Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Part 5: Kenalan Baru

Saat rangkaian acara demi acara silih berganti mengisi Entrepreneurship Day di dalam gedung pertemuan, seorang perempuan cantik terlihat memarkirkan mobil MPV berwarna hitam miliknya di lahan parkir yang berdekatan dengan gedung yang menjadi lokasi dilangsungkannya acara tersebut. Setelah mobil terparkir sempurna, ia pun langsung mengirimkan pesan kepada seseorang, memberitahukan bahwa dirinya telah sampai.

Tak lama kemudian, seorang pria mendekati mobil yang dikendarai perempuan tersebut dan mengetuk kacanya. Sang perempuan tersenyum melihat kedatangan sang pria dan langsung membuka pintu mobil.

“Semua makanannya sudah datang kan, Mas?” tanya sang perempuan sambil memeluk tubuh pria yang ternyata adalah suaminya.

“Sudah kok. Semuanya aman. Tadi aku cek di meja buffet sudah disiapkan semuanya,” ujar sang pria sambil memeriksa jam tangannya. “Setengah jam lagi baru waktu makan siang.”

“Untung saja aku nggak terlambat. Yuk kita masuk, Mas,” ujar perempuan tersebut sambil menggandeng tangan suaminya menuju gedung pertemuan.

MEF83KF_t.png


Perempuan tersebut adalah Laras Kinanti, yang baru saja dijemput oleh suaminya Sofyan Pratama. Sebagai penanggung jawab bagian konsumsi, Laras memang telah mengirim makanan yang diperlukan untuk acara tersebut secara bertahap sejak pagi. Mulai dari snack untuk para pembicara, hingga makanan besar untuk santapan makan siang.

Karena itu, Laras hanya perlu datang di siang hari, untuk memastikan bahwa sesi makan siang bisa berjalan dengan lancar. Dan yang tidak kalah penting, ia akan dengan senang hati menjawab apabila ada pengunjung yang merasa bahwa makanan yang disajikan memang enak, dan ingin memesannya untuk acara lain. Perempuan tersebut bahkan tidak lupa membawa berlembar-lembar flyer yang akan ia letakkan di dekat meja prasmanan.

“Ehh… Pak Sofyan. Lagi sama siapa nih? Gandengannya kenceng bener,” tiba-tiba terdengar suara dari seorang pria yang nampaknya baru saja keluar dari gedung pertemuan. Pria tersebut pun langsung menghampiri mereka berdua.

Sofyan mendengus dengan wajah masam, dia terlihat tidak terlalu bersemangat menyambut pria tersebut. Mau tidak mau, pria itu akhirnya menyunggingkan senyum dengan terpaksa di bibirnya. “Eh, Pak Sunaryo. Kenalkan ini istri saya, Laras.”

“Halo, Laras. Saya Sunaryo. Saya biasanya dipanggil Pak Yo kalau di kampus…” ujar pria tua itu sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman, yang langsung disambut oleh sang perempuan cantik berusia 27 tahun tersebut. Dengan begitu, Pak Yo pun bisa merasakan betapa halusnya kulit dari Laras yang memang selalu dirawat dengan baik.

“Pak Yo ini dekan Fakultas Ekonomi di kampus, Sayang,” jelas Sofyan.

“Oh begitu. Mohon bimbingannya untuk suami saya ya, Pak Dekan. Suami saya kan dosen di fakultas yang bapak pimpin,” Laras mencoba berbasa-basi sesopan mungkin, “Secara hirarki bapak bisa dibilang atasan suami saya, ya?”

“Hahaha, mungkin bisa dibilang begitu, meski saya tidak pernah menganggap dosen-dosen saya itu bawahan, kami teman kerja saja. Hahaha, ” ujar Pak Yo sambil terkekeh riang, “Baru kali ini saya bertemu dengan istri Pak Sofyan. Ternyata cantik sekali ya, pantas jarang dibawa ke kampus, mungkin takut direbut orang ya? Hahahaha.”

“Pak Yo ini bisa saja,” ujar Sofyan menjawab pertanyaan yang sebenarnya sedikit kurang ajar itu. Ini dekan kok pertanyaannya seperti tidak teredukasi dengan baik.

“Lalu ada urusan apa Dik Laras hari ini ke kampus?” Entah dapat ide dari mana, Pak Yo tiba-tiba memanggil Laras dengan sebutan dik secara berani, bukan dengan nama suaminya seperti bu Sofyan misalnya, layaknya kebanyakan orang.

“Kebetulan saya diminta mengurus konsumsi untuk acara Entrepreneurship Day hari ini, Pak,” jawab Laras sambil tersenyum manis, berusaha tampil sebaik mungkin di hadapan atasan sang suami. “Karena itu saya datang untuk memastikan sesi makan siang nanti berjalan lancar.”

“Oh, jadi begitu. Wah, harus dicoba kalau begitu masakannya, pasti semanis wajah yang buat.”

“Ah, Pak Yo ini bisa saja,” ujar Laras sambil tersipu malu.

“Lho, Pak Yo kok baru keluar, memangnya mau ke mana?” tanya Sofyan.

“Biasa, ada urusan sebentar di ruangan. Ada berkas yang harus aku cek, tapi nanti aku kembali lagi kok. Tentunya untuk mencoba masakan spesial dari Dik Laras,” ujar Pak Yo sambil melirik ke arah istri Sofyan yang terlihat anggun dengan jilbab lebar yang ia kenakan. Wanita jelita itu pun tersenyum mendengar kata-kata manis dari sang pria tua.

“Oke kalau begitu Pak. Kami mau masuk dulu ya, Laras harus memeriksa persiapan untuk acara makan siang nanti,” ujar Sofyan, sambil langsung berjalan melewati sang atasan.

“Mari, Pak,” ujar Laras dengan sopan saat ia melewati Pak Yo.

“Oh iya, silakan,” ujar Pak Yo mempersilakan pasangan suami istri tersebut untuk berjalan menuju pintu gerbang gedung pertemuan.

Tanpa disadari oleh pasangan suami istri tersebut, mata Pak Yo seperti tidak berkedip memandangi tubuh Laras yang begitu seksi dari belakang. Pandangannya bahkan terus tertuju pada bokong Laras yang begitu molek, dan terus bergoyang ke kiri dan kanan seiring langkahnya menuju gedung pertemuan.

Hari ini, Laras memang mengenakan kaos lengan panjang berwarna merah muda yang cukup ketat membungkus tubuhnya, lengkap dengan jilbab berwarna senada. Namun di bagian bawah ia hanya mengenakan celana jeans ketat, yang membuat Pak Yo bisa melihat bentuk paha dan betisnya yang indah. Pria tua yang merupakan atasan Sofyan tersebut baru memalingkan pandangannya saat perempuan cantik itu sudah hilang dari pandangannya.

“Luar biasa sekali istrimu itu, Sofyan. Pasti nikmat sekali rasanya kalau aku bisa menggagahi tubuhnya di atas ranjang, heheh…” gumam pria tersebut sambil menjilat bibirnya.

***​

Sekitar pukul dua siang, sesi makan siang di acara Entrepreneurship Day telah selesai. Acara pun dilanjutkan dengan sesi-sesi panel dan presentasi berikutnya. Terlihat perempuan cantik bernama Safira telah kembali di posisinya semula untuk memimpin jalannya acara. Tidak terlihat sedikit pun bekas kalau ia baru saja menangis sebelumnya.

Selesai makan siang, selesai pula pekerjaan Laras. Merasa tanggung jawabnya telah selesai, wanita jelita itu pun bersiap untuk pulang ke rumah. Tim yang diterjunkan oleh istri Sofyan untuk mengurus konsumsi di acara hari ini bahkan sudah mulai membereskan perlengkapan prasmanan.

Laras kemudian membuka layar handphone miliknya untuk menghubungi sang suami. Setelah mendengar dua kali nada dering, sambungan telepon tersebut pun terhubung.

“Halo, Mas.”

“Halo. Ya, Sayang? Gimana?”

“Aku sudah selesai di sini. Boleh langsung pulang?”

“Boleh, deh. Mas masih banyak kerjaan soalnya di sini.”

“Oh, begitu… Nanti Mas pulangnya naik motor kan?”

“Iya. Aku naik motor saja. Kamu pulang duluan aja nggak apa-apa.”

“Oke, Mas. Jangan malam-malam ya pulangnya. See you.”

“See you, sayang.”

Alangkah senangnya Laras mempunyai suami yang tidak terlalu mengharuskan mereka berdua untuk selalu berangkat bersama, pulang bersama, atau makan di waktu yang bersamaan. Ini sesuai dengan karakter sang perempuan yang sebenarnya cenderung mandiri, dan tidak ingin bergantung kepada orang lain, termasuk suaminya sendiri. Itulah mengapa sejak kuliah pun Laras sudah mahir mengendarai mobil, agar bisa pergi ke mana-mana tanpa perlu diantar.

Setelah menutup telepon, Laras langsung beranjak menuju mobilnya yang masih terparkir di tempatnya semula. Dalam hati, ia merasa bahagia karena saat acara makan siang tadi, banyak yang bertanya-tanya kepada dirinya tentang masakan yang ia buat. Hal ini jelas merupakan awal yang baik bagi bisnis kuliner yang baru ia rintis.

Selain makanannya, beberapa orang juga tampak jatuh cinta pada kue-kue yang dibuat oleh Nisa sahabatnya, sang pemilik toko kue Nisa Cakes. Laras pun berniat untuk menghubungkan orang-orang tadi dengan Nisa, agar bisa memesan langsung bila mereka membutuhkan kue untuk hidangan acara.

“Hufthh… baru nungguin makan siang begitu saja kok sudah capek,” ujar Laras berbicara sendiri begitu masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi. “Gimana kalau harus bikin hidangan untuk acara kawinan tujuh hari tujuh malam? Hahaha. Ayo semangat ah, ga boleh ngeluh!”

Perempuan berparas ayu tersebut langsung menyalakan mesin dan AC mobil agar tidak merasa kepanasan. Audio mobil pun ia sambungkan dengan bluetooth handphone, agar bisa memutar playlist favoritnya yang didominasi tembang populer di tahun 2000-an. Tak lama kemudian, ia langsung menjalankan mobil agar bisa segera sampai di rumah.

Tapi… ada sesuatu yang berbeda.

Sejak awal melajukan kendaraan, Laras sudah merasa ada yang berbeda dengan mobilnya, meski ia tidak tahu apa penyebabnya. Untuk hal-hal teknis mobil, sang suami lah yang biasanya lebih memperhatikan. Sebelum menikah, ia pun selalu menyerahkan urusan mobil kepada ayahnya. Perempuan tersebut hanya tahu beres, bahwa mobil sudah bisa dikendarai dengan baik. Karena itu, meski sudah bisa menyetir mobil sejak lama, ia tidak terbiasa memeriksa kondisi mobil sebelum dan setelah berkendara.

Begitu keluar gerbang kampus, Laras makin merasakan perbedaan kondisi mobilnya, seperti ada yang salah. Gerakan mobil terasa tidak beraturan, terutama ketika perempuan tersebut menekan pedal gas terlalu dalam. Bila dilanjutkan, ia merasa hal tersebut akan berbahaya bagi dirinya. Ia akhirnya memutuskan untuk menepi di pinggir jalan yang cukup sepi, tepat di samping taman kampus yang luas dan dipenuhi pepohonan rindang agar tidak mengganggu pengguna jalan yang lain.

Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Laras pun keluar dari mobil dan memeriksa keadaan mobilnya. Awalnya ia coba membuka kap mobil untuk melihat apa ada yang tidak beres dengan mesin mobil di baliknya. Semuanya tampak normal.

Setelah itu, perempuan tersebut pun mengelilingi mobil demi mencari penyebab masalah tersebut. Awalnya ia berjalan ke belakang, sebelum kembali ke bagian depan.

“Sialan… ternyata ini penyebabnya,” ujar perempuan tersebut saat melihat kedua ban depannya ternyata kempes. Kok bisa-bisanya dua ban kempes berbarengan begini.

Laras pun coba berpikir apa yang harus ia lakukan. Menghubungi Sofyan mungkin bukan ide yang bagus, karena sang suami masih sibuk mengurus acara di kampusnya. Mengganti ban pun bukan solusi yang baik, karena perempuan tersebut bahkan tidak tahu cara menggunakan dongkrak. Apabila dia bisa menggunakannya pun, ban yang kempes ada dua, sedangkan ban cadangan di bagasi mobil hanya ada satu.

Haduh, harus bagaimana ini? Laras tidak melihat ada tukang ban di sisi jauh ujung jalan. Jangankan tukang ban atau bengkel, kios kecil satu pun tidak ada yang terlihat sejauh matanya memandang. Tempat ini benar-benar sepi.

Di saat Laras sedang pusing mencari solusi dari masalahnya, sebuah mobil Pajero berwarna hitam yang melaju perlahan kian menurunkan kecepatan, lalu berhenti tepat di depan mobil milik Laras. Awalnya, sang perempuan cantik itu bingung mengapa mobil tersebut berhenti di sana. Namun begitu sang pengemudi membuka pintu dan turun dari mobil, semuanya pun menjadi jelas.

“Lho? Ini kan Dik Laras. Ada apa Dik? Kok tiba-tiba berhenti di sini?” Tanya pria tua pemilik mobil berukuran besar yang baru saja berhenti itu.

“Oh, Bapak.” Laras pun menyapa sang pria tua pemilik Pajero yang ternyata adalah Sunaryo, Dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Jaya Abadi, sekaligus atasan dari suami Laras. “Ini, Pak Yo… dua ban mobil saya tidak tahu kenapa tiba-tiba saja kempes. Saya baru sadar begitu sudah sampai di sini…”

“Boleh saya coba periksa, Dik?”

“Silakan, Pak.”

Pak Yo pun jongkok untuk memeriksa ban depan yang sebelah kanan, sebelum kemudian berpindah ke bagian kiri. Ia menekan-nekan bagian tertentu dari kedua ban tersebut, yang Laras sama sekali tidak tahu tujuannya untuk apa karena memang sudah terlihat kempes. Namun dengan pengetahuan Laras yang sangat terbatas soal mobil, ia percaya bahwa Pak Yo jauh lebih paham dari dirinya.

“Sepertinya ban mobil Dik Laras hanya kempes saja, tidak sampai bocor. Jadi tinggal dipompa saja beres,” ujar Pak Yo.

“Hmm, begitu ya. Jadi sebaiknya saya jalan saja sampai ketemu bengkel ban terdekat ya?”

“Lho jangan, kalau mobil berjalan dalam kondisi kempes, bisa berpengaruh pada velg.”

Laras tidak tahu apakah hal tersebut benar atau tidak, tapi sepertinya Pak Yo merupakan sosok yang bisa dipercaya. Kalau tidak, mana mungkin dia menjadi dekan, bukan?

“Jadi sebaiknya bagaimana ya, Pak?”

“Begini saja, saya punya pompa ban portabel di mobil. Kita coba pompa saja, kalau tekanannya tidak turun lagi, berarti aman. Dik Laras bisa melanjutkan perjalanan lagi.”

Laras pun berpikir sejenak, dan merasa itu adalah solusi terbaik. “Boleh deh, Pak.”

“Tenang saja, Dik Laras. Serahkan semuanya pada saya,” ujar Pak Yo. “Sekalian saya bantu pompa ya, sepertinya Dik Laras sudah lelah sekali di acara tadi. Kasihan kalau sekarang harus memompa juga.”

“Eh… kok malah saya jadi ngrepotin, Pak.”

“Tidak apa-apa, tenang saja.”

Pria tua tersebut pun langsung bergegas menuju bagian belakang mobilnya untuk mengambil pompa ban portabel yang memang selalu ia simpan di sana. Dengan cekatan, ia langsung memasang pompa tersebut untuk mengisi angin ke dalam ban yang kempes.

“Maaf ya Pak, jadi merepotkan,” ujar Laras sedikit merasa bersalah.

“Ahh, tidak kok. Sesama manusia kan kita harus saling membantu, betul tidak? Kebetulan saya lewat pas Dik Laras sedang terkena kesulitan, jadi sudah sewajibnya saya membantu,” Jawab Pak Yo yang masih dalam posisi berjongkok di samping ban.

“Begitu ya, Pak,” jawab Laras lirih. Meski dalam hati ia tahu bahwa di dunia ini sudah jarang sekali orang yang mau membantu tanpa pamrih, tapi setidaknya dia ada yang membantu. “Memangnya Bapak tadi mau ke mana? Apa tidak sedang terburu-buru?”

“Tidak kok. Saya hanya mau ke apartemen, mengambil beberapa berkas yang ternyata belum ada di meja saya, terus balik lagi ke kampus.”

“Owh, begitu…”

Tak lama kemudian, kedua ban mobil Laras pun telah kembali ke bentuk semula, dengan angin yang telah terisi kembali di dalamnya.

“Sudah selesai nih, Dik Laras. Sepertinya tekanannya aman, seharusnya sudah aman. Kalaupun memang kondisinya kempes lagi, langsung dibawa ke tukang ban saja, siapa tahu perlu ditambal karena ada yang bocor,” jelas Pak Yo.

“Baik, Pak. Akan saya ingat-ingat sarannya. Sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya,” ujar Laras sambil tersenyum tulus.

“Sama-sama Dik,” ujar Pak Yo. “Oh iya, tadi saya sudah nyobain masakannya Dik Laras, ternyata wueeenak sekali ya.”

“Hahaha. Wah, terima kasih atas pujiannya Pak.”

“Hmm saya jadi ada ide nih. Kira-kira Dik Laras tertarik tidak ya kalau saya perkenalkan kepada pebisnis wedding organizer besar, yang mungkin suka juga dengan masakan Dik Laras? Siapa tahu nanti kalian bisa bekerja sama dan mereka bisa menawarkannya ke klien-klien mereka? Kalau begitu kan kamu juga untung, dapat banyak pesanan.”

“Wah, tertarik banget Pak. Memangnya Bapak kenal dengan EO seperti itu?”

“Hahaha, ya tidak saya tawarkan kalau tidak ada. Kebetulan ada, Dik. Karena sudah lama jadi dekan seperti ini, cukup banyak pelaku bisnis yang saya kenal. Sepertinya cocok kalau saya hubungkan Dik Laras dengan mereka. Boleh?”

“Boleh, Pak. Nanti hubungi saya saja di…”

“Di nomor ini kan?” Ujar Pak Yo memotong kata-kata Laras, sambil mengeluarkan flyer yang tadi diletakkan perempuan tersebut dekat meja prasmanan.

Laras pun tertawa melihat hal tersebut. “Iya betul Pak. Bisa hubungi saya saja di nomor yang ada di flyer tersebut.”

“Baik, kalau begitu. Ya sudah, saya permisi dulu ya. Sampai jumpa lagi, Dik Laras.”

“Sampai jumpa, Pak Yo,” ujar Laras mengakhiri pertemuan mereka pada hari tersebut.

Perempuan itu tidak sempat melihat senyuman nakal sang pria tua saat kembali ke mobilnya. Laras jelas tidak tahu bahwa tidak mungkin ban mobilnya bisa kempes begitu saja tanpa sebab.

***​

Di gedung pertemuan Universitas Jaya Abadi, acara Entrepreneurship Day kini sudah memasuki sesi terakhir. Moderator acara mengakhiri diskusi panel di atas panggung, yang langsung disusul ditutup dengan lantunan musik sebagai penanda usainya acara.

Arga bersalam-salaman dengan Pak Dar dan petinggi kampus di barisan bangku paling depan. Semuanya tersenyum, tanda bahwa acara tersebut sukses dan tidak menyisakan masalah yang berarti selama keberlangsungannya.

Sedangkan Safira kekasih Arga, akhirnya bisa menghembuskan napas lega di belakang panggung, sambil mengucapkan terima kasih kepada anggota tim lain yang telah membantunya sepanjang hari ini. Setelah memberikan ucapan terima kasih kepada pembicara di sesi terakhir, ia pun bisa meletakkan catatan susunan acara yang sepanjang hari ia genggam erat-erat.

Berbeda dengan Arga dan Safira yang sudah tuntas semua tugas, Yasmin dan Sofyan baru mulai berkeliling mengawasi arena pameran yang mulai ditinggalkan oleh para peserta. Mereka berdua ingin memastikan bahwa tidak ada barang penting milik panitia yang hilang, atau justru barang milik peserta pameran yang tidak terbawa. Secara umum, mereka berdua merasa lega karena acara yang telah cukup lama mereka persiapkan ini akhirnya selesai juga.

MEF83KG_t.png


Kelegaan yang sama juga dirasakan oleh Indira, yang saat ini sedang duduk di kursi pengunjung paling belakang, dekat dengan lokasi tim multimedia yang tampak sudah mulai membereskan peralatan mereka. Perempuan berjilbab tersebut memang masih harus mengedit dokumentasi acara, serta membuat laporan pertanggungjawaban. Tetapi hal itu masih bisa dipikirkan nanti, saat ini dia bisa sedikit bersantai dan melepaskan lelah yang ia rasakan.

“Oh iya, Andrew ada di mana ya?” Gumam Indira dalam hati, berusaha mencari di mana mahasiswa yang bertugas membantunya di bidang publikasi untuk acara hari ini.

Ia pun coba mengarahkan pandangan ke berbagai sudut ruangan, tetapi tidak kunjung melihat batang hidung mahasiswa tersebut. Ia pun memutuskan untuk mengirim pesan agar Andrew segera datang ke tempatnya berada saat ini.

“Andrew, kamu di mana? Bisa datang ke kursi deretan paling belakang di venue sekarang?” tulis Indira di ponselnya.

Tak lama kemudian, ternyata Andrew memberikan balasan. “Iya, sebentar Bu. Lagi bantuin tim sound untuk beres-beres di belakang panggung.”

“Oke. Jangan lupa nanti ke sini,” balas Indira lagi.

Dalam hati, Indira mulai menyesal telah bersikap terlalu keras kepada mahasiswanya tersebut. Mungkin saja pria yang masih di usia belia tersebut sedang berusaha untuk menemukan jati diri dengan mencoba melakukan banyak hal, meski sejauh ini tidak ada satu pun yang bisa ia lakukan dengan sempurna. Dan sebenarnya, tugas Indira sebagai dosen untuk membantunya menemukan apa hal yang bisa bermanfaat untuk kehidupannya kelak.

“Jangan-jangan, aku dulu juga begitu ya waktu masih seusia dia. Hanya bermodal semangat, tetapi kemampuan nol besar,” pikir Indira dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Indira bisa melihat Andrew datang dari arah panggung menuju tempat perempuan tersebut duduk. Pria muda itu tampak setengah berlari, seperti khawatir akan kembali dimarahi oleh Indira apabila dia berjalan terlalu pelan. Dia melambaikan tangan ke arah Indira yang dibalas oleh sang dosen muda.

Ini adalah salah satu karakter Andrew yang diperhatikan oleh Indira. Mahasiswa itu selalu ingin cepat-cepat dalam melakukan sesuatu. “Mungkin itu masalah dia, terlalu bersemangat untuk lekas menyelesaikan semua pekerjaan, tetapi hal itu justru membuat dia tidak bisa berkonsentrasi penuh dalam melakukannya,” pikir Indira.

Namun sedetik kemudian, terjadi sebuah tragedi yang tidak bisa dilupakan oleh Indira seumur hidupnya.

Entah bagaimana kejadian tersebut berlangsung, Andrew menyenggol sesuatu dan tepat pada saat yang bersamaan, sebuah speaker berukuran cukup besar yang sedang diturunkan dari bagian atas tiba-tiba meluncur bebas ke lantai. Sialnya, speaker tersebut tepat menimpa Andrew yang sedang berjalan ke arah Indira, membuat bunyi berdentum yang cukup keras. Perempuan tersebut dan belasan orang lain di sekitarnya yang melihat kejadian tersebut pun sontak meneriakkan nama sang pria muda itu.

“Andreeewwwwwwww …. !!!”

Dengan sigap, para lelaki langsung mengerubungi Andrew untuk memberikan pertolongan pertama.

Andrew berteriak-teriak karena kesakitan.

Indira terpaku tak bisa bicara melihat mahasiswa yang sedang secara khusus ia amati itu terluka karena kecelakaan. Ia bahkan tak bisa berkata-kata. Indira tampak begitu terpukul dengan peristiwa tersebut, dan tidak bisa bergerak sama sekali. Ia hanya duduk diam di kursi tempatnya berada saat ini. Wajahnya terlihat pucat, yang masih terlihat dari sela-sela jemari tangan yang ia gunakan untuk menutupi kedua matanya.

Tak lama kemudian, para lelaki yang memberikan pertolongan kepada Andrew terlihat membopong tubuh sang mahasiswa menuju pintu keluar. Indira masih belum bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali, dan hanya menatap seluruh rangkaian kejadian tersebut dengan pandangan yang nanar.

MEF83KE_t.png


Ia baru mengeluarkan suara ketika Yasmin, sahabatnya sesama dosen, datang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya.

“Indira?”

“An… Andrew… Andrew… dia… dia…”

“Indira? Kamu jangan khawatir, Indira. Tenang saja. Andrew baik-baik saja kok,” ujar Yasmin sambil menarik Indira ke dalam pelukannya. “Kemungkinan tangannya patah, sehingga harus mendapat perawatan khusus di rumah sakit. Kita doakan saja tidak ada hal yang lebih buruk yang terjadi padanya”

“Ta-tapi aku yang menyuruh dia ke sini, Yas. Kalau aku tidak memanggilnya, dia tidak akan ke sini. Aku yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi! Kalau sampai Andrew kenapa-kenapa, aku tidak tahu apakah kesalahanku ini bisa dimaafkan,” ujar Indira sambil sesenggukan. Emosinya kini sudah tidak bisa ia tahan, lengkap dengan air mata yang mulai menetes melewati sisi hidungnya yang mancung.

“Tidak, Indira. Ini semua hanya kecelakaan. Siapa yang bisa memperkirakan bahwa speaker tersebut akan tiba-tiba jatuh seperti itu?” ujar Yasmin sambil mengusap-usap kepala sahabatnya tersebut. “Kamu jangan menyalahkan diri sendiri.”

Dalam hati, Indira mengakui bahwa kata-kata Yasmin memang ada benarnya. Tetapi ia tidak bisa menutupi kenyataan bahwa ia tetap merasa bersalah akan kejadian tersebut.

“Aku antar kamu pulang ya, aku tidak bisa membiarkan kamu pulang dalam keadaan begini,” ujar Yasmin.

“Tapi aku kan masih harus membereskan beberapa urusan publikasi dan dokumentasi acara dan…”

“Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku yakin kamu tidak akan bisa fokus bekerja dalam kondisi seperti ini. Sekarang juga aku antar kamu pulang ke rumah. Oke?”

“Tapi bukankah kamu nanti dijemput oleh Mas Ferdian?”

“Kamu gak usah mikirin hal lain dulu. Mas Ferdian nanti bisa aku suruh jemput di rumah kamu. Ayo kita pulang sekarang,” tegas Yasmin.

Indira pun mengiyakan tawaran tersebut, karena dalam hati ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa lagi setelah melihat kejadian mengenaskan tersebut. Ia bahkan tidak yakin bisa tidur dengan tenang malam nanti.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd