Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Joni (berkah jadi sopir dadakan)

Mbak citra sempat menelepon, menanyakan posisiku sekarang. Aku kabarkan kalau aku baru saja menurunkan penumpang itu dan baru menuju rumah bapak.

Sempat juga mbak citra menggodaku, mengapa bisa sebegini lamanya baru sampai. Dan dari cara dia menggodaku, aku bisa menebak, ada Santi di dekatnya. Agak aneh memang, sedang apa Santi dengan mbak citra. Tapi masa bodohlah.

Kebetulan ada kemacetan di depanku. Langsung saja aku foto kemacetan itu dan aku kirim ke mbak citra. Aku bilang, itu hanya satu dari sekian kemacetan. Padahal bohong. Tadi aku lewat dendels yang tidak macet. Untungnya mbak citra percaya.

Tiba di alamat yang dibagikan bapak, kulihat sudah lewat tengah malam. Sudah hampir subuh, malah. Rumah istri bapakku itu bukan di perkotaan, melainkan di perkampungan. Rumahnya sederhana, berbentuk limasan dengan dinding papan. Masih khas bergaya jawa jaman dulu.

Beberapa orang yang sedang ronda malam sempat menghampiriku. Aku jelaskan saja siapa aku dan apa kepentinganku. Tanpa mengulang, mereka langsung paham. Bahkan salah satu dari mereka malah membantuku memanggilkan bapak.

Tak sampai lima menit, beberapa orang tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah.

Paling depan, tak lain dan tak bukan adalah bapak. Di belakangnya, ada seorang wanita yang masih cukup muda. Mungkin hanya berjarak beberapa tahun dari mbak Citra. Ternyata dia tampak lebih muda dari foto yang pernah mbak citra kasih ke aku.

"Pak" sapaku.

Aku langsung maju dan sungkem pada bapak. Timbul rasa bersalah dalam dadaku, atas absennya aku di acara pernikahan bapak. Bagaimanapun, menikah pastinya lebih baik daripada apa yang tadi aku lakukan dengan Shella.

"Ini ibu sambungmu, le" kata bapak, memperkenalkan istri barunya.

"Joni, bu" kataku sambil sungkem.

"Aku Dian" kata ibu memperkenalkan dirinya.

"Maafin Joni ya bu, pak. Joni udah egois sama bapak" kataku meminta maaf.

"Iya, Jon. Bapak ngerti kok. Bapak seneng, akhirnya Joni mau ngertiin bapak" jawab bapak.

"Ini simbah dari ibu. Dan ini, adik-adik ibu" kata ibu Dian, mengenalkan orang-orang di dekatnya. Aku menoleh ke orang yang dibilang simbah olehnya .

"Hem? Simbah?" Tanpa sadar aku
erkata demikian.

"Iya. Kenapa?" Tanya bapak.

"Oh, enggak" jawabku berkilah.

"Keliatan muda, ya?" Tanya ibu Dian.

"He he. Iya. Kaya sepantar sama bude titik" jawabku. Aku menghampiri wanita yang dipanggil simbah itu.

"Joni, mbah" kataku memperkenalkan diri sambil sungkem.

"Aku mbah Yatmi" sahut simbah.

"Masuk yuk! Kita ngobrol di dalam" ajak mbah Yatmi. Aku hanya menurut saja.

Para tetangga yang tadi ronda, kini balik ke tugas mereka, setelah bapak mengucapkan terimakasih.

"Macet ya, ngger?" Tanya mbah Yatmi, saat sudah di dalam rumah.

Tapi aku tak segera menjawab. Itu karena aku terkejut melihat apa yang ada di dalam rumah. Ternyata ada banyak orang di ruang tamu. Dan mereka ngampar di lantai hanya beralaskan tikar.

"Mereka itu sepupu-sepupumu le" kata bapak, menjawab kebingunganku.

"Yang mojok itu paklekmu, ngger. Anak simbah nomer lima. Belum nikah" kata mbah Yatmi.

Yang ditunjuk langsung berdiri. Aku mendekat padanya dan menyalaminya.

"Nah, yang sebelahnya itu kangmasnya, anak ibu nomer empat. Pengantin baru terhitungnya. Cuma beda enam bulan dari bapakmu nikahin ibu sambungmu" lanjut mbah Yatmi.

Aku bergerak mendekati mereka dan menyalami pasangan muda itu. Kutaksir usianya masih sepantaran sama kakak iparku, suaminya mbak Citra.

"Nah. Kalo yang dua ini, cucu simbah dari anak pertama" lanjut mbah Yatmi, menunjuk pada dua anak laki-laki di depanku. Mereka menyalamiku. Mereka masih usia sekolah.

"Yang dua ini, cucu simbah dari anak nomer tiga" mbah Yatmi menunjuk dua anak yang lebih muda di sebelahku. Aku salami mereka.

"Nah, ibu sambungmu ini, anak simbah nomer tiga. Sayangnya dia kurang beruntung. Satu-satunya anaknya, nggak bisa dirawat semenjak masih kecil" kata mbah Yati.

Maksudnya, anaknya ibu Dian dulu, meninggal. Aku manggut-manggut mengerti.

"Kalau yang bawa minum itu, anak simbah nomer enam sama nomer tujuh, bontot" lanjut mbah Yatmi.

"Hem?"

Semakin bingung saja aku melihatnya. Bagaimana tidak, dua wanita yang ditunjuk mbah Yatmi itu masih lebih muda dari aku. Yang belakang mungkin masih sekolah, atau baru lulus.

"Lesehan aja ya, mas? Mohon dimaklum, rumah simbah jelek" kata mbah Yatmi.

"Oh iya, mbah. Nggak papa" jawabku.

Kitapun lesehan di ruang tamu. Dua paklek yang tadi dikenalkan mbah Yatmi, ikut nimbrung. Kita berbincang ringan sepertihalnya tamu dan tuan rumah.

Bude dan bulekku serta suami masing-masing, yang tadi berada di kamar, sempat keluar untuk menyapaku. Dialah anak pertama dan anak kedua mbah Yatmi. Ternyata mereka berdua sama-sama punya anak lagi yang masih balita. Dan anak-anak mereka tidak bisa ditinggal.

Rumah mbah Yatmi ini ada empat kamar. Satu kamar ditempati mbah Yatmi sendiri. Tak ada yang berani sekamar sama mbah Yatmi. Konon kata mbah Yatmi, mbah kakung suka datang menengok mbah yatmi. Jadi pada horor.

Satu kamar dipakai bapak dan bu Dian. Dua kamar lain dipakai anak nomer satu dan nomer dua. Karena sama-sama punya anak kecil.

Selebihnya ngampar di ruang tamu. Jujur, aku agak bingung, karena ruang tamu ini hampir tidak menyisakan ruang. Karena ada dua motor yang juga diparkir di ruang tamu.

Kata mbah Yatmi, tidak boleh meninggalkan motor di luar rumah, sekalipun ada yang ronda. Karena maling di sini canggih. Tapi hanya canggih soal motor, kalau soal mobil mereka oon. Begitu kata mbah Yatmi.

Mbh Yatmi sempat mengatur tempat istirahat. Keempat anak muda tadi sempat diperintah mbah Yatmi untuk tidur di rumah belakang.

Rupanya rumah ini punya ruang terpisah. Meskipun aslinya bukan rumah untuk tempat tinggal, melainkan lumbung padi. Namun karena sawah mbah kakung habis dijual, untuk biaya pengobatan beberapa anak yang sakit, maka lumbung padi itu jadinya kosong.

Sempat digunakan sebagai gudang, dapur, garasi motor. Tapi menjelang lebaran kemarin, mbah Yatmi memerintahkan bapak untuk menyulap ruangan itu menjadi kamar tidur. Sebagai cadangan kalau rumahnya tidak muat. Dan tebakan mbah Yatmi terbukti benar.

Tapi keempat anak itu tidak ada yang mau. Alasan mereka mirip dengan kalau disuruh tidur sekamar dengan mbah Yatmi. Mereka mengaku kapok berada di ruang belakang itu, karena pernah ditemui mbah kakung. Padahal mbah kakung sudah sudah meninggal.

Tadinya, kalau mereka mau, aku sekalian diikutkan di ruang belakang itu, karena sama-sama cowok. Dan dua bulekku yang sekarang di sana, ditarik untuk tidur di ruang tamu.

Karena mereka tidak mau, jadi bingung, deh. Tapi karena mbah Yatmi tidak mau mengecewakanku, akhirnya dia bertanya pada kedua anak perempuannya itu, apakah mau sekamar sama aku.

Mereka sempat tergelak. Entah apa yang membuat mereka geli. Tapi bapak meyakinkan mereka, kalau aku sampai macam-macam, maka bapak tidak segan-segan untuk menghukumku. Ambil tertawa, akhirnya mereka mengijinkanku untuk sekamar dengan mereka.

Karena sudah hampir subuh, mbah Yatmi menyarankanku untuk segera beristirahat. Kedua anak perempuannya diperintahnya untuk menunjukkan letak kamarnya. Akhirnya, kuta bertiga pamit untuk beristirahat.

Kamarnya terletak agak jauh di belakang. Tak kurang dari sepuluh meter dari rumah utama. Mereka tertawa saat aku mengomentari ketakutan anak-anak tadi. Karena ruangan bekas lumbung padi itu berdiri diantara rumpun bambu.

"Dulu, pintu lumbung itu ada dua. Satu menghadap ke sana" kata anak nomer enam mbah Yatmi.

"Ada jembatan yang menghubungkan lumbung sama sawah kita" sahut yang bontot.

"Wow" komentarku.

"Dulu sawahnya bapak luas banget, Jon. Sayangnya abis buat berobat kita" lanjutnya.

"Oh iya. Aku belum tahu nama bulek berdua. Jadi bingung mau manggilnya gimana" kataku terus terang.

"Aku Kartika" jawab si bontot.

"Aku Novita" sahut kakaknya.

"Oh. Bulek Tika sama bulek Vita" komentarku mengulang nama mereka. Mereka tersenyum.

"Oh iya, Jon. Kamu tidur di bawah nggak papa, ya? Ada kasur kok" tanya lek Vita.

"Nggak papa lek. Di pabrik juga cuman pake kardus" jawabku.

"Ya udah. Kita lihat ke dalam yuk!" Ajak lek Vita. Aku mengiyakan.

Mereka berjalan lagi mendahuluiku. Dalam keremangan lampu neon, aku bisa memperhatikan mereka dari belakang.

Kata mbah Yatmi, lek Tika ini masih sekolah, kelas tiga SMA. Walaupun sebenarnya usianya sudah delapan belas tahun lewat. Dulu sempat tinggal kelas di SD karena sakit. Dan lek Vita, sudah dua puluh satu tahun.

Sekilas tentang lek Vita, postur tubuhnya mewarisi postur mbah yatmi, kutilang darat. Tapi dengan dress terusan berbahan tipis yang dipakainya, lekuk tubuhnya tercetak cukup jelas. Sebelas-dua belas dengan postur tubuh si Shella.

Tapi ada yang aneh dengan lek Tika. Aku masih belum mengerti, bagaimana bisa dia berbeda sendiri ketimbang yang lain? Tingginya memang sepantar dengan yang lain, tapi dia menjadi yang paling montok.

Tidak perlu bertanya ukuran bh nya, sekilas lihat juga sudah ketahuan, toked yang dia punya jauh lebih besar dari kakak-kakaknya. Tanganku mungkin tidak cukup untuk menggenggamnya.

Begitu juga dengan bokongnya. Tidak perlu nungging, jalan biasa begini saja, bokongnya sudah terlihat sangat semok. Tapi pinggangnya kecil. Ah, idaman sekali bentuk tubuhnya.

Kaos ketatnya semakin mempertontonkan kemontokan tokednya. Rok lipit longgarnya saja tidak mampu menyamarkan bokong semoknya. Jadi penasaran, bagaimana rasanya mendogi lek Tika.

"Nah itu, Jon" seru pek Vita, membuyarkan khayalanku. Akupun mendongak, melihat ke arah yang dia tunjuk.

"Bapakmu naroh kasurnya di atas lemari" lanjut lek Vita.

"Oh oke" sahutku.

Akupun mengulurkan tanganku, menggapai kasur kapuk yang ada di atas lemari itu. Tak susah, kasur itu bisa aku gapai dan ku turunkan. Lek Tika mengambil sebuah gunting dan memotong tali plastik yang mengikat kasur itu.

"Nah, kita jadi hurut T nih. Kita ngadep sana, kamu ngadep sana" komentar lek Vita.

"Nggak papa, kan?" Lanjutnya.

"Justru saya yang harusnya nanya, lek. Nggak papa nih, saya numpang di kamar bulek?" Jawabku.

"Ya nggak papa. Toh mau tidur ini" sahut lek Vita.

Di sini lek Tika tertawa tanpa suara, seolah sedang meledek kakaknya. Lek Vita melotot sambil berkacak pinggang ke lek Tika. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ya udah gih, tidur! Udah capek banget keliatannya" kata pek Vita, masih ditimpali dengan tawa cekikikan oleh lek Tika. Lek Vitapun melotot lagi pada adiknya.

Buatku, keduanya sama-sama menggemaskan. Lek Vita terlihat cantik, sebelas-dua belas dengan Santi, lek Tika bikin aku gemas dengan tawa cekikikannya. Ingin aku mencubit pipinya.

"Saya mau ngerokok bentar, lek. Nggak papa, ya?" Ijinku.

"Oh, mau ngerokok? Bagi dong!" Sahut lek Vita. Aku terkejut dibuatnya.

"Ih, mbak? Kamu beneran ngerokok?" Tanya lek Tika.

"Kadang-kadang, sih. Tapi jangan bilang mamak!" Jawab lek Vita.

"Ikut dong?" Pinta lek Tika.

"Iih. Kamu ngerokok juga?" Seru pek Vita terkejut. Ku juga sama kagetnya.

"He he. Baru tiga kali" jawab lek Tika.

"Hadeeh" keluh lek Vita.

"Boleh nggak? Kalo nggak boleh, bilangin nih"

"Eh eh eh"

Lek Vita menahan tangan lek Tika. Dia panik mendapati adiknya mengancam sambil beranjak pergi.

"Oke oke. Kita ke saung aja" kata lek Vita memberikan solusi.

"Nah, gitu dong" seru lek Tika senang.

"Yuk Jon!" Ajaknya padaku.

Aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Mereka tertawa mendapatiku masih tak percaya kalau mereka berdua juga perokok.

Aku mengikuti langkah mereka keluar dari kamar ini. Mereka memutar ke belakang, mengajakku menyeberangi sungai, lalu menapaki pematang sawah. Ternyata saung yang mereka maksud ada di tengah sawah. Pantas tidak terlihat dari seberang sungai.

"Wuiih. Keren juga rokokmu, Jon" komentar lek Vita, saat aku mengeluarkan marlboro merah.

"Bagi dong, pengen nyoba!" Sahut lek Tika.

Kuambil sebatang, lalu aku berikan sisanya pada mereka berdua. Keduanya antusias mencoba rokok yang dibilang mahal oleh mereka.

"Ssssttt... Huuuuuffft"

Lek Vita begitu meresapi tarikan pertamanya. Lek Tika juga tak kalah meresapinya.

"Wah. Bahaya rokokmu, Jon" komentar lek Tika.

"Kenapa, lek?" Tanyaku bingung.

"Enak" jawabnya.

Akupun tergelak. Aku mengerti maksudnya. Dengan rasa yang dia bilang enak, dia takut ketagihan. Mungkin belum terjangkau oleh uang jajannya.

Sambil merokok, kita ngobrol tentang banyak hal. Mulai nama-nama anggota keluarga ini, sejarah mereka, sampai kesan pertama saat bertemu bapakku.

Sesekali aku keluarkan banyolan, untuk menghangatkan suasana. Ternyata banyolanku mengena ke hati mereka. Tanpa jaim mereka tertawa lepas.

Semakin banyak banyolan kukeluarkan, semakin mereka tak canggung lagi. Lek Tika sampai beberapa kali menepuk pahaku saat banyolanku terlewat lucu baginya.

Bahkan saat membanyol itu aku keluarkan godaan untuknya, dia tidak marah. Dia hanya mencubit pahaku, karena malu digoda kakaknya juga. Sekian menit berbincang, rasanya seperti sudah sekian tahun berteman.

"Lek. Balik yuk! Ngantuk aku" ajakku.

"Tidur sini aja" seru lek Tika.

"Busyet. Alamat dikerokin deh, besoknya. Anginnya kaya gini" kilahku.

"Huu dasar orang kota. Gini aja masuk angin" seru lek Tika meledek sambil meleletkan lidahnya.

"Ya harap maklum. Kerjaku di jalan, bukan di sawah. Kalo ac sih, hayu" kilahku lagi.

"Woo. Ini juga ac kali"

"Ac apaan?"

"Angin cepoi-cepoi" jawab lek Tika sambil cengengesan.

"Wah. Gaje juga lek Tika" komentarku.

Mereka tertawa mendengar komentarku. Walau masih dengan menggodaku, tapi mereka berdua menuruti keinginanku. Kita kembali ke rumah.

Sempat aku oleng saat berjalan di pematang sawah, saking ngantuknya. Untung aku di tengah-tengah. Jadi masih sempat dipegangi oleh lek Vita. Jadilah aku bahan ceng-cengan mereka. Aku biarkan saja mereka menggodaku.

"Maaf-maaf kata nih, lek. Aku ngantuk berat" kataku, sesampainya di kamar.

"Ya udah. Tidur, gih!" Jawab lek Vita sambil tergelak.

Tak peduli lek Vita duduk di tepi ranjang sambil kembali mengambil rokokku, aku langsung menggelosor di kasur bawah. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Aku langsung tak ingat apa-apa lagi.

***

Lagi enak-enaknya tidur, aku seperti merasakan sesuatu. Dalam penglihatanku, aku seperti sedang bersama mbak Sofi, mantan juraganku.

Aku merasa seperti sedang berada di dalam kantornya. Mbak Sofi mencumbuku dengan penuh birahi.

Sejenak aku merasa senang, bisa kembali dengan si montok berponi ini. Aku masih ingat bagaimana sepongannya di kontolku.

"Sssttt"

Di sini aku merasa aneh. Karena aku merasa kontolku ada yang mengemut, tapi mbak Sofi masih mencumbuku. Namun itu hanya sesaat. Cumbuan di dadaku hilang, berganti visual, mbak Sofi sedang ngelacupi kontolku. Aku kembali terbuai oleh rasa nikmat di selangkanganku.

"Hem?"

Tapi sebuah sentuhan di pundakku membuatku bingung. Bukan tangan, aku bisa merasakan kalau yang menyentuh pundakku barusan, kaki. Tak hanya satu, sepasang kaki seperti tak sengaja menginjak pelan kedua pundakku.

"Eeemmh... Sssssttt"

Rasa yang semakin nikmat ini membuat visual di mataku berputar tak karuan. Lama-lama aku seprti ditarik dari belakang, dan aku seperti terhempas di suatu tempat.

Lamat-lamat aku bisa melihat beberapa cahaya muncul dari genting yang tidak rapat. Sedikit yang aku ingat, memang terakhir, aku ijin tidur. Dan memang aku lagi di rumah istri barunya bapak.

"Sssttt"

Tapi rasa nikmat ini masih bisa kurasakan. Bagaimana bisa? Reflek aku menoleh ke bawah.

"Lek Tika?" Gumamku.

"Ssssttt!"

Dalam kondisi masih setengah sadar, aku seperti dihipnotis, saat lek Tika memberiku isyarat untuk diam.

"Aahh... Ssttt"

Aku belum mampu melogika apa yang aku lihat. Lek Tika sudah tidak memakai kaosnya. Kutangnya tampak kekecilan. Rok lipitnya juga sudah tidak dia kenakan. Hanya tinggal celana legging hitam setengah paha. Tak ada siluet sempak di baliknya. Aku masih bingung antara yang mimpi dan nyata. Aku mencoba mencubit pipiku, ternyata sakit. Berarti aku tidak mimpi.

"Lek. Kamu ngapain?" Tanyaku, sambil menjauhkan kepalanya dari kontolku.

"Hi hi hi. Kaya abg aja kamu jon, pake takut segala" komentar lek Tika.

Dia menarik lembut tanganku dari kepalanya. Dan dia kembali mendekatkan kepalanya pada kontolku.

"Lek, jangan! Udah pagi. Kalo lek Vita tahu, bisa ngamuk, dia" cegahku. Kugunakan nama kakaknya untuk menahannya.

"Tuh. Orangnya di situ" jawab lek Tika, sambil menuntuk ke atas kepalaku. Kontan aku mendongak.

"Astaga, lek?"

Aku terkejut bukan main. Sampai terduduk dan bergeser ke samping. Di tepi ranjang, lek Vita sedang mengangkang, dengan telapak kakinya berpijak pada pinggiran ranjang. Dress terusannya sudah tersingkap sampai ke pinggang. Dan dia sedang mengucek memeknya.

"Lek. Kalian ngapain, sih?" Tanyaku heboh.

"Udahlah Jon. Nggak usah munafik gitu! Cowok mana sih yang nolak bawuk gratis?" Sahut lek Tika.

"Tuh liat! Bawuknya mbak Vita udah becek gitu. Sange dia liat kontolmu, Jon" lanjut lek Vita.

"Bukan masalah munafiknya, lek. Ini kita di belakang rumah. Kalo ketahuan yang lain, bisa geger, lek" jawabku.

"Tenang aja, Jon! Semuanya lagi ke tetangga, lalu mau lanjut ke makam. Cuman kita yang ada di rumah" kata lek Tika. Aku tertegun mendengarnya.

"Lek. Maaf-maaf kata nih, aku keluarga baru di sini. Aku harus hormat sama kalian"

"Ha ha ha... Banyak omong kamu Jon" komentar lek Tika.
Dia menghampiriku dan mendorongku kembali rebahan di kasur.

"Itu mbak, udah ngaceng. Pake dulu kontolnya!" Perintah lek Tika, sambil menarik branya ke atas. Dan lepaslah sudah toket montoknya dari penyangganya.

"Sssttt... Uuuh"

Aku mendongak mendengar suara desaham di atasku. Lek Vita, mulai menurunkan kakinya. Kali ini kakinya ada di sebelah kepalaku. Vagina yang telah basah itu tampak memerah. Jembutnya telah dicukur habis. Membuat vagina itu unyu-unyu.

Entah apa yang dipikirkan lek Vita, dia malah hanya berdiri mematung.

"Mbak?" Tegur lek Tika.

"Minggir bentar, Tik!" Pinta lek Vita.

Lek Tika menegakkan badannya, namun masih dengan menduduki selangkanganku. Terasa sekali kontolku terhimpit selangkangannya.

Lek Vita menurunkan badannya perlahan. Membuat selangkangan botak itu perlahan mendekati wajahku.

"Aku pengen goseri memekku dulu, Tik" rengeknya.

"Eum"

"Aaah"

Lenguhnya hampir bersamaan dengan lenguhku yang tertahan selangkangannya. Aku tak percaya, aku diperkosa ama perempuan.

"Ah ah ah ah ah"

Lek Vita melenguh-lenguh saat menggoserkan memeknya di wajahku. Awalnya aku hanya pasif, karena gerakan lek Tika serampangan.

"Emh. Aww"

Kepalang tanggung. Aku pegang saja bokongnya, lalu aku arahkan untuk menggoserkan memeknya di bibirku. Di situ sudah aku siapkan lidahku. Aku tak tahu dia bertumpu pada apa, tapi kini dia lebih fokus mengarahkan celah vaginanya ke lidahku.

"Aduh aduh aduh aduh tika tika tika"

"Lepasin aja, mbak! Pasti Joni udah pernah diompolin cewek"

"Aduh aduh aduh tik, aku ngompol tik. Aaaaaa"

Seeerrr

"Aaaaa"

Serrrr

"Tikaaaaa"

Tubuh lek Vita bergetar dan menegang. Aku biarkan saja dia menduduki mulutku, menikmati orgasmenya. Sampai beberapa saat lamanya lek Vita tidak bergerak. Baru setelah orgasmenya mereda, dia turun dari mulutku.
 
weeeh... updatenya mantepe pol
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd