Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kama Bidai

2.1-(bukan) Karena Cinta

'Ya Tuhan! Kenapa bisa sampai begini? Aku tak merencanakan akan sejauh ini.' aku terus membatin dalam penyesalan. Meski begitu aku juga sangat sadar, aku juga menikmati apa yang kini sedang terjadi.

Aku bodoh. Dari awal aku tahu hal ini kemungkinan besar akan terjadi. Aku terlalu percaya diri, bahwa aku pasti bisa menghentikan sebelum terlampau jauh.

'Belum terlambat!' nuraniku berteriak. 'Aku masih bisa menghentikan ini!'

Aku tahu itu, tapi tubuhku berkata lain. Alih-alih malah menikmati semuanya.

"Uuhhh," aku tak mampu menahan lenguhan.

"U-udah, Git," akhirnya aku meminta kegilaan ini dihentikan. Tapi itu hanya kata-kata di bibir saja, tanpa usaha untuk benar-benar menghentikan.

Masih berbaring di atas sofa dengan kedua kaki menjuntai, aku memandangi pemuda yang berlutut di dekatku ini. Aku hanya kuasa menyaksikan tatkala lidah, bibir, dan mulutnya bermain dengan payudaraku, sedang jemarinya berputar di putingku yang bebas.

Sigit, oh Sigit. Betapa hubungan kita meloncat begitu jauh. Belumlah berselang satu bulan sejak aku menerimamu sebagai kekasih, namun kini kita sudah berani melampaui batas.

'Bukan yang pertama bukan?' batinku mengingatkan.

Ya. Memang bukan yang pertama. Aku belum lupa, mirip seperti inilah aku mengawali hubungan kekasih dengan Zyan.

Zyan dan Sigit. Mengapa kedua hubungan cintaku selalu di warnai birahi seperti ini? Apa memamg seperti ini yang seharusnya? Apa pasangan lain pun sama.

Tidak. Ini salah. Bukan seperti ini yang diajarkan padaku.

Tiba-tiba Sigit menghentikan aksinya dan aku tersentak saat siksaan geli nan nikmat yang menghantamku menghilang. Seketika kelegaan menghampiri, berseteru dengan rasa kosong yang berharap kenikmatan itu terus kurasakan.

Sigit tersenyum, sedang aku hanya mampu memandang wajahnya. Cowokku ini kemudian mengulurkan tangan dan aku menerima dia yang membantuku kembali duduk.

'Sudah selesaikah?' aku kembali membatin. Sembari bertanya, ingatanku mengawan pada awal semua ini.

***​

Uhuy. Sebentar lagi semester genal tahun ajaran pertamaku akan dimulai. Aku boleh dong berbangga diri. Aku berhasil melewati enam bulanku sebagai mahasiswi baru dengan nilai yang cukup baik.

Bukan cuma itu yang membuatku senang. Dalam hitungan bulan, hari kelahiranku semakin dekat. Itu artinya, aku Alexandria akan berusia 18 tahun. Aku bukan lagi gadis ingusan, semakin mematang diri menjadi seorang wanita.

Sayang, kebahagianku terasa tak lengkap. Semua gara-gara satu nama, Zyan.

Jengkel nan kesal. Itulah yang kurasakan memikirkan pacarku itu. Aku terus berpikir dia semakin jauh dan terus menjauh, merenggangkan hubungan kami.

Sebenarnya aku sudah merasakan ini sejak lama. Bahkan sebelum kami sama-sama berhasil lulus SMU. Tapi aku pribadi terus berusaha berpikir positif.

'Zyan. Kamu di mana? Kenapa susah sekali menghubungi kamu? Kenapa susah sekali ketemu kamu? Apa kamu nggak tau aku kangen banget sama kamu?' Pikiranku terus bertanya-tanya. Lebih-lebih, aku ingin tahu, sebenarnya kami ini masih pacaran atau tidak.

Selama berbulan-bulan, aku dengan cuek memendam semua itu, tapi aku tak bisa lagi. Alu butuh Zyan untuk membantu menyelesaikan apa yang sedang kuhadapi.

Sejak masa SMP, aku memang aktif di Pramuka. Bahkan kian aktif jelang kelulusan hingga sekarang. Satu hal yang kuakui cukup membantu agar aku tak terlalu memusingkan Zyan.

'Terserah dia lah kalo mau ilang-ilangan,' pikirku. Aku juga ga mau pusing mikirin apa kami masih pacaran atau tidak.

Tapi kini aku butuh kepastian itu. Apakah kami masih keep going atau aku harus move on. Aku butuh kepastian itu untuk menjawab permintaan Sigit.

Sigit bisa dibilang merupakan teman masa kecilku. Selain kami satu SD, dia juga tetanggaku, beda beberapa gang. Dulu, kami kerap main bersama. Namun sempat tak ketemu saat masuk di SMP yang berbeda.

Siapa yang sangka, coba. Ternyata Sigit pun aktif di Pramuka dan kami akan bertemu di acara pelantikan Penegak yang kuikuti.

Singkat kisah, kami pun kembali akrab. Sigit mulai kerap main ke rumah. Tak jarang dia menjemputku di sekolah sebelum kami pulang bersama, meski kami beda sekolah.

Usai kelulusan, Sigit memang belum pernah menjemputku di kampus, tapi dia masih sering ke rumah. Memang sih, biasanya bersama salah seorang kawan. Kami juga kerap pergi bersama di tiap kegiatan Pramuka.

Dan hari itupun tiba. Hari yang sama sekali kuduga-duga. Saat itu, kami baru selesai mengikuti salah satu kegiatan, Sigit lalu mengajakku jalan-jalan sejenak di Taman Kota sebelum pulang. Tanpa curiga, aku sih setuju-setuju saja. Siapa sangka ternyata di sana dia memintaku menjadi pacarnya.

Sigit memang tidak tahu aku sudah memiliki Zyan. Entah kenapa aku tidak memberitahu dia, saat itu. Dengan mudah menolak cintanya. Justru aku meminta waktu untuk memikirkannya.

***​

Tubuhku bergetar pelan. Jantungku kian berpacu. Aku pun mulai merasakan takut yang sejatinya sudah muncul tatkala aku dan Sigit mulai bercumbu.

Saat membantuku duduk, tadinya aku pikir kami sudah selesai. Malu-malu, aku pun berusaha menurunkan kaus dan BH-lu yang terangkat di atas dada, berusaha menutupi busungan payudaraku yang baru saja Sigit nikmati. Namun dia menghentikanku. Alih-alih dia justru berusaha melepaskannya dan aku justru membiarkan dia.

'Bodoh! Hentikan dia!' nuraniku berteriak.

'Kenapa? Dia sudah melihat semua, apa bedanya kalau dia melepaskannya. Sama saja kan?' bantah sisi lain pikiranku.

Pemenangnya jelas. Separuh bugil, aku hanya berusaha menutupi payudaraku dengan tangan, malu-malu.

Takut. Takutku semakin muncul. Aku tidak tahu apa yang akan Sigit lakukan, tapi jelas aku tak berpikir dia akan ikut melepas kausnya. Sedang aku hanya terus melihat dia. Mataku baru terpalingkan saat celana pendek yang dia kenakan melayang entah kemana. Pun begitu, aku tak kuasa untuk melirik.

Oh My God. Aku bisa melihatnya. Tonjolan keras dari balik CD Sigit. Hal pertama yang terpikirkan olehku, siang ini aku akan kehilangan keperawananku.
 
2.2-(bukan) Karena Cinta

"Aahhh... Hahhh... Ouhhh... Geli, Git."

Sigit tak memperdulikanku. Masih menindihku, dia terus menyerang kedua payudaraku menggunakan lidah, mulut, serta jemarinya. Aku sendiri hanya kuasa bergelinjang dan menyentak. Meremas rambut dan punggung dia yang memang bertelanjang dada.

Sepertinya aku tak perlu menjelaskan lagi, tapi tidak mengapa lah. Memang dalam kegalauanku tentang Zyan, aku mengambil keputusan bahwa hubungan kami berakhir dan akhirnya menerima Sigit menjadi kekasih baruku.

'It's quite a record,' pikirku. Dua tahun, dua pacar berbeda. (Hee)

Menyambung cerita sebelumnya yang kutahu kalian penasaran apakah Sigit berhasil memerawaniku. Jawabannya... Tidak. Sekali lagi, seperti bersama Zyan, ketakutanku menang. Di sisa hari, sebelum Sigit pamit pulang, kami hanya bercumbu panas. Hanya itu saja.

Satu hal bisa diduga dari kejadian sebelumnya, gaya pacaranku dan Sigit kerap diwarnai oleh birahi. Seperti yang terjadi usai maghrib ini, di kamar Sigit.

Menepati janji, sore itu (aku lupa hari apa) aku datang ke rumah Sigit. Dia memang memintaku sejak beberapa hari sebelumnya.

Aku tak kesulitan meminta ijin ortu, mereka tahu aku akran dengan Sigit. Walau mereka tahunya kami hanya temanan. Syaratnya cuma satu, pulang sebelum jam 9 malam.

Awal aku tak tahu Sigit cuma sendiri, ternyata ortunya keluar kota. Hanya berdua saja, aku sudah bisa duga kemana arahnya. Betul saja, obrolan dan canda pun berganti cumbuan. Tahu-tahu aku dan Sigit sudah bergumul di kasur pacarku. Aku hanya menyisakan CD, dia sudah full bugil.

"Ria," Sigit memanggil namaku. "Mau nggak..."

"Jangan, Git. Aku belum berani," jawabku buru-buru memotong pertanyaannya.

Sigit tersenyum. Dia mengatakan kalau itu dia sudah tahu dan bersedia menunggu sampai kapanpun.

Trus? Kalau bukan keperawananku, apa yang pacarku ini inginkan?

"Pegang kontolku," mohon Sigit.

Wait! What?!

Refleks aku melihat ke bawah, pada batang keras yang tengah menempel di kemaluanku.

Bagi yang melihat sekilas, pasti langsung menduga Sigit sudah memasuki aku. Aku cukup yakin itu besar kemungkinan terjadu andai aku tak mempertahankan CD tipisku.

Banyangkan, aku berbaring terlentang di kasur. Kedua payudaraku berkilat karena liur pacarku, memerah oleh cupangan dan remasannya. Di bawa, selangkanganku membuka lebar dan Sigit ada di antara kangkanganmu, merapatkan, dan saling menggesekkan kemaluan kami.

Jengah. Itu yang kurasakan. Meski bolak-balik melihat kontol Sigit, aku masih saja jengah, dan dia minta aku memegang benda itu?!

Sigit tak menunggu jawaban, dia bergeser ke sampingku, berbaring miring. Kembali menyerang bibirku. Bersamaan tangannya menarik tanganku dan perlahan mengarahkan. Sedikit gemetar, benda itupun berada dalam genggamanku.

Hangat, itulah yang pertama kurasa, dan tentu saja keras. Aku juga bisa merasakan tonjolan-tonjolan urat besar yang menghias permukaan kontol Sigit.

Kami pun terus bercumbu dengan aku meremas kontol kekasihku. Sejak aku melakukannya, aku jadi harus sering berusaha agar tangan Sigit tak ikut-ikutan menyentuk kemaluanku.

Breast only, aku masih ingin menjaga prinsip itu.

"Ri," ujar Sigit di sela serangannya ke payudaraku. "Dielus sayang. Dikocokin."

Oke. Aku bisa menuruti itu. Percumbuan pun berlanjut hingga aku terpaksa harus pamit pulang.

Sepanjang jalan aku jadi berpikir. Malam ini aku dan Sigit sudah melewati satu batasan lagi dan aku kembali takut batasan-batasan lainnya akan gugur satu persatu.

Namun bukan cuma itu yang menggangguku dan malam itu, di atas ranjang, aku menatap layar BB. Kuabaikan semua pesan dari Sigit. Sebagai ganti, aku justru hanya membaca satu pesan yang belum terbalas, 'Apa kabar?'

Dariku untuk Zyan.
 
2.3-(bukan) Karena Cinta

Masih berlutut, aku tersenyum malihat ekspresi Sigit, yang duduk di sofa, di depanku. Hanya sesaat saja, karena senyumku menghilang dengan cepat.

Selalu begitu. Sesaat aku senang dan bangga karena bisa memberi pacarku kenikmatan, namun detik berikutnya aku merasa bersalah.

Hari itu sepulang kuliah, aku langsung mampir ke rumah Sigit karena kudengar dia sedang sakit, dan tiba di sana selepas maghrib. Well. Ternyata sedikit flu, itupun sudah jauh membaik. Akhirnya niatku menjenguk malah berujung pada... Ya tahu sendirilah.

Buru-buru aku mengubah ekspresi, tak mau Sigit tahu perasaanku sebenarnya. Tanpa repot-repot mengaitkan kembali BH dan mengancingkan kembali kemeja. Tanganku bergerak lagi, meremas, memijit, dan mengocok kontol pacarku, yang telah licin oleh liurku.

"Isep lagi sayang."

Aku memaksakan senyum, mendengar permintaan itu. Sesuai yang Sigit mau, kepalaku menunduk, dan menit berikutnya sibuk mengoral kontol pacarku.

Hari itu aku telat pulang kuliah. Tak masalah, ortuku tak marah mendengar aku mampir menjenguk Sigit. Walau sampai saat itu keduanya tak tahu hubungan kami.

Tiba di rumah, aku langsung bersihkan diri. Memastikan tak ada sisa sperma Sigit yang mungkin masih menempel di dadaku.

Malam itu aku kesulitan untuk tidur, yang sepertinya kualami tiap selesai bertemu Sigit. Apalagi jika pertemuan kami dibumbui erotisme-erotisme. Aku jadi banyak memikirkan hal ini. Bagaimana (sesuai dugaan) kami terus melanggar batasan yang ada.

FYI, aku masih mempertahankan keperawanan. Setidaknya kupikir aku masih perawan. Itupun kalau yang dibilang keperawanan adalah selaput dara.

Ya. Sampai saat ini kontol Sigit belum pernah memasukiku, walau dia akhir-akhir ini kerap berusaha melakukannya. Tapi sampai kapan? Jika ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan aku akan luluh.

Lihat faktanya. Aku luluh saat dia menembakku, luluh saat dia meminta ijin mencium dan di hari yang sama menelanjangiku. Aku luluh saat dia mohon untuk 'disentuh', luluh untuk memberi sepongan, dan terakhir luluh untuk memuaskan dia dengan belahan payudaraku.

Bukan hanya itu. Sigit dengan bebas bisa sepenuhnya menelanjangiku, kini. Bahkan memek dan vaginaku tak lagi lolos dari sentuhan jemarinya.

Itulah yang membuatku meragukan, apa aku benar perawan? Kontol Sigit memang belum pernah masuk, tapi jemarinya sudah puas mengobok-obokku. Parahnya, aku sangat menikmati itu.

Akupun terus memikirkan itu dan terus merasa bersalah. Pada diriku dan pada Sigit.

Aku bilang rasa bersalah ya, bukan rasa berdosa. Aku tak akan berbicara tentang dosa. Rasanya picik ngomongin dosa saat aku kerap melakukannya.

Lalu, kenapa aku merasa bersalah? Sederhana saja, aku tidak mencintai Sigit. Aku memang menerima dia sebagai pacar, tapi lebih karena kejengkelanku pada Zyan. Balas dendam pada cowok itu karena menghilang. Menunjukkan kalau aku bisa move on.

Tapi aku tak bisa dibilang move on karena tiap bersama Sigit, aku memikirkan dan membayangkan Zyan.

Saat Sigit mencium, aku berharap Zyan yang melakukannya. Setiap pacarku 'nakalin', aku berharap itu Zyan.

Begitupun aaat aku melihat, menyentuh, dan mengoral Sigit. Aku kerap bertanya-tanya, bagaimana rupa kontol Zyan? Apa rasanya menghisapnya? Apa rasa spermanya? Dan terpenting, aku ingin Zyan yang pertama memasukiku.
 
2.4-(bukan) Karena Cinta

"Hemmpphhh..."

Untuk pertama kalinya sejak awal bercumbu dengan Sigit, aku merasa kewalahan mengimbangi pacarku. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi dia sore ini begitu bernafsu, buas, dan kasar.

Aku tidak menyukainya. Sangat tidak suka. Tapi seperti biasa, aku tidak berani jujur, hanya pasrah saat Sigit mempereteli kancing-kancing kemejaku dan mengangkat BH-ku ke atas, lalu sibuk bernakal ria padaku.

Kewalahan, aku sangat kewalahan. Tidak hanya aku harus menghadapi 'serangan' penuh birahi Sigit di tubuh, aku juga harus bolak-balik mempertahankan CD-ku dari usaha dia melepaskannya.

Sejak terakhir mengoral dan memberi Sigit (tits job), aku berjanji pada diriku, bahwa aku tak akan lagi mengumbar yang satu itu pada pria manapun. Setidaknya hingga kami sah sebagai suami istri.

Sayang, janji tinggal janji. Aku tak berdaya melawan nafsu dan tenaga Sigit. Dengan paksaan, CD-ku pun tanggal. Aku sama tak berdayanya ketika dia mengangkat rokku, menindihku, membuatku mengangkang, dan menggesekkan kontolnya di memekku.

Buas dan kasar. Walau begitu aku tetap menikmati rangsangan Sigit. Pundak dan dadaku diwarnai oleh cupangan itu. Di bawah sana, memekku terasa semakin basah oleh gesekkan kontol pacarku.
Aku kewalahan. Sangat kewalahan. Terutama di bawah sana. Kewalahan agar kontol Sigit tidak menembusku, yang memang berusaha dilakukannya berkali-kali. Hingga...

"Aahhh..." aku menjerit. Dalam satu usaha, Sigit berhasil melemahkan pertahananku dan aku bisa merasakan kontolnya masuk.

Tidak! Aku tidak mau. Tidak sekarang. Tidak seperti ini. Akupun memberontak.

"Ja-jangan, Git. Ca-cabut."

Sigit tidak mengacuhkanku bahkan semakin kuat mendorong kontolnya. Aku tambah panik dan memberontak, berusaha mendorong dia. Namun dia memegangi tanganku dan menahan di atas kepalaku.

Aku terus berusaha melepaskan diri dan berteriak agar dilepaskan, berharap ada yang mendengar teriakanku. Tapi sia-sia, kami hanya berdua di rumah Sigit dan aku tak yakin teriakanku aka terdengar hingga luar rumah.

Dalam ketidakberdaaan, aku mulai menangis. Saat itulah Sigit terlihat tak tega melihatku dan pertahanannya melemah. Aku melihat kesempatan. Tanpa pikir panjang, aku menekuk kaki, kusasar dada pacarku itu, dan menendang/mendorong sekuat-kuatnya.

Berhasil! Kontol Sigit terlepas dari memekku sebelum berhasil masuk lebih jauh. Dia pun terdorong dari ranjang hingga berdiri. Tak mau dia kembali menyerang, aku cepat-cepat bangkit dan... Plak! Mendaratkan tamparan di wajahnya.

Aku tak mau menunggu reaksinya, tak mau mendengar apapun yang mungkin dia katakan. Segera aku keluar kamar. Masih menangis keluar dari rumah itu sembari merapikan pakaian. Langsung pulang, meninggalkan hanya CD yang entah di mana.

Malam itu aku tertidur dengan air mata, setelah menangis berjam-jam menyesali semua. Tapi setidaknya satu hal sudah jelas, hubunganku dan Sigit berakhir.
 
Penutup

Aku menghentikan ketikan dan mendesah panjang. Hingga saat ini, aku selalu merasa bersalah setiap kali mengingat kejadian itu. Karena kebodohanku, nyaris saja aku menyalami pemerkosaan dan kehilangan kehormatan. Itupun kalau aku masih bisa dibilang kehormatan setelah semua yang telah terjadi.

Selama bertahun-tahun lamanya, aku terus memikirkan itu. Aku terus berpikir, apa aku masih perawan? Bagaimana juga kontol Sigit sempat memasukiku. Tentu aku tidak merasakan selaput daraku sobek, tapi tetap saja. Kontol seorang lelaki telah memasukiku.

Pertanyaan itu terus menghantuiku dan tak ayal mengubahku, membuatku jadi menghindari kedekatan dengan lelaki manapun. Aku takut jika membuka hati, kejadian yang sama akan terulang.

Sejenak, aku kembali membaca hasil karyaku yang mengingatkan bahwa inilah pertama kalinya aku menceritakan apa yang terjadi. Selama ini aku selalu merahasiakannya, bahkan pada Zyan.

Akupun meragu. Haruskah kupublikasikan cerita ini? Apa yang akan terjadi saat Zyan membacanya? Akankah dia marah, memandangku hina dan kotor? Akankah dia meninggalkanku?

Cukup lama aku berpikir, hingga bel di rumahku berbunyi. Zyan sudah pulang. Sejenak aku menarik nafas panjang, menguatkan diriku. Malam ini kuputuskan, takkan ada lagi rahasia di antara kami. Meletakkan si bontot yang telah pulas, akupun bergegas ke depan untuk menyambut suamiku.

***​


(Koleksi pribadi)

Aku memeluk Zyan, mencium lembut lehernya, membuat suamiku menyentak kecil. Kutatap wajahnya lalu membalas senyumannya, meski mataku mungkin masih memerah dengan sisa-sisa air mata.

Lega rasanya. Usai pergumulan kami, akhirnya aku berani menceritakan tentang Sigit. Aku semakin lega dengan penerimaan dia, dengan segala kata-kata manisnya yang menyejukkan hatiku.

Zyan bergeser untuk duduk. Aku mengikuti gerakan dan bimbingannya agar aku duduk di pangkuannya. Kuatur posisiku agar kontol suamiku, yang masih perkasa walau telah memancarkan benih-benih cinta mengisi rahimku, tepat terjepit belahan memekku.

"Giliran Ayah jujur," ujarnya serius.

Dan aku dengan berdebar-debar menanti apa yang akan dia ceritakan.
 
:kretek:
What ever keadaannya..
Ane salut Ama ente @Mbahghepenk ..
Udah mau menyumbang Tulisan di Forum.
Menghibur kami yang suka membaca **...

**-ga usah dijelasin yak.pokoknya kami gemar membaca.

Terima kasih untuk tiap update an..
Izin lanjut membaca dan menunggu kelanjutan updatenya ya Mbah..
Sehat dan bahagia selalu
:ampun::ampun::ampun:
 
3.1-[bukan] Karena Cinta

Aku tak mampu menahan senyum melihat bagaimana Andi tampak kewalahan. Jelas sekali dia berusaha mati-matian agar tidak bersuara, yang tentunya sangat sulit.

"Belum selesai, Mas? Cepetan. Nanti kita ketauan."

Aku masih tersenyum. Andi tak perlu mengingatkan apa yang akan kami alami jika ada yang memergoki. Dia mah enak sudah mendapat apa yang kami kejar. Lah aku? Sulit bagiku untuk cepat selesai dengan posisi ini. Tapi dia benar, aku harus berusaha menuntaskan.

"Loh kok berenti?" tanya Andi. "Mas udah selesai?"

"Belum," jawabku singkat.

"Trus?"

Aku tak menjawab. Alih-alih hanya tersenyum sambil mengulurkan tangan, yang semakin membingungkan Andi. Toh dia tetap menyambut dan mengikutiku menuju tangga. Setelahnya, akupun meminta dia memunggungiku sambil berpegangan pada pagar tangga, yang menghubungkan lantai 2 dengan lantai bawah, di rumah keluarga besar kami, dimana kami berada saat ini.

Andi tersenyum sebelum mematuhi. Dia paham apa yang kuinginkan. Sebagai tambahan, di sini kami bisa memantau jika ada yang naik ke atas.

Bocah. Itulah kesan pertamaku saat dia mengulurkan tangan dan menyebut namanya dengan sikap cuek namun menatapku curiga.

Andika Triana. Kami memanggilnya Andi. Gadis bondol nan tomboy, yang adalah adik ke-2 Alex, memang cuma bocah, cuma ABG kelas 3 SMP.

Kemudian aku dan Alex berpisah bertahun-tahun. Sama seperti saat aku kembali bertemu Alex setelah sekian lama, akupun terpesona ketika kembali bertemu Andi.

Bocah SMP yang dulu kukenal sudah tak ada lagi. Gadis tomboy itu kini menjelma menjadi mahasiswi menawan nan seksi. Pun begitu, aku tidak punya pikiran macam-macam. Bagaimana juga Andi adalah adik Alex, kekasihku.

Tapi lain dulu, lain sekarang. Sosok menawan yang adalah adik iparku ini, kini tengah membelakangiku dengan bagian bawah gamisnya terangkat hingga pinggang, memamerkan pantat montok tak bercelana dalam, yang sedikit terangkat. Akupun bisa melihat memeknya yang merona dan berkilat licin menantiku.

Aku yang tak mau berlama-lama maju menerima tantangan Andi. Dengan satu sodokan yang membuat iparku ini mendesah, kontolku pun kembali terbenam dalam vaginanya, dan aku kembali memompa.

Sungguh, selama nyaris sejam ini, senyum enggan menghilang dari wajahku. Apalagi untuk kedua kalinya, aku berhasil membawa Andi ke puncak. Andai dalam situasi berbeda, aku pasti akan berlama-lama. Sayang waktu tidak berpihak pada kami. Jadi aku pun berancang-ancang untuk meraih klimaksku sendiri.

Plak!!! Plak!!! Plak!!! Aku terus memompa cepat. Aku tahu suara selangkanganku menampar yang pantat Andi mungkin terdengar sampai ke bawah. Tapi aku tak bisa menahan diri. Desakan dari bawa perutlu kian tak tertahankan. Akupun berbisik pada Andi, memperingatkan.

"Ja-jangan di dalem Mas. Aku lagi nggak pil."

Nah loh? Terus di luar gitu? Masa bodo ah. Yang penting keluar.

Tak lama, aku semakin tak tahan. Andi kembali mengingatkan. Walau berat hati, akupun cepat-cepat mencabut kontolku. Tadinya sih aku berniat melepaskannya sembarang saja, yang penting tidak mengotori Andi. Tidak meninggalkan jejak padanya. Tapi iparku melakukan sesuatu yang tidak kuduga.

Andi berbalik menghadapku, lalu berlutut. Sigap, tangannya sigap meraih kontolku,mulai mengocok cepat, membuka mulut, dan menjulurkan lidah. Akupun mengerang, semakin tak kuat menahan desakan orgasme. Dan detik berikutnya, aku kembali mengerang saat kontolku memuntahkan sperma, ke mulut dan mengotori wajah cantik Andi.


(twit**ter)

***​


"Terus? Abis itu?"

Aku menatap wajah Alex, berusaha menebak pikiran dan perasaan istriku usai mendengar cerita perselingkuhanku bersama adiknya, namun ekspresi dia tampak datar-datar saja. Entahlah, aku tak berani menduga apapun.

Aku kemudian kembali mengingat bagaimana setelah itu Andi melahap kontolku dengan erotis, menampung sisa spermaku yang masih memancar, dan menelannya tanpa rasa jijik.

"Itu kapan kejadiannya?" Alex kembali bertanya. Aku menjawab, saat itu lebaran, saat anak sulung kami berusia 4 tahunan.

"Apa itu sekali-kalinya? Apa setelahnya Ayah pernah ngentot Andi lagi?"

Aku mengangguk. Itu memang yang pertama dan sekali-kalinya, walau jujur aku berharap bisa melakukannya lagi. Alex tiba-tiba tertawa, membuatku bingung apa yang dia pikirkan.

"Ayah pengen ya? Ngentot sama Andi lagi."
Ups. Jadi itu rupanya. Alex dengan tepat membaca jalan pikiranku.

"Tuh. Adeknya kedutan. Ayah pasti lagi ngebayangin ngentot Andi."

Aku tertawa kecil dengan godaan Alex. Namun aku tetap khawatir. Walau dia menggodaku, bukan berarti dia tidak marah. Yang paling kukhawatirkan adalah pengakuanku ini akan menghancurkan hubungan kakak beradik ini. Maka akupun menanyakan itu.

"Sebelum Bunda jawab. Boleh tau nggak kapan awal mulanya? Alex balik bertanya.

Sejenak aku terdiam, berusaha menyusun alur cerita hingga aku dan Andi melakukan perselingkuhan itu.

Panggil aku Mbah Ghepenk dan ini adalah kisahku.
 
Meski agak puyeng diajak muter2...bs nikmati jg story_nya
Trims yahhh...... ;) Mbah
:semangat:
Hehehe. Maaf kalo puyeng. Memang sih timelinenya maju-mundur. Kalo ikutin alur sih harusnya kisah yang duluan nongol gimana Alex dan Mbah balikan, trus seks pertama kami.

Cuma karena subjudulnya '[bukan] karena cinta', jadi mbah ngedepanin kisah yang memang landasannya cuma nafsu duluan.

Sekalian mbah minta maaf. Berhubung yang nulis kabidai beberapa orang, termasuk mbah dan istri, gaya berceritanya jadi ga konsisten. Mbah sendiri paling cuma edit urusan ejaan aja.
 
Remake aja mbah, bikin cerita baru dg update yg panjang tiap updatenya minimal 3000 kata lah šŸ˜

Terus dibuat lebih simple & ga muter2. Karyanya sudah sangat mantap šŸ‘
Ini juga bisa dibilang rewrite. Soalnya draft sebelumnya yang sempet dibuat ilang bersama demgan hape2nya. Tapi ide yang menarik. Mbah emang niat bikin ulang, ngerapiin timeline dsbnya. Baiklah mbah pertimbangkan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd