Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Jadi ceritanya bu indira mau di jadiin ibu dewan ya hmmmmmm
Nambah menarik nih cerita ...ok hu thanks ya update nya semoga besok updetnya agak di panjangin ya hahahahahah becanda huuu 🤣🤣🙏🙏🙏🙏
 
Makasih banyak atas update nya, suhu. Berharap banget ga berhenti di tengah jalan 😭😁🙏
 
Part 9: Langkah Pertama

“Iya, Pah. Aku di sini baik-baik saja kok. Papa sama Mama tidak perlu khawatir,” ujar perempuan muda yang sedang menelepon seseorang di ponsel miliknya.

Hari ini ia tampak cantik dengan kaos lengan panjang berwarna putih yang cukup ketat, dan hijab berwarna coklat. Ia juga mengenakan kacamata dengan frame berwarna senada dengan jilbab yang ia kenakan, menambah kesan anggun dari wajah menawan perempuan tersebut.

“Nggak apa-apa kok kalau bulan ini tidak bisa datang. Aku aman-aman saja di sini. Kuliah oke, kemarin juga baru ikut jadi panitia acara kampus dan semuanya lancar,” ujar perempuan tersebut.

Ia kini tengah duduk di sebuah meja kantin, menghadap kedua temannya seperti biasa. Makanan yang tersaji di depan mereka telah habis sejak beberapa menit lalu.

“Iya. Kalau ada apa-apa pasti Safira kabari. Salam sama Mama, ya Pah. Bye,” ujar perempuan tersebut sambil menutup sambungan telepon. Setelah itu, ia pun langsung menghembuskan napas lega.

MEF83KD_t.png


Mendengar suara orang tuanya, Safira Maharani jadi teringat alasan mengapa ia menempuh kuliah di ibu kota. Satu-satunya alasan ia akhirnya memutuskan berpisah dengan orang tuanya adalah untuk meraih pendidikan tinggi, dan menjadi seorang praktisi public relations yang sukses di kemudian hari. Ia tidak hijrah ke kota lain hanya untuk bermain-main dan membuang waktu.

Ia pun jadi ingat masalah dia dengan sang pacar, Arga Hartanto. Selama ini, dia berharap sang pacar bisa mendukung keinginannya untuk menyelesaikan kuliah dengan nilai baik, melanjutkan kuliah ke universitas ternama di luar negeri, serta menjalin koneksi dengan para tokoh berpengalaman di dunia public relations. Namun, sejauh ini jarang sekali Arga menyinggung soal itu dalam percakapan mereka. Obrolan keduanya selalu tidak jauh dari hal-hal remeh tentang gaya hidup yang menurut Safira sebenarnya tidak terlalu punya andil positif dalam perjalanan kariernya.

“Kenapa lagi tuh bokap nyokap lo, Saf?” Tanya temannya yang memiliki postur tubuh montok, dengan buah dada dengan ukuran teramat sentosa dan memanjakan mata setiap pria.

“Biasa, Amira. Mereka ngecek aja karena gue udah lama gak nelpon. Takut ada apa-apa katanya.”

“Enak ya ada orang tua yang selalu nanyain. Kalau orang tua kita mah udah bodo amat aja kali ya Na,” ujar perempuan tersebut pada temannya yang satu lagi. Perempuan yang bernama Naura tersebut pun hanya mengangguk.

“Ya itu kan karena kalian masih tinggal sama orang tua kalian. Paling mereka baru akan menelepon kalau kalian nggak pulang ke rumah.”

“Sering kok kami nggak pulang ke rumah, tapi nggak ditanyain juga, hahaa…” ujar Amira.

“Hahaa, nggak tahu deh kalau itu.”

Tiba-tiba, notifikasi ponsel Safira kembali berbunyi, tanda ada sebuah pesan WhatsApp yang masuk. Perempuan itu pun langsung membukanya.

“Duh, siapa lagi sih ini?”

“Arga kali, kan udah lama juga kalian gak ketemu. Mau mohon-mohon minta maaf supaya Raja dan Ratu kampus kembali bersatu, hahaa,” ujar Naura yang sedari tadi belum membuka suara. Namun sekalinya bicara, langsung menancap di hati bagaikan duri dalam daging.

“Bisa aja lo. Udah bodo amat lah gue urusan Arga, nanti juga kalau udah tenang dia balik lagi nyamperin gue. Ini bukan pesan dari dia kok.”

Mendengar kata-kata sahabatnya, Amira pun jadi menaruh perhatian lebih pada obrolan antara Safira dan Naura.

“Terus dari siapa?”

“Dari Pak Dar, gue dipanggil lagi buat dateng ke ruangannya.”

“Hah, ada apa lagi?”

Safira hanya menggeleng. “Perasaan gue gak ada urusan lagi deh sama dia. Soal akademis juga nggak ada yang perlu gue bicarakan sama rektor.”

“Fix sih, dia naksir dan pengin jadi gadun buat lo, hahaa…”

“Hah? Gadun apaan?” Tanya Safira penasaran.

“Yaelah Saf, kuper beud. Gadun itu sugar daddy, om-om yang suka menghamburkan uang buat cewek muda yang jadi simpanannya.”

“Maksudnya gue mau dijadiin sugar baby sama dia? Ihh… amit-amit!”

“Tapi kalau punyanya dia gede, siapa tahu nanti lo malah gak nolak, hii,” ujar Naura berusaha meledek sahabatnya.

“Apanya yang gede? Uangnya? Uang dari bokap nyokap gue pasti lebih banyak kali.”

“Bukan duit dong. Itu, yang ada di balik celananya Pak Rektor, hee…”

Kini Safira baru mengerti arah pembicaraan sahabatnya tersebut.

“Apaan sih lo!! Mending muka lo aja sini gw sodorin ke selangkangannya Pak Dar, biar tahu rasa…” ujar Safira kesal sambil menarik-narik rambut Naura yang cukup panjang dan berwarna pirang di ujungnya.

“Ampun, Saf… Ampun, gue cuma bercanda.”

Melihat tingkah kedua sahabatnya, Amira hanya tersenyum. Dalam hati ia juga heran, mengapa Safira sering sekali dipanggil Pak Dar. Apakah ia harus memberitahukan hal ini pada Arga?

***​

Di saat yang sama, seorang perempuan berusia 27 tahun tampak sedang bersolek di kamar tidurnya. Ia menambahkan make up untuk memperindah wajah yang sebenarnya sudah cantik meski tak memakai pemanis apa-apa. Namun, karena hari ini ada salah satu momen spesial, ia pun meluangkan waktu untuk mempercantik diri.

Matanya melirik ke arah handphone, yang tiba-tiba memunculkan notifikasi pesan.

MEF83KF_t.png


“Sudah siap mau berangkat, Dik Laras?”

Begitu bunyi pesan yang baru diterima Laras. Perempuan tersebut pun tersenyum saat mengetahui siapa pengirimnya, dan langsung membalas pesan itu.

“Belum ishh… Pak Yo buru-buru banget sih. Memangnya Bapak sudah mau sampai di lokasi?”

“Hahaa. Saya masih di apartemen kok.”

“Dasar.”

Hari ini, perempuan cantik bernama Laras Kinanti tersebut memang telah berjanji untuk bertemu dengan Sunaryo alias Pak Yo, yang sebenarnya merupakan dekan dari fakultas tempat suaminya mengajar. Menurut Pak Yo, ada seorang kenalannya yang mempunyai bisnis wedding organizer terkenal di ibu kota, tertarik untuk bertemu dengan Laras. Karena itu, perempuan yang cukup terkenal di Instagram karena konten-konten kulinernya tersebut pun setuju untuk bertemu.

Menurut Laras, apabila benar yang dikatakan Pak Yo tentang ketertarikan temannya untuk menjadikan bisnis Dapur Laras miliknya sebagai salah satu vendor catering rekanan, hal ini merupakan langkah pertama yang baik untuk meniti karier di bidang kuliner. Menjadi rekanan sebuah wedding organizer terkenal tentu merupakan pembuka pintu rezeki yang baik di bisnis ini.

Tadinya, Laras berniat untuk berangkat sendiri dengan mobil. Namun, tiba-tiba suaminya Sofyan Pratama pagi ini justru menggunakan mobil tersebut untuk berangkat ke kampus. Ia beralasan sedang capek menggunakan motor, karena akhir-akhir ini selalu pulang larut malam demi menyelesaikan tugas di kampus. Laras memang tidak mengatakan sama sekali kepada sang suami bahwa ia akan bertemu dengan Pak Yo dan temannya. Ia tidak mau mengganggu kesibukan sang suami, dan berniat untuk memberitahukan hal itu apabila ia telah sukses menjadi rekanan wedding organizer tersebut. Karena itu, perempuan itu pun diam saja saat sang suami berangkat ke kampus dengan mobil.

Kini, hanya tersisa satu moda transportasi yang tersedia di rumah mereka, yaitu sepeda motor. Namun Laras merasa enggan untuk menggunakannya.

“Bisa kucel nanti makeup dan tatanan rambutku,” pikir Laras.

Tiba-tiba, perempuan tersebut mempunyai sebuah ide. Ia berniat menggoda dekan tua yang sedang berbincang dengannya lewat aplikasi WhatsApp tersebut.

“Pak Yo, tadi pagi tiba-tiba suamiku bilang kalau dia mau bawa mobil ke kampus. Aku jadi bingung ke sana naik apa nanti, hikss…”

“Hmm, kamu mau saya jemput?”

Benar apa yang dipikirkan Laras, sebentar saja Pak Yo sudah langsung paham apa maksud perempuan tersebut.

“Memangnya bisa, Pak? Lokasi kita kan sepertinya di arah yang berlawanan dari tempat kita rencana bertemu nanti.”

“Rumah kamu memang di mana sih?”

“Komplek Kencana, Pak.”

“Oh, gak masalah kok. Atau akan jadi masalah kalau aku jemput kamu di rumah?”

Laras sempat berpikir sejenak, tapi sepertinya tidak akan ada masalah apabila dia berangkat bersama Pak Yo, toh ini untuk urusan bisnis kan. “Nggak kok, Pak. Jadi beneran mau jemput aku ke rumah?”

“Iya dong, beneran. Masa bohongan sih, hee.”

“Baiklah. Aku tunggu kalau begitu ya Pak. Nanti aku share location juga biar Bapak nggak nyasar.”

“Oke, saya meluncur sekarang.”

Seperti janjinya, Laras pun langsung mengirimkan alamat rumah serta lokasi tepat dari kediamannya tersebut kepada Pak Yo. Entah mengapa, jantung Laras berdetak lebih kencang setelah berbalas pesan dengan pria tua tersebut. Sebagai perempuan, ia tentu sadar bahwa Pak Yo adalah lelaki yang mungkin punya ketertarikan secara seksual padanya.

“Tapi dia kan dekan di kampus suamiku, masa iya dia berani macam-macam padaku. Kan aku bisa dengan mudah melaporkan dia ke kampus dan pihak berwajib, hingga reputasinya rusak nanti,” pikir Laras. “Lagipula, dia juga sudah mempunyai anak dan istri, jadi seharusnya tidak berani macam-macam. Pokoknya hubungan ini tidak lebih dari persahabatan dan bisnis.”

Meski sudah menenangkan diri, Laras tentu tidak bisa melupakan fakta bahwa ini adalah kali pertama ia pergi berdua saja dengan pria lain selain sang suami, setelah menikah. Perempuan cantik tersebut memang beberapa kali keluar rumah untuk jalan-jalan ke mall bersama temannya, tetapi semuanya pasti perempuan. Ia tidak punya banyak teman pria, dan yang ada pun belum pernah sama sekali mengajaknya pergi berdua. Mereka semua menghormati posisi Sofyan sebagai pendamping Laras.

Itulah mengapa Laras sedikit tergoda dengan keberanian Pak Yo yang seperti tidak peduli bahwa perempuan tersebut telah berpasangan. Bahkan pasangannya tersebut adalah anak buahnya sendiri di kampus.

“Aku penasaran, bakal sejauh apa ya kedekatan aku dengan Pak Yo?”

Sambil menunggu kedatangan dekan tua tersebut, Laras pun memilih-milih pakaian yang akan ia kenakan. Ia berusaha tampil lebih menarik hari ini. Entah mengapa, Laras merasa begitu cantik dan dihargai oleh sang pria tua, sehingga ia ingin tampil secantik mungkin di hadapannya. Meski ia tidak terlalu tahu, ia melakukan itu untuk kepentingan bisnis, atau sekadar ingin menggoda Pak Yo.

***​

Sekitar 30 menit kemudian, sebuah mobil Pajero hitam tampak berhenti di depan rumah Laras. Sang pengemudi yang merupakan pria berusia 50 tahun tersebut pun langsung membuka pintu dan keluar dari mobil. Ia sempat melihat ke sekeliling rumah yang berukuran tidak terlalu besar tersebut, yang bentuknya serupa dengan rumah-rumah lain di sebelahnya, karena komplek di mana rumah tersebut berada memang merupakan sebuah cluster.

Agar tidak salah, pria itu sempat memeriksa kembali nomor rumah yang ingin ia tuju. Setelah benar-benar yakin, ia pun berjalan menuju pintu rumah dan mengetuk pintu. Ia memang bisa masuk dengan bebas karena semua rumah di cluster tersebut tidak ada yang mempunyai pagar pembatas antara halaman rumah dengan jalan di depannya.

Tak berapa lama kemudian, pintu rumah pun dibuka dari dalam oleh pemiliknya yang merupakan seorang perempuan berjilbab yang tampak sangat menawan hari ini.

MEF83KF_t.png


“Eh, Pak Yo… cepat juga ya sudah datang,” ujar perempuan tersebut.

Pak Yo terpana melihat kecantikan perempuan di hadapannya.

Setelah menimbang-nimbang, Laras akhirnya memutuskan untuk mengenakan blus lengan panjang berbahan sifon yang berwarna coklat dengan motif kembang-kembang. Payudaranya yang berukuran sedang pun menyembul gemas di balik atasan tersebut. Sedangkan untuk menutup kepalanya, perempuan itu mengenakan jilbab dengan warna coklat muda. Ia juga mengenakan celana panjang yang longgar, berwarna coklat tua, yang begitu pas dengan pakaian lain yang ia kenakan.

“Pak Yo? Loh? Hei… kok malah bengong?” Sapa Laras lagi, karena pria tua di hadapannya tidak kunjung mengeluarkan suara apa-apa.

“Eh, maaf Dik Laras tadi saya banyak pikiran.”

“Yakin karena banyak pikiran kan? Bukan karena yang lain? Hehehe…” goda Laras sambil menampilkan senyum termanisnya.

“Hahaa, Dik Laras bisa saja. Sudah siap untuk berangkat?”

“Sudah, Pak. Saya ambil tas dulu sebentar ya ke dalam,” ujar Laras sambil berbalik menuju bagian dalam rumah.

Ia masuk kembali ke rumah tanpa menutup pintu depan. Karena itu, Pak Yo bisa melihat dengan jelas lekuk bokongnya yang bergerak-gerak seiring dengan langkah kakinya, hingga samar terlihat garis celana dalam di balik celana panjang yang ia kenakan. Pria tua tersebut jelas tidak bisa memalingkan pandangannya dari pemandangan indah itu.

Sesaat kemudian, Laras pun kembali ke pintu depan dengan tas tangan yang berukuran tidak terlalu besar. Ia pun mengunci pintu dan mengikuti Pak Yo menuju mobilnya. Dengan sopan, sang dekan tua itu bahkan membukakan pintu penumpang untuk Laras.

“Ihh, Pak Yo baik banget sih, jadi malu saya.”

“Ini kan sudah kewajiban saya sebagai pria, harus sopan sama perempuan yang saya ajak jalan. Apalagi perempuan cantik seperti Dik Laras,” jawab Pak Yo sambil menutup pintu secara perlahan, dan bergegas menuju tempat duduknya di balik setir.

Dalam hati, Laras kagum dengan perhatian Pak Yo terhadap hal-hal kecil seperti itu. Sepanjang menikah, seingatnya tidak pernah sekalipun suaminya membukakan pintu mobil untuknya. Aktivitas mesra seperti itu berakhir tepat sebelum mereka menikah.

Begitu masuk ke dalam mobil, Pak Yo langsung bisa mencium bau parfum yang begitu menggoda. Harumnya pun semakin semerbak karena kondisi kabin mobil yang tidak terlalu besar. Pria tua tersebut sempat memandangi wajah Laras yang begitu cantik, yang selama ini telah memikat entah berapa ribu pria lewat akun Instagram miliknya.

“Pak Yo, kok malah bengong lagi? Kita jadi jalan kan, atau mau di sini saja seharian?”

Pria tua itu pun tersadar begitu diingatkan oleh Laras. Ia pun langsung menyalakan mesin, melepas rem tangan, dan menggerakkan mobil.

“Eh, iya maaf Dik Laras. Habis kamu cantik banget sih,” ujar Pak Yo jujur.

Laras hanya tersenyum mendengar kata-kata manis tersebut.

***​

Saat Laras sedang pergi ke sebuah cafe untuk menemui calon rekan bisnis bersama Pak Yo, sang suami Sofyan Pratama tengah berkumpul dengan sahabat-sahabatnya sesama dosen di Universitas Jaya Abadi. Seperti biasa, mereka berkumpul di kantin, meski kali ini mengambil tempat yang jauh dari keramaian karena salah satu dari mereka ada yang sedang memeriksa tugas mahasiswa.

“Emang lo sibuk banget ya, Beb. Sampai gak ada waktu buat memeriksa tugas mahasiswa? Jam makan kayak gini aja sampai lo pake buat ngerjain itu tugas,” tanya Yasmin Wulandari kepada sahabatnya Indira Nur Aisyah.

MEF83KE_t.png


MEF83KG_t.png


“Kan lo tahu, sekarang gue ada tugas tambahan buat bantuin Andrew ngerjain skripsi. Minimal seminggu sekali gue harus ke sana, sehingga yang tadinya kerjaan lima hari harus gue selesaikan dalam empat hari,” jawab Indira sambil terus melanjutkan pekerjaannya, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Yasmin.

“Kan udah gue bilang, lo gak perlu ngelakuin itu. Lo aja yang kerajinan…”

“Sshh… Sshhh… jangan berisik, lagi sibuk,” jawab Indira sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya yang indah, lalu kembali melanjutkan tugasnya.

“Lihat neh sahabat lo, Sof. Udah kayak bocah workaholic aja sukanya nambah-nambah kerjaan…”

“Maklumin aja, Yas. Namanya juga belum nikah, masih belum banyak tanggung jawab,” jawab Sofyan sambil menyantap makan siangnya yang berupa nasi rames beserta lauk pelengkap. “Nanti kalau udah nikah baru deh cari-cari alasan biar gak ada kerjaan tambahan.”

“Bener juga ya… Makanya cepet suruh si Ahmad itu buat ngawinin lo deh, Beb. Biar lo gak perlu bikin sibuk diri sendiri kayak gini, hahaa.”

“Ssssttt… berisik ihhh,” gerutu Indira.

“Eh, ngomong-ngomong soal tugas tambahan. Bagaimana tuh soal akreditasi, aman?” Kali ini Yasmin balik bertanya pada Sofyan, dan meninggalkan Indira yang masih sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

“Aman kok. Tapi kemarin kan ada beberapa hal yang gue pelajari dari proses akreditasi di Sospol, tapi gue masih bingung pelaksanaannya dari sisi dosen. Gue boleh nanya-nanya sama lo gak?”

“Boleh, mau nanya-nanya apa emang?”

“Yah banyak sih, tapi laptop gue ketinggalan di kantor.”

“Yaudah nanti habis makan kita ke kantor lo aja, sekalian gue balik juga. Jauh-jauh kita ke Gedung 1 buat samperin Indira, eh dianya malah gak berhenti-henti kerja,” ledek Yasmin. Sayangnya, yang menjadi sasaran seperti tetap bergeming dan fokus ke pekerjaannya.

“Hahaa … Udah Yas, kasihan Indira diledek melulu begitu. Yaudah, nanti kita balik bareng aja ya.”

“Siap …” ujar Yasmin sambil menyeruput es teh manis di hadapannya.

***​

Seperti janjinya, Yasmin pun menuruti permintaan Sofyan untuk mampir ke ruang dosen di Fakultas Ekonomi Bisnis, tempat sahabatnya itu mengajar. Kebetulan jadwal mengajarnya sedang kosong siang ini, sehingga ia punya waktu luang sebelum nanti melanjutkan perjalanan ke kantornya sendiri.

Perempuan tersebut hanya tidak menduga bahwa ruangan Sofyan ternyata dalam kondisi kosong, tidak ada seorang pun di sana. Saat ditanya, Sofyan hanya mengatakan bahwa dosen yang lain sedang ada kelas.

MEF83KE_t.png


Mereka pun berbincang tentang proses akreditasi di Fakultas Sosial Politik, di mana Yasmin biasa mengajar. Perempuan tersebut pun menjelaskan apa yang ia ketahui dari proses tersebut, dari kacamatanya sebagai seorang dosen di sana. Sofyan memang lebih aktif memberikan pernyataan, dan sahabatnya tersebut hanya menjawab sesuai dengan apa yang ingin diketahui sang dosen pria.

“Bagaimana, Sof. Cukup nggak kira-kira? Maaf banget ya mungkin aku nggak bisa bantu banyak,” ujar Yasmin.

“Ini udah bantu banget kok, Yas. Aku jadi berpikir bagaimana caranya bisa mengurus akreditasi ini, tanpa menyulitkan para dosen sewaktu mengumpulkan berkas. Karena kalau mereka merasa kerepotan, jadi sulit juga kan untuk selanjutnya. Saran-saran dari kamu tadi menarik juga untuk dipraktekkan,” jawab Sofyan sambil mengetik catatan dari perbincangan mereka di laptop.

Tiba-tiba nada dering di ponsel Yasmi berbunyi, tanda ada sebuah panggilan masuk.

“Sebentar ya, Sof. Aku harus angkat.”

“Iya, silakan Yas.”

Yasmin pun berdiri dari bangku di hadapan Sofyan, dan mencari bangku lain yang cukup jauh dari posisi sahabatnya tersebut. Ia tidak ingin Sofyan mendengar obrolan dia dengan pria tua yang kini tengah meneleponnya.

“Halo, Pak. Selamat siang.”

“Selamat siang, Bu Yasmin. Apa kabar?”

“Kabar baik, Pak.” Yasmin berusaha sopan meski ia merasa janggal, “Ada apa ya, Pak? Kok telepon saya? Kebetulan saya sedang sibuk,” tanya Yasmin dengan mengerutkan kening.

“Begitu ya?”

“Ada yang bisa dibantu, Pak Bas?” Tanya Yasmin dengan suara yang lebih lembut. Ia hanya berharap obrolan ini cepat berakhir. Ia merasa malas berbicara dengan pria tua yang tengah meneleponnya, yaitu Pak Basuki sang ketua yayasan kampus.

“Begini. Ibu masih ingat kan dengan janji Ibu membantu penggalangan dana untuk kampus? Itu lho, untuk mengganti uang kampus yang Ibu hambur-hamburkan saat acara Entrepreneurship Day kemarin.”

Sesaat Yasmin mendengus kesal. Ia tentu tidak bisa melupakan kesalahan yang membuat dia pusing tujuh keliling selama beberapa hari terakhir.

“Masih ingat, Pak. Jadi apa yang bisa saya bantu untuk itu?”

“Minggu depan, saya ada rencana bertemu dengan salah seorang konglomerat di kota Semarang. Saya ingin Ibu menemani saya untuk bertemu dengan dia. Bisa?”

Yasmin langsung merinding. Saat setuju untuk membantu kampus dalam mencari investor baru, perempuan berjilbab itu tentu tidak pernah membayangkan bahwa salah satu tanggung jawabnya adalah harus pergi ke luar kota bersama sang ketua yayasan. Bila tahu, mungkin ia akan menolak dan mencari alternatif lain untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.

“Ke Semarang, Pak? Apa tidak ada alternatif lain, misalnya saya membuatkan saja materi untuk presentasi di sini, dan tidak perlu ke sana? Dengan online meeting misalnya? Kita bisa menggunakan aplikasi Zoom atau Google Meet?”

“Tidak bisa dong Bu Yasmin. Justru saya ingin Ibu turut serta berbincang langsung dengan calon investor tersebut secara tatap muka supaya mereka lebih yakin untuk memberikan dana bagi kampus kita. Dengan begitu, saya bisa anggap bahwa Ibu sudah bertanggung jawab terhadap uang kampus yang Ibu salah gunakan.”

“Hanya kita berdua, Pak? Mungkin dengan Pak Dar? Sekretaris Bapak, atau ada yang lain?”

“Tentu hanya berdua, Bu Yasmin. Saya sih tidak masalah kalau Ibu mengajak orang lain untuk ikut serta, tetapi Ibu yang tanggung ongkosnya ya. Seperti yang Ibu tahu, kampus kita saat ini sedang dalam kondisi berhemat.”

Sialan juga tua bangka ini, pikir Yasmin. Ia tentu tahu bahwa Yasmin tak akan punya uang untuk mengajak orang lain ikut serta, karena mencari uang untuk mengganti kesalahannya saja perempuan tersebut tidak mampu. Dan sepertinya, tidak ada cara lain untuk mengelak dari perintah Pak Bas. Karena itu, perempuan tersebut pun setuju, meski dengan hati yang berat karena terpaksa.

“Ba… Baiklah, Pak.”

“Apa Bu Yasmin, saya tidak jelas tadi mendengarnya?”

“Saya setuju untuk pergi ke Semarang dengan Bapak.”

“Oh, baiklah. Bagus kalau begitu. Nanti saya beritahukan untuk jadwal penerbangan ke sana dan berapa hari kita harus menginap di sana.”

“Harus sampai menginap ya, Pak? Tidak bisa langsung bolak-balik saja?” Yasmin pun bertambah panik.

“Ya tidak bisa dong. Memangnya Ibu kira melobi calon investor itu seperti nonton di bioskop, beli tiket, masuk, bisa langsung pulang? Kita perlu aktif melakukan pendekatan dengan mereka. Dan karena mereka biasanya sibuk, kita juga harus siap apabila suatu saat jadwal mereka tiba-tiba kosong, dan bisa bertemu kita. Sepertinya saya mendengar ada nada keberatan dari Ibu. Jangan lupa kalau Ibu yang menginginkan ini terjadi dan Ibu sudah menyetujui untuk membantu saya. Kalau memang Ibu keberatan, ya tidak apa-apa. Tanggung jawab kan ada di tangan Bu Yasmin sendiri. Bukan saya.”

Yasmin harus mengakui bahwa kata-kata Pak Bas ada benarnya. Pria tua itu sepertinya sudah sangat berpengalaman dalam aktivitas mendekati investor. Perempuan cantik itu pun menyerah.

“Baik, Pak. Saya ikut saja arahan dari Bapak.”

“Baik, sampai ketemu nanti Yasmin.”

Setelah sambungan telepon itu ditutup, Yasmin pun kembali ke tempat duduknya semula di hadapan Sofyan. Raut wajahnya tidak bisa berbohong bahwa ia sedang dalam kondisi hati yang tidak baik. Sang sahabat pun dengan cepat menyadari perubahan emosi Yasmin tersebut.

“Kamu kenapa, Yas. Kok tiba-tiba jadi bete. Itu tadi telepon dari siapa?”

“Kalau aku tidak mau cerita sekarang, boleh kan Sof?” Ujar Yasmin sambil menahan emosinya keluar.

Ia tidak menyangka kesalahan yang ia lakukan membuat dia jadi harus menuruti kemauan ketua yayasan kampus yang sudah tua itu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di Semarang nanti, tapi dalam hati dia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Dia mencoba sebisa mungkin untuk positive thinking tapi entah kenapa perasaannya sangat berantakan. Pandangan mata Pak Bas kepadanya kemarin membuatnya meragukan perasaannya sendiri.

Pandangan pria tua itu entah kenapa, membuat bulu kuduknya merinding.

Perempuan yang baru menikah tersebut tidak suka semua imajinasi itu. Tanpa sadar, air matanya pun mengalir melewati pipinya yang sedikit merah karena pengaruh blush on yang ia kenakan tadi pagi.

Melihat hal itu, Sofyan pun langsung berdiri dan menarik kursi agar ia bisa duduk tepat di sebelah sahabatnya tersebut. Ia seperti paham situasi yang sedang terjadi, meski tidak tahu penyebabnya. Ia pun bertekad untuk tidak menanyakan apa pun kepada sang perempuan. Toh nanti sahabatnya itu mungkin akan menceritakan semuanya.

Dengan hati-hati, Sofyan mengelus kepala Yasmin yang masih berbalut jilbab, untuk menenangkan sang dosen muda yang cantik itu. Perempuan tersebut tampak tidak menolak, meski masih terus menangis tersedu-sedu. Emosi yang selama ini ia tahan, kini tak sanggup lagi ia bendung.

Sofyan tampak semakin berani untuk mengusapkan tangannya ke hijab Yasmin yang permukaannya terasa begitu halus. Melihat sahabatnya tersebut masih belum bisa menghentikan tangisnya, ia pun berinisiatif untuk menarik kepala Yasmin ke pelukannya. Mereka berdua sama-sama merasakan kehangatan dari lawan jenis, yang meski bersahabat, keduanya sebenarnya sudah mempunyai pasangan masing-masing.

Ini adalah pertama kalinya pasangan sahabat itu saling berpelukan sepanjang mereka saling mengenal satu sama lain. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa hal tersebut salah, tetapi tidak ada satu pun dari keduanya yang menunjukkan penolakan.

Situasi ruang dosen yang sepi pun seperti menunjang aktivitas tersebut. Keduanya pun saling berpelukan dalam diam, seperti sedang berbagi emosi yang sama-sama ingin mereka luapkan.

***​

Hanya butuh satu setengah jam sebelum Laras dan rekan Pak Yo yang bernama Martin mengakhiri obrolan mereka. Seperti yang diharapkan Laras, diskusi tersebut berjalan lancar. Martin sepertinya tertarik dengan ide-ide kreatif dalam memasak yang sering dicoba oleh perempuan tersebut. Apalagi setelah Martin melihat jumlah follower Laras di Instagram, dan bagaimana ia berinteraksi dengan para followernya di sana, pebisnis di bidang wedding organizer tersebut pun makin yakin untuk menggandeng Laras sebagai mitra bisnis.

MEF83KF_t.png


“Bagaimana menurutmu Laras? Tentang apa yang dikatakan Martin tadi?” Tanya Pak Yo begitu ia hanya tinggal berdua dengan perempuan cantik itu, setelah sang pebisnis pamit pergi karena ada rapat di tempat lain.

“Menurutku menarik. Dari sisi bagi hasil pun sepertinya cukup adil. Tapi dia kan mau minta sampel dulu untuk mencoba rasa makanan yang aku buat, jadi ya kita lihat saja apakah dia masih ingin bekerja sama setelahnya,” jawab Laras.

“Kalau itu sih tidak perlu dikhawatirkan. Aku kan sudah mencoba makanan buatanmu di acara Entrepreneurship Day waktu itu. Dan rasanya luar biasa kok.”

“Ah, Pak Yo ini bisa saja memujinya. Jangan lebay deh.”

“Namanya juga kenyataan, ya harus disampaikan dong.”

Kata-kata itu membuat Laras jadi tersipu malu. Namun tiba-tiba ponselnya berbunyi, tanda ada sebuah pesan yang masuk. Ia pun langsung membukanya karena melihat nama pengirim yang merupakan suaminya sendiri.

“Sayang, aku nanti pulangnya rada malam ya. Masih ada banyak kerjaan di kampus. Kalau kamu ngantuk, nanti pintunya nggak usah dikunci ya, biar aku bisa masuk. Love you, sayang.”

Pesan tersebut membuat mood Laras yang sebenarnya sedang bagus karena obrolan dengan Martin tadi, kini menjadi buruk. Ia memang memahami bahwa sang suami kini mempunyai tanggung jawab lebih di kampus. Namun, ia juga tidak bisa menutupi kekecewaannya karena waktu bersama dengan sang pujaan hati kini jadi sangat berkurang.

Apalagi bila ia mengingat tekanan dari keluarganya, sekaligus keluarga Sofyan, tentang kapan mereka akan mempunyai momongan, Laras pun jadi berkecil hati. Bagaimana mereka bisa mempunyai momongan apabila frekuensi mereka untuk bisa bercinta sangat terbatas, pikir Laras. Saat melakukan hubungan suami istri pun mereka tidak bisa melakukannya secara maksimal, karena salah satu dari mereka biasanya sedang dalam keadaan lelah atau mengantuk. Beberapa ronde saja, salah satu dari mereka atau bahkan keduanya, sudah sama-sama kehabisan tenaga.

Tanpa sadar, pikiran tentang hubungan dirinya dengan sang suami membuat Laras jadi lupa di mana tempatnya berada saat ini, termasuk siapa orang yang sedang bersama dengan dia.

“Jadi bagaimana, Dik Laras. Mau?” Kata-kata Pak Yo akhirnya membangunkan perempuan tersebut dari lamunannya.

“Eh… Mau apa ya, Pak? Maaf tadi saya nggak fokus,” jawab Laras.

“Kemarin kan katanya Dik Laras mau periksa apartemen saya. Mau nggak mampir hari ini? Mumpung hari belum terlalu malam.”

Laras terkejut dengan tawaran pria tua tersebut yang begitu tiba-tiba. Sepanjang perjalanan menuju restoran tempat mereka bertemu Martin, Pak Yo memang menunjukkan perhatian yang berbeda. Ia menanyakan tentang kehidupan Laras sebelum menikah dengan Sofyan, hingga kondisi keluarganya. Laras pun menjawab semuanya dengan santai. Namun, tidak ada sekali pun sang dekan menyatakan keinginan untuk mengajak Laras ke apartemennya hari ini.

Dalam kondisi normal, Laras pasti akan menolak tawaran tersebut. Namun sebuah pesan dari sang suami benar-benar mengacaukan emosinya hari ini. Pilihannya adalah kembali ke rumah dan menikmati kesendirian dengan rasa bosan, atau mengikuti ajakan Pak Yo untuk mampir ke apartemennya.

Ada sedikit perasaan penasaran dalam hati Laras, akan apa yang akan dilakukan Pak Yo saat mereka hanya berdua saja di dalam apartemen yang tertutup. Apakah pria tersebut akan terus bersikap sopan seperti yang dirasakan Laras sejauh ini? Atau dia justru akan bertindak keterlaluan, yang dengan mudahnya bisa dilaporkan sang perempuan ke pihak berwajib sehingga namanya akan tercoreng? Rasa ingin tahu tersebut tanpa sadar membuat jantung Laras berdetak lebih cepat dari biasanya.

Di sisi lain, Laras juga berpikir bahwa memenuhi permintaan Pak Yo mungkin akan mempunyai pengaruh yang baik terhadap perkembangan bisnisnya. Hari ini terbukti sang dekan bisa mempertemukan perempuan tersebut dengan seorang pebisnis sukses yang bisa membuka jalan bagi usaha kuliner Laras. Di kemudian hari, entah pengaruh positif apa lagi yang bisa dibawa oleh Pak Yo.

Pria tua itu pun merupakan atasan sang suami di kampus, siapa tahu akan ada hal baik yang berpengaruh pada karir Sofyan di sana apabila Laras terus bersikap baik pada sang dekan. Karena itu, Laras pun memutuskan apa jawabannya terhadap tawaran tersebut.

“Bo… Boleh, deh Pak.”

“Hmm, boleh apa maksudnya Dik Laras?”

“Tadi memang Pak Yo ngajak apa?”

“Ngajak kamu buat main ke apartemen saya.”

“Makanya aku jawab boleh. Mau berangkat sekarang?”

“Ini serius?” Kali ini giliran Pak Yo yang seperti tidak percaya dengan jawaban Laras. Ia memang berharap persetujuan sang perempuan berjilbab yang sedang duduk di hadapannya itu. Namun ia tidak menyangka bahwa Laras akan semudah itu menyetujui ajakannya.

“Jadi Bapak nggak mau? Ya sudah, aku pulang sekarang kalau gitu …”

“Eh, bukan begitu. Oke… Oke… Ayo kita ke mobil sekarang,” ujar Pak Yo yang tidak mampu menutupi wajah sumringahnya saat mengarahkan sang perempuan meninggalkan restoran tersebut.

Laras jelas melihat perubahan raut wajah dari sang pria tua tersebut. Ia sekilas memandangi sosok Pak Yo dengan wajahnya yang sudah mulai keriput dan rambutnya yang botak di bagian tengah. Hanya ada sedikit rambut yang menutupi bagian samping dan belakang kepala sang dekan, itu pun sudah banyak ditumbuhi uban. Namun pria tersebut seperti masih cukup bertenaga di usianya yang tidak lagi muda. Sekilas, Laras bisa melihat kaos dalam berwarna putih di balik kemeja hitam lengan pendek yang dikenakan oleh Pak Yo.

Sepanjang perjalanan mereka berdua ke area parkir, Laras diam-diam tersenyum akan hal setengah gila yang tengah ia lakukan saat ini.

***​

“Permisi…”

Seorang perempuan muda tampak tengah mengetuk pintu ruangan yang berada di lantai paling atas Gedung Rektorat. Ia memutuskan untuk memenuhi permintaan sang rektor untuk datang ke ruangan tersebut setelah kelasnya selesai hari ini. Ia khawatir apabila tidak ia penuhi, sang rektor akan terus menerus menghubunginya.

“Ya… Silakan masuk,” terdengar suara lantang dari dalam ruangan. Perempuan tersebut pun langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.

Sebelumnya, perempuan tersebut memang sudah pernah memasuki ruangan itu, sehingga ia pun tidak terlalu merasa canggung. Sang rektor yang masih duduk di balik meja kerjanya di ujung ruangan tampak langsung tersenyum melihat kedatangannya.

“Oh, ternyata kamu Safira. Silakan langsung duduk di sofa saja,” ujar sang rektor bernama Darmadi tersebut.

MEF83KD_t.png


Safira pun menurut, dan langsung menempati sofa yang ditunjuk oleh Pak Dar. Pria tua itu sendiri masih sibuk membereskan beberapa dokumen di atas meja kerjanya, lalu membawanya saat mendekati tempat Safira berada.

“Bagaimana kuliah kamu hari ini, Safira? Lancar semua?” Tanya Pak Dar saat ia telah duduk di sebelah Safira. Mereka berdua menempati sebuah sofa panjang yang sama, meski terpisah cukup jauh. Sang rektor seperti sadar diri untuk tidak duduk terlalu dekat dengan mahasiswi cantik yang menjadi idola para pria di kampus tersebut.

“Lancar, Pak.”

Saat tengah berdua dengan sang rektor seperti ini, Safira jadi mengingat kejadian buruk saat Arga memarahinya karena kesalahan di panggung Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu. Kenangan tentang bagaimana dirinya dipeluk oleh Pak Dar di sebuah gudang sempit benar-benar melekat di kepalanya, sampai saat ini pikiran tentang peristiwa itu sedikit banyak membebani dirinya.

“Oh iya, Pak. Boleh saya menanyakan sesuatu?”

“Tentang apa Safira?”

“Hmm… euhhh… tentang… tentang yang waktu Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu. Saya sedang dalam keadaan sedih di gudang dan…”

Pak Dar langsung memotong kata-kata Safira. Ia seakan tahu betul apa yang ingin disampaikan perempuan berjilbab tersebut.

“Oh, soal itu. Saya minta maaf atas kelancangan saya waktu itu. Saya hanya berpikir bahwa kamu sedang dalam keadaan kurang baik, dan ingin sedikit membantu menenangkan kamu saja. Tidak lebih.”

“Iya, saya tahu kok, Pak. Saya ingin berterima kasih untuk itu,” ujar Safira dengan wajah yang sedikit tertunduk karena malu. “Saya hanya… maksud saya…”

“Kamu hanya ingin memastikan?”

Safira mengangguk.

Ia pun mulai berpikir bahwa Rektor yang sering disebut mesum oleh para mahasiswa tersebut mungkin tidak seburuk yang dibayangkan. Buktinya, ia masih mau meminta maaf tentang sesuatu yang sebenarnya bisa dibilang bukan kesalahan dia.

“Sekali lagi saya juga ingin minta maaf atas kesalahan saya di acara kemarin.”

“Kalau itu tidak perlu dipikirkan. Seperti yang saya sampaikan waktu itu, Pak Andreas pun tidak terlalu bermasalah dengan kesalahan itu,” jawab Pak Dar. “Kesalahan kecil saja.”

“Terima kasih sekali lagi, Pak. Oh iya, kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya Bapak memanggil saya ke sini?”

“Duh, maaf… saya jadi lupa soal itu. Jadi begini, ada beberapa dokumen yang menurut saya perlu kamu lihat,” ujar Pak Dar sambil memberikan dokumen yang tadi dia bawa dari meja kerjanya.

Safira pun memperhatikan dokumen-dokumen tersebut, yang ternyata merupakan brosur, penawaran peluang dan daftar persyaratan untuk menempuh pendidikan S2 di luar negeri. Brosur tersebut membuka peluang untuk hampir semua jurusan, termasuk komunikasi dan public relations. Hal itu jelas membuat mahasiswi muda tersebut jadi bersemangat.

“I… Ini…” Safira bahkan sampai tidak bisa berkata-kata karena kaget dengan apa yang ia lihat. Awalnya, ia khawatir sang rektor akan melakukan hal-hal aneh kepadanya, tetapi yang ia dapatkan justru sesuatu yang menjadi mimpinya selama ini.

“Saya kebetulan mengumpulkan brosur-brosur itu dari jaringan kampus dalam dan luar negeri, dan saya rasa itu bisa bermanfaat untuk mahasiswi berprestasi seperti kamu. Beberapa kampus sudah bekerja sama dengan kita.”

“Tapi… dari mana Bapak tahu kalau saya ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri?”

“Hanya menebak saja. Menurut laporan dari Dekan Sosial Politik, katanya kamu merupakan mahasiswi yang paling aktif dan antusias dalam proses belajar, serta rajin juga mengikuti kegiatan non akademik seperti acara Entrepreneurship Day kemarin. Karena itu, saya rasa brosur-brosur ini bisa bermanfaat untuk kamu. Dan setahu saya kamu sudah semester 6 kan?”

Safira pun mengangguk.

“Nah, pas rasanya kalau kamu mulai menyusun persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan mulai dari sekarang, kan?”

“Terima kasih banyak, Pak. Saya memang ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri, demi membahagiakan orang tua saya.”

“Wah… bagus kalau begitu, pelajari saja penawaran-penawaran ini, dan sampaikan ke saya kalau ada yang kamu minati. Nanti akan saya bantu menyusun surat rekomendasi dari kampus,” ujar Pak Dar sambil tersenyum. “Eh iya, saya jadi ingat ada hal kecil yang harus saya kerjakan… tunggu sebentar.”

Sang rektor tampak meninggalkan sang mahasiswi yang masih asyik melihat-lihat semua brosur tersebut dengan antusias, layaknya anak kecil yang mendapat hadiah sekarung besar permen. Perempuan berjilbab itu jadi sedikit membandingkan pacarnya yang selama ini tidak pernah melakukan apa pun untuk mendukung mimpinya melanjutkan kuliah. Sedangkan sang rektor yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia, justru memberikan perhatian yang jauh lebih berkesan. Sekilas, Safira bisa melihat Pak Dar sedang mengetik sesuatu di layar PC yang ada di atas meja kerjanya.

Tak lama kemudian, ponsel Safira bergetar. Perempuan muda itu pun langsung memeriksanya. Ada sebuah pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Karena penasaran, ia pun langsung membukanya.

“HEH!?”

Safira tampak kaget melihat isi pesan yang baru diterimanya. Ada sekitar sepuluh foto yang ia terima dari nomor tidak dikenal tersebut. Namun yang paling membuatnya terkejut adalah objek yang ada di foto-foto itu. Seluruh foto tersebut menunjukkan kemesraan pacarnya Arga dan sahabatnya yang bernama Amira, mulai dari mereka bergandengan tangan di mall, makan bersama di restoran, saling berpelukan di taman, hingga bercumbu mesra di dalam mobil yang Safira tahu betul bahwa itu adalah mobil BMW hitam milik sang kekasih.

Tanpa sadar, kedua tangan Safira yang menggenggam ponsel tersebut bergetar cukup hebat. Ia berusaha mencari alasan lain mengapa Arga dan Amira sampai bisa difoto dengan pose seperti itu. Satu-satunya alasan yang mungkin adalah mereka berdua hanya pura-pura berakting mesra untuk sebuah film, tapi itu tentu merupakan alasan paling konyol yang pernah ia dengar. Perempuan cantik itu merasa telah tertipu selama ini atas kepolosan Arga dan Amira di hadapannya, yang bersikap seperti tidak mempunyai hubungan apa-apa. Padahal, di belakangnya mereka berdua telah menusuknya dengan pengkhianatan yang keji.

“Safira…? Saf…? Kamu tidak apa-apa?”

Sang mahasiswi bahkan tidak menyadari kalau Pak Dar sudah kembali duduk di sebelahnya. Ia bahkan sudah di posisi yang begitu dekat dengan sang perempuan, karena khawatir melihat kondisi Safira yang terbujur kaku seperti baru saja melihat hantu. Ponsel yang selama ini digenggamnya bahkan sudah terjatuh ke lantai.

“Safira? Ada apa dengan kamu, Saf? Kok tiba-tiba diam begini?”

Safira tidak bisa mendengar sama sekali apa yang diucapkan sang rektor tepat di sebelahnya. Ia masih begitu terguncang dengan apa yang baru saja ia lihat. Perempuan muda itu akhirnya bisa menghubungkan hal-hal aneh yang selama ini ia rasakan, mulai dari Arga yang sering tidak bisa dihubungi di waktu-waktu tertentu, serta Amira yang sering terlihat senyum-senyum sendiri saat melihat pesan di ponselnya.

Sudah berapa lama mereka berselingkuh di belakang Safira?

Mahasiswi cantik itu bisa merasakan kepalanya ditarik secara perlahan oleh sang rektor, hingga bersandar di dadanya yang hangat. Hijabnya yang berwarna coklat pun telah dielus-elus lembut oleh Pak Dar. Apabila ada yang melihat pemandangan tersebut, pasti mereka akan merasa aneh melihat seorang perempuan cantik yang masih berusia 21 tahun tersebut mau saja menyerahkan tubuhnya dipeluk oleh duda tua berusia 55 tahun yang merupakan rektornya sendiri.

Namun situasi hati Safira yang sedang kalut membuatnya tidak bisa memikirkan apa-apa. Ia pun membiarkan saja saat lengannya mulai diusap oleh sang rektor tua dengan penuh perhatian.

“Kamu yang sabar ya, Safira. Semuanya akan baik-baik saja,” bisik sang rektor di telinga Safira.

***​

Sebuah mobil Pajero hitam berhenti di area parkir basement sebuah apartemen. Setelah mematikan mesin, seorang pria tua dengan kepala yang mulai botak bergegas turun dari kursi pengemudi, demi membukakan pintu untuk perempuan yang masih duduk di kursi penumpang. Sang perempuan yang mengenakan jilbab berwarna coklat muda tersebut pun tersenyum dibuatnya.

MEF83KF_t.png


“Duh, Pak Yo pakai repot-repot membukakan pintu segala.”

“Hahaa, sudah kebiasaan mungkin Dik Laras.”

“Sudah biasa mengajak perempuan ke apartemen maksudnya?” Tanya Laras berusaha menggoda pria tua tersebut.

“Eh… Bukan begitu… Maksud saya …”

“Hanya bercanda kok Pak Yo, serius sekali sih Bapak ini.”

Sang dekan yang masih merasa canggung tersebut pun mengarahkan Laras menuju lift yang menyambungkan area parkir tersebut dengan lantai-lantai di atasnya. Sang perempuan tidak bisa menyembunyikan senyumnya karena merasa telah berhasil mengerjai sang pria tua. Begitu masuk ke dalam lift, Laras pun seperti tidak bisa menahan tawa melihat Pak Yo yang sedikit gelisah karena bingung harus berdiri berdekatan dengan perempuan tersebut atau tidak.

Tak lama kemudian, mereka berdua pun sampai di lantai 15, tempat apartemen Pak Yo berada. Begitu keluar lift, mereka hanya perlu berbelok sekali ke arah kiri, sebelum sang pria tua berhenti di depan sebuah pintu dan membuka kuncinya. Ia pun mempersilahkan Laras untuk masuk terlebih dahulu, sebelum ia kemudian menyusul dan menutup pintu di belakangnya.

Ruangan apartemen tersebut cukup luas, hingga Laras akhirnya berusaha membandingkan apakah ukurannya lebih besar daripada rumahnya sendiri. Perempuan berjilbab itu pun berkeliling memeriksa apartemen tersebut, mulai dari kamar tidur, ruang tamu, hingga dapur kecil yang terdapat di dalamnya. Jendela besar yang memperlihatkan pemandangan indah dari kota yang berangsur-angsur menuju senja, merupakan hal yang paling menarik di mata Laras.

“Apa benar seorang dekan bisa menyewa apartemen semewah ini?” Pikir sang perempuan muda tersebut dalam hati. Bila benar, ia pun berangan-angan bisa mempunyai tempat tinggal seperti itu apabila sang suami nantinya mengisi posisi tersebut.

“Sudah selesai memeriksa apartemen saya?” ujar Pak Yo sedikit mengagetkan Laras. “Benar kan tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang lain yang menginap di sini?”

Laras tersenyum mengetahui Pak Yo masih mengingat guyonannya beberapa hari lalu. “Ya kan bisa saja kalau Bapak sudah membersihkan semua bekas-bekasnya, jadi saya tidak lihat.”

“Hmm, tapi…”

“Kalau memang suka membawa perempuan ke sini juga tidak apa-apa lho, Pak. Saya tidak akan memberi tahu orang lain, apalagi suami saya.”

“Bukan begitu…”

“Hahaha… kena lagi deh Pak Yo.” Laras kembali tertawa. “Saya memang suka bercanda, Pak Yo. Maaf ya.”

Sang dekan pun merasa malu saat mendengar kata-kata perempuan tersebut. Ia pun menggaruk-garuk kepalanya yang mulai mengalami kerontokan rambut.

“Oh iya, saya punya sesuatu buat kamu, Dek Laras.” ujar pria tua itu sambil menuju ke dapur.

Pak Yo kembali dengan sebuah kotak berwarna kuning yang berukuran sedang, dengan logo berwarna merah di atasnya. Ia pun membuka penutupnya di hadapan Laras, yang sudah tahu betul apa isi di dalam kotak tersebut.

“Wah, Pak Yo ingat saja kalau saya suka Toblerone,” ujar Laras sambil mengambil satu kemasan coklat kesukaannya dari dalam kotak.

“Dan seperti janji saya, kamu bisa makan sebanyak yang kamu mau,” kata Pak Yo sambil meletakkan coklat tersebut di sebuah meja yang dikelilingi oleh beberapa sofa. Tempat tersebut sepertinya biasa digunakan sang pemilik apartemen untuk menerima tamu.

Dalam hati, Laras cukup mengagumi bagaimana sang dekan memperlakukan dirinya sepanjang hari. Mulai dari membukakan pintu mobil, membayar makanan yang ia pesan, hingga mengingat hal-hal yang ia suka. Semua itu adalah hal romantis yang menurut Laras sudah hilang dari hubungannya dengan Sofyan. Padahal, usia pernikahan mereka masih bisa dihitung jari. Karena itu, merasakan hal tersebut dari pria lain merupakan sebuah pengalaman berbeda bagi perempuan cantik itu.

“Anak dan istri Bapak suka mampir ke sini?” Tanya Laras untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Mereka memang jarang datang, terakhir sekitar empat bulan lalu kalau tidak salah, waktu libur semester.”

“Kalau Pak Yo sendiri, suka pulang ke Jawa Timur?”

“Pekerjaan saya cukup padat di sini, Dik Laras. Seperti yang kamu lihat tadi, selain urusan kampus, saya juga punya bisnis dengan beberapa orang di ibu kota. Karena itu, jarang sekali saya pulang ke sana. Mungkin nanti di libur lebaran baru bisa.”

“Memang tidak kangen dengan mereka, Pak?”

“Kalau ditanya sih pasti kangen. Tapi di usia sekarang, sepertinya sudah tidak zaman ya kangen-kangenan seperti itu. Fokus saya sekarang adalah mencari uang untuk membahagiakan mereka.”

“Hmm… Memangnya Pak Yo tidak masalah hanya sendirian saja di sini, tanpa ada yang menemani?”

“Siapa bilang kesepian? Sekarang saja kan saya sedang ditemani oleh Dik Laras, hehehe…”

“Yah. Beda dong, Pak. Ditemani saya sama ditemani istri jelas jauh bedanya,” ujar Laras sambil tersenyum, yang tampak begitu manis di mata Pak Yo.

“Dik Laras sudah mau datang ke sini saja saya sudah senang bukan main.”

“Pak Yo bisa aja…”

“Oh, iya. Tuan rumah macam apa saya ini, sampai lupa mengambilkan minum. Sebentar ya, Dik Laras… Saya ambilkan dulu. Maklum sudah lama tidak ada tamu, jadi lupa menjamu dengan baik, Mau minum apa, Dik?”

“Duh, tidak usah repot-repot, Pak.”

“Tidak ngerepotin kok…”

Tanpa menunggu tanggapan Laras, Pak Yo langsung beranjak ke dapur untuk mengambil minuman. Sang perempuan muda yang sedang bersama dengannya pun tidak bisa mencegahnya. Apalagi saat itu ia sedang sibuk membuka kemasan Toblerone yang sebelumnya ia ambil, lalu menggigit sepotong coklat di dalamnya. Sisanya ia letakkan begitu saja di atas meja.

Setelah itu, Laras pun bergerak ke arah jendela untuk memandangi langit ibu kota yang mulai kemerahan menyongsong malam yang siap datang, sembari mengunyah coklat di mulutnya hingga habis. Ia harus mengakui bahwa pemandangan dari apartemen tersebut benar-benar indah. Saking terpukaunya, perempuan muda tersebut sampai merenungi perjalanan hidupnya yang penuh lika liku. Mulai dari dirinya yang harus mengorbankan karir demi menjadi ibu rumah tangga, tantangan yang tak biasa setelah berkeluarga, hingga semangat baru yang ia rasakan saat memulai bisnis di bidang kuliner. Semuanya berkecamuk menjadi satu di kepalanya.

Karena sibuk melamun, Laras terlambat menyadari kehadiran sang pria tua yang sepanjang hari ini telah bersama dengannya. Pria itu bahkan sudah berdiri tepat di belakang tubuhnya. Perempuan tersebut baru sadar saat merasakan dengusan napas yang tidak beraturan, tepat di belakang lehernya. Sebuah sentuhan lembut pun mendarat di ujung jilbab yang menutupi punggungnya.

Mengetahui hal tersebut, jantung Laras berdetak semakin cepat. Ia terlalu kalut hingga tidak bisa mengatakan apa-apa, atau bergerak menjauhi sang pria. Ia hanya menatap ke luar jendela, sambil membayangkan apa yang tengah dilakukan sang pria tua di belakangnya.

Tak lama kemudian, pria berusia 50 tahun tersebut mulai berani menempelkan tangan kirinya di pinggang Laras, meremasnya pelan, bahkan menggerakkannya ke depan demi mengusap bagian perut sang perempuan muda.

Ini adalah pertama kalinya tubuh Laras disentuh dengan sengaja oleh pria lain selain suaminya. Meski masih berbalut pakaian lengkap dan hijab yang menutupi kepalanya, tetap saja sang perempuan cantik itu merasa tegang. Kehangatan yang unik terasa menjalar menembus blus berbahan sifon yang tengah ia kenakan.

Sang pria tua bahkan mulai agresif dan merangkulkan tangan kanannya untuk menyuapkan sesuatu ke mulut Laras. Secara reflek, perempuan muda itu pun membuka bibirnya, dan menerima suapan tersebut.

“Manis dan hangat,” pikir Laras dalam hati, saat benda berwarna coklat itu lumer di rongga mulutnya.

Sang pria tua tidak langsung menarik jemarinya dari mulut Laras. Ia membiarkannya di sana, yang secara otomatis langsung dijilat dan diisap oleh sang perempuan, demi membersihkan sisa-sisa coklat manis yang masih menempel di sana. Namun setelah bersih, Laras seperti tak mau berhenti untuk terus mengisap-isap jemari tersebut.

“Hmmpp… sluurrpphh…”

Pria tua yang berdiri tepat di belakang Laras pun tersenyum. Ia telah mempunyai cukup pengalaman untuk tahu apa yang tengah dirasakan oleh perempuan muda di hadapannya. Karena itu, ia membiarkan saja jari telunjuknya dijilat dan diemut-emut oleh Laras, sambil menikmati aroma parfum sang perempuan berjilbab yang begitu menggoda birahinya.

Seperti tak tahan dengan keindahan bodi Laras, sang pria langsung menarik tubuh perempuan tersebut, hingga menempel erat ke tubuhnya. Bibirnya mulai mengecup-ngecup lembut leher sang perempuan yang masih berbalut jilbab. Sedangkan tangannya yang sebelah kiri terus mengusap-usap pinggang Laras, membuat blus yang dikenakan perempuan tersebut mulai berantakan.

“Ahhhh….”

Akhirnya suara yang ditunggu-tunggu sang pria keluar juga.

Kombinasi sentuhan di pinggang dan mulut, serta dekapan hangat pria tersebut membuat tubuh Laras bergetar. Ia benar-benar tidak menyangka pria tua yang berdiri di belakangnya itu berani melakukan semua ini tanpa mengatakan apa-apa terlebih dahulu. Dan yang lebih membuat Laras kaget, tubuhnya pun langsung bereaksi akan seluruh rangsangan tersebut.

Perempuan tersebut sadar bahwa sang pria tidak akan mau mengendurkan serangannya. Karena itu, Laras pun berusaha memejamkan mata dan menggigit bibirnya untuk bertahan. Ia berusaha menahan gairahnya agar tidak terlalu cepat meledak, semua demi keselamatan dirinya.

Terdengar bunyi musik mengalun.

Suara ringtone itu seperti menyadarkan Laras, dan memberinya kekuatan untuk bergerak. Dengan cepat, ia pun melepaskan tubuhnya dari dekapan sang pria tua, dan langsung mengambil ponsel dari tasnya untuk mengangkat panggilan telepon yang masuk.

“Ha-halo? Iya sayang? Ohh, sebentar lagi mau pulang? Baiklah kalau begitu.”

Pak Yo memperhatikan obrolan Laras dengan lawan bicaranya dalam diam. Tanpa mendengar dengan lengkap perbincangan tersebut, ia sudah tahu dengan siapa perempuan tersebut tengah berbicara.

“Iya, aku tunggu di rumah, sayang. love you, bye,” ujar Laras sembari menutup sambungan telepon.

Ia pun langsung membereskan tas dan pakaiannya yang sedikit berantakan. Ia kemudian menoleh ke arah Pak Yo yang masih membelakangi jendela.

“Saya pulang dulu ya, Pak. Sudah malam. Nanti kita ketemu lagi,” ujar Laras sambil tersenyum. Ia pun langsung menghambur ke luar dari apartemen tersebut, sebelum Pak Yo sempat berkata apa-apa.

Setelah perempuan tersebut pergi, Pak Yo hanya tertawa santai, sembari mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. Ia pun mengendus jari telunjuknya, yang masih menyimpan aroma khas dari air liur sang perempuan yang tubuh aduhainya telah sangat menggoda birahinya tersebut.

“Laras… Laras…” gumam Pak Yo, “Tinggal menunggu waktu saja…”

(Bersambung)
 
Waduhh.... Padahal tinggal sedikit lagi. Semangat pak Yo, kami mendukungmu :adek::)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd