakkk… haaakkkuww di… di… srrhrrhh… jj… hhaaantuww… ttpeeenn… gg… mmmeraaahhh…” suara Jabrik tak jelas, mungkin karena dia lemah, mungkin karena giginya sudah hampir seluruhnya tanggal, mungkin karena wajahnya pun sudah dirombak sedemikian rupa sehingga. Darah mengucur dari mana-mana. Kalau saja si Bengal tidak berhenti, Jabrik mungkin sudah mati sejak tadi.

“Apa maksudmu?” tanya Nanto. “Hantu?”

Si Jabrik menggeleng pelan, hendak membuka mulut. “Jjj… hhaaantuuuww… ttp… ngg… mmmmrhh… bknn… mmmrrh…”

Sblp!

Kepala Jabrik terkulai ke belakang. Ia tak sempat menuntaskan kalimatnya yang tak jelas. Ada bercak darah terciprat mengenai wajah si Bengal.

Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di muncul dari balik jendela rumah mereka masing-masing. Semua berteriak histeris sembari menunjuk-nunjuk.

“Mas! Mas! Di kepalanya, Mas!!”

Nanto menegakkan kepala Jabrik.

Di kepala pria itu sudah tertancap sebuah pisau. Pisau yang dilontarkan dari jarak jauh. Pak RT, Pak Yatno, dan Pak Di semuanya segera datang membantu si Bengal untuk mengamankan si Jabrik. Siapapun yang menyerang orang ini, pasti masih berada di lingkungan sekitar.

Nanto mengamati pisau itu. Pisau dengan motif gagang yang sama seperti pisau yang menancap di kaki Sagu. Orang yang juga tak boleh lolos.

Si Bengal mencoba memindai wilayah, membaca daerah, dan menjelajah denah. Siapa yang melakukan ini? Siapa yang mampu membunuh dari kejauhan? Apakah hantu yang disebut-sebut oleh si Jabrik tadi? Nanto meloncat ke atas atap rumah dengan satu gerakan ringan yang anggun, Ia mencoba membaca Ki di sekitaran tempat ini.

Sampai akhirnya dia menemukan satu tenaga Ki di kejauhan, tengah berlari menjauh menuju hutan. Tenaga Ki asing yang tidak dia kenali. Sudah pasti itu milik si pelontar pisau! Nanto menyerahkan mayat Jabrik kepada Pak Di, Pak Yatno, dan Pak RT.

“Tolong jaga dia dan teman-temannya, Bapak-bapak. Panggil polisi kalau perlu. Mereka bersalah telah melukai Sagu.”

“Sudah, Mas. Saya sudah memanggil polisi. Mereka akan segera datang. Orang yang kepalanya tertancap pisau itu juga akan kami…” belum sampai Pak RT selesai bicara, Nanto sudah melesat pergi. Pak RT sadar si Bengal tidak boleh buang-buang waktu.

Dia tahu Nanto sedang memburu seseorang dan saat Nanto sudah memburu, orang itu pasti tidak akan selamat.

Gerbang Kecepatan dipompa.

Satu orang lagi. Si pelempar pisau. Dia tak boleh lolos. Siapapun yang menyakiti Sagu, tidak akan mendapatkan maaf dari Nanto. Siapapun. Dengan kemarahan yang luar biasa pemuda itu bahkan tak menapak tanah untuk berhenti. Dia meloncat dari batang ke batang, dari pohon ke pohon, gerakannya tak akan bisa diikuti oleh mata telanjang.

Sampai akhirnya pemindaian tenaga pengguna Ki itu terhenti tak jauh dari sebuah tanah kosong. Sebuah petak sawah kering yang belum digunakan.

Sang pelempar pisau berhenti. Dia terengah-engah.

Tak mengira si Bengal akan mengejarnya tanpa henti. Darimana bocah sialan itu bisa mendeteksi posisinya? Apakah dari tenaga Ki yang ia kerahkan? Tapi dia bahkan tidak menggunakan Ki yang terlalu besar dan sudah menekannya sekecil mungkin. Mustahil mendeteksi Ki yang ia miliki kecuali bocah ini sudah mencapai petarung kelas…

“Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan di sini?” Nanto mendarat dengan ringan di sebuah pematang tak jauh dari posisi orang itu. Kakinya menapak begitu lembut bagaikan kapas.

Saat sang pelempar pisau berbalik, Nanto menjumpai wajah yang aneh. Hidungnya dicat merah, wajahnya dicat putih, rambutnya hijau dan di bibirnya ada hiasan merah lebar. Badut? Pelempar pisau itu seorang badut? Ia pun mengerutkan kening. Siapa orang ini?

“Hehehe. Sebenarnya tidak wajib menyebutkan nama bukan? Tapi tidak apa-apa. Namaku Zambo si Badut Pisau dan aku anggota Pasukan Badut. Ketahuan dari nama panggilanku, kalau keahlianku lempar pisau. Bukan lempar pisang apalagi lempar kulkas.” Sambil tertawa-tawa Zambo mengeluarkan dua pisau dari dalam jaketnya, Ia memainkannya dengan lihai. “Bagaimana anjingmu? Apakah harus diamputasi? Waahhahahahah! Sudahlah, dia sudah tamat. Mending dibikin tongseng saja. Waahhahahaha.”

Nanto geram. Ini orangnya yang telah mencelakai Sagu!

“Kamu mencelakai seekor anjing yang tak berdosa dan tak pernah berbuat salah kepadamu. Dosamu luar biasa. Anjing itu memang tidak akan mampu melawan dan hanya bisa pasrah kamu perlakukan seperti itu, tapi aku tak akan memaafkanmu,” ujar Nanto. “Sebelum kubuat kakimu cacat seumur hidup, sebutkan siapa yang telah mengirimmu. Bagaimana kamu bisa tahu tempat ini?”

“Hehhehe… panjang ceritanya. Tapi Ki Juru Martani dan KRAd kirim salam.”

Nanto menghela napas panjang. Lagi-lagi mereka. Sepertinya dia benar-benar harus membuat perhitungan dengan KRAd sesampainya di kota nanti. Baiklah. Dia sudah tahu siapa yang bertanggung jawab. “Terima kasih. Jangan khawatir, aku tetap akan membuatmu hidup supaya hidupmu sengsara selama-lamanya.”

“Bwahahahhahaha, apa maksudmu?”

Nanto menatap Zambo dengan mata tajam tanpa berkedip.

Ada sesuatu yang membuat wajah si Bengal sangat mengerikan meskipun sikapnya tenang dan tidak agresif. Sang badut mendengus. Tanpa ancang-ancang si Badut Pisau melemparkan kedua pisaunya,

“Modar wae kowe, suuu!”

Swwssh! Swwssh!

Kedua pisaunya jatuh tak menemui sasaran. Hanya ruang kosong. Hanya dalam sekejap mata, Nanto sudah menghilang dari pandangan mata Zambo. Sang badut pun terkesiap. Apa yang terjadi? Tidak mungkin ada yang bisa menghindar dari incarannya! Tidak mung…

Bldkkkkghhh!

Satu sapuan tepi tangan menghajar tengkuk Zambo dari belakang. Sang badut langsung terdorong ke depan dengan kepala pusing dan siap muntah-muntah.

Tapi dia tak bisa melakukannya.

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Ada telapak tangan yang kemudian menghajar dagunya dari bawah, lalu ada kepalan menempeleng kepalanya dari kanan, lalu ada lutut yang menghantam rusuknya, lalu ada cengkraman yang memutar tangannya, dan akhirnya ada kekuatan yang membanting tubuhnya dengan sangat kencang ke tanah.

Bldkkkkghhh!

Mata Zambo terkejap saat ia kembali tersadar. Ia baru saja dibanting!

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terasa kesakitan karena menghantam tanah dengan keras dan dihajar dengan kecepatan tinggi. Dia tidak pernah mengira akan jatuh secepat ini. Zambo mencoba bangkit tapi…

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang terjadi yang membuatnya meronta-ronta dan menjerit seperti orang gila.

“Kamu menusuk kaki anjingku,” kata Nanto yang tengah mengunci tubuh Zambo, ia memegang kaki sang badut. “Seperti ini.”

Sblp!

“Heee? Heaaaaaaaaaaaaaaaaarghhhh!!”

Zambo berteriak kesakitan!! Pisau yang tadi ia lempar kini menancap di betis kaki kanannya. Menembus kakinya dari sisi kiri ke sisi kanan! Dia meronta-ronta meminta lepas, tapi Nanto sangat kencang mengunci tubuhnya. Zambo sama sekali tak bisa bergerak!

“Kamu pasti berharap lebih baik mati saja, bukan? Sakit kan? Aku tambah lagi supaya lebih adil.”

Sblp!

Zambo kembali berteriak. Tubuhnya meronta ke kanan dan kiri. Sakit sekali! Sakit sekali! Sakit sekali! Kali ini pisaunya yang kedua menusuk kakinya dari belakang ke depan, membentuk persilangan dengan pisau yang pertama. Ini sakit sekali! Dia mohon! Dia memohon! Dia memohon! Mulutnya terbuka tapi tak satu suara pun keluar karena rasa sakit hebat yang ia rasakan.

Nanto bukannya tak menyadari itu, dia memang sengaja.

“Maaf? Kamu minta maaf? Tidak. Siapapun yang menyakiti anjingku, tidak akan ada ampun.” Nanto menarik pisau pertama ke samping dan pisau kedua ke atas. Merobek kulit dan daging kaki kanan Zambo.

Shrrgh! Shrrhgg!

Zambo kesetanan. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Make-up badutnya sampai luntur. Dia masih meronta, tapi tetap tak bisa bergerak. Darah berceceran di mana-mana.

Dia mohon ampun. Dia mohon ampun. Dia mohon ampun. Dia tidak kuat lagi, dia tidak kuat. Tak ada kata terucap, hanya wajah penuh penderitaan dan penyesalan yang ditunjukkan.

“Tidak peduli,” dingin Nanto menanggapi. “Anjingku sedang sekarat, tapi mudah-mudahan selamat. Luka di kakinya tidak terlalu parah karena lemparan pisaumu tidak mengenai bagian vital. Tapi meski kakinya pulih kemungkinan dia akan pincang seumur hidup. Nah kalau kamu… kamu tidak akan seberuntung itu. Aku tidak akan membiarkan orang yang telah melakukan hal yang keji pada anjing yang tak berdosa bisa hidup dengan tenang. Orang yang tak pernah menghargai makhluk hidup lain, dipastikan tidak punya rasa simpati. Kamu juga tega terhadap yang lemah – kamu bahkan membunuh si Jabrik untuk membungkam mulutnya. Katakan padaku, apakah kamu pantas dimaafkan dan pantas hidup?”

Nanto berbisik, mengucap rapalan untuk membuka Gerbang Tangan Baja. Ada Ki dahsyat menyelubungi kedua tangan si Bengal. Zambo bisa merasakan maut akan segera menghampirinya. Si keji itu menggelengkan kepala dengan lemah. Jangan… jangaaaan… jangaaaaaaan…

Sbkghh!

Pukulan ringan dilontarkan. Pelan saja. Ke arah tengah kaki kiri Zambo. Satu pukulan lemah. Tapi pukulan lemah itu ternyata mampu meremukkan tempurung lutut. Sang badut bahkan sudah tak bisa lagi berteriak. Sakitnya luar biasa!! Mulut dan matanya terbuka lebar tanpa ada suara sedikit pun.

“Tenang saja. Tak akan kubiarkan kamu mati dengan mudah. Tidak setelah menyakiti Sagu. Yang berikut ini adalah untuk membuatmu sedikit lebih tenang, sobat.”

Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh! Bkghh!

Kepalan tangan Nanto beraksi. Seluruh tubuh Zambo tak ada yang lolos.

Tangan si Bengal bergerak dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, hanya dalam hitungan detik, dan dalam beberapa helaan napas. Begitu cepatnya si Bengal menghancurkan semangat Zambo dengan badai serangan pukulan tanpa ada yang bisa menahan.

“Sudah bisa membayangkan apa yang telah kalian lakukan terhadap Sagu? Bagaimana rasanya?”

Nanto mengangkat kaki kanan Zambo, mencengkeramnya, lalu memutarnya ke arah yang tidak dimungkinkan oleh akal sehat. Satu, dua, tiga. Si Bengal memutar tulang kaki Zambo ke tiga arah yang berbeda.

Krgh! Krgh! Krgh!

Mulut dan mata Zambo terbuka lebar tanpa ada suara sedikit pun.

Zambo bahkan sudah tak bisa lagi berteriak. Jangankan berteriak, bicara pun tak dimungkinkan. Tulang-tulang di kaki kanannya hancur, kulit dan daginya berceceran di sawah, tempurung lutut kaki kirinya hancur. Dia pasti akan cacat seumur hidup.

“Sampaikan pada Ki Juru Martani dan KRAd-nya kalau mereka akan berhadapan denganku. Tidak perlu mencariku ke sini karena aku yang akan mendatangi mereka.” Nanto berdiri dengan jumawa di atas tubuh Zambo. “Baiklah. Kaki sudah dibalas kaki, tapi tanganmu yang jahat akan tetap berbuat jahat karena sering dipakai untuk melemparkan pisau. Aku tidak bisa membiarkan itu. Sagu tidak akan membiarkan itu.”

Zambo menangis sesunggukan, untuk pertama kalinya akhirnya dia bicara. “S… sdh… sdhhh ckuppp… Sdhhhh… sddhhhh…”

Nanto masih diam tanpa ekspresi, tapi ia kemudian menirukan satu iklan yang populer. “Aku beri satu kesempatan…”

Zambo masih menangis, “Tma ksssshhh… tmm kssshhh…”

“…untuk tangan kirimu. Kamu masih butuh tangan kiri untuk cebok bukan? Rasanya sudah cukup satu tangan saja. Aku tidak akan memberi kesempatan pada tangan kananmu.”

Zambo terbelalak karena terkejut ketika si Bengal kemudian memegang pergelangan tangan kanannya. Dia menggeleng kepala dengan ketakutan. Kedua kakinya sudah hancur! Masa dia tidak diberi kesempatan untuk…

Kaki si Bengal menginjak siku tangan Zambo, lalu tangannya bergerak dengan cepat. “Demi Sagu.”

Krrgghhh!

“Demi Sagu.”

Krrgghhh!

“dan demi Sagu.”

Krrgghhh!

Zambo berteriak sangat kencang. Tulang tangan kanan Zambo sudah patah-patah tidak karuan, beberapa bagian keluar sampai tembus dari kulitnya. Begitu sakitnya sampai akhirnya Zambo mengerang dan pingsan. Darah mengucur deras dari semua bagian tubuhnya.

Melihat kondisi sang Badut, Si Bengal melepas kekuatan Gerbang Tangan Baja yang ia gunakan sampai tuntas. Zambo sudah tidak bisa apa-apa lagi kini. Dia sudah habis.

“Buat kamu, Sagu,” bisik Nanto perlahan sembari memejamkan mata. “Dendammu sudah kubalaskan, Nak.”

Ia berbalik badan dan hendak melangkah pergi. Ada bunyi notifikasi masuk dan ponselnya bergetar. Nanto menarik smartphone dari dalam saku. Dia menatap layar ponselnya, ada pesan WhatsApp masuk. Dari Pak Dukuh. Buru-buru si Bengal membukanya.

Kabar baik.

Sagu selamat dan tidak akan kenapa-kenapa, kakinya masih dapat disembuhkan meski mungkin akan pincang entah sampai kapan. Untuk sementara waktu anjing itu harus dirawat inap. Tapi pada intinya, Sagu selamat. Tebakan si Bengal benar sejak awal.

Si Bengal menarik napas lega sembari berjalan meninggalkan tempat itu. Syukurlah, Sagu… istirahatlah dulu. Kalau sudah sehat, baru lari-lari lagi. Syukurlah… syukurlah…

Satu suara menghentikan langkah kaki si Bengal.

Suara ringtone. Nanto melirik ponselnya lagi. Bukan. Ini bukan suara dering telepon dari ponselnya. Lalu darimana asalnya? Dari mana ringtone itu berasal? Nanto melirik ke belakang. Sepertinya dari arah Zambo.

Karena penasaran, Nanto kembali berbalik. Ia berjalan perlahan ke arah Zambo. Suara dering itu berasal dari kantong jaket yang ia kenakan. Nanto membungkuk dan memeriksa badan Zambo, ia menemukan satu feature phone dari dalam saku jaket sang Badut.

Ponsel jadul seri Siemons C45.

Tanpa rasa takut sedikitpun Nanto menekan tombol terima dan meletakkan ponsel itu di telinganya. Tapi setelah beberapa lama mendengarkan, tidak ada suara dari ujung sana. Hanya ada desah napas saja. Siapapun yang menelpon sepertinya juga menyadari kalau ada masalah.

“Sudah menelpon kenapa diam saja?” tanya Nanto.

“Kamu bukan Zambo.” terdengar suara yang aneh. Seperti ada suara ganda pria dan wanita yang bicara bersamaan. Apakah penelponnya menggunakan alat untuk mengaburkan suara asli? Bisa seperti itu ya di handphone jadul?

“Zambo sudah tidak bisa lagi menjawab. Dia sudah lumpuh. Apapun yang kamu perintahkan, Zambo sudah gagal melakukannya. Kalau mau menggangguku, tidak perlu repot-repot mengirim orang, sekarang juga aku akan datang ke tempatmu. Sebutkan saja di mana dan kapan aku perlu datang. Kita berhadapan satu lawan satu secara jantan.”

Suara di ujung sana terdiam, hening untuk beberapa saat. Lalu terdengar kekehan tawa.

“Hehe, bacot.”

Nanto tersenyum, meski dia tahu, orang di seberang sana tidak akan mampu melihat senyumnya.

Dengan suara yakin si Bengal menjawab, “Tidak. Ini bukan bacot. Ini bukan omong kosong, ini kenyataan. Aku tidak peduli pendapatmu. Terserah kamu mau menerimanya atau tidak. Aku sudah menaklukkan Zambo. Karena kamu berani mengganggu kehidupanku, maka aku juga akan mengganggu hidupmu. Jadi bersiap-siaplah. Hanya masalah waktu sebelum aku tahu siapa namamu, di mana kamu, dan apa alasanmu. Setelah itu aku akan memburumu sampai dapat. Saat aku menemukanmu, aku akan membunuhmu...”

“Terserah.”

“Tunggu aku.”

Terdengar sunyi yang lama. Lalu terdengar suara kekehan tawa. “Aku akan menunggumu.”

Klgh. Sambungan dimatikan.

Nanto menatap ke arah Zambo, lalu membawa ponsel itu pergi. Siapapun yang menantang si Bengal, dia tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Dia akan menyesal di kemudian hari karena telah membangkitkan amarah seekor naga. Naga yang saat ini akan kembali ke kota dan menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya.

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda.

Ini adalah kisah tentang kebangkitan amarah menghebat.

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda bernama Nanto, penguasa Kidung Sandhyakala, pewaris terakhir Nawalapatra 18 Serat Naga, pimpinan kelompok Aliansi dari utara, dan sahabat dari Lima Jari.

Ini adalah kisah seorang pemuda bernama Nanto, sahabat Sagu.

Ini… adalah kisah tentang kebangkitan sang Naga.





BAGIAN 16-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17

Contains Tribute to ED & Tkn.
wow, mantap updetannya om....

keren sekali.....
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd