Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Part 7: Rahasia Pribadi

Di sebuah rumah mungil yang hanya berisi dua kamar tidur dan satu kamar mandi, seorang pria tampak sedang duduk di meja makan. Ia telah mengenakan kemeja dan celana panjang rapi, yang memang biasa ia kenakan setiap kali akan berangkat mengajar ke kampus.

Dari luar, terdengar suara kokokan ayam yang berasal dari rumah tetangga mereka, yang kebetulan memang suka sekali memelihara ayam jago aduan. Sayangnya, karena pemiliknya takut ditangkap polisi bila ikut sabung ayam, sang hewan berjengger merah darah tersebut pun hanya bisa meringkuk kecut di dalam kandangnya yang sempit. Persis seperti pemiliknya juga bila sedang dimarahi oleh istrinya yang galak.

“Ini nasi gorengnya, Kangmas Raden Sofyan Pratama Hadiningrat. HIhihi…” canda seorang perempuan berusia 27 tahun yang pagi ini sudah tampak segar, meski hanya mengenakan daster rumahan panjang bermotif batik yang menjulur hingga pertengahan betisnya.

“Lah, sejak kapan aku punya nama keturunan ningrat seperti itu sih, Raden Ayu Laras Kinanti Yudonegoro? Hahahahaa.”

MEF83KF_t.png


“Dih, kok malah dibales. Dasar suami aneh.”

“Lah kan kamu duluan yang garing?! Suami aneh itu karena istrinya juga aneh,” balas Sofyan sambil menjulurkan lidahnya untuk menanggapi candaan sang istri. “Kok nasi gorengnya cuma sepiring, kamu gak ikut sarapan?”

“Belum lapar, sayang. Nanti aja habis kamu berangkat aku baru makan.”

“Owh… oke deh,” ujar Sofyan sambil langsung melahap nasi goreng buatan istrinya yang tentu mempunyai cita rasa berbeda dengan makanan serupa di tempat lain.

“Enak gak?” tanya sang istri. “Gak sempat nyicipin, tadi buru-buru banget. Takaran bumbunya seadanya. Tapi ya cuma nasi goreng begitu takaran bumbunya sih seharusnya sudah di luar kepala.”

“Enak! Enak banget! Kok ada sesuatu yang lain ya? Kamu tambahin bahan apa ini? Kok rasanya agak beda dengan yang biasa. Dimasukin apa sih ini?”

“Ra-ha-si-a. Seorang chef tidak boleh membuka rahasia dapur. Hihihi. Yang berasa chef ya, sayang?,” ujar Laras sambil mengedipkan matanya dengan manja ke arah sang suami.

“Duh, jangan kedip-kedip gitu donk, Sayang. Nanti aku meleleh,” ujar Sofyan sambil berpura-pura tubuhnya kehilangan tenaga hingga jatuh ke lantai bagaikan es batu yang mencair karena kepanasan.

Keduanya pun tertawa menikmati suasana menyenangkan di rumah mereka, yang sebenarnya terjadi hampir setiap pagi.

“Hmm, pagi-pagi begini pasti bakal seru kalau kita punya anak ya, Mas?” Ujar Laras tiba-tiba.

Perempuan tersebut memang sudah lama menantikan kehadiran seorang buah hati. Di luar sana memang banyak pasangan yang memutuskan untuk menunda atau bahkan tidak mau punya keturunan sama sekali. Mereka punya berbagai alasan, mulai dari ingin menikmati masa pacaran dengan suami, tidak ingin menambah populasi bumi, hingga masalah keuangan mengingat biaya pendidikan anak yang makin melambung tinggi. Namun bagi Laras, anak adalah wujud kesempurnaan hubungan suami istri, dan ia begitu menginginkannya.

“Betul sih, Sayang. Tapi mau bagaimana lagi, kan kita belum dikasih rezeki sama Yang di Atas,” ujar sang suami dengan bijak. “Yang penting kan kita sudah berusaha.”

Laras mengangguk, ada sedikit rona kesedihan di wajahnya. Sofyan pun buru-buru mengalihkan topik.

“Omong-omong soal berusaha, bagaimana performa aku tadi malam? Oke kan?”

Mendengar jawaban itu, Laras pun tersipu malu. Ia tentu ingat bagaimana sang suami merebahkan diri di sampingnya begitu pulang kerja, dan langsung memeluknya dari belakang. Tangan Sofyan bahkan langsung meraba-raba payudara sang istri, membuat pemiliknya menjadi tidak tahan untuk mengeluarkan desahan. Mereka berdua pun melanjutkan pergumulan tersebut hingga keduanya sama-sama orgasme, meski di waktu yang berbeda.

“Iya sih, enak banget Mas semalam. Tapi Mas kenapa sih kok akhir-akhir ini suka pulang larut malam? Kan kita jadi gak bisa sering… sering begitu?”

Sofyan menghembuskan napas. Sejak beberapa hari lalu, ia memang sudah ingin menceritakan hal ini, tetapi belum menemukan waktu yang pas. Kini, ia merasa mendapat momen yang tepat untuk mengatakannya. Pria tersebut pun langsung meletakkan alat makannya di atas piring, agar bisa fokus mengobrol dengan istrinya.

“Jadi gini, Sayang. Kamu ingat Pak Yo kan? Dekan di fakultas aku yang kemarin ketemu kita di acara Entrepreneurship Day? Pak Sunaryo?”

Laras tampak sedikit tidak nyaman mendengar nama itu, ia meremas tangannya sendiri erat. Namun ia lekas menutupinya senatural mungkin.

“I… Iya, ingat kok Mas. Memangnya kenapa Pak Yo?”

“Kapan itu dia memanggilku untuk bertemu di kantornya. Ternyata, dia hendak memberikan aku tanggung jawab tambahan, yaitu menjadi pengurus proses akreditasi fakultas. Itulah mengapa akhir-akhir ini aku harus sering lembur, karena aku perlu memproses banyak sekali data yang dibutuhkan dalam proses akreditasi tersebut.”

“Ohh, tapi kamu sendiri bagaimana, Mas? Bisa menjalankan kerjaan baru itu dengan baik kan?”

“Pak Yo sih bilang kalau berhasil memegang tanggung jawab besar seperti ini bisa membantu karirku ke depannya nanti. Dia juga sempat bilang kalau aku bisa dipilih sebagai kandidat dosen yang akan menggantikan dia sebagai dekan.”

“Wah, bagus dong, kalau begitu?”

“Secara prospek sih iya. Tapi aku masih merasa ini semua begitu tiba-tiba. Aku jadi tidak bisa pulang cepat, pikiranku pun jadi harus terus memikirkan urusan akreditasi. Baru sebentar saja mendapat tugas seperti itu, aku langsung mudah capek,” ujar Sofyan terus terang kepada sang istri. “Tapi di sisi lain, aku takut apakah rasa capek itu sebenarnya hanya kegelisahan dan alasanku saja yang takut menghadapi tantangan baru. Mungkin karena sudah terlalu lama terjebak di zona nyaman.”

Laras pun memikirkan kalimat apa yang terbaik untuk menanggapi sang suami.

“Mas Sofyan… Kalau untuk aku, yang paling penting adalah Mas Sofyan bahagia dalam bekerja. Mau Mas di kampus santai-santai saja, atau sibuk seperti sekarang, aku percaya itu semua adalah yang terbaik, jadi aku tidak akan mengeluh. Apa pun pilihan yang Mas ambil, pasti akan aku dukung,” ujar Laras sambil tersenyum.

Sofyan tersenyum mendengarkan kata-kata Laras yang begitu menggugah tersebut. Benar-benar istrinya ini memang sempurna. Ia pun langsung berdiri dan mendekat ke arah sang istri, sebelum kemudian memeluk tubuhnya dengan erat.

“Aku mencintai kamu, Sayang,” bisik Sofyan di telinga Laras.

“Aku juga sayang sama kamu, Mas.”

Seperti sudah tidak sabar, Sofyan langsung mengecup bibir Laras dengan liar. Bibir yang tampak ranum meski belum dibalut lipstik tersebut dilumat habis-habisan oleh sang suami. Tangan Sofyan pun mulai bergerilya menjamah payudara Laras yang masih tertutup kain daster dan bra berwarna hitam yang ia kenakan.

Diperlakukan seperti itu, Laras pun menjadi tidak tahan. Ia pun turut membalas lumatan dan tusukan lidah Sofyan di rongga mulutnya. Kedua tangannya kini telah bertaut di leher sang suami, seperti tidak ingin melepaskannya pergi di pagi hari ini.

Namun tak lama kemudian, keduanya sadar bahwa mereka tidak bisa terus menerus bermain birahi, karena sang suami harus segera bekerja. Perlahan, Sofyan pun mulai melepas kecupan dan pelukannya.

“Duhh, lagi pengin tapi aku harus pergi ke kampus, huu,” gerutu Sofyan.

“Hahaa, sudah tidak apa-apa Mas. Ayo cepat berangkat, nanti terlambat. Bisa ngambek nanti mahasiswa-mahasiswa kamu,” ujar Laras dengan wajah yang manis. “Aku tidak akan kemana-mana kok, selalu menunggu kamu. Pulang kerja nanti bisa kita lanjutkan lagi.”

“Bener ya, sayang. Pokoknya kamu gak boleh nolak.”

“Iya, bener kok. Kapan sih memang aku pernah nolak,” ujar Laras dengan lembut, sambil mengikuti suaminya berjalan menuju motornya yang berada di teras depan.

“Berangkat, sayang,” ujar Sofyan sambil mulai menjalankan motor matic miliknya.

“Hati-hati di jalan, Mas.”

Sang istri pun melambaikan tangannya mengikuti kepergian sang suami, hingga ia tidak bisa lagi melihatnya karena motor tersebut berbelok di tikungan.

***​

Saat suaminya telah berangkat untuk mengajar di kampus, Laras langsung kembali masuk ke dalam rumah. Ia membereskan piring bekas sarapan sang suami, lalu mencucinya di wastafel. Setelah itu, ia pun menyapu dan mengepel lantai rumah yang ukurannya tidak terlalu besar tersebut. Karena itu, hanya butuh waktu sekitar 45 menit sampai seluruh sudutnya tersentuh oleh alat pembersih yang digunakan Laras.

Untuk melepas lelah, Laras pun merebahkan tubuh indahnya yang masih tertutup daster panjang bermotif batik di atas tempat tidur yang biasa ia tiduri bersama suaminya. Sebenarnya, masih ada lagi pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan, mulai dari mencuci pakaian, menjemurnya, serta menyetrika baju kering yang ia cuci beberapa hari lalu. Namun perempuan cantik itu memutuskan untuk menunda kegiatan tersebut. Hari masih panjang, karena itu saat ini kita bisa istirahat dulu, pikir dia dalam hati.

Karena bosan, Laras pun membuka handphone yang sebelumnya ia letakkan di atas meja nakas di samping ranjang. Awalnya, ia hanya melihat akun Instagram miliknya. Ada sebuah foto yang harus dia unggah, dan langsung ia lakukan dalam waktu singkat. Caption untuk post tersebut juga sudah ia buat di hari sebelumnya, dan disimpan di aplikasi catatan yang juga ada di handphone tersebut. Karena itu, Laras hanya perlu menyalin teks tersebut, dan memasukkannya ke dalam bagian caption sebelum mengunggah foto.

Perempuan berkulit putih nan halus itu pun memeriksa komentar dan pesan yang masuk ke DM Instagram miliknya, tidak ada yang spesial. Namun di tab notifikasi, tiba-tiba muncul peringatan bahwa sudah ada beberapa akun yang langsung mengklik tombol “like” untuk foto terbarunya. Salah satu dari akun tersebut adalah milik seseorang yang rutin berkirim pesan dengannya selama beberapa hari terakhir. Laras pun jadi terpikir untuk mengirimi dia pesan.

“Pagi, Pak. Apa sedang sibuk?” Tanya Laras lewat aplikasi WhatsApp. Tanpa diduga, orang yang dituju ternyata juga sedang online, dan langsung membalas pesan Laras.

“Pagi, Dik Laras. Tidak sibuk kok, apa kabar kamu?”

“Kabar baik, Pak. Oh iya, boleh saya tanya sesuatu?”

“Boleh dong. Apa sih yang gak boleh untuk perempuan semanis kamu. Mau tanya apa Dik Laras?”

“Tadi saya baru saja mengobrol dengan Mas Sofyan. Dia bilang bahwa belum lama ini Pak Yo memberikan tugas tambahan untuk mengurus masalah akreditasi fakultas. Apa benar?”

“Iya, betul. Kalau boleh tahu kenapa Dik Laras menanyakan hal itu? Apa Pak Sofyan kurang sreg dengan tanggung jawab baru yang saya berikan?”

Laras menjadi tegang saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia merasa khawatir telah memberikan kesan yang tidak baik kepada atasan sang suami. Apabila dia salah bicara, jangan-jangan Pak Yo bisa jadi beranggapan buruk kepada Mas Sofyan.

“Oh, tidak. Bukan begitu Pak Yo. Saya hanya memastikan saja,” ketik Laras di aplikasi pengiriman pesan tersebut. “Tadi Mas Sofyan juga bilang bahwa dengan tanggung jawab baru ini karirnya bisa lebih berkembang. Jadi, tidak ada alasan baginya untuk menolak kesempatan baik tersebut.”

“Betul, Dik Laras. Seperti yang kamu tahu, saya kan sudah tidak muda lagi. Suatu saat akan ada waktunya saya untuk mundur dari posisi saya, dan menentukan pengganti. Tentunya saya berharap pengganti saya adalah orang yang punya pengalaman mengerjakan berbagai tanggung jawab di kampus dengan baik.”

“Sudah tidak muda lagi? Ah, Pak Yo bisa saja. Menurut saya Pak Yo belum terlihat terlalu tua kok.”

Dalam kondisi ini, Laras sebenarnya memang mengatakan hal tersebut dengan nada bercanda, demi mencairkan suasana. Kalau percakapan ini terlalu dibawa serius, ia khawatir Pak Yo akan merasa terganggu, dan malah berasumsi negatif kepada sang suami di kampus.

Namun harus diakui, ingatan Laras jadi kembali ke pertemuan pertamanya dengan Pak Yo beberapa minggu lalu. Pria berusia 50 tahun tersebut memang parasnya jauh dari kata tampan. Apalagi bila melihat kepalanya yang botak di bagian tengah dan kacamatanya yang bulat, pria tersebut lebih terlihat seperti anak culun yang kurang pergaulan. Namun apabila melihat tubuhnya, masih tampak sisa-sisa kebugaran di masa mudanya.

Tubuh Pak Yo memang sedikit lebih besar dari suami Laras yang cenderung kurus. Otot lengannya tampak lebih berisi, dengan tangan dan kaki yang sekilas terlihat bersih dari bulu. Saat berjalan melewati pria tua tersebut, Laras sempat mengendus bau parfum yang begitu segar, berbeda dengan para pria seusianya yang lebih memilih aroma kayu tua. Aroma tersebut bahkan masih tercium saat mereka berdua bertemu lagi, ketika Pak Yo membantu Laras untuk memompa ban mobilnya yang kempes.

“Oh iya, kita belum pernah ngobrol soal keluarga Pak Yo, ya?” Tanya Laras, seperti berusaha mengulik kehidupan pribadi sang dekan. “Pasti sudah besar-besar anaknya ya, Pak.”

“Keluarga? Keluarga saya kecil saja. Saya baru punya satu istri dan satu anak, Dik Laras. Mereka saat ini tinggal di kampung kami di Jawa Timur, karena anak saya juga kuliah di salah satu Universitas negeri di sana,” tulis Pak Yo.

“Perlu ditekankan banget “baru punya satu istri”-nya ya, Pak? Hihihi.”

“Lho, harus dong. Kan supaya jelas.”

“Lebih juga nggak apa-apa kok Pak Yo. Tidak ada yang melarang.”

“Iya sih, tapi aku kalau udah ada yang legit dan ranum, nggak bakal kayaknya tertarik punya yang lain.”

“Masa sih? Memangnya yang ada sekarang kurang legit dan ranum? Eh maaf…”

“Bisa saja kamu Dik, hehehe…”

“Kalau gak salah ingat, Pak Yo tinggal di apartemen kan?” tanya Laras lagi.

“Betul. Saya lebih memilih menyewa apartemen daripada mengontrak atau membeli rumah di sekitar kampus. Harganya sudah mahal, dan proses mengurusnya ribet. Kalau apartemen kan enak, apabila gak sreg ya tinggal pindah ke tempat lain. Saat ini, apartemen saya juga cukup dekat dengan kampus, hanya sekitar 30 menit.”

“Owh, sepertinya saya tahu… yang dekat bundaran itu kan, Pak?”

“Ya, tepat sekali. Satu piring cantik buat kamu Dik Laras, hehehe.”

“Gak mau ah piring cantik doang. Maunya nilai A saja dari Pak Dekan, biar semester besok tidak perlu mengulang mata kuliah, hahaa…”

“Untuk Dik Laras, nilai A, B, C, D sampai P juga bisa saya kasih, asalkan Dik Laras berkenan. P-nya yang besar pula.”

“Nilai apa yang bisa sampai P? Bapak ngasal aja haishh… Nanti saya balas kasih nilai K.”

“Kok K? Apa itu nilai K, Dik Laras?”

“Kesepian… Karena kan Pak Yo sendiri saja di apartemen, tidak ada istri dan anak menemani.”

“Bisa saja kamu.”

“Tapi bener kan? Apa jangan-jangan Pak Yo ada teman sekamar? Hayo ngaku, hihihi…”

“Nggak ada kok. Aku tinggal sendirian di sini.”

“Gak percaya, biasanya kan ada suami merantau sendirian pasti berasa jadi bujangan. Apalagi istri dan anaknya selalu di luar kota, tidak ada yang mengawasi.”

“Kalau gak percaya, kamu datang ke sini saja Dik Laras. Dan periksa sendiri apartemen aku, bagaimana?”

“Idih. Memangnya boleh aku main ke sana, Pak?”

“Boleh saja, kenapa nggak. Nanti aku kasih jamuan coklat Toblerone selusin.”

“Lho? Kok Pak Yo tahu aku suka coklat? Jadi pengen… Hahaha.”

“Ya sudah, datang ke sini saja kalau pengen, nanti aku layani kamu layaknya putri raja.”

“Dikasih mahkota juga dong Pak?”

“Mahkota, cincin, kalung, gelang, semuanya aku siapkan untuk kamu Dik Laras, hee.”

Obrolan keduanya pun sudah bergeser ke ranah yang lebih pribadi, hingga obrolan yang menyerempet topik romantis dan seksual. Laras sebenarnya hanya iseng menanggapi ocehan pria tua tersebut. Namun lama kelamaan dia menjadi sedikit nyaman, karena selama ini ia tidak pernah lagi mendapatkan teman yang asyik diajak chat ngalor ngidul seperti itu.

Suaminya hanya chat apabila ada perlunya saja. Biasanya tak jauh-jauh dari “nanti malam mau makan apa”, dan “maaf nanti malam aku pulang telat”. Laras pun merasa teman-temannya sudah makin menjauh, seiring semuanya mulai mempunyai kehidupan masing-masing. Mereka baru berbincang apabila ada gosip baru seputar artis ternama, atau teman mereka yang ketahuan memiliki gandengan baru.

Kenalan Laras dari dunia Instagram pun seperti tidak mau menjalin hubungan santai dengan perempuan tersebut. Karena itu, ia hampir tidak pernah diundang apabila ada acara khusus yang dibuat untuk para influencer kuliner. Sedangkan di inbox Instagram milik Laras, isinya dipenuhi dengan komentar tidak senonoh dari para lelaki yang ingin mendekatinya, yang tentu akan langsung dia abaikan.

Karena itu, tidak ada seorang pun yang karakternya berada di tengah antara santai dan serius, serta punya keluangan waktu untuk menanggapinya bercanda dan mengobrol lewat chat. Saat Pak Yo tiba-tiba mengirim pesan untuk berkenalan, Laras pun menyanggupi dengan tidak serius. Namun lama kelamaan, kehadiran Pak Yo meski hanya lewat aplikasi pengiriman pesan berhasil memberikan warna yang baru untuk kehidupan Laras.

Perempuan tersebut sebenarnya ingin memberitahukan persahabatannya dengan Pak Yo kepada sang suami, untuk melihat reaksinya. Namun pagi ini Sofyan malah menunjukkan rasa tidak suka kepada Pak Yo. Karena itu, Laras pun mengurungkan niatnya untuk membuka fakta tersebut kepada sang suami.

***​

Sejak berakhirnya acara Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu, jarak antara Safira Maharani dan Arga Hartanto seperti kian renggang.

Arga sebenarnya berharap sang pacar datang dan meminta maaf kepadanya atas kesalahan yang dia lakukan, sehingga menyebabkan salah satu pembicara gagal menyajikan presentasi dengan baik. Namun di sisi lain Safira juga berharap pasangannya tersebut yang lebih dulu minta maaf atas kata-kata kasar yang ia ucapkan di depan banyak orang. Terlebih lagi, kesalahan yang dia lakukan ternyata tidak sefatal itu akibatnya. Akhirnya, pasangan kekasih tersebut pun sama-sama menunggu ada yang mengucap kata maaf terlebih dahulu.

Karena itu, Safira kini jadi lebih sering bersama dengan kedua teman baiknya, yaitu Amira Ramadhani dan Naura Salsabila. Seperti biasa, mereka kini tengah sama-sama menikmati cemilan di kantin Gedung 2.

MEF83KD_t.png


“Jadi, lo sama Arga masih marahan ya Saf?” Tanya Naura sambil terus mengunyah siomay di hadapannya. Meski sering makan sembarangan, tubuh Naura tetap terjaga dalam proporsi yang baik, karena perempuan tersebut memang sering berolahraga setiap akhir pekan.

Safira mengangguk. Ia pun tengah asyik menikmati dimsum yang tadi ia pesan dari salah satu warung favoritnya di kantin tersebut. “Bisa dibilang begitu.”

“Memangnya mau sampai kapan seperti itu?”

“Nggak tahu, gue sih mau nunggu dia minta maaf saja. Keterlaluan aja kalau sampai dia bebal kekeuh tidak mau minta maaf duluan.”

“Kalau dia nanti minta maaf, kalian akan langsung baikan?”

“Ya gak tahu juga, kita lihat bagaimana perasaan gue nanti deh. Sakit banget tau ga sih?”

“Emang segitu parahnya ya?” Naura masih penasaran meski Safira sudah berulang kali menceritakan kejadian tersebut. Ia sama sekali belum pernah melihat Arga marah, karena itu ia heran mengapa pria tampan seperti dia bisa bersikap seperti yang dibicarakan temannya.

“Ya lo bayangin aja Na, gue diteriakin bego sama ****** di depan orang banyak. Padahal cuma salah kayak gitu doang…”

“Iya sih, kalau kayak gitu sebenarnya udah kelewatan. Gw juga mungkin akan marah banget kalo jadi lo. Tapi lo gak ada usaha apa pun gitu untuk kontak dia?”

“Kemarin sih gue udah coba WhatsApp, ngajakin ketemu buat ngomong baik-baik. Dia lama banget gak bales, dan baru bales pas malam kalau dia ada urusan jadi gak bisa ketemu. Nyebelin kan?”

“Aih sama aja kayak ibu satu ini. Kemarin janjian nongkrong sama gue terus dia tiba-tiba gak bisa, katanya ada urusan mendadak, sibuk kali akhir-akhir ini ya, Bund?” ujar Naura melirik satu lagi teman mereka yang dari tadi tidak ikut nimbrung di obrolan mereka, dan malah asyik menikmati mie ayam dengan bakso yang tidak biasa-biasanya dia pesan.

“Uhukk… uhukkk…” Mendengar kata-kata Naura, Amira tiba-tiba seperti tersedak. Perempuan dengan rambut sebahu tersebut langsung meneguk teh manis yang gelasnya berada di sebelah mangkok mie ayam miliknya. “Apaan sih, kok gue jadi dibawa-bawa? Kan lagi ngomongin urusan Safira sama Arga tadi.”

“Ya lo kemarin ke mana? Udah janjian, ditungguin, tiba-tiba aja bilang gak jadi,” tanya Naura. Di saat yang sama, Safira pun memandang Amira dengan bertanya-tanya. Amira bukan orang yang biasa ingkar janji semudah itu.

“Mau tahu aja sih? Rahasia dong, hihihi,” Amira masih berusaha mengelak.

“Jangan-jangan… lo punya pacar ya? Hahaa…” Todong Safira tiba-tiba.

Amira hanya diam dan tersipu malu.

“Eh bener!? Tuh kan!! Berarti bener Saf! Temen kita ini emang udah punya gandengan sebenarnya, tapi gak mau dikenalin ke kita-kita. Parah banget emang,” ujar Naura ikut mendesak Amira.

Safira geleng-geleng, “Parah parah…”

“Ihh, kalian itu keponya luar biasa ya,” jawab Amira.

Tiba-tiba, terdengar notifikasi di handphone milik perempuan yang tubuhnya lumayan berisi tersebut. Ia pun langsung memeriksanya, dan menemukan sebuah pesan dari seorang pria yang telah mengisi hatinya selama beberapa bulan belakangan.

“Siapa tuh, dari pacar baru lo ya? Udah ngaku aja deh,” tanya Naura.

“Pengen tahu banget sih. Udah ya, gue pamit dulu…” tiba-tiba Amira bergegas mengambil tas dan meninggalkan kedua temannya yang masih duduk di meja kantin.

“Heh, main pergi aja. Ini mie ayam bayar dulu woyyy …” Teriak Naura.

“Bayarin dulu ya bestie… Besok gue ganti, buru-buru banget ini. Penting. Makaseeee.” balas Amira yang sudah cukup jauh dari kedua temannya.

“Lihat tuh, Saf, temen lo. Aneh banget kan?”

“Kan dia temen lo juga, Na. Lagipula kalau dia lagi bahagia, ya udah biarin aja sih, hee.”

“Iya sih. Jadi penasaran kayak apa cowoknya.”

“Eh, gue jadi inget, ada yang mau gue ceritain ke kalian,” ujar Safira sambil memasang raut wajah yang serius.

“Apa tuh, Saf?”

“Jadi gini. Sebelum acara Entrepreneurship Day kemarin, gue sempet dipanggil sama Pak Dar untuk datang ke ruangannya.”

“Lo dateng ke sana sendiri doang? Atau sama Arga?”

“Waktu itu sih sendiri doang, soalnya Arga lagi gak bisa.”

“Ihh, lo berani banget sih? Gue mah ogah… Takut diapa-apain sama rektor mesum itu, hii.”

“Namanya juga terpaksa, Na. Udah jangan dipotong dulu sih, bukan itu yang mau gue ceritain.”

“Eh iya maaf. Terus dia ngapain manggil lo ke ruangannya?”

“Biasalah, hal sepele sebenarnya. Tapi yang menarik, waktu gue mau balik, gak sengaja gue lihat ada dua dokumen mahasiswa lagi diperiksa di meja kerjanya. Lo tahu gak dokumen itu punya siapa?”

“Siapa?”

“Punya lo sama Amira.”

“Hah, serius?”

“Sumpah, Na. Ngapain sih gue bohong soal ginian.”

“Idih. Ngapain ya itu rektor tua meriksa-meriksa dokumen gue sama Amira?? Jangan-jangan kita berdua mau dipelet? Hii… amit-amit jabang bayi.”

“Gue gak tahu sih. Tapi ya, kalian berdua hati-hati aja.”

“Thanks, Saf. Nanti gue certain sama Fadil deh, biar gue dilindungi lahir batin sama dia.”

“Dilindungi atau dikelonin? Hahaa…” Ujar Safira dengan tawanya yang indah.

“Dua-duanya juga nggak apa-apa kan? Haa…”

Mereka berdua pun kembali melanjutkan makan siang mereka, sambil menunggu kelas berikutnya yang harus mereka ikuti hingga sore nanti.

***​

Setelah meninggalkan kedua temannya, Amira tampak berjalan dengan cepat ke arah parkiran Gedung 3. Sesekali ia melihat ke belakang, khawatir ada yang mengikuti dirinya. Dari jauh, ia bisa melihat mobil BMW hitam yang sudah ia kenal betul siapa pemiliknya.

Saat posisinya telah begitu dekat dengan mobil tersebut, Amira masih coba melihat ke sekitar area parkir, memeriksa apakah ada orang yang ia kenal atau tidak. Saat telah yakin bahwa ia hanya sendirian di sana, baru lah perempuan berkulit putih mulus itu membuka pintu di sisi penumpang dan masuk ke dalam mobil.

“Kamu gila ya, berani-beraninya ngajak ketemuan sekarang. Ini masih di kampus lho. Kamu gak takut ketahuan?” Ujar Amira kepada seorang pria yang sudah duduk di kursi pengemudi sebelum ia masuk. Mendengar omelan itu, sang pria hanya tertawa.

“Memangnya kamu takut ketahuan siapa sih, sayang?” Ujar sang pria sambil mengelus rambut Amira dengan lembut. “Aku kangen banget tahu sama kamu.”

“Ya takut ketahuan sama pacar kamu lah. Aku tadi lagi sama dia di kantin, eh malah kamu WhatsApp suruh aku ke sini. Untung dia gak nanya-nanya aku mau ketemu siapa.”

“Berarti gak ketahuan kan?” Sang pria mulai mendekatkan kepalanya ke arah Amira, hingga bibir mereka hanya berjarak sekitar lima sentimeter.

“Kamu kangen… apa sange?”

“Dua-duanya, sayang. Bagaimana gak sange sih, kalau inget toket kamu yang gede ini. Jauh lebih gede dari punya Safira yang sampai sekarang sering gak mau aku pegang-pegang. Dasar munafik… Sini bibir kamu, sayang.”

Sang pria langsung menarik kepala Amira, dan melumat bibirnya yang ranum. Tubuh perempuan tersebut yang sedikit berisi, sudah bersandar di pelukannya. Kaca mobil yang sedikit gelap, membuat pemilik mobil tersebut yakin bahwa tidak ada yang akan melihat aktivitas mereka.

Amira pun tidak menolak diperlakukan seperti itu, dan malah dengan aktif membalas ciuman sang pria. Setiap bertemu, mereka memang selalu melepas rindu, karena hingga saat ini masih tidak bisa menunjukkan kemesraan di tempat umum. Perempuan cantik itu sadar posisi dia yang hanya merupakan selingkuhan dari sang pria. Karena itu, apabila sedang di tempat tertutup, keduanya pun seperti tidak tahan untuk saling berbagi kemesraan.

“Ahh, Arga… nikmat sekali ciuman kamu, sayang,” ujar Amira sambil mengulurkan lidahnya yang langsung dijemput oleh sang pria.

“Kalau yang ini, nikmat juga gak?” Tanya Arga sambil meremas-remas lembut payudara Amira dari balik kaos berwarna hitam yang dikenakan sang perempuan.

Amira mengangguk, tanpa bisa menyembunyikan raut wajahnya yang telah dimabuk oleh birahi. Padahal, kemarin mereka baru saja bertemu, menghabiskan waktu dengan makan malam di mall yang lokasinya jauh dari kampus mereka, sehingga kecil kemungkinan akan bertemu mahasiswa lain yang mereka kenal.

Sepulang dari mall, Arga pun langsung mengajak Amira ke kamar kosnya untuk mereguk kepuasan dengan cara menyetubuhi liang senggama sang perempuan. Itulah mengapa sang pria tidak bisa membalas pesan dari Safira, yang masih berstatus sebagai kekasihnya, meski mereka sedang saling marah. Amira pun sampai membatalkan janji untuk bertemu dengan Naura.

“Sreek… Sreek …”

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari semak-semak di sekitar mobil Arga. Keduanya pun langsung menghentikan aktivitas mereka, dan melihat ke sekitar. Tidak ada siapa pun yang terlihat, sehingga mereka merasa sedikit lega. Mobil BMW hitam itu memang sengaja diparkir di lokasi yang cukup tersembunyi, sehingga tidak ada banyak orang yang lalu lalang di sekitarnya.

“Sepertinya hanya angin,” ujar Arga.

“Lagian kamu ngapain ajak ketemu di sini sih? Biasanya juga di luar kampus kan.”

“Aku kangen, Mir. Mau ngentotin kamu,” ujar Arga setengah berbisik.

“Ya masa mau ngentot di parkiran kampus begini, kamu ngaco.”

“Kita ke kamar kos aku aja yuk?” Ajak Arga sambil menggenggam tangan Amira, dan mengedipkan mata demi menggoda perempuan tersebut.

“Tapi hari ini aku ada kelas.”

“Ahh, nggak apa-apa kan sesekali bolos. Yah… yah…?” bujuk rayu Arga.

“Nanti kalau Safira dan Naura curiga bagaimana?”

“Alasan apa kek gitu, bilang ada urusan mendadak di rumah, atau yang lain.”

Amira tampak berpikir sejenak, sebelum kemudian menganggukkan kepala.

“Nah, gitu dong. Let’s go…”

Arga pun bergegas menyalakan mesin mobil, sebelum Amira berubah pikiran. Dalam sekejap, mereka berdua pun sudah meninggalkan area parkir Gedung 3, tempat fakultas di mana Arga biasanya menuntut ilmu.

Saat mobil BMW hitam itu telah pergi, seorang pria tua berperut buncit tampak keluar dari semak-semak yang berada di dekat tempat mobil tersebut sebelumnya berada. Ia sedikit menggerutu pada bebatuan yang ada di tempatnya berpijak.

“Dasar batu sialan, hampir aja aku ketahuan karena terpeleset. Mereka jadi dengar sesuatu dan pergi deh…” gumam pria tua dengan kumis tipis di atas bibirnya tersebut. “Tapi untung aku sudah mendapatkan ini.”

Ia membuka galeri ponsel miliknya, dan melihat beberapa foto yang sempat ia ambil. Di sana, jelas terlihat bagaimana Amira masuk ke mobil milik Arga, dan bercumbu dengan sang pemilik mobil di dalamnya. Arga memang cukup cerdik dengan membuat kaca mobilnya menjadi lebih gelap, tapi dia lupa melakukannya untuk kaca depan. Sehingga dari posisi tertentu, orang di luar masih bisa menangkap apa yang terjadi di dalam mobilnya.

“Ditambah foto-foto lain yang sempat aku ambil sebelumnya, ini pasti akan menjadi skandal besar, hahaa…”

(Bersambung)
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Wah aku baca triple update hekekek

Kayaknya akan berwarna nih.. Ada yg dapet bangkotan, ada juga yg dapetnya brondong.. Atau malah arahnya sama bapaknya si brondong yaa.. Kan brondongnya cidera.. Hekekek

Thx Hu
 
Mulai panasssss.. Lanjut suhu.. Jgn kasih kendor.
Laras kira kira bisa ke patil pak yo ngk yaaa hemmm
 
Bimabet
Makasi apdetnya @fathimah

Arga ternyata serigala berbulu jemb*t.. sudah sempat celup-celupan sama Mira

Sahabat pacar kalau sama enaknya, atau bahkan lebih enak, emang kayaknya cukup menantang sih, ehh

Terimakasih updatenya suhu @fathimah
Sepertinya Laras duluan ini yg kena ihik ihik pak Yo.

Yakin? Nanti kita lihat ya, hee ...

Mksih udh update terus suhu , request klo ada waktu luang updatenya yang panjang sperti suhu killertomato hu biar mantab dan puas hhe,

Terima kasih masukannya
Mungkin beda gaya saja, karena untuk kolaborasi ini kebetulan saya yang dapat tugas susun plot, makanya lebih mirip karya saya yang lain dari sisi panjang
Karena kalau disimpan-simpan sampai panjang, bawaannya pengin edit2 terus, hahaa

Tapi diusahakan rutin update jadi puasnya tetep dapet

Suhu @fathimah ane g sabar nih kira2 laras diapain ya sm pak yo maen ke apartment nya wkwkwk

Mungkin belajar kelompok bersama, atau main uno sampai pagi ...

Wah aku baca triple update hekekek

Kayaknya akan berwarna nih.. Ada yg dapet bangkotan, ada juga yg dapetnya brondong.. Atau malah arahnya sama bapaknya si brondong yaa.. Kan brondongnya cidera.. Hekekek

Thx Hu

Cidera tapi kalau yang itunya masih bisa main
gak masalah kan? Ehh
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd