Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Para Pemancing Mulai Menebar Kail. Menunggu Ikan Ikan Montok Untuk Memakan Umpan nya. Next Akan Ada Adegan Arga x Amira nii. huehuehue
 
Part 8: Hubungan Dekat

Suatu pagi, seperti biasa Yasmin Wulandari berangkat ke kampus dengan diantar oleh suaminya, Ferdian Jayadi. Hanya butuh waktu tidak sampai 30 menit dari rumah mereka untuk sampai di gerbang kampus yang terkenal dengan sebutan Universitas Ungu tersebut. Setelah sampai, Ferdian pun memarkirkan mobilnya di dekat pintu gerbang Gedung 2, tempat kerja sang istri yang belum lama ini dinikahinya.

MEF83KE_t.png


“Aku pamit kerja dulu ya, Mas. Kamu juga yang semangat kerjanya,” ujar Yasmin sambil menempelkan punggung tangan sang suami ke keningnya, sebuah ritual yang tidak pernah luput ia lakukan setiap pagi dan petang.

“Iya. Nanti malam kamu mau dijemput jam berapa?”

“Nah, itu. Aku nggak tahu juga, Mas. Kalau jadi, sepertinya aku harus menemui Pak Bas hari ini untuk menyelesaikan masalah kemarin.”

“Kepala yayasan kampus itu ya? Harus banget ketemu sama dia?”

“Ya mau bagaimana lagi, Mas. Kan aku sudah cerita tentang kesalahan dana event yang kemarin. Masih untung Pak Dar nggak langsung suruh aku ganti rugi, kita kan gak punya uang sebanyak itu.”

Setelah pertemuan dengan Pak Dar, Yasmin memang tidak tahu harus bercerita ke siapa lagi. Semua temannya pasti akan langsung heboh kalau mendengar kasus ini. Bukannya solusi, mereka justru akan menambah masalah baru, menurut Yasmin. Karena itu, perempuan tersebut akhirnya hanya menceritakan itu kepada suaminya.

Seperti yang ia duga, Ferdian memang tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Namun setidaknya, Yasmin bisa merasa sedikit lega karena mempunyai seseorang untuk berbagi cerita.

“Lagian kamu juga sih, pakai acara salah hitung segala. Itu kan hal yang sederhana banget,” ujar Ferdian sambil geleng kepala.

Mendengar kata-kata itu, Yasmin pun menjadi emosi. “Loh, kok kamu sekarang ngomong gitu sih, Mas? Kalau memang aku tahu sekarang jadi runyam begini, ya ga bakal aku salah hitung segala. Ini kan ga sengaja! Aku tahu kalau aku yang salah, aku ga teliti. Aku tahu kalau aku harus bertanggung jawab. Itu semua aku sudah paham! Kalau kamu cuma mau menyalahkan dan ga bisa bantu cari solusi, mending diam saja deh!”

“Kok kamu kayak gitu ngomongnya sama suami sendiri? Diingatkan kok malah marah,” kini giliran Ferdian yang mulai naik pitam. “Jadi istri kok gak sopan? Aku kan mencoba…”

“Udah ah! Males aku ngomong sama kamu soal ini. Aku masuk dulu,” ujar Yasmin sambil bergegas mengambil tas dan keluar dari mobil, tanpa mengindahkan suaminya yang sebenarnya masih ingin bicara.

***​

Di perjalanan menuju ruang dosen, Yasmin yang berjalan dengan terburu-buru tiba-tiba bertemu dengan Sofyan Pratama, sahabatnya yang juga merupakan dosen di kampus tersebut. Sofyan membawa beberapa berkas di tangannya, sepertinya baru saja dari bagian akademik untuk mengambil beberapa materi akreditasi.

“Yas? Buru-buru banget jalannya,” Sofyan menjadi yang pertama menyapa perempuan cantik berjilbab itu, “jalan ke ruang dosen?”

“Eh? Hai, Sof. Iya, mau ke ruang dosen. Kok Lo ada di sini? Ngapain?”

Fakultas Ekonomi Bisnis tempat Sofyan mengajar berada di Gedung 3, tentu tidak biasa Yasmin bertemu dengannya di Gedung 2.

“Yah beginilah, cek dan ricek berkas dari pagi ketemu pagi,” Sofyan mengangkat bahu sembari menunjukkan berkas-berkas di tangannya, “Tiap hari sekarang begini. Disuruh sama Pak Sunaryo bantuin ngurus akreditasi fakultas.”

“Ya ampuuuun, jadi banyak beud dong kerjaan lo sekarang? Gue lihat yang ngerjain akreditasi kayak gituan di Sospol juga ribet banget urusannya. Belum ngajarnya, belum bimbingan mahasiswa, belum ngurus rancangan pengajaran…”

“Asli. Sumpah ribet banget, Yas. Ini baru minggu-minggu pertama aja udah banyak banget yang harus gue rekap. Karena Sospol udah duluan akreditasi, gue disuruh belajar dan lihat pembanding di sini biar lebih paham alur pengajuannya.”

“Oh gitu. Kalau gue disuruh ngerjain gituan mah ogah banget, mending resign. Hahaha…”

“Hahahaa, gue juga tadinya nggak mau. Tapi terpaksa aja karena nggak ada lagi yang mau ngerjain,” ujar Sofyan beralasan.

Yasmin sebenarnya tertarik untuk menceritakan masalahnya kepada Sofyan. Pria tersebut selain sahabatnya sejak masa kuliah, juga merupakan salah satu tim inti yang mengurus Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu. Karena itu, mungkin saja dia bisa membantu mencari solusi terbaik, selain harus berhadapan dengan Pak Bas yang entah akan melakukan apa terhadap dirinya.

Karena banyak pikiran, tiba-tiba saja Yasmin terdiam sepanjang perjalanan ke ruang dosen, wajahnya juga menunduk muram. Si cantik itu tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Yas?” tanya Sofyan yang melihat perubahan sikap sahabatnya itu. “Kesambet apa lo? Kok jadi tiba-tiba diem aja? Ada masalah?”

Yasmin mengurungkan niatnya. Sofyan sepertinya sudah cukup sibuk dengan tanggung jawab barunya. Dia juga sudah mempunyai istri, dan sepengetahuannya ingin sekali mempunyai anak. Jika dia menambahkan masalah lagi yang bukan urusan Sofyan, kasihan sekali sahabatnya itu.

“Ngg… Nggak. Nggak ada apa-apa kok, Sof. Cuma keinget bahan pengajaran aja. Ya udah, gue belok ke ruang dosen dulu ya. Lo semangat ngurus akreditasinya, hahaa.”

“Siap, thanks Yas.”

Yasmin pun pergi meninggalkan Sofyan karena ruangan yang ia tuju berlawanan arah dengan tempat yang dituju Sofyan. Perempuan tersebut tidak sadar bahwa di belakangnya sang sahabat masih terus memperhatikan lenggak lenggok tubuh seksinya dari belakang. Hari ini, Yasmin memang mengenakan celana panjang berbahan kain yang cukup longgar, tetapi tetap tidak bisa menyembunyikan bentuk paha dan pinggulnya yang gemulai. Pemandangan itu pun sampai membuat Sofyan meneguk air liurnya sendiri.

“Duh, Yasmin. Kamu kok indah banget. Bisa gak ya suatu saat nanti gue rasain tubuh indah lo itu…” batin Sofyan dalam hati.

***​

Di saat Yasmin dan Sofyan bertemu di kampus, sahabat mereka yang lain Indira Nur Aisyah baru saja sampai di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi yang berlokasi di kawasan elite kota. Ini adalah hal wajar, mengingat pemiliknya adalah seorang anggota dewan pemerintahan daerah yang juga merupakan pebisnis sukses.

MEF83KG_t.png


Setelah melalui proses pemeriksaan di pos keamanan yang berlokasi di samping pintu gerbang utama, kini perempuan dengan tubuh tinggi semampai tersebut telah duduk di sofa besar yang berada di ruang tamu rumah bertingkat dua. Perempuan tersebut melihat sekeliling rumah yang berukuran luar biasa tersebut, meski tetap tampak lengang karena tidak banyak perabot aneh-aneh di dalamnya, tapi rumah itu sungguh teramat megah dan mewah.

Satu hal lagi yang paling ia suka dari rumah itu adalah banyaknya pepohonan di bagian depan dan samping bangunan rumah, yang seperti menutupi rumah tersebut dari pandangan orang di luar, sekaligus menambah kesan asri. Saat berjalan dari pagar utama ke pintu rumah, Indira merasa benar-benar teduh, meski matahari sebenarnya sudah cukup meninggi. Ia bahkan berangan-angan suatu saat bisa mempunyai rumah yang megah seperti itu.

Tak lama kemudian, seorang pria muda yang masih harus mengenakan penyangga lengan yang terbuat dari kain untuk menjaga posisi tangannya, turun dari lantai dua rumah tersebut melewati tangga. Ia pun langsung menyapa Indira.

“Pagi sekali datangnya, Bu?” sapa sang remaja sambil mengambil posisi duduk di sofa lain yang posisinya dekat dengan Indira.

“Ya, biar Ibu bisa segera bantuin kamu, Andrew. Gimana tangan kamu, sudah baikan?”

“Hehehe. Tenang, Bu. Sudah lumayan mendingan kok, tapi ya untuk olahraga dan aktivitas berat masih belum boleh kata dokter,” Andrew mendesah, “jangankan olahraga - ngetik tugas, main PS aja gak bisa, Bu.”

“Ibu mohon maaf ya, karena Ibu kamu jadi begini.”

“Ini kan bukan salah Ibu. Namanya juga kecelakaan, hehehe…”

Hari ini Indira memang sengaja mengosongkan jadwal mengajarnya, hanya untuk menemui sang mahasiswa yang tangannya patah karena tertimpa speaker besar di acara Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu. Sembari menjenguk sang mahasiswa, ia pun berniat untuk membantunya dalam mengerjakan skripsi, sebagai cara menebus rasa bersalahnya.

Sang mahasiswa sebenarnya sudah menolak, karena merasa kecelakaan itu bukan salah Indira. Namun karena sang dosen terus bersikeras, Andrew pun menyerah dan menuruti saja permintaan dosen cantik itu.

“Kamu sudah bilang ke orang tua kamu tentang penawaran Ibu?”

“Sudah. Aku bilang ke Papa kemarin setelah ibu telepon. Papa sih mengatakan hal yang sama, kalau sebenarnya Ibu gak perlu repot-repot seperti ini.”

“Tapi kalau tidak begini, Ibu akan tetap merasa bersalah, Andrew.”

“Iya, aku juga bilang begitu sama Papa. Dan Papa akhirnya menyerahkan saja pada aku, yang penting nggak terlalu merepotkan Ibu katanya.”

“Tenang saja, Ibu nggak merasa direpotkan kok,” ujar Indira sambil tersenyum. Dengan begini, ia merasa bisa bernapas lega karena telah membantu sang mahasiswa, dan menebus rasa bersalahnya.

“Lalu prosesnya bagaimana nanti? Ibu akan datang terus ke sini untuk bantu aku mengerjakan skripsi?”

“Di sini boleh, di luar juga boleh.. Tapi mungkin Ibu tidak akan bisa datang terlampau sering, karena jadwal mengajar Ibu kan juga masih padat. Jadi mungkin seminggu sekali atau dua kali. Tapi pada hari-hari itu kalau bisa kita padatkan saja pengerjaannya, agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Bagaimana?”

“Bisa Bu. Siapa tahu dengan begini aku jadi bisa lulus tepat waktu, hehehe.”

“Amin. Asal kamu semangat, Ibu yakin kamu pasti bisa,” jawab Indira. “Ngomong-ngomong, kamu sudah bisa keluar rumah?”

“Nah, itu dia masalahnya Bu. Menurut dokter, lebih baik kalau aku di rumah dulu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang mungkin bisa mengganggu proses pemulihan tanganku ini. Ibu nggak apa-apa kalau kita mengerjakan skripsinya di rumah aku saja?”

“Ya sudah kalau begitu. Sebenarnya nggak masalah sih, Andrew. Tapi apa Ibu tidak mengganggu kalau sering datang ke rumah ini?”

“Ya nggak lah, Bu. Nggak apa-apa banget. Di sini kalau siang nggak ada orang. Papa selalu ke kantor setiap hari, kecuali kalau lagi masa reses.”

Indira mengangguk, ia tahu Papa Andrew adalah seorang anggota dewan daerah. Tapi dia tidak pernah tahu perihal ibu sang mahasiswa, “Hmm, kalau Mama kamu?”

“Mama aku sudah meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan, Bu.”

“Oh, maaf… Ibu turut berduka.”

“Terima kasih Bu.”

“Kalau begitu, kita bisa mulai sekarang?”

“Boleh, sebentar saya ambil laptop dulu di kamar saya,” ujar Andrew sambil berdiri dan kembali menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.

“Perlu Ibu bantu nggak, Andrew?” Tanya Indira. Mahasiswanya tersebut pasti merasa kesulitan membawa laptop dengan tangannya yang masih dalam proses perawatan seperti itu.

“Nggak perlu, Bu. Di atas ada pembantu saya yang nanti bisa membawakan. Ibu tunggu saja di situ,” jawab Andrew.

Indira pun mengangguk. Demi mengisi waktu sebelum Andrew kembali, ia pun mengeluarkan beberapa tugas mahasiswa yang perlu ia periksa dari dalam tas. Lumayan, sekali jalan, dua tiga pekerjaan bisa selesai secara bersamaan, pikirnya.

***​

Sekitar pukul empat sore, Yasmin juga sampai di rumah Pak Bas. Berbeda dengan rumah Andrew, tidak ada seorang pun petugas keamanan yang menjaga rumah tersebut saat Yasmin datang. Ia hanya disambut oleh seorang perempuan tua yang sepertinya merupakan asisten rumah tangga di rumah itu, yang langsung mengantarkannya ke sebuah bangunan mirip pendopo yang berada di luar bangunan utama.

Rumah milik Pak Bas tidak tampak mempunyai lantai atas, tetapi luas tanahnya jauh lebih besar. Mungkin karena lokasinya yang berada di pinggiran kota, sehingga sang pemilik masih bisa membeli area tanah yang cukup luas saat membangun rumah tersebut. Rumah itu dipenuhi dengan ornamen-ornamen kayu yang membuatnya hangat dan natural, sekaligus terlihat masih terkesan tradisional.

Di pendopo tempat Yasmin berada sekarang hanya ada empat buah kursi dan satu meja bundar berukuran sedang yang diletakkan tepat di tengah pendopo tersebut. Asisten rumah tangga yang menyambutnya saat datang tadi baru saja meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja.

Tak lama kemudian, seorang pria dengan wajah yang sudah keriput di sana sini karena termakan usia, keluar dari bangunan utama menuju pendopo. Rambutnya yang telah menipis dan beruban, membuat ia tidak bisa berbohong tentang usianya. Namun meski begitu, pria berusia 60 tahun tersebut masih bisa bergerak cukup lincah, tanpa kelihatan lemah sedikit pun.

MEF83KE_t.png


“Yasmin?” Tanya pria tua itu begitu duduk di kursi yang berada tepat di hadapan sang perempuan jelita yang langsung tegak dengan tegang.

“Betul, Pak Bas. Saya Yasmin. Bagaimana kabarnya?” Yasmin berdiri, menghampiri sang pria yang baru saja datang, dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Jabat salam itu dibalas sekenanya oleh sang pimpinan yayasan.

Pak Bas menatap lekat sang wanita jelita, “Aku baik-baik saja. Kamu bagaimana?”

“Baik juga, Pak,” Yasmin meneguk ludah, pandangannya kosong, “Agak sedikit kecewa pada diri sendiri yang gegabah, tapi selebihnya saya baik-baik saja.”

Pak Bas mengangguk-angguk. “Ya sudahlah, Yasmin. Mungkin langsung saja ya. Kita tidak perlu berlama-lama basa-basi karena saya yakin kita berdua sama-sama memiliki kesibukan yang padat hari ini. Saya sudah dengar dari Pak Dar tentang masalah yang terjadi. Tapi saya ingin memastikan dulu, apa betul kesalahan tersebut memang tanggung jawab kamu?”

“Ehm… Betul, Pak. Semua tanggung jawab saya,” menurut Yasmin, akan lebih mudah apabila ia mengakui saja dan mengambil tanggung jawab atas masalah ini. Karena apabila dia coba berargumen tentang orang lain yang mungkin menjadi kambing hitam, masalah ini akan lama sekali sebelum menemui titik terang.

“Dan kamu tahu kalau uang Rp100 juta itu bukan jumlah yang sedikit kan? Apabila digunakan dengan semestinya, banyak hal yang bisa dilakukan untuk kampus kita. Benar begitu?”

“Untuk itu, saya setuju Pak,” ujar Yasmin sambil menundukkan kepala.

“Mungkin kamu bisa menceritakan terlebih dahulu mengapa kesalahan ini bisa terjadi.”

Akhirnya Yasmin pun menjelaskan kepada Pak Bas tentang cara dia membuat proposal sebelum acara dan penyusunan anggaran di saat menyusun acara, hingga pembuatan laporan pertanggung jawaban. Perempuan berparas manis itu juga menjabarkan kemungkinan terbesar mengapa kesalahan itu bisa terjadi, yaitu karena ia tidak mau repot dan memilih untuk hanya mengubah dokumen template dari tahun sebelumnya.

Intinya, Yasmin ingin mengurai semua kejadian tersebut secara ringkas, tapi tetap logis untuk dipahami oleh Pak Bas. Latar belakangnya sebagai seorang dosen mata kuliah public relations tentu sangat membantu.

Saat dosen muda tersebut hampir selesai menjelaskan ceritanya, seorang perempuan berusia paruh baya tampak keluar dari rumah. Perempuan tersebut pun turut menuju pendopo tempat Pak Bas dan Yasmin berada.

“Pah, aku pergi dulu ya. Mau jalan-jalan ke mall, nanti ketemu juga dengan Rudi dan pulang bareng,” ujar perempuan tersebut.

Pak Bas terbatuk-batuk beberapa kali, lalu mengangguk dan bertanya, “Mau pakai mobil yang mana?”

“Aku pakai yang Alphard kali ya, nanti minta tolong diantar Pak Jono aja. Papah gak ada rencana kemana-mana kan?”

“Ga ada acara. Aku di rumah saja kok. Ya sudah, pakai saja Alphard-nya. Bilang ke si Jono,” jawab Pak Bas. Pria tua itu melihat wajah sang istri yang nampak heran melihat kehadiran wanita secantik Yasmin di pendopo rumah mereka pagi ini. Melihat hal itu, Pak Bas pun segera memperkenalkan sang istri pada Yasmin.

“Oh iya, kenalkan ini Yasmin, dosen di kampus.”

“Oh, iya. Halo Yasmin, saya Rosita, istri Pak Bas,” ujar perempuan tersebut sambil menyalami tangan Yasmin. “Ada acara apa ini, kok tumben ngajak dosen ke sini, Pah?”

“Biasa … Urusan kampus. Tapi kebetulan Pak Dar tidak bisa hadir, jadi diwakilkan oleh Yasmin.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu ya Pah,” tanpa diduga oleh Yasmin, Bu Rosita langsung melumat bibir Pak Bas dengan mesra. Ia sendiri tidak pernah melihat kedua orang tuanya bermesraan seperti itu. Mereka berdua masih seperti anak millenial yang sering tidak tahu batas saat memadu kasih.

Usia Bu Rosita memang sudah tidak muda lagi, mungkin sekitar 50 tahun. Tapi jelas sekali terlihat bahwa ia memang lebih muda dari Pak Bas. Yasmin jadi membayangkan perbedaan usia itu pasti lebih jelas terlihat saat keduanya masih muda.

“Saya pergi dulu ya, Yasmin.”

“Iya. Hati-hati di jalan Bu.”

Setelah Bu Rosita pergi, Yasmin dan Pak Bas pun kembali membahas tentang masalah keuangan dari acara Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu.

“Silakan diminum dulu tehnya.”

“Terima kasih, Pak.” Yasmin menyeruput minuman yang sudah disiapkan. Kebetulan ia juga sangat haus.

“Jadi, kamu mau mempertanggungjawabkan ini dengan cara apa, Yasmin?”

“Kalau harus membayar saat ini juga, saya tidak sanggup karena benar-benar tidak punya tabungan. Mungkin saya bisa mencicil dengan gaji saya, tapi kalau boleh tenornya dibuat panjang Pak. Lima tahun begitu, misalnya,” ujar Yasmin.

“Wah, susah juga ya kalau lima tahun. Itu sih artinya saya harus nombokin dulu, karena kebutuhan kampus kan tetap harus berjalan.”

“Mohon maaf, Pak. Karena hanya itu yang bisa saya lakukan.”

Pak Bas tampak berpikir sejenak. “Baiklah begini saja. Saya hargai niat dan itikad baik kamu untuk mempertanggungjawabkan masalah ini, dan tidak lari begitu saja. Dan kamu pun boleh mencicil uang tersebut dalam jangka waktu yang panjang, karena hanya itu kan yang kamu bisa. Tapi …”

“Tapi apa Pak?”

“Tapi selama kamu belum bisa mengembalikan uang tersebut secara utuh, kamu harus membantu saya dalam proses mencari investor untuk yayasan kampus kita. Bagaimana?”

“Maksudnya bagaimana Pak? Saya masih belum jelas.”

“Ya kamu tahu kan, uang yang saya gunakan untuk menjaga Universitas Jaya Abadi tetap beroperasi tidak bisa hanya mengandalkan uang pangkal dan SPP dari mahasiswa. Dana yang harus saya keluarkan untuk merawat bangunan dan memberikan gaji kepada kalian para dosen, jauh lebih besar dari itu. Karenanya, saya harus mencari dana dari investor luar.”

Yasmin pun mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan tersebut.

“Proses mencari investor itu tidak bisa berhenti. Saya harus setiap saat bertemu dengan investor baru, sekaligus mempertahankan investor lama supaya tetap mau memberikan dana kepada kampus kita.”

“Oh, begitu…”

“Nah, saya minta kamu mau bantu saya dalam proses tersebut. Bagaimana?”

“Tapi… saya rasa saya tidak punya pengetahuan terlalu dalam tentang hal itu, Pak.”

“Kamu pikir saya juga punya pengetahuan soal investasi? Tidak juga. Saya belajar dari pengalaman. Bagaimana senangnya diterima oleh seseorang, dan sakitnya ketika ditolak oleh seseorang,” jelas Pak Bas. “Ya, hitung-hitung karena kamu sudah terlalu banyak melakukan pengeluaran dana, setidaknya sekarang kamu bantu saya untuk menambah pemasukan dana ke kas kampus. Cukup adil bukan?”

Di kepala Yasmin, usulan Pak Bas ini memang terdengar sangat logis. Karena perempuan itu belum bisa mengembalikan pengeluaran berlebih untuk acara beberapa minggu lalu, mungkin membantu kampus mendapat uang lebih memang langkah yang bijak. Ia hanya khawatir apakah ia bisa melakukan tugas tersebut dengan baik.

Namun setelah menimbang-nimbang banyak hal, Yasmin akhirnya setuju. “Baiklah, Pak. Saya setuju.”

“Oke kalau begitu. Nanti saya beritahukan apa yang harus kamu lakukan setelah ini.”

“Baik, Pak.”

Dalam hati, Yasmin merutuki nasib buruknya. Baru saja tadi pagi ia meledek Sofyan yang mengambil tugas tambahan untuk mengurus akreditasi. Kini giliran dia yang terpaksa melakukan tanggung jawab baru sebagai asisten penggalangan dana menemani Pak Bas.

“Kalau begitu, saya izin pulang dulu ya Pak,” ujar Yasmin berpamitan.

“Baik, hati-hati di jalan.”

“Terima kasih Pak.”

***​

Begitu Yasmin pergi meninggalkan rumahnya, Pak Bas langsung menelepon sahabat baiknya yang juga pemimpin dari Universitas yang ia kelola. Tak butuh waktu lama sampai yang dituju akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

“Selamat sore, Pak Dar. Sedang sibuk?”

Sambil mendengarkan salam dari lawan bicaranya, Pak Bas pun meminum teh di hadapannya yang sebenarnya sudah tidak lagi hangat.

“Iya, tadi saya sudah bertemu dengan Yasmin. Pilihan kamu memang tidak salah, benar-benar seperti bidadari ternyata orangnya.”

Pak Bas hanya senyum-senyum mendengar tanggapan dari Pak Dar di ujung sambungan telepon. Walau sebenarnya senyuman tersebut justru membuat guratan usia tua di wajahnya makin terlihat jelas.

“Tadi dia ke sini dengan bawahan celana panjang berwarna putih dan jilbab berwarna pink yang ujungnya disampirkan di pundak. Tapi yang paling menggoda itu bagian atas tubuhnya sih. Dia pakai kaos ketat berwarna hitam yang sama sekali tidak bisa menyembunyikan payudaranya yang besar. Memang dia pakai cardigan berwarna pink, senada dengan warna jilbabnya, tapi tidak menutupi dadanya sama sekali. Sehingga kedua buah dada tersebut seperti disajikan begitu saja di hadapanku, apalagi ketika ia duduk bersandar di bangku dan membuat payudara tersebut jadi sedikit membusung, ughhh …”

Tanpa sadar, kemaluan Pak Bas yang berwarna hitam sudah mulai mengeras di balik celana panjangnya. Padahal, ia baru bertemu untuk pertama kalinya dengan dosen cantik tersebut, dan belum sama sekali menyentuhnya.

“Apa? Cincin yang di jarinya? Justru itu yang bikin aku makin kesengsem. Apa ya rasanya bisa mencicipi tubuh dosen muda yang masih pengantin baru? Nanti paling aku jilat-jilat jemari tempat cincin itu melingkar, saat selangkangannya aku sodok-sodok dengan kontolku yang berukuran jumbo ini, hahaa…”

Pria tua itu mengingat kembali bagaimana bentuk cincin pernikahan yang dikenakan Yasmin, dan semakin birahi saat membayangkannya.

“Iya, tadi saya sudah sampaikan rencana saya kepada dia. Dan dia sepertinya setuju … Tidak ada pilihan lain kan untuk dia?”

Pak Bas kemudian berdiri dari kursinya, dan bergerak meninggalkan pendopo untuk kembali masuk ke bangunan utama rumahnya.

“Ya, ya … Nanti akan saya sampaikan perkembangannya. Terima kasih banyak Pak Dar, nanti akan ada hadiah menarik untuk Bapak. Tenang saja, hehehe… sampai jumpa, Pak.”

***​

Seperti janjinya, Indira benar-benar menemani Andrew untuk mengerjakan skripsinya hingga hari menjelang sore. Namun sebagai dosen pembimbing, perempuan muda tersebut tidak mau serta merta menulis skripsi tersebut dengan pengetahuannya sendiri. Ia terus menerus bertanya kepada Andrew apa yang mau ia tulis dalam skripsinya, kode pemrograman seperti apa yang ingin ia buat, dan Indira hanya membantu menuliskannya di dalam dokumen.

Apabila ada kesalahan, Indira sempat beberapa kali mengingatkan sang mahasiswa. Namun di saat lain, ia lebih memilih untuk membiarkan saja Andrew menyadari kesalahan tersebut sendiri. Sang remaja yang tangannya masih menggantung di penyangga lengan tersebut pun sepertinya tidak masalah dengan dinamika tersebut.

MEF83KG_t.png


“Ada tamu rupanya.”

Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dewasa yang sepertinya baru saja masuk ke dalam rumah. Indira dan Andrew pun sama-sama menoleh ke asal suara.

“Pah. Tumben sudah pulang,” ujar Andrew.

“Tadi nggak terlalu banyak pekerjaan di kantor, tidak ada sidang juga. Jadi Papa lebih baik pulang saja,” ujar pria yang dipanggil Papa tersebut, sambil beranjak duduk di sofa lain yang ada di ruang tamu itu, dan meletakkan tas kerjanya di atas meja. “Jadi ini dosen kamu itu ya , Andrew?”

“Betul, Pa.”

“Kenalkan, Pak. Nama saya Indira, dosen Andrew di Universitas Jaya Abadi,” ujar Indira sambil tersenyum.

“Bagus sekali namanya, Bu. Indira. Indira itu kalau tidak salah artinya cantik. Dalam budaya Hindu, Dewi Laksmi yang melambangkan keberuntungan dan keindahan juga sering disapa Indira, cocok seperti wajah Ibu yang cantik seperti dewi,” jawab sang pria yang membuat Indira jadi tersipu malu.

Seumur hidup, belum pernah ada yang memuji nama dan wajahnya di saat pertama kali bertemu seperti itu.

“Oh iya, saya malah lupa memperkenalkan diri. Saya Agustinus Santoso, Papanya Andrew.”

Dalam hati, Indira bingung mengapa Pak Agustinus sampai harus memperkenalkan diri. Rasanya hampir semua orang berpendidikan di ibu kota tahu siapa dia. Seorang anggota DPRD dari Partai Rakyat, yang cukup vokal menyuarakan pendapat masyarakat bawah. Akhir-akhir ini malah ada isu kalau dia akan mencalonkan diri sebagai Gubernur. Namun hal ini tentu merupakan tantangan besar, karena faktor agamanya yang berbeda dengan mayoritas penduduk kota.

Hal yang paling menarik bagi Indira adalah sosok Pak Agustinus yang terkesan berwibawa. Apalagi hari ini ia mengenakan kemeja batik resmi yang motifnya benar-benar indah, dengan celana kain berwarna hitam yang begitu rapi, khas para politikus tanah air. Kulitnya sedikit gelap dengan rambut ikal, sehingga banyak yang menyangka bahwa dia adalah keturunan Indonesia bagian timur. Padahal, ia adalah orang Jawa asli, bahkan logat medoknya sesekali masih terdengar.

“Bu Indira, kemarin saya sudah mendengar dari Andrew tentang keinginan Ibu yang ingin membantu anak saya dalam mengerjakan skripsi,” ujar Pak Agustinus dengan nada yang sedikit serius. “Saya sih tidak masalah. Tetapi ketika saya tanya mengapa tiba-tiba seperti itu, Andrew bilang Ibu merasa bersalah atas kecelakaan yang menimpa Andrew. Apa betul seperti itu?”

Dengan ragu-ragu, Indira menganggukkan kepala. “Iya, betul Pak.”

“Hmm, saya pribadi tidak menganggap ada yang salah dari kecelakaan tersebut. Namanya juga takdir, tidak ada yang bisa mengubahnya. Dan untungnya Andrew tampak baik-baik saja. Sudah mendingan kamu kan, Nak?”

“Sudah, Pa. Beberapa minggu lagi juga sudah bisa lepas penyangga lengan kata Dokter,” jawab Andrew.

“Nah. Ibu bisa dengar sendiri. Karena itu, Ibu tidak usah merasa bersalah. Tap … Apabila Ibu bersikeras, dan mungkin ini bisa menenangkan perasaan Ibu, saya pribadi tidak masalah. Yang penting aktivitas ini tidak mengganggu pekerjaan Ibu di kampus. Sounds good?”

“Absolutely, Pak,” jawab Indira menanggapi ayah Andrew yang tiba-tiba berbicara dalam Bahasa Inggris.

“Nice… Kalau begitu saya permisi dulu mau bersih-bersih. Andrew jangan lupa nanti Bu Indira diajak makan malam juga ya,” ujar Pak Agustinus sambil berdiri dari kursinya.

“Siap, Pa,” jawab Andrew.

***​

Sekitar pukul lima sore, makanan sudah tersaji di meja makan rumah Andrew. Seperti perintah Papanya, Andrew pun mengajak Indira untuk ikut makan bersama. Perempuan tersebut cukup terkejut melihat banyaknya porsi makanan yang ada di atas meja, lebih dari yang biasa ia temui di rumah atau tempat lain.

Namun saat ini, baru ada mereka berdua, sedangkan Pak Agustinus belum tampak batang hidungnya. Karena itu, keduanya pun memutuskan untuk menunggu sang pemilik rumah dulu sebelum mulai menyantap hidangan.

“Mungkin untuk hari ini cukup dulu ya, Andrew,” ujar Indira.

“Iya, Bu. Sepertinya sudah cukup banyak juga perkembangannya. Sekali lagi terima kasih untuk bantuannya,” jawab Andrew dengan tulus. “Kalau tidak dibantu Ibu, mungkin saya masih malas-malasan, hehehe. Saya juga kaget ibu bahkan membantu mengetik.”

“Hanya sampai tangan kamu jauh lebih baik. Supaya tidak setengah-setengah Ibu membantu kamu. Eh, Andrew… setelah maka Ibu izin pulang ya. Ibu bukan bermaksud tidak sopan setelah makan kok langsung pulang, tapi ada keluarga yang harus Ibu urus juga.”

“Nggak kok Bu, santai saja. Kalau dilanjutkan lagi bimbingannya mungkin nanti kepala saya yang meledak. Hahaa.”

Indira tertawa manis.

Sambil menunggu kedatangan sang pemilik rumah, Indira pun tertarik untuk bertanya-tanya tentang kehidupan pribadi Andrew dan keluarganya.

“Andrew, kalau Ibu tanya-tanya tentang hal pribadi, kamu bermasalah gak?”

“Nggak kok, Bu. Tanya aja.”

“Hubungan kamu seperti apa sih sama Papa? Maksud Ibu, Papa kamu kan pasti sibuk banget dengan urusan politik dan bisnis, apa masih sering meluangkan waktu di rumah?”

“Oh, kalau urusan memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan, Papa itu jagonya. Dia selalu terbuka kapan dia harus bekerja, dan kapan ada waktu untuk aku. Dan apabila sedang bersama aku, dia akan benar-benar melupakan urusan pekerjannya.”

Indira pun mengangguk-angguk mendengar jawaban mahasiswanya itu. Dalam hati, ia sebenarnya membayangkan bahwa mempunyai orang tua seorang politikus pasti terasa sangat menyebalkan, karena hanya sedikit waktu yang mereka punya untuk bersama keluarga. Namun sepertinya Pak Agustinus adalah sosok yang berbeda.

“Satu hal yang paling aku suka dari Papa adalah dia tidak pernah ingkar janji. Kalau dia sudah berkata sesuatu, pasti diwujudkan.”

“Sama sekali gak pernah ingkar?”

Indira mau tidak mau mulai memikirkan tentang Ahmad Fathullah, pasangannya yang selama hubungan mereka yang baru sebentar ini saja entah sudah berapa kali ingkar janji. Padahal, pria tersebut selalu tampil agamis di depan orang lain, yang seharusnya menjadi alasan dia untuk memegang teguh janjinya.

Contohnya saja hari ini, ia sempat berjanji untuk mengantar Indira ke rumah Andrew. Namun faktanya, tadi pagi dia membatalkan janji tersebut, sehingga sang dosen muda harus menumpang taksi online untuk bisa sampai ke rumah ini.

“Sama sekali,” jawab Andrew. “Kenapa Ibu tanya-tanya soal Papa? Mau coblos Papa kalau dia nyalon jadi Gubernur ya? Hee.”

“Kalau soal itu kita lihat nanti ya, hahaa …”

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekati meja makan.

“Hayo, lagi ngobrol apa? Kok sepertinya tadi ada sebut-sebut nama Papa?” Tanya Pak Agustinus sambil tersenyum.

Kali ini, tampilannya sudah lebih santai dengan kaos polo lengan pendek berwarna biru dongker, dan celana jeans. Diam-diam, Indira melirik ke arah lengan pria tersebut yang ditutupi bulu yang cukup lebat.

“Ada deh. Iya kan Bu Indira?” Ujar Andrew sambil melirik ke arah dosennya. Indira hanya tersenyum malu-malu mendengarnya.

“Ya sudah. Ayo kita makan, kalian pasti sudah lapar kan setelah seharian mengerjakan skripsi.”

Mereka bertiga pun menikmati makan malam yang menurut Indira masih terlalu dini waktunya. Namun karena ia sendiri belum banyak makan siang tadi, ia pun tidak masalah untuk kembali mengisi perut. Demi mengisi waktu, mereka pun berbincang tentang berbagai topik, mulai dari situasi kampus, hingga perkembangan politik dan bisnis akhir-akhir ini.

Sekitar 45 menit kemudian, ketiganya telah selesai menikmati hidangan. Memang masih ada makanan yang tersisa di atas meja, tetapi sepertinya tidak ada seorang pun yang kuat untuk menyantapnya. Tak lama, terdengar suara adzan di masjid besar yang lokasinya memang berdekatan dengan rumah itu.

“Sudah adzan Maghrib. Bu Indira mau shalat dulu?”

Indira mengangguk. “Iya, Pak. Saya izin permisi dulu.”

“Eh, shalatnya di mana?” Tanya Pak Agustinus saat melihat Indira bergerak menuju bagian dapur, setelah mengambil set mukena dari dalam tasnya.

“Tadi siang Bu Indira shalatnya di kamar Bi Ijah, Pa. Habis Andrew bingung harus mengarahkan shalat di mana,” jawab sang anak.

“Hishh… Kamu ini bagaimana sih Andrew. Nggak sopan banget,” ujar Pak Agustinus yang tampak kesal. “Maaf ya atas kelancangan anak saya, Bu Indira.”

“Tidak apa-apa kok, Pak. Kebetulan kamar Bi Ijah juga bersih, jadi tidak masalah saya shalat di sana,” tanggap Indira. Perempuan tersebut memang berkata jujur. Kamar asisten rumah tangga di rumah Andrew bahkan hampir sama luasnya dengan kamar tidurnya di rumah.

“Tidak bisa begitu, Bu Indira. Ibu kan tamu di sini, sekaligus dosen dari Andrew. Masa shalatnya di kamar Bi Ijah. Mulai saat ini, Ibu shalat di kamar saya saja ya. Sini saya antarkan, di sana ada ruang yang lebih luas untuk shalat.” ujar Pak Agustinus.

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung mengarahkan sang dosen cantik tersebut ke sebuah kamar tidur di lantai dasar rumah tersebut.

“Tapi, Pak…” Indira sebenarnya ingin menolak, tapi Pak Agustinus terus saja memaksa.

“Tidak apa-apa kok, Bu,” ujar Pak Agustinus. “Bi Ijah, tolong bawakan sajadah ke kamar saya ya.”

Begitu sampai di kamar tidurnya, Pak Agustinus langsung membuka pintunya dan mempersilakan Indira untuk masuk ke dalam.

“Ibu silakan wudhu di kamar mandi saya, di sana ada pancuran air yang bisa digunakan. Kalau tidak salah, kiblatnya ke arah sana,” ujar sang pria berusia 55 tahun itu sambil menunjuk ke sebuah arah. Indira terkejut karena seingat dia, sisi rumah tersebut memang benar mengarah ke kiblat. “Saya tinggal dulu, nanti Bi Ijah akan ke sini mengantarkan sajadah.”

Belum sempat Indira menjawab, Pak Agustinus sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan dan menutup pintu kamar, seperti ingin memberikan privasi untuk sang perempuan berjilbab itu.

Ditinggal sendirian seperti itu, Indira jadi punya waktu yang banyak untuk mengagumi kamar tidur Pak Agustinus yang megah dan tampak terang dengan cat berwarna putih dan terang lampu di sana-sini. Sebuah jendela besar tampak mengarah ke teras belakang, di mana sebuah kolam renang berukuran cukup besar berada. Yang paling membuat Indira takjub adalah ukuran tempat tidurnya yang mungkin sekitar tiga atau empat kali lipat ranjangnya di rumah. Kamar tersebut pun terbilang rapi untuk seorang duda seperti Pak Agustinus. Karena itu, Indira pun tidak enggan untuk shalat di tempat itu.

“Halus sekali ranjangnya,” pikir Indira saat dia coba mengelus-elus permukaan tempat tidur besar yang menjadi tempat Pak Agustinus beristirahat setiap malam. “Pasti nyaman sekali kalau bisa tidur di ranjang seperti ini.”

Saat masuk kamar mandi untuk mengambil wudhu, Indira dengan mudah bisa menemukan keran air yang tingginya hanya sepinggang, cocok sekali untuknya. Di saat yang sama, perempuan berjilbab itu memandang sekeliling kamar mandi yang dilengkapi shower, wastafel, hingga bath tub yang sepertinya bisa menampung dua orang dewasa di dalamnya. Hampir tidak ada noda terlihat di kamar mandi tersebut, yang sepertinya memang selalu dibersihkan oleh asisten rumah tangga di rumah ini.

Begitu keluar, sebuah sajadah tampak tergeletak di lantai kamar, dengan posisi yang sudah mengarah ke kiblat. Mungkin Bi Ijah tadi membawanya masuk dan memposisikannya seperti itu. Tanpa menunggu waktu lama, Indira pun memulai ibadah malamnya.

***​

Setelah menunaikan ibadah, Indira pun keluar dari kamar Pak Agustinus, dan melihat sang pemilik rumah tengah bersantai di ruang keluarga bersama sang anak, sambil menonton tayangan berita di televisi. Ia pun mengambil tasnya yang masih berada di meja makan, sebelum kemudian bergabung dengan mereka.

“Saya pamit pulang dulu ya, Pak,” ujar Indira.

“Eh, kok buru-buru sekali, Bu,” ujar Pak Agustinus.

“Iya, kebetulan sudah cukup lama juga bimbingannya. Khawatir nanti Andrew lelah dan tambah pusing bila tidak selesai-selesai,” jawab Indira sambil tersenyum.

“Oh, iya sih. Ibu pulang naik apa? Mau diantar?”

“Tidak usah, Pak. Kebetulan saya sudah memesan taksi online, beberapa menit lagi sampai.”

“Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya.”

“Iya, Pak. Kalau begitu, saya permisi menunggu taksi saya di depan pagar.”

“Silakan, Bu Indira. Andrew, kamu antar dulu dosen kamu ke depan, tunggu sampai taksinya sampai.”

“Oke, Pak,” ujar Andrew dengan langkah yang pelan, karena ia sebenarnya masih belum boleh banyak beraktivitas.

Pak Agustinus pun melanjutkan menonton berita di televisi. Namun sekilas, ia melirik ke arah anaknya dan sang dosen yang tengah berjalan ke pintu depan. Di matanya, dosen muda bernama Indira tersebut memang tidak mempunyai tubuh yang begitu seksi, payudaranya pun tidak terlalu besar.

Namun posturnya yang cukup tinggi membuatnya terlihat anggun saat berjalan. Apalagi saat ini ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna pink dan hijab berwarna senada. Bagian paling menarik dari tubuh Indira menurut sang anggota DPRD berusia 55 tahun itu adalah hidungnya yang mancung dan bibirnya yang indah.

“Kulitnya pun begitu putih, kontras sekali dengan kulitku yang hitam ini. Apa jadinya ya kalau aku bisa menindihnya di atas ranjang besar di kamarku? Heheheh.” gumam Pak Agustinus sambil tersenyum penuh arti. “Bu Dosen…”

(Bersambung)
 
menarik ceritanya
 
Terimakasih... Udah mulai panjang nih updatenya... Mungkin next bisa 8k or 10k 😅🙏
Indira bakal jadi ibu tiri Andrew yah hu?
 
terimakasi updatenya suhu
updatenya makin gacor nich
sayang jagoan gw kaga muncul di update kali ini..


#team_Pak_Yo
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd