Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Jalan nan terjal

Status
Please reply by conversation.
JNT







PART 31




8rd5M0T.jpg


TlY36u1.jpg




POV DARA



Akhir-akhir ini aku merasa suamiku seperti sedang menyelidikiku, setiap hari ia pulang setengah hari, ia beralasan kasihan kepadaku karna berada di rumah Sendiri, sesuatu yang sangat janggal menurutku karna dari dahulu juga setiap hari aku sendiri. Tapi aku malah senang, paling tidak sekarang ia lebih memperhatikanku.


Sudah menjadi kodratnya sebuah keluarga menginginkan yang namanya keturunan, dan tanpa suamiku tau orang tuaku sering kali membujuk aku untuk cek kesehatan termasuk juga suamiku, namun aku selalu bilang kami baik-baik saja.


Sudah ku tekatkan diri mempertahankan rumah tanggaku dan semuanya tergantung pada diriku sendiri, sekali saja aku berucap orang tuaku sudah pasti mendesakku untuk meninggalkan suamiku, jujur saja walaupun saat ini aku lebih memperhatikan pemuda itu tapi rasa sayangku kepada suami tak sedikit pun berubah, dan aku tau betapa hancur perasaannya saat ia harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini.


Kandunganku sudah jelas telak menohok suamiku, karna vonis dirinya juga sudah jelas dan suamiku menyadari itu, tapi untuk kepuasan batinku aku sangsi suamiku menyadarinya, karna aku baru sadar bahwa keegoisan itu ada setelah melakukan hubungan dengan Ian, kepeduliannya kepada pasangan sangat ia dahulukan, kepuasanku di utamakan dan itu sangat berbanding terbalik dengan suamiku sendiri.


Aneh memang, aku mencintai dua orang lelaki dalam satu atap. Sungguh sesuatu yang sangat memalukan jika orang luar tau hal ini, tapi apalah dayaku memang inilah yang aku rasakan saat ini.


Kembali lagi soal suamiku, setelah tau kenyataan yang terjadi suamiku sama sekali tak menyentuhku, tapi sikapnya tak berubah, ia tetap hangat tidak acuh bahkan marah pun tidak. Aku tak mau ambil pusing soal setiap siang ia pulang, toh memang lebih baik begitu, biar aku total juga mengurus suami.


Dan hari ini pemuda yang ku tunggu datang di waktu yang tepat, saat suamiku sedang bekerja dan sudah pasti aku tak ada kegiatan di rumah, tercurah sudah kerinduanku padanya, belai lembut dan panasnya api asmara yang kami kayuh selama satu jam lebih sudah sangat membuatku terlena.


Jujur aku ingin memiliki seutuhnya, andai saja pertemuan ini sepuluh tahun lebih awal, semua pasti berbeda, tak ada cinta segitiga seperti sekarang.


Hari-hari yang kulalui sekarang lebih banyak bersama Ian, di toko mau pun di rumah, itu juga karna pemuda itu tak menyukai kelayapan sehabis kerja, bahkan libur pun ia tetap diam di rumah. Dan semenjak Ian datang suamiku hanya sesekali saja datang ke toko, itu artinya ia tak menaruh curiga ke Ian.


Siang hari ini cuaca benar-benar panas, aktivitas di toko pun tak terlalu sibuk, untung ruko ini lumayan besar dan di lengkapi dengan satu kamar tidur yang rencananya di peruntukkan pegawai yang menjaga toko nanti.


Dan sementara ini aku gunakan untuk beristirahat, seperti saat ini aku asik membaca artikel yang kubutuhkan, sedangkan pemudaku masih menyibukkan diri di balik etalase.


Sayup-sayup ku dengar Ian berbicara dengan seseorang, aku yang penasaran keluar untuk melihatnya, uugh... Dua lelaki yang ku cintai sedang ngobrol ternyata.



“ Ayah baru datang? Ih.... Bawa apa itu yah? “



Nah kan? Datang tak di sangka-sangka mungkin ini sebagai bentuk pengintaiannya, tapi lebih baik ku tepis aja prasangka buruk itu, aku ambil positifnya saja.



“ Baru ae ma, nih. Jangan telat makan ya? “



Ucap suamiku sembari memberikan bungkusan makanan padaku.



“ Ih... Makasih... “



Ku ambil bawaannya dan ku lihat ada dua bungkus.



“ Ayah mau makan sekarang? “



Tanyaku lagi.



“ Ndak, itu buat mama sama Ian ae, ayah sudah makan kok”



Ku tengok jam dinding, em... Sudah lewat jam 12 ternyata.



“ Lah? Kok gitu? “



“ Hu um, ya wis tak tinggal ya? “



“Eh? Kok buru-buru bener yah, masih lama lo jam istirahatnya? “



“ Iyo mau ketemu relasi sebentar, wis ya? “



“Hu um, Hati-hati yah. “



Ish... Yang begini ini yang membuat aku merasa bersalah banget, ia lelaki yang baik, penyabar dan sangat jarang mengumbar amarahnya, apa lagi setelah ia tau aku mengandung, aku merasa ia lebih perhatian padaku, beneran aku bingung di buatnya.


Tapi kembali lagi ke perasaan hati dan yang tabu, aku tak memungkirinya bahwa Ian sosok yang dapat melengkapi di balik kekurangan suamiku.


Entahlah rasa bersalah itu hilang seketika saat aku bersama pemuda itu.
“Ra? “



Pelan Ian memanggilku ia tersenyum menatapku yang sedang melamun, tak ku jawab sapaan itu, aku hanya menengok dan membalas senyumnya.



“ Kenapa Ra? “



Ia mendekatiku perlahan jari jemarinya menyentuh pipiku.



“ Kenapa? Makan dulu gih, jangan suka bengong ah, “


Ucapnya khawatir, ku elus lengan tangannya tanpa menjawab ucapan darinya.



Cup



Aih... Aku leleh, jarang sekali dia berani mengecupku duluan. Lagi pula sedari tadi kulihat ia salah tingkah saat suamiku ada disini, tapi sekarang?



“ Ra? “


“He em sayang? “



Ku ambil bungkusan yang suamiku bawa tadi dan kuberikan pada mas Ian.



“ Tak tinggal dulu ya mas? “



“ Mau kemana Ra? “



Ucapnya sembari membuka nasi bungkus yang kuberikan.



“ Beli es he he”



Ucapku sembari berlalu, dua gelas es teh manis ku bawa, mas Ian terlihat lahap menyantap makanannya. Sedangkan aku masih belum juga menyentuh makanan di depanku, ujung-ujungnya mas Ian memaksaku, dengan telaten ia menyuapiku hingga selesai.


“ Ngga baik banyak minum yang dingin lo Ra? Nanti dedeknya endut lo? “



Ucapnya menasihatiku,



“ Ih sok tau ih, tapi kata orang iya sih? “



“ Hem... Aku juga boleh dengar sih, habis ini istirahat lagi aja yo Ra? “



“Temenin ya? “



Ucapanku membuat mas Ian mengernyitkan dahi, Ish... Mungkin dia sedang berpikir mesum hi hi hi, tapi ngga apa-apa sih.



“ Ngeres deh kamu mas, “



“ He? Ngeres? “



“ La itu begitu opo kalau ndak ngeres “



“Hem... Ayo tak temenin, bentar tapi yo? “



Aku mengangguk senang, pemudaku mengikutiku dari belakang, baru saja ia menemaniku ia kembali di sibukkan dengan pekerjaannya.



Uuugh... Aku terbangun dari lelap tidurku, entah berapa lama, yang jelas aku di sambut senyuman mas Ian.



“ Ih? Jam berapa sih mas, Kok udah gelap aja sih? “



“ Jam dua Ra? Mau hujan keknya, gelap bener”



Ucap pemudaku, ia kembali melanjutkan aktivitasnya sedangkan aku beranjak ke kamar mandi.


Satu jam setelah aku bangun suara gelegar petir saling sambar, butir-butir air turun dari langit dan semakin lebat saja, aku memutuskan untuk menutup saja tokonya.


“ Walah, pulangnya gimana ini... “



Mas Ian tampak khawatir dan berucap sendiri.


“Yang? Sini deh, “



Ia ku panggil dan ku bisikkan sesuatu, kedua pipiku menjadi sasaran kegemasannya.



“ Kamu kedinginan ya? “



Ucapnya sembari meraih tubuhku, tangannya melingkar di pinggang dan jarinya mengelus perutku. Yah, ia mendekapku dari belakang, dagunya bersandar di pundakku.


Nafasnya seolah sengaja ia hembuskan di telingaku, hal itu membuatku bergidik geli, suamiku sendiri tidak pernah melakukan hal itu, padahal cuping telingaku salah satu titik sensitif di tubuhku. Tak butuh waktu lama bagi Ian untuk merangsangku.



“Rolling udah di kunci? “



“ Hu um “



Jawabnya singkat, dan di saat itu pula jari jemari mas Ian sibuk dengan kancing celana jeans yang ku kenakan.



“ Tembem banget Ra? “



“ Iih? Apanya mas? “



“ Ini”



Ucapnya sembari menangkupkan telapak tangannya tepat di gundukan selangkanganku.



“ Iya? Apa itu? “



Godaku lagi, namun mas Ian tak menjawabnya, perlahan jari tengahnya bergerak mengelus belahan vaginaku, hingga akhirnya jari tengah itu menekan daging kecil bergerinjal di bagian atas vaginaku, hal itu membuatku melenguh.



“ Emh... Ke kamar yuk? “



Aku mengajak pemudaku.



Cup


“Aaa.... Ish... “



Ku peluk lehernya, aku takut jatuh saat dia mengangkat tubuhku dan membawanya ke kamar.


Cpak


Cpak



Ciuman-ciuman singkat mengiringi langkahnya hingga ke kamar, perlahan ia menurunkanku dan melolosi celanaku, dengan sekejap saja tubuhku polos tanpa sehelai benang pun.



“ Eem... Kamu pengen banget ya? “



“ Iya, takut reda hujannya “



Jawabnya, cepat ia menindih tubuhku. Payudaraku menjadi sasaran bibir nakalnya, ia mencucup bergantian,



“Aach.... Mash... “



Ku jambak rambut ikalnya, namun aku tak berusaha untuk menjauhkan bibirnya dari payudaraku, malahan sering kali kutekan kepalanya agar semakin rapat, di sela desahku yang semakin intens ku tarik-tarik kaos yang ia kenakan, ia tau maksudku, lalu ia pun turun dari ranjang dan melepas semua yang ia kenakan.


Aku berharap mas Ian segera melakukan penetrasi, namun ia berkehendak lain, kedua kakiku ia tarik sampai bokongku berada di pinggiran ranjang, ia pun jongkok di depan selangkanganku, ia diam menatap vaginaku yang terpampang bebas.



“ Iih? Kok di lihatin aja sieh? “



“ Aku suka Ra? Tembem banyak bulunya he he”


“Ish... Kan nurutin maunya kamu? Ayo ah masukin. “



Rengekku, jujur saja aku sudah tak sabar di masuki kelelakiannya, namun mas Ian hanya tersenyum dan mendekatkan wajahnya, hem.... Aku tau maunya, maka dengan kedua jariku ku buka lubang vaginaku, dan dengan sigap mas Ian mencucup belahan vaginaku, kedua jariku ia singkirkan, ah... Rupanya ia tak mau terganggu. Aku tak tau yang ia lakukan dan aku penasaran seperti apa ia mengerjainya.


Perlahan aku beranjak dari rebahku, gerakanku perlahan agar tak mengganggu aktivitasnya, kini aku terduduk dengan kedua kaki yang mengangkang, aku lihat bagaimana ia memanjakan vaginaku dengan bibirnya, dan hal itu menambah sensasi yang tak terkira buatku.


Tak ayal aku melenguh dan merintih sejadi-jadinya.



“ Aaach... Sudah yang.... Sudah... Aaah.... “



Pemudaku benar-benar kalap, ia tak menghiraukanku yang sudah kepayahan menahan birahi, kepalang tanggung ku tekan kepalanya agar lebih merapat di selangkanganku, otomatis lidahnya yang sedang menjilati vaginaku semakin terasa dalam.



“ Aaaaaach.... Iyaaah... Iyaaah Teruuus.... Aaaaaach.... Enak mash... Aaagh...”



Pinggulku terangkat dan mengejat sejadi-jadinya, aku orgasme hebat hanya dengan jilatan lidahnya saja.


Setelah nafasku tenang aku memaksanya untuk menindih tubuhku, kali ini aku benar-benar gila ingin segera di setubuhi.



“ Mas ayo... Masukin... “



“Apanya? “



“Iiiih... Kontolnya mas... Ayo aah... “



“ Mau sekarang? Atau mau aku bikin pipis dulu? He he he”



“ Nanti aja ih... Sekarang masukin dulu ya?... “



Slup

Slup


Ciuman panas akhirnya terjadi lagi lidahku menyelusup mengait lidahnya yang juga siap membelit lidahku.



“ Uuum... Uuummmh”



Aku melenguh tertahan, bibir tersumpal bibirnya, sedangkan di bawah sana batang kejantanan mas Ian baru saja menyeruak masuk membelah celah vaginaku,



Cpak



Akhirnya mas Ian melepaskan pagutannya, tubuhnya menjauh dan meraih pergelangan kakiku, ia membuka lebar dan menahannya dengan tangan, tubuhku terasa dikunci tak dapat bergerak bebas apa lagi mas Ian kembali melumat bibirku.



“Eeemh... Eeemh.... Aaaach... “



Sesekali ia melepaskan pagutan, namun tempo kocokkan tak sedikit pun ia kurangi, aku pasrah dengan perlakuannya, hanya pinggulku saja yang berontak melakukan perlawanan.



“ Uuugh..... “



Akhirnya mas Ian menghujamkan penisnya sedalam mungkin dan menyemburkan cairan kenikmatannya ke dalam rahimku, hal itu memicu birahiku yang belum tuntas.


“ Iiih... Kocokin lagi mas... Bentar lagi nih...”



Rengekku meminta di sodok lagi, memang tenaga muda tak bisa bohong, ia kembali menggenjot vaginaku, terasa sangat licin dan geli nikmat karna sperma mas Ian lebih dari cukup untuk melumasi dinding vaginaku dan batang penisnya.



“ Eeemh... Iyaa.... Aaagh... “



Akhirnya aku terkapar di Dera kenikmatan.



“ Sudah? “



“ Hu um, kamu hebat mas. Iiiih....”



Terasa geli menjalar di sekujur tubuhku saat mas Ian mencabut batang penisnya, ku tatap kemaluan mas Ian yang masih tegak mengkilap berlumuran cairan putih itu, aku bangun dan ku bersihkan dengan celana dalamku.



“ Kok pakai itu? “



“ Sedapatnya ih, hi hi hi “



“ La nanti pakai apa Ara ku? “



“Ndak usah pakai to yang? “



Mas Ian pun menggeleng dan aku pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan cairan bekas persenggamaan yang terasa becek. Setelah selesai aku pun kembali ke kamar, sesampainya di kamar mas Ian kembali menghujani ku dengan kecupan-kecupannya, ia memelukku dari belakang karna dengan posisi itu ia bisa menyentuh titik sensitif secara bersamaan.


“ Eeemh.... Masih mau? “



Ucapku yang tak mendapatkan jawaban, ia masih tetap sibuk dengan aktivitasnya, satu tangan meremas payudara dan satu lagi memainkan kelentitku, sedangkan bibir dan lidahnya sibuk dengan cuping telingaku, hal yang benar-benar membuatku kembali di landa birahi.
Setelah puas bermain-main mas Ian memintaku duduk di pinggiran ranjang, ia mengangkang kan kakiku dan.



“Aaach.... Mash... Enak mash... “



Bibirnya menyedot liang senggama ku dan lidahnya menari didalam sana, aku merasa setiap dinding vaginaku tak luput dari jilatannya, eranganku tak dapat lagi kutahan, bahkan sering kali aku merintih saat ia menyedotnya, di tambah lagi jarinya ikut berpartisipasi menggesek kelentitku.


Lagi-lagi aku harus pasrah, ku tekan kepala mas Ian agar semakin rapat.



“ Iiih... Mas.... Udah.... Aaaaah... Aaach.... “



Nafasku tersenggal bokongku pun mengangkat tinggi, membuat bibir mas Ian terlepas.


Seerrrr...


Air seniku mengalir deras, orgasme yang tak bisa di jelaskan dengan kata membuat tubuhku lunglai, ku cubit lengannya dan ku tarik tubuhnya agar rebah bersamaku.


Cup

Ku cium keningnya dan ia memeluk erat tubuh polosku, tak lama setelah itu kami tertidur.


Ba’da Magrib aku pulang, cuaca masih gerimis dan mau tak mau harus pulang, ada memori di sini, aku jalan berdua dengan satu payung dan sepanjang jalan ia begitu telaten menjagaku.


Ah... Aku semakin jatuh terpuruk dalam dekapan kasihnya, Ya Tuhan..... Aku benar-benar terjebak cinta segitiga.


Selesai membersihkan diri suamiku menyuruh mas Ian membeli makanan, dan tak ku sangka suamiku meminta jatah hubungan sex sesore ini, aih... Memang hawanya mendukung sih, tapi kan baru beberapa jam yang lalu aku di buat terkapar sama mas Ian, bahkan terakhir tanpa penetrasi ia membuatku tak berdaya.


Pantang bagiku menolak ajakan suami, apalagi itu sudah kewajibanku melayaninya, tapi sayang tak sampai lima menit bercinta suamiku sudah mengakhirinya, agak kesal tapi mau bilang apalagi, aku tak bisa memaksakan itu, ujung-ujungnya dini hari aku minta penuntasan kepada mas Ian.









~~~~~~~~~~














Pov pak Yanto





Sakit


Lemah


Harga diri yang terkoyak


Merasa tak berguna


Itu yang kurasa saat ini.


Dulu setelah tau kondisiku seperti apa, pernah terbersit sebuah rencana. Rencana yang sangat gila menurut pribadiku sendiri, dan yang paling menakutkan efek dari rencanaku yang gila itu seandainya terealisasikan. Warna hidupku hanya bersama istriku, dan semua kelakuan yang ku perbuat hanyalah bentuk dari keterpurukan perasaanku.


Dengan uangku dengan kelemahan yang ku derita membuatku sedikit pun tak merasa takut melakukan aktivitas sex selain dengan istriku, tentu dengan kekuatan uang yang ku punya.


Untuk urusan hati aku takkan pernah berpaling, istriku wanita terbaik yang ku kenal, ia rela bersama denganku walaupun resikonya ia tau sendiri. Sepanjang perjalanan pernikahanku sangat-sangat jarang sekali terjadi perdebatan apalagi pertengkaran, ia penyabar dan tidak neko-neko.


Dan semenjak kedatangan pemuda kampung keponakan teman baikku, hidup istriku semakin menyenangkan, aku bahagia melihatnya, memang ia anak yang rajin, semua pekerjaan di rumah ia kerjakan tanpa di suruh, dan itu menjadi kegiatannya setiap hari minggu, ia lebih memilih membersihkan pekarangan rumah memangkas ranting pohon yang di rasa mengganggu, padahal pemuda seusianya biasanya pergi mencari pelampiasan setelah seminggu full bekerja.

Mungkin dari situ istriku simpatik terhadapnya, ah entahlah. Aku sendiri senang dengan cara kerja pemuda itu.


Dan yang pasti sebelum aku menerima pemuda itu menjadi salah satu penghuni rumahku, aku terlebih dahulu mencari tau latar belakang dirinya, tentu mudah saja cukup menanyai mas Bambang semuanya beres.


Hari berganti dan saat itu aku mendapat musibah setelah meniduri karyawatiku, sedikit yang aku tau tapi cukup membuatku heran, Ian mengenal salah satu orang yang memukulku, ia berani melawan dua orang itu, kalau kalah mana mungkin dia bisa membawaku pulang.
Dari situ aku mulai mengorek keterangan dari Mas Bambang tanpa sepengetahuan Ian.


Pemuda yang terlihat lugu dan malu-malu saat di depan perempuan ( menurut pandanganku di rumah ataupun di pemotongan) itu begitu bengis di depan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu aku lumayan tenang dengan keberadaannya, 11, 12 dengan pakliknya sih.



Aku rasa cukup menilai pemuda itu, dan sekarang yang menjadi beban pikiran terberatku siapa lelaki yang menggagahi istriku, walaupun aku tak mungkin melakukan tindakan yang frontal karena istriku sendiri tak menyangkalnya, dan yang membuatku seperti di tombak adalah ucapan istriku sendiri, berarti dengan ucapannya ia sengaja melakukannya.


Tak ada lagi yang bisa ku perbuat, wajar saja ia begitu khawatir dengan masa tuanya, jika memang tak ada satu pun penerus keluargaku, siapa yang akan mengurus masa tuaku dan istriku nanti, ya walaupun bisa di bilang pemikiran itu mendahului kuasa Ilahi, bisa saja ada keajaiban di keluarga ini.


Yang jelas sekarang ini aku hanya berharap istriku tak terlalu jauh melangkah, dalam artian ia tak jatuh hati dengan siapa pun lelaki itu, aku merasa harus melakukan
Pengintaian, jelasnya aku penasaran dan ingin tau sendiri, benar kata istriku aku akan sakit kalau mendengar langsung dari mulutnya.


Sejauh ini tak ada sesuatu yang mencurigakan dari pantauanku, tapi ini baru beberapa hari saja dan tentunya aku akan terus memantau sampai aku tau siapa lelaki itu.


Walau ada Ian sekali pun aku akan tetap memantaunya, sayang waktu yang bisa ku gunakan hanya pada saat jam istirahat saja.


Sore ini hujan deras mengguyur kota, dan Dara izin pulang terlambat menunggu hujan reda baru bisa pulang, aku tak begitu khawatir soal itu, keberadaan pemuda itu sedikit banyak membuatku tenang, ngga mungkin Dara melakukan sesuatu di depannya.


Setengah lima ku telefon namun tak ada respon, niatku ingin mengabari kalau mereka hendak ku jemput,
Ah sudahlah, aku langsung tancap gas kesana, dan sialnya toko sudah tutup.


Hem.. Ku gelengkan kepala lalu mobil ku putar balik dan pulang ke rumah, Lagi-lagi pagar rumah masih terkunci, ah masa iya aku harus kembali ke toko lagi, aku yakin Dara masih di sana, mengingat kondisi ruko yang tidak ada kanopi di depannya, aku yakin mereka memilih menutup saja tokonya.


Ku buka pintu pagar dan ku parkirkan kendaraanku, segera aku membersihkan diri, aku tak ingin fisikku drop akibat terkena air hujan, ku pikir lebih baik aku menunggu di rumah saja.


Segelas kopi hitam tanpa gula menemaniku di teras rumah, sambil menunggu istri tercinta pulang sungguh sesuatu yang sangat membosankan.


Gemerisik air hujan yang turun kini sudah mereda dan tak lama kemudian orang yang ku tunggu datang juga.



Senyum manisnya menyapaku saat ia hendak memasuki pintu pagar, Ian yang di sampingnya tampak sigap memayungi ibu bosnya.



“Assalamualaikum ayah... “



“Waalaikumsalam... Tadi toko tutup ya ma, ayah kesana kok sudah rapat rolling nya, tak pikir sudah pada pulang he he”



“ Hujannya lo? Terlalu hot tau yah? “



Jawab istriku.



“Dah mandi sana, masuk angin ntar kamu ma”



Dara tersenyum dan berlalu meninggalkan aku dan Ian yang masih berada di luar.


“ Piye An? Rame ndak hari ini, “



“ Alhamdulillah pak, lumayan lah he he”



“ Jangan lupa yo mbakmu tu suruh banyak istirahat jangan terlalu capek. “



“ Njih pak, tadi habis makan siang juga langsung tidur kok pak, “



“ Ooh yo wes bagus lah, dia itu ndak pernah kerja soalnya An, ya bapak sebenarnya kasihan mbakmu ikut ke toko itu. “



“ Terus gimana pak, apa mbak Dara di rumah saja? “



“ Lo memangnya kamu sudah bisa ngurusin sendiri? “



“ He he belum sih “



“ Wes biarin saja, yang penting jagain jangan terlalu capek aja yo An”



“ Njih pak “



Tak lama Kumandang adzan Magrib menggema, usai mandi istriku terlihat begitu mempesona dengan baju tidurnya.



“ Lo kok udah pakai baju tidur aja? “



Tanyaku heran. Pasalnya kami belum menyantap makan malam, apa iya mau langsung ngamar?



“ He he he biar rilex aja sih yah? Lagian mau kemana juga toh? “



“ Iya sih? Tapi apa ndak mengisi perut dulu? Kasihan tuh anak buahmu, kelaparan nanti ma? “



“ Ish.... Biar pesan nasi goreng ae lah ya yah, ayah mau? “



“ Boleh? An... “



Ku panggil Ian, pemuda itu keluar dari kamarnya.



“ Njih pak”



“ Beli nasi goreng tiga yo? Nih”



“ Njih pak, “



Tanpa banyak bicara pemuda itu menerima uang dariku dan keluar rumah, masih dengan sarung yang ia kenakan saat beribadah tadi, lalu ku hampiri istriku dan ku peluk dari belakang, hasratku tiba-tiba muncul setelah sekian hari tak tersalurkan.



“ Ma? Hawanya enak ya? “



“ Eem... Enak opo to yah? “



Ku remas buah dadanya yang indah, dan ia tau maksud omonganku barusan.



“ Ish... Makan dulu lo yah? “



“ Iya? Habis makan ya? “



Istriku mengangguk setuju, lalu ku kecup keningnya. Tanganku masih saja meremas buah dadanya.



“ Ma, Ian lama ngga ya? “



“ Kenapa deh yah”



“ Pengen banget ni ma, sekarang yuk. “


“ Ish.... “


Ucap istriku sembari mengibaskan rambutnya yang tergerai, aroma wanginya benar-benar membuat nafsuku membuncah seketika. Masih dengan memeluk tubuhnya ia ku bimbing ke kamar sembari ku ciumi tengkuknya, hal itu membuat ia menggelinjang kegelian, sesampainya di kamar istriku langsung menurunkan celana dalamnya setelah itu ia merebahkan diri dan mengangkangkan kakinya.


Gundukan selangkangannya di tumbuhi bulu hitam yang tumbuh lebat di sekelilingnya, jujur aku lebih menyukai vagina yang gundul, tapi ya sudahlah aku tak mau memaksakan kehendak. Melihat posenya gairahku semakin menggebu, segera ku turunkan celana yang ku pakai berikut celana dalamnya, senyumnya sungguh menggoda.


Segera ku tubruk tubuh pasrah dengan rok tipis yang sudah mengangkat hingga ke pusarnya, ku singkap baju tidurnya yang juga tipis, maka terpampanglah buah dada yang sedari tadi ku remas. Aku langsung menindih tubuhnya dan kucium lembut bibirnya, dalam sekejap saja ciuman berganti dengan kuluman, lidahnya mencoba menyelusup dan membelit lidahku, hal itu membuatku tak sanggup lagi menahan gejolak, apalagi penisku sudah siap penetrasi.


Blees


“ Emh... “


Lenguh istriku saat penisku memasuki liang senggama nya, terasa hangat disana.


Plok


Plok


Plok


“Eeemh... Eeesh... Yah... “



Kening istriku mengkerut dan mendesah karna aku langsung menggenjot vaginanya, Benar-benar terasa hangat dan nikmat sekali kali ini, tak ayal penisku langsung memuntahkan cairannya.



“ Eeemh.. Udah? “



Ucap istriku sembari menatap wajahku yang memerah.



Cup



Ku kecup keningnya.



“ Makasih ya ma? Luar biasa anget banget he he”



“ Udah? “



Ucapnya lagi dan ku balas dengan anggukan, aku segera memakai celanaku, sedangkan Dara beranjak dari tempat tidur tanpa memakai celana dalamnya, seperti biasa ia langsung membersihkan diri di kamar mandi.


Sedangkan aku langsung duduk di teras, tak lama duduk Ian pun datang, sehabis makan bersama dan tak ada hal yang perlu di bahas, aku segera masuk kamar untuk istirahat, menang fisikku tak terlalu kuat, terkena sedikit air hujan saja pasti kepala langsung terasa pusing.


Dara sendiri masih di luar menemani Ian, baru jam setengah delapan malam wajar saja kalau Dara belum merasa ngantuk.


Dini hari aku terbangun dan istriku sudah terlelap di sampingku, entah jam berapa ia masuk kamar. Ku pandang wajahnya yang ayu dan pikiranku kembali menerawang empat bulan yang lalu atau mungkin juga sampai saat ini masih berlanjut. Sakit, sangat sakit jika membayangkan itu, tapi aku harus sadar dengan keadaan, aku tak boleh berpikir terlalu keras karna itu akan berimbas ke kesehatanku sendiri.


Semakin lama aku memandang wajah ayunya pikiran itu semakin menggangguku, bayangan ia di gauli lelaki lain sangat jelas di otakku, aih.... Tiba-tiba saja penisku menegang.


Rutinitasku berjalan seperti biasanya, bedanya sekarang Dara dan Ian semakin sibuk saja di usaha barunya, aku senang melihatnya, dan selama ini aku tak menemukan kejanggalan tentang istriku, padahal sudah menginjak bulan kelima usia kehamilan istriku, ku rasa tak ada gunanya aku mencari tau tentang hal itu, toh kesehariannya selalu bersama Ian. Biarlah rasa penasaran itu aku pendam dalam-dalam.


Hari ini aku bangun lebih awal, seperti biasa setiap aku bangun istriku pasti sudah sibuk di dapur atau di kamar mandi, aku yang sudah tak tahan ingin buang air kecil segera bergegas ke kamar mandi, suara gemercik air terdengar. Terpaksa aku harus bersabar, ya walaupun suami istri aku tak pernah ke kamar mandi berdua.


Indra pendengarku terusik oleh samar suara, sangat lirih dan jarang terdengar, sehingga aku perlu konsentrasi untuk menunggu suara itu terdengar lagi di telingaku.



“ Eeemh.. “



Lagi suara itu terdengar, akan tetapi gemericik air yang mengalir membuat suara itu semakin samar saja, ku tempelkan telinga di pintu kamar mandi dan aku yakin di dalam sana tak ada aktivitas sama sekali, lalu aku berjalan pelan ke arah kamar Ian, karna satu-satunya ruangan yang terisi hanyalah di sana.


Dug


Dug


Dug


Ada pergerakan disana.


Eeesh... Aaah...


Suara desahan kembali terdengar, jantungku berdegup begitu kencang ketika suara itu semakin terdengar jelas di telingaku. Pandanganku terasa gelap, di rumah ini tak ada siapa pun kecuali kami bertiga.


Aku kembali berjalan ke kamar mandi, aku ingin memastikan agar aku benar-benar yakin siapa yang ada di kamar Ian.


Cklek


Pintu ku buka perlahan, air mengucur tanpa tuan. Lalu aku ke dapur, sangat sunyi dan tak ada kehidupan disana. Ku sandarkan tubuh lemahku, tulang belulangku terasa di lolosi, aku tak menyangka orang yang ku percaya untuk menjaganya ternyata dia lah pelakunya.


Masih basah di ingatan apa yang istriku ucapkan kala itu dan tentunya aku tau makna dari ucapannya, sekarang terkuak sudah, pantas mereka perhatian satu sama lainnya. Dan aku yakin perbuatan itu sudah sangat sering mereka lakukan.



Aargh!!!



Aku harus kuat, ini kenyataan pahit yang harus ku jalani dan suara ranjang yang beradu dengan tembok itu membuktikan kalau mereka begitu buas bercinta.


Ku kuatkan diri melangkah lebih dekat ke kamar maksiat itu, dan aku berjalan seperti maling di rumahku sendiri, kemarahanku yang terbelenggu oleh keadaan membuat pola pikirku berubah dengan cepat, seharusnya ku labrak perselingkuhan itu tapi aku malah penasaran seberapa dahsyat mereka bercinta.


Ku sandarkan tubuhku di balik tembok kamar karyawanku sendiri, ku dengar setiap alunan birahi yang mengalir di dalam sana. Seumur perjalanan rumah tanggaku, istriku tak pernah merintih seperti itu saat bercinta, dia tak pernah meminta aneh-aneh seperti yang ku dengar saat ini. Ra, yah! Aku baru tau panggilan mesra Ian ke istriku seperti itu.


Haruskah aku menyingkir, atau memisahkan hubungan mereka, Sedangkan istriku sendiri pernah bilang kalau ia sudah memilih, artinya ia sudah siap bahkan sangat siap kalau aku mengetahui Affair mereka.


Hampir setengah jam aku terdiam disini, sudah beberapa kali istriku mengerang dan bilang dapat, yah aku tau maksudnya dapat. Tapi sampai saat ini perzinahan itu belum juga berakhir, padahal semalam istriku juga aku gauli, dan betapa lemahnya aku kalau membandingkan durasi bercinta mereka. Satu hal yang pasti, aku kalah telak dengan pemuda itu, dan dapat ku pastikan janin yang di dalam kandungannya itu benih dari Ian.


Aku tak ingin mereka tau keberadaan diriku di sini, lebih baik aku kembali ke kamar dan mencari jalan yang terbaik untuk keluarga yang sudah ku bina selama ini, yang jelas takkan kubiarkan semuanya hancur begitu saja.










~~~~~~~~~~~







Waktu berlalu begitu cepat, namun rencana Ian membawa kekasihnya ke kota S belum juga terlaksana, ia terlalu sibuk dengan pekerjaan, suatu hari Ian duduk berdua menikmati secangkir kopi hitam dengan pak Yanto di teras rumahnya.



“Toko gimana perkembangannya An? “



“ Alhamdulillah pak, kalau di lihat dari omset bulanan peningkatannya oke kok pak, tapi ya itu kan menurut saya to pak, kalau mau nanti saya bawa in hitungan pastinya pak. “



“ Ooo ndak usah, bapak kan ndak ada urusan di sana to? Kamu laporan ke Dara to? “



“ Pasti lah pak, semua kan laporan ke mbak Dara to pak. “



“ Yo bagus lah, memang harus begitu to? “



“Njih pak, lagian kan saya Cuma kerja pak. Tapi ya itu kata mbak Dara kalau buat gaji dua karyawan agak berat”



“ Lo katanya mau bawa temanmu buat kerja di sana? Jemputlah An. “



“ Njih pak, nanti saja kalau mbak Dara sudah mau lahiran kali ya pak. “



“ Wes atur ae lah, yang penting jangan salah pilih, takutnya jadi benalu “



Ucap pak Yanto dengan pandangan yang tajam, sontak hal itu membuat Ian berpikir lain, jelas Ian mengartikan lain, karna apa yang di lakukan kepada keluarga pak Yanto selama ini sama persis dengan yang di ucapkan pak Yanto.



“Njih pak, Maaf nanti tak timbang-timbang lagi saja pak”



“Iya iya ya... Terkadang kata maaf bisa di mengerti dan di maafkan, tapi perbuatan yang sudah terlanjur di lakukan akan ada bekasnya, ya to An. “



Degh!!


Pembicaraan yang sama sekali tak ada kaitannya membuat Ian semakin yakin pak bosnya itu sedang mencoba membicarakan hal lain. Yang jelas ucapan itu membuat jantung Ian berdegup kencang.


Walaupun bahasanya tidak langsung di tujukan padanya tapi cukuplah buat Ian menelaah ucapan pak Yanto, apalagi Ian sudah mencium gelagat yang membuat ia sendiri salah tingkah, ia merasa pak Yanto telah mencium hubungannya dengan Dara.


Posisinya yang jelas salah membuat Ian tak berkutik, ia bingung harus bagaimana, pergi meninggalkan tempat itu atau bertahan demi rasa cintanya yang semakin mendalam kepada istri bosnya.



“ Argh.... “



Teriak Ian di tempat dulu saat pertama kali Ian di cium ibu bosnya, dan sekarang di sinilah ia meluapkan perasaannya yang gundah, dan kejadian itu terulang lagi, bedanya sekarang tangan halus itu langsung memeluknya dari belakang, perut yang sudah membuncit menempel ketat di tubuh bagian belakang Ian.



“ Kamu kenapa? “


Ian tak menjawab, bahkan tak menoleh, namun jari jemarinya menggenggam erat jemari Dara.



“Akhir-akhir ini kamu banyak diam, ada apa? “



Ian menghela nafas dalam-dalam, ia mencoba menetralisir gundahnya hati sendiri, jelas bahasa tubuhnya membuat Dara semakin penasaran.



“ Mas marah sama aku? “



Lagi-lagi Ian tak menjawab, ia hanya menggeleng lalu diam lagi.



“ Mas kenapa? “



“Ra? “



Lirih ia menjawab.



“ Iya? “



Ian menatap sayu kekasihnya.



“ Aku butuh solusi dari kamu Ra? “



“ Solusi apa? Ada masalah apa mas? “



“ Aku sadar sikap dan ucapan bapak kemarin itu di tujukan ke aku Ra? “



“ Masa sih mas, kapan? Kok aku ngga tau sih”



“ Entahlah, aku rasa aku ngga bisa tinggal disana lagi, besok aku pulang saja ya? “


“Maksudnya? “


“ Kesalahan kita perlahan akan menghancurkan rumah tangga kamu Ra? “



Dara terdiam, perlahan air matanya menetes dan nafasnya tersenggal, bayangan jauh dari Ian sudah di depan mata, bahkan mungkin Ian tak lagi kembali.



“ Mas tega biarin aku menanggung ini sendiri? Mas balik kesini lagi kan? “



Ian menggeleng dan hal itu membuat isakan tangis Dara semakin pilu.



“ Ra? Aku ini benalu yang bakal membunuh pohon yang ku tumpangi Ra? “



Dara menghela nafas ia menunduk lalu menengadahkan kepalanya, setelah itu ia menatap tajam wajah pemudanya.



“ Jika benalu itu di biarkan terlanjur tumbuh subur, itu artinya ada warna lain yang ingin di lihat oleh pemilik pohon itu. Mas tau satu hal di rumah, aku lebih tau beribu hal di rumah itu mas? “



Ian terdiam, sedikit banyak ia tau maksudnya, namun ia lelaki. Tak mungkin seorang lelaki berlindung dengan santainya di ketiak perempuan.



“ Tapi aku merasa tak sanggup lagi berhadapan sama bapak Ra? Ia terlalu baik bahkan saat dia tau kita seperti ini pun ia hanya bersikap seperti itu, padahal kalau bapak mau ia bisa melakukan lebih Ra? “



“ Ya sudah, hubungi aku dulu kalau mas mau kesini, kalau bisa jangan terlalu lama, itu pun kalau mas benar-benar mencintaiku, asal mas tau aku bisa saja melakukan dengan lelaki lain sebelum mengenal mas, tapi aku bukanlah wanita seperti itu, tanpa cinta mustahil aku mau mas? “



“Maksudnya Ra? “



“ Mas tau maksudnya kok, aku yakin mas tau. “



“Aku tau tapi bagaimana dengan pak Yanto Ra? “



“ Aku tetap mencintainya dan tak berkurang sedikit pun. “



“ Itu artinya aku memang benalu “



“ Iya, dan aku tau ada yang ia sembunyikan dari kita mas. “



“ Apa Ra? “



“ Mas ingat waktu hujan deras pas malam-malam kan? "


“Iya”


Jawab Ian singkat.



“ Paginya kita main kan? Mas tau ngga aku tuh buka kran air, dan nutup pintu kamar mandi, tapi pas aku keluar pintu kamar mandi sudah terbuka lagi, menurut mas apa iya suamiku tak mendengar suara kita? “



“ Entahlah, ngga ada yang aneh setelah itu sih”



“ Itu juga yang bikin aku berpikir aneh tentang suamiku mas? “



“ Heeuh.... Iya sih, tapi tetap saja aku ngga punya muka lagi di depan bapak Ra? “



“ Kalau itu keputusan mas Ian aku bisa apa mas? Cepatlah kembali atau aku yang akan menyusul mas kesana”



Ian menatap lekat wanita di depannya, ia tersenyum haru mendengar penuturan Dara, ia mengusap lembut rambut kekasihnya. Semilir angin pun seolah memberi kesempatan Ian agar memperagakan kemesraannya kepada Dara dan itu ia lakukan.



“ Semoga takdirku tak hanya sampai disini saja ya Ra? “



“ Lo mas kenapa memangnya”



“ Aku rasa aku harus cerita sebelum aku pergi, agar kamu bisa menilai seburuk apa aku ini “



Ian pun menceritakan semua yang ia alami, bahkan tentang Indriani dan anaknya pun ia ceritakan.



“ Berpikirlah ulang untukku Ra? Aku tak sebaik yang kamu kira, bahkan aku cenderung urakan dan bejat”



“Jangan kelewat nekat ya mas? Dan aku yakin dua gadis itu punya alasan kuat untuk menunggu mas Ian, sekarang ayo pulang sudah mulai gelap ini”



Ucap Dara sembari menarik lengan Iqn, tanpa sadar semburat senja telah menghiasi langit, dan mentari yang siang tadi begitu congkak mulai tenggelam di ufuk barat, pertanda pergantian hari telah tiba.
Dan dari kejauhan seorang lelaki memperhatikan keberadaan Ian dan Dara, namun ketika melihat Dara yang sedang menarik lengan Ian, lelaki itu segera beranjak dari posisinya, ia mendahului pulang sebelum kedua insan itu melangkahkan kakinya.










~~~~~~~~~~












Senja jingga di belantara di situlah Ian berada, tubuhnya berdua dengan Asti tapi pikirannya melayang jauh di kota S sana, kerinduannya kepada wanita anggun yang sedang mengandung anaknya itu kian memuncak. Padahal belum genap sebulan Ian meninggalkannya, tentunya dengan kebiasaan Ian yang selalu diam saat menikmati senja membuat Asti tak menaruh curiga sedikit pun kepada Ian, yang ia tau saat ini dan mungkin kembali seperti dulu saat Ian belum pergi ke kota.



Senyum indahnya terpancar, ia tak perlu lagi khawatir rindunya terbengkalai oleh jarak, bahkan sekarang ini kekasihnya mulai mengambil alih lahan garapannya yang dulu di berikan kepada sang kakek, tentu dalam benak Asti sudah terbayang hidup tenteram dan bercocok tanam bersama Ian.



“ Heeuh... “



Dengus Ian tiba-tiba, hal itu membuyarkan lamunan Asti yang sudah jauh menerawang, kepala yang ia sandarkan di bahu Ian pun ia angkat, ia menatap lekat kekasihnya itu.



“ Kenapa mas? “



Ucapnya sembari memegang lengan Ian.



“ Ada yang mau aku sampaikan, tapi aku takut kamu ngga suka dek. “



“ Apa itu, sampaikan saja tho? Aku sudah biasa menerima apa pun, semoga aku masih tetap sama kok. “



“ Semogamu, diammu, sifat nerimamu yang membuat aku takut bicara, aku merasa terlalu banyak menyakiti hatimu dek, maaf. “



“ Ish... Ucapanmu kok kayak orang tua ae toh maaaas mas. Opo? Ada apa tho? “



“ Aku kasihan sama Wisnu dek, harusnya aku berada di sampingnya setiap saat. “



“ Wisnu apa ibunya? “



Ian tersenyum kecut, Asti tetaplah Asti, gadis yang ia kenal ceplas-ceplos sampai sekarang pun masih sama saja.



“ Maaf, aku sama sekali tak bisa membuang rasa itu, aku tau kamu pasti sakit mendengarnya bukan. “



“ Sudah ku bilang, aku biasa menerima apa pun kok, ya aku pasti siap dengar yang seperti ini to mas? Buktinya aku ngga ada masalah sedikit pun sama Iin kan? “



Ian kembali merengkuh tubuh Asti dalam pelukannya, kening gadis itu pun ia kecup. Cukup bagi Ian menguji gadisnya.



“Oey!! Jirut! Pacaran terus! “



Ucap seorang pemuda dari belakang mereka, tampak dua orang pemuda menghampiri Ian.


Aris dan Bayu tampak canggung, mereka tau kalau temannya sedang dilanda asmara.



“ Cuk! Ganggu ah! Ono opo (ada apa) “



Tanya Ian kepada mereka.



“ Nanti malam jalan yo An, kumpul di tempat Panji yo? “



Kening Asti tampak mengkerut, nama yang barusan di sebut seperti pernah ia dengar.



“ Heeyyy hey heeyyy.... Awas aja kalau di ajak mabuk-mabukan ya?”



Ucap Asti kepada dua teman Ian itu.



“ Mau tak ajak cari cewek lagi kok As, biar betah di kampung he he he “



“ Hiiih.... Sana-sana! Ganggu ae “



Ucap Asti lagi, sedangkan Ian malah asik menyulut rokok.



“An! Oey... Diancuk! Malah kanjeng ratu yang di maju in, oey, piye? “



Ucap Aris sembari mengambil dua batang rokok milik Ian, satu untuk dirinya satu lagi buat Bayu.



“ Bajindul rokokku di pake berjamaah. “



“ Ndak usah bahas rokok, piye? Mau ngga. “



“ Gampang.... Kalau ada yang nyamperin ya berangkat kalau ngga yo aku tak ngapel ae, he he “



“ Na.... Gitu dong, yu ah Bay, biarin mereka kesambet di sini, mau Magrib kok cari celah mesum ae ha ha”



“ Diancuk! Yo dek pulang”



Ian pun beranjak dan menggandeng tangan Asti, menyusul kedua temannya yang jalan terlebih dahulu.





Malam hari empat pemuda termasuk Ian pergi ke kampung sebelah, tempat dimana Panji berada. Mereka mengendarai dua kendaraan roda dua, Ian membonceng Jodi dan Aris membonceng Bayu. Di kejauhan dua sorot lampu kendaraan bermotor tampak menyorot ke arah mereka.


Dekat dan semakin dekat, Ian hafal betul suara berisik motor yang melaju ke arahnya, Ian pun menepuk pundak Jodi.


“Jod berhenti dulu, aku pengen olah raga nih. “


“ Ngopo ndes! “



“ Tu motor yang dari sana itu punya anaknya si carik Jod, dah stop sini aja. “



Jodi pun menghentikan motornya, begitu juga dengan Bayu yang berada di belakang.



“ Dancuk! Gelut neh iki.... “



Ucap Aris yang lumayan keras.



“ Ono opo to cuk, “



Tanya Bayu kemudian.



“ Wes ndak usah berisik, tak jamin ada yang perang malam ini. “


Balas Aris.

Jodi yang memang lumayan arogan langsung menghadang jalanan, mudah saja motor ia parkirkan melintang di tengah jalan, sedangkan Jodi dan Ian duduk di rerumputan pinggir jalan itu.


Trang tang tang... Traaang.... Traaang....



Suara bising kendaraan pun terdengar, Jodi malah tertawa melihat si pengendara membetot habis gasnya.



“ Bajingan! Hoy! “



Teriak pemuda yang tak lain Iwan itu. Ia segera turun dari motornya dan di ikuti oleh ke tiga temannya.



“ Bangsat kalian! “



Ucapnya lagi, Iwan sama sekali tak mengenali Ian, karna Ian duduk memunggungi posisinya, sedangkan Jodi terkekeh melihat Iwan cs terbakar emosinya, ia pun beranjak dan mendekati Iwan yang sudah merah padam mukanya.



“ Berisik suara motormu itu, tuntun saja sampai rumah sana, kasihan jin yang ada di sini, ngerti ndak, matikan itu mesin, ha ha ha”



Kelakar Jodi yang berdiri sendiri menghadapi Iwan cs, Ian masih belum beranjak dari duduknya, sedangkan Aris dan Bayu malah asik duduk menyamping di atas motor, persis seperti orang yang sedang pacaran.


Tentu Iwan tau dua pemuda yang di atas motor itu, dan ia mulai curiga dengan satu pemuda yang duduk membelakangi dirinya.



“ Bangsat! Sok mau lawan sendirian kamu cuk! Suruh semua temanmu itu turun, apa mau sok jagoan sendiri kamu hah! “



Ian yang sedari tadi duduk kini mulai Beringsut, ia berdiri dan melompat persis di sebelah Jodi, rokoknya masih terselip manis di bibirnya.



“ Ho ho ho.... Ketemu kita di sini anak carik mental tempik, gimana? Mau apa hah! Matikan suara motormu yang berisik itu, cepat!!! “



Ucap Ian lantang, dan di sertai derai tawa Jodi, sedangkan Aris dan Bayu masih diam, mereka tak terlalu berani bicara frontal apa lagi menertawakan Iwan.



Wus...



Plak!



Pukulan Iwan dengan tepat tertangkap oleh tangan Ian, tangannya mencengkeram kuat tangan Iwan yang mengepal, namun Iwan tak berusaha ingin melepaskan cengkeraman itu, ia malah balik memancing emosi Ian.



“ Selalu cari perkara kamu anak sundal ha ha ha, “



Ucap Iwan dengan santai, ia melihat ketiga temannya sudah siap di sampingnya, begitu pula dengan ketiga teman Ian mereka pun sudah siap melakukan pertarungan.



Di tengah bisingnya suara knalpot dan terangnya lampu motor kedua kubu sama-sama saling memasang kewaspadaan, mereka menunggu pihak lawan menyerang terlebih dahulu.



“ An hoy! Jadi ribut ngga... Kalau ngga mending pulang ngentot sama Iin aja, masih enak kan? “



Ucapan Jodi sukses memancing emosi Iwan, jelas ia benar-benar merasa di rendahkan oleh memudahkan tetangga kampungnya itu, dengan cepat kaki Iwan merangsek maju hendak menendang, tentu konsentrasi Iwan pecah seketika, harga dirinya terkoyak di depan teman-temannya saat itu juga.


Kelengahan Iwan menjadi celah lawan, tentu Ian tak mengambil kesempatan yang ada, kakinya tepat bersarang di ulu hati Iwan, memang cukup tinggi tendangannya sehingga membuat cengraman tangannya terlepas, sebagai gantinya Iwan terpelanting menghantam temannya yang persis berada di belakangnya.


Pertarungan pun pecah, Masing-masing mendapat lawan, satu lawan satu.
Jodi yang beringas dengan cepat merangsek maju, Aris pun sama, begitu juga Bayu. Bedanya pukulan mereka tak setajam Jodi maupun Ian.
Hasilnya mereka babak belur terkena kejamnya Terjangan lawan yang berpostur lebih besar.



Jodi yang tau hal itu pun sempat memberi kode ke Ian, Ian paham dan dengan cepat ia memancing Iwan agar menjauh dari lokasi, sedangkan Jodi masih berjibaku dengan lawannya, ia terus berusaha mendekati kedua temannya. Pada akhirnya Jodi berada di tengah kepungan lawan, paling tidak kedua rekannya berada di sampingnya.



“ Asu! Lemah kalian, bertahan jangan berpencar kalau ngga pengen modar. “



Ucapnya cepat kepada Aris dan Bayu, keduanya mengangguk paham.



Bertahan di tengah himpitan musuh memang berat, lambat laun Jodi pun tak sanggup mengimbangi musuh-musuhnya, sering kali ia terpelanting jatuh, beruntung salah satu teman selalu saja ada yang melindunginya, entah Aris atau pun Bayu. Hal itu sedikit banyak memberi ruang kepada Jodi untuk bertindak.



Dan kerja sama mereka sedikit membuahkan hasil, satu lawan terpelanting jatuh.



Wus....


“Bay... “



Teriak Aris mengingatkan Bayu yang terancam.


Plak


“ Waaadau.... “



Teriak Bayu sembari memegangi tulang kakinya, kalah tenaga kalah skill tarung itulah yang terjadi, dan serangan tak berhenti, mereka harus tetap berjibaku tanpa harus terpisah, tentu hal itu sangat sulit bagi mereka.
Saat mereka terdesak Ian datang sambil menyeret tubuh lemah Iwan, pelan lelaki itu meronta dengan rambut yang di jambak paksa oleh Ian.


Brugh!


Iwan tersungkur tak berdaya dengan muka yang sudah berlumuran darah, sayangnya sisi darah dingin Ian telah muncul, tak ada kata terucap, namun tindakannya sudah di luar batas, muka Iwan yang berlumuran darah masih terus ia injak walaupun sudah tak ada perlawanan sama sekali, sesekali Ian terkekeh melihat lelaki yang tergeletak tak berdaya itu menggebrakkan tangannya ke tanah dengan pelan.



“ Sebentar lagi kalian bertiga bawa pulang mayatnya he he he”



Kelakar Ian santai, tapi cukup membuat ketiga teman Iwan menghentikan aksinya, mereka mendekati Ian.



“ Jangan sampai darah kalian halal untukku he he he”



Ucap Ian dengan tatapannya yang dingin, sontak ketiga pemuda itu menghentikan langkahnya.



“ Maju saja, mereka takkan membantuku kalau tak ku pinta, ayolah.... Maju... “


Ucap Ian lagi.



“ Cukup An! “



Teriak seseorang dari arah Barat, sosok lelaki dewasa yang tak asing buat Ian dan ketiga temannya.



Dia Zaenal teman Bambang pakliknya Ian, ia mendekat dan semakin mendekat.



Wus....


Ia melempar sesuatu ke arah Ian, dan dengan cekatan Ian menangkapnya.



“ Lepaskan atau Bunuh mereka sekarang juga! “



Ucap Zaenal serius, sedangkan ketiga teman Iwan beringsut mundur, tatapan pemuda di depannya sangat dingin, apalagi temannya yang baru saja datang bersikap ambigu, jelas kalau pemuda yang lebih dewasa itu berada di pihak lawan, dan dengan ucapannya sudah pasti tau karakter pemuda di depannya.



“ Ian!! Hoy!! “


Teriak Zaenal kepada Ian yang masih saja diam, tapi selepas Zaenal berbicara Ian menyunggingkan senyumnya.



Sreek...


Ia mencabut senjata itu dari sarangnya.
“Mue he he he.... “


Tawa Ian santai, ia melangkah maju, namun ketiga orang itu segera duduk bersimpuh secara bersamaan.


“ Habisi kami jika kamu mau, yang jelas kami tak akan melawan. “


Ucap salah satu dari ke tiga orang itu.



“ Lain kali lebih baik kalian menyingkir kalau aku berhadapan dengan anak carik ini, tak ada untungnya juga buat kalian to? Sekarang kalian bawa manusia lemah ini pulang, sampaikan salamku pada ayahnya. He he he “



Ketiga orang itu tak menjawab sepatah kata pun, mereka langsung memapah Iwan dan menaikkan ke atas motor.


Zaenal yang tau hal itu langsung berbalik arah untuk mengambil motornya yang ia parkirkan agak jauh dari tempat kejadian, kini Zaenal lah yang memimpin empat pemuda itu menuju kediaman Panji.




Dentum suara bas dari soun sistem terdengar sangat keras. Namun bukan itu yang menjadi tujuan Jodi cs datang ke tempat Panji.
Panji dan gerombolannya termasuk Ian berkumpul di halaman rumahnya, Yanti cewek semata wayang yang ikut dalam kelompok itu sering kali kedapatan mencuri pandang ke arah Ian, Panji yang melihat hal itu langsung menarik lengan Yanti.


“ Heuh.... Udah kayak anak abg aja kamu tu Yan, sana-sana! Pepetin. “



Ucap Panji sambil mendekatkan Yanti dan Ian.



“ Dancuk emang, ha ha”



Seloroh Jodi menimpalinya.



“ Terserah deh, kamarku nganggur tuh, apa mau ke hutan kayak biasanya ha ha”



Balas Panji, Yanti yang di perlakukan seperti itu tak tersinggung sedikit pun, ia malah menjulurkan lidahnya ke arah Panji, Ian sendiri tampak terkejut mendengar ucapan Panji.



“ Ndak usah di dengerin mas, orang mereka itu sudah oleng dari tadi kok. “



“ Oleng opo sih mbak Yan “



Yanti tak menjawab, hanya matanya saja yang memberi isyarat dan menunjuk ke sebuah Jerigen putih di bawah meja, Ian pun meraih Jerigen itu dan menciumnya.



“ Fiuh.... Opo iki cuk “



Ucapnya saat mencium aromanya.



“ Ih, kamu ngga tau? “



Ucap Yanti kemudian, Jodi yang sedari tadi diam mengambil gelas dan di isi setengah air dari teko plastik yang tersaji di atas meja.



“ Coba in An, dikit-dikit aja, jangan sampai kamu mati penasaran sama yang kita minum, ha ha”


Jodi pun menyodorkan minuman itu ke Ian.


“ Diancuk! He he “



Ia cium, baunya sama persis dengan yang di Jerigen, Ian bergidik saat mencicipi minuman itu.


“ Mau mas “



Ucap Yanti dan langsung mengambil gelas yang masih di tangan Ian, bagi Yanti minuman itu sudah tak asing lagi, malah sering kali ia meminumnya saat berkumpul seperti ini, selesai menenggak setengah dari isi gelas itu Yanti memberikan lagi kepada Ian.



“ Habisin mas, ndak apa-apa biar badan hangat Hi hi hi “



Ucap Yanti dan Ian pun meminumnya, ia tersedak karna meminumnya buru-buru, dan kawanan itu pun tertawa melihat tingkah Ian.

Zaenal yang umurnya lebih dewasa ia tak banyak bicara, di samping agak jauh posisinya ia juga tengah asik mengobrol dengan orang yang sebaya dengannya. Tak heran, Zaenal memang memiliki banyak teman, apalagi daerah Kidul sebagian besar pemuda disana pasti mengenalnya.


Tepat jam sepuluh malam gerombolan pemuda yang di pimpin Panji tampak berjalan mendekati keramaian hiburan malam, riuh penonton tak mereka hiraukan, Ian yang benar-benar pemula sama sekali tak paham siapa yang mereka cari, yang ia tau sebentar lagi akan ada peperangan, masih mending Aris dan Bayu mereka sedikit banyak tau targetnya.


“An jangan jauh-jauh dariku, lawan kita kali ini mungkin sedikit liar. “



Ucap Panji mengingatkan Ian



“ Liar gimana Nji”



“ Sudah pasti mereka kena pengaruh alkohol cuk, siap aja”


“ Ha ha ha sama saja dengan kalian, eh aku juga ding, dikit “



“ Oke siap ya? Lihat mereka yang berkerumun di depan, ke baca kan kelompoknya. “



“ Ah embuh, aku Cuma mengingat muka kelompok kita aja biar ngga salah hantam he he “



Keduanya pun tertawa, sementara itu salah satu dari kawanan Panji merangsek maju, Ian memperhatikan secara seksama pergerakan pemuda itu, tak lama pemuda itu berbaur ikut joget diantara kerumunan, tak terlalu ke tengah tapi tingkah pemuda itu cukup menarik perhatian salah satu orang disana.


Lalu Ian memperhatikan pemuda lain yang ikut di kelompok Panji, mereka seperti membentuk barikade, berdiri berjejer seolah membelah riuhnya penonton.


Tak lama setelah itu di saat Ian masih sibuk melihat kelompok Panji yang berjejer, Tiba-tiba terjadi sesuatu yang tak disangka Ian sebelumnya, pemuda yang bertugas menyusup ke tengah kerumunan tampak mencoba lari dari sana, ia berlari keluar melewati barisan teman-temannya sendiri.



Pemuda itu Sempat terjatuh tapi ia segera bangun dan melanjutkan pelarian, tentu dengan mudah ia mendapat jalan untuk lari, kawanan yang berjejer memiliki peran penting menyingkirkan penonton yang menghalangi jalan Pemuda itu, Ian tersenyum melihatnya.


“ Asu! Tukang tawur isinya ha ha ha”



Ucap Ian senang, sementara para kawanan yang mengejar satu perusuh itu kini tampak terkepung, Panji cs pun dengan cepat merangsek maju, perang tak lagi dapat di hindarkan, jauh dari tempat hiburan dan berada di tempat yang lapang membuat dua kelompok bebas bergerak.



Jumlah yang hampir sama membuat pertempuran semakin sengit saja, semakin lama dua kelompok itu semakin melabarkan area pertarungan. Tak ada yang bermain-main dengan lawan semuanya serius mengurus musuh di depannya.



Kali ini Ian mendapat satu lawan, Ian memperhatikan secara seksama musuh yang ia hadapi.



“ Hem... Masih gerombolan si anak carik rupanya “



Ucap Ian dalam hati dan hal itu memacu adrenalinnya, musuh yang sangat berambisi melumpuhkan lawan Ian hadapi dengan tenang, setiap pergerakan ia baca dengan baik sehingga dengan mudah Ian dapat menangkis serangan lawannya, dapat di takar seberapa tepat pukulan orang yang sudah kemasukan alkohol, lebih banyak meleset dari pada tepatnya, keuntungan yang sangat besar untuk Ian tentunya.


Ian beruntung tadi tidak mau nambah minum, kalau Ian ikut mabuk sudah pasti ia akan bertingkah sama dengan musuhnya. Pukulan demi pukulan pun terlontar dengan cepat sayang sekali Ian berada di atas angin. Pukulannya yang tajam seringkali menghajar musuhnya hingga terjengkang. Tak mau berlama-lama Ian segera menghabisi musuhnya hanya dengan beberapa kali pukulan telak dan tendangan Ian sudah membuat musuhnya tersungkur tak bergerak.


Sementara itu Panji masih berjibaku melawan tiga orang di depannya, tepat memang, karna Panji pemimpin dari kelompoknya ia mendapat jatah lawan yang lebih dari yang lain, ia tampak sigap menghindar dan menangkis, sesekali ia menyerang tajam ke target yang lebih mudah. Ian menonton pertarungan itu, namun tiba-tiba ia mendapat serangan dari belakang, hal itu membuat Ian jatuh tersungkur, ia segerakan bangun dan menyiapkan dirinya.


Adu pukul pun terjadi lagi, dengan musuh yang berbeda dengan tenaga yang lumayan kuat menurutnya, pukulan dan tangkisan sama-sama tajam, namun hal itu semakin membuat Ian bersemangat, tatapan tajam dan saling membaca pergerakan lawan tentu sangat membosankan.


Maka dengan gerakan pancingan Ian pun menyerang, tinjunya dengan cepat menyerang bagian atas musuh, tentu mudah terbaca, namun pergerakan kaki Ian luput dari perhatian musuhnya, hasilnya paha musuh pun terkena tendangan keras Ian.

Bugh!!


Musuh pun terhuyung, dan di saat hendak berdiri tegak kakinya terlihat gemetar, melihat hal itu Ian menyeringai, tendangan susulan ia lancarkan, dan dengan sisa keseimbangan yang ada musuh Ian menangkisnya, Lagi-lagi ia tertipu, pukulan Ian tepat bersarang di telinga sebelah kanan musuh, limbung lagi dan kesempatan pun tak Ian lewatkan.


Ia melayang dengan kaki yang sudah siap untuk mendarat di paha musuhnya, tapi kali ini Ian gagal, musuh dengan cepat menghindari serangan itu, sehingga tendangan Ian hanya mengenai tanah. Merasa berat melawan musuh Ian berlari kearah kawanannya yang bertarung. Ian tak tinggal diam, ia mengejarnya. Disana tampak Aris dan Bayu masih berjibaku melawan musuh, maka Ian pun ikut bergabung.


“ Piye cuk! “



Ucap Bayu, Ian hanya mengacungkan jempolnya, lalu mereka pun kembali fokus ke musuhnya.


Secara kekuatan dan skill tarung kedua teman Ian memang masih rendah, tapi mereka memiliki keberanian yang cukup, entah karna darah muda atau karena pengaruh alkohol yang mereka minum, yang jelas mereka tak gampang mundur dari lawan.


Pertarungan belum selesai walaupun Ian dan kedua temannya susah payah untuk dapat melumpuhkan musuhnya, kini mereka merangsek membantu yang perlu di bantu, Ian mendekat ke arah Jodi sedangkan Aris dan Bayu ke arah yang lainnya, memang posisi lawan saat ini sudah mulai terpukul, tapi mereka enggan menyerah, lawan dan lawan itulah yang terjadi.



“ Jod, mana pentolannya. “



Ucap Ian kepada Jodi di sela perkelahian.


“Sepertinya Yang ngeroyok Panji, bantu sana”



Ucap Jodi, kemudian ia kembali adu pukul dengan dua lawannya. Ian sendiri segera menghampiri Panji, ia berlari dan siap dengan tendangannya.



Syuut... Bugh...


Tendangan keras Ian sukses menghantam musuh yang sedang konsentrasi melawan Panji, curang sih. Tapi itulah jalan yang tepat agar musuh segera lumpuh.


“ Heeuh... Lama! “



Ucap Panji kepada Ian, namun Ian tak menanggapi ocehan rekannya itu, Ian segera merangsek dengan serangannya yang terhitung tajam, Panji pun tak tinggal diam, ia ikut merangsek bersama Ian, maka dengan mudah musuh dapat ia taklukkan.


Dua orang lawan Panji dan Ian terkapar tak berdaya.


Benar kata Jodi salah satu dari lawan Panji adalah pimpinan atau orang yang paling di andalkan oleh kelompoknya, terbukti dengan isyarat tangan anggota mereka menuruti perintahnya.

Yah mereka semua mundur dan meninggalkan area pertarungan, namun tatapan dendam sangat terlihat jelas, malam ini mereka pergi dengan kekalahan.




Bersambung
 
JNT







PART 31




8rd5M0T.jpg


TlY36u1.jpg




POV DARA



Akhir-akhir ini aku merasa suamiku seperti sedang menyelidikiku, setiap hari ia pulang setengah hari, ia beralasan kasihan kepadaku karna berada di rumah Sendiri, sesuatu yang sangat janggal menurutku karna dari dahulu juga setiap hari aku sendiri. Tapi aku malah senang, paling tidak sekarang ia lebih memperhatikanku.


Sudah menjadi kodratnya sebuah keluarga menginginkan yang namanya keturunan, dan tanpa suamiku tau orang tuaku sering kali membujuk aku untuk cek kesehatan termasuk juga suamiku, namun aku selalu bilang kami baik-baik saja.


Sudah ku tekatkan diri mempertahankan rumah tanggaku dan semuanya tergantung pada diriku sendiri, sekali saja aku berucap orang tuaku sudah pasti mendesakku untuk meninggalkan suamiku, jujur saja walaupun saat ini aku lebih memperhatikan pemuda itu tapi rasa sayangku kepada suami tak sedikit pun berubah, dan aku tau betapa hancur perasaannya saat ia harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini.


Kandunganku sudah jelas telak menohok suamiku, karna vonis dirinya juga sudah jelas dan suamiku menyadari itu, tapi untuk kepuasan batinku aku sangsi suamiku menyadarinya, karna aku baru sadar bahwa keegoisan itu ada setelah melakukan hubungan dengan Ian, kepeduliannya kepada pasangan sangat ia dahulukan, kepuasanku di utamakan dan itu sangat berbanding terbalik dengan suamiku sendiri.


Aneh memang, aku mencintai dua orang lelaki dalam satu atap. Sungguh sesuatu yang sangat memalukan jika orang luar tau hal ini, tapi apalah dayaku memang inilah yang aku rasakan saat ini.


Kembali lagi soal suamiku, setelah tau kenyataan yang terjadi suamiku sama sekali tak menyentuhku, tapi sikapnya tak berubah, ia tetap hangat tidak acuh bahkan marah pun tidak. Aku tak mau ambil pusing soal setiap siang ia pulang, toh memang lebih baik begitu, biar aku total juga mengurus suami.


Dan hari ini pemuda yang ku tunggu datang di waktu yang tepat, saat suamiku sedang bekerja dan sudah pasti aku tak ada kegiatan di rumah, tercurah sudah kerinduanku padanya, belai lembut dan panasnya api asmara yang kami kayuh selama satu jam lebih sudah sangat membuatku terlena.


Jujur aku ingin memiliki seutuhnya, andai saja pertemuan ini sepuluh tahun lebih awal, semua pasti berbeda, tak ada cinta segitiga seperti sekarang.


Hari-hari yang kulalui sekarang lebih banyak bersama Ian, di toko mau pun di rumah, itu juga karna pemuda itu tak menyukai kelayapan sehabis kerja, bahkan libur pun ia tetap diam di rumah. Dan semenjak Ian datang suamiku hanya sesekali saja datang ke toko, itu artinya ia tak menaruh curiga ke Ian.


Siang hari ini cuaca benar-benar panas, aktivitas di toko pun tak terlalu sibuk, untung ruko ini lumayan besar dan di lengkapi dengan satu kamar tidur yang rencananya di peruntukkan pegawai yang menjaga toko nanti.


Dan sementara ini aku gunakan untuk beristirahat, seperti saat ini aku asik membaca artikel yang kubutuhkan, sedangkan pemudaku masih menyibukkan diri di balik etalase.


Sayup-sayup ku dengar Ian berbicara dengan seseorang, aku yang penasaran keluar untuk melihatnya, uugh... Dua lelaki yang ku cintai sedang ngobrol ternyata.



“ Ayah baru datang? Ih.... Bawa apa itu yah? “



Nah kan? Datang tak di sangka-sangka mungkin ini sebagai bentuk pengintaiannya, tapi lebih baik ku tepis aja prasangka buruk itu, aku ambil positifnya saja.



“ Baru ae ma, nih. Jangan telat makan ya? “



Ucap suamiku sembari memberikan bungkusan makanan padaku.



“ Ih... Makasih... “



Ku ambil bawaannya dan ku lihat ada dua bungkus.



“ Ayah mau makan sekarang? “



Tanyaku lagi.



“ Ndak, itu buat mama sama Ian ae, ayah sudah makan kok”



Ku tengok jam dinding, em... Sudah lewat jam 12 ternyata.



“ Lah? Kok gitu? “



“ Hu um, ya wis tak tinggal ya? “



“Eh? Kok buru-buru bener yah, masih lama lo jam istirahatnya? “



“ Iyo mau ketemu relasi sebentar, wis ya? “



“Hu um, Hati-hati yah. “



Ish... Yang begini ini yang membuat aku merasa bersalah banget, ia lelaki yang baik, penyabar dan sangat jarang mengumbar amarahnya, apa lagi setelah ia tau aku mengandung, aku merasa ia lebih perhatian padaku, beneran aku bingung di buatnya.


Tapi kembali lagi ke perasaan hati dan yang tabu, aku tak memungkirinya bahwa Ian sosok yang dapat melengkapi di balik kekurangan suamiku.


Entahlah rasa bersalah itu hilang seketika saat aku bersama pemuda itu.
“Ra? “



Pelan Ian memanggilku ia tersenyum menatapku yang sedang melamun, tak ku jawab sapaan itu, aku hanya menengok dan membalas senyumnya.



“ Kenapa Ra? “



Ia mendekatiku perlahan jari jemarinya menyentuh pipiku.



“ Kenapa? Makan dulu gih, jangan suka bengong ah, “


Ucapnya khawatir, ku elus lengan tangannya tanpa menjawab ucapan darinya.



Cup



Aih... Aku leleh, jarang sekali dia berani mengecupku duluan. Lagi pula sedari tadi kulihat ia salah tingkah saat suamiku ada disini, tapi sekarang?



“ Ra? “


“He em sayang? “



Ku ambil bungkusan yang suamiku bawa tadi dan kuberikan pada mas Ian.



“ Tak tinggal dulu ya mas? “



“ Mau kemana Ra? “



Ucapnya sembari membuka nasi bungkus yang kuberikan.



“ Beli es he he”



Ucapku sembari berlalu, dua gelas es teh manis ku bawa, mas Ian terlihat lahap menyantap makanannya. Sedangkan aku masih belum juga menyentuh makanan di depanku, ujung-ujungnya mas Ian memaksaku, dengan telaten ia menyuapiku hingga selesai.


“ Ngga baik banyak minum yang dingin lo Ra? Nanti dedeknya endut lo? “



Ucapnya menasihatiku,



“ Ih sok tau ih, tapi kata orang iya sih? “



“ Hem... Aku juga boleh dengar sih, habis ini istirahat lagi aja yo Ra? “



“Temenin ya? “



Ucapanku membuat mas Ian mengernyitkan dahi, Ish... Mungkin dia sedang berpikir mesum hi hi hi, tapi ngga apa-apa sih.



“ Ngeres deh kamu mas, “



“ He? Ngeres? “



“ La itu begitu opo kalau ndak ngeres “



“Hem... Ayo tak temenin, bentar tapi yo? “



Aku mengangguk senang, pemudaku mengikutiku dari belakang, baru saja ia menemaniku ia kembali di sibukkan dengan pekerjaannya.



Uuugh... Aku terbangun dari lelap tidurku, entah berapa lama, yang jelas aku di sambut senyuman mas Ian.



“ Ih? Jam berapa sih mas, Kok udah gelap aja sih? “



“ Jam dua Ra? Mau hujan keknya, gelap bener”



Ucap pemudaku, ia kembali melanjutkan aktivitasnya sedangkan aku beranjak ke kamar mandi.


Satu jam setelah aku bangun suara gelegar petir saling sambar, butir-butir air turun dari langit dan semakin lebat saja, aku memutuskan untuk menutup saja tokonya.


“ Walah, pulangnya gimana ini... “



Mas Ian tampak khawatir dan berucap sendiri.


“Yang? Sini deh, “



Ia ku panggil dan ku bisikkan sesuatu, kedua pipiku menjadi sasaran kegemasannya.



“ Kamu kedinginan ya? “



Ucapnya sembari meraih tubuhku, tangannya melingkar di pinggang dan jarinya mengelus perutku. Yah, ia mendekapku dari belakang, dagunya bersandar di pundakku.


Nafasnya seolah sengaja ia hembuskan di telingaku, hal itu membuatku bergidik geli, suamiku sendiri tidak pernah melakukan hal itu, padahal cuping telingaku salah satu titik sensitif di tubuhku. Tak butuh waktu lama bagi Ian untuk merangsangku.



“Rolling udah di kunci? “



“ Hu um “



Jawabnya singkat, dan di saat itu pula jari jemari mas Ian sibuk dengan kancing celana jeans yang ku kenakan.



“ Tembem banget Ra? “



“ Iih? Apanya mas? “



“ Ini”



Ucapnya sembari menangkupkan telapak tangannya tepat di gundukan selangkanganku.



“ Iya? Apa itu? “



Godaku lagi, namun mas Ian tak menjawabnya, perlahan jari tengahnya bergerak mengelus belahan vaginaku, hingga akhirnya jari tengah itu menekan daging kecil bergerinjal di bagian atas vaginaku, hal itu membuatku melenguh.



“ Emh... Ke kamar yuk? “



Aku mengajak pemudaku.



Cup


“Aaa.... Ish... “



Ku peluk lehernya, aku takut jatuh saat dia mengangkat tubuhku dan membawanya ke kamar.


Cpak


Cpak



Ciuman-ciuman singkat mengiringi langkahnya hingga ke kamar, perlahan ia menurunkanku dan melolosi celanaku, dengan sekejap saja tubuhku polos tanpa sehelai benang pun.



“ Eem... Kamu pengen banget ya? “



“ Iya, takut reda hujannya “



Jawabnya, cepat ia menindih tubuhku. Payudaraku menjadi sasaran bibir nakalnya, ia mencucup bergantian,



“Aach.... Mash... “



Ku jambak rambut ikalnya, namun aku tak berusaha untuk menjauhkan bibirnya dari payudaraku, malahan sering kali kutekan kepalanya agar semakin rapat, di sela desahku yang semakin intens ku tarik-tarik kaos yang ia kenakan, ia tau maksudku, lalu ia pun turun dari ranjang dan melepas semua yang ia kenakan.


Aku berharap mas Ian segera melakukan penetrasi, namun ia berkehendak lain, kedua kakiku ia tarik sampai bokongku berada di pinggiran ranjang, ia pun jongkok di depan selangkanganku, ia diam menatap vaginaku yang terpampang bebas.



“ Iih? Kok di lihatin aja sieh? “



“ Aku suka Ra? Tembem banyak bulunya he he”


“Ish... Kan nurutin maunya kamu? Ayo ah masukin. “



Rengekku, jujur saja aku sudah tak sabar di masuki kelelakiannya, namun mas Ian hanya tersenyum dan mendekatkan wajahnya, hem.... Aku tau maunya, maka dengan kedua jariku ku buka lubang vaginaku, dan dengan sigap mas Ian mencucup belahan vaginaku, kedua jariku ia singkirkan, ah... Rupanya ia tak mau terganggu. Aku tak tau yang ia lakukan dan aku penasaran seperti apa ia mengerjainya.


Perlahan aku beranjak dari rebahku, gerakanku perlahan agar tak mengganggu aktivitasnya, kini aku terduduk dengan kedua kaki yang mengangkang, aku lihat bagaimana ia memanjakan vaginaku dengan bibirnya, dan hal itu menambah sensasi yang tak terkira buatku.


Tak ayal aku melenguh dan merintih sejadi-jadinya.



“ Aaach... Sudah yang.... Sudah... Aaah.... “



Pemudaku benar-benar kalap, ia tak menghiraukanku yang sudah kepayahan menahan birahi, kepalang tanggung ku tekan kepalanya agar lebih merapat di selangkanganku, otomatis lidahnya yang sedang menjilati vaginaku semakin terasa dalam.



“ Aaaaaach.... Iyaaah... Iyaaah Teruuus.... Aaaaaach.... Enak mash... Aaagh...”



Pinggulku terangkat dan mengejat sejadi-jadinya, aku orgasme hebat hanya dengan jilatan lidahnya saja.


Setelah nafasku tenang aku memaksanya untuk menindih tubuhku, kali ini aku benar-benar gila ingin segera di setubuhi.



“ Mas ayo... Masukin... “



“Apanya? “



“Iiiih... Kontolnya mas... Ayo aah... “



“ Mau sekarang? Atau mau aku bikin pipis dulu? He he he”



“ Nanti aja ih... Sekarang masukin dulu ya?... “



Slup

Slup


Ciuman panas akhirnya terjadi lagi lidahku menyelusup mengait lidahnya yang juga siap membelit lidahku.



“ Uuum... Uuummmh”



Aku melenguh tertahan, bibir tersumpal bibirnya, sedangkan di bawah sana batang kejantanan mas Ian baru saja menyeruak masuk membelah celah vaginaku,



Cpak



Akhirnya mas Ian melepaskan pagutannya, tubuhnya menjauh dan meraih pergelangan kakiku, ia membuka lebar dan menahannya dengan tangan, tubuhku terasa dikunci tak dapat bergerak bebas apa lagi mas Ian kembali melumat bibirku.



“Eeemh... Eeemh.... Aaaach... “



Sesekali ia melepaskan pagutan, namun tempo kocokkan tak sedikit pun ia kurangi, aku pasrah dengan perlakuannya, hanya pinggulku saja yang berontak melakukan perlawanan.



“ Uuugh..... “



Akhirnya mas Ian menghujamkan penisnya sedalam mungkin dan menyemburkan cairan kenikmatannya ke dalam rahimku, hal itu memicu birahiku yang belum tuntas.


“ Iiih... Kocokin lagi mas... Bentar lagi nih...”



Rengekku meminta di sodok lagi, memang tenaga muda tak bisa bohong, ia kembali menggenjot vaginaku, terasa sangat licin dan geli nikmat karna sperma mas Ian lebih dari cukup untuk melumasi dinding vaginaku dan batang penisnya.



“ Eeemh... Iyaa.... Aaagh... “



Akhirnya aku terkapar di Dera kenikmatan.



“ Sudah? “



“ Hu um, kamu hebat mas. Iiiih....”



Terasa geli menjalar di sekujur tubuhku saat mas Ian mencabut batang penisnya, ku tatap kemaluan mas Ian yang masih tegak mengkilap berlumuran cairan putih itu, aku bangun dan ku bersihkan dengan celana dalamku.



“ Kok pakai itu? “



“ Sedapatnya ih, hi hi hi “



“ La nanti pakai apa Ara ku? “



“Ndak usah pakai to yang? “



Mas Ian pun menggeleng dan aku pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan cairan bekas persenggamaan yang terasa becek. Setelah selesai aku pun kembali ke kamar, sesampainya di kamar mas Ian kembali menghujani ku dengan kecupan-kecupannya, ia memelukku dari belakang karna dengan posisi itu ia bisa menyentuh titik sensitif secara bersamaan.


“ Eeemh.... Masih mau? “



Ucapku yang tak mendapatkan jawaban, ia masih tetap sibuk dengan aktivitasnya, satu tangan meremas payudara dan satu lagi memainkan kelentitku, sedangkan bibir dan lidahnya sibuk dengan cuping telingaku, hal yang benar-benar membuatku kembali di landa birahi.
Setelah puas bermain-main mas Ian memintaku duduk di pinggiran ranjang, ia mengangkang kan kakiku dan.



“Aaach.... Mash... Enak mash... “



Bibirnya menyedot liang senggama ku dan lidahnya menari didalam sana, aku merasa setiap dinding vaginaku tak luput dari jilatannya, eranganku tak dapat lagi kutahan, bahkan sering kali aku merintih saat ia menyedotnya, di tambah lagi jarinya ikut berpartisipasi menggesek kelentitku.


Lagi-lagi aku harus pasrah, ku tekan kepala mas Ian agar semakin rapat.



“ Iiih... Mas.... Udah.... Aaaaah... Aaach.... “



Nafasku tersenggal bokongku pun mengangkat tinggi, membuat bibir mas Ian terlepas.


Seerrrr...


Air seniku mengalir deras, orgasme yang tak bisa di jelaskan dengan kata membuat tubuhku lunglai, ku cubit lengannya dan ku tarik tubuhnya agar rebah bersamaku.


Cup

Ku cium keningnya dan ia memeluk erat tubuh polosku, tak lama setelah itu kami tertidur.


Ba’da Magrib aku pulang, cuaca masih gerimis dan mau tak mau harus pulang, ada memori di sini, aku jalan berdua dengan satu payung dan sepanjang jalan ia begitu telaten menjagaku.


Ah... Aku semakin jatuh terpuruk dalam dekapan kasihnya, Ya Tuhan..... Aku benar-benar terjebak cinta segitiga.


Selesai membersihkan diri suamiku menyuruh mas Ian membeli makanan, dan tak ku sangka suamiku meminta jatah hubungan sex sesore ini, aih... Memang hawanya mendukung sih, tapi kan baru beberapa jam yang lalu aku di buat terkapar sama mas Ian, bahkan terakhir tanpa penetrasi ia membuatku tak berdaya.


Pantang bagiku menolak ajakan suami, apalagi itu sudah kewajibanku melayaninya, tapi sayang tak sampai lima menit bercinta suamiku sudah mengakhirinya, agak kesal tapi mau bilang apalagi, aku tak bisa memaksakan itu, ujung-ujungnya dini hari aku minta penuntasan kepada mas Ian.









~~~~~~~~~~














Pov pak Yanto





Sakit


Lemah


Harga diri yang terkoyak


Merasa tak berguna


Itu yang kurasa saat ini.


Dulu setelah tau kondisiku seperti apa, pernah terbersit sebuah rencana. Rencana yang sangat gila menurut pribadiku sendiri, dan yang paling menakutkan efek dari rencanaku yang gila itu seandainya terealisasikan. Warna hidupku hanya bersama istriku, dan semua kelakuan yang ku perbuat hanyalah bentuk dari keterpurukan perasaanku.


Dengan uangku dengan kelemahan yang ku derita membuatku sedikit pun tak merasa takut melakukan aktivitas sex selain dengan istriku, tentu dengan kekuatan uang yang ku punya.


Untuk urusan hati aku takkan pernah berpaling, istriku wanita terbaik yang ku kenal, ia rela bersama denganku walaupun resikonya ia tau sendiri. Sepanjang perjalanan pernikahanku sangat-sangat jarang sekali terjadi perdebatan apalagi pertengkaran, ia penyabar dan tidak neko-neko.


Dan semenjak kedatangan pemuda kampung keponakan teman baikku, hidup istriku semakin menyenangkan, aku bahagia melihatnya, memang ia anak yang rajin, semua pekerjaan di rumah ia kerjakan tanpa di suruh, dan itu menjadi kegiatannya setiap hari minggu, ia lebih memilih membersihkan pekarangan rumah memangkas ranting pohon yang di rasa mengganggu, padahal pemuda seusianya biasanya pergi mencari pelampiasan setelah seminggu full bekerja.

Mungkin dari situ istriku simpatik terhadapnya, ah entahlah. Aku sendiri senang dengan cara kerja pemuda itu.


Dan yang pasti sebelum aku menerima pemuda itu menjadi salah satu penghuni rumahku, aku terlebih dahulu mencari tau latar belakang dirinya, tentu mudah saja cukup menanyai mas Bambang semuanya beres.


Hari berganti dan saat itu aku mendapat musibah setelah meniduri karyawatiku, sedikit yang aku tau tapi cukup membuatku heran, Ian mengenal salah satu orang yang memukulku, ia berani melawan dua orang itu, kalau kalah mana mungkin dia bisa membawaku pulang.
Dari situ aku mulai mengorek keterangan dari Mas Bambang tanpa sepengetahuan Ian.


Pemuda yang terlihat lugu dan malu-malu saat di depan perempuan ( menurut pandanganku di rumah ataupun di pemotongan) itu begitu bengis di depan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu aku lumayan tenang dengan keberadaannya, 11, 12 dengan pakliknya sih.



Aku rasa cukup menilai pemuda itu, dan sekarang yang menjadi beban pikiran terberatku siapa lelaki yang menggagahi istriku, walaupun aku tak mungkin melakukan tindakan yang frontal karena istriku sendiri tak menyangkalnya, dan yang membuatku seperti di tombak adalah ucapan istriku sendiri, berarti dengan ucapannya ia sengaja melakukannya.


Tak ada lagi yang bisa ku perbuat, wajar saja ia begitu khawatir dengan masa tuanya, jika memang tak ada satu pun penerus keluargaku, siapa yang akan mengurus masa tuaku dan istriku nanti, ya walaupun bisa di bilang pemikiran itu mendahului kuasa Ilahi, bisa saja ada keajaiban di keluarga ini.


Yang jelas sekarang ini aku hanya berharap istriku tak terlalu jauh melangkah, dalam artian ia tak jatuh hati dengan siapa pun lelaki itu, aku merasa harus melakukan
Pengintaian, jelasnya aku penasaran dan ingin tau sendiri, benar kata istriku aku akan sakit kalau mendengar langsung dari mulutnya.


Sejauh ini tak ada sesuatu yang mencurigakan dari pantauanku, tapi ini baru beberapa hari saja dan tentunya aku akan terus memantau sampai aku tau siapa lelaki itu.


Walau ada Ian sekali pun aku akan tetap memantaunya, sayang waktu yang bisa ku gunakan hanya pada saat jam istirahat saja.


Sore ini hujan deras mengguyur kota, dan Dara izin pulang terlambat menunggu hujan reda baru bisa pulang, aku tak begitu khawatir soal itu, keberadaan pemuda itu sedikit banyak membuatku tenang, ngga mungkin Dara melakukan sesuatu di depannya.


Setengah lima ku telefon namun tak ada respon, niatku ingin mengabari kalau mereka hendak ku jemput,
Ah sudahlah, aku langsung tancap gas kesana, dan sialnya toko sudah tutup.


Hem.. Ku gelengkan kepala lalu mobil ku putar balik dan pulang ke rumah, Lagi-lagi pagar rumah masih terkunci, ah masa iya aku harus kembali ke toko lagi, aku yakin Dara masih di sana, mengingat kondisi ruko yang tidak ada kanopi di depannya, aku yakin mereka memilih menutup saja tokonya.


Ku buka pintu pagar dan ku parkirkan kendaraanku, segera aku membersihkan diri, aku tak ingin fisikku drop akibat terkena air hujan, ku pikir lebih baik aku menunggu di rumah saja.


Segelas kopi hitam tanpa gula menemaniku di teras rumah, sambil menunggu istri tercinta pulang sungguh sesuatu yang sangat membosankan.


Gemerisik air hujan yang turun kini sudah mereda dan tak lama kemudian orang yang ku tunggu datang juga.



Senyum manisnya menyapaku saat ia hendak memasuki pintu pagar, Ian yang di sampingnya tampak sigap memayungi ibu bosnya.



“Assalamualaikum ayah... “



“Waalaikumsalam... Tadi toko tutup ya ma, ayah kesana kok sudah rapat rolling nya, tak pikir sudah pada pulang he he”



“ Hujannya lo? Terlalu hot tau yah? “



Jawab istriku.



“Dah mandi sana, masuk angin ntar kamu ma”



Dara tersenyum dan berlalu meninggalkan aku dan Ian yang masih berada di luar.


“ Piye An? Rame ndak hari ini, “



“ Alhamdulillah pak, lumayan lah he he”



“ Jangan lupa yo mbakmu tu suruh banyak istirahat jangan terlalu capek. “



“ Njih pak, tadi habis makan siang juga langsung tidur kok pak, “



“ Ooh yo wes bagus lah, dia itu ndak pernah kerja soalnya An, ya bapak sebenarnya kasihan mbakmu ikut ke toko itu. “



“ Terus gimana pak, apa mbak Dara di rumah saja? “



“ Lo memangnya kamu sudah bisa ngurusin sendiri? “



“ He he belum sih “



“ Wes biarin saja, yang penting jagain jangan terlalu capek aja yo An”



“ Njih pak “



Tak lama Kumandang adzan Magrib menggema, usai mandi istriku terlihat begitu mempesona dengan baju tidurnya.



“ Lo kok udah pakai baju tidur aja? “



Tanyaku heran. Pasalnya kami belum menyantap makan malam, apa iya mau langsung ngamar?



“ He he he biar rilex aja sih yah? Lagian mau kemana juga toh? “



“ Iya sih? Tapi apa ndak mengisi perut dulu? Kasihan tuh anak buahmu, kelaparan nanti ma? “



“ Ish.... Biar pesan nasi goreng ae lah ya yah, ayah mau? “



“ Boleh? An... “



Ku panggil Ian, pemuda itu keluar dari kamarnya.



“ Njih pak”



“ Beli nasi goreng tiga yo? Nih”



“ Njih pak, “



Tanpa banyak bicara pemuda itu menerima uang dariku dan keluar rumah, masih dengan sarung yang ia kenakan saat beribadah tadi, lalu ku hampiri istriku dan ku peluk dari belakang, hasratku tiba-tiba muncul setelah sekian hari tak tersalurkan.



“ Ma? Hawanya enak ya? “



“ Eem... Enak opo to yah? “



Ku remas buah dadanya yang indah, dan ia tau maksud omonganku barusan.



“ Ish... Makan dulu lo yah? “



“ Iya? Habis makan ya? “



Istriku mengangguk setuju, lalu ku kecup keningnya. Tanganku masih saja meremas buah dadanya.



“ Ma, Ian lama ngga ya? “



“ Kenapa deh yah”



“ Pengen banget ni ma, sekarang yuk. “


“ Ish.... “


Ucap istriku sembari mengibaskan rambutnya yang tergerai, aroma wanginya benar-benar membuat nafsuku membuncah seketika. Masih dengan memeluk tubuhnya ia ku bimbing ke kamar sembari ku ciumi tengkuknya, hal itu membuat ia menggelinjang kegelian, sesampainya di kamar istriku langsung menurunkan celana dalamnya setelah itu ia merebahkan diri dan mengangkangkan kakinya.


Gundukan selangkangannya di tumbuhi bulu hitam yang tumbuh lebat di sekelilingnya, jujur aku lebih menyukai vagina yang gundul, tapi ya sudahlah aku tak mau memaksakan kehendak. Melihat posenya gairahku semakin menggebu, segera ku turunkan celana yang ku pakai berikut celana dalamnya, senyumnya sungguh menggoda.


Segera ku tubruk tubuh pasrah dengan rok tipis yang sudah mengangkat hingga ke pusarnya, ku singkap baju tidurnya yang juga tipis, maka terpampanglah buah dada yang sedari tadi ku remas. Aku langsung menindih tubuhnya dan kucium lembut bibirnya, dalam sekejap saja ciuman berganti dengan kuluman, lidahnya mencoba menyelusup dan membelit lidahku, hal itu membuatku tak sanggup lagi menahan gejolak, apalagi penisku sudah siap penetrasi.


Blees


“ Emh... “


Lenguh istriku saat penisku memasuki liang senggama nya, terasa hangat disana.


Plok


Plok


Plok


“Eeemh... Eeesh... Yah... “



Kening istriku mengkerut dan mendesah karna aku langsung menggenjot vaginanya, Benar-benar terasa hangat dan nikmat sekali kali ini, tak ayal penisku langsung memuntahkan cairannya.



“ Eeemh.. Udah? “



Ucap istriku sembari menatap wajahku yang memerah.



Cup



Ku kecup keningnya.



“ Makasih ya ma? Luar biasa anget banget he he”



“ Udah? “



Ucapnya lagi dan ku balas dengan anggukan, aku segera memakai celanaku, sedangkan Dara beranjak dari tempat tidur tanpa memakai celana dalamnya, seperti biasa ia langsung membersihkan diri di kamar mandi.


Sedangkan aku langsung duduk di teras, tak lama duduk Ian pun datang, sehabis makan bersama dan tak ada hal yang perlu di bahas, aku segera masuk kamar untuk istirahat, menang fisikku tak terlalu kuat, terkena sedikit air hujan saja pasti kepala langsung terasa pusing.


Dara sendiri masih di luar menemani Ian, baru jam setengah delapan malam wajar saja kalau Dara belum merasa ngantuk.


Dini hari aku terbangun dan istriku sudah terlelap di sampingku, entah jam berapa ia masuk kamar. Ku pandang wajahnya yang ayu dan pikiranku kembali menerawang empat bulan yang lalu atau mungkin juga sampai saat ini masih berlanjut. Sakit, sangat sakit jika membayangkan itu, tapi aku harus sadar dengan keadaan, aku tak boleh berpikir terlalu keras karna itu akan berimbas ke kesehatanku sendiri.


Semakin lama aku memandang wajah ayunya pikiran itu semakin menggangguku, bayangan ia di gauli lelaki lain sangat jelas di otakku, aih.... Tiba-tiba saja penisku menegang.


Rutinitasku berjalan seperti biasanya, bedanya sekarang Dara dan Ian semakin sibuk saja di usaha barunya, aku senang melihatnya, dan selama ini aku tak menemukan kejanggalan tentang istriku, padahal sudah menginjak bulan kelima usia kehamilan istriku, ku rasa tak ada gunanya aku mencari tau tentang hal itu, toh kesehariannya selalu bersama Ian. Biarlah rasa penasaran itu aku pendam dalam-dalam.


Hari ini aku bangun lebih awal, seperti biasa setiap aku bangun istriku pasti sudah sibuk di dapur atau di kamar mandi, aku yang sudah tak tahan ingin buang air kecil segera bergegas ke kamar mandi, suara gemercik air terdengar. Terpaksa aku harus bersabar, ya walaupun suami istri aku tak pernah ke kamar mandi berdua.


Indra pendengarku terusik oleh samar suara, sangat lirih dan jarang terdengar, sehingga aku perlu konsentrasi untuk menunggu suara itu terdengar lagi di telingaku.



“ Eeemh.. “



Lagi suara itu terdengar, akan tetapi gemericik air yang mengalir membuat suara itu semakin samar saja, ku tempelkan telinga di pintu kamar mandi dan aku yakin di dalam sana tak ada aktivitas sama sekali, lalu aku berjalan pelan ke arah kamar Ian, karna satu-satunya ruangan yang terisi hanyalah di sana.


Dug


Dug


Dug


Ada pergerakan disana.


Eeesh... Aaah...


Suara desahan kembali terdengar, jantungku berdegup begitu kencang ketika suara itu semakin terdengar jelas di telingaku. Pandanganku terasa gelap, di rumah ini tak ada siapa pun kecuali kami bertiga.


Aku kembali berjalan ke kamar mandi, aku ingin memastikan agar aku benar-benar yakin siapa yang ada di kamar Ian.


Cklek


Pintu ku buka perlahan, air mengucur tanpa tuan. Lalu aku ke dapur, sangat sunyi dan tak ada kehidupan disana. Ku sandarkan tubuh lemahku, tulang belulangku terasa di lolosi, aku tak menyangka orang yang ku percaya untuk menjaganya ternyata dia lah pelakunya.


Masih basah di ingatan apa yang istriku ucapkan kala itu dan tentunya aku tau makna dari ucapannya, sekarang terkuak sudah, pantas mereka perhatian satu sama lainnya. Dan aku yakin perbuatan itu sudah sangat sering mereka lakukan.



Aargh!!!



Aku harus kuat, ini kenyataan pahit yang harus ku jalani dan suara ranjang yang beradu dengan tembok itu membuktikan kalau mereka begitu buas bercinta.


Ku kuatkan diri melangkah lebih dekat ke kamar maksiat itu, dan aku berjalan seperti maling di rumahku sendiri, kemarahanku yang terbelenggu oleh keadaan membuat pola pikirku berubah dengan cepat, seharusnya ku labrak perselingkuhan itu tapi aku malah penasaran seberapa dahsyat mereka bercinta.


Ku sandarkan tubuhku di balik tembok kamar karyawanku sendiri, ku dengar setiap alunan birahi yang mengalir di dalam sana. Seumur perjalanan rumah tanggaku, istriku tak pernah merintih seperti itu saat bercinta, dia tak pernah meminta aneh-aneh seperti yang ku dengar saat ini. Ra, yah! Aku baru tau panggilan mesra Ian ke istriku seperti itu.


Haruskah aku menyingkir, atau memisahkan hubungan mereka, Sedangkan istriku sendiri pernah bilang kalau ia sudah memilih, artinya ia sudah siap bahkan sangat siap kalau aku mengetahui Affair mereka.


Hampir setengah jam aku terdiam disini, sudah beberapa kali istriku mengerang dan bilang dapat, yah aku tau maksudnya dapat. Tapi sampai saat ini perzinahan itu belum juga berakhir, padahal semalam istriku juga aku gauli, dan betapa lemahnya aku kalau membandingkan durasi bercinta mereka. Satu hal yang pasti, aku kalah telak dengan pemuda itu, dan dapat ku pastikan janin yang di dalam kandungannya itu benih dari Ian.


Aku tak ingin mereka tau keberadaan diriku di sini, lebih baik aku kembali ke kamar dan mencari jalan yang terbaik untuk keluarga yang sudah ku bina selama ini, yang jelas takkan kubiarkan semuanya hancur begitu saja.










~~~~~~~~~~~







Waktu berlalu begitu cepat, namun rencana Ian membawa kekasihnya ke kota S belum juga terlaksana, ia terlalu sibuk dengan pekerjaan, suatu hari Ian duduk berdua menikmati secangkir kopi hitam dengan pak Yanto di teras rumahnya.



“Toko gimana perkembangannya An? “



“ Alhamdulillah pak, kalau di lihat dari omset bulanan peningkatannya oke kok pak, tapi ya itu kan menurut saya to pak, kalau mau nanti saya bawa in hitungan pastinya pak. “



“ Ooo ndak usah, bapak kan ndak ada urusan di sana to? Kamu laporan ke Dara to? “



“ Pasti lah pak, semua kan laporan ke mbak Dara to pak. “



“ Yo bagus lah, memang harus begitu to? “



“Njih pak, lagian kan saya Cuma kerja pak. Tapi ya itu kata mbak Dara kalau buat gaji dua karyawan agak berat”



“ Lo katanya mau bawa temanmu buat kerja di sana? Jemputlah An. “



“ Njih pak, nanti saja kalau mbak Dara sudah mau lahiran kali ya pak. “



“ Wes atur ae lah, yang penting jangan salah pilih, takutnya jadi benalu “



Ucap pak Yanto dengan pandangan yang tajam, sontak hal itu membuat Ian berpikir lain, jelas Ian mengartikan lain, karna apa yang di lakukan kepada keluarga pak Yanto selama ini sama persis dengan yang di ucapkan pak Yanto.



“Njih pak, Maaf nanti tak timbang-timbang lagi saja pak”



“Iya iya ya... Terkadang kata maaf bisa di mengerti dan di maafkan, tapi perbuatan yang sudah terlanjur di lakukan akan ada bekasnya, ya to An. “



Degh!!


Pembicaraan yang sama sekali tak ada kaitannya membuat Ian semakin yakin pak bosnya itu sedang mencoba membicarakan hal lain. Yang jelas ucapan itu membuat jantung Ian berdegup kencang.


Walaupun bahasanya tidak langsung di tujukan padanya tapi cukuplah buat Ian menelaah ucapan pak Yanto, apalagi Ian sudah mencium gelagat yang membuat ia sendiri salah tingkah, ia merasa pak Yanto telah mencium hubungannya dengan Dara.


Posisinya yang jelas salah membuat Ian tak berkutik, ia bingung harus bagaimana, pergi meninggalkan tempat itu atau bertahan demi rasa cintanya yang semakin mendalam kepada istri bosnya.



“ Argh.... “



Teriak Ian di tempat dulu saat pertama kali Ian di cium ibu bosnya, dan sekarang di sinilah ia meluapkan perasaannya yang gundah, dan kejadian itu terulang lagi, bedanya sekarang tangan halus itu langsung memeluknya dari belakang, perut yang sudah membuncit menempel ketat di tubuh bagian belakang Ian.



“ Kamu kenapa? “


Ian tak menjawab, bahkan tak menoleh, namun jari jemarinya menggenggam erat jemari Dara.



“Akhir-akhir ini kamu banyak diam, ada apa? “



Ian menghela nafas dalam-dalam, ia mencoba menetralisir gundahnya hati sendiri, jelas bahasa tubuhnya membuat Dara semakin penasaran.



“ Mas marah sama aku? “



Lagi-lagi Ian tak menjawab, ia hanya menggeleng lalu diam lagi.



“ Mas kenapa? “



“Ra? “



Lirih ia menjawab.



“ Iya? “



Ian menatap sayu kekasihnya.



“ Aku butuh solusi dari kamu Ra? “



“ Solusi apa? Ada masalah apa mas? “



“ Aku sadar sikap dan ucapan bapak kemarin itu di tujukan ke aku Ra? “



“ Masa sih mas, kapan? Kok aku ngga tau sih”



“ Entahlah, aku rasa aku ngga bisa tinggal disana lagi, besok aku pulang saja ya? “


“Maksudnya? “


“ Kesalahan kita perlahan akan menghancurkan rumah tangga kamu Ra? “



Dara terdiam, perlahan air matanya menetes dan nafasnya tersenggal, bayangan jauh dari Ian sudah di depan mata, bahkan mungkin Ian tak lagi kembali.



“ Mas tega biarin aku menanggung ini sendiri? Mas balik kesini lagi kan? “



Ian menggeleng dan hal itu membuat isakan tangis Dara semakin pilu.



“ Ra? Aku ini benalu yang bakal membunuh pohon yang ku tumpangi Ra? “



Dara menghela nafas ia menunduk lalu menengadahkan kepalanya, setelah itu ia menatap tajam wajah pemudanya.



“ Jika benalu itu di biarkan terlanjur tumbuh subur, itu artinya ada warna lain yang ingin di lihat oleh pemilik pohon itu. Mas tau satu hal di rumah, aku lebih tau beribu hal di rumah itu mas? “



Ian terdiam, sedikit banyak ia tau maksudnya, namun ia lelaki. Tak mungkin seorang lelaki berlindung dengan santainya di ketiak perempuan.



“ Tapi aku merasa tak sanggup lagi berhadapan sama bapak Ra? Ia terlalu baik bahkan saat dia tau kita seperti ini pun ia hanya bersikap seperti itu, padahal kalau bapak mau ia bisa melakukan lebih Ra? “



“ Ya sudah, hubungi aku dulu kalau mas mau kesini, kalau bisa jangan terlalu lama, itu pun kalau mas benar-benar mencintaiku, asal mas tau aku bisa saja melakukan dengan lelaki lain sebelum mengenal mas, tapi aku bukanlah wanita seperti itu, tanpa cinta mustahil aku mau mas? “



“Maksudnya Ra? “



“ Mas tau maksudnya kok, aku yakin mas tau. “



“Aku tau tapi bagaimana dengan pak Yanto Ra? “



“ Aku tetap mencintainya dan tak berkurang sedikit pun. “



“ Itu artinya aku memang benalu “



“ Iya, dan aku tau ada yang ia sembunyikan dari kita mas. “



“ Apa Ra? “



“ Mas ingat waktu hujan deras pas malam-malam kan? "


“Iya”


Jawab Ian singkat.



“ Paginya kita main kan? Mas tau ngga aku tuh buka kran air, dan nutup pintu kamar mandi, tapi pas aku keluar pintu kamar mandi sudah terbuka lagi, menurut mas apa iya suamiku tak mendengar suara kita? “



“ Entahlah, ngga ada yang aneh setelah itu sih”



“ Itu juga yang bikin aku berpikir aneh tentang suamiku mas? “



“ Heeuh.... Iya sih, tapi tetap saja aku ngga punya muka lagi di depan bapak Ra? “



“ Kalau itu keputusan mas Ian aku bisa apa mas? Cepatlah kembali atau aku yang akan menyusul mas kesana”



Ian menatap lekat wanita di depannya, ia tersenyum haru mendengar penuturan Dara, ia mengusap lembut rambut kekasihnya. Semilir angin pun seolah memberi kesempatan Ian agar memperagakan kemesraannya kepada Dara dan itu ia lakukan.



“ Semoga takdirku tak hanya sampai disini saja ya Ra? “



“ Lo mas kenapa memangnya”



“ Aku rasa aku harus cerita sebelum aku pergi, agar kamu bisa menilai seburuk apa aku ini “



Ian pun menceritakan semua yang ia alami, bahkan tentang Indriani dan anaknya pun ia ceritakan.



“ Berpikirlah ulang untukku Ra? Aku tak sebaik yang kamu kira, bahkan aku cenderung urakan dan bejat”



“Jangan kelewat nekat ya mas? Dan aku yakin dua gadis itu punya alasan kuat untuk menunggu mas Ian, sekarang ayo pulang sudah mulai gelap ini”



Ucap Dara sembari menarik lengan Iqn, tanpa sadar semburat senja telah menghiasi langit, dan mentari yang siang tadi begitu congkak mulai tenggelam di ufuk barat, pertanda pergantian hari telah tiba.
Dan dari kejauhan seorang lelaki memperhatikan keberadaan Ian dan Dara, namun ketika melihat Dara yang sedang menarik lengan Ian, lelaki itu segera beranjak dari posisinya, ia mendahului pulang sebelum kedua insan itu melangkahkan kakinya.










~~~~~~~~~~












Senja jingga di belantara di situlah Ian berada, tubuhnya berdua dengan Asti tapi pikirannya melayang jauh di kota S sana, kerinduannya kepada wanita anggun yang sedang mengandung anaknya itu kian memuncak. Padahal belum genap sebulan Ian meninggalkannya, tentunya dengan kebiasaan Ian yang selalu diam saat menikmati senja membuat Asti tak menaruh curiga sedikit pun kepada Ian, yang ia tau saat ini dan mungkin kembali seperti dulu saat Ian belum pergi ke kota.



Senyum indahnya terpancar, ia tak perlu lagi khawatir rindunya terbengkalai oleh jarak, bahkan sekarang ini kekasihnya mulai mengambil alih lahan garapannya yang dulu di berikan kepada sang kakek, tentu dalam benak Asti sudah terbayang hidup tenteram dan bercocok tanam bersama Ian.



“ Heeuh... “



Dengus Ian tiba-tiba, hal itu membuyarkan lamunan Asti yang sudah jauh menerawang, kepala yang ia sandarkan di bahu Ian pun ia angkat, ia menatap lekat kekasihnya itu.



“ Kenapa mas? “



Ucapnya sembari memegang lengan Ian.



“ Ada yang mau aku sampaikan, tapi aku takut kamu ngga suka dek. “



“ Apa itu, sampaikan saja tho? Aku sudah biasa menerima apa pun, semoga aku masih tetap sama kok. “



“ Semogamu, diammu, sifat nerimamu yang membuat aku takut bicara, aku merasa terlalu banyak menyakiti hatimu dek, maaf. “



“ Ish... Ucapanmu kok kayak orang tua ae toh maaaas mas. Opo? Ada apa tho? “



“ Aku kasihan sama Wisnu dek, harusnya aku berada di sampingnya setiap saat. “



“ Wisnu apa ibunya? “



Ian tersenyum kecut, Asti tetaplah Asti, gadis yang ia kenal ceplas-ceplos sampai sekarang pun masih sama saja.



“ Maaf, aku sama sekali tak bisa membuang rasa itu, aku tau kamu pasti sakit mendengarnya bukan. “



“ Sudah ku bilang, aku biasa menerima apa pun kok, ya aku pasti siap dengar yang seperti ini to mas? Buktinya aku ngga ada masalah sedikit pun sama Iin kan? “



Ian kembali merengkuh tubuh Asti dalam pelukannya, kening gadis itu pun ia kecup. Cukup bagi Ian menguji gadisnya.



“Oey!! Jirut! Pacaran terus! “



Ucap seorang pemuda dari belakang mereka, tampak dua orang pemuda menghampiri Ian.


Aris dan Bayu tampak canggung, mereka tau kalau temannya sedang dilanda asmara.



“ Cuk! Ganggu ah! Ono opo (ada apa) “



Tanya Ian kepada mereka.



“ Nanti malam jalan yo An, kumpul di tempat Panji yo? “



Kening Asti tampak mengkerut, nama yang barusan di sebut seperti pernah ia dengar.



“ Heeyyy hey heeyyy.... Awas aja kalau di ajak mabuk-mabukan ya?”



Ucap Asti kepada dua teman Ian itu.



“ Mau tak ajak cari cewek lagi kok As, biar betah di kampung he he he “



“ Hiiih.... Sana-sana! Ganggu ae “



Ucap Asti lagi, sedangkan Ian malah asik menyulut rokok.



“An! Oey... Diancuk! Malah kanjeng ratu yang di maju in, oey, piye? “



Ucap Aris sembari mengambil dua batang rokok milik Ian, satu untuk dirinya satu lagi buat Bayu.



“ Bajindul rokokku di pake berjamaah. “



“ Ndak usah bahas rokok, piye? Mau ngga. “



“ Gampang.... Kalau ada yang nyamperin ya berangkat kalau ngga yo aku tak ngapel ae, he he “



“ Na.... Gitu dong, yu ah Bay, biarin mereka kesambet di sini, mau Magrib kok cari celah mesum ae ha ha”



“ Diancuk! Yo dek pulang”



Ian pun beranjak dan menggandeng tangan Asti, menyusul kedua temannya yang jalan terlebih dahulu.





Malam hari empat pemuda termasuk Ian pergi ke kampung sebelah, tempat dimana Panji berada. Mereka mengendarai dua kendaraan roda dua, Ian membonceng Jodi dan Aris membonceng Bayu. Di kejauhan dua sorot lampu kendaraan bermotor tampak menyorot ke arah mereka.


Dekat dan semakin dekat, Ian hafal betul suara berisik motor yang melaju ke arahnya, Ian pun menepuk pundak Jodi.


“Jod berhenti dulu, aku pengen olah raga nih. “


“ Ngopo ndes! “



“ Tu motor yang dari sana itu punya anaknya si carik Jod, dah stop sini aja. “



Jodi pun menghentikan motornya, begitu juga dengan Bayu yang berada di belakang.



“ Dancuk! Gelut neh iki.... “



Ucap Aris yang lumayan keras.



“ Ono opo to cuk, “



Tanya Bayu kemudian.



“ Wes ndak usah berisik, tak jamin ada yang perang malam ini. “


Balas Aris.

Jodi yang memang lumayan arogan langsung menghadang jalanan, mudah saja motor ia parkirkan melintang di tengah jalan, sedangkan Jodi dan Ian duduk di rerumputan pinggir jalan itu.


Trang tang tang... Traaang.... Traaang....



Suara bising kendaraan pun terdengar, Jodi malah tertawa melihat si pengendara membetot habis gasnya.



“ Bajingan! Hoy! “



Teriak pemuda yang tak lain Iwan itu. Ia segera turun dari motornya dan di ikuti oleh ke tiga temannya.



“ Bangsat kalian! “



Ucapnya lagi, Iwan sama sekali tak mengenali Ian, karna Ian duduk memunggungi posisinya, sedangkan Jodi terkekeh melihat Iwan cs terbakar emosinya, ia pun beranjak dan mendekati Iwan yang sudah merah padam mukanya.



“ Berisik suara motormu itu, tuntun saja sampai rumah sana, kasihan jin yang ada di sini, ngerti ndak, matikan itu mesin, ha ha ha”



Kelakar Jodi yang berdiri sendiri menghadapi Iwan cs, Ian masih belum beranjak dari duduknya, sedangkan Aris dan Bayu malah asik duduk menyamping di atas motor, persis seperti orang yang sedang pacaran.


Tentu Iwan tau dua pemuda yang di atas motor itu, dan ia mulai curiga dengan satu pemuda yang duduk membelakangi dirinya.



“ Bangsat! Sok mau lawan sendirian kamu cuk! Suruh semua temanmu itu turun, apa mau sok jagoan sendiri kamu hah! “



Ian yang sedari tadi duduk kini mulai Beringsut, ia berdiri dan melompat persis di sebelah Jodi, rokoknya masih terselip manis di bibirnya.



“ Ho ho ho.... Ketemu kita di sini anak carik mental tempik, gimana? Mau apa hah! Matikan suara motormu yang berisik itu, cepat!!! “



Ucap Ian lantang, dan di sertai derai tawa Jodi, sedangkan Aris dan Bayu masih diam, mereka tak terlalu berani bicara frontal apa lagi menertawakan Iwan.



Wus...



Plak!



Pukulan Iwan dengan tepat tertangkap oleh tangan Ian, tangannya mencengkeram kuat tangan Iwan yang mengepal, namun Iwan tak berusaha ingin melepaskan cengkeraman itu, ia malah balik memancing emosi Ian.



“ Selalu cari perkara kamu anak sundal ha ha ha, “



Ucap Iwan dengan santai, ia melihat ketiga temannya sudah siap di sampingnya, begitu pula dengan ketiga teman Ian mereka pun sudah siap melakukan pertarungan.



Di tengah bisingnya suara knalpot dan terangnya lampu motor kedua kubu sama-sama saling memasang kewaspadaan, mereka menunggu pihak lawan menyerang terlebih dahulu.



“ An hoy! Jadi ribut ngga... Kalau ngga mending pulang ngentot sama Iin aja, masih enak kan? “



Ucapan Jodi sukses memancing emosi Iwan, jelas ia benar-benar merasa di rendahkan oleh memudahkan tetangga kampungnya itu, dengan cepat kaki Iwan merangsek maju hendak menendang, tentu konsentrasi Iwan pecah seketika, harga dirinya terkoyak di depan teman-temannya saat itu juga.


Kelengahan Iwan menjadi celah lawan, tentu Ian tak mengambil kesempatan yang ada, kakinya tepat bersarang di ulu hati Iwan, memang cukup tinggi tendangannya sehingga membuat cengraman tangannya terlepas, sebagai gantinya Iwan terpelanting menghantam temannya yang persis berada di belakangnya.


Pertarungan pun pecah, Masing-masing mendapat lawan, satu lawan satu.
Jodi yang beringas dengan cepat merangsek maju, Aris pun sama, begitu juga Bayu. Bedanya pukulan mereka tak setajam Jodi maupun Ian.
Hasilnya mereka babak belur terkena kejamnya Terjangan lawan yang berpostur lebih besar.



Jodi yang tau hal itu pun sempat memberi kode ke Ian, Ian paham dan dengan cepat ia memancing Iwan agar menjauh dari lokasi, sedangkan Jodi masih berjibaku dengan lawannya, ia terus berusaha mendekati kedua temannya. Pada akhirnya Jodi berada di tengah kepungan lawan, paling tidak kedua rekannya berada di sampingnya.



“ Asu! Lemah kalian, bertahan jangan berpencar kalau ngga pengen modar. “



Ucapnya cepat kepada Aris dan Bayu, keduanya mengangguk paham.



Bertahan di tengah himpitan musuh memang berat, lambat laun Jodi pun tak sanggup mengimbangi musuh-musuhnya, sering kali ia terpelanting jatuh, beruntung salah satu teman selalu saja ada yang melindunginya, entah Aris atau pun Bayu. Hal itu sedikit banyak memberi ruang kepada Jodi untuk bertindak.



Dan kerja sama mereka sedikit membuahkan hasil, satu lawan terpelanting jatuh.



Wus....


“Bay... “



Teriak Aris mengingatkan Bayu yang terancam.


Plak


“ Waaadau.... “



Teriak Bayu sembari memegangi tulang kakinya, kalah tenaga kalah skill tarung itulah yang terjadi, dan serangan tak berhenti, mereka harus tetap berjibaku tanpa harus terpisah, tentu hal itu sangat sulit bagi mereka.
Saat mereka terdesak Ian datang sambil menyeret tubuh lemah Iwan, pelan lelaki itu meronta dengan rambut yang di jambak paksa oleh Ian.


Brugh!


Iwan tersungkur tak berdaya dengan muka yang sudah berlumuran darah, sayangnya sisi darah dingin Ian telah muncul, tak ada kata terucap, namun tindakannya sudah di luar batas, muka Iwan yang berlumuran darah masih terus ia injak walaupun sudah tak ada perlawanan sama sekali, sesekali Ian terkekeh melihat lelaki yang tergeletak tak berdaya itu menggebrakkan tangannya ke tanah dengan pelan.



“ Sebentar lagi kalian bertiga bawa pulang mayatnya he he he”



Kelakar Ian santai, tapi cukup membuat ketiga teman Iwan menghentikan aksinya, mereka mendekati Ian.



“ Jangan sampai darah kalian halal untukku he he he”



Ucap Ian dengan tatapannya yang dingin, sontak ketiga pemuda itu menghentikan langkahnya.



“ Maju saja, mereka takkan membantuku kalau tak ku pinta, ayolah.... Maju... “


Ucap Ian lagi.



“ Cukup An! “



Teriak seseorang dari arah Barat, sosok lelaki dewasa yang tak asing buat Ian dan ketiga temannya.



Dia Zaenal teman Bambang pakliknya Ian, ia mendekat dan semakin mendekat.



Wus....


Ia melempar sesuatu ke arah Ian, dan dengan cekatan Ian menangkapnya.



“ Lepaskan atau Bunuh mereka sekarang juga! “



Ucap Zaenal serius, sedangkan ketiga teman Iwan beringsut mundur, tatapan pemuda di depannya sangat dingin, apalagi temannya yang baru saja datang bersikap ambigu, jelas kalau pemuda yang lebih dewasa itu berada di pihak lawan, dan dengan ucapannya sudah pasti tau karakter pemuda di depannya.



“ Ian!! Hoy!! “


Teriak Zaenal kepada Ian yang masih saja diam, tapi selepas Zaenal berbicara Ian menyunggingkan senyumnya.



Sreek...


Ia mencabut senjata itu dari sarangnya.
“Mue he he he.... “


Tawa Ian santai, ia melangkah maju, namun ketiga orang itu segera duduk bersimpuh secara bersamaan.


“ Habisi kami jika kamu mau, yang jelas kami tak akan melawan. “


Ucap salah satu dari ke tiga orang itu.



“ Lain kali lebih baik kalian menyingkir kalau aku berhadapan dengan anak carik ini, tak ada untungnya juga buat kalian to? Sekarang kalian bawa manusia lemah ini pulang, sampaikan salamku pada ayahnya. He he he “



Ketiga orang itu tak menjawab sepatah kata pun, mereka langsung memapah Iwan dan menaikkan ke atas motor.


Zaenal yang tau hal itu langsung berbalik arah untuk mengambil motornya yang ia parkirkan agak jauh dari tempat kejadian, kini Zaenal lah yang memimpin empat pemuda itu menuju kediaman Panji.




Dentum suara bas dari soun sistem terdengar sangat keras. Namun bukan itu yang menjadi tujuan Jodi cs datang ke tempat Panji.
Panji dan gerombolannya termasuk Ian berkumpul di halaman rumahnya, Yanti cewek semata wayang yang ikut dalam kelompok itu sering kali kedapatan mencuri pandang ke arah Ian, Panji yang melihat hal itu langsung menarik lengan Yanti.


“ Heuh.... Udah kayak anak abg aja kamu tu Yan, sana-sana! Pepetin. “



Ucap Panji sambil mendekatkan Yanti dan Ian.



“ Dancuk emang, ha ha”



Seloroh Jodi menimpalinya.



“ Terserah deh, kamarku nganggur tuh, apa mau ke hutan kayak biasanya ha ha”



Balas Panji, Yanti yang di perlakukan seperti itu tak tersinggung sedikit pun, ia malah menjulurkan lidahnya ke arah Panji, Ian sendiri tampak terkejut mendengar ucapan Panji.



“ Ndak usah di dengerin mas, orang mereka itu sudah oleng dari tadi kok. “



“ Oleng opo sih mbak Yan “



Yanti tak menjawab, hanya matanya saja yang memberi isyarat dan menunjuk ke sebuah Jerigen putih di bawah meja, Ian pun meraih Jerigen itu dan menciumnya.



“ Fiuh.... Opo iki cuk “



Ucapnya saat mencium aromanya.



“ Ih, kamu ngga tau? “



Ucap Yanti kemudian, Jodi yang sedari tadi diam mengambil gelas dan di isi setengah air dari teko plastik yang tersaji di atas meja.



“ Coba in An, dikit-dikit aja, jangan sampai kamu mati penasaran sama yang kita minum, ha ha”


Jodi pun menyodorkan minuman itu ke Ian.


“ Diancuk! He he “



Ia cium, baunya sama persis dengan yang di Jerigen, Ian bergidik saat mencicipi minuman itu.


“ Mau mas “



Ucap Yanti dan langsung mengambil gelas yang masih di tangan Ian, bagi Yanti minuman itu sudah tak asing lagi, malah sering kali ia meminumnya saat berkumpul seperti ini, selesai menenggak setengah dari isi gelas itu Yanti memberikan lagi kepada Ian.



“ Habisin mas, ndak apa-apa biar badan hangat Hi hi hi “



Ucap Yanti dan Ian pun meminumnya, ia tersedak karna meminumnya buru-buru, dan kawanan itu pun tertawa melihat tingkah Ian.

Zaenal yang umurnya lebih dewasa ia tak banyak bicara, di samping agak jauh posisinya ia juga tengah asik mengobrol dengan orang yang sebaya dengannya. Tak heran, Zaenal memang memiliki banyak teman, apalagi daerah Kidul sebagian besar pemuda disana pasti mengenalnya.


Tepat jam sepuluh malam gerombolan pemuda yang di pimpin Panji tampak berjalan mendekati keramaian hiburan malam, riuh penonton tak mereka hiraukan, Ian yang benar-benar pemula sama sekali tak paham siapa yang mereka cari, yang ia tau sebentar lagi akan ada peperangan, masih mending Aris dan Bayu mereka sedikit banyak tau targetnya.


“An jangan jauh-jauh dariku, lawan kita kali ini mungkin sedikit liar. “



Ucap Panji mengingatkan Ian



“ Liar gimana Nji”



“ Sudah pasti mereka kena pengaruh alkohol cuk, siap aja”


“ Ha ha ha sama saja dengan kalian, eh aku juga ding, dikit “



“ Oke siap ya? Lihat mereka yang berkerumun di depan, ke baca kan kelompoknya. “



“ Ah embuh, aku Cuma mengingat muka kelompok kita aja biar ngga salah hantam he he “



Keduanya pun tertawa, sementara itu salah satu dari kawanan Panji merangsek maju, Ian memperhatikan secara seksama pergerakan pemuda itu, tak lama pemuda itu berbaur ikut joget diantara kerumunan, tak terlalu ke tengah tapi tingkah pemuda itu cukup menarik perhatian salah satu orang disana.


Lalu Ian memperhatikan pemuda lain yang ikut di kelompok Panji, mereka seperti membentuk barikade, berdiri berjejer seolah membelah riuhnya penonton.


Tak lama setelah itu di saat Ian masih sibuk melihat kelompok Panji yang berjejer, Tiba-tiba terjadi sesuatu yang tak disangka Ian sebelumnya, pemuda yang bertugas menyusup ke tengah kerumunan tampak mencoba lari dari sana, ia berlari keluar melewati barisan teman-temannya sendiri.



Pemuda itu Sempat terjatuh tapi ia segera bangun dan melanjutkan pelarian, tentu dengan mudah ia mendapat jalan untuk lari, kawanan yang berjejer memiliki peran penting menyingkirkan penonton yang menghalangi jalan Pemuda itu, Ian tersenyum melihatnya.


“ Asu! Tukang tawur isinya ha ha ha”



Ucap Ian senang, sementara para kawanan yang mengejar satu perusuh itu kini tampak terkepung, Panji cs pun dengan cepat merangsek maju, perang tak lagi dapat di hindarkan, jauh dari tempat hiburan dan berada di tempat yang lapang membuat dua kelompok bebas bergerak.



Jumlah yang hampir sama membuat pertempuran semakin sengit saja, semakin lama dua kelompok itu semakin melabarkan area pertarungan. Tak ada yang bermain-main dengan lawan semuanya serius mengurus musuh di depannya.



Kali ini Ian mendapat satu lawan, Ian memperhatikan secara seksama musuh yang ia hadapi.



“ Hem... Masih gerombolan si anak carik rupanya “



Ucap Ian dalam hati dan hal itu memacu adrenalinnya, musuh yang sangat berambisi melumpuhkan lawan Ian hadapi dengan tenang, setiap pergerakan ia baca dengan baik sehingga dengan mudah Ian dapat menangkis serangan lawannya, dapat di takar seberapa tepat pukulan orang yang sudah kemasukan alkohol, lebih banyak meleset dari pada tepatnya, keuntungan yang sangat besar untuk Ian tentunya.


Ian beruntung tadi tidak mau nambah minum, kalau Ian ikut mabuk sudah pasti ia akan bertingkah sama dengan musuhnya. Pukulan demi pukulan pun terlontar dengan cepat sayang sekali Ian berada di atas angin. Pukulannya yang tajam seringkali menghajar musuhnya hingga terjengkang. Tak mau berlama-lama Ian segera menghabisi musuhnya hanya dengan beberapa kali pukulan telak dan tendangan Ian sudah membuat musuhnya tersungkur tak bergerak.


Sementara itu Panji masih berjibaku melawan tiga orang di depannya, tepat memang, karna Panji pemimpin dari kelompoknya ia mendapat jatah lawan yang lebih dari yang lain, ia tampak sigap menghindar dan menangkis, sesekali ia menyerang tajam ke target yang lebih mudah. Ian menonton pertarungan itu, namun tiba-tiba ia mendapat serangan dari belakang, hal itu membuat Ian jatuh tersungkur, ia segerakan bangun dan menyiapkan dirinya.


Adu pukul pun terjadi lagi, dengan musuh yang berbeda dengan tenaga yang lumayan kuat menurutnya, pukulan dan tangkisan sama-sama tajam, namun hal itu semakin membuat Ian bersemangat, tatapan tajam dan saling membaca pergerakan lawan tentu sangat membosankan.


Maka dengan gerakan pancingan Ian pun menyerang, tinjunya dengan cepat menyerang bagian atas musuh, tentu mudah terbaca, namun pergerakan kaki Ian luput dari perhatian musuhnya, hasilnya paha musuh pun terkena tendangan keras Ian.

Bugh!!


Musuh pun terhuyung, dan di saat hendak berdiri tegak kakinya terlihat gemetar, melihat hal itu Ian menyeringai, tendangan susulan ia lancarkan, dan dengan sisa keseimbangan yang ada musuh Ian menangkisnya, Lagi-lagi ia tertipu, pukulan Ian tepat bersarang di telinga sebelah kanan musuh, limbung lagi dan kesempatan pun tak Ian lewatkan.


Ia melayang dengan kaki yang sudah siap untuk mendarat di paha musuhnya, tapi kali ini Ian gagal, musuh dengan cepat menghindari serangan itu, sehingga tendangan Ian hanya mengenai tanah. Merasa berat melawan musuh Ian berlari kearah kawanannya yang bertarung. Ian tak tinggal diam, ia mengejarnya. Disana tampak Aris dan Bayu masih berjibaku melawan musuh, maka Ian pun ikut bergabung.


“ Piye cuk! “



Ucap Bayu, Ian hanya mengacungkan jempolnya, lalu mereka pun kembali fokus ke musuhnya.


Secara kekuatan dan skill tarung kedua teman Ian memang masih rendah, tapi mereka memiliki keberanian yang cukup, entah karna darah muda atau karena pengaruh alkohol yang mereka minum, yang jelas mereka tak gampang mundur dari lawan.


Pertarungan belum selesai walaupun Ian dan kedua temannya susah payah untuk dapat melumpuhkan musuhnya, kini mereka merangsek membantu yang perlu di bantu, Ian mendekat ke arah Jodi sedangkan Aris dan Bayu ke arah yang lainnya, memang posisi lawan saat ini sudah mulai terpukul, tapi mereka enggan menyerah, lawan dan lawan itulah yang terjadi.



“ Jod, mana pentolannya. “



Ucap Ian kepada Jodi di sela perkelahian.


“Sepertinya Yang ngeroyok Panji, bantu sana”



Ucap Jodi, kemudian ia kembali adu pukul dengan dua lawannya. Ian sendiri segera menghampiri Panji, ia berlari dan siap dengan tendangannya.



Syuut... Bugh...


Tendangan keras Ian sukses menghantam musuh yang sedang konsentrasi melawan Panji, curang sih. Tapi itulah jalan yang tepat agar musuh segera lumpuh.


“ Heeuh... Lama! “



Ucap Panji kepada Ian, namun Ian tak menanggapi ocehan rekannya itu, Ian segera merangsek dengan serangannya yang terhitung tajam, Panji pun tak tinggal diam, ia ikut merangsek bersama Ian, maka dengan mudah musuh dapat ia taklukkan.


Dua orang lawan Panji dan Ian terkapar tak berdaya.


Benar kata Jodi salah satu dari lawan Panji adalah pimpinan atau orang yang paling di andalkan oleh kelompoknya, terbukti dengan isyarat tangan anggota mereka menuruti perintahnya.

Yah mereka semua mundur dan meninggalkan area pertarungan, namun tatapan dendam sangat terlihat jelas, malam ini mereka pergi dengan kekalahan.




Bersambung
Sippp om suwon
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd