Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Part 6: Kekeliruan Fatal

Dua minggu setelah acara Entrepreneurship Day berakhir, kegiatan Yasmin pun kembali normal. Seperti hari ini, di mana dia kembali diantar sang suami di pagi hari, lalu menunggu kelasnya dimulai beberapa jam lagi. Ia pun tidak perlu pusing memikirkan hal-hal lain di luar urusan akademis, karena laporan pertanggungjawaban acara juga sudah ia serahkan kepada Pak Dar, sang rektor Universitas Jaya Abadi.

Hanya satu hal yang seperti masih belum selesai dari acara tersebut, dan ia bertekad untuk membantu sahabat baiknya untuk menanganinya.

Itulah mengapa perempuan cantik tersebut kini tengah berjalan menuju kantin Gedung 1, di mana Fakultas Ilmu Komputer berada. Di sana, sudah ada Indira yang sedang melamun dan hanya menatap kosong ke arah cappuccino hangat yang berada di hadapannya.

MEF83KE_t.png


MEF83KG_t.png


“Heh, bengong aja. Nanti kesambet setan lho…” ledek Yasmin sambil duduk tepat di samping sahabatnya tersebut.

“Hmm…” Indira hanya menjawab dengan dehaman pelan. Ia tampak tidak bersemangat menanggapi Yasmin, meski ia tahu sahabatnya itu bermaksud baik untuk menghiburnya.

“Aduuuuh, sampai kapan mau begini sih, Indira? Andrew aja udah nggak kenapa-kenapa. Tangannya yang patah sudah dirawat dan sedang dalam proses penyembuhan, dia juga sudah dioperasi, kita doakan saja semoga setelah sembuh dia bisa beraktivitas kembali dengan normal.”

“Nggak bisa, Yas. Tetap saja kepikiran. Gue kayak masih merasa bersalah gitu. Ya tahu sih, kejadiannya tiba-tiba dan itu kecelakaan, tapi ga tau kenapa hati ini rasanya nggak rela gitu. Kalau Andrew nggak aku panggil kan dia tidak ceroboh berlari.”

“Ya terus lu sekarang maunya apa? Cerita dong sama gue.”

“Hmm… jujur nggak tahu juga mesti ngapain. Lu tau sendiri kan? Dari dulu kalau ada masalah yang mengganjal dan bikin penasaran kayak begini, gue selalu pengen melakukan sesuatu untuk menebusnya. Baru perasaan gue terasa plong.”

Ini adalah salah satu kebiasaan Indira yang membuat Yasmin heran. Sahabatnya tersebut seperti tidak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada orang lain, dan merasa harus menghukum dirinya sendiri atas hal buruk tersebut. Semasa kuliah, Indira pernah tidak masuk kelas selama dua minggu, hanya karena menumpang mobil temannya yang kemudian tidak sengaja menabrak kucing hingga meninggal. Temannya yang mengemudikan mobil sih biasa saja, tetapi justru Indira yang mengalami trauma mendalam setelah kejadian itu.

Namun mau tidak mau, Yasmin jadi merasa harus ikut memikirkan solusi dari masalah ini. Untungnya, otak cemerlangnya selalu bisa aktif bekerja kapanpun dibutuhkan.

“Hmm… kalau gue ga salah ingat, bukannya si Andrew saat ini sedang skripsi? Lu jadi dosen pembimbingnya kan?” Tanya Yasmin.

“Iya.”

“Nah itu.”

“Ha? Maksud lu gimana? Gue cuma perlu membiarkan dia lulus dengan mudah begitu, Yas?”

“Yeee… bukanlah. Itu curang namanya. Yang ada nanti malah lu yang kedapatan masalah sama kampus kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan tugas mahasiswa,” tukas Yasmin. “Maksud gue gini… mungkin lu bisa membantu Andrew dalam proses menyelesaikan skripsi, paling tidak selama dia masih dalam proses perawatan dan tidak bisa menggerakkan tangannya dengan bebas.”

“Hmm, itu ide yang bagus sih. Dia pasti kesulitan banget dengan kondisi sekarang, mengetik di laptop saja mungkin sulit.”

“Ini memang aneh sih, karena setahu gue tidak ada dosen yang sampai membantu mahasiswanya mengerjakan skripsi kan? Tetapi dasar hati lu yang terlalu rapuh itu kan juga aneh, kayak gelas-gelas kaca. Jadi mungkin saran ini bisa membantu melegakan pikiran kamu, hihihihi….”

“Bisa saja kamu, Yas. Terima kasih ya, nanti coba gue pikir-pikir dulu,” jawab Indira sambil tersenyum.

Seingat Yasmin, ini adalah kali pertama sahabatnya itu bisa tersenyum setelah kejadian mengenaskan dua minggu yang lalu. Mereka baru akan beralih ke topik obrolan berikutnya, saat tiba-tiba handphone milik Yasmin berdering kencang.

“Sebentar ya. Gue angkat telepon dulu,” ujar Yasmin yang langsung disambut oleh anggukan Indira.

Saat sahabatnya itu sedang menerima telepon, Indira mulai menyusun rencana untuk membantu Andrew. Orang kampus sepertinya tidak perlu tahu soal ini. Ia hanya perlu meluangkan waktu untuk mendampingi Andrew di sela-sela jadwalnya mengajar. Satu-satunya orang yang perlu dimintakan izin adalah orang tua sang mahasiswa. Ia pun bertekad untuk datang ke rumah mereka dalam waktu dekat.

“Semoga saja Mas Ahmad juga mau mengerti akan hal ini,” gumam Indira.

Perempuan cantik itu memang sempat menceritakan kecelakaan yang menimpa Andrew di akhir acara Entrepreneurship Day dua minggu lalu. Namun tanggapan kekasihnya tersebut jauh berbeda dengan Yasmin, Sofyan, dan teman-temannya yang lain, yang lebih mengerti karakter Indira. Ahmad seperti masa bodo dengan apa yang dirasakan oleh perempuan berjilbab tersebut, dan menganggap Indira hanya bersikap berlebihan saja.

Di satu sisi, Indira memahami bahwa Ahmad memang orang baru dalam kehidupannya, dan butuh waktu bagi keduanya untuk beradaptasi. Namun di sisi lain, ia jadi mempertimbangkan kembali apakah pria tersebut merupakan sosok pendamping hidup yang terbaik untuk dirinya.

Tak lama kemudian, Yasmin pun kembali ke tempatnya semula di samping Indira.

“Siapa sih yang telepon, Yas? Sepertinya penting banget.”

“Pak Dar.”

“Pak Dar?”

“Iya. Gue juga bingung, dia bilang ada masalah dengan laporan pertanggungjawaban yang gue kirim beberapa hari lalu. Waktu ditanya masalahnya di mana, dia nggak mau jawab. Gue diminta datang langsung ke ruangannya,” jawab Yasmin gelisah. “Rempong amat si bapak ini.”

“Aneh banget sih itu rektor. Jangan-jangan lo mau diapa-apain sama dia, hihihi.”

“Ihh, najis amit-amit. Mending gue ngapa-ngapain sama suami gue lah, daripada sama dia. Hahaahaha. Kayak kurang aja suami gue sampai mesti cari yang lain.”

“Kalau nanti dia maksa, bagaimana? Kan nanti lu cuma berdua doang sama dia di ruangannya, hayoo…” ujar Indira menggoda sahabatnya tersebut.

“Kalau dia macam-macam biar gue tendang pakai tendangan taekwondo gue.”

“Hah? Emangnya lu pernah belajar taekwondo?”

“Pernah, waktu SD… Hahaahaha.”

“Hahaha. Sialan. Gue pikir baru-baru ini.” Indira tertawa lepas, untuk pertama kalinya sejak peristiwa yang menimpa mahasiswanya. Tawa itu membuat Yasmin menarik napas lega. Indira pun bertanya lagi, “Oh iya, tadi kok lu ke sini sendiri aja? Tumben gak ngajak Sofyan,” tanya Indira yang baru sadar akan ketidakhadiran sahabat mereka tersebut.

“Tadi gue udah kirim WhatsApp sih, ngajak ketemuan di sini. Tapi katanya gak bisa, diajak meeting sama Pak Yo. Mendadak katanya.”

“Hah? Masih pagi begini kok udah meeting aja? Berasa presiden kali Pak Yo, pengennya setiap pagi meeting sama Paspampres.”

“Hahaaha… emang suka rada-rada itu dekan si Sofyan,” tukas Yasmin.

“Kayak dekan di tempat lo nggak aneh aja, Yas. Kan sebelas dua belas itu Pak Yo sama Pak Banu, tua-tua keladi. Makin tua, makin muncul aja kelakuan-kelakuan aneh mereka.”

“Gak jauh beda lah sama dekan lo Pak Sam, hii.”

“Tahu tuh, kayak gak ada stok orang pinter aja ya kampus ini, dekannya aneh-aneh semua …”

Keduanya pun melanjutkan obrolan santai mereka, sampai tidak sadar bahwa waktu mengajar mereka sudah dekat. Yasmin pun kemudian pamit untuk kembali ke Gedung 2, tempat dia biasa mengajar. Sedangkan Indira kembali ke ruangannya di lantai atas.

***​

Saat Yasmin dan Indira sedang asyik mengobrol santai, Sofyan memang sedang berhadapan dengan atasannya yang tiba-tiba memanggil untuk bertemu pagi ini. Sang dekan ternyata hendak memberikan tanggung jawab tambahan bagi dosen pria tersebut untuk mengurus akreditasi fakultas.

“Bagaimana menurut Pak Sofyan? Siap untuk menerima tanggung jawab ini? Kita membutuhkan tangan terampil seperti Pak Sofyan,” Tanya Sunaryo, atau yang biasa dipanggil Pak Yo, sambil duduk di balik meja kerjanya menatap sang bawahan.

Sofyan tampak berpikir keras akan tawaran tersebut. “Hmm, saya harus memberikan jawaban sekarang ya, Pak?”

“Lebih cepat lebih baik, bukan? Proses akreditasi ini adalah sesuatu yang penting bagi kampus kita, saya yakin Pak Sofyan tahu itu. Apabila kita menunda-nunda, fatal akibatnya,” ujar Pak Yo dengan senyum penuh arti. “Kalau Bapak mau, ya silakan. Tapi kalau tidak mau, ya lupakan.”

“Tapi bukankah sebelumnya proses akreditasi ini sudah dikerjakan oleh Bu Tuti ya Pak? Mengapa kemudian diberikan kepada saya?”

“Maksudnya Pak Sofyan menolak tawaran saya?”

“Bukan begitu, Pak. Tapi…”

Belum sempat Sofyan menyelesaikan kata-katanya, Pak Yo sudah terlebih dahulu memotongnya. “Jujur ya Pak Sofyan. Saya melihat bahwa Bapak adalah dosen muda yang punya potensi. Saya tentu tidak akan selamanya menjadi dekan, dan ada waktunya saya harus mundur, memberikan jalan kepada yang lebih muda. Karena itu, saya sering memberikan tanggung jawab kepada para bawahan saya agar mereka bisa berkembang. Pak Sofyan tentunya paham maksud saya ya?”

“Pa… Paham, Pak.”

“Jadi, Bapak tertarik dengan tanggung jawab baru ini?”

“Te… Tertarik, Pak.”

Sofyan seperti tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah dicecar dengan pertanyaan bertubi-tubi seperti itu oleh sang atasan. Dalam hati ia mengamini apa yang disampaikan oleh Pak Yo, tetapi di sisi lain ia juga masih heran mengapa tiba-tiba saja sang atasan memberikan tanggung jawab seperti ini kepadanya.

“Nah, begitu dong. Saya suka dosen yang penuh semangat seperti Pak Sofyan. Jangan mengecewakan saya, ya.”

“I… Iya, Pak.”

“Kalau begitu, nanti siang Bapak temui Bu Tuti, bilang kalau saya sudah menyerahkan pengurusan akreditasi kepada Pak Sofyan. Kalau mau, kalian bisa bekerja sama untuk mengerjakannya. Secara rutin, beri informasi kepada saya terkait perkembangannya. Mengerti?”

“Me… Mengerti, Pak.”

“Baik, terima kasih waktunya Pak Sofyan. Silakan kembali ke aktivitas Bapak.”

“Ba… Baik. Permisi, Pak,” ujar Sofyan masih dengan ucapan yang terbata-bata karena merasa tegang menghadapi atasannya itu. Ia pun langsung berdiri dan meninggalkan ruangan dekan tersebut.

Pak Yo hanya memandangi kepergian Sofyan dengan senyuman. Ia merasa sangat senang bahwa tahap awal dari rencananya kali ini bisa terlaksana dengan baik.

Pria tua tersebut pun mengambil handphone yang tergeletak di atas meja kerjanya, lalu membuka aplikasi Instagram. Ada sebuah akun yang terus dia buka sejak beberapa hari lalu, yaitu “Dapur Laras”. Melihat postingan di akun tersebut, benar-benar menggugah selera Pak Yo. Bukan hanya selera lidah saja, tetapi juga selera birahinya yang ikut menggelegak.

Selama melihat foto dan video di akun tersebut, Pak Yo begitu menikmati wajah yang rupawan, suara yang menggoda, serta desahan binal yang keluar setiap kali pemilik akun tersebut mencicipi makanan yang ia buat sendiri. Sang dekan sepertinya sudah begitu terjerat hatinya oleh Laras Kinanti, yang merupakan istri dari bawahannya sendiri.

“Saya sebenarnya tidak peduli dengan proses akreditasi, apalagi urusan siapa yang akan jadi penggantiku kelak. Yang terpenting bagiku adalah kamu akan terlalu sibuk di kampus, pak Sofyan, hingga kamu tidak sadar bahwa istrimu yang bertubuh indah ini jatuh ke pelukanku, hahaa…” gumam Pak Yo pelan.

Setelah puas melihat-lihat postingan terbaru di akun Dapur Laras, Pak Yo pun memutuskan untuk langsung menghubungi pemilik Instagram tersebut. Ia membuka aplikasi WhatsApp, lalu mengirim pesan ke sebuah nomor yang memang sudah ia simpan sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya dua minggu lalu.

“Selamat pagi, Dik Laras. Ini saya, Pak Yo. Jangan lupa disimpan ya nomor saya, siapa tahu nanti kita bisa berkomunikasi soal pengembangan bisnis kuliner Dik Laras. Salam.”

Setelah pesan tersebut terkirim, dekan tua berusia 50-an tahun tersebut kembali tersenyum. Ia tidak sabar menantikan jawaban dari sang perempuan muda berjilbab dengan bokong sintal yang begitu menggoda tersebut.

***​

“Selamat siang, Pak,” sapa Yasmin begitu dia masuk ke dalam ruangan Pak Dar yang memang tidak pernah dikunci. Perempuan cantik yang hari ini tampak anggun dengan jilbab berwarna putih itu memenuhi permintaan sang rektor untuk datang, tepat di waktu yang ditentukan setelah jam makan siang.

“Eh, Bu Yasmin. Silakan duduk Bu,” ujar Pak Dar yang langsung berdiri menyambut Yasmin. Pria tua itu kemudian mengarahkan sang perempuan berparas manis itu untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangan tersebut.

MEF83KE_t.png


Yasmin pun menurut. Namun begitu Pak Dar ikut duduk di sampingnya, dengan posisi yang cukup dekat dengan dirinya, perempuan itu pun sedikit mengubah posisi agar sedikit menjauh dari tempat duduk sang rektor. Untungnya, gerakan tersebut begitu halus, sehingga Pak Dar seperti tidak menyadarinya.

Di atas meja, Pak Dar meletakkan dua buah dokumen yang dari sampulnya saja Yasmin sudah bisa mengetahui apa isinya, karena dia sendiri yang menyusun kedua dokumen tersebut. Dokumen pertama adalah proposal untuk acara Entrepreneurship Day yang ia buat sebelum acara, sedangkan yang kedua adalah laporan pertanggungjawaban yang ia susun setelahnya.

“Seperti yang saya sampaikan di telepon tadi pagi, Bu Yasmin. Saya ingin berbicara tentang laporan pertanggungjawaban yang Ibu berikan ini,” ujar Pak Dar memulai diskusi, sambil menunjuk ke salah satu dokumen.

Dalam diam, Yasmi berusaha memperhatikan wajah Pak Dar yang sangat jauh dari kata tampan. Menurut cerita, ia sudah pernah menikah dan kini sudah bercerai. Pertanyaannya, perempuan mana sih yang mau menikah dengan lelaki yang wajahnya seperti dia, pikir Yasmin dalam hati.

“Iya, Pak. Kalau saya tidak salah dengar, Bapak bilang ada kesalahan di laporan pertanggungjawaban saya. Boleh dijelaskan lebih lanjut kesalahan apa yang dimaksud, agar saya bisa lekas mengoreksinya,” ujar Yasmin langsung pada topik yang ingin ia bahas.

Ia sendiri merasa ngeri kalau harus terlalu lama berduaan saja dengan Pak Dar di ruangan rektor ini. Karena itu, ia ingin segera mendapat penjelasan, agar bisa segera melakukan perubahan terhadap laporan tersebut, sebelum menyerahkannya kembali. Ia yakin kesalahan yang dimaksud Pak Dar adalah sesuatu yang sepele dan mudah untuk dibenahi.

“Jadi begini, Bu,” ujar Pak Dar sambil membuka halaman yang berisi daftar pengeluaran, baik yang ada di dokumen proposal dan dokumen pertanggungjawaban. “Coba Ibu lihat, apa ada yang tidak sesuai di sana.”

Yasmin berusaha memperhatikan dengan seksama kedua dokumen tersebut. Namun baru sebentar saja, dia sudah bisa menemukan apa yang dimaksud oleh Pak Dar. Ada selisih Rp100 juta antara anggaran yang ia ajukan di proposal, dengan uang yang akhirnya ia keluarkan dari rekening kas kampus untuk menyelenggarakan acara. Ia coba memeriksa lagi apakah ia salah lihat, tapi tetap saja angka di kedua dokumen tersebut tidak berubah.

“Hah? Kok bisa?” Yasmin bergumam pelan, sambil berusaha mencari alasan mengapa hal ini bisa terjadi.

Ia baru ingat bahwa seharusnya ada rencana anggaran yang tercantum di laporan pertanggungjawaban. Namun saat ia periksa, ternyata ia memang menggunakan angka yang salah di sana. Yasmin mulai panik, ia berusaha mencari alasan logis dari kejadian ini. Karena kalau benar terjadi kesalahan, maka ia sudah mengeluarkan uang kampus sebanyak Rp 100 juta lebih banyak dari yang seharusnya, dan hal semacam itu tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin.

Ia mencoba mengingat bagaimana proses penyusunan kedua dokumen tersebut, di mana ia menggunakan dokumen template yang dibuat oleh panitia acara Entrepreneurship Day di tahun sebelumnya. Di tahun ini, acara tersebut memang dirancang dengan anggaran yang jauh lebih rendah, karena kondisi kampus yang sedang tidak baik. Yasmin ingat bahwa hal itu sempat memicu polemik antara dirinya dan Arga sang ketua panitia.

Namun sepertinya setelah proposal disetujui, Yasmin justru menggunakan dokumen template laporan pertanggungjawaban di tahun sebelumnya untuk menyusun anggaran, yang tentu berbeda dengan angka yang seharusnya. Ia sebenarnya sempat merasa gelisah mengapa acara yang seharusnya menjadi lebih sederhana, pada akhirnya terkesan cukup mewah juga dengan pembicara-pembicara populer yang tentu saja harus dibayar dengan dana yang tidak sedikit. Kini ia baru sadar di mana rasa kurang nyaman yang ia rasakan akhir-akhir ini. Ia menyesal karena seharusnya ia bisa mengetahui itu sejak awal.

Dalam hati, Yasmin yang hanya merupakan Seksi Keuangan sebenarnya bisa saja lepas tangan dari urusan ini, karena semua dokumen tersebut juga memuat tanda tangan ketua panitia Arga Hartanto. Dan mahasiswa tersebut juga datang dari keluarga yang berkecukupan, sudah pasti mampu untuk bertanggung jawab atas selisih uang tadi. Namun apa kata orang bila dosen seperti Yasmin justru menimpakan masalah kepada remaja yang tidak tahu apa-apa?

Dia yang harus bertanggung jawab.

“Bagaimana? Sudah ketemu di mana masalahnya?”

Pertanyaan dari Pak Dar seperti menjadi bom yang meledakkan isi kepala Yasmin ke segala arah. Ia kini sadar bahwa kesalahan yang disebutkan Pak Dar bukanlah sesuatu yang sederhana, melainkan masalah yang sangat besar.

“I… Iya, Pak. Sudah ketemu,” ujar Yasmin sambil menganggukkan kepala. Dia bahkan tidak berani menatap mata pak Dar.

“Lalu, apa pendapat kamu? Bagaimana masalah ini bisa terjadi, dan seperti apa solusinya?” Raut wajah Pak Dar tampak begitu datar. Tidak ada kemarahan dari nada suaranya, tetapi tidak ada pula senyum yang tampak. Yasmin jadi tidak bisa menerka dengan pasti apa isi hati dari sang rektor tersebut.

“Hmm… sebelumnya saya minta maaf atas kesalahan ini. Tapi… tapi… sa-saya akan bertanggungjawab untuk semuanya, Pak.”

“Maksudnya bagaimana Bu Yasmin? Ibu mau membayar selisih uangnya kepada kampus? Atau mau gaji Ibu dipotong selama setahun untuk membayar uang tersebut?”

Yasmin tahu bahwa kedua solusi itu hampir mustahil baginya. Pertama, ia tidak mempunyai uang sebanyak itu karena tabungannya baru saja habis untuk membayar uang muka membeli rumah dan mobil untuk suaminya. Mencicil uang sebanyak itu pun bukan pilihan yang baik, karena jumlah itu hampir sama dengan keseluruhan gajinya, sedangkan ia masih harus membantu sang suami untuk membiayai rumah tangga mereka, sekaligus membayar berbagai cicilan. Sementara sang suami hingga kini belum juga mendapat pekerjaan, dan terpaksa mengisi waktu dengan menjadi pengemudi taksi online.

Kedua solusi dari Pak Dar bukan solusi yang tepat untuk Yasmin.

“U-untuk bagaimananya apa boleh saya coba pikirkan dulu, Pak? Saya janji akan kembali untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya ini,” ujar Yasmin yang sebenarnya sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Saat ini, ia hanya ingin pulang ke rumah dan mengasingkan diri dari semua orang, agar bisa merenungi masalah ini dengan tenang.

“Hmm, bagaimana ya…” Pak Dar tampak ragu untuk memberi jawaban. “Kalau memang harus bertanggungjawab, sebaiknya ya dihadapi.’’

“Saya mohon untuk percaya sama saya, Pak. Saya janji tidak akan pergi ke mana-mana, dan akan bertanggung jawab akan hal ini,” Yasmin terus berusaha meyakinkan sang rektor. Kali ini, ia mulai mendekatkan posisi duduknya ke arah Pak Dar, demi menunjukkan kesungguhannya.

“Begini saja. Sebenarnya ini kan bukan uang pribadi saya, ya. Ini hanya uang yayasan yang dipercayakan kepada saya untuk dikelola dengan baik,” ujar Pak Dar memberi penjelasan. “Karena itu, yang lebih berwenang akan hal ini, soal tanggung jawab dan semacamnya, itu adalah Pak Basuki sebagai kepala yayasan yang menaungi Universitas Jaya Abadi ini. Kamu pernah bertemu dengan beliau kan?”

Yasmin mengangguk. Ia memang pernah bertemu dengan sosok kepala yayasan yang sering dipanggil Pak Bas tersebut di beberapa acara penting kampus. Meski begitu, ia tidak pernah berada dekat dengan beliau, atau bahkan berbincang dengannya.

“Ada baiknya kalau kamu bicara langsung dengan beliau, bagaimana kamu mau bertanggung jawab, langsung sampaikan pada dia. Apapun hasilnya, saya sebagai rektor hanya bisa menurut saja. Bagaimana?”

“Bo… Boleh, Pak. Saya setuju,” ujar Yasmin. “Berarti nanti saya harus menemui Pak Bas ya?”

“Ya harus, masa urusan seperti ini kamu mau bicara lewat telepon? Nanti malah dianggap kurang sopan kamu.”

Dalam hati, Yasmin pun mengamini kata-kata Pak Dar. “Jadi, kapan dan di mana saya bisa bertemu dengan Pak Bas?”

Pak Dar pun menuliskan sebuah nomor telepon di atas sebuah kertas, lalu memberikannya kepada Yasmin. “Ini nomor telepon beliau, kamu bisa kirimkan pesan lewat WhatsApp, atau telepon langsung untuk janji bertemu.”

“Baik, Pak. Terima kasih banyak untuk ini,” ujar Yasmin yang seperti sudah pasrah akan nasib buruk yang menimpanya. “Kalau begitu, sekarang saya bisa permisi?”

“Iya, silakan.”

“Terima kasih, Pak,” ujar Yasmin sambil berjalan dengan lesu ke arah pintu ruangan tersebut.

***​

Setelah dosen cantik yang biasa mengajar mata kuliah public relations tersebut keluar dari ruangannya, Pak Dar langsung kembali ke meja kerjanya. Ia langsung mengambil handphone miliknya dan menekan sebuah nomor yang sering dia hubungi akhir-akhir ini.

“Selamat siang, Pak Bas. Apa kabar?”

Sang rektor ternyata menghubungi Pak Basuki, ketua yayasan yang menjadi sumber dana operasional untuk Universitas Jaya Abadi. Artinya, gaji dan pemasukan-pemasukan lain yang masuk ke kantong Pak Dar, tentu datang dari pria tua berusia 60 tahun yang berada di ujung sambungan telepon tersebut.

“Tenang saja, Pak. Semuanya berjalan sesuai rencana. Pak Bas tinggal tunggu saja nanti ada WhatsApp atau telepon yang masuk ke nomor Bapak. Ikan sudah terpancing, tinggal ditarik saja kailnya, bukan begitu? Hahaa …”

Keduanya memang sudah akrab, karena tidak sebentar Pak Dar menjabat sebagai rektor kampus tersebut. Bisa dibilang, kedua pria tua itu sudah tahu luar dalam masing-masing.

“Tentu, Pak. Memang tidak bisa ditarik dengan keras. Ikan yang bodinya seperti itu, biasanya harus ditarik ulur dengan lihai, agar tidak terlepas dari joran yang sudah kita lepas, haa.”

Kebetulan, kedua pimpinan kampus tersebut memang sama-sama hobi memancing. Karena itu, candaan mereka cukup nyambung seputar hobi menangkap ikan.

“Ikan untuk saya? Oh, Bapak tidak usah khawatir. Saya tidak akan mengganggu target Bapak kok. Saya sendiri sudah menebar kail yang sebentar lagi sepertinya akan menarik seorang ikan mungil, tapi manisnya itu lho Pak, gak ada obatnya, hihii …”

Pak Dar tampak tersenyum sambil memandang ke luar jendela kantornya. Pandangannya tertuju pada Gedung 2 di ujung sana, yang kebetulan juga merupakan tempat dosen bernama Yasmin Wulandari biasa mengajar.

“Siap, Pak. Nanti kita berkabar saja bagaimana perkembangannya. Salah dia sendiri kan mengapa mengurus laporan penting begitu kok ya di server kampus kita, hee. Sampai jumpa, Pak.”

Pak Dar akhirnya mengakhiri sambungan telepon dengan senyum penuh kemenangan.

(Bersambung)
 
siapakah yg bakal digarap duluan, ga sabar nih :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd