Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 17-A
HADAPI DENGAN SENYUMAN




Pikiran adalah sesuatu yang begitu licik dan begitu pintar,
sehingga mampu mendistorsi pemahaman semua hal demi kenyamanan pikiran itu sendiri.”

- Jiddu Khrisnamurti





Hngkh!


Surya terbelalak tiba-tiba.

Seketika itu juga rasa sakit bergelombang menyerang meski tidak secara keseluruhan mendera. Seluruh tubuhnya terasa linu, kaku, dan nyeri. Kepalanya juga berputar bak gasing yang steady, seakan pusing itu tak ingin pergi. Surya memegang kepalanya yang nyut-nyutan dan memejamkan mata lagi. Cahaya yang menyeruak masuk ke pandangannya membuat ia berkunang-kunang dan terdistorsi.

Berikutnya ia membuka mata dengan lebih hati-hati, perlahan-lahan saja untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang ada di ruangan, membiasakan dan menyelaraskan. Ketika akhirnya ia bisa melihat dengan jelas, Surya menyadari sesuatu.

Tempat ini bukan tempat terakhir yang ia lihat ketika dia pingsan.

Di mana ini?

Ia sudah tidak lagi berada di jalan. Ia sekarang berada di ruangan serba putih, di atas sebuah ranjang warna putih, dan berada dalam ruang tersekat dengan gorden yang juga berwarna putih. Surya langsung sadar – dia berada di dalam bangsal rumah sakit.

“Pelan-pelan saja.” Terdengar suara yang terdengar teramat dalam namun menenangkan. Suara itu datang dari seseorang yang berdiri di samping ranjang Surya – berdiri dan bersidekap sembari bersandar ke tembok. Suara yang sudah sangat familiar bagi sang pemuda.

Begitu pandangan Surya pulih, dia menyadari bahwa suara itu berasal dari Rao sang junjungan DoP.

“A-aah… Pimpinan…” Surya mencoba bangkit, tapi rasanya berat sekali.

“Tidak perlu berdiri, berbaring saja dan tenangkan dirimu. Jangan khawatir, kalian semua sudah selamat. Kalian bertiga sudah mendapatkan perawatan dan pengobatan. Untung saja luka-luka kalian tidak parah. Mudah-mudahan dua sampai tiga hari lagi kalian bisa keluar dari tempat ini.”

Surya mengangguk perlahan dan merebahkan diri. Ketika menengok ke samping kiri, dia baru menyadari kalau Jo dan Bondan juga berada di ruangan yang sama dan masih terlelap di ranjang mereka masing-masing. Beberapa bagian tubuh mereka diperban dan ada beberapa jahitan. Kondisi yang sama seperti yang dia alami. Pasti butuh waktu bagi mereka bertiga untuk benar-benar pulih dari kondisi ini.

“Te-terima kasih telah menyelamatkan kami, Pimpinan…” lirih Surya berkata. Dia merebahkan kepalanya kembali karena masih sangat pusing sekali. “Kami akan selalu berhutang budi dan…”

“Aku tidak melakukan apa-apa. Kalau mau berterima kasih, berterimakasihlah pada orang ini.” Rao menunjuk ke samping dan di sana sudah berdiri sang Pemuncak Gunung Menjulang, Simon Sebastian.

Simon tersenyum ramah, “Tidak perlu berterima kasih. Kebetulan saja aku datang bersamaan dengan pihak yang berwajib sehingga KRAd lari tunggang langgang. Hahahaha.”

“Heleh. Pasti kamu juga yang memanggil mereka.” Rao mencibir. Simon hanya tertawa-tawa.

“Ja-jadi…?” Surya kebingungan.

“Saat kalian pingsan, Simon datang bersama rombongan polisi. KRAd melarikan diri dan menghilang dengan cepat. Pertarungan akhirnya antiklimaks.” Rao mencibir, “padahal seandainya saja dia tidak datang, aku bakal selesai menghabisi 3GB dengan kedua tanganku sendiri.”

Simon menepuk pundak sang Hyena Gila, “bukan seperti itu konsepnya, dab. Kamu harus memikirkan keselamatan mereka dulu, mereka kan bawahanmu. Mereka sudah klenger, tepar, dan tak berdaya, saat kamu selesai mengurus 3GB, mereka bertiga pasti sudah mati.”

“Ya… ya… ya…” Rao mengangguk-angguk sambil tetap mencibir, “Pada intinya, Simon-lah yang telah menyelamatkan nyawa kalian.”

Surya meneguk ludah.

“Baiklah – beristirahatlah dulu, aku akan berbincang sebentar dengan bosmu di balkon.” Simon tersenyum sambil mengangkat jempol. Ia menarik Rao perlahan ke arah balkon yang ada di samping bangsal perawatan ketiga anggota DoP.

Kedua pimpinan kelompok geng kampus itu melangkah keluar sementara Surya yang masih kebingungan berusaha memejamkan mata kembali. Usahanya tak membutuhkan waktu lama karena bius sepertinya masih menyekap kesadarannya, melelapkan tidurnya, dan memangkunya melewati ambang batas kesadaran.

Rao dan Simon berjalan ke balkon, bersandar di dinding pagar. Simon menarik kaleng minuman dari dalam kantong plastik yang ia bawa-bawa dan memberikannya pada Rao. Ia lantas mengambil untuknya sendiri satu minuman kemasan pembangkit ion tubuh.

“Apa kata dokter?” tanya Simon sembari membuka tutup botol.

Angin yang berhembus di atas gedung cukup kencang terasa memenuhi angkasa. Balkon rumah sakit yang sempit menjadi terasa luas karena pemandangan yang terbentang di depan. Pandangan Simon menyusuri langit dan landscape apik yang bertebaran di bawah megahnya gunung menjulang – balkon rumah sakit ini memang menghadap ke utara, sehingga mereka bisa menyaksikan potongan keindahan luasnya alam dari timur ke barat, dan sebaliknya dari barat ke timur.

Simon melanjutkan, “Saat aku ambil mereka bertiga semalam, semuanya dalam kondisi mengkhawatirkan. Tapi barusan tadi kelihatannya semua baik-baik saja.”

“Mereka akan bertahan, lukanya tidak terlalu parah. Kami kuat. Anak-anak DoP tidak selembek bocah-bocah Sonoz,” kelakar Rao sembari menikmati minuman soda yang nyatanya nyegerin. Minuman kaleng yang baru saja diberikan oleh Simon.

Simon tertawa, “masih saja ya.”

“Apa agenda Aliansi? Masih jadi kura-kura yang sembunyi dalam tempurung? Perang dingin antara QZK dan JXG sepertinya mulai memuncak. Anggota masing-masing pihak ada yang saling berpindah posisi, membuktikan kalau selama ini setiap kelompok punya penyusup.” Rao melirik ke arah Simon dengan mata terpicing, “Mungkin hal serupa juga ada di Aliansi. Bagaimana menurutmu?”

Simon menyeringai, “Gimana gimana? Apakah kamu menuduhku menjadi mata-mata? Bagaimana denganmu sendiri? Menghilang tanpa kabar cukup lama. Apa saja yang kamu lakukan selama ini? Jangan-jangan kamu jangan-jangan.”

“Cih. Ra jelas.” Rao mencibir, “tidak sepertimu yang memanfaatkan waktu kosong dengan tebar pesona pada cewek orang. Aku naik ke gunung untuk berlatih ilmu kanuragan.”

“Hahahaha. Hmm ya ya… akupun berlatih, tapi tidak dengan cara seperti yang kamu bayangkan. Ada tempat dan cara tersendiri untuk melatih Pukulan Geledek.” Simon melirik kembali ke arah Rao, “Tapi omong-omong… aku merasakan sesuatu yang berbeda dari Ki-mu. Ada yang berubah. Aku merasakan ada tiga…”

“Tidak perlu menyelidiki kekuatanku. Aku bisa mengatasinya.”

Simon menatap Rao tak yakin. “Yakin? Aku tidak akan menghentikanmu menghancurkan dirimu sendiri, aku hanya butuh kepastian aku tidak berdiri sejajar di medan perang dengan orang yang bahkan tidak mampu menguasai badan sendiri.”

“Aku akan mengatasinya.” Rao melirik balik ke arah Simon, “Aku akan membuat orang-orang KRAd merasakan pembalasan atas apa yang telah mereka lakukan padaku dan pada kami. Aku akan melakukan semua itu dengan caraku sendiri.”

“Sudah kamu pikirkan baik-baik? Sekali menjadi gelap, kabut itu tidak akan terangkat.”

“Sudah dan rasa-rasanya aku tidak peduli, hidupku ya sudah seperti ini saja. Orang seperti aku toh nothing to lose. Tidak akan kehilangan apa-apa.”

Simon mengangguk – bukan karena dia setuju, tapi karena dia tahu apapun yang dia ucapkan tak akan mengubah pandangan dan perasaan sang lawan bicara. Rao memegang arang yang menyala dalam genggaman tangannya. Api di arang itu bisa membesar dan membakar seluruh tubuhnya, tapi bisa juga menjadi lilin penerang. Semua tergantung penggunanya. Mau tidak mau Simon harus mempercayai si Hyena Gila.

“Baiklah kalau begitu. Aku yakin kamu berbeda. Orang sebebal kamu pasti punya kekuatan yang lebih besar daripada sekedar tingkatan nggilani. Aku yakin kamu pasti bisa mengatasi semua masalah yang akan datang padamu.”

Rao mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana posisi Aliansi? Apa kabar si Bengal?”

“Nanto sudah balik dari desa, tapi untuk sementara waktu dia akan langsung menghadiri acara keluarga yang diampu om Janu – acara trah-nya di dekat candi Prambaru. Dia tidak akan bergabung dengan kita sampai selesainya acara, dia harus langsung hadir karena acara itu diprakarsai oleh om Janu. Nanto tidak mungkin mengelak.”

“Jadi dia belum langsung balik lagi ke kita?”

“Belum.”

“Oke. Ada kabar apalagi? Bagaimana kabar Amar?”

“Sebagai penjaga tahta sementara, bang Amar Barok sangat berpengalaman dan bekerja dengan baik. Dia menjauhkan kita dari semua masalah dan memimpin dengan bijak. Tapi aku dengar kabar-kabur dia kemarin memerintahkan Hageng, Bian, dan Roy untuk menyelamatkan gadisnya yang diculik. Ini sebenarnya dirahasiakan dari semua jajaran pimpinan Aliansi, tapi kamu tahu sendiri – tidak pernah ada rahasia yang benar-benar rahasia di dunia ini,” Simon melirik ke arah Rao, “mereka hendak menyatroni salah satu rumah sekap milik KRAd hari ini.”

“Rumah sekap KRAd? Nekat sekali.”

Simon mengangguk. “Masalahnya adalah kalau kita berdua, bang Amar Barok, atau bahkan Nanto sudah turut campur, maka urusan itu akan berkembang menjadi terbukanya perang Aliansi vs KRAd, dan itu bakal membuat kota semakin tidak karuan. Apalagi jika QZK dan JXG ikut-ikutan tersulut untuk mencari celah di air keruh dan memaksa kita memilih pihak.”

“Sudah pasti.”

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa membiarkan mereka bertiga melakukan tugas ini sendiri tanpa mengirimkan bantuan. Mudah-mudahan mereka berhasil menyelamatkan cewek-nya Amar.”

Rao mengangguk-angguk. “Dengan alasan yang sama aku juga akan menyatroni mabes KRAd sendirian, tanpa DoP dan tanpa Aliansi. Dendamku dendam pribadi pada mereka dan aku tidak akan berhenti sampai dendamku tuntas. Semalam polisi keburu datang untuk menyelamatkan 3GB, kelak tidak akan ada lagi hal semacam itu, aku akan membunuh mereka bertiga satu persatu. Mereka juga sudah tahu aku mentargetkan mereka.”

“Hehehe. Sayangnya saat ini dendammu harus ditunda. Saat ini mereka sedang sangat sibuk. KRAd dan JXG tengah melakukan Tarung Antar Wakil untuk menentukan penguasa selatan sejati.”

“Oh? Melawan JXG? Kenapa KRAd nekat seperti itu?”

“KRAd tentu tahu mereka tidak akan bisa mengalahkan JXG jika nekat terjun adu kekuatan secara langsung, tapi mereka juga tahu mereka harus memanfaatkan situasi saat permasalahan JXG lawan QZK belum mereda. Pemikiran yang cerdas, dengan begini mereka hendak memastikan kekuatan JXG sedang dalam posisi rentan, terlebih setelah Pak Zein pimpinan JXG digiring ke mabes Tim Garangan kemarin.”

“Oh ya? Pak Zein dibui? Kampret… aku ketinggalan banyak berita.” Rao terkekeh layaknya seekor Hyena.

Simon melemparkan kemasan minumannya ke tempat sampah dan masuk dalam kesempatan pertama. Dia menatap ke arah Rao. “Tapi semua itu tadi adalah pandangan awal kita. Nanto memberikan beberapa berkas padaku yang rasa-rasanya akan mengubah pemikiran kita mengenai kondisi kota saat ini. Kupikir kamu juga harus membacanya. Berkas-berkas ini bisa membuat kita berubah pikiran dan terjun ke medan perang.”

Rao mengerutkan kening. Alis tebalnya seakan menyatu di tengah.

Simon kembali mengeluarkan sesuatu dari kantong plastiknya. Sebuah amplop berwarna coklat. Dia memberikannya pada Rao, “ini diberikan oleh Nanto padaku setelah didapatkan dari seseorang. Ada beberapa hal yang sepertinya harus kamu baca juga. Tidak semua orang boleh membacanya.”

Rao mengernyitkan dahi, dia mengambil amplop itu dari Simon, menarik beberapa carik kertas dari dalam, dan mulai membacanya.

Untuk beberapa saat, Rao terdiam. Tapi ia kemudian terbelalak meski tak mengucapkan sepatah kata pun.

Simon melanjutkan setelah Rao membaca keterangan yang ada pada berkas-berkas itu, “Aku juga punya reaksi yang sama denganmu saat pertama kali membacanya. Mengagetkan bukan? Data-data menunjukkan kalau kota kita sedikit demi sedikit sedang di-invasi oleh kelompok luar dengan bantuan salah satu kelompok dalam, beberapa bukti dijabarkan jelas dengan masuknya RKZ dan merger mereka dengan PSG. Tapi invasi itu belum berhenti sampai di situ saja. Kita sama-sama tahu akan ada kejadian yang tidak akan berakhir dengan baik hari ini, tapi entah di mana dan yang mana. Meskipun ada skenario besar yang masih tanda tanya tapi arahnya sudah jelas. Jadi kita tetap harus bergerak meskipun resikonya besar. Kita harus mengatur strategi dengan Amar Barok untuk bisa menangani hal ini.”

Rao mendengus dan memasukkan kembali berkas-berkas itu ke dalam amplop, “Aku tahu yang kamu maksud dan aku setuju. Jika kita melakukannya sekarang tentu bakal ada konsekuensi. Begitu kita terekspos, alarm JXG dan QZK akan berbunyi dan semua tidak akan pernah sama lagi. Kita masih belum tahu kelompok yang mana yang akan membantu invasi kelompok lain ke kota ini.”

Simon mengangguk. Wajahnya berubah menjadi serius. “Kita toh tidak mungkin menghindar selamanya. Bukti-bukti ini sudah jelas. Diam pun kita tetap akan terkena imbasnya. Dengan ini… Aliansi harus terjun ke peperangan. Kalah atau menang itu urusan belakangan. Ada kota yang harus kita pertahankan.”

Rao menggemeretakkan gigi. Tangannya terkepal.

Aliansi memang tak bisa menghindar lagi.

Perang benar-benar telah dimulai.





.::..::..::..::.





Penjara.

Suasana penjara ya seperti penjara pada umumnya tempat penahanan.

Sepi, gelap, sunyi, pengap, dan membosankan.

Tidak banyak yang terjadi di tempat seperti ini. Kalaupun ada yang terjadi, biasanya melibatkan kekerasan. Tapi tentu, tidak semua tempat seperti itu - hanya biasanya saja, dan hanya sesekali saja.

Ada kemungkinan, sesekali itu terjadi hari ini.

Ruang tahanan di ujung lorong terlihat gelap karena hanya ada satu sumber cahaya – yaitu dari depan jeruji yang mengarah ke lorong samping. Di sana ada jendela besar sebagai sumber cahaya. Cahaya yang masuk itupun masih dibatasi oleh teralis yang jarang sekali dibuka. Ruang penjara itu bukan ruang yang bisa dibilang sehat dan perekeyasanya dulu memang tidak ada niat sedikit pun untuk membangun ruang yang seperti itu.

Satu ruangan biasa dihuni oleh delapan hingga dua belas orang. Sel ini diisi oleh sembilan – seharusnya sepuluh, tapi orang kesepuluh sedang mengerang kesakitan dalam senyap, kakinya berbelok ke arah yang salah dan wajahnya pucat pasi. Dia membekap bibirnya kuat-kuat. Dia tidak ingin suara erangannya mengganggu orang yang amat ditakutinya.

Orang yang ditakuti itu… adalah Pak Zein.

“Kalau ada yang berani mengganggu lagi, aku tidak akan segan-segan.”

Pimpinan tertinggi JXG itu duduk dengan tenang dan memejamkan mata, ia meletakkan kepalanya tersandar pada tembok di belakang sementara ia duduk di pembaringan. Beberapa orang yang berada di tempat itu sama sekali tak bergerak. Jangankan mendekat, mereka bahkan tak berani bertatapan mata dengan sang pimpinan JXG itu. Reputasi memang segalanya, mereka baru saja membuktikan kalau reputasi itu bukan hanya sekedar omong kosong.

Hanya satu orang saja yang berani mendekat.

Seorang tua.

“Hehehehe… tidak pernah menduga sama sekali akan berjumpa dengan njenengan di sini, Pak Zein.”

Pak Zein tersenyum, “aku malah sudah menduga akan berjumpa denganmu. Lama tak jumpa. Bagaimana kabar? Tambah seger aja sepertinya.”

“Hahaha, sae… sae… kabar saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menanyakan. Apalah artinya orang tua seperti saya di antara hiruk pikuknya pertarungan anak-anak muda di luar sana.” Dari kegelapan, muncul seorang pria tua yang berjalan tertatih karena tak membawa tongkat. Dia duduk di samping Pak Zein, “Sebelumnya mungkin perlu saya jelaskan… ssaya berani mendekat ke njenengan tanpa perlu rasa khawatir, karena tempat ini sudah dibentengi oleh cagak bebandan.”

Pak Zein tersenyum, “Aku tidak membutuhkan tenaga Ki untuk mematahkan leher sampeyan.”

“Nah, lha ya itu lho yang saya takutkan.” Lek Suman tertawa, ia menganggukkan kepala ke samping. Empat orang mendekat dan berdiri di dekat Lek Suman.

“Bahkan di sini pun, sampeyan punya kacung, Lek?” Pak Zein mendengus.

“Sekedar-sekedar, Pak Zein. Kita harus selalu bersiap-siap kalau-kalau ada-ada saja masalah-masalah yang ujug-ujug. Bukan begitu, nggih?” Lek Suman menyeringai culas. “Saya hanya melakukan persiapan saja. Kalau-kalau, menowo gek-gek. Tiba-tiba saja ada yang sekonyong-konyong koder. Hehehe. Tapi njenengan benar, njenengan tidak membutuhkan Ki untuk mematahkan leher kulo. Tapi nyawa saya kan memang tidak ada artinya, apalah artinya orang tua seperti saya ini yang sudah dilupakan oleh sejarah? Tidak ada artinya! Ga ada, Pak! Mboten enten artine! Saya mati atau hidup, dikubur di mana saja tidak akan ada yang peduli. Heheheh. Sebaliknya nyawa njenengan adalah harga tertinggi.”

“Lalu…? Maksud sampeyan ngupengi saya dengan empat orang berbadan gede begini apa? Apa maksudnya? Sampeyan berani macem-macem begitu? Awas lho… kasihan mereka kalau nanti terjadi apa-apa.”

Lek Suman tersenyum, “oh njenengan jangan salah sangka, Pak. Mereka bukan berlaku demikian untuk mengancam njenengan, tapi untuk menjamin keselamatan saya. Saya tahu kalau dalam singkat njenengan pasti akan dibebaskan dari sini – karena njenengan punya backing yang cukup kuat.”

Pak Zein mendengus, “Lalu? Sampeyan kan juga punya backing? Kenapa masih tetap berada di sini?”

“Kenapa tidak? Di sini saya aman, makanan terjamin, hidup lebih tenang. Hehehe. Saya pasti akan keluar menyusul njenengan. Tapi ini belum waktunya. Karena RKZ… eh maaf, hehehee… maksud saya KRAd… susah amat ya nyebut namanya… karena KRAd… sebenarnya punya rencana lain mengajak JXG bertempur di Tarung Antar Wakil,” Lek Suman menyeringai. “Saya sih yakin njenengan juga sudah paham hal itu.”

Pak Zein menatap Lek Suman.

Sang sengkuni membalas tatapan sang pimpinan JXG, “Seandainya masih hidup – Joko Gunar tidak akan pernah menyetujui pertarungan dengan JXG ataupun berwacana meleburkan PSG dengan RKZ. Tidak ada cerita seperti itu. Sayang si bodoh itu mati terlalu cepat. Kematian Gunar membuat semuanya menjadi mungkin. Jadi… meskipun tidak direncanakan, RKZ berhasil menggabungkan diri mereka dengan salah satu kekuatan di kota secara resmi dan bahkan berhasil menempatkan Bambang Jenggo di puncak kepemimpinan. Ajaib sekali bukan? Sudah pasti ajaib. Semua karena sosok Ki Juru Martani.”

Pak Zein tersenyum, “Itu aku juga sudah paham.”

“Masalahnya sekarang KRAd ini punya agenda yang masih abu-abu. Apa dan bagaimana mereka di bawah asuhan Ki Juru Martani sangat tidak bisa ditebak dan amat berbahaya. Agenda RKZ dan KRAd sebenarnya sama, invasi.”

Pak Zein mengangguk-angguk. “Sepertinya kalian dari PSG baru mulai sadar kalau sejak awal RKZ memang hendak mencaplok PSG ya? Apakah kalian kini sudah berdamai? PSG dan RKZ di bawah kesatuan KRAd? Persekutuan yang menggelikan.”

“Lha kalau menurut njenengan pripun? Secara kelompok mau tidak mau kan saya terpaksa bergabung dengan mereka, meskipun secara pribadi ya nanti-nanti dulu. Wekekekek. Itulah sebabnya saya masih menolak untuk meninggalkan tempat ini dan tidak ada yang bisa memaksa saya untuk keluar. Suasana di luar terlampau tidak menentu, tidak baik untuk kesehatan orang tua seperti saya. Wekekekekek.” Lek Suman tertawa licik, “Tapi kehadiran saya saat ini ke hadapan njenengan sebenarnya hanyalah sebagai pembawa pesan. Ki Juru Martani mengirimkan salam untuk njenengan – beliau berharap saya menyampaikan sesuatu hal kepada njenengan sebagai bagian dari bakti saya kepada kelompok. Ya sudah berhubung ini tugas, jadi saya sampaikan saja hal tersebut pada njenengan.”

Pak Zein mendengus.

“Wekekeke… jadi ceritanya agak panjang ya…, kita mulai dari awal sekali. Di jaman dahulu kala, di saat negeri kita masih kacau balau… terjadi penyatuan wilayah secara adil maupun paksa oleh satu orang yang sangat tangguh dan ulet. Oleh orang lain kadang beliau dianggap penjahat dan sangat kejam, tapi oleh sebagian lagi beliau dianggap sebagai pemersatu yang mau tidak mau harus melakukan hal yang tidak populer demi kepentingan bersama. Apa yang kemudian beliau hasilkan adalah wilayah yang sekarang kita huni dan tempati, kota yang kita berdikari, mandiri, berdaulat, damai, dan kita cintai.”

“Maksudnya? Apa Ki Juru Martani menganggap aku buta sejarah?”

“Setidaknya sejarah yang belum selesai diceritakan. Bagaimana sejarah itu bermula dan berakhir, mungkin njenengan paham. Tapi apa yang terjadi dan apa yang beliau alami selama masa pemersatuan berlangsung dan saat beliau mengalami pengkhianatan… tidak banyak diketahui orang lain. Saya yakin njenengan hanya paham apa yang terjadi di permukaan saja, njenengan hanya paham apa yang diceritakan oleh buku sejarah. Karena sejarah ditulis oleh para pemenang.” Lek Suman duduk bersandar di samping Pak Zein. “Tapi KRAd membawa semangat beliau, semangat pemersatu…”

“Pemersatu? Halah. Pemersatu sampeyan itu kan penjahat besar, Lek. Dia bukan pemersatu, dia diktator. Semua orang sudah tahu sepak terjang Raden Randu Panji yang haus darah. Saya tidak hanya tahu dari sejarah, tapi juga cerita dari para leluhur saya yang juga terlibat. Kisah tentangnya disampaikan secara turun temurun. Apa sampeyan mau bilang kalau simbahnya simbah simbah saya itu ngelantur?” Pak Zein terkekeh.

Melihat kondisi sepertinya aman-aman saja, Lek Suman menganggukkan kepala kepada empat penjaganya yang langsung mundur. Kini Lek Suman dan Pak Zein duduk berdua saja.

Pak Zein mendengus, “Jangan isi malam ini dengan dongeng ngawur yang sampeyan dengar dari orang-orang yang menganggap Randu Panji jatuh karena konsipirasi. Cerita semacam itu kan gosip receh berusia ratusan tahun. Semua orang sudah tahu kebenarannya, saksinya banyak, bukti peninggalannya banyak. Saya akui beliau sudah mempersatukan negeri, menerapkan hukum yang dipatuhi masyarakat dengan baik, membangun wilayah nan subur, dan berhasil menyebarkan ketentraman – meski secara terselubung – tapi di balik itu beliau menerapkan sistem kediktatoran yang kejam dan sewenang-wenang, sering mencabut rumput liar yang tumbuh di halaman rumahnya. Menjatuhkan yang tidak sepaham bahkan sampai membunuh jika diperlukan. Hal semacam ini sudah bukan rahasia lagi kan?”

“Betul sekali.”

“Lalu sekarang bisa-bisanya ada kelompok muda seperti KRAd dan sebelumnya RKZ yang menyanjung-nyanjung seorang seperti dia – ya tidak masalah. Urusan masing-masing itu. Saya sih tidak peduli. Tapi mbok ya belajar sejarah dulu yang bener, menggali kawruh dari banyak sumber baru menyuarakan aksi. Lagian aksinya juga ga bener. Kebanyakan anarkis dan klitih. Njelehi tenan.”

Lek Suman cengengesan, “Baiklah… baiklah. Sebelum kita ngelantur terlalu jauh lebih baik to the point saja. Yang ingin saya jelaskan adalah… Ki Juru Martani sebagai keturunan dari Raden Randu Panji ingin memberlakukan hal yang sama. Menyatukan kelompok-kelompok yang terpecah-pecah dalam satu bendera. Tidak ada yang diperlakukan berbeda, tidak ada yang sok jawara. Semua di bawah kekuatan besar yang menaungi dan mengayomi yaitu di bawah KRAd...”

“Ini yang saya tidak suka. Kalian menggunakan sosok dan sejarah dari masa lampau untuk mengukir dan memaksakan sejarah di masa modern. Tidak lucu tur wagu. Mbok ya dipahami dulu konsepnya. Apa yang sudah terjadi ya sudah, sejarah sudah tertulis, ngapain disenggol-senggol? Sekarang ya sekarang, tidak perlu dicampurbaurkan dengan masa lalu. Tidak ada gunanya dan tidak ada juntrungannya. Kalian dari KRAd kan sebenarnya hanya mencari-cari alasan untuk mendapatkan keuntungan, intinya kan kalian cuma mau menyatukan kota di bawah bendera KRAd. Itu saja tanpa embel-embel. Benar atau benar? Dasar kelompok wagu tur njelehi. Tidak ada cerita seperti itu. Sekarang adalah jamannya JXG yang akan selalu setia pada keraton. Kalian tidak akan pernah kami akui sampai kapanpun.”

Lek Suman tertawa, “Nah terkait dengan JXG, seperti halnya di masa dahulu kala. Saya yakin njenengan pasti sudah pernah mendengar cerita ini – bahwa Raden Randu Panji memulai kejayaannya dengan menghancurkan Perguruan Seribu Angin. Jadi saat ini… KRAd akan memulai langkah besarnya dengan menghancurkan kelompok yang menyanjung Inti Angin Sakti. Satu-satunya kelompok yang memenuhi kriteria seperti itu di jaman modern adalah kelompok njenengan, kelompok JXG. Sejarah memang selalu terulang kembali, ya? Setuju njenengan?”

“Ini maksudnya ancaman, begitu?”

“Sama sekali bukan… sama sekali bukan… njenengan jangan salah paham.” Lek Suman tertawa-tawa. Ia menggelengkan kepala dan melambaikan tangannya, “ini bukan ancaman. Sama sekali bukan. Saya kan sudah bilang tadi… ini cuma penyampaian pesan dari Ki Juru Martani. Saya hanya pengantar pesan saja. Bukan siapa-siapa yang mampu mengancam njenengan.”

“Lalu? ”

“Nah, setelah menyampaikan pesan dari Ki Juru Martani, sudah saatnya saya pribadi memberikan penawaran kepada njenengan. Saya yakin betul kalau tidak mungkin menerapkan cara yang sudah dilakukan oleh junjungan KRAd yaitu Raden Randu Panji di era modern seperti saat ini dengan mencaplok wilayah demi wilayah secara paksa. Itu konyol namanya. Di era modern seperti sekarang ada banyak cara yang lebih efektif. Salah satunya adalah dengan negosiasi.”

“Negosiasi? Wes, Lek. Capek aku mendengarkan semua gedebus-mu. Ngomongo seng jelas. Sak tenane opo karepmu? Kamu ini sebenarnya mewakili KRAd atau bukan?”

Njenengan pikir penangkapan njenengan menjelang Tarung Antar Wakil adalah sebuah kebetulan? Sebuah ketidaksengajaan? Omong kosong saja kan. Penangkapan njenengan memang disengaja dan sudah diatur sedemikian rupa oleh Ki Juru Martani.”

“Sudah jelas ini politik.”

“Betul sekali. Panggung untuk penangkapan njenengan sebenarnya sudah dipersiapkan sejak surat tantangan dikirim demi melemahkan JXG di Tarung Antar Wakil. Mereka juga sadar penangkapan njenengan tidak akan bisa bertahan lama karena jaminan dan relasi njenengan dengan keraton.”

Pak Zein mendengus, sebelum ia sempat membalas ucapan dari Lek Suman, pria tua itu melanjutkan kembali sembari tak menghapus senyum lebarnya.

“Tapi itu tadi kan dari Ki Juru Martani dan KRAd. Heheheh,” bisik Lek Suman. Dia tidak ingin ada yang mendengar ucapannya.

Pak Zein mengerutkan kening, “maksud sampeyan?”

“Sepertinya pertemuan kita berdua memang sudah ditakdirkan. Njenengan sejak tadi mungkin bertanya-tanya apakah saya secara lahir batin berbakti pada KRAd? Jelas tidak. Jiwa saya PSG, hasrat saya KSN. Saya tidak pernah mempercayai Ki Juru Martani dan Bambang Jenggo, tapi saya tidak kuasa melawan kehendak mereka yang datang membabi-buta secara tiba-tiba dan melakukan merger paksa dengan PSG yang kehilangan induk usai kematian Joko Gunar. Bayangkan jika saya benar-benar dibebaskan, entah jadi apa saya di luar sana di tangan mereka.”

“Hmm, sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.”

Njenengan tentu tahu, kekuatan KRAd bukan main-main dan ada kemungkinan JXG bakal kalah dalam Tarung Antar Wakil hari ini. Tapi meskipun ada kemungkinan kalah semuanya masih bisa diperbaiki, kekalahan itu bisa dibalas dan area yang direbut bisa didapatkan kembali. Hehehe… Kondisi internal KRAd sebenarnya masih rentan dan bisa dijungkirbalikkan – terutama melalui Aswin dan Ajo Gunar yang tidak rela PSG hancur begitu saja.”

Pak Zein bersidekap dan tersenyum. Ia menundukkan kepala sembari menyandarkan badan ke dinding.

“Sekarang saatnya bagi saya dan njenengan untuk menggabungkan kekuatan. Kita bersama-sama akan menghancurkan KRAd. Anda dari luar, saya dari dalam. Saya akan memberikan info-info seputar KRAd untuk anda, sehingga bisa menjalankan pion lebih cepat di atas papan catur. Singkat cerita, saya akan menjadi telik sandi bagi JXG dengan bayaran yang simpel, ijinkan kami menegakkan kembali panji PSG di wilayah kabupaten selatan – betul, kabupaten di selatan. Kami tidak akan menyenggol JXG dan akan menyingkir dari kota. Kita wujudkan kesatuan di wilayah selatan. Kan ada jargon tuh, bersama kita bisa. Heheheh. Bagaimana tawaran saya ini?”

Lek Suman tersenyum lebar. Tangannya terulur ke depan, hendak bersalaman.

Pak Zein bersidekap dan mendengus.

Bisakah dia mempercayai seorang Sengkuni?





.::..::..::..::.





Plaaak!

“Ssssst!” sergah Roy sembari bersungut-sungut. Ia menatap saudara kembarnya dengan pandangan galak. “Dibilangin jangan bikin suara malah ribut melulu nih! Kalau ketahuan gimana?”

“Hehehe… reflek. Ga sengaja. Habisnya tadi ada nyamuk…” Bian terkekeh perlahan.

Terdengar bunyi nguuuung nguuuuung yang membuktikan kalau Bian benar – memang ada nyamuk di lokasi tempat mereka berada sekarang. Di sebuah kebun yang berada di dekat pohon pisang. Singup, dingin, adem, dan becek. Benar-benar suasana yang ra mbois.

“Mungkin lain kali kita bisa mengusulkan pada Amar untuk mencari tempat-tempat pengintaian dan jalan masuk yang lebih nyaman. Kebon pisang bukanlah pilihan yang tepat. Kurang higienis kan? Mana sepatuku juga baru beli ini… duh, becek begini. Wedhus ik.” usul Bian yang tidak berhenti nyerocos.

Jinguk. Bisa diam tidak sih? Bar ngombe po, Dab? Wasu, lambene bocor terus. Diam dulu ya.” Protes Roy yang sedang berkonsentrasi. “Kita harus masuk diam-diam ini, bukan malah nyerocos ga karuan ra mandeg-mandeg!

“Kondizi zudah aman. Beberapa penjaga lengah karena berjaga di pozizi yang berbeda.” Hageng yang tubuhnya tinggi besar sedang berdiri di tangga untuk mengintip suasana di seberang tembok di pojok yang gelap. “Mazuk zekarang?”

Roy menggeleng, “Negatif. Jangan, kita ikuti saja instruksi yang diberikan oleh Mas Amar. Kita tunggu dulu sampai ada keributan di depan baru kita bergerak. Teman-temannya Mas Amar yang kemarin itu… yang berasal dari mantan anggota Dinasti Baru, apa itu namanya…? Tim Bengkok?”

“Tim Samsu.” Bian membenahi.

“Nah itu. Mereka rencananya akan membuat keributan di gerbang depan. Begitu penjagaan melemah dan konsentrasi pasukan lawan tersedot ke depan, barulah kita masuk ke dalam dan…”

Boooom!

Terdengar suara ledakan tak jauh dari posisi mereka berada. Ketiga sahabat saling berpandangan. Itukah kode yang mereka tunggu-tunggu?

“Hageng?”

“Zemua penjaga di taman belakang lari ke depan rumah, mereka zepertinya juga kebingungan dengan apa yang terjadi,” kata Hageng menjelaskan situasi yang terjadi di dalam. “Tim Bengkok… eh tim Zamzu zudah berakzi zepertinya. Bagaimana?”

Roy mengangguk. “Kita masuk.”

Hageng mengangguk.

Bian terkekeh, “Finally. Some action.”

Secara bergantian ketiga sahabat menaiki tangga dan memindahkan posisi tangga tersebut supaya nanti mereka bisa melarikan diri dan memiliki jalur untuk menyelamatkan Dinda. Setelah semuanya berpindah ke halaman belakang rumah KRAd, ketiganya mengendap-endap untuk mencari posisi paling enak supaya bisa masuk ke dalam rumah.

“Di mana posisi gadis itu disekap?” tanya Bian perlahan.

“Entahlah. Tapi menurutku paling memungkinkan ya di dalam rumah itu,” jawab Roy dengan berbisik-bisik. “Tidak ada lokasi lain yang lebih ketat penjagaannya dibandingkan rumah itu. Kita mulai saja periksa saja dari gudang di sebelah kanan itu. Siapa tahu mereka di sana.”

Halaman belakang rumah sekap KRAd sangat luas, ada petak bangunan di sebelah kanan para penyusup – yang sepertinya difungsikan sebagai gudang, lalu ada rumah kontrakan besar di depannya. Di antara rumah kontrakan dan bangunan gudang ada kebun singkong yang cukup luas. Di sebelah kiri para penyusup ada halaman luas dengan jajaran pohon-pohon buah seperti mangga, rambutan, jambu, dan nangka. Melewati halaman pepohonan buah, mereka akan sampai di sebuah bangunan yang seperti kamar mandi luar, dan akhirnya… rumah utama.

Para sahabat mengendap-endap melalui pepohonan yang gelap dan tanpa cahaya. Inilah jalan paling aman untuk mereka! Suasana tenang dan sepertinya semua penjaga benar-benar berlarian ke depan. Luar biasa kiprah tim Samsu.

Begitu ketiga sahabat sampai di dekat kamar mandi luar, tiba-tiba saja…

Blaaaaaar!

Lampu-lampu dinyalakan. Cahaya terang berpendar. Bak panggung, ketiga sahabat menempati posisi tengah yang disorot oleh banyak cahaya. Hageng, Bian, dan Roy terkesiap. Mereka ketahuan!

Apa-apaan ini?

“Bagaimana rasanya ingin menjebak tapi malah terjebak? Kalian masuk ke perangkap yang kami tebarkan tanpa perlu banyak bersusah payah. Sebodoh itulah kalian.” ada sosok seorang pemuda berambut coklat yang menyambut mereka. Dia menggunakan topi hitam bertuliskan kata Burn.

Roy mengernyitkan kening… suara itu… suara itu kan… “Pasat..?”

Benar.

Pasat dan Moxon berdiri di hadapan sekitar dua puluh orang yang duduk dengan tenang. Di belakang rombongan itu, masih ada Muge Monster dan Agus Lodang dengan pasukan masing-masing. Roy, Hageng, dan Bian langsung sadar mereka sedang dalam bahaya besar.

Lho kok QZK? Kenapa QZK ada di sini? Mana KRAd?

Kalau ini jebakan, itu berarti Tim Samsu mengalami kekalahan? Apa yang terjadi pada mereka?

Pasat menyeringai. Dia menunjuk ke arah Roy. “Kalian mengira bisa masuk ke sini dengan mudah? Kalian pikir kami bodoh? Tentu saja kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya!””

Roy mengerutkan kening, “Pa-Pasat? Kenapa kalian bisa ada di sini? Bukankah ini markas KRAd? Apa yang…?”

Pasat tersenyum sadis, “Malam ini revolusi dimulai. Seluruh unit QZK sedang bergerak, termasuk unit kegelapan. Kami akan menghabisi semua kelompok. Malam ini – adalah malam terakhir bagi Aliansi. Kalian bertiga… kalau tidak ingin hancur, menyatulah denganku di QZK, ini tawaran pertama dan terakhir.”

“Ngomong apa sih kamu ini?” Roy menggemeretakkan gigi dengan marah. Kenapa? Kenapa harus Pasat?

Tangan Hageng mendarat di pundak Roy.

Roy mengayun lengannya, “Jangan sekarang! Aku sedang…”

“Itu… yang di zana.” Hageng menunjuk ke satu arah.

Roy menatap ke arah jauh dan terkesiap. Di dekat pintu masuk rumah, seorang gadis setengah telanjang sedang dibentangkan dengan tangan dan kaki terikat di sebuah papan. Tangan dan kakinya direntangkan sehingga membentuk huruf X. Melihat tubuhnya yang lunglai dan kepalanya yang luruh ke bawah memastikan kalau gadis itu sedang tidak sadarkan diri.

Gadis itu sudah pasti Dinda.

“Ba-bajingan kalian! Lepaskan dia! Dia tidak bersalah! Apa yang kalian lakukan!?” Bian paling gemas dengan orang-orang yang tega memperlakukan seorang gadis seenaknya.

“Selamat. Akhirnya kalian tahu juga kalau ini semua perangkap.” Pasat tersenyum, “Aku ada urusan yang harus kuhadiri malam ini, jadi tidak bisa banyak membantu kalian. Aku harap suatu saat kelak aku bisa mengunjungi makam kalian untuk meletakkan bunga-bunga harum mewangi.”

Roy terdiam dan menatap Pasat kebingungan. Kenapa Pasat jadi berbeda sekali? Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia menjadi keji dan licik seperti ini? Apa ada yang salah dengan otaknya? Apakah ada yang menghipnotisnya? Kejadian apa yang mengubah sifat dan perangainya?

Hanya ada satu kemungkinan.

Roy menghela napas, “Pasat… aku tahu di dalam hati sebenarnya kamu masih orang yang sama. Kamu orang yang kuat, tangguh, dan bisa menghadapi semua ujian hidup dengan baik. Kamu berubah menjadi seperti ini kemungkinan besar karena rasa sakit itu sudah tak terperi. Sakit sesakit-sakitnya sakit. Orang yang paling kamu percaya meninggalkanmu. Sekarang kamu berusaha membentengi diri dan menganggap gagal menjadi dirimu yang lama, oleh karenanya mengubah dirimu menjadi seperti ini. Benarkan seperti itu? Masih belum terlambat untuk kembali. Kami sahabat-sahabatmu masih di sini.”

Pasat menatap Roy dengan tatapan mata kosong. Ia lalu meludah ke kaki Roy. “Jangan sok tahu, setan!”

“Aku tidak sok tahu. Aku memang tahu. Selama ini kamu…”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Jbuaaaaaaaakghhh!! Brrrkghhhh!!


Tubuh Roy melayang jauh ke belakang. Ia terhampar tembok pagar dan jatuh berdebam ke depan dengan wajah terpapar tanah. Punggung, dada, dan wajahnya terasa sakit semua. Pemuda itu mengerang kesakitan.

Hageng dan Bian bersiaga.

Di hadapan mereka, kini ada sosok Mox yang menyeringai, dia mengedipkan mata sembari terkekeh perlahan. “Too much, too long, too noisy. Terlalu banyak basa basi. Terlalu banyak kata-kata seperti sedang upacara bendera tujuh belasan. Don’t you think?”

“Mox, kita pergi saja. Serahkan mereka untuk kawan-kawan yang lain. Kita harus segera ke Tarung Antar Wakil. Orang yang kita buru kita ada di sana. Kita harus memberikan laporan terbaik untuk pimpinan,” kata Pasat.

“Meh, you’re right, Kiddo.” Mox melambaikan tangan pada Hageng dan Bian sembari berjalan bersama Pasat menuju ke pintu keluar. “See ya, Boys. Wear something cute next time we meet. Something likegrandma panties. Wahahahahahahaha.”

Saat Mox dan Pasat pergi, kawan-kawan mereka dari QZK maju menggantikan. Mau tidak mau, suka tidak suka ketiga sahabat harus berhadapan langsung dengan anggota-anggota QZK yang amat berbahaya. Tiga orang maju ke depan. Ketiganya adalah anggota kelompok QZK Phantom Gate bersama dengan sang pimpinan… Muge Monster. Pria ganjil itu menyorongkan tangan ke depan… dan tanah di bawah kaki ketiga sahabat bagaikan terkena gempa lokal. Ketiganya terjatuh berulang karena tanah di bawah mereka bergoyang-goyang.

Muge Monster mengayunkan lengannya. “Maju. Habisi mereka.”

Belasan anggota Pasukan QZK, Pasukan KRAd, dan QZK Phantom Gate bergerak ke depan, mengepung, dan bersiap untuk menyerang.

Roy mendesis kesal. “Bersiaplah.”

Bian mengatur kuda-kuda. “Omae wa mou shindeiru!

Hageng hanya mendengus. Tapi kaki-kakinya kokoh menjejak bumi.

Tiga tenaga dalam menyala dan menguat.





.::..::..::..::.





Berita terbaru.”

Shinta menguap dan mengerang saat melihat ke arah televisi yang ada di seberang pembaringan.

Dia mengerang karena badannya sebagian besar masih terasa sakit meskipun sudah sangat berkurang dibandingkan sebelumnya. Ranjang putih tempatnya berbaring dibenahi supaya dia bisa duduk sedikit lebih tegak dengan tetap mempertahankan posisi berbaring. Hal itu dengan mudah ia lakukan dengan menekan beberapa tombol di samping pembaringan.

Nah ini baru enak, Shinta menarik napas panjang.

Tapi senikmat-nikmatnya nikmat, tetap tidak nikmat bermalam di rumah sakit. Apalagi malam ini udara terasa pekat, senyap, dan panas. Biasanya hawa-hawa beginilah yang justru menandakan kalau hujan akan turun deras. Sedikit melirik ke arah jendela, Shinta melihat ada sebaran petir di kejauhan. Malam ini pasti hujan deras.

Posisi ruangnya yang berada di lantai tiga membuat pemandangan terlihat begitu segar, meskipun dari posisinya Shinta hanya bisa melihat langit di kejauhan.

Hmm… yah, dia bosan. Kalau sudah bosan ngapain ya? Shinta berusaha mencari-cari ponselnya, tapi benda itu tengah di-charge. Ya sudah, terpaksa menonton televisi saja. Kebetulan channel-nya sedang menayangkan siaran berita lokal.

Siaran berita. Ada berita apa? Dua berita berlalu seputar kejadian terkait demo mahasiswa dan demo memasak di Ibukota. Berita ketiga yang menarik perhatian Shinta.

“Beberapa ledakan terjadi di dekat dua kampus terkemuka di utara kota. Ledakan yang terjadi hampir bersamaan ini merubuhkan dua tempat yang tidak jauh dari pusat kampus. Diperkirakan ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Berikut laporan dari reporter khusus kami di tempat kejadian…”

Haaaahhh!!? Ledakan? Di dekat kampus? Kampus mana?

Shinta mencari-cari remote televisi yang ada di meja dan segera menekan tombol plus pada remote. Ia mencoba membesarkan suara televisi yang menyala di kamar tempatnya dirawat. Mata gadis itu terbelalak saat melihat laporan dan judul yang tertera pada running text.

Gedung terbengkalai di samping Universitas Amora Lamat dan ruang olahraga Universitas Zamrud Khatulistiwa roboh karena ledakan di waktu yang hampir bersamaan. Sebuah kebetulan?

Gedung terbengkalai di samping UAL?

Rangkaian ledakan besar terjadi di sebuah gedung terbengkalai yang berada di samping Universitas Amora Lamat malam ini. Gedung yang dulu hendak dibangun sebagai cabang dari sebuah bank swasta ini terpaksa ditinggalkan oleh pemiliknya karena bangkrut imbas dampak krisis ekonomi. Gedung ini sebenarnya dibiarkan terbengkalai dan tidak terawat. Akhir-akhir ini gedung yang sudah kosong ini sering digunakan sebagai tempat nongkrong kelompok anak muda.

Malam ini rangkaian ledakan besar terjadi di gedung tersebut. Rentetan ledakan mengakibatkan beberapa tiang penyangga runtuh. Gedung kemudian roboh dan menimbulkan bunyi yang cukup kencang. Masih belum dapat dipastikan ledakan besar apa yang menyebabkan gedung terbengkalai ini hancur lebur. Selain masih belum diketahui apa penyebab dari ledakan, masih belum diketahui juga berapa korban meninggal, dan berapa korban terluka. Polisi masih mendalami situasi sementara masyarakat sekitar membantu seandainya ada korban tertimbun bebatuan.

Hampir secara bersamaan, di lokasi lain di lereng Gunung Menjulang, bangunan kantor yang ada di samping gedung olahraga Universitas Zamrud Khatulistiwa juga hancur lebur karena ledakan. Beruntung gedung ini berlokasi cukup jauh dari kampus utama Unzakha. Sama halnya dengan peristiwa yang terjadi di UAL, masih terus diselidiki korban yang mungkin timbul karena peristiwa ini. Demikian yang bisa kami sampaikan dari lokasi kejadian, saya Ani Eurow melaporkan…”

Shinta mulai menyadari kenyataan pahit. Kandang Walet hancur? Di sana kan ada mas Amar dan Don Bravo. Apakah mereka berada di dalam gedung saat peristiwa ini terjadi? Mudah-mudahan tidak. Keduanya sering berada di lantai teratas. Kalau gedung itu roboh, bisa jadi keduanya menjadi korban. Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan keduanya selamat.

Shinta mulai merasakan desiran angin dingin yang memeluk tubuh indahnya. Hujan sepertinya benar-benar akan datang. Hawa angin sudah membawa harum wangi semerbak udara yang basah. Shinta turun dari pembaringan dan berjalan perlahan menuju ke arah jendela dan menutupnya. Sebentar lagi toh hujan. Dia tidak mau angin dingin masuk ke dalam ruangan.

Markas-markas Aliansi dihancurkan.

Gila.

Setelah ini apalagi? Gila gila gila
.

Kenapa order dan chaos di kota jadi gila sepertinya ini yah? Siapa yang berulah?

Siapa sebenarnya yang menggulirkan rencana demi rencana yang laknat tersebut? Benarkah semua hal yang terjadi ditimbulkan oleh sosok yang disebut dengan nama Ki Juru Martani? Saat ini Tim Garangan seperti sedang kucing-kucingan dengan Ki Juru Martani dan antek-anteknya. Mereka datang di saat Ki Juru Martani pergi, mereka pergi di saat Ki Juru Martani datang.

Belum ada tiik temu yang pas.

Seram sekali kondisi kota saat ini, kondisi bergulir menjadi tak terkendali dalam waktu sangat singkat. Begitu mudahnya nyawa diletakkan di ujung nasib. Orang merasa jumawa dan seakan berhak menentukan hidup mati orang lain. Konsep macam apa itu!

Markas Aliansi dihancurkan.

Bulu kuduk gadis itu pun menegak ketika Shinta perlahan-lahan mulai memahami apa implikasi dan akibat yang bisa ditimbulkan. Kalau Kandang Walet dan markas di Unzakha sampai hancur, Aliansi sudah bisa dipastikan akan bergerak untuk melawan siapapun yang mereka curigai, dan itu bukan pertanda bagus. Perang akan makin melebar dan makin frontal. Aliansi akan terjun dalam perang.

Tapi melawan siapa?

Kelompok mana yang dicurigai menghancurkan Kandang Walet? Aliansi tidak boleh ceroboh bergerak karena bisa saja mereka justru akan menyerang orang yang tidak bersalah, terutama jika bertindak membabi-buta di tempat umum. Aliansi seharusnya netral, tapi dua markas diserang hampir bersamaan? Itu sama saja memancing Aliansi turun ke jalan. Siapapun yang menghancurkan Kandang Walet, orang-orang ini memang niat menghancurkan Aliansi dan seluruh fasilitas yang mereka miliki.

Shinta merasa dia harus tahu kabar Don Bravo – mudah-mudahan dia selamat, mudah-mudahan saja pria unik pemakan bengkuang itu sanggup meloloskan diri. Shinta mencabut kabel charger dari ponselnya, membuka kontak di dalam smartphone-nya, dan mulai mencari-cari nama Don Bravo.

A… B… C… ah ini dia D. Don Bravo… Don Bravo… Don Bra… Ah.

Saat sampai di angka D, Shinta justru berhenti dan terdiam ketika menemui satu nama, Deka.

Nama yang akhir-akhir ini mengganggu perasaannya. Shinta tersenyum dalam hati. Entah kenapa Shinta kok jadi sering membayangkan Deka ya? Apakah karena dia kharismatik? Apakah karena dia cerdas dan punya banyak strategi? Ataukah karena dia diangkat menjadi murid oleh Om Tarjo sehingga ada semacam ikatan batin di antara mereka? Ataukah karena…

Deka!

Deka kan juga Aliansi!


Shinta meneguk ludah.

Tunggu dulu! Jangan-jangan Deka juga mengetahui kabar ini!? Gawat!

Buru-buru gadis itu bangkit dari ranjangnya, tubuhnya terasa limbung karena dia bangkit dan berdiri terlalu cepat. Shinta merapihkan bajunya sembari berlari ke arah pintu. Ia membukanya dan segera berlari menelusuri koridor. Ia berlari menuju ke sebuah ruangan. Ruang yang untungnya tidak terlampau jauh dari bangsalnya.

“Mbak! Kenapa berlari-lari!? Ini rumah sakit! Mbak seharusnya…” seorang suster berusaha menghentikan laju Shinta, tapi dia gagal karena Shinta sudah melesat dengan sangat cepat.

Sembari berlari Shinta berdoa dan berdoa dan berdoa dalam hati.

Jangan. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan. Aku mohon jangan lakukan.

Pintu kamar sudah terbuka. Gawat.

Shinta segera masuk dan menuju ke arah pembaringan.

“Mas! Kamu jangan nekat! Kamu jangan…”

Shinta terkejut saat melihat apa yang ada di hadapannya.

Televisi menyala dengan suara sedikit kencang, ranjang yang berantakan sudah kosong, ada kabel dan jarum infus bergelantungan diterpa angin setelah sepertinya dilepas dengan paksa, dan ada jendela ruangan yang terbuka lebar padahal mereka ada di lantai tiga.

Shinta menghela napas panjang.

“Mas Deka…”

Deka sudah tidak ada di sana.



BAGIAN 17-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17-B
 
BAGIAN 17-B
HADAPI DENGAN SENYUMAN




Akhirnya.

Nanto melangkahkan kakinya memasuki gedung yang telah disewa om Janu. Gedung pertemuan yang menjadi bagian dari sebuah hotel itu kini disulap menjadi tempat perjamuan pesta yang megah dan penuh cahaya di bawah langit gelap malam. Megahnya seperti acara pernikahan tanpa temanten, seperti acara ulang tahun tanpa ada yang berulangtahun.

Di panggung, ada om Janu sedang menyambut para tamu.

“Akhir kata, selamat datang di acara bebas Trah Watulanang, selamat menikmati hidangan yang telah disediakan, dan mari kita saling mengenal. Toast… untuk keluarga besar kita!” Om Janu mengangkat gelas diikuti oleh para tamu. Mereka satu persatu ikut mengangkat gelas dan meminumnya.

Nanto tersenyum. Dia benar-benar berada di lingkungan saudara. Dia tidak sendirian.

Mungkin ini sebenar-benarnya perwujudan dari apa yang disebut dalam istilah Jawa sebagai ngumpulke balung pisah, mengumpulkan kembali para sanak dalam satu perhelatan akbar, mengumpulkan kembali yang terpisah dalam satu pertemuan akbar. Keluarga besar Trah Watulanang yang terpisah-pisah akhirnya berkumpul kembali. Jumlahnya tidak banyak – tapi cukup semarak.

“Sini, Le.”

Tante Susan memanggil Nanto untuk bergabung dengannya dan om Darno. Mereka sudah bertemu tadi di luar dan sekarang sedang mencoba menjumpai orang-orang yang hadir. Beberapa kali Tante Susan dan om Darno menyapa orang-orang yang tidak dikenal oleh si Bengal.

Piye, Le? Bagaimana kabarmu setelah libur di desa?” tanya Tante Susan.

“Awakmu tambah gede ngene. Nge-gym po? Angkat berat?” om Darno menambah pertanyaan.

“Hahaha, nggak lah Om, cuma latihan biasa aja. Kabar baik, Tante. Sehat dan segar. Sagu sempat dirawat, tapi perkembangannya dipantau sama Bapak-bapak di desa yang baik.”

“Syukurlah kalau begitu.” Tante Susan tersenyum dan menepuk pundak sang keponakan. “Setelah ini kamu jangan lupa kuliah ya. Fokus supaya bisa lulus tepat waktu. Empat tahun harus sudah bisa beres lah, jangan molor.”

“Siap, Tante. Pokoknya beres, semua bisa diatur. Hihihi.” Nanto terkekeh bandel. Berkat bantuan Rao dan anak buahnya di UAL, absen, ujian, dan tugas-tugas Nanto beres ditangani oleh para anggota DoP. Salah satu privilege menjadi pimpinan Aliansi.

“Le…” om Darno sedikit berbisik. Ia menarik sang istri dan Nanto supaya posisi keduanya lebih mendekat kepadanya. “Selama di desa, apakah ada keanehan dari om Janu? Mungkin dari sikap, tindak-tanduk, atau ucapan-ucapannya?”

Nanto mengerutkan kening, “Tidak ada tuh, Om. Om Janu sejauh ini sangat suportif, selalu membantu kami, dan bahkan sering sekali menyelamatkan kami. Memangnya kenapa?”

Om Darno berpandangan dengan Tante Susan. Adik Ibu Nanto itu lalu menghela napas panjang yang terasa begitu berat. Ia mengelus-elus punggung sang keponakan tersayangnya. “Ada yang harus kamu ketahui, Le…”

“Ini terkait hubungan antara om Janu dan bapakmu… kami minta maaf karena baru bisa menceritakannya sekarang. Jujur, kami juga baru saja tahu secara pasti kejadian sebenarnya. Ada seseorang yang baru menceritakannya pada kami hari ini setelah tahu kamu akrab dengan om Janu.”

“Bapak? Om Janu dan Bapak? Mereka saling mengenal?”

“Oh ya. Mereka saling mengenal. Sangat-sangat mengenal.”

Terdengar satu suara dari belakang.

Saat Nanto membalikkan badan, ia melihat seorang pria berambut putih panjang yang dikuncir. Tubuhnya gempal dan gemuk, kumis dan jenggot putih memenuhi wajah. Meski terkesan berumur, tapi pria ini mengenakan pakaian ala anak muda dengan jaket, celana, dan kaus jeans denim. Ia berjalan dengan menggunakan kruk karena salah satu kakinya sudah tergantikan oleh kaki palsu.

“Pakdhe Wira!! Pakdhe juga datang!!” Nanto terbelalak, tersenyum lebar, dan langsung menghampiri kakak ibunya itu. Mereka berpelukan. Pakdhe Wira menepuk-nepuk punggung sang keponakan. Ada sedikit bayang air di mata keduanya. Saat terakhir kali mereka bertemu barangkali adalah saat pemakaman ibunda Nanto.

Wes gedhe banget kamu, Le. Wes gedhe banget!! Sari pasti bangga lihat kamu seperti ini. Sangat-sangat bangga.” Pakdhe Wira tak henti-hentinya memeluk dan menepuk-nepuk punggung si Bengal.

Nanto geleng-geleng kepala. “Luar biasa, Pakdhe dengan sengaja datang dari pulau seberang untuk datang di pertemuan ini. Luar biasa.”

“Yah, meskipun harus datang sendiri karena Budhe dan kakak-kakak kamu sedang sibuk di kampusnya, tapi kapan lagi bisa bertemu dengan saudara-saudara satu trah?” Pakdhe Wira tertawa sembari melepas pelukannya pada Nanto, pria berumur itu mengangguk-angguk. “Badan tegap, wajah ganteng, dan sepertinya punya ilmu kanuragan yang mumpuni. Luar biasa. Benar-benar keturunan Mbak Sari. Sayang aku harus bekerja dan tinggal di pulau seberang jadi tak bisa mengamati perkembanganmu, Le. Tapi aku selalu mendoakanmu dari jauh.”

“Tidak apa-apa, Pakdhe… saya sudah sangat maklum kok. Makanya kehadiran Pakdhe di sini sungguh menjadi sebuah kejutan yang menyenangkan.”

Pakdhe Wira tertawa dan menepuk pundak Nanto, “Pokoknya sepulang dari pestra Trah ini kita harus ngobrol-ngobrol! Banyak sekali yang harus diceritakan padamu, Le.”

“Dia juga sangat dekat dengan om Janu…” bisik om Darno seakan-akan tidak ingin ada yang mendengarkan suaranya.

Paras Pakdhe Wira berubah. Dia menatap penuh selidik ke arah si Bengal. “Kamu dekat dengan Janu?”

“Dekat Pakdhe, sangat dekat. Om Janu adalah penolong dan pendukung saya di saat-saat genting. Beliau selalu ada di saat yang lain tidak ada. Entah harus bagaimana saya mengucapkan terima kasih pada om Janu. Bahkan ilmu kanuragan saya pun tak akan pernah saya dapat tanpa bantuan om Janu.”

Pakdhe Wira menatap ngeri ke arah Om Darno dan Tante Susan. “Kalian belum…?”

Om Darno menggeleng.

Tante Susan menggeleng.

Le…” Pakdhe Wira menepukkan tangannya ke Pundak Nanto saat keduanya berhadapan . “Aku tahu dia terkadang terlihat baik. Tapi om Janu tetaplah om Janu, dia orang yang sangat berbahaya. Om Janu tidak menjadi pimpinan tertinggi kelompok semengerikan QZK kalau dia bersikap welas asih. Tabiat dan perangainya tidak dapat ditebak dan kadang tidak sinkron.”

“Om Janu sangat baik padaku.”

Pakdhe Wira tersenyum, dia tahu jawaban itu akan muncul dari Nanto, “Kadang dia bisa menjadi orang yang teramat baik, tapi bisa juga menjadi sangat… kurang baik. Aku tidak ingin memberitahumu saat ini karena aku yakin kamu akan kaget, tapi keterlibatan Om Janu pada kasus kematian Bapakmu dan bagaimana kakiku menjadi cacat adalah sebuah rahasia yang sudah aku pendam terlalu lama.”

Nanto mengerutkan kening.

“Ini sebuah rahasia yang aku simpan selama bertahun-tahun bahkan dari Darno dan Susan karena merasa bersalah pada Sari… tapi hari ini aku ingin jujur karena aku merasa sudah waktunya kita semua tahu kalau Aku dan Janu adalah penyebab kematian bapakmu, meskipun tidak secara langsung.”

Nanto semakin tidak paham, kematian bapaknya terjadi saat usianya masih muda, dia bahkan sudah tidak ingat dan mengenali wajahnya lagi sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi dulu? Kenapa urusan sepenting ini disimpan menjadi rahasia? “Kematian Bapak? Bersalah pada Ibu? Bagaimana bi…?”

“Mas Wira!!”

“Om Wira!!”

Beberapa anggota keluarga yang tidak dikenali si Bengal mendatangi Pakdhe Wira untuk bercakap-cakap. Mereka mungkin sudah lama sekali tidak berhubungan dan ngobrol sehingga memotong begitu saja percakapan sang Pakdhe dengan Nanto. Mereka langsung berkerumun dan bersalaman dengan Pakdhe Wira.

Nanto mundur dan memberikan kesempatan pada saudara-saudaranya.

Sebagaimana mereka tidak mengenal Nanto, Si Bengal pun tidak mengenal mereka, padahal mereka adalah keluarganya sendiri. Nanto memang tidak menyangka dia ternyata memiliki keluarga besar walaupun wajah-wajah mereka asing dan inilah kali pertama Nanto bertemu dengan saudara-saudaranya.

Asing.

Entah kenapa tiba-tiba semua jadi terasa asing.

Nanto seharusnya bergembira bertemu dengan saudara, tapi sebaliknya dia merasa tak nyaman. Dia melihat anak-anak berlarian dengan gembira. Saudara bertemu dan tertawa. Bersalaman, berpelukan, saling menyebar gembira. Wajah-wajah surprise karena kedatangan seseorang yang sudah lama tak jumpa.

Tapi Nanto merasa terpencil, merasa bukan di kawanannya.

Gedung ini juga terasa gersang, sepi, dan asing. Sebenarnya tidak nyaman berada di tempat ini, jantungnya berdegup kencang, dan si Bengal merasa gelisah. Kenapa ya? Serasa tidak nyaman meskipun berada di lingkungan keluarga sendiri. Bukankah ini benar-benar keluarganya sendiri? Semua Trah Watulanang. Lalu perasaan tidak nyaman ini timbul dari mana?

Nanto berjalan menjauh dari Om Darno dan Tante Susan.

“Mau kemana, Le?” tanya Tante Susan.

“Ambil minum, Tante.”

Tante Susan mengangguk.

Tempat minum di gedung pertemuan ini terbagi menjadi tiga titik. Masing-masing menawarkan kesegaran air soda, infuse water, teh dan air putih biasa. Nanto memilih air soda. Ia menenggaknya dan secara iseng-iseng mulai memindai kekuatan di dalam gedung. Dia ingin tahu berapa orang yang sanggup belajar Kidung Sandhyakala dari semua anggota Trah Watulanang di tempat ini.

Tapi lagi-lagi… ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak menyenangkan yang ia rasakan sejak tadi. Bulu kuduknya merinding. Apa ya?

Si Bengal harus mendapatkan asal mula rasa tidak menyenangkan itu sebelum… tunggu dulu…

Dia tak bisa mengeluarkan Ki-nya!

Nanto mencoba dan mencoba dan mencoba. Ki itu bisa dimunculkan tapi hanya kecil sekali. Seperti keran air yang kekeringan. Hanya ada tetesan-tetesan Ki yang terbuka.

Apa yang terjadi? Kenapa ini?

Ada apa ini?

Lalu terjadilah.

Awalnya hanya desahan, kemudian terdengar suara erangan, dan akhirnya terdengar jeritan demi jeritan. Satu persatu anggota keluarga Trah Watulanang jatuh ke lantai, tidak pria, tidak wanita, tidak tua, tidak muda. Satu persatu dari mereka jatuh. Ada yang perlahan, ada yang berdebam.

Wanita dan anak-anak yang tak kuat jatuh dan pingsan seketika, ada buih keluar dari mulut. Kekuatan dan energi serasa redup seketika dan direnggut dari tubuh mereka. Satu persatu anggota keluarga Trah Watulanang bergelimpangan. Tubuh demi tubuh demi tubuh demi tubuh. Satu persatu jatuh.

Nanto terengah-engah melihat kejadian itu. Ia tidak mempercayai apa yang terjadi. Suasana yang sebelumnya terasa meriah, kini terasa mengerikan. Semua terjadi begitu cepat sehingga tidak mungkin bergerak dengan reflek. Jantung si Bengal berdetak semakin cepat.

Apa yang terjadi?

Kenapa dia juga jadi pusing sekali?

Ini bukan efek yang biasa-biasa saja. Pusingnya juga bukan pusing yang biasa-biasa saja. Ini semua bukan kejadian yang biasa-biasa saja. Badan si Bengal jadi terasa hangat seperti sedang masuk angin. Perutnya mual sekali, seperti ada mesin cuci yang berputar-putar di dalam.

Kenapa ini? Racun? Ada racun?

“Gara-gara minumannya.”

Si Bengal jatuh dan bersimpuh, tubuhnya melemah. Ia menatap ke samping. Di sana ada sesosok pria yang berdiri dengan tenang, wajahnya sangat ia kenal. Wajah bapak-bapak innocent yang mengenakan baju adat ala Jawa. Biasanya tidak nampak sedikitpun ancaman dari sosoknya. Tapi saat ini, wajah itu berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan dengan seringai jahat.

“Mi-minumannya?” Si Bengal tertatih merangkak hendak mendekati sosok itu yang tengah menyeringai itu. “A-apa yang Bapak maksud?”

Sosok yang ada di depan si Bengal adalah sopir pribadi sekaligus pengawal setia om Janu, Pak Mangku.

“Kamu tidak menduganya ya? Ada racun di semua minumannya.”

“A-apa!?”

Pria berpakaian adat itu membungkuk memberikan hormat. “Semua minuman sudah kami berikan serbuk racun ringan. Efeknya tidak akan langsung terasa, tapi saat kalian tadi melakukan toast bareng saat acara dibuka, itulah saat racun itu disebarkan. Racun yang membuat kalian nge-fly dan lemah. Pandanganmu berkabut? Pikiran kemana-mana? Badan terasa hendak terbang? Kira-kira seperti itulah awalnya. Setelah itu tunggu saja… kalian akan ambruk tak berdaya.”

Sial! Semua yang disebutkan Pak Mangku itu benar-benar terjadi pada si Bengal! Bagaimana mungkin dia sebegini bodoh!? Dia sama sekali tidak menduga akan ada jebakan di tempat terbuka seperti ini! Pak Mangku! Kenapa dia melakukannya? Kenapa…?

Nanto berusaha menyalakan Ki-nya namun sama sekali tidak berhasil. Seperti ada sesuatu yang menahan kekuatannya. Ini mirip seperti dulu ketika dia ditahan di bawah sekapan Bambang Jenggo.

“Ku-kurang ajar…”

“Yang pertama racun. Yang kedua… cagak bebandan.” Pak Mangku mengambil sesuatu meja. Sesuatu yang panjang, besar, dan berat. Nanto baru bisa melihatnya dengan jelas saat jarak mereka makin dekat. Yang dipegang Pak Mangku itu linggis besi.

Linggis!

Bagaimana bisa ada linggis di tempat ini? Mereka benar-benar sudah mempersiapkannya? Pak Mangku menyeringai saat dia sudah berada di depan si Bengal, “Kamu telah menguasai sesuatu yang mengerikan yang tidak mungkin kami biarkan begitu saja. Apa kamu pikir kami tidak punya cara untuk mengatasinya? Kami harus mempersiapkan segala sesuatunya. Dari mulai A sampai ke Z, semua ada caranya.”

Pak Mangku mengayunkan linggisnya untuk menghajar punggung Nanto!

Blddddmmmmmmnnnn!!

Hkkkkkkkkkghhh!


Nanto ambruk ke depan dengan kesakitan. Tulangnya serasa ada yang retak dan remuk. Ia mengerang kesakitan di atas lantai. Berguling-guling dan mengumpat.

Saat itulah ada satu bayangan lagi hadir, dia datang dengan santai, berjalan sembari membawa tongkat. Seseorang itu kemudian berdiri di samping Pak Mangku. Nanto tahu orang itu bukan orang biasa-biasa saja. Orang itu… mengenakan Topeng Klana Merah.

Ki Juru Martani!

“Ba-Bajingan! Kamu yang melakukan ini semua? Masih belum puas menghancurkan kehidupanku?”

Topeng Klana Merah tertawa. “Bocah. Lihatlah sekelilingmu, bukan hanya kamu saja target utamanya.”

Nanto melihat sekeliling.

Sungguh mengerikan.

Terdengar teriakan demi teriakan, gaduh terdengar suara erangan dan rintihan sakit, semakin banyak anggota keluarga Watulanang yang ambruk lemas karena keracunan. Satu demi satu tubuh yang tadinya masih mencoba bertahan akhirnya roboh. Sebagian pusing dan lemah, sebagian lagi bahkan sampai pingsan, terutama orang tua dan anak-anak. Efeknya berbeda-beda tergantung kekuatan korban. Tapi hampir pasti semua anggota keluarga Trah Watulanang ambruk.

Nanto jelas mengkhawatirkan orang-orang terdekatnya. Di mana mereka berada? Pakdhe Wira? Om Darno? Tante Susan? Om Janu?

Untungnya dalam beberapa kali lintasan mata, akhirnya si Bengal menemukan mereka.

Om Darno dan Tante Susan tengah duduk bersila di tengah kerumunan orang yang bergelimpangan –mencoba bermeditasi untuk mengusir racun dari dalam tubuh mereka menggunakan Ki yang hanya muncul seadanya. Ibarat kata mereka membutuhkan satu ember air tapi hanya bisa mendapatkan setetes demi setetes. Ada tapi terbatas. Ada asap tipis keluar dari tubuh keduanya. Untung sekali om Darno dan Tante Susan hanya datang berdua tanpa mengajak putri mereka.

Terlihat dari wajah pasangan itu, keduanya tengah menahan nyeri dan sakit.

“O-om Darno! Tante Susan!!” Nanto menggemeretakkan giginya, ia mencoba bangkit namun gagal karena sekali lagi Pak Mangku menghajar punggungnya!

Blddddmmmmmmnnnn!!

Hkkkkkkkkkghhh!


Nanto kembali jatuh ke depan. Ia berguling-guling kesakitan karena tulang punggungnya seperti lolos dari tubuh. Ia mengerang dan menggeliat kesakitan. Cagak bebandan sialan! Kalau saja dia bisa melepaskan diri dari jebakan cagak bebandan maka dia bisa menolong semuanya!

“Kamu tidak bisa lolos dari kami.” Pak Mangku mengangkat linggisnya dan kembali memukul sang pemuda hingga berulang kali terjerembab. Nanto berusaha memutar tubuh supaya serangan itu tidak sampai benar-benar menghancurkan dirinya. Tulang-tulangnya mulai terasa remuk dan retak. Bahkan orang dengan kemampuan tinggi pun sepertinya tak akan mampu bertahan.

Pak Mangku hendak mengayun linggis ke kepala si Bengal.

Tamat sudah.

“Stop.” Sang Topeng Klana Merah menghunjukkan tangannya, melarang Pak Mangku melanjutkan pukulannya. “Cukup… biarkan dia bernapas sejenak.”

Sendiko dhawuh.”

Nanto yang kesakitan terus mengerang dan memutar-mutar tubuh. Sialan. Sialan. Sialan. Seandainya saja dia dapat lepas dari cengkraman cagak bebandan maka dia akan membalikkan keadaan. Nanto menggeram marah. Mungkin amarahnya juga yang membuat rasa sakit di tubuhnya sedikit mereda, Nanto menatap ke atas – ke arah Pak Mangku dan si Topeng Klana Merah. “Bajingan kaliaaan!! Laknat apa lagi yang telah kalian lakukan? Kalian akan mencelakai keluargaku? Mencelakai mereka semua? Bajingan…! Aku bersumpah tidak akan tinggal diam! Aku tidak akan tinggal diam!!”

Si Bengal terengah-engah menahan emosi. Seperti halnya om Darno dan Tante Susan, diam-diam dia juga sedang mencoba mengusir racun dengan menggunakan tenaga dalam. Memompa aliran jahat dalam tubuh keluar setetes demi setetes.

Bisakah hal seperti itu dilakukan? Bisa. Tapi tidak mudah. Dia juga harus mengulur waktu agar si Topeng Klana Merah dan Pak Mangku tak menyadari upayanya. Tapi akan butuh waktu… sangat sangat butuh waktu.

Topeng Klana Merah mendekati si Bengal.

Pria bertopeng itu menjambak rambut Nanto, mengangkat kepala, dan mendekatkan mulut ke telinga si Bengal supaya bisikannya bisa terdengar. “Bocah, sepertinya kamu masih belum paham benar apa yang sedang terjadi. Seluruh keluarga dan Trah Watulanang sedang keracunan dan sekarat. Mereka akan mati satu demi satu hingga habis semuanya. Kamu mau mereka semua selamat? Mudah saja. Berikan catatan Selubung Kidung dan Nawalapatra 18 Serat Naga padaku dan akan aku biarkan kalian semua hidup tenang. Bukankah itu syarat yang mudah dan tidak merugikan siapapun? Semua senang, semua tenang, semua menang.”

Gila! Semua ini hanya demi 18 Serat Naga?

Tidak.

Nanto tidak akan menyerah, apapun taruhannya! Dia mencoba menyalakan Ki, tapi karena kondisinya campur aduk dan terhalang tirai cagak bebandan, si Bengal tak mampu memaksimalkan daya dan energi yang mengalir dalam tubuhnya.

Semuanya kacau.

Tak jauh dari mereka terdengar teriakan.

“Tolooooong… toloooong… Mamaaaa… sakit mamaaaaa…” Seorang anak kecil menangis karena perutnya terasa sakit, dia menggoyang-goyang tubuh ibunya yang pingsan. Tak lama kemudian anak kecil itu ambruk tak berdaya di samping sang Ibu. Tubuhnya mengejang, matanya memutih, dan dari mulutnya keluar ludah berbusa.

Celaka. Dia harus cepat! Dia harus cepat menemukan solusi atau semua anggota Trah Watulanang benar-benar akan mati!! Nanto benar-benar kebingungan.

Apa yang harus dilakukannya?

Apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan mereka semua?

Belum sempat Nanto memikirkan jalan keluar, ada kelebat bayangan.

Lima bayangan turun di belakang Pak Mangku dan Topeng Klana Merah. Lima bayangan berpakaian serba hitam dengan topeng ber-ornamen badut. Itu Pasukan Badut dari KRAd! Mereka semua pasti kawan-kawan Zambo jahanam yang menyakiti Sagu!

“Ka-kalian!” Nanto menatap Pasukan Badut yang sedang mempersiapkan senjata mereka masing-masing. “Kalau kalian berbuat macam-macam, kalian tidak akan lepas dariku! Kalian semua tidak akan…”

“Simpan tenagamu, Le.” Si Topeng Klana Merah geleng-geleng kepala dan tertawa. “Kamu tidak akan bisa melakukan apa-apa. Kalaupun bisa, pasti akan terlambat.”

Pria bertopeng itu menarik sebuah kursi dan duduk dengan santai di depan si Bengal. “Kamu punya kemampuan yang hebat, tapi sayang masih belum tahu kapan saat bicara dan kapan saatnya memberikan reaksi. Wajar saja karena kamu masih muda. Punya jabatan, punya kemampuan, tapi hijau dalam pengalaman.

“Tahukah siapa kamu ini? Kamu ibarat perpaduan klasik antara keluguan dan kejujuran, yang hasilnya adalah sifat naif yang tak kunjung pupus. Kamu tak akan bisa berhasil kalau seperti itu terus. Lugu boleh, bego jangan. Begini lho… untuk menjadi penguasa dibutuhkan kekuatan, kecerdasan, sikap bijak, dan pemikiran yang cemerlang.

“Dunia tidak akan bisa kamu kuasai kalau kamu terus bertingkah laku seperti bocah. Dunia butuh reaksi yang lebih cepat, kinerja yang lebih nyata. Kerja yang sat set sat set. Kamu ingin perdamaian? Wujudkan. Kamu ingin kekacauan? Wujudkan. Tidak peduli apa impianmu, wujudkan. Wujudkan semua mimpimu, bahkan jika harus mewujudkannya dengan cara yang paling ekstrim sekalipun.”

Nanto geram, “Ngomong ra jelas!! Aku tidak peduli! Aku tidak akan pernah mendengarkan ucapan orang gila seperti kalian! Aku tidak akan membiarkan kalian bebas begitu saja! Begitu om Janu pulih dari racun ini, kami berdua akan…”

Topeng Klana Merah dan Pak Mangku terdiam, saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak. Sang penopeng mendengus, “Pulih dari racun?”

Tiba-tiba saja ia melakukan sesuatu yang tak pernah disangka-sangka oleh si Bengal.

Untuk pertama kalinya, pria yang selalu mengenakan Topeng Klana Merah itu membuka topengnya di hadapan Nanto. Sang pengguna topeng Klana Merah menunjukkan wajah orang yang paling tidak disangka-sangka. Orang yang terdekat nyatanya adalah sosok yang terjauh.

“Kalau aku pulih lalu kamu mau ngapain, Le?”

Om Janu tersenyum di hadapan si Bengal.

Nanto terbelalak. Dia tidak mempercayai penglihatannya! O-Om Janu!? Topeng Klana Merah adalah Om Janu? Tidak… tidak mungkin… tidak…! Nanto menggelengkan kepala sembari terbelalak. Ini tidak mungkin! Tidak bisa! Tidak bisa!

OM JANUUUUU !?

Selama ini Topeng Klana Merah adalah om Janu!?

Ki Juru Martani adalah om Janu!?

Tidak! Tidak mungkin! Nanto tidak percaya! Ini pasti tipu muslihat! Ini pasti hipnotis! Pasti ada penjelasan lain! Om Janu tidak akan pernah… Tidak! Dia tidak akan percaya! Tidak mungkin om Janu menjadi Topeng Klana Merah! Tidak mungkin! Om Janu adalah orang dengan sikap gagah dan perangai lembut! Mana mungkin dia menjadi Ki Juru Martani? Pasti ada penjelasan yang lebih logis!!

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak percaya! Tidak mungkin!!”

“Kenapa tidak percaya?” Om Janu tertawa. “Selama ini kamu pikir aku ini orang baik-baik? Nama kelompokku saja Qhaoz-Kings. Kami adalah raja-raja kekacauan. Mana mungkin kami ini orang baik? Aku pikir Om Darno dan Tante Susan-mu akan memperingatkanmu tentangku, tapi ternyata mereka juga tidak mengetahui apa yang sudah aku rencanakan sejak lama. Hahahahaha.”

“Janu!! Bedebah kamu!! Apa yang kamu lakukan? Kita semua keluarga. Kenapa kamu melakukan ini? Kita tidak pernah ada dendam, tidak pernah ada masalah!!” Tante Susan berteriak kesal saat menyadari ada konfrontasi antara si Bengal dan om Janu.

Di samping Tante Susan, Om Darno terlihat sedang berusaha keras menguasai dirinya sendiri. Ia mencoba melepaskan endapan racun dengan menggunakan tenaga dalam. Bukan hal yang mudah dengan penutup cagak bebandan menghalangi eksekusi semua Ki. Om Darno geram dan mengancam, “Janu! Sudah gila kamu! Kenapa kamu tega melakukannya? Di sini ada wanita, anak-anak, dan orang tua!! Apa kamu tidak peduli dengan mereka?”

“Janu… kamu akan mendapat… karmamu… Karma Trah Watulanang akan menghampirimuu!!!” Tante Susan ambruk dan pingsan setelah mengucapkan kalimatnya. Busa juga keluar dari sela-sela bibirnya. Dia ternyata tidak dapat bertahan.

“Tanteeeeeeeeee!!” Nanto berteriak kencang.

Om Darno buru-buru melihat kondisi sang istri.

Nanto memandang sekeliling. Selain om Darno dan Tante Susan, ada seorang lagi yang bisa menolong mereka semua… Di posisi jauh, terlihat Pakdhe Wira sedang bermeditasi dengan khidmat, mencoba melakukan hal yang sama seperti om Darno, Tante Susan, dan dirinya – Pakdhe Wira sedang mencoba mengusir racun yang menyebar dalam tubuh. Sepertinya susah sekali mengeluarkan Ki untuk mencegah racun itu menyebar – sekali lagi, karena ada penghalang dari cagak bebandan.

Keadaan itu bukan tidak diketahui oleh Om Janu dan kawanannya.

“Mengapa masih bocor?” bisik Pak Mangku kepada orang disebelahnya. “Mengapa mereka masih bisa mengeluarkan Ki penyembuh dan pembuang racun?”

Orang di samping Pak Mangku geleng kepala. Dia juga tidak paham. Kenapa cagak bebandan tidak efektif.

Justru Om Janu yang kemudian menjawab, “sebabnya karena tak akan ada yang bisa sempurna memanfaatkan cagak bebandan kecuali Ngarso Dalem, orang-orang yang beliau percaya, orang-orang khusus Keraton, dan… Lek Suman. Sudah kubilang kita membutuhkan sesepuh yang liciknya seperti musang itu. Hanya dia orang awam yang mampu melakukannya karena unsur keturunan.”

“Ah…” Pak Mangku menghela napas, memahami kekurangannya.

Di sekeliling mereka, semakin banyak anggota Trah Watulanang yang pingsan dengan mulut berbusa. Racun yang merasuk ke seluruh anggota keluarga itu bukan racun yang abal-abal karena berasal dari seorang pria yang lumayan kondang dalam hal racun meracun. Efek awalnya lambat, namun begitu terkena, efeknya bisa fatal.

“Racunnya benar-benar manjur.” Pak Mangku tersenyum.

“Sudah pasti. Racun buatanku bukan kelas wedang jamu pinggir jalan.”

Pria itu muncul di sisi kanan om Janu, mengenakan pakaian serba hitam dengan aneka ragam aksesoris unik. Dia ditemani oleh murid kesayangannya. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Ki Demang Undur-Undur dari Pantai Selatan dan murid kesayangannya sudah pasti Reynaldi.

“Bagaimana, apakah racun dari saya cukup efektif? Wahahahahahaha…”

“Luar biasa. Tidak ada bau dan tidak ada rasa. Larut dalam minuman yang dibagikan. Reaksinya lambat sehingga mereka tidak curiga. Kerja yang bagus, Ki Demang. Setelah ini kami akan menempatkanmu di jajaran pemimpin QZK,” ujar om Janu yang kembali mengenakan Topeng Klana Merah sambil mengangkat jempolnya.

“Om… di-dia dari ilmu hitam. Kenapa Om malah bekerjasama dengan orang seperti itu? Kita seharusnya…” Nanto tersengal-sengal. Napasnya satu dua. Dia sangat kaget ketika melihat sosok pria yang dulu sempat dikenalnya lewat Deka itu. Orang ini licik, culas, dan oportunis. Ternyata dia juga ingin diakui kelompok besar sehingga melakukan hal semacam ini.

Om Janu tertawa. “Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir siapa yang memperkenalkan Deka dengan ilmu hitam? Kamu pikir siapa yang memerintahkan Pak Mangku untuk menghipnotis Hanna di pernikahan anak Pak Zein? Bwaahahahah. Anak bodoh! Semua sudah ada di sini.” Om Janu mengetukkan telunjuk di pelipisnya sendiri, “Kalau tidak kuat, jadilah cerdas. Kalau tidak cerdas, jadilah kuat. Kalau ingin membuat seluruh dunia mematuhi perintahmu, jadilah kuat dan jadilah cerdas. Hahahahha. Kenapa hanya menjadi satu kalau bisa menjadi dua?”

“Tapi kenapa? Om sudah punya semuanya! Kenapa harus menjadi Topeng Klana Merah? Kenapa menjadi Ki Juru…”

Om Janu berdiri dan menggelengkan kepala. “Tidak tidak… aku tidak pernah menjadi siapa-siapa. Aku selalu menjadi diriku sendiri. Inilah diriku sendiri. Saat bersamamu aku juga menjadi diriku sendiri. Hanya saja, aku punya banyak diri sendiri. Diri sendiri adalah lingkup luas yang disederhanakan oleh daya pikir manusia yang terbatas. Aku yakin sang Eyang di gua memberitahumu mengenai hal itu. Eyang yang telah menolak mengajarkanku apapun! Bedebah! Aku juga Trah Watulanang! Kenapa ditolak!!”

Nanto tidak paham. Apakah om Janu punya kepribadian ganda atau bagaimana? Ataukah ada hal lain yang masih belum dia pahami? Sampai sejauh ini dia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh om Janu, karena di mata Nanto – om Janu sudah punya segalanya.

“Kamu mungkin berpikir apa yang sedang aku lakukan, kenapa harus terjadi seperti ini? Kenapa ini terjadi? Kenapa melukai keluarga sendiri? Wahahahaha… seperti yang aku bilang tadi – kamu terlampau naif. Terlalu menganggap bahwa dunia itu hitam dan putih. Tidak, le. Hitam tidak selamanya hitam seperti putih tidak selamanya putih. Jangan salah. Meski terlihat jahat, tapi mereka ini adalah korban yang bisa dimaklumi. Korban yang harus jatuh demi kebaikan yang lebih mulia. Apa yang aku lakukan adalah bagian dari rencana besar untuk memperbaiki keadaan kota yang telah carut marut. Sedangkan kamu… nah kamu ini yang lain… kehadiranmu adalah anomali yang membuat perhitungan sedikit meleset. Tapi saat ini aku sedang meluruskannya.”

Sekali lagi Nanto tidak paham apa yang dimaksud oleh om Janu. Rencana besar apalagi yang dia bicarakan? Omongan ngalor ngidul tidak jelas ini apa yang mau dijelaskan? “Apa maksudnya? Re-rencana yang lebih besar?”

“Begini lho, le cah bagus… kota ini sudah kotor, sangat sangat kotor. Begitu kotor sampai-sampai debunya bertingkat-tingkat. Nah… sudah kewajiban kita sebagai pemilik kota untuk membersihkannya. Harus menyingkirkan semua debu. Itu sebabnya kota ini harus dicuci sampai bersih, baru dibangun kembali. Seperti sebuah bangunan tua yang harus dirobohkan sebelum bangunan baru didirikan. Out of chaos, comes order. Setelah kehancuran akan ada keteraturan.

“Sesungguhnya chaos dan order itu tidak terjadi secara random. Chaos dan order diatur sedemikian rupa oleh para engineer. Walaupun untuk masyarakat umum, chaos terjadi secara acak dan mengerikan, tapi setelah semua tatanan baru terbangun, mereka akan melihatnya sebagai keteraturan yang baru dan menyambutnya. Kita… adalah para engineer.”

“Tidak. Aku tidak percaya. Om pasti bukan om Janu. Om Janu yang aku kenal tidak seperti ini. Tidak berpandangan ngawur seperti ini. Ini makar, Om. Makar terhadap tatanan yang sudah ada. Apa yang Om sebut sebagai keteraturan baru, tidak lebih sebagai alasan untuk menjadikan diri Om sebagai pimpinan absolut dari rakyat yang selama ini sebenarnya sudah sangat menderita. Tidak…! Aku yakin Ki Juru Martani bukanlah om Janu!”

Om Janu tertawa. “Siapa bilang aku adalah Ki Juru Martani? Siapa yang bilang kalau aku BUKAN Ki Juru Martani? Bwahahahahaha… Kamu tidak tahu apa-apa, Le. Kamu tidak tahu rencana besar yang sudah dirancang sejak bertahun-tahun! Telik sandi Aliansi di QZK memang cukup cerdas namun kurang detail dalam memberikan laporan kepadamu. Kamu sudah memahami situasinya kan? Sudah memahami adanya invasi?”

Nanto melotot. Jangan-jangan… amplop dari si Jun itu?

“Heheh. Kamu pikir aku akan membiarkan rahasia kami keluar ke publik semudah itu? Kamu pikir bukti yang ada di dalam amplop coklat itu berhasil didapatkan dengan mudah oleh antek kalian di QZK? Apa yang dia dapatkan adalah apa yang kami biarkan keluar.” Om Janu tertawa-tawa, “Semua sudah direncanakan sampai detail sekecil-kecilnya. Termasuk informasi-informasi mana yang boleh keluar dan boleh bocor. Semuanya. Setelah informasi itu tersebar, baru kami akan membunuh telik sandi itu.”

Nanto geram. Dia harus memperingatkan Jun!

“Aku menginginkan kota yang kondusif dan efektif. Itu cita-citaku. Tatanan dunia baru yang damai dan tentram, tanpa ada geng-gengan, tanpa ada pemerintahan yang korup, tanpa ada masyarakat yang dirugikan, tanpa ada pertikaian hanya karena perdebatan. Bukankah itu cita-cita yang baik? Demi mewujudkan cita-cita mulia itu, keluarga Trah Watulanang tidak dibutuhkan jika hanya akan melahirkan anomali pengganggu seperti halnya dirimu. Cukup satu dan cukup dirimu saja, yang lain sebaiknya dihancurkan dari hulu sampai ke hilir.

“Lalu jangan pula lantas bilang aku tidak baik. Sekarang aku akan memberikanmu kesempatan, Le. Karena kamu sudah begitu mampu, bergabunglah denganku untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. Membangun kembali kota yang damai dan tenang tanpa perlu adanya pertikaian. Kita robohkan bangunan yang sudah bobrok dan bangun kembali bangunan baru. Bergabunglah dan menjadi tangan kananku, menjadi deputiku. Kita bangun negeri impian…”

“Om ini sedang mabuk, atau kepalanya kena getok jadi gegar otak?“ Nanto mencoba berdiri dengan susah payah, ”Aku tidak akan pernah mau bergabung dengan ide sesat semacam itu. Lihat sekeliling Om! Apa yang telah Om lakukan? Sadarlah, Om – ini semua keluarga kita! Bukan anomali! Bukan biang kerok! Bukan parasit! Bukan ranjau! Bukan hal-hal yang akan menghalangi Om meraih apa yang Om inginkan! Mereka hanya orang biasa! Orang tua, wanita, dan anak-anak! Om sudah gila!? Keluarga saja Om perlakukan seperti ini, apalagi orang lain! Kita ini semua keluarga dan seharusnya saling mendukung! Itu termasuk om, Saya, om Darno, Tante Susan, Pakdhe Wira… kita semua akan selalu mendukung dan saling dukung jika berjalan di sisi yang benar. Tidak perlu melakukan hal seperti ini! Om berpikiran dan berlaku seperti ini karena Om berjalan di sisi yang salah dan tahu itu salah!”

Om Janu melanjutkan tanpa peduli apa yang baru saja diucapkan oleh si Bengal, “…dan jika kamu sebagai pewaris terakhir Kidung Sandhyakala, Selubung Kidung, dan Nawalapatra 18 Serat Naga tidak setuju untuk bergabung denganku, maka aku tidak akan memaksa. Cukup serahkan ilmu kanuragan itu padaku. Biar aku saja yang melanjutkan tradisi dan warisan keluarga dengan sebaik-baiknya. Kamu akan aku bebaskan dan hidup tenang jika kemudian menghapus seluruh ilmu kanuragan yang kamu miliki.”

“Hanya untuk itukah Om melakukan semua ini? Melakukan ini pada keluarga Om sendiri? Demi ilmu kanuragan? Sepicik itukah pikiran seorang om Janu?”

“Aku tidak ingin ada anggota Trah Watulanang lain yang kelak bakal bisa mewarisi Kidung Sandhyakala, Selubung Kidung, dan Nawalapatra 18 Serat Naga tanpa seijinku! Aku tidak ingin ada Nanto-Nanto lain yang di hari esok akan menjadi anomali baru dan membuat kacau semua rencana yang sudah kususun dengan rapi. Cukup hanya kamu seorang. Garis keturunan Watulanang sejati aku hentikan di sini, penerus trah berikutnya akan dilanjutkan olehku dan di bawah pengawasanku!”

“Tapi kenapa HARUS seperti itu? Masih banyak jalan lain! Ini konyol dan tidak masuk akal. Semua yang Om jelaskan dari A sampai Z sungguh tidak masuk akal.” Nanto seperti sedang berhadapan dengan orang yang sama sekali lain dari biasanya. Ini seperti bukan om Janu.

“Jadi sudah deal ya? Aku anggap kamu tidak bersedia memberikan ilmu kanuraganmu padaku. Sayang sekali. Padahal aku sudah bertekad akan menjadikanmu pewaris tahta jika kerajaan kita yang baru sudah berdiri. Tapi berhubung kita berdua adalah saudara jauh, baiklah! Aku akan coba tawarkan sekali lagi dan ini untuk yang terakhir kalinya…! Bersediakah kamu bergabung denganku… atau tidak?”

“Kerajaan yang baru? Omongan gila apalagi sih ini? Tidak, Om. Tidak akan pernah kubiarkan warisan Eyang Bara jatuh ke tangan sesat yang ingin berkuasa dan menjadi yang terhebat untuk alasan yang salah. Aku akan mati-matian melawan siapapun orang yang seperti itu.” Nanto menggenggam jari-jemarinya erat membentuk kepalan.

Om Janu menyeringai. “Aku akan menghancurkan Aliansi.”

Nanto mencibir. “Hancur pun tetap tidak akan mengubah sikap dan pendapat kami. Kami boleh hancur tapi kami akan tetap mempertahankan sikap!”

Kedua pria itu bertatapan. Dua orang yang sebelumnya sangat akrab dan berada di satu kubu yang kini harus berhadapan satu sama lain.

“Ingat baik-baik apa yang kamu lakukan saat ini, karena kelak kamu pasti akan menyesal mengucapkan kata-kata itu, kamu akan menyesal berseberangan dengan QZK, kamu akan menyesal berseberangan denganku! Kamu akan menyesal karena setelah ini Aliansi akan dibumihanguskan.” Om Janu menyeringai dan memberikan kode pada seseorang di belakang.

Orang bertubuh besar itu berjalan ke samping sang pimpinan QZK. Sosok yang penuh aura negatif. Langkahnya santai tapi perawakannya yang mengerikan sangat mengintimidasi siapapun. Orang bertubuh besar itu adalah seorang monster, seorang predator, perwujudan malapetakan, dan seorang Dewa Iblis.

Rahu Kala berdiri perkasa di samping om Janu.

Nanto hanya bisa menatap dengan ngeri pada sosok yang baru datang itu. Aura Ki yang keluar dari tubuhnya sungguh sangat besar dan menyeramkan. Bukan Ki aliran hitam yang menaungi, tapi Ki murni yang benar-benar besar dan mengintimidasi. Baru kali ini si Bengal menghadapi sosok yang sedemikian besar aura tenaga dalamnya, padahal sudah ditahan oleh cagak bebandan, tapi auranya tetap bisa kentara karena luber-luber.

Luar biasa. Inikah yang disebut Petarung kelas A+ itu? Hebat sekali. Sungguh sangat hebat.

Tapi… sepertinya ada yang aneh.

Kalau dia sedemikian hebatnya, kenapa dia tunduk kepada perintah om Janu?

Ah, kenapa harus peduli? Nanto harus cepat-cepat, dia diam dan duduk bersila. Dia bermeditasi untuk mengeluarkan semua racun yang mengendap dalam tubuhnya melalui minuman tadi. Dia harus berusaha. Om Darno dan Tante Susan bisa melakukannya, itu artinya dia juga harus bisa. Selama apapun itu, dia tetap harus mencoba!

Tidak boleh ada korban lagi! Tidak boleh! Dia tidak akan membiarkannya!

“Rahu, Pasukan Badut!!” panggil om Janu, sang pimpinan QZK itu kembali mengenakan topeng klana merah-nya. Sebuah pertanda bahwa ia sebenarnya juga memimpin KRAd. Seperti itukah adanya? Atau bagaimana yang sebenarnya?

“Ada yang diperlukan?” tanya sang Dewa Iblis dengan suaranya yang berat. Pasukan Badut berjajar di belakang Rahu.

“Aku ingin kalian bunuh mereka semua yang ada di tempat ini. Anak kecil, orang dewasa, orang tua, remaja, habisi semua. Aku tidak ingin ada saksi dan ada sisa. Jangan biarkan satu orangpun hidup kecuali bocah di depan kita ini. Paham?”

Rahu Kala menyeringai mengerikan. “Paham. Malam ini kita pesta.”

“Paham!” Para anggota Pasukan Badut menganggukkan kepala hampir bersamaan.

Om Darno dan Tante Susan terbangun dari pingsan sesaat mereka dan melihat dengan ngeri ke arah Rahu dan anggota Pasukan Badut yang melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi di jaman modern.

Apa yang terjadi setelah itu sungguh mengerikan.

Sebuah pembantaian, Pembantaian Trah Watulanang.

Teriakan demi teriakan terdengar. Darah mulai tumpah. Tubuh-tubuh tanpa nyawa bergelimpangan. Sedemikian murah rasanya nyawa itu dilepaskan dari badan. Kalau tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, rasa-rasanya tidak akan mempercayainya.

Teriakan demi teriakan terdengar. Lolongan kesakitan menyayat perasaan. Hati hancur dalam derap kelamnya suasana yang mengerikan. Kain putih menjadi merah. Darah tertumpah begitu mudah. Kalau tidak merasakannya sendiri, tidak akan paham bagaimana kengerian itu terjadi. Tidak ada yang sempat melawan, tidak ada yang sempat lari. Kematian menyongsong tanpa pandang bulu.

“Jangaaaan! Jangaaaaaann!!! Tolooooong!!! Toloooooonggg!!!”

“Dia hanya anak-anaaaaak! Jangaaaaaaaann!! Kasihani diaaaaaaaaa!! Jangaaaaaaaaaannn!!”

“Tidaaaaak!! Tidaaaak!! Jangaaan! Jangan bunuuuuuu….!!!”

Om Darno dan Tante Susan berusaha lebih keras lagi untuk mengeluarkan racun dari tubuh mereka setelah melihat kengerian yang melanda. Mereka tidak bisa tinggal diam begitu saja melihat kekejaman om Janu dan anak buahnya. Ini bukan main-main! Ini sudah gila! Sangat gila!

“Januuuuuuuuuuuuu!!” Om Darno berteriak kencang. “Hkkkghhh! Apa yang kamu lakukaaaan!! Hentikan ini semuaaaaa!!”

Satu sodokan di dada om Darno membuat pria itu terdiam dan tersentak kaget. Ia dan Tante Susan ditarik ke halaman samping. Ke sebuah taman. Di sana napas mereka terasa lega, mereka dapat merasakan terjangan Ki yang tinggi dalam tubuh mereka. Kekuatan mereka kembali! Mereka sudah keluar dari area cagak bebandan! Mereka harus mengeluarkan racun dari tubuh mereka!!

Tapi mereka tidak dapat melakukannya.

Ada sesuatu yang tiba-tiba mencengkeram dada om Darno, menancapkan tangan yang tajam bagaikan cakar, menghunus ke dalam, lalu menyebarkan aliran racun berwarna hitam yang mengalir ke dalam tubuh sekaligus menyedot sari pati kehidupan dari dalam dirinya.

Sentakan yang sama membuat Tante Susan juga terbelalak, dia mengalami apa yang sedang terjadi pada Om Darno.

Pasangan itu sama-sama terangkat dari tanah.

“Apakah kalian berdua sudah lelah? Mau istirahat? Biar saya bantu, Om dan Tante.” Reynaldi tersenyum culas. Tangannya mencengkeram dada om Darno sekaligus Tante Susan, Cakar Tangan Hitam difungsikan. Kedua keluarga dekat Nanto itu berteriak kesakitan saat cakar Reynaldi makin lama makin menancap dalam-dalam.

Keduanya sama-sama berteriak kesakitan.

Tubuh Nanto bergetar melihat kejadian itu.

Dia tidak akan menyerah! Tidak akan menyeraaaah!! Ia memacu dirinya, menembus batas-batas yang sulit sekali ditekan. Nanto mencoba merangkak ke arah taman tempat Reynaldi menyakit Om dan Tante-nya. Nanto merangkak dan merangkak dan merangkak.

Begitu ia mulai mencapai pintu menuju taman, hawa sejuk mulai terasa… napas mulai lega… sedikit lagi…

Pak Mangku mulai bergerak dengan linggisnya, hendak mencegah Nanto mencapai taman. Tapi lengan pria itu ditahan oleh om Janu yang menggelengkan kepala. Pak Mangku cukup kaget, kenapa ditahan? Apakah sang pimpinan punya rencana lain?

Ketika ia hampir mencapai taman, tenaga dalam si Bengal mulai meningkat dengan pesat, bagaikan kompor yang sebentar lagi akan meledak. Terus, terus, dan terus. Ia terus memacu dirinya, mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya dengan mendesak dan memaksa menggunakan tenaga dalam. Sampai akhirnya…

Dia sampai di taman.

“Hooooeeeeeek!!”

Nanto memuntahkan cairan dari mulutnya. Cairan yang berwarna gelap. Si Bengal terengah-engah sembari menyeka mulutnya. Berhasil. Dia berhasil mengeluarkan racun dari dalam tubuh! Kini saatnya menetralkan aliran darah dan pernapasan. Dia harus cepat! Orang-orang ini harus diselamatkan! Tante Susan! Om Darno! Pakdhe Wira! Keluarganya harus di…

Blaaaaaaaaaaaaaam!!

Dengan satu lompatan, satu sosok hadir dan berdiri tepat di depan si Bengal, berdiri tegap menghalangi langkahnya untuk menyelamatkan Tante Susan dan Om Darno.

Baju, celana, dan tangan dari sosok itu sudah basah oleh darah. Entah berapa orang yang sudah menjadi korban di tangannya. Wajahnya yang mengerikan menyeringai. Rahu Sang Dewa Iblis berhadapan langsung dengan si Bengal. Dia menanyakan sebuah pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya.

“Hmm… segar ya keluar dari cagak bebandan? Aku melihat aura hebat di tempat ini. Apakah Ki hebat itu berasal dari dirimu?”

Nanto menatap geram Rahu.

“Hebat sekali. Dengan aura seperti itu… kamu pantas menyandang gelar sebagai Petarung Kelas A.” Rahu bertepuk tangan, “Janu bilang kamu tidak boleh dibunuh, tapi aku sangat yakin dia tidak mengatakan apapun tentang mencabut seluruh tangan dan kakimu. Aku sangat suka berhadapan dengan lawan yang kuat dan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan jika kita dapat bertanding saat ini juga. Kamu lihat sendiri, situasinya sangat membosankan. Hanya bunuh sana bunuh sini. Tidak ada perlawanan sama sekali dari orang-orang menyedihkan ini. Mereka hanya menunggu giliran untuk mati saja dan…”

“Menyingkir. Dari. Hadapanku.”

Gigi si Bengal bergemeretak. Tangannya mengepal. Dia berjalan dengan menyeret kakinya. Dia harus menyelamatkan semua orang! Semua! Om Darno! Tante Susan! Pakdhe Wira! Semua!

Rahu tertawa melihat gerakan si Bengal. “Bwahahahahahahah!! Jangan bercanda! Aku seorang petarung kelas A+! Jangan mengada-ada. Tidak akan pernah ada seorang petarung kelas A+ yang mampu dikalahkan oleh…”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!

Tubuh Rahu yang besar dan kekar itu melayang seperti kapas.

Rahu menubruk tembok besar dan kokoh yang langsung retak begitu ditimpa tubuh sang Dewa Iblis. Ada bekas merah kepalan tangan di dada Rahu yang terbuka. Semua bawahan om Janu terkesima dan menatap tak percaya. Rahu ambruk ke bawah dengan tubuh lunglai.

Suasana hening.

Ini benar-benar terjadi?

Rahu Kala dihempaskan dengan satu pukulan!? Rahu sang Dewa Iblis!?

Rahu diterbangkan sebegitu mudahnya?

“Aku tidak peduli kamu petarung kelas apa! Namaku Jalak Harnanto dan hari ini… kita akan menginjak neraka bersama-sama.” Nanto menyalakan Ki-nya. Aura-nya menghebat dan terus menanjak meningkat, aura yang ia keluarkan bahkan mampu menghempas beberapa anak buah om Janu yang mendekat ke arahnya. “Berani menghalangi langkahku dan akan kupastikan kalian tidak akan melihat hari esok.”

“Nanto, cah bengal.” terdengar suara dari samping si Bengal memanggilnya.

Nanto melirik ke samping.

Om Janu.

Mau apa lagi dia? Orang yang begitu Nanto hormati itu ternyata adalah musuh dalam selimut dan ancaman terbesar yang pernah ia hadapi seumur hidupnya. Siapa yang menyangka om Janu adalah orang yang teramat keji dan penuh tipu daya? Tega sekali melakukan pembantaian biadab seperti ini?

“Apakah kamu yakin akan melawan kami semua? Padahal kamu cukup menyerahkan saja ilmu kanuraganmu dan hidup tenang. Kalau bisa mudah kenapa harus dibikin susah?” Om Janu berjalan perlahan ke arah si Bengal. “Berikan ilmu kanuragan itu padaku. Orang-orang yang tersisa akan kami ampuni.”

“JANGAAAN!! JANGAN PERNAAAAAH!!” terdengar teriakan dari om Darno dari kejauhan. “Jangan pernah serahkan ilmu kanuraganmu pada dia!! Kematian kami akan sia-sia kalau kamu serahkan ilmumu pada bedebah terkutuk ituuu!! Kami rela mati asalkan kamu hancurkan dia dan komplotannya!!”

Om Darno berusaha melawan Reynaldi, tapi tenaganya terus menerus disedot oleh sang Durjana. Tante Susan sudah terlebih dahulu meringkuk, entah pingsan entah sekarat. Pertama karena racun, kedua karena ulah Reynaldi.

Nanto menggemeretakkan gigi melihat kondisi itu, “Bertahanlah Om!”

Weladalah, Nanto, cah bengal. Apa kamu tidak mendengar pertanyaanku?” Sekali lagi om Janu memanggilnya. “Apa kamu serius mau melawan kami? Kamu serius mau berhadapan langsung denganku? Kamu tidak ingin menyelamatkan keluargamu? Kamu tidak ingin ketemu sama dia?”

Si Topeng Klana Merah menjentikkan jarinya.

Layar televisi yang semula menayangkan video bumper khusus acara pertemuan keluarga besar Trah Watulanang, kini menampakkan wajah seseorang yang sangat Nanto kenal. Seseorang yang sedang tidak sadar sedang di-video saat sedang tidur siang di sebuah tempat yang entah di mana. Seseorang yang selama ini menghilang tak tahu rimbanya.

Sosok itu sedang tertidur dengan damai.

Nanto terbelalak melihat wajah jelita yang nampak di layar, “Kinan?”





.::..::..::..::.





Wilayah kota bagian selatan.

Wilayah kota bagian selatan di depan museum sang Pangeran.

Mobil-mobil berbaris di sepanjang jalan di lokasi yang telah disepakati. Berjajar dari ujung utara ke ujung selatan. Posisi mobil dan motor-motor tidak memenuhi jalan karena sudah dipastikan kedatangan dan kepulangan sebisa mungkin berlangsung dengan damai.

Kondisi jalanan lengang karena akses di utara maupun selatan telah ditutup oleh palang sementara yang diletakkan di tengah jalan dan dijaga oleh masing-masing penjaga dari kedua kubu. Semua persiapan telah disiagakan, hanya tinggal penentuan siapa yang akan turun sebagai wakil dari masing-masing kubu.

Di salah satu rumah di pinggir arena yang telah disewa dan dijadikan tempat istirahat salah satu kubu terdapat segerombolan orang yang tengah berpikir keras.

Mereka adalah para punggawa kelompok besar JXG. Kelompok yang menjadi kandidat pemenang dalam Tarung Antar Wakil itu dihadapkan pada posisi yang tidak nyaman, ada positif dan ada negatif. Positifnya adalah mereka semua siap menghadapi apapun, negatifnya adalah… di saat-saat yang krusial, pentolan tertinggi mereka yang seharusnya turun berlaga malah menghadapi bencana karena ditahan pihak yang berwajib.

Sebagian dari SSX, Empat Anak Panah, dan beberapa pimpinan hadir di sebuah ruangan. Siap menentukan siapa yang akan melawan siapa.

“Bagaimana ini? Pimpinan diitahan oleh tim Garangan, sementara kita sudah dipastikan harus berhadapan dengan Bambang Jenggo di pertarungan ketiga. Raja Para Anjing bisa dipastikan bukan lawan yang mudah. Siapa di antara kita yang sanggup menandinginya?” tanya Nohara dari SSX pada forum, dia terlihat gelisah dengan kekuatan JXG yang jelas timpang tanpa kehadiran Pak Zein di ajang sepenting ini. “Mas Eros dan Mas Ahmad sedang mengantarkan keluarga ke Jepang. Sekalipun di sini, aku tidak yakin mereka bisa menggantikan Pimpinan melawan Jenggo. Untuk saat ini kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri.”

Jagal mendengus, “Jangan bodoh! Kita ini JXG, bukan ayam sayur. Kita pasti bisa mengatasi mereka. Jika ada pun Mas Ahmad dan Mas Eros tidak perlu sampai harus turun tangan karena ada kami. Kami berempat sudah cukup untuk menghadapi siapapun wakil dari KRAd, biar Empat Anak Panah yang turun tangan menghadapi tiga wakil dari KRAd. Aku yang akan menghadapi Jenggo!”

Ki Kadar manggut-manggut, “Sabar Seno, kita semua sedang kebingungan. Harus berpikir dengan kepala dingin. Kita harus atur lagi formasinya. Sepertinya bukan hanya tiga wakil KRAd. Ada empat. Ada kabar kalau di pertandingan kedua bakal diadakan pertarungan tag-team dua lawan dua dengan one fall, yang artinya kalau sudah ada satu di antara dua yang menyerah, maka pertandingan akan dihentikan. Aku perkirakan kedua orang dari KRAd yang akan tag-team itu adalah Aswin dan Ajo, dua anak Joko Gunar, mereka versi mini dari mendiang Gunar dengan segala kemampuannya. Keduanya sedang naik daun dan sangat berbahaya.”

“Aku dan Hantu yang akan menghadapi mereka,” ujar Rogo sang Barakuda sambil melirik Hantu yang tumben-tumbenan malah sedang tertidur di sebuah kursi.

“Jagal menghadapi Jenggo – kemungkinan ini jadi pertandingan terakhir, Rogo dan Hantu menghadapi Aswin dan Ajo. Kalau begitu aku akan menjadi melawan entah siapa yang akan diturunkan oleh KRAd.” Ki Kadar tersenyum. “Bagaimana menurut kalian? Aku juga akan memimpin dan mewakili pimpinan dalam pembagian wilayah.”

Para anggota SSX saling berpandangan, mereka tidak ada masalah dengan pembagian tugas itu. Tidak ada masalah dengan memberikan tampuk pimpinan sementara pada Ki Kadar. Dia kepercayaan pimpinan dan toh Empat Anak Panah memang lebih menguasai ilmu kanuragan dibandingkan SSX.

Hanzo sebagai pimpinan SSX mengangguk setuju, demikian juga dengan Usagi.

Tiba-tiba pintu diketuk, seorang pria berdiri di depan pintu. Nohara mendekati pria itu dengan wajah serius. Sepertinya yang baru datang adalah anggota KRAd. “Ya?”

“Salam. Ada pesan dari pimpinan KRAd, kami hendak mengundang perwakilan dari JXG untuk bertemu dan melakukan negosiasi demi menentukan siapa petarung dan bagaimana nanti sistem pembagian wilayah dalam Tarung Antar Wakil. Pimpinan kami sudah menunggu di tengah lapangan tenis.”

Tak menunggu jawaban, pria itu tersenyum sinis dan meninggalkan Nohara yang mendengus. Itu artinya suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus datang ke tengah lapangan tanpa kehadiran Pak Zein sebagai pimpinan tertinggi.

Jagal menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jari jemarinya. Ia melirik ke arah Rogo yang mengangguk, Hantu yang menguap, dan menyusul Ki Kadar yang sudah terlebih dahulu berjalan keluar. Sulaiman Seno melangkahkan kakinya dengan gagah, berjalan dari rumah singgah menuju ke tengah lapangan.

Banyak orang sudah mengelilingi lapangan, tapi mereka semua tenang tanpa yell-yell berlebihan. Mata-mata mereka tegang menatap pertemuan kedelapan punggawa.

Ada empat orang berdiri di sana – yang pertama adalah Bambang Jenggo, yang kedua adalah Rama, dan yang di kiri kanan mereka ada Aswin dan Ajo Gunar. Apakah mereka berempat yang akan turun ke medan laga hari ini?

“Salam Bapak-Bapak Anak Panah JXG yang terhormat! Hahahah!” Bambang Jenggo bertepuk tangan, para anak buah KRAd mengikuti penghormatan Jenggo kepada keempat pria yang hadir ke tengah lapangan. “Selamat datang… selamat datang…”

Rogo mendengus saat menatap Rama. Orang ini…! Bukankah dia juga termasuk anggota Tim Garangan yang menangkap Pak Zein? Dia boleh memakai masker dan topi semaunya untuk menyembunyikan wajah, tapi aura Ki yang ia miliki tidak bisa mengelabui.

“Kamu…!! Bajingan!! Kamu yang menyebabkan Pimpinan…”

Tangan Ki Kadar menghalangi langkah Rogo untuk mengejar Rama, “ROGO!!”

Rogo sang Barakuda terhenti.

“Tenang. Tenanglah dulu. Akan ada waktunya nanti kita meminta pertanggungjawaban mereka. Tapi saat ini marilah kita mencoba menghormati ajang ini dengan sebaik-baiknya. Hal yang paling tidak kita inginkan saat ini adalah membuka sendiri celah pertahanan. Ngono ya ngono neng ojo ngono. Paham maksudku ya?”

Rogo mendengus keras dan mengangguk. Dia tahu pasti Ki Kadar sebenarnya tidak peduli dengan menghormati ajang ataupun KRAd – ini lebih ke persiapan tempur. Dengan banyaknya orang yang sedang menyaksikan, bisa saja ada kemungkinan akan ada yang merekam tindakan Rogo menyerang Rama. Fakta itu nanti bisa diputarbalikkan oleh KRAd sehingga terkesan Rogo-lah yang terlebih dahulu menyerang. Ki Kadar benar, dia tidak boleh grusa-grusu.

“Paham.”

Bambang Jenggo tersenyum melihat Rogo berusaha keras menahan amarahnya saat berjumpa dengan Rama. Pria bertubuh besar dan berperut buncit itu terkekeh-kekeh sambil bersidekap. “Aku sangat menyesal Pak Zein yang terhormat tidak dapat hadir pada acara penting Tarung Antar Wakil hari ini. Heheheh.”

Rogo menggemeretakkan gigi, Ki Kadar menepuk-nepuk pundaknya. Pria sepuh itu tersenyum, “Biar aku yang menyelesaikan ini.”

Jagal berdiri dengan kaku, matanya menatap Jenggo dengan tajam. Hantu masih menguap dan nampak tak bergairah. Ki Kadar yang dituakan maju untuk mengkonfrontasi Jenggo dan dia memulainya dengan sentilan langsung. “Kehadiran Rama di sini memberikan pencerahan bagi kami… bahwa rupanya begitulah cara kalian untuk melemahkan kami. Dimulai dengan memotong pucuk yang harum pada saat panen akan dilakukan.”

Jenggo tersenyum dan memainkan analogi yang dipakai oleh Ki Kadar. “Pucuknya terlalu harum, terlalu wangi, dan terlalu lama dibiarkan di atas ranting. Hasilnya tidak baik dan tidak segar.” Jenggo tertawa, “Pohon-pohon yang sudah terlalu tua seharusnya dipotong dan digantikan tanaman baru. Di saat panen, produce yang benar-benar bagus yang akan disimpan sementara, bukan yang telah membusuk.”

“Batasan antara cerdas dan licik memang tipis. Tapi kita akan buktikan di sini kelompok mana yang jauh lebih besar dengan sikap dan tindakan. Kami tidak perlu ngotot.”

Jenggo tertawa, “Tentu saja ini seperti anekdot, ketika kami diceramahi tentang sikap dan tindakan oleh seekor kutu lompat. Saya bahkan tidak tahu apakah sedang berhadapan dengan JXG atau QZK. Hahahaa.”

Ki Kadar tersenyum sinis, “seperti halnya seorang oportunis yang memanfaatkan kelompok yang sedang berduka untuk merebut tahta.”

Kedua orang itu maju ke depan sehingga jarak mereka semakin memendek. Keduanya tak bergeming dan tak gentar. Masing-masing menyeringai untuk melunturkan nyali lawan.

Tarung Antar Wakil seri pertama. Tiga pertarungan, dua pertarungan single, satu pertarungan tag-team. Masing-masing pertarungan akan menentukan wilayah yang akan dikuasai selanjutnya.” Jenggo memulai negosiasinya. “Jika tidak semua wilayah tercakup pada seri pertama, akan kita cari cara untuk menentukan pertarungan penentuan perebutan wilayah selanjutnya. Kta akan melakukan seri Tarung Antar Wakil di minggu-minggu mendatang sampai akhirnya semua wilayah terkendali di bawah satu kelompok – kecuali kalian mau mempertaruhkan semua wilayah di bawah satu seri akbar Tarung Antar Wakil dengan tujuan winner takes all. Kelompok yang bertarung bisa meng-klaim kembali wilayah yang sebelumnya berhasil direbut dalam Tarung Antar WakilRecoup.”

“Tidak masalah. Kami yang akan menentukan wilayah-wilayah mana saja yang akan ditentukan pada pertempuran kali ini karena pada dasarnya JXG menguasai semua wilayah yang telah dicaplok oleh KRAd.”

“Silakan saja. KRAd – atau dulunya PSG, sebenarnya tidak pernah mencaplok apapun. Yang dilakukan PSG hanyalah merawat wilayah yang telah ditinggalkan JXG yang secara ngawur meninggalkan lahan hijau. PSG hanya merawat tanah yang kosong tak bertuan, sepertinya itu bukan kesalahan.”

Ki Kadar tidak peduli apa yang diucapkan Jenggo. Ia melanjutkan negosiasi, “Wilayah pertama, kawasan sekitar Kebun Binatang sampai Taman Makam Pahlawan.”

Jenggo menyeringai, “Cukup luas cakupannya. Boleh saja. Aku yang akan maju untuk wilayah itu.”

“Oh? Sampeyan yang akan pertama kali maju? Menarik.” Ki Kadar tersenyum meski dalam hati bertanya-tanya, ini di luar perkiraan. kalau Jenggo maju di pertarungan pertama, siapa yang akan maju di pertarungan terakhir? Rama? Kenapa Rama? Strategi apa yang akan mereka munculkan? “Dari JXG - Jagal yang akan menghadapimu.”

Bambang Jenggo tertawa, dia memiringkan badan untuk menatap langsung ke calon lawannya di Tarung Antar Wakil hari ini. “Hahahhaah! Seno! Kamu yakin akan melawanku? Hahahahahaha!”

Sulaiman Seno sang Jagal tak bergeming dan tidak peduli, Ia hanya menatap Jenggo dalam diam. Tidak peduli pada sindiran dari sang Raja Para Anjing.

Ki Kadar tak ingin menunggu lebih lama, “Baiklah, pertarungan pertama sudah ditentukan. Kita lanjutkan dengan pertarungan untuk perebutan wilayah berikutnya. Daerah yang akan diperebutkan adalah… Pasargede.”

“Nah ini menarik, Pasargede tentunya adalah wilayah paling penting untuk PSG. Untuk pertarungan kedua ini kita akan melakukannya dengan tag-team. Kami akan menurunkan Aswin dan Ajo Gunar - meski keduanya nama-nama baru, mereka adalah putra dari Joko Gunar yang kurasa cukup pantas hadir di ajang penting ini. Apalagi secara historis, mereka pasti ingin menjadikan Pasargede sebagai milik KRAd sebagaimana sebelumnya.” ujar Bambang Jenggo sembari menunjuk ke arah dua pemuda yang meringis jumawa menatap ke arah Ki Kadar dan Anak Panah JXG. “Inilah mereka, Aswin dan Ajo. Sementara dari sisi JXG, aku sekali yakin kalian akan menurunkan Rogo dan si Hantu.”

“Betul sekali. Rogo dan Hantu akan menghadapi mereka berdua.” Ki Kadar tersenyum dan mengangguk. Sepertinya strategi JXG sudah terbaca seperti halnya JXG sudah bisa membaca siapa saja calon lawan-lawan pada ajang Tarung Antar Wakil kali ini. Yang menarik adalah pertarungan yang ketiga karena sudah pasti Rama akan diturunkan, kalau tidak dia, siapa lagi? Salah satu dari 3GB? “Pertarungan pertama dan kedua sudah ditentukan, dengan wilayah yang dipertaruhkan di masing-masing laga. Kita masuk ke wilayah ketiga yang akan diperebutkan… wilayah tersebut adalah daerah yang dimulai dari Kali Wagu, jalan Penjara, sampai kawasan sekitar kantor dagang dan Jembatan Bondomanan. Untuk pertarungan terakhir ini… aku yang akan turun sendiri menghadapi wakil kalian.”

Jenggo ikut tersenyum. “Tentu saja.”

“Apakah dia akan menjadi wakil kalian di laga terakhir?” Ki Kadar menunjuk ke arah Rama.

Bambang Jenggo terbahak-bahak. “Dia!?? Bwahahahahaah… tentu saja tidak! Jelas bukan. Kalau menurunkan Rama untuk menghadapi Ki Kadar itu artinya kami menyerah sebelum bertarung. Rama tidak memiliki kemampuan yang setara dengan njenengan, Ki Kadar. Tidak… tidak… bwahahah…”

“Lalu siapa?”

Jenggo mengedipkan mata, tersenyum, dan menunjuk ke sebuah arah – ke joglo yang ada di dalam museum di depan mereka. Di sana ada sebuah kursi yang diduduki oleh seseorang dalam kegelapan, “Yang ada di sana… beliau akan menjadi petarung terakhir kami.”

Ki Kadar, Jagal, Hantu, dan Rogo sama-sama menatap ke arah joglo yang ditunjuk oleh Bambang Jenggo. Ada seseorang yang duduk di kursi di sana sambil menggoyang-goyangkan satu tongkat kayu seakan-akan tidak peduli dengan apa yang terjadi.

“PERTARUNGAN KETIGA!!” teriak Jenggo untuk memberitahukan jadwal pertarungan selanjutnya kepada sosok misterius di joglo. “SENDIKO DHAWUH!”

Mendengar ucapan Jenggo, pria yang duduk di kursi berdiri dan berjalan ke depan dengan langkah yang sangat tenang dan santai. Saat ia bergerak melalui lampu yang redup, saat itulah keempat Anak Panah JXG menyadari kalau orang itu mengenakan Topeng Klana Merah.

Ki Kadar hampir terkesiap. Dia…!?

Empat Anak Panah JXG saling berpandangan. Dia…!?

Ki Juru Martani?


Ki Kadar mengerutkan kening. Apakah ini orangnya yang disebut sebagai Ki Juru Martani sang penasehat utama KRAd yang sangat ditakuti itu? Konon dia punya kemampuan mengerikan… tapi anehnya… kenapa Ki-nya tidak terbaca? Ki Kadar tahu orang yang satu ini bukan sosok main-main karena dia sanggup menekan Ki-nya hingga taraf terendah. Dari pengalamannya bertahun-tahun, orang-orang yang mampu dan sering melakukan menekan Ki biasanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan mengerikan.

“Lawan terakhir kalian… adalah beliau. Heheheh. Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik karena jujur aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Ki. Bwahahaha,” Bambang Jenggo kembali berkelakar dan mengedipkan mata pada Ki Kadar. “Beliau adalah orang yang bahkan aku pun tidak tahu batas kekuatannya. Pasti akan menyenangkan menyaksikan pertarungan kalian berdua nanti, Ki. Sekali lagi… aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu lho…”

“Bagaimana, Ki? Sanggup?” tanya Jagal.

Ki Kadar mengangguk, “untuk JXG dan Pak Zein – apapun akan kuhadapi. Termasuk Ki Juru Martani sekalipun. Tidak ada sedikitpun gentar dalam tubuh tuaku ini.”

Swwooooooosh!!

Tiba-tiba saja tongkat yang dipegang oleh si Topeng Klana Merah terbang ke arah tengah lapangan tenis. Padahal jarak antara lapangan dan joglo cukup jauh. Ki Kadar dan tiga Anak Panah JXG lain mundur teratur, begitu juga dengan Jenggo, Rama, dan dua Gunar bersaudara.

Jblaaaaaaaaaaaaamm!

Tongkat itu menancap tegak di antara kedua kelompok, tegas menantang langit menembus lantai lapangan tenis yang keras.

Sebuah pertanda bahwa pertarungan sudah siap dilangsungkan. Wajah-wajah pun menegang dari kedua kubu. Tanpa kehadiran Pak Zein, JXG yang seharusnya jauh lebih superior menjadi seimbang. Sekarang tidak ada yang tahu siapa yang akan memenangkan pertarungan ini.

Angin berhembus dan tanpa ada pertanda apapun, sang Penopeng bergerak maju dengan satu lompatan selembut kapas dari Joglo yang jaraknya puluhan bahkan ratusan meter dari lapangan tenis. Hanya satu lompatan saja dan tiba-tiba dia sudah berdiri di atas tongkat yang tadi dilemparkannya sendiri. Ia berdiri dengan satu kaki kanan, menyilangkan kaki kiri, dan terlihat sangat nyaman.

Sosoknya angkuh, arogan, dan anggun di atas tongkat. Terasa majestic di bawah sinar rembulan. Siapapun orang ini, kuasa ilmu kanuragannya ada di tatanan tertinggi. Para anggota KRAd bergerak bersamaan, duduk bersimpuh bertongkat lutut sambil mengangkat tangan memberi hormat.

Sang Penopeng memandang ke bawah, ke arah Empat Anak Panah. Pengguna Topeng Klana Merah itu terkekeh, “JXG menurunkan andalan-andalannya ya? Heheh. Empat Anak Panah JXG turun… sayang sekali. Itu artinya Empat Anak Panah JXG akan hancur hari ini. Kalian terlampau jumawa mengira semua masalah dapat kalian tuntaskan dengan mudah. Kadang kala ada masalah yang tidak akan bisa kalian pecahkan, ada masalah yang akan menghantui sampai akhir masa karena hari ini kalian menjumpainya, akulah salah satu masalah itu.”

Kalimat yang keluar dari mulut sang Penopeng seperti terdengar tidak asing bagi Ki Kadar… apakah dia pernah mendengarnya pada suatu ketika? Suara siapa itu?

Ki Kadar berusaha keras mengingat-ingat tapi dia tak kunjung ingat.

Ah entahlah… ini bukan saat yang tepat untuk berandai-andai atau memprediksi. Siapapun yang berada di balik topeng, kenyataan tidak akan bisa dielakkan: kekuatan JXG dan KRAd malam ini seimbang.

Bambang Jenggo, Aswin, Ajo, dan Rama semua berdiri berbarengan dan tersenyum jumawa melihat kehadiran si Topeng Klana Merah. Mereka tahu betul kekuatan junjungan mereka itu.

Jagal menggemeretakkan giginya, tangannya terkepal. Saat dia memindai tenaga sang penopeng, dia sadar betul bahwa apa yang akan terjadi mungkin bukan sekedar gertakan. Jika tadi kekuatan itu ditekan, kini kekuatan pria bertopeng klana merah itu dibiarkan terbuka jelas. Sialnya, kekuatan yang ia tunjukkan itu bukan kekuatan yang main-main. Kekuatan yang dia miliki seperti malapetaka yang mewujud. Apakah dia seorang petarung kelas A atau bahkan lebih?

Kalau melihat kemampuannya yang seperti ini, maka ucapan sang Penopeng itu bisa menjadi kenyataan. Tidak peduli berapapun pertandingkan digelar hari ini. Dia akan menjadi pembeda.

Sudah jelas nasib JXG sedang berada di ujung tanduk.

Malam ini akan sangat panjang.





BAGIAN 17-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 18
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd