Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Joni (berkah jadi sopir dadakan)

Sofi, Sella, Vita, Tika.
Memek siapa lagi yg akan Joni kontolin? Santi (mantan), Dian (ibu tiri) dan kedua kakak Dian kah?
 
Bimabet
"Ah ah ah ah. Joon... Jangan bikin aku ngompol duluuu!" Seru lek Tika dari bawah.
Tapi aku tak peduli. Melihat ada sempak melorot sampai di bawah rok, membuat vantasiku melambung jauh. Fetishku benar-benar tersalurkan. Melihat seorang guru perempuan, berseragam ketat, dengan sempak melorot. Dengan lorotnya sempak itu, berarti selangkangannya sudah tidak berpenutup lagi. Sekilas ingatanku melayang pada bu Ninuk, guru paling cantik dan paling seksi di sekolah. Dan aku membayangkan kalau yang di depanku ini adalah bu Ninuk.
"Aduh.... Aduh.... Aduuh.... Joniiiii" lek Tika semakin melengking suaranya.
Plok plok plok plok
"Jon aku ngompoool"
Nyuuut
"Aduuh" aku keenakan dibetot memek.
Seeeerrr
"Eeeemmm"
Seeeerrrrr
"Eeeemmmhhh"
Aku pentokkan kontolku ke dalam memek lek Vita. Dan aku hentikan dulu genjotanku. Kuberikan kesempatan lek Tika menikmati orgasmenya. Tak lama kemudian, lek Vita ambruk ke depan, sampai lepas kontolku dari liang perngewekannya. Aku langsung menarik rok lek Tika ke atas, namun tidak sampai pinggang. Dia tersenyum padaku saat aku naik ke atas ranjang.
"Jooon?"
Lek Vita memekik, saat aku membenamkan kontolku langsung hanya dalam sekali tekan.
"Ah ah ah ah ah"
Karena nafsu sudah di ubun-ubun, tak kupedulikan protesnya. Aku langsung menghajar memeknya dengan tempo tinggi. Bayangan tubuh bu Ninuk kembali menari-narindi ingatanku.
"Gila, kontolmu lebih berasa kalo begini, Joon" lenguh lek Vita.
"Bu guru, numpang buang pejuh ya?" Kataku.
"Ha?" Lek Vita terkejut.
"Dimana enaknya, bu?"
"Jangan di dalam nak, ibu mau dipake pak kepsek. Nanti kalo memek ibu kamu pejuhin, pak kepsek bisa marah" jawab lek Vita. Rupanya dia paham aku bermain peran.
"Lalu dimana bu?" Tanyaku.
"Tika. Cowok kamu biasa buang pejuh di mulutmu kan?" Seru lek Vita.
"Iya bu" jawab lek Tika. Terdengar juga dia keluar dari kolong ranjang.
"Ini si Joni mau buang pejuh"
"Tunggu Jon!" Seru lek Tika. Lek Tika naik ke atas ranjang.
"Aduh.. memekmu enak bu... Memekmu enak bu..." Lenguhku memburu.
"Ah ah ah ah... Tika udah siap jadi tempat buang pejuhmu, Jon" seru lek Vita diantara lenguhan.
"Aww"
Dia memekik saat aku cabut kontolku.
Seerrrr
"Joon" rupanya dia orgasme lagi.
"Oum"
Lek Tika langsung melahap kontolku. Aku yang sempat terpana melihat lek Vita orgasme lagi, langsung teralihkan padanya.
Ouk ouk ouk ouk ouk
Aku pegangi kepala lek Tika, lalu aku genjot seperti ku menggenjot bokongnya tadi.
Ouk ouk ouk ouk
"Lek.... Lek.... Lek... terima pejuhku leeeeekkk"
Aku tekan kontolku sampai mentok.
Croooot
Eekkkh
"Aaahh"
Lek Tika sempat kesulitan saat tembakan pertama. Pejuhku langsung mengalir ke tenggorokannya.
Croooot
"Ooooohhhh"
Croooot
Nikmat sekali rasanya orgasme di mulut anak SMA. Mana dia bisa lagi, throathpie. Dia bisa menangani semburan pejuhku tanpa tersedak.
"Aaahh"
Aku mencabut kontolku dari mulut lek Tika, dan langsung rebahan di sebelah pek Vita. Dengkulku rasanya lemas. Lek Vita rupanya memperhatikan prosesku orgasme. Dan dia takjub sama adiknya.
"Bagi dong pejuhnya!" Pinta lek Vita.
"Udah masuk perut semua, mbak" jawab lek Tika heboh.
"Kena lidah aja enggak" lanjutnya.
"Nakal kamu ya. Beneran sering kamu dijadiin buangan pejuh?" Komentar lek Vita.
"Iya" jawab lek Tika.
"Abis ketagihan sih, nyelomotin kontol" lanjutnya.
"Tapi nggak sampe ngewek?" Tanyaku.
"Enggak" jawabnya.
Terserahlah. Yang penting aku sudah berkesempatan merasakan memeknya. Semoga aja aku berkesempatan juga menjajal silitnya. Sekarang kita sama-sama lelah. Kita memutuskan beristirahat dengan saling berpelukan. Ah, berasa seperti punya dua istri. Lengkap lagi, ada yang kutilang darat, ada yang montok.
Setelah beristirahat sejenak, lek Tika mulai menciumiku. Rupanya dia sange lagi. Langsung saja ronde ke dua kita mulai. Mulai dari saling menjamah, saling mencucupi kelamin masing-masing, sampai menu utamanya.
Banyak gaya kita mainkan pagi ini. Lek Tika dan lek Vita bergantian memanjakan memeknya dengan kontol dan mulutku. Sempat aku suruh mereka nungging bertumpuk dan aku genjot bergantian. Posisi terbalik juga ita mainkan. Aku ngewek lek Vita, beberapa genjotan, lalu aku tarik keluar dan aku masukkan ke mulut lek Tika. Gaya gendong, miring, sendok, bahkan sempat aku disuguhi adegan lesbi. Keduanya mengadu memek sambil menatapku yang sedang mengocok kontol. Tapi sayangnya, mereka belum mau aku anal. Takut ketahuan bilangnya. Akupun mengalah. Memang, sehabis diperasani pasti ada perbedaan pada cara jalan. Aku memutuskan untuk beristirahat, karena lelah, menggenjot dua memek bergantian. Tak sadar aku tetidur.
Aku terbangun saat mendengar suara ponselku berbunyi. Rupanya mbak citra yang menelepon. Dia menanyakan keadaanku. Aku bilang aku tak mendapat masalah di rumah ini. Mungkin aku akan kerasan. Mbak citra bilang akan menyusul kalau aku tak pulang hari ini. Aku bilang masih lelah. Dan lagi-lagi mbak Citra menggodaku. Aku yakin, pasti ada Santi di dekatnya. Aku beralasan, kurang tidur saja. Walaupun terus menggodaku, mbak Citra tak mempermasalahkan kalau aku akan menginap lagi malam ini. Toh dia juga akan menuju ke sini. Jadi bisa ketemu lagi di rumah ini.
"Astaga. Apa itu?"
Keeeekkhhh
Duaakk
Tiba-tiba ada sosok hitam menjulurkan tangan dari kolong tempat tidur. Sosok itu menarik leherku sampai aku tercekik dan terseret ke bawah ranjang.
Keeekkhhh
Aaakkk
Sesosok makhluk, entah apa sebutannya, sekarang berada di depanku. Masih mencekikku dan menatapku seperti sedang murka. Wajahnya seperti seorang kakek yang sudah sangat renta. Kuku-kukunya panjang terasa seperti akan menusuk kulit leherku.
"Berani sekali kamu anak muda" kata makhluk itu.
"Manusia lemah saja, berani-beraninya menyentuh anakku" lanjut makhluk itu.
"A... nak yang ma...na heekk eekkhh?" Tanyaku terbata-bata. Susah sekali menarik nafas.
"Anak ang kamu kawini, bangsat"
BUAKKKK
"Ahh"
Aku terpental ditinju makhluk itu. Pandanganku langsung kabur. Belum perah aku mendapatkan tinju sekeras ini.
"Kamu harus diberi pelajaran, setan"
"AAAAAAA"
Makhluk itu menginjak kemaluanku dengan kerasnya. Rasanya seperti mau pecah bola kembarku.
"Mereka yang ngajak" seruku.
"Apa kamu bilang, hem?"
"AAAAAAAA"
Dia menginjak kemaluanku lebih keras lagi.
"Mereka, mereka yang ngajak, mbah. Joni, joni cuman nurutin mereka"
"Apa kamu nggak tahu, mereka itu siapa, ha?"
"AAAAAA.... Iya, anaknya simbah, anaknya simbah"
"Lalu kenapa kamu tidak ijin dulu, ha?"
Aku bingung harus menjawab apa, sedangkan nyawaku kini seperti sudah mau lepas dari badan saking sakitnya.
"Kamu udah masuk ke peristirahatanku, tanpa ijin, masih pakai ngawini anak-anakku. Sudah kaya anjing tidak tahu tata krama" lanjutnya.
"Ma... Ma... Maaf. Maaf mbah" kataku megap-megap.
"Maaf maaf, matamu"
BUAAKKKK
DUAARRR
"Heeekk... Sssshh... Aduuuh"
Sesak dadaku ditendang sebegitu rupa, kepentok lemari, lagi.
DUAAKK
"Heeekk"
Perutku ditendang lagi. Aku merasa melayang ke udara.
BUAAKKK
Aku ditendang seperti bola takraw.
JEDEEERRR
"Heeeekkk"
Kini mendarat di pintu depan. Sudah tidak bisa lagi aku mengeluh. Menarik nafas lebih penting saat ini.
"AAAAAA"
Selangkanganku diinjak lagi. Membuatku berteriak kesakitan.
"Joon?" Terdengar panggilan dari luar kamar. Itu ibu sambungku.
"Tolong" teriakku. Tapi entah mengapa, suaraku tidak keluar.
"Joon? Kamu kenapa, ngger!" Seru ibu sambungku lagi.
Kkkkeeehhh
Duaaakk
Aku ditendang dengan keras lagi, tepat di daguku. Aku melayang lagi.
Duaaarrr
"Jon?"
Aku terpentok lemari lagi. Aku sudah tidak berdaya. Tapi aku mencoba untuk tetap sadar.
"Jon. Kamu kenapa? Buka pintunya, dong!" Tanya bu Dian.
Suara bu Dian juga suara handle pintu yang bergerak-gerak, membuat makhluk itu kesal. Namun dia malah menghilang begitu saja. Syukurlah, akhirnya penderitaanku berakhir.
"Kenapa, mbak?"
Terdengar suara lek Tika mendekati bu Dian.
"Ini, si Joni. Kaya nabrak pintu nabrak lemari. Embak jadi khawatir. Mana pintunya dikunci dari dalem lagi" jawab ibu sambungku.
"Lah. Tadi sih nggak dikunci, mbak. Dan kuncinya juga kebawa sama mbak Vita" seru lek Tika.
"Lha kok dari tadi nggak bisa dibuka, pintunya?"
"Masa?"
Klek... Klek.
Krieeet.
"Ini bisa" seru lek Tika.
"Jooon?" Terdengar suara bu Dian berteriak. Sesaat kemudian terlihat olehku, dua orang memasuki kamar ini.
"Ya ampuun. Kamu kenapa?" Lanjut bu Dian.
"Astaga, Jon. Ya ampun. Kok bisa lebam-lebam gini?" Lek Tika ikut panik.
"Ayo kita bawa ke rumah dulu! Embak obatin lebam-lebamnya si Joni" ajak bu Dian.
Aku tak bisa menolak. Tanganku ditarik bu Dian tanpa sempat aku bicara. Mereka memapahku sampai ke dalam rumah. Tak terlihat lek Vita ada di rumah.
"Loh, Jon. Kamu kenapa?"
Bapak yang baru keluar dari kamarnya, terkejut melihatku. Entah apa yang bapak lihat dari tubuhku.
"Tuh kan lek. Aku bilang juga apa" terdengar suara salah satu dari keempat sepupuku. Dia memperhatikan keadaanku.
"Kalau aja dulu kita nggak buru-buru kabur, mungkin udah kaya mas Joni gini, lek" lanjutnya.
"Udah, jangan banyak omong! Ambilin es batu buat ngompres!" Sergah ibu sambungku.
"Iya lek" jawabnya.
Diapun pergi mengambilka es batu. Aku dikompres sama ibu sambungku. Luka-luka lecetku juga dia rawat. Entah mengapa, setiap sentuhan tangan bu Dian, seperti memberikan energi tersendiri buatku. Rasa sakit dan ngrentek di tulang belulangku, seperti berangsung berkurang. Termasuk di selangkanganku. Pusaka andalanku ini, perlahan berkurang sakitnya. Perih yang seolah terluka dalam, juga berangsur membaik. Dan anehnya, mereka, terutama bu Dian, tak bertanya lagi tentang apa yang baru saja aku alami. Seolah sudah paham aku baru saja mengalami apa.
"Nanti malam, kamu tidur di kamar ibu, ya? Biar ibu sama bapak tidur di belakang" kata bu Dian.
"Enggak, bu. Joni nggak mau" jawabku serta merta.
"Maksud Joni?" Tanya bu Dian lembut.
"Joni mau pulang aja, bu. Joni nggak berani"
"Nggak papa. Di kamar ibu, nggak ada yang gangguin"
"Iya, Jon. Jangan takut! Anak cowok kok penakut" imbuh bapak.
"Bukan masalah cowoknya, pak. Kalo cuman nongol sih, Joni masih oke. Ini represif banget, pak. Nggak mau ah. Joni pulang aja" tolakku.
"Kita temenin lagi, Jon. Nggak akan ada yang gangguin deh" kaa lek Tika.
"Nggak nggak nggak" tolakku lagi.
Aku menatapnya tajam. Ingin aku menyalahkannya, atas petaka yang aku alami. Tapi aku tak mungkin mengatakannya di depan bapakku.
"Coba, ibu bilang sama mbah putri dulu. Kebetulan mbah putri sama bulekmu Vita lagi ke rumah simbah yang lama. Nanti biar mbah putri yang bilang ke mbah kakung" kata bu Dian. Aku agak terkejut, mendengar bu Dian bisa menebak akar masalahnya.
"Maaf bu. Joni mau pulang aja. Lain waktu Joni main lagi. Dia kasar banget, bu" kataku, merujuk pada makhluk yang menyerangku tadi.
"Kenalan kok gitu?" Lanjutku.
Bu Dian menoleh, menatap bapak, seolah minta pertimbangan.
"Badan kamu masih kaya gitu masa mau jalan jauh? Tunggu sembuh dulu, Jon!" Pinta bapak. Dia ikut jongkok di sebelah ibu sambungku.
"Nggak papa, pak. Banyak pom bensin. Rest area juga banyak" jawabku.
"Suer, Joni ngerasa nggak nyaman, pak. Parno" lanjutku.
"Bapak jamin nggak akan ada yang gangguin lagi" sahut bapak.
"Mungkin lebaran depan, pak. Sekarang, Joni pengen pulang dulu" jawabku.
Bapak menghela nafas berat. Seperti kecewa, keadaannya jadi seperti ini. Bu Dian juga tampak tidak enak hati. Maksudnya ingin menyenangkanku, anak dari suaminya, namun malah musibah yang kudapatkan.
"Beneran kamu kuat jalan jauh? Nginep di hotel aja kalo nggak. Ada kok nggak jauh dari sini" tanya bapak.
"Kuat, pak" jawabku.
"Maaf ya bu, kalo Joni nggak sopan" kataku pada bu Dian.
"Ibu yang minta maaf, Jon. Ibu malah ngecewain kamu" sahut bu Dian.
"Enggak kok bu. Namanya juga musibah. Tapi musibah ini beneran bikin Joni parno, bu"
Bu Dian tidak menjawab. Dia bingung mau bilang apa. Dia hanya bertatap muka, meminta pendapat bapak.
"Ya udah. Kamu sarapan dulu! Biar kamu ada tenaga buat nyetir" pinta bapak.
"Iya" jawabku.
Akupun diantar ke dapur. Sarapan sudah tersedia di meja makan. Merasa bersalah, lek Tika sigap mengambilka manakan untukku. Sembari sarapan, lek Tika menanyaiku seputar insiden barusan. Dan aku menjawab apa adanya. Tentunya setelah bapak dan bu Dian pergi dari dapur. Lek Tika terkejut mendengar jawabanku. Dia meminta maaf, telah menjadi sebab datangnya musibah kepadaku. Tapi dia mengatakan, kalau dia tidak tahu sama sekali tentang gaib menjaga kamar itu. Aku hanya mengiyakan saja. Toh, benar atau tidak, sudah tidak penting bagiku. Yang penting, aku bisa secepatnya pergi dari rumah ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd