Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Kayanya pada kecewa gada sex scene ya suhu? Wkwkwkwk pake rumus 3-1 atau 4-1 aja suhuu. 3 kali update kaya biasa abis itu kasih sex scene. Kesian juga dah pada ngaceng tapi gajadi ngocokkk wkwkwkwk

Mangattt suhuuuu
 
Part 10: Pengakuan Dosa

Berbeda dengan sahabat-sahabatnya yang lain, Indira Nur Aisyah memang tidak terlalu suka menunjukkan fotonya kepada orang asing. Tapi sebagai sewajarnya seorang perempuan, tentu ada keinginan dirinya untuk mengoleksi foto-foto diri. Karena itu, ia tetap mengunggahnya di Instagram, tentu dengan batasan membuat akun tersebut private sehingga hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang ia kenal saja.

MEF83KG_t.png


Beruntung, seorang mahasiswa yang sedang duduk sendirian di dalam kamarnya, adalah salah satu yang bisa masuk daftar pilihan yang diterima sebagai salah satu follower akun tersebut. Hal itu tentu bukan hal aneh, karena selain merupakan dosen pengajarnya di kelas, ia dan Indira pun beberapa kali harus bekerja sama dalam aktivitas di luar kelas.

Selama kebersamaan mereka, Indira sama sekali tidak pernah berpikir macam-macam tentang mahasiswa berusia 21 tahun tersebut. Tapi tidak sebaliknya. Tanpa sepengetahuan sang dosen, sang mahasiswa sebenarnya sering mencuri-curi pandang ke arahnya.

Wajah cantik sang dosen muda tentu merupakan daya tarik utama. Di mata sang mahasiswa ada yang lebih daripada sekedar cantik. Payudara Indira yang berukuran sedang, serta pahanya yang begitu montok seperti tanpa cela, adalah alasan-alasan tambahan mengapa ia tidak bisa memalingkan matanya dari dosen jelita tersebut. Apalagi Indira tak jarang menggunakan kaos dan celana jeans yang ketat saat sedang mengajar di kampus.

Apabila tidak sedang ada jadwal kelas di kampus, sang mahasiswa pun akan meluapkan kekagumannya dengan cara melihat foto-foto sang dosen yang masih gadis tersebut di Instagram. Ia biasa melakukannya saat sedang sendirian di kamar tidur, yang tak lupa telah ia kunci sebelumnya. Meski Indira tidak rutin mengunggah foto setiap hari, sang mahasiswa seperti tak pernah bosan meski hanya memandang foto yang sudah sering ia lihat. Bila ingin melihat foto terbaru sang dosen, ia tinggal membuka fitur Stories yang biasanya lebih sering digunakan Indira untuk mengunggah foto terbaru, meski langsung hilang dalam waktu 24 jam.

Secara otomatis, kemaluan sang mahasiswa yang masih terhitung remaja tersebut pun mulai mengembang seiring kian lamanya waktu yang ia gunakan untuk melihat-lihat feed Instagram milik Indira. Tak jarang ia sampai menurunkan celananya, hingga penisnya yang berwarna gelap karena keturunan dari ayahnya bisa berdiri bebas. Bila sudah begitu, sang mahasiswa akan melanjutkannya dengan mengoles lotion sebagai pelembab, dan mengusap-usap kemaluan tersebut dengan tangannya sendiri.

Sialnya, telah berminggu-minggu ia tidak bisa menggunakan tangan kanannya yang baru saja mengalami kecelakaan. Karena itu, ia pun harus belajar melakukan aktivitas mesum favoritnya tersebut dengan menggunakan tangan kirinya. Bila sudah sampai di puncak, ia akan membayangkan sang dosen masuk ke kamarnya, dan menanggalkan pakaiannya satu per satu, mulai dari hijab yang selalu ia kenakan, kaos, serta celana panjangnya.

“Ngghhh… Bu Indira, seksi banget sih tubuh kamu, Buu …” gumamnya pelan.

Fantasinya pun berlanjut dengan membayangkan sang dosen berlutut di hadapannya, dan mengecup-ngecup kemaluan mahasiswa tersebut dengan bibirnya yang seksi. Gerakan tangan sang pria muda tersebut pun akan jadi semakin cepat, sambil berimajinasi tangannya tersebut bisa menyentuh langsung puting payudara Indira dari balik bra, dan meremas-remasnya.

“Bu Indiraaaa… emut terus kontol hitam aku ini. Ahhhh…”

Sebelum berakhir, sang mahasiswa biasanya akan membayangkan sang dosen naik ke pangkuannya, dan membiarkan penisnya yang berukuran sedang masuk menembus liang senggamanya yang suci. Pemuda itu membayangkan wajah cantik Indira pasti akan langsung berubah menjadi binal saat itu terjadi.

“Ngghhh… nikmat sekali memek kamu yang sempit ini Buuuu… Setiap hari kamu mengajarkan aku soal programming, tapi di kamar aku akan bikin kamu sampai cumming …”

Bila sudah begitu, sang remaja pasti tidak akan bisa menahan birahinya lagi, dan membiarkan spermanya meledak, muncrat dari kemaluannya secara bertahap. Ia akan menikmati gelombang demi gelombang orgasme yang begitu indah tersebut. Karena seringnya melakukan onani sambil membayangkan sang dosen, ia jadi tidak sabar menunggu pertemuan selanjutnya dengan sang dosen, yang kini sering datang ke rumahnya.

“Duh, banyak banget lagi muncratnya,” gumam sang mahasiswa saat merasakan gelombang orgasmenya mulai selesai.

Ia kemudian membersihkan daerah selangkangan dan lantai kamarnya yang kotor oleh spermanya sendiri yang begitu kental. Karena sudah sering melakukan aktivitas tersebut, ia pun bisa menyelesaikannya dengan cepat. Dalam sekejap, lelehan sperma miliknya yang baru saja keluar dari penisnya telah berpindah ke beberapa lembar tissue kering di tempat sampah mungil yang terbuat dari plastik.

“Body Bu Indira memang menggiurkan banget. Tapi kalau soal toket, nggak ada yang bisa mengalahkan Bu Yasmin. Duh, sekarang aja ukurannya udah luar biasa, gimana kalau nanti dia punya anak? Pengen banget rasanya bisa nenen dari toket segede gitu, ughh …”

Selain Indira, dosen cantik lain di Universitas Jaya Abadi yang sering dijadikan objek fantasi seksual mahasiswa tersebut adalah Yasmin. Bahkan tak jarang ia meluangkan waktu untuk nongkrong di Gedung 2, hanya untuk melihat tubuh dosen muda yang baru saja menikah itu. Bila sudah begitu, ia biasanya akan cepat-cepat pulang ke rumah, untuk menuntaskan fantasinya yang tidak bisa tersalurkan apabila dia masih tetap berada di kampus.


***​


Tanpa terasa, jadwal kedatangan Indira ke rumah mahasiswanya Andrew Santoso telah kembali tiba. Kali ini, ia tidak perlu melalui pemeriksaan tambahan di pos keamanan lagi, karena semua penjaga di rumah tersebut sepertinya telah mendapat pesan dari sang pemilik rumah untuk membiarkan Indira masuk ke dalam kapan saja dia mau.

Kali ini, Andrew telah duduk di ruang tamu untuk menyambutnya. Sang mahasiswa bahkan telah menyiapkan laptop di atas meja, agar mereka berdua bisa langsung membahas skripsinya.

“Wah, sudah persiapan kamu ya…? Sepertinya semangat sekali kamu untuk menyelesaikan skripsi. Nah begini baru mahasiswa hebat,” ujar Indira begitu dia duduk dan meletakkan tas. “Begini yang aku suka.”

“Ibu bisa saja. Kan Ibu juga yang membuat saya bersemangat mengerjakan skripsi,” ujar Andrew sambil tersenyum dan tersipu. Tangannya yang sebelah kanan memang masih harus menggunakan penyangga, tetapi raut wajahnya kini sudah lebih ceria dibanding dengan minggu lalu saat pertama kali Indira datang ke sana.

Dalam hati, Indira merasa senang melihat idenya untuk membantu sang mahasiswa diterima dengan baik. Hal tersebut membuat hatinya terus dalam kondisi yang baik, tanpa diselimuti oleh perasaan bersalah telah menyebabkan kecelakaan yang membuat Andrew harus berada dalam kondisi seperti itu.

“Hari ini kita akan fokus ke eksekusi pembuatan program untuk skripsi kamu ini ya, Andrew. Untuk perumusan masalah dan kaitannya dengan solusi yang kamu buat sepertinya sudah cukup kuat. Nanti bisa dipoles lagi di akhir apabila programnya telah selesai,” jelas Indira. “Proses pengerjaan program akan menjadi yang utama karena diujikan di saat sidang dan harus bisa dijalankan tanpa error. Kalau kamu bisa menuntaskan pengerjaan program ini sendiri, tentunya akan lebih baik karena akan sangat membantu jika ada pertanyaan dari dosen penguji nantinya. Kamu akan lebih paham, karena semua dikerjakan sendiri.”

Sang dosen menjelaskan semuanya dengan bersemangat. Namun ia tidak sadar bahwa Andrew sebenarnya tengah menatap wajahnya sambil memikirkan hal lain. Konsentrasi mahasiswa tersebut sepertinya belum pada skripsi yang seharusnya ia kerjakan ini.

“Andrew…? Andrew… kamu dengar nggak apa yang baru saja Ibu sampaikan?”

Kata-kata tersebut akhirnya menyadarkan sang pria remaja.

“Eh, iya denger kok Bu,” ujarnya berbohong. “Eh, saya jadi lupa belum menyuguhkan minum untuk Ibu. Sebentar ya saya ambilkan dulu.”

Indira reflek meletakkan tangan kanannya di punggung tangan kiri Andrew, sebagai tanda bahwa pria muda tersebut tidak perlu berdiri dari tempat duduknya.

“Biar Ibu saja yang ambil, kamu duduk saja di sini,” ujar Indira. Ia sadar bahwa mahasiswanya tersebut masih dalam masa pemulihan, sehingga tidak seharusnya melakukan terlalu banyak aktivitas fisik. Toh ia sudah tahu di mana seharusnya mengambil minum, karena telah berada seharian di rumah tersebut minggu lalu.

Andrew tampak terkejut dengan sentuhan sang dosen di tangannya. Sepertinya ini adalah kali pertama ia bersentuhan langsung dengan perempuan cantik berusia 28 tahun tersebut. Apalagi, tangan halus Indira tanpa sengaja menyentuh jemari Andrew yang sebelumnya baru saja dipakai untuk melakukan hal yang tidak senonoh. Membayangkan hal tersebut, libido mahasiswa muda tersebut pun jadi meningkat.

Apalagi ia langsung disuguhi pemandangan indah sang dosen muda yang berjalan perlahan ke arah dapur, menampakkan jelas tungkai kakinya yang menawan karena hanya dibalut oleh celana jeans ketat berwarna biru dongker. Ujung celananya yang hanya menutupi sampai setengah betis pun menampakkan kakinya yang putih.

“Duhh… pasti nikmat sekali kalau setiap hari bisa jilatin kaki Bu Indira yang jenjang itu,” gumam Andrew dengan suara yang lirih.


***​


Hari ini, Arga Hartanto memang tidak ada jadwal kuliah di pagi hari. Karena itu, dia setuju saja saat sang kekasih Safira Maharani meminta dia untuk datang ke rumah kontrakan milik sang perempuan yang berlokasi tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.

Ini memang bukan pertama kali Safira meminta Arga untuk mampir ke rumah kontrakan miliknya. Namun, biasanya sang pria hanya datang untuk menjemput Safira, atau sedikit bermesraan dengan kekasihnya tersebut, meski tidak pernah sampai ke aktivitas yang berlebihan.

Kali ini, situasi hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja, terutama karena kejadian tidak mengenakkan di acara Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu. Keduanya bahkan belum pernah bertatap muka sama sekali sejak kejadian itu. Pesan yang dikirimkan Safira saat meminta pria tersebut datang pun seperti bernada ketus.

“Aku minta kamu datang ke rumah aku besok, pukul 10 tepat. Jangan sampai terlambat, ada yang harus kita bicarakan,” begitu bunyi pesan yang diterima Arga kemarin.

Pria tersebut sebenarnya sempat merasa malas untuk datang, karena masih belum bisa melupakan kesalahan yang dilakukan sang kekasih. Ia masih merasa dirinya di pihak yang benar, dan Safira telah sangat ceroboh melakukan kesalahan di acara penting kampus. Ia berharap sang kekasih yang menemuinya lebih dahulu untuk mengucapkan kata maaf.

Namun, dalam hati ia pun penasaran akan apa yang mungkin dikatakan Safira hari ini, sampai harus mengajak Arga bertemu. Pria tampan yang menjadi idola mahasiswi-mahasiswi di kampus tersebut pun menyanggupi permintaan itu.

Setelah memarkirkan mobil BMW hitam miliknya di depan rumah bertingkat dua tersebut, Arga pun langsung menuju pintu utama. Berbeda dengan mahasiswa lain yang mungkin hanya sanggup menyewa sebuah kamar kos mungil, Safira memang punya orang tua kaya yang bisa membiayai perempuan muda tersebut untuk menyewa sebuah rumah di kota.

Rumah tersebut memang tidak berukuran terlalu besar, tetapi mempunyai kesan mewah karena berada di sebuah cluster perumahan yang baru dibangun. Layaknya rumah modern lain, tempat tinggal Safira tersebut mempunyai kesan minimalis yang terasa dari pintu masuk hingga ke dalam. Ada dua buah kamar tidur di lantai atas, yang salah satunya telah diubah oleh Safira menjadi tempat menyimpan pakaiannya yang cukup banyak.

Arga bisa masuk begitu saja ke dalam rumah tersebut, karena pintu utamanya ternyata tidak dikunci. Namun ia langsung terkejut karena di ruang tamu sudah ada Safira bersama sahabat baiknya, Amira Ramadhani.

MEF83KD_t.png


“Lho? Amira, kamu ngapain di sini?” Tanya Arga, yang tidak langsung mendapat tanggapan dari perempuan yang tubuhnya berisi itu. Amira yang ditanya pun hanya diam seribu bahasa. Arga mulai merasakan ada yang aneh dari situasi ini.

“Oh, jadi gitu ya? Kamu datang kesini untuk menemui pacarmu dan langsung bertemu denganku, tetapi yang disapa duluan justru Amira,” ujar Safira dengan nada sinis. “Kok perasaan kamu selalu mendahulukan dia setiap waktu dibandingkan aku?”

Arga terkejut mendengar kata-kata kekasihnya tersebut. Ia langsung mengambil posisi duduk di sebelahnya demi mencari penjelasan. Pria muda tersebut sempat melirik ke arah Amira yang hanya bisa tertunduk lesu, tidak bisa membuka suara.

“Sebenarnya ada apa sih ini, sayang?”

“Masih berani kamu panggil aku sayang? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini?”

“Maksud kamu apa sih? Jelaskan dulu baik-baik. Aku tidak mengerti sama sekali tahu-tahu…”

“Nggak ada yang perlu dijelaskan. Kamu lihat saja sendiri foto-foto ini,” ujar Safira sambil melemparkan beberapa lembar foto yang ia terima beberapa hari sebelumnya ke atas meja di depan mereka. Gadis itu telah mencetaknya dalam ukuran besar, sebesar kebohongan yang telah dilakukan kedua orang di hadapannya tersebut.

Arga langsung terdiam saat melihat foto-foto tersebut. Sekilas saja, ia sudah bisa tahu kapan dan di mana foto itu diambil. Dari sudut kamera, jelas terlihat bahwa semua foto itu diambil secara diam-diam, tanpa diketahui oleh objek di dalamnya, yaitu Arga dan Amira.

Keduanya pun saling menatap satu sama lain, seperti berusaha menyusun alasan yang tepat untuk foto-foto tersebut. Bila mereka mendapat waktu beberapa menit sebelumnya, tentu mereka bisa menyiapkan sebuah alasan. Namun dengan pintarnya Safira mempertemukan mereka di waktu yang sama, sehingga tidak ada waktu bagi keduanya untuk memikirkan alibi yang tepat untuk apa yang telah mereka lakukan.

Dalam hati, Arga bertanya-tanya siapa yang mengambil foto tersebut. Padahal, ia merasa sudah begitu rapat merahasiakan hubungan mereka. Ia sempat curiga apakah Amira menjebaknya selama ini. Tapi rasanya tidak mungkin, karena cewek itu juga terlihat sama bingungnya.

“Siapa yang kasih foto-foto ini kepada kamu, Saf?”

“Tidak penting! Yang penting sekarang adalah aku butuh pengakuan kalau selama ini kamu telah mengkhianati aku dengan pelacur jalang yang sok bermuka manis di depan aku ini! Bisa-bisanya dia sok-sokan baik padahal di belakang tak lebih dari perebut kekasih orang, tega-teganya kalian berdua! Kalian pikir aku ini cewek bodoh dan lugu yang bisa dibohongi begitu saja?” jawab Safira sambil memberikan tatapan tajam ke arah Amira.

Perempuan tersebut tampak mulai kesal dengan kata-kata Safira yang kian keterlaluan. Ia sedikit menyesal datang beberapa menit lebih dulu daripada Arga. Saat mendapat pesan dari Safira untuk datang ke rumah kontrakannya semalam, ia tidak menyangka hal ini yang akan terjadi. Ia pikir, Safira hanya ingin mengajak jalan bareng, meski ia sempat merasa aneh mengapa sahabatnya tersebut tidak mengajak sahabat mereka yang lain, yaitu Naura.

Dan benar saja, saat Amira akhirnya datang, ia langsung dibombardir dengan segala macam umpatan yang keluar dari mulut Safira. Rasa bersalahnya sebagai seorang perempuan pun membuat dia hanya bisa duduk terdiam, tanpa membalas apa-apa. Untungnya, tak lama kemudian Arga datang, sehingga kemarahan Safira bisa terbagi ke mereka berdua.

“Kurang apa sih aku sama kalian sampai kalian sampai hati mengkhianati aku dari belakang?” ujar Safira dengan nada suara yang mulai tak beraturan. Perempuan tersebut tampak tidak bisa menyembunyikan lagi emosinya yang siap meledak.

“Oke. oke. Kamu maunya begini? Oke! Kamu nanya kekurangan kamu? Banyak Saf… Tapi yang paling utama adalah kamu cewek yang munafik,” ujar Arga yang sepertinya sudah tidak bisa menahan kekesalannya juga. Ia merasa sudah kepalang tanggung karena sang kekasih sudah mengetahui hubungannya dengan Amira, karena itu lebih baik ia beberkan saja perasaannya selama ini kepada pasangannya tersebut.

“Apa maksud kamu?”

Amira sebenarnya sudah ingin menahan Arga, tetapi pria tersebut sepertinya sudah tidak tahan untuk membuka seluruh uneg-unegnya kepada Safira.

“Iya, kamu munafik. Kamu selalu bicara tentang mimpi-mimpi kamu yang besar, pengen kuliah di luar negeri, blablabla… sampai bosen aku dengerinnya! Tapi pernah tidak kamu sebentar saja memahamiku? Gak pernah! Gak pernah kamu mencoba memahami apa mimpi aku, apa keinginan aku. Aku minta kamu untuk melayani aku aja kamu gak mau.”

“Gila. Jadi semua ini soal seks?” Tantang Safira yang kemarahannya juga telah mulai meledak. “Sudah semesum itu otak kamu?”

“Iya, ini semua soal seks…! Semua tentang seks! Karena aku membutuhkannya dan kamu gak bisa memberikannya buat aku. Beda sama Amira, dia selalu ada di saat aku butuh,” jawab Arga dengan nada suara yang mulai meninggi.

Kejujuran sang kekasih membuat Safira menjadi sangat emosi, ia berusaha menekan perasaannya tapi itu tak mungkin. Air matanya telah mengalir keluar, seperti banjir yang datang setelah menembus bendungan besar yang selama ini menahannya.

“Gila ya kalian berdua! Semua hanya gara-gara itu? Hanya gara-gara seks? Gila!! Salah besar selama ini aku memilih dekat dengan kalian! Otak kalian ternyata mesum!! Isinya cuma seks, seks, dan seks! Ya sudah sana! Entotin pacar barumu itu sampai hamil! Aku tidak akan peduli lagi!! Kalian berdua memang benar-benar keterlaluan!! Keluar kalian!!”

Arga pun langsung menggandeng Amira keluar dari rumah tersebut, dan membawanya pergi. Mereka pun meninggalkan Safira yang masih sesunggukan di ruang tamu rumah kontrakan miliknya.

Gadis jelita itu seperti dihantam kenyataan bahwa cinta sejati yang ia pikir selama ini terjalin antara dirinya dan Arga, hanyalah sesuatu yang semu. Pria tersebut tidak benar-benar mencintainya. Ia hanya butuh kepuasan seksual yang tidak bisa ia berikan saat ini. Sialnya, ia justru mendapatkannya dari Amira, yang merupakan sahabat dekat dari Safira.

Untuk beberapa saat lamanya, Safira termenung, menangis, dan terdiam tanpa berbuat apa-apa. Harus diakui dia shock. Ia sangat mempercayai Amira dan pernah bermimpi akan menikah dengan Arga - yang tentu ia cinta.

Kedua orang itu kini meninggalkannya. Dengan tega mengkhianati kepercayaan dan rasa cintanya demi nafsu semata.

Safira tidak habis pikir.

Tiba-tiba, Safira merasakan rasa kesepian yang teramat sangat. Ia merasa sendirian di kota yang besar ini. Amira jelas bukan sosok yang tepat lagi untuk dijadikan sahabat, karena ia telah pergi dengan Arga yang jelas-jelas merupakan kekasih Safira. Orang tua gadis itu pun tinggal di luar kota, dan baru saja mengabarkan kalau mereka tidak bisa datang berkunjung bulan ini.

Ia memang mempunyai satu sahabat dekat lain yang bernama Naura, tetapi apabila ia mendengar apa yang terjadi antara Safira dan Amira, entah apa yang akan ia katakan. Sejak dulu, Naura memang lebih dekat kepada Amira, dibanding Safira yang merupakan mahasiswa asal luar kota.

Safira pun memilih menghabiskan waktu dengan menangis di kamarnya yang terletak di lantai atas. Ia memilih untuk tidak pergi ke kampus hari ini, meski untuk itu ia harus meninggalkan kelas. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejak masuk ke Universitas Jaya Abadi.

Hari ini, rasanya Safira tidak ingin melakukan apapun dulu.


***​


Saat jarum jam telah menunjuk ke angka empat, barulah Safira keluar dari kamar tidur dan turun ke ruang tamu di lantai dasar rumahnya. Ia masih tidak bisa melupakan apa yang baru saja terjadi di sana beberapa jam sebelumnya, terutama kata-kata kasar yang diucapkan sang kekasih - atau mungkin lebih tepat disebut mantan kekasih - kepadanya.

“Ya, sepertinya kami berdua sudah tidak bisa lagi menjadi pasangan kekasih. Ia terbukti lebih memilih Amira dibanding aku,” gumam Safira sambil meneguk secangkir teh panas yang baru saja ia buat untuk menghangatkan tubuhnya. Sesekali, ia masih merasa gemetar apabila teringat pengkhianatan yang dilakukan Arga dan Amira.

Demi menenangkan hati, ia pun memutuskan untuk menelepon orang tuanya. Berbeda dengan mahasiswa lain yang biasanya merahasiakan hubungan asmara mereka, Safira justru selalu terbuka atas setiap hubungan cinta yang ia jalani. Karena itu, orang tuanya jelas mengenal Arga. Mereka juga pernah bertemu dengan pria muda tersebut saat sedang mampir ke kota.

Untungnya, Safira mempunyai orang tua yang begitu pengertian, dan tidak terlalu mengekang dirinya karena merasa anak mereka sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Tidak ada satu pun kata-kata buruk pernah terlontar dari mulut mereka tentang pasangan yang dipilih oleh anaknya.

MEF83KD_t.png


“Halo, Ma. Lagi sibuk?’

“Tidak sayang. Ada apa? Tumben kamu nelpon?” Akhir-akhir ini Safira memang mulai jarang menelepon orang tuanya karena kesibukan acara Entrepreneurship Day dan keretakan hubungannya dengan Arga.

Ia sebenarnya malu tiba-tiba menelepon mereka saat baru saja ditinggalkan oleh sang kekasih. Seakan-akan ia baru akan menghubungi orang tuanya saat sedang butuh saja. Namun Safira tidak tahu lagi harus menelepon siapa, dan ia yakin kedua orang tuanya pun pasti mengerti kondisi dia yang sendirian di kota, apalagi sang Mama yang memang benar-benar dekat dengannya sejak kecil.

“Aku mau curhat, Ma. Boleh kan?”

“Boleh dong, sayang. Sejak kapan kamu nggak boleh cerita sama Mama? Anak manis Mama mau curhat tentang apa?”

“Hmm… Tentang Arga, Ma.”

“Oh…? Ada apa sama pacar kamu? Sini cerita aja, sayang. Keluarkan saja semua keluh kesah kamu ke Mama,” ujar sang Mama dengan bijak.

Safira pun akhirnya menceritakan semua kegelisahan yang ia rasakan akhir-akhir ini. Mulai dari Arga yang seperti tidak pernah mendukung mimpinya untuk meniti pendidikan tinggi, kata-kata kasar pria tersebut di acara kampus beberapa minggu lalu, hingga sebuah pesan anonim yang berisi foto-foto kemesraan Arga dengan Amira. Safira pun tak lupa menceritakan apa yang terjadi pagi ini di rumah kontrakan itu, dan bagaimana ia melabrak pasangan selingkuh tersebut secara langsung.

Sang Mama pun hanya mendengarkan saja cerita anaknya, tanpa menyela atau mempertanyakan keputusan Safira. Apalagi, wanita yang sudah berusia setengah baya tersebut bisa mendengar jelas isak tangis sang anak perempuan, di sela-sela kisahnya. Menurut pengalamannya, sang anak sebenarnya hanya butuh seseorang untuk menampung semua ceritanya saja, tidak benar-benar butuh masukan atas masalahnya. Safira telah mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya dan dia hanya butuh konfirmasi untuk itu.

“Menurut Mama, apakah keputusan aku sudah tepat untuk memutus hubungan dengan Arga?”

“Kalau Mama sih lebih menyerahkan kepada kamu, karena kamu pasti tahu mana yang terbaik bagi dirimu sendiri. Tugas Mama dan Papa hanya mendukung kamu dari belakang. Apapun yang kamu pilih, Mama sama Papa setuju.”

“Terima kasih Ma. Mama memang yang terbaik untuk Safira.”

“Pesan Mama hanya satu, yaitu kamu pegang teguh mimpi yang ingin kamu kejar, dan berjuang sekuat tenaga untuk menggapainya. Kalau kamu yakin bisa, kamu pasti bisa, Sayang. Buktikan sama orang-orang yang tidak percaya dan buktikan sama diri kamu sendiri kalau kamu bisa.”

“Iya, Ma. Safira selalu ingat kata-kata Mama tersebut.”

“Bagus. Itu baru anak Mama. Sekarang kamu tenangkan diri dulu. Kamu pasti sedang minum teh panas kesukaan kamu kan?”

Safira mengangguk, meski ia tahu sang Mama tentu tidak bisa melihatnya. “Iya, Ma. Kok Mama bisa tahu?”

“Apa sih yang Mama nggak tahu tentang kamu, sayang, kalau kamu sedang butuh ketenangan hati, kamu selalu minum teh panas itu,” ujar sang Mama sambil tertawa santai. “Mama juga tahu kalau beberapa hari lalu kamu diantar seseorang ke rumah. Benar kan?”

Safira benar-benar takjub dengan kemampuan sang Mama dalam membaca situasi. Terkadang, ia sering berimajinasi jangan-jangan Mamanya mempunyai kekuatan supranatural dan bisa mengetahui apa yang terjadi di tempat lain, tanpa harus berada di sana.

Mahasiswi muda tersebut pun jadi teringat dengan hari di saat ia mendapat pesan dari sebuah nomor tidak dikenal, yang ternyata merupakan foto kemesraan antara Arga dan Amira. Ia tidak bisa menahan emosinya pada saat itu, dan membiarkan Pak Dar memeluk dirinya di ruang rektor. Safira bahkan sampai meluapkan tangisnya di dada sang rektor, hingga kemeja pria tua tersebut sedikit basah karena air matanya.

“Bapak tidak bisa membiarkan kamu pulang sendirian dalam keadaan begini. Bapak antar saja ya?” Ujar sang rektor setelah Safira menangis selama hampir setengah jam.

Safira saat itu tidak bisa memikirkan apa-apa selain ingin segera bertemu dengan kamar tidurnya, di mana dia bisa meluapkan emosinya sendirian tanpa dilihat oleh orang lain. Karena itu, perempuan tersebut menyetujui saja tawaran dari sang rektor.

“Memangnya Bapak sedang tidak sibuk?”

“Tidak, pekerjaan saya sudah selesai kok. Ayo ikut Bapak ke mobil,” ujar sang rektor sambil membimbing sang mahasiswi berjilbab tersebut ke area parkir eksklusif di dekat gedung Rektorat. Hari yang sudah beranjak malam membuat tidak ada seorang pun yang berpapasan dengan mereka berdua saat berjalan menuju mobil.

Saat keduanya tengah dalam perjalanan menuju rumah Safira, tiba-tiba sang Mama menelpon. Mahasiswi muda tersebut jelas tidak mengatakan apa yang baru saja terjadi, apalagi tentang siapa yang sedang mengantarnya pulang ke rumah. Apabila ia menjawab dengan jujur, pasti sang Mama akan memberondongnya dengan lebih banyak pertanyaan. Namun, meski tidak mendapat jawaban secara langsung, sang Mama ternyata tahu kalau ia sedang diantarkan oleh seseorang, dan orang itu jelas bukan Arga.

“Safira… Kok tidak dijawab?” Perempuan muda itu kembali dari lamunannya saat mendengar panggilan dari sang Mama di ujung sambungan telepon.

“Eh, maaf Ma. Tadi nanya apa?”

“Jadi siapa yang mengantar kamu ke rumah beberapa hari lalu?”

“Hmm, kalau aku tidak bilang sekarang, boleh kan Ma?” Ujar Safira ragu-ragu. Ia memang tidak terbiasa merahasiakan sesuatu dari orang tuanya. Namun entah apa yang mereka akan katakan kalau ia mengaku diantar pulang oleh rektor kampus yang merupakan seorang duda tersebut.

“Nggak apa-apa kok. Mama tunggu saja sampai nanti kamu mau cerita sendiri.”

“Terima kasih Ma. Suatu saat nanti pasti aku akan cerita.”

“Laki-laki ya?”

“Iya, Ma. Dia laki-laki.”

“Single?”

“Mmmm, setahuku sih dia masih single,” Safira merasa ia masih menjawab dengan jujur sampai saat ini. Ia hanya tidak mengatakan secara lengkap saja bahwa orang yang mengantarnya kemarin sudah pernah menikah, dan usianya jauh di atas perempuan tersebut.

“Cuma nganter sampe rumah, gak lebih?”

“Iya Ma. Cuma nganter doang kok.”

Kali ini Safira kembali tidak berbohong. Karena begitu sampai di rumah kontrakannya, mahasiswi cantik tersebut memang langsung turun dari mobil Palisade milik sang rektor. Tidak ada lagi interaksi sentuhan dan percakapan antara keduanya. Safira hanya membalikkan badan sesaat sebelum ia masuk ke dalam rumah, dan saling bertatapan mata dengan Pak Dar. Setelah itu, sang rektor pun langsung pergi meninggalkan rumah tersebut.

“Ada sesuatu yang kamu suka dari dia?”

“Hmm, baru-baru ini dia memberikan beberapa brosur untuk kuliah di luar negeri, seperti mendukung mimpi aku.”

“Wah bagus dong.”

“Iya Ma,” ujar Safira sambil tersenyum.

“Mama dan Papa pokoknya mendoakan yang terbaik untuk kamu, sayang. Kamu baik-baik ya di sana.”

“Siap Ma.”

Hati Safira menjadi sedikit tenang setelah berbincang dengan Mamanya. Meski begitu, ia merasa sedikit aneh karena secara tidak langsung telah menyebut bahwa dirinya ‘suka’ dengan Pak Dar, sang rektor di kampusnya.

Apa benar begitu perasaannya kepada pria tua tersebut?


***​


Di saat Safira tengah asyik mengobrol dengan mamanya lewat sambungan telepon, di lain lokasi Indira tengah sibuk dengan ponselnya. Sesi bimbingan dengan Andrew ia rasa sudah cukup untuk hari ini. Karena itu, ia pun coba menghubungi seseorang yang kemarin berjanji untuk menjemputnya. Namun setelah mencoba menghubunginya berkali-kali selama sepuluh menit terakhir, sang dosen cantik tersebut tidak kunjung mendapat balasan.

Nada deringnya tak kunjung diangkat di ujung sana.

“Duuuh… Mas Ahmad ini ke mana sih? Dikirimi pesan WhatsApp nggak dibalas, ditelepon gak diangkat, kemana sih?” gerutu Indira dengan nada gusar. “Padahal kemarin katanya bakal jemput ke sini. Kalau nanti aku pulang sendirian marah karena tidak mau nungguin. Haduuuh, serba salah.”

Kegelisahan tersebut akhirnya disadari oleh Andrew, yang tengah membereskan meja ruang tamu tempat mereka mengerjakan skripsi selama seharian tadi.

“Kenapa Bu? Wajahnya murung begitu. Sepertinya sedang bad mood?” tanya sang mahasiswa. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”

“Oh, tidak ada apa-apa kok, Andrew. Biasalah, Ibu kemarin minta jemput sama seseorang, tapi sekarang dia malah tidak bisa dihubungi,” ujar Indira sambil tersenyum. Ia tentu tidak ingin masalahnya yang sepele ini justru merembet ke hubungannya dengan sang mahasiswa.

“Pacarnya ya?”

Indira hanya tersenyum mendengar pertanyaan tersebut dari mahasiswanya. Ia pun mengangguk.

MEF83KG_t.png


“Coba kalau tangan saya sudah sembuh, bisa saya antar Ibu pulang ke rumah.”

“Ya kalau kamu sudah sembuh, Ibu juga tidak perlu bantu kamu lagi dong.”

“Iya juga ya,” ujar Andrew sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri.

“Hahaa… bercanda ya Andrew. Ibu kan sudah berjanji untuk membantu kamu untuk mengerjakan skripsi sampai tangan kamu pulih dengan sempurna. Jadi kamu tidak usah khawatir,” tanggap Indira sambil tersenyum manis.

“Heheh, iya Bu. Atau Ibu mungkin mau ikut makan malam dulu di sini seperti minggu lalu, sambil nunggu dijemput?”

“Tidak usah Andrew, orangnya masih belum jelas bisa jemput kapan. Lagipula, Ibu bisa pulang naik taksi online kok,” jawab Indira sambil merapikan tasnya.

Saat dosen muda berusia 28 tahun tersebut sudah siap untuk memesan taksi online, tiba-tiba pintu rumah dibuka dari luar. Seorang pria yang mengenakan kemeja safari lengan panjang berwarna hitam pun masuk ke dalamnya.

“Lho, mau ke mana Bu Indira?” Tanya sang pria begitu sampai di ruang tamu, dan melihat perempuan berjilbab itu sedang membereskan barang-barangnya.

Pria tersebut menyapa Indira sambil membuka kancing lengan, dan menggulung ujung kemejanya hingga siku. Karena itu, lengannya yang dipenuhi bulu kini bisa jelas terlihat oleh Indira.

“Kebetulan sesi bimbingan dengan Andrew sudah selesai, Pak Agustinus. Saya permisi mau pulang dulu,” jawab Indira sambil tersenyum.

“Pulangnya naik apa Bu? Atau ada yang jemput?”

Sebelum Indira sempat membalas, Andrew sudah terlebih dahulu menjawab pertanyaan Papanya. “Tadinya Bu Indira mau dijemput pacarnya Pa, tapi gak bisa dihubungi. Jadi Bu Indira mau pesan taksi online.”

“Oh gitu, ya udah kalau begitu saya antarkan pulang saja ya? Tidak perlu repot cari taksi online.”

Tanpa menunggu jawaban dari Indira, Pak Agustinus sudah berjalan kembali ke pintu masuk dan memanggil supirnya yang masih berada di halaman depan.

“Jono, mobil jangan dimasukkan dulu ya. Saya mau pergi lagi.”

“Siap, Pak,” ujar sang sopir setengah berteriak, agar suaranya terdengar oleh sang majikan, karena posisi mereka berdua memang terpisah cukup jauh. “Saya ikut juga Pak?”

“Tidak usah, saya saja. Kamu istirahat saja di sini.”

“Oke, Pak.”

Saat Pak Agustinus membalikkan badan untuk kembali masuk ke dalam rumah, Indira tampak sudah terlebih dahulu berjalan mendekatinya.

“Hmm, mungkin sebaiknya tidak usah sampai mengantar saya ke rumah, Pak. Tidak enak saya jadi merepotkan,” ujar Indira dengan nada pelan. Ia tentu tidak mau terang-terangan menolak permintaan sang pemilik rumah di hadapan para sopir dan asisten rumah tangganya.

“Coba Ibu bandingkan, lebih repot mana Ibu yang setiap minggu datang jauh-jauh ke sini dan meluangkan waktu seharian untuk Andrew, atau saya yang hanya mengantarkan Ibu sampai rumah?”

Dalam hati, dosen cantik itu mengakui bahwa datang setiap minggu ke rumah Andrew untuk membantu dia mengerjakan skripsi mulai terasa melelahkan. Namun karena ia sudah terlanjur berjanji untuk melakukannya, demi mengurangi rasa bersalah atas kecelakaan yang menimpa sang mahasiswa, ia pun tidak bisa membatalkan perjanjian tersebut.

Ia pun coba memahami pemikiran Pak Agustinus yang sepertinya hanya ingin membalas budi kepadanya karena telah membantu anak semata wayangnya. Karena itu, Indira akhirnya menyerah.

“Apa benar tidak merepotkan, Pak? Bapak kan biasanya sibuk.”

“Hahaa … tidak kok. Saya sudah free hari ini. Mau sekarang? Shall we?

“Ya sudah. Thank you so much,” jawab Indira menerima tawaran Pak Agustinus. “Tapi sebentar, saya pamit ke Andrew dulu, Pak.”

“Silakan.”



***​


Indira harus mengakui, kalau duduk di kursi penumpang sedan nan mewah memang terasa sangat nyaman. Joknya terasa jauh berbeda bila dibandingkan dengan mobil LCGC yang sering ia tumpangi saat memanfaatkan jasa taksi online, atau mobil MPV milik kekasihnya Ahmad.

Lagi-lagi, Indira teringat akan Ahmad.

Hingga saat ini, pria yang telah menyatakan keseriusan padanya sejak hampir setahun yang lalu itu, belum juga memberinya kabar. Seandainya saja kekasihnya tahu kalau Indira pulang diantar oleh seorang pria yang bukan muhrimnya, ia pasti malah besar. Mengamuk bahkan.

“Salah sendiri. Disuruh jemput malah tidak bisa dihubungi,” batin Indira dalam hati.

Dosen cantik itu melirik ke arah kanan, di mana seorang pria berusia 55 tahun tengah serius mengemudikan mobil menembus jalanan kota yang mulai padat. Indira harus mengakui, meski mempunyai usia yang tidak jauh berbeda dengan ayahnya, Pak Agustinus terlihat jauh lebih segar dan bertenaga. Ia pun bisa menghirup aroma parfum yang dikenakan sang anggota DPRD kota itu, begitu lembut tetapi tidak terkesan norak seperti layaknya parfum orang tua. Ia terkesan intelek, santai, berkelas, dan bermartabat tinggi. Kombinasi yang sempurna untuk seorang pria matang dan mapan.

“Jadi… sudah berapa lama pacaran, Bu Indira?”

“Hah!? Ma-maaf, Pak. Bagaimana?” Perempuan yang tengah mengenakan jilbab berwarna hitam tersebut langsung tersentak kaget karena tiba-tiba saja diajukan pertanyaan seperti itu.

Pak Agustinus tertawa melihat kekikukan Indira menanggapi pertanyaannya yang tiba-tiba, “Saya tadi cuma bertanya, Bu Indira sudah berhubungan berapa lama berpacaran dengan kekasih yang sekarang?”

“Ehhmm.. Bapak tahu dari mana kalau saya sudah punya pacar, Pak?”

“Lho, bukannya tadi Andrew bilang, kalau Ibu seharusnya hari ini dijemput pacarnya? Heheh. Lupa ya?”

Ahh, benar juga, batin Indira. Dasar si Andrew, suka tidak dijaga kalau bicara. Ia jadi bingung bagaimana cara terbaik untuk menanggapi pertanyaan tersebut. Namun ia akhirnya memutuskan untuk bicara sejujur-jujurnya pada orang tua dari Andrew tersebut, karena toh tidak ada yang salah dengan itu.

“Sudah sekitar satu tahun, Pak.”

“Wah, lumayan juga ya. Sudah ada rencana untuk menikah?”

“Ehm… masih didiskusikan kalau soal itu, Pak.” Indira tersenyum simpul ketika pertanyaan sudah mengarah ke pernikahan.

“Oh yaya. Saya paham kok. Mungkin kalian berdua masih menimbang-nimbang ya? Saran saya jalani saja semuanya dengan sabar. Saya pribadi hanya mendoakan yang terbaik bagi Bu Indira dan kekasihnya.”

“Terima kasih, Pak.”

Hubungan mereka memang masih terhitung baru, tapi anehnya Indira sudah bisa merasakan ketulusan dari kata-kata Pak Agustinus. Apakah semua anggota dewan memang mempunyai aura seperti ini? batin dosen cantik itu dalam hati. Kharisma dan pembawaannya luar biasa meyakinkan.

“Hmm, kalau saya tanya pertanyaan yang sedikit pribadi, boleh kah Pak?”

“Tentu saja boleh, Bu. Kan tadi saya juga sudah mengajukan pertanyaan yang bersifat pribadi, hehehe. Memangnya Ibu mau bertanya tentang apa?” tanya Pak Agustinus sembari tetap fokus untuk mengemudikan mobil dengan hati-hati meski terkesan santai.

Indira pun tersenyum. Sungguh ia penasaran, “Kalau Bapak sendiri… apa ada rencana untuk mencari Mama baru untuk Andrew?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Pak Agustinus menghembuskan napas lumayan panjang. Ia tidak langsung menjawabnya, sehingga membuat Indira khawatir kalau dia sudah menyinggung perasaan pria tersebut.

“Eh… apakah ini terlalu pribadi pertanyaannya?”

“Tidak… tidak… tenang saja, Bu. Akan saya jawab kok. Sebagai pria, keinginan untuk itu jelas ada. Tapi saya sadar bahwa saya bukan lagi anak muda yang tidak mempunyai tanggung jawab dan bisa dengan bebas memilih pasangan. Ada citra dan hati yang harus saya jaga. Ibu paham maksud saya?”

“Paham, Pak.”

“Fokus saya saat ini adalah menjadi politikus yang baik, bisa memberikan manfaat bagi banyak orang, serta memberikan pengaruh positif kepada siapa pun yang saya temui. Selain itu, saya juga ingin membesarkan Andrew agar menjadi sosok yang dewasa. Bila nantinya ada yang bisa mendukung saya untuk menjalani semua itu, tentu saya akan dengan senang hati menerima kehadirannya.”

Kalimat seperti itu mungkin adalah hal biasa bagi seorang politikus seperti Pak Agustinus. Namun mendengarnya dalam konteks hubungan cinta, membuat rangkaian kata-kata tersebut terasa begitu romantis di telinga Indira. Apalagi sang pria di sebelahnya mengucapkannya dengan nada suara yang lembut, yang menurut Indira bisa menggetarkan hati perempuan mana pun yang mendengarnya.

Apakah Indira juga bergetar?

“Di depan kita belok kiri atau kanan Bu?” Tanya Pak Agustinus tiba-tiba, seperti membuyarkan lamunan sang dosen muda tersebut.

“Eh… belok kiri Pak. Nanti rumah saya yang ketiga di sebelah kiri.”

Sang pria tua pun mengarahkan mobilnya menembus jalanan komplek yang tidak terlalu lebar. Untungnya, tidak ada banyak kendaraan dari arah berlawanan, sehingga ia bisa dengan mudah sampai di kediaman Indira yang terlihat sederhana. Sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan rumah Pak Agustinus yang begitu besar dan mewah.

“Terima kasih sudah repot-repot mengantarkan saya sampai rumah, Pak.” ujar Indira begitu mobil berwarna hitam itu berhenti tepat di depan pagar rumahnya. “Mungkin Bapak mau mampir sebentar?”

Pak Agustinus tahu bahwa itu adalah pertanyaan basa basi. Ia pun tidak ingin mempersulit sang dosen, dan memilih untuk menolak tawaran tersebut. “Mungkin lain kali saja, Bu Indira. Sepertinya Ibu butuh istirahat setelah membantu anak saya seharian ini.”

“Saya melakukannya dengan santai kok, Pak.”

“Yes, I believe that you’re a professional lecturer…” ujar Pak Agustinus. “...and a cute one.”

Ah. Wajah Indira memerah.

“And you also a good-looking representative of the state,” jawab Indira, meski ia langsung merasa malu saat kata-kata tersebut meluncur dari bibirnya. Kok bisa-bisanya kalimat seperti itu ia ucapkan!? Indira ih!

Pak Agustinus hanya tersenyum melihat perubahan raut wajah sang dosen cantik tersebut. Namun ia membiarkan saja Indira keluar dari mobil sambil membawa perasaan malunya.

“Pamit dulu, Bu Indira. Bye.”

Bye, Pak.”

Indira sengaja tetap berdiri di depan pagar rumahnya, sampai mobil sedan yang dikendarai orang tua mahasiswanya tersebut berbelok di ujung jalan. Dalam hati, ia mengakui bahwa ada rasa yang berbeda saat tengah bersama dengan Pak Agustinus.

Rasa nyaman.

Rasa nyaman yang salah dan tak seharusnya berada di sana.

Rasa nyaman yang salah dan tak seharusnya berada di sana, tapi entah kenapa terasa sangat menyenangkan.

Sebuah rasa yang tak bisa ia jelaskan.

(Bersambung)
 
Updatenya abis subuh dong. Amankan Pertamax dulu
 
Indira doyan yg tua jg. Agustinus lanjutkan perjuangan mu buka paha Indira
 
sepertinya para jago² tua pada punya point' plus buat dapetin dan naklukin sasarannya tanpa paksaan yg berarti nich.. kecuali pak bas,, kayaknya si big boss kudu maksa dan memberi ancaman ..hehehe

sayang banget pak Yo and dik Laras tak muncul dalam update kali ini..

thanks for update nya @fathimah ..
 
Wah laras jadi favourite character apa karena dia yg pertama kali nunjukin sisi binalnya di cerita ini ya ??? Gw sendiri vote laras krn kondisi dan backround cerita laras yg sedikit lebih baik dari karakter lainnya jd gw harap sih effort yg dikeluarkan beastnya bakal lebih banyak hehehe. Yang dipikirnya laras itu mudah dtaklukan karena semua plot berjalan lancar tp perlahan berubah menjadi target paling sulit d taklukkan dan ane malah pengennya ntar buat laras bakal ada unsur pemaksaan atau phisically forced saking putus asanya heheh. Palagi laras lagi pengen hamil kurang sreg aja klo gampang d taklukin dengan modal perhatian doang bakal kerasa beast klo pada akhirnya laras hamil namun bimbang antara anak suaminya atau anak hasil perkosaan hehehe. Itu yg gw harepin saat vote laras hehehe setidak nya gw berharap ada satu character yang bener benar phisically forced biar kerasa beastnya ky ranjang yang ternoda tp semua kembali ke penulis semoga sedikit saran ini bisa di dengar wkwkwk.. oh ya hu tolong tanyain ke suhu killertomato kapan update tujuh nya hehehe …

Sebagai penulis, jujur aku jadi mempelajari baik-baik mengapa Laras jadi favorit
Poin soal sisi binal yang paling dulu ditunjukkan mungkin ada benarnya

Soal Tujuh, nanti coba aku tanyain ya, hahaa ...

gw tim laras, skrng menang voting hahaha

Jangan-jangan semua milih Laras karena pengaruh suhu
Hahaa, kidding

Kayanya pada kecewa gada sex scene ya suhu? Wkwkwkwk pake rumus 3-1 atau 4-1 aja suhuu. 3 kali update kaya biasa abis itu kasih sex scene. Kesian juga dah pada ngaceng tapi gajadi ngocokkk wkwkwkwk

Mangattt suhuuuu

Seperti real sex, ada yang suka foreplay-nya lama, ada yang suka buru2
Kebetulan untuk cerita ini, ukuran foreplaynya cukup butuh waktu
Tapi di cerita lain mungkin bisa dibikin langsung hajar, hee

Semua cuma soal selera aja

Cerita ini terpantau cukup bisa bikin ngaceng meskipun belum ada adegan per-ewe-an nya, selain itu alurnya mengalir halus, sesuatu yg susah bikin cerita seperti ini

Terima kasih apresiasinya suhu

woa blm ada exe nya huu

Dibilangin cerita ini gak akan ada part exe nya ...
Hahaa, kidding. Tinggal beberapa part lagi bakalan ada kok *wink

sepertinya para jago² tua pada punya point' plus buat dapetin dan naklukin sasarannya tanpa paksaan yg berarti nich.. kecuali pak bas,, kayaknya si big boss kudu maksa dan memberi ancaman ..hehehe

sayang banget pak Yo and dik Laras tak muncul dalam update kali ini..

thanks for update nya @fathimah ..

Tanpa bermaksud spoiler, meski para jago tua punya poin plus, sebenarnya para tokoh perempuan juga punya poin kontra yang membuat mereka bisa menolak. Di situlah akan muncul dilema antara pasrah begitu saja, butuh sedikit paksaan, atau butuh paksaan banget.

Soal siapa yang akan muncul, kalau kamu perhatikan aku bikin seimbang kemunculannya di part ganjil sama part genap, hee
 
Bapack Bapack Memang Memiliki Wibawa Tersendiri, Membuat Para Betina Luluh Hatinya. Berbeda Dengan Pejantan Muda Yang Lebih Mengedepankan Ego & Nafsu. huehuehue


Pak Dar & Pak Agustinus Selangkah Lebih Maju Dalam Memainkan Bidak Catur nya.


Next Bu Yasmin & Laras
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd