Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Jagoan2 tua pd menebar kail nih, kira2 siapa yg kena duluan ya... yg udh cukup agresif sih laras, tp klo naek kasur duluan sih bisa kesalip yg lain hehehe...
 
aihh.. lama-lama seperti candu..
makin dinikmatin makin kecanduan, sist @fathimah
hehehe...

Semoga terus kecanduan baca cerita-cerita aku yang lain juga ya, hee ...

Bapack Bapack Memang Memiliki Wibawa Tersendiri, Membuat Para Betina Luluh Hatinya. Berbeda Dengan Pejantan Muda Yang Lebih Mengedepankan Ego & Nafsu. huehuehue


Pak Dar & Pak Agustinus Selangkah Lebih Maju Dalam Memainkan Bidak Catur nya.


Next Bu Yasmin & Laras

Masalahnya bidak mana yang dimajuin, kalau cuma pion mah kena makan mulu donk nanti, ehh

Aduh sepertinya perlu flashback om

Flashback ke mana neh?

Jagoan2 tua pd menebar kail nih, kira2 siapa yg kena duluan ya... yg udh cukup agresif sih laras, tp klo naek kasur duluan sih bisa kesalip yg lain hehehe...

Mana hayo yang nanti naik kasur duluan? Naik kasur juga kadang gak langsung main, hii

Malam nanti mau update lagi gak?
 
terima kasih updatenya suhu

ini bu indira yang mau garap bapaknya apa andrew sih? apa dua2nya kolab gangb4ng hahahaha
 
Makasih updatenya

Ane komen malem, baru selesai baca, takut pas baca tiba-tiba ngaceng pas lagi diluar hahaha

Sebenernya emg masih berharap Andrew dengan Indira, tapi liat interaksi mereka berdua. Ane agak pesimis, apalagi Andrew macam bocah ga bisa liat cewek cakep. Dikit-dikit ngaceng hahaha.

Nah, gitu dong Safira, langsung semprot si Arga emg ga tau diri hahaha, tpi wajar sih Arga minta seks dengan Safira, cakep gitu. Dalam sudut pandang pembaca semprot, permasalahan mereka berdua hanyalah sebatas kesalahpahaman, Arga yang tidak paham dengan Safira, begitu pula Safira yang belum paham akan nikmatnya bercinta. Eh kok gitu.

waduh Indira ini gampang sekali rasanya dbuat jatuh cinta, baru aja dengar kata-kata pak Agustinus udh merasa nyaman. Bagaimana kalau diperlakuin dengan baik oleh pak Agustinus. Kayaknya pak Agustinus ini dulunya playboy ya hahaha ngalir banget kata-kata pujian tipis gitu, berbanding terbalik dengan anaknya hahaha.

Ditunggu kelanjutannya
 
Terakhir diubah:
Laras, Safira, dan Indira sudah terpesona dan tergoda oleh pria2 tua. Yang alus2 gini yg saya suka, daripada yg pake ancaman2 atau perkosaan.Tetap dipertahankan alurnya ya suhu fathimah.
 
Part 11: Tekanan Batin

Setelah terus menerus ditinggal bekerja di kampus selama lima hari dalam seminggu, Laras Kinanti beranggapan bahwa akhir pekan akan menjadi waktu spesial untuk dirinya dan sang suami, Sofyan Pratama. Namun hal tersebut mungkin hanya akan menjadi angan-angan sang perempuan muda tersebut saja. Karena di akhir pekan, justru sang suami selalu mengajaknya untuk datang ke acara kumpul keluarga.

MEF83KF_t.png


Laras sebenarnya sudah coba menolak beberapa kali, tetapi akhirnya ia tetap menurut karena tidak bisa meladeni perdebatan dengan sang suami.

“Kamu kan tahu pentingnya keluarga dalam hidup kita, sayang. Kalau kita ada masalah, siapa lagi yang nantinya akan bantu kita? Tentu bukan follower kamu di Instagram kan?”

“Aku paham, Mas. Tapi masa sih kamu sudah lima hari bekerja dan pulang malam, lalu weekend juga waktu kita habis untuk memenuhi undangan orang lain. Kapan kita punya waktu we time, di mana cuma ada kita berdua?”

“Kita kan datang ke sana berdua, bukan sendiri-sendiri. Berarti itu termasuk we time, kan? Di sana pasti menyenangkan karena kita bisa bertemu dengan banyak saudara, dan mengobrol dengan mereka.”

“Iya, saudara kamu semua, bukan saudara aku,” gerutu Laras dalam hati. Ia tentu tidak berani mengatakan hal tersebut secara terang-terangan di hadapan sang suami.

Keluarga Laras dan Sofyan memang mempunyai perbedaan yang cukup jauh. Laras datang dari keluarga yang lebih individualis, terlebih jarak rumah mereka masing-masing yang terpisah cukup jauh. Karena itu, jarang sekali keluarga Laras mengadakan acara family gathering atau sekadar arisan bulanan. Apabila ada yang mengadakan pesta pernikahan saja, Laras sendiri terkadang malas untuk datang karena lokasinya cukup jauh.

Sedangkan keluarga Sofyan merupakan potret keluarga yang begitu mementingkan aktivitas berkumpul secara rutin. Aktivitas tersebut bahkan tidak hanya mencakup keluarga inti, melainkan turut mengundang keluarga besar yang semuanya merupakan keturunan dari kakek buyut Sofyan yang berasal dari sebuah kota di Jawa Tengah.

Tradisi ini diperkuat dengan lokasi tempat tinggal mereka yang cenderung berdekatan. Laras sendiri cukup terkejut dengan fakta ini. Seolah-olah, saat berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke kota, keluarga tersebut sempat berkomunikasi untuk tinggal dan membangun rumah di lokasi yang sama.

Karena itu, hampir setiap akhir pekan ada saja undangan untuk menghadiri acara, mulai dari pesta pernikahan, pesta sunatan, pesta ulang tahun, pengajian tujuh bulanan kehamilan, arisan bulanan, atau hanya sekadar makan bersama untuk merayakan kenaikan jabatan salah satu anggota keluarga.

Laras sendiri tidak masalah dengan tradisi seperti itu. Dengan jujur, ia mengakui bahwa sang suami punya keluarga yang begitu solid, sehingga semua masalah yang datang bisa mereka atasi secara bersama-sama. Dan hal itu pula yang membuat Laras sempat begitu bersemangat untuk masuk ke dalam keluarga besar Sofyan, dengan kebiasaan yang jauh berbeda dengan keluarganya.

Namun begitu ia menjalani peran sebagai istri Sofyan, Laras tidak bisa menutupi kenyataan bahwa ia merasa begitu lelah dalam mengikuti semua aktivitas ramah tamah tersebut. Ia jadi harus menyiapkan pakaian untuk pergi setiap minggu, menyiapkan uang yang harus mereka siapkan apabila acara tersebut membutuhkan amplop sumbangan, hingga menghias wajahnya dengan make up agar tampak cantik di depan keluarga sang suami. Mereka berdua jadi hampir tidak mempunyai waktu untuk sekadar pergi berdua ke mall atau restoran. Padahal, banyak yang mengatakan bahwa masa-masa sebelum mempunyai anak seharusnya dimanfaatkan untuk pergi ke berbagai tempat berdua, layaknya pasangan yang masih berpacaran.

Hal lain yang membuat Laras sebal, adalah ocehan para ibu-ibu di keluarga Sofyan yang suka ngerumpi sepanjang acara. Semua hal bisa mereka komentari, mulai dari artis yang baru bercerai, kasus pembunuhan yang dilakukan komandan polisi, hingga bencana alam yang baru terjadi di negara antah berantah.

Dan tentu saja, obrolan soal anggota keluarga yang lain jelas menjadi menu utama. Mulai dari salah satu anggota keluarga yang baru bercerai, baru menikah lagi, baru ketahuan selingkuh, baru diputusin pacarnya, hingga baru pulang dari tempat pesugihan dan kembali dengan harta yang berlimpah. Belum hadirnya momongan di keluarga kecil Laras dan Sofyan praktis merupakan salah satu pembahasan wajib di setiap acara kumpul keluarga.

Hal tersebut pun terjadi di akhir pekan ini, di mana Laras dan Sofyan harus menghadiri acara sunatan salah satu keponakan Sofyan. Dan seperti biasa, sang suami akan sibuk mengobrol dengan para pria, sedangkan Laras ditinggal untuk berkumpul dengan ibu-ibu.

Laras pernah mencoba untuk melakukan hal berbeda, dan mengikuti suaminya untuk mengobrol dengan bapak-bapak. Namun sang suami akhirnya melarang karena para pria yang menjadi rekan ngobrolnya merasa tidak bisa bicara dengan bebas karena kehadiran Laras.

“Jadi, biaya untuk bikin acara sunatan seperti ini berapa sih, Jeng?” Ujar salah seorang anggota keluarga kepada Anita, kakak dari Sofyan yang merupakan penyelenggara acara tersebut.

“Kalau sunatnya sih murah, tapi bikin acara yang mengundang cukup banyak orang seperti ini yang lumayan butuh biaya. Sekitar beberapa belas juta lah,” jawab perempuan yang berusia sekitar 30 tahun tersebut.

Ini adalah hal lain yang tidak disukai Laras dari keluarga suaminya. Selain mengagung-agungkan soal kehormatan keluarga, mereka pun seperti berlomba-lomba untuk memamerkan harta mereka masing-masing di setiap obrolan. Seolah-olah kekayaan duniawi adalah satu-satunya hal terpenting di dunia. Pendidikan tinggi dan bisnis kecil-kecilan seperti yang dilakoni Laras saat ini jelas bukan hal yang sering dibicarakan oleh para perempuan tersebut.

“Ya, tapi namanya untuk anak laki-laki semata wayang, mengeluarkan uang segitu sih bukan masalah ya Jeng.”

“Betul sekali, kamu juga nanti pasti akan merasakan. Anaknya sudah mau lima tahun kan ya,” jawab Anita.

“Iya, betul.”

“Yang namanya anak memang sumber kebahagiaan ya,” ujar salah satu anggota keluarga yang lain.

Kalimat tersebut tiba-tiba mendorong para perempuan di kelompok yang berisi sekitar delapan orang tersebut untuk kompak melirik ke arah Laras, yang sejak datang memang memilih untuk lebih banyak diam. Ia justru asyik menikmati cemilan yang dihidangkan, dan sesekali memeriksa pesan di ponselnya. Di antara mereka semua, memang hanya Laras yang sejauh ini belum mempunyai momongan.

“Kamu dan Sofyan kapan rencana punya anak, Laras?” Tanya Anita sambil tersenyum. Meski terkesan sopan, di mata Laras senyuman itu lebih mirip seperti tatapan bengis yang memaksa sang influencer cantik tersebut untuk mempunyai keturunan saat ini juga.

“Kalau rencana sih jelas ada, Mbak Anita. Tapi sampai sekarang memang belum dikasih sama Yang di Atas. Minta bantu doanya ya,” jawab Laras dengan kata-kata normatif yang sudah sering ia ulang-ulang kepada siapa pun yang menanyakan hal serupa dan senyum ikhlas yang dipaksakan ada.

“Mungkin waktu main kamu kurang bertenaga, Laras. Saat Mbak baru nikah juga nggak ada rencana apa-apa. Tapi sekali cus… langsung jadi si kakak. Hahaahha…”

“Sebenarnya bukan begitu, Mbak. Tapi …”

Belum selesai Laras bicara, kakak dari suaminya tersebut sudah lebih dulu memotong ucapannya.

“Kamu sebagai istri harusnya banyak-banyak istirahat di rumah. Jangan sibuk kelayapan ke luar rumah. Apalagi apa tuh, buka-buka bisnis begitu … mending jangan deh. Jadi begitu suami pulang ke rumah, kamu punya cukup tenaga untuk memuaskan dia. Inget baik-baik ya. Dijamin kok, nggak lama juga kalian pasti punya momongan.”

Kalau tidak ingat akan kehormatan dirinya dan sang suami, perempuan muda tersebut sebenarnya sudah ingin sekali berkata kasar dan menampar kakak iparnya. Ia ingin berteriak dengan kencang di hadapan Anita bahwa yang sering pulang larut malam ke rumah adalah adiknya sendiri. Bagaimana bisa melayani kalau Sofyan bahkan sering menolak saat Laras mengajak berhubungan badan?

Beberapa waktu lalu, Laras sampai memeriksakan dirinya ke dokter, demi memastikan kesuburan dirinya. Hasilnya, dokter menyatakan tidak ada yang bermasalah dengan Laras. Perempuan tersebut kemudian meminta sang suami untuk melakukan pemeriksaan yang sama, tetapi ia selalu menolak dengan alasan sibuk bekerja.

Kata-kata dari Mbak Anita memang selalu menusuk ke dalam hati Laras. Namun demi tidak memperpanjang obrolan tersebut, perempuan cantik itu hanya menampilkan senyum palsu sambil terus mengunyah cemilan yang tersedia. Ia hanya bisa memendam seluruh keluh kesahnya dalam hati, karena jelas ia tidak bisa menceritakannya kepada orang lain.

Begitu acara selesai sekitar pukul empat sore, baru Sofyan menarik Laras dari geng para ibu-ibu yang masih asyik mengobrol. Sang istri sudah tidak tahu lagi apa yang sedang mereka bicarakan. Dalam perjalanan ke mobil, Laras akhirnya mengungkapkan semuanya kepada sang suami.

“Kakakmu itu lho, seneng banget sih ngomongin soal momongan,” ujar Laras.

“Ya, dia berkata seperti itu kan untuk kebaikan kita juga, Sayang,” jawab sang suami sambil membuka alarm mobil mereka dengan kunci yang ia genggam.

“Iya aku tahu. Tapi kesannya Mbak Anita itu hanya menyalahkan aku sebagai istri. Dianggap kurang memuaskan kamu lah, kurang melayani kamu lah, seolah-olah aku buruk sekali di mata dia,” ujar Laras.

“Sudahlah. Tidak usah diperpanjang. Anggap saja semuanya angin lalu.”

“Kamu enak ngomong gitu karena nggak pernah dengar secara langsung. Di depan kamu Mbak Anita selalu berkata hal-hal manis, karena kamu anak kesayangan keluarga. Tapi di belakang, panas banget hati aku Mas kalau mendengar kata-kata mereka.”

“Sudah… sudah… Lebih baik kita pulang ke rumah saja yuk.”

Laras pun menuruti kata-kata sang suami, dan langsung masuk ke dalam mobil. Meski sering mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Sofyan, perempuan cantik itu adalah sosok yang begitu menghargai kehormatan seorang suami dalam status pernikahan. Karena itu, apabila memungkinkan, ia akan mencoba untuk selalu mengikuti apa yang dikatakan suaminya.

Sepanjang perjalanan, Laras lebih banyak diam dan hanya mendengarkan lantunan musik di siaran radio yang dinyalakan Sofyan. Tumben sekali, suaminya tersebut kali ini memilih sebuah saluran radio yang terkenal karena sering memutar lagu bertema cinta.

“Tumben banget nyetel radio ini, Mas,” ujar Laras.

“Hmm… Iseng aja. Habis bosan sama radio yang biasa,” tanggap sang suami.

Laras pun tidak mau mempermasalahkan hal yang sepele tersebut. Ia pun memaksa dirinya untuk terus mendengar lagu-lagu cinta yang diputar, meski kebanyakan liriknya terasa terlalu picisan.

Perempuan tersebut tidak tahu bahwa sang suami memilih untuk mendengarkan saluran radio tersebut bukannya tanpa alasan. Semua berawal dari beberapa hari lalu, saat Laras sedang pergi ke luar rumah bersama Pak Yo. Sang suami saat itu mengirimkan pesan bahwa dia akan pulang malam karena sibuk dengan urusan kampus. Alasan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena ia sebenarnya tengah sibuk menghibur sahabatnya sesama dosen di Universitas Jaya Abadi, yaitu Yasmin Wulandari.

MEF83KE_t.png


Keduanya sempat berpelukan dalam waktu yang cukup lama, sebelum kemudian terdengar suara langkah kaki yang mendekati ruangan tersebut. Tak lama kemudian, seorang dosen perempuan memasuki ruangan tersebut dan tersenyum ke arah Sofyan dan Yasmin. Untungnya, pasangan sahabat tersebut telah melepas pelukan mereka.

Sofyan sempat bertanya pada Yasmin, “Kamu mau pergi ke luar? Mungkin kita bisa makan malam, atau aku antar kamu pulang?”

“Hmm, tapi…”

Yasmin tampak ragu akan tawaran tersebut, tapi Sofyan cepat-cepat meyakinkan perempuan tersebut. “Kamu sepertinya sedang tertekan, meski aku tidak tahu apa masalah yang sedang kamu hadapi. Dan aku tidak bisa membiarkan kamu tetap di kampus atau pulang ke rumah dalam kondisi seperti ini.”

Dalam hati, Yasmin mengakui bahwa ia sedang butuh seseorang untuk berada di sampingnya saat ini. Memanggil sang suami yang baru saja ia nikahi sepertinya bukan pilihan yang baik, karena ia pasti sedang mengantar penumpang entah ke daerah mana saat ini. Itulah mengapa dosen muda itu tadi membiarkan saja saat tubuh indahnya itu dipeluk oleh Sofyan.

“Gimana?”

“Hmm, memangnya kamu nggak apa-apa keluar bareng sama aku? Nanti kalau Laras…”

“Sudahlah, kamu tidak usah mikir yang aneh-aneh. Yang terpenting sekarang adalah kamu bisa menenangkan diri terlebih dahulu,” potong Sofyan.

“Err… baiklah,” ujar Yasmin sambil menganggukkan kepala.

Dalam hati, Yasmin memang menaruh kekaguman kepada sahabatnya sesama dosen tersebut, yang terus memberikan perhatian kepadanya baik sebelum maupun setelah mereka berdua menikah dengan pasangan masing-masing. Sebagai perempuan, ia tentu sadar bahwa Sofyan mempunyai ketertarikan khusus kepadanya sejak masa kuliah. Namun karena Ferdian terlebih dahulu menyatakan cinta kepadanya, hatinya pun berlabung kepada lelaki tersebut. Namun di sisi lain, ia pun tetap ingin menjaga persahabatannya dengan Sofyan, yang tampak tidak keberatan dengan status barunya sebagai kekasih pria lain.

Di mata Yasmin, Sofyan merupakan sosok pria yang lembut dan penyayang, yang pasti bisa meluluhkan perempuan mana pun dengan kata-kata dan sikapnya. Namun, pria tersebut memang sering kurang cepat dalam bertindak dan mengambil keputusan. Itulah salah satu alasan mengapa Yasmin merasa ia hanya bisa bersahabat dengan sahabatnya yang juga merupakan dosen di kampus yang sama itu.

Namun kini, Yasmin sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lembut, yang akhir-akhir ini tidak bisa diberikan oleh sang suami yang cenderung terlalu jujur dan kasar. Dan perempuan berjilbab tersebut menemukannya di dada Sofyan, yang sebenarnya sudah menjadi milik perempuan lain.

Mereka berdua akhirnya bersama-sama menuju area parkir, tempat mobil Sofyan diparkir. Tanpa menunggu lama, mobil tersebut langsung meninggalkan gerbang kampus, meski belum jelas ke mana mereka akan menuju.

Sofyan kemudian menyetel radio, dan mengubah frekuensi ke saluran radio yang merupakan favorit Yasmin sejak masa kuliah. Sang perempuan pun terkejut.

“Kamu masih ingat aja kalau aku suka radio ini,” ujar Yasmin sambil tersenyum.

“Ingat dong. Apa sih yang aku lupa dari kamu. Semasa kuliah kan kamu pernah bilang kalau semua lagu yang diputar di radio ini tuh kamu banget,” tukas Sofyan.

Dalam hati, Yasmin mulai merasakan kenyamanan yang berbeda saat tengah berdua saja di dalam mobil bersama sahabatnya sesama dosen tersebut. Ia seperti kembali ke masa-masa kuliah saat dia bisa bebas melakukan apa pun yang dia mau, tanpa memikirkan perasaan orang lain. Namun, perasaan itu berubah saat ia membaca sebuah pesan singkat dari suaminya.

“Jadi, kita mau pergi ke mana?” Tanya Sofyan.

“Hmm, kalau kita langsung ke rumah aku saja boleh? Suamiku baru ngabari kalau ternyata dia mau pulang cepat karena kecapekan mengantar penumpang seharian, dan aku nggak enak kalau dia sampai duluan di rumah sebelum aku. Nggak apa-apa kan?”

“Oh, begitu. Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Sofyan yang tidak mampu menutupi rasa kecewanya. Ia pun langsung mengarahkan mobilnya ke tempat tinggal Yasmin.

“Maaf ya.”

“Iya, nggak apa-apa,” ujar Sofyan sambil memasang sebuah senyum yang sangat dipaksakan.


***​


Di hari yang sama saat Laras dan Sofyan disibukkan dengan acara keluarga mereka, Yasmin pun tengah dalam perjalanan menuju bandara. Ia diantar dengan mobil oleh sang suami, Ferdian Jayadi.

MEF83KE_t.png


“Kamu benar-benar harus melakukan ini ya?” Tanya Ferdian dengan raut wajah yang sedikit kesal saat mobil mereka sudah begitu dekat dengan bandara. Sejak beberapa hari sebelumnya, ia telah menanyakan hal ini, tetapi tidak kunjung mendapat respon yang ia harapkan.

“Ya iya, harus. Ini kan perintah dari yayasan,” jawab Yasmin singkat. Ia terus memandang ke arah luar jendela, berusaha membayangkan sekaligus tidak membayangkan apa yang terjadi antara dirinya dan Pak Bas di luar kota nanti.

“Kamu yakin? Ini kamu cuma berdua lho sama pria lain di luar kota.”

“Kamu itu maunya apa sih Mas? Aku sudah jelaskan berulang kali kalau aku ke sana bukan karena kemauan aku, tapi karena tidak ada jalan lain untuk mempertanggungjawabkan kesalahan aku. Lagipula kamu mikirnya jangan ngeres melulu napa? Ini berangkat juga buat kerja, bukan buat main-main.”

“Iya, tapi kan…”

“Sudah, Mas. Diam ah! Kalau kamu tidak bisa memberikan solusi yang lain, lebih baik kamu diam! Biarkan aku mengatasi masalah ini dan menjaga diri aku sendiri,” ujar Yasmin dengan nada sangat tinggi, yang biasanya tidak pernah ia gunakan di hadapan suami yang baru saja ia nikahi tersebut.

Dalam hati, Yasmin pun sebenarnya enggan pergi ke luar kota bersama Pak Bas. Mencari investor mungkin hanya alasan pria tua tersebut untuk bisa berduaan dengan dirinya. Karena itu, ia pun memahami kekhawatiran sang suami.

Namun Ferdian seperti menyangka bahwa Yasmin memang sengaja pergi ke Semarang untuk bersama dengan Pak Bas. Padahal perempuan tersebut sudah berusaha sekuat tenaga agar ia tetap bisa menjaga jarak dengan sang pemilik yayasan itu, mulai dari memesan kamar yang berbeda lantai, hingga pergi dengan jadwal penerbangan yang berbeda. Semua itu ia lakukan demi membuat martabat dirinya tetap terjaga di hadapan sang suami.

Namun semua itu seperti sia-sia. Ferdian terus menerus mempertanyakan hal yang sama, mengapa ia harus pergi ke Semarang bersama Pak Bas. Padahal pria tersebut tahu apa jawabannya.

“Kalau gak suka aku pergi ke luar kota dengan pria lain, paling tidak ikut bantu mikir kek bagaimana caranya balikin uang 100 juta,” pikir Yasmin dalam hati.

Mau tidak mau, sang dosen cantik tersebut jadi membandingkan suaminya dengan seorang pria yang beberapa waktu lalu mendampinginya saat baru menerima telepon laknat dari Pak Bas. Perilakunya yang lembut sangat jauh apabila dibandingkan dengan Ferdian yang sering meledak-ledak. Sahabatnya itu bahkan ingat stasiun radio favoritnya sejak kuliah, sedangkan sang suami justru lebih memilih menyetel lagu dari playlist favoritnya sendiri.

“Sedang apa ya Sofyan sekarang? Apakah dia sedang bersama dengan istrinya?” batin Yasmin dalam hati.

Perempuan tersebut akhirnya memberanikan diri untuk mengirimkan pesan kepada sang sahabat.

“Hei, sedang sibuk, Sof?”


***​


Sesampainya mereka di rumah, Laras dan Sofyan langsung sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Usai membersihkan diri dan berganti pakaian, sang suami lebih memilih untuk bermain ponsel di ruang tamu.

“Tuh… Bagaimana mau punya anak kalau akhir pekan dihabiskan dengan acara keluarga, terus pulangnya main hape sendirian di ruang tamu seharian? Ya kali anaknya bisa auto brojol cuma dari bayangan,” gumam Laras sambil mengintip dari dalam kamar tidurnya.

MEF83KF_t.png


Perempuan tersebut baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri, dan hanya mengenakan secarik handuk untuk menutup tubuhnya, tanpa mengenakan apa-apa lagi di baliknya. Awalnya, ia hendak menggoda sang suami. Namun yang akan digoda ternyata lebih memilih untuk menyendiri di luar kamar. Entah apa yang sedang ia lakukan, kalau tidak main game paling juga nonton Netflix, pikir Laras.

“Kalau dia lebih suka menyendiri, aku juga bisa senang-senang sendiri,” pikir Laras sambil menutup pintu kamar.

Sang istri kemudian melepaskan handuk yang membelit tubuhnya, hingga bodinya yang indah terbuka bebas. Perempuan muda tersebut sempat mematut tubuh bugilnya di depan kaca besar di dalam kamar, dan merasa bangga akan bentuknya yang begitu montok di tempat-tempat yang tepat. Payudaranya yang berukuran sedang masih terlihat kencang, sedangkan bokongnya juga masih cukup berisi. Setiap lelaki normal yang melihatnya dalam kondisi seperti itu pasti akan langsung birahi dibuatnya.

Laras kemudian memutuskan untuk mengenakan daster bermotif batik yang ujungnya hanya sampai lutut. Sebelum mengenakan daster tersebut, ia sempat menimbang-nimbang untuk mengenakan dalaman atau tidak. Setelah berpikir sejenak, perempuan muda tersebut akhirnya meraih celana dalam dan bra dari dalam lemari. Keduanya sama-sama berwarna hitam, begitu kontras dengan kulitnya yang putih.

“Nanti kalau Mas Sofyan tiba-tiba masuk ke kamar dan menemukan aku tidak pakai bra atau celana dalam, dia malah curiga,” pikir Laras.

Perempuan tersebut kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dan mengambil ponsel miliknya. Seperti biasa, ia memeriksa akun Instagram dan merespon pesan beberapa pengikutnya di platform media sosial tersebut. Tidak ada yang spesial, selain jumlah followernya yang bertambah cukup banyak sejak acara Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu.

Saat membuka aplikasi WhatsApp, ia melihat sebuah pesan yang sebenarnya telah ia baca, tapi ia putuskan untuk tidak membalasnya. Pesan tersebut dikirimkan oleh Pak Yo setelah Laras mampir ke apartemennya beberapa hari lalu.

“Kamu sudah sampai rumah?”

Sejak peristiwa tersebut, keduanya memang belum saling berkomunikasi lagi. Laras merasa canggung untuk menghubungi pria tua tersebut, karena khawatir akan dianggap cewek murahan, setelah ia dengan sukarela mau saja diajak ke apartemen miliknya. Perempuan tersebut sebenarnya menunggu Pak Yo mengirimkan pesan lagi, atau muncul urusan bisnis yang membuat Laras harus menghubungi sang dekan tersebut. Namun kesempatan seperti itu tak kunjung datang.

Tetapi saat ini, Laras tengah merasa begitu bosan karena sang suami lebih memilih untuk bermain ponsel sendiri di ruang tamu. Karena itu, perempuan cantik itu pun mengumpulkan urat malunya demi membalas pesan dari Pak Yo.

“Setelah berhari-hari, masih nungguin saya sudah sampai rumah atau belum?”

Sang dekan ternyata juga sedang membuka aplikasi WhatsApp, sehingga ia bisa langsung membalas pesan yang dikirimkan oleh Laras. Pria tua yang tinggal sendirian di apartemennya tersebut mungkin memang tidak punya aktivitas yang bisa ia lakukan di akhir pekan seperti sekarang.

“Masih dong. Khawatir Dik Laras tersesat di tempat antah berantah.”

“Memangnya kalau saya tersesat, Pak Yo mau nolongin?”

“Pastinya. Saya akan menyelamatkan Dik Laras dan membawa kamu dengan aman ke pangkuan saya.”

Duh, baru aja ngobrol, udah langsung menjurus aja nih pemikiran si Bapak tua, pikir Laras. Ia pun jadi bersemangat untuk terus menggoda pria berusia 50 tahun tersebut.

“Nggak mau ah dipangku sama Pak Yo. Nanti dipeluk terus gak dilepasin lagi.”

“Memangnya kamu gak suka dipeluk tho, Dik Laras?”

“Suka, tapi jangan lama-lama. Nanti aku bisa gepeng.”

“Kalau seperti pelukan saya kemarin, suka juga?”

“Nggak suka, makanya saya langsung pulang. Wee…” Jawab Laras sambil mengirimkan emoticon wajah yang sedang mengeluarkan lidah ke depan.

“Bener neh gak suka? Lalu kenapa jari saya sampai diemut segala ya?”

Jantung Laras seperti berhenti berdetak saat mendengar kata-kata tersebut. Pria tua ini ternyata memang begitu lihai dalam mengingat setiap tindakan Laras, lalu menggunakannya untuk kepentingannya sendiri.

“Karena kata Mama saya, kalau makan sesuatu itu harus dihabiskan, Pak.”

“Oh, kalau begitu kemarin saya salah ya. Harusnya jangan suapin Toblerone pakai jari, tapi pakai yang lain.”

Ada dua pilihan yang bisa diambil oleh Laras, yaitu memutuskan untuk berhenti menggoda sang dekan sekarang juga, atau melanjutkan obrolan tersebut yang entah akan berakhir di mana. Perempuan tersebut ternyata lebih memilih opsi kedua.

“Lalu pakai apa dong Pak?”

“Pakai sesuatu yang bisa membuat Dik Laras puas, dan pastinya nikmat pula kalau dirimu jilat-jilat dan hisap.”

“Bagaimana Bapak bisa tahu kalau hal itu bisa membuat saya puas. Saya sendiri belum pernah lihat kan?”

“Bilang dong kalau mau lihat. Next kalau kita ketemu akan saya perlihatkan ya, agar Dik Laras juga bisa menyentuh dan mengelusnya.”

Waduh… Laras tidak menduga bahwa sang dekan bisa seberani ini dalam mengobrol. Ia pun memutuskan untuk menghentikan kegilaan tersebut saat ini juga.

“Pak Yo ini. Pasti ngeres mikirnya. ”

“Bagaimana gak ngeres, kalau ngobrolnya sama perempuan secantik kamu. Melihat profil kamu di WhatsApp saja saya langsung tergoda.”

Laras memang memasang foto profil di mana ia tengah terlihat sangat cantik, dengan pencahayaan dan sudut kamera yang tepat. Dan yang terpenting, di foto tersebut Laras sedang menonjolkan bagian tubuh yang cukup ia banggakan, yaitu bibirnya yang sensual.

“Ingat Pak Yo. Tidak boleh nakal… Ingat ada yang menunggu di Jawa Timur. Bagaimana kabarnya ibu?”

“Kalau itu sih tidak akan lupa, Dik Laras, kabarnya juga baik-baik saja. Tapi yang ada di sini juga tidak sanggup hilang dari kepala.”

Laras mengakui bahwa kata-kata sang dekan memang lumayan puitis, khas orang yang berpendidikan. Namun tiba-tiba, Pak Yo meminta sesuatu yang tidak pernah diduga oleh perempuan tersebut sebelumnya.

“Boleh kirim foto gak, Dik Laras?”

“Foto apa Pak? Kalau foto masakan, saya ada banyak di memori ponsel.”

“Hahaa … Kalau itu sih saya lebih suka merasakan daripada melihat.”

“Lalu Bapak mau foto apa?”

Laras sebenarnya sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Tetapi ia hanya ingin Pak Yo mengatakannya secara langsung meski hanya lewat pesan WhatsApp. Namun ternyata permintaan sang dekan tidak seperti apa yang perempuan tersebut pikirkan.

“Tenang saja, saya tidak akan meminta kamu mengambil foto tubuh kamu saat ini, setidaknya untuk sekarang.”

“Lalu?”

“Saya mau melihat apa yang sedang kamu pandang saat ini. Arahkan ponsel kamu ke depan, lalu ambil gambar tersebut. Hanya itu yang ingin saya lihat. Boleh kan Dik Laras?”

Laras harus mengakui bahwa itu adalah permintaan yang cukup aneh. Apa pentingnya sih meminta foto tempat dia berada sekarang. Namun karena merasa permintaan itu cukup aman, perempuan tersebut pun menyanggupi.

“Oke. Tapi nanti tukeran ya.”

“Baik,” jawab Pak Yo singkat.

Laras pun akhirnya mengambil foto pemandangan kamarnya, sesuai dengan arahan sang dekan. Ia berusaha berhati-hati agar foto yang ia ambil tidak menangkap barang-barang pribadi seperti baju dan pakaian dalam, atau cermin yang bisa menunjukkan tubuhnya yang saat ini sedang tidak mengenakan hijab. Setelah dirasa aman, perempuan tersebut pun menekan tombol kirim.

“Wah, Dik Laras sedang di kamar?”

“Iya, Pak.”

“Sendirian?”

“Iya.”

“Kalau saya jadi Pak Sofyan, tidak akan saya meninggalkan istri secantik Dik Laras sendirian di kamar. Rasanya seperti membeli durian tapi hanya dicium-cium saja baunya, tidak langsung dimakan, hee.”

“Pak Yo ini bisa saja,” ujar Laras. Dalam hati, perempuan tersebut sebenarnya mengamini kata-kata pria tua itu. Apa sih masalah Mas Sofyan hingga ia lebih memilih duduk sendiri di luar dibanding mengeloni istrinya di kamar. “Sekarang giliran Bapak yang kirim.”

Tak lama kemudian, Pak Yo mengirim sebuah foto sebuah bar yang masih sepi, belum terlalu ramai dengan pengunjung. Sebuah gelas minuman keras tampak berdiri di hadapan sang dekan.

“Bapak sedang di Bar?”

“Iya, Dik Laras.”

“Sendirian?”

“Iya.”

“Cari mangsa baru ya untuk dibawa ke apartemen? Hihihihi…”

“Hahaa, Dik Laras ini bisa saja. Saya ke sini untuk bertemu dengan rekan saya sesama dekan di fakultas lain, tetapi mereka belum datang.”

“Oh, begitu.”

Tiba-tiba, Laras mendengar suara aneh dari luar kamarnya. Perempuan tersebut pun mendekat ke arah pintu kamar. Namun sebelum itu, ia tidak lupa mengucapkan kata perpisahan kepada Pak Yo.

“Pak, saya ada urusan sebentar. Nanti kita lanjut lagi ya.”

“Baik, sampai jumpa Dik Laras.”

“Sampai jumpa, Pak.”


***​


Begitu sampai di rumah, Sofyan memang tampak lebih ceria bila dibandingkan saat ia menghadiri acara keluarganya. Sang istri mengira bahwa suaminya tersebut hanya merasa lebih tenang, karena akhirnya bisa terbebas dari urusan keluarga yang begitu menghabiskan waktu mereka di akhir pekan ini. Laras tidak tahu bahwa penyebab utama mengapa Sofyan tampak lebih ceria adalah sebuah pesan yang masuk ke ponselnya.

Sepanjang acara, dosen berusia 28 tahun tersebut memang tidak memeriksa ponsel secara rutin. Ia asyik mengobrol dengan anggota keluarganya yang lain dan menikmati hidangan yang disiapkan sang kakak, sebagai penyelenggara acara. Ia baru bisa memeriksa ponselnya saat mobil MPV yang ia kendarai telah berhenti sempurna di depan rumah sederhana miliknya.

Sejak pagi, ada beberapa pesan yang belum sempat ia baca. Namun di antara semua pesan tersebut, ada satu yang begitu menarik perhatiannya. Begitu melihat nama sang pengirim pesan, Sofyan lekas-lekas menyimpan ponselnya di saku celana, agar luput dari pandangan istrinya yang masih membereskan beberapa barang di dalam mobil.

“Mengapa aku harus menyembunyikan pesan ini dari Laras ya?” Pikir Sofyan dalam hati.

Istrinya jelas mengenal perempuan yang mengirimkan pesan tersebut. Ia pun yakin bahwa tidak ada hal aneh di dalam pesan itu, meski ia belum membukanya secara sempurna. Namun nalurinya sebagai laki-laki seolah memerintahkan Sofyan untuk merahasiakan pesan itu.

Sofyan akhirnya memutuskan untuk mandi, sebelum kemudian duduk di sebuah sofa yang berada di ruang tamu rumahnya. Semua aktivitas tersebut ia lakukan dengan cepat, karena ia sudah sangat tidak sabar ingin membaca dan membalas pesan dari rekannya sesama dosen di Universitas Jaya Abadi itu. Ketika melihat sang istri perlahan menutup pintu kamar tidur mereka dan berdiam diri di dalamnya, Sofyan pun bertambah tenang karena merasa ia bebas melakukan apa pun tanpa perlu takut ketahuan.

“Hei, sedang sibuk Sof?” Begitulah bunyi pesan yang membuat jantungnya berdebar begitu sampai di rumah beberapa waktu lalu. Di bagian atas aplikasi WhatsApp yang tengah dibuka Sofyan, tertulis nama sang pengirim pesan, Yasmin Wulandari.

Sofyan pun langsung membalas pesan tersebut.

“Baru pulang dari acara keluarga, ini baru sampai rumah. Kamu lagi di mana?” Entah mengapa, pria tersebut seperti enggan menulis nama Laras dari pesan yang ia kirimkan, dan hanya mengatakan “pulang dari acara keluarga”.

Pria tersebut menanti dengan penuh harap. Detik berganti menit, dan tanpa terasa sudah hampir sepuluh menit ia menunggu balasan dari sahabatnya tersebut. Namun apa yang ia tunggu akhirnya tiba. Sebuah pesan pun masuk ke dalam akun WhatsApp miliknya.

“Aku lagi di Semarang.”

Jawaban tersebut membuat Sofyan bingung. Sepertinya perempuan tersebut tidak pernah mengatakan bahwa dia ada rencana pergi ke Semarang. Mengapa tiba-tiba dia ada di kota tersebut.

“Lho, ada acara apa?”

“Oh, iya. Aku belum bilang ya? Ada seminar khusus untuk dosen public relations, dan kebetulan lokasinya di Semarang.”

“Ohh … Sampai kapan kamu di sana, Yas?”

“Belum tahu. Mungkin setelah selesai seminar mau lanjut jalan-jalan, hehehe. Mumpung di sini.”

“Wah, seru banget. Aku boleh nyusul ke sana?” Ujar Sofyan sambil tersenyum. Ia sudah membayangkan bisa berdua saja di luar kota bersama sahabatnya tersebut, tanpa kehadiran pasangan mereka masing-masing.

“Eh, jangan Sof.”

“Kenapa jangan? Kamu sama Ferdian ya ke sana?”

“Nggak sih, aku sendiri. Maksudku kan gak enak kalau kamu ke sini nemuin aku. Apa kata Laras nanti.”

Sofyan memang sudah berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama sang istri dalam obrolan tersebut, tetapi justru Yasmin yang melakukannya. Semangat Sofyan yang sebelumnya cukup menggebu-gebu, kini sedikit mereda.

“Laras santai kok orangnya, dan sekarang dia juga sedang sibuk mengurus bisnis kulinernya yang semakin ramai,” ujar Sofyan berbohong.

“Hmm, nanti aku kabarin deh kalau bisa ke sini. Boleh?”

“Sip… Boleh Yas.”

Mendadak, muncul ide gila di kepala Sofyan. Ia melirik ke arah pintu kamar tidurnya yang terlihat dari tempat ia duduk saat ini. Sepertinya sang istri masih asyik di dalam, dan tidak ada tanda-tanda akan keluar. Ia pun coba menawarkan ide tersebut kepada Yasmin.

“Yas, boleh telepon gak?”

“Memangnya mau ngapain Sof? Ada yang ingin dibicarakan?”

“Hmm, nggak sih. Pengin dengar suara kamu saja. Boleh kan?”

Baru beberapa menit kemudian balasan dari pertanyaan Sofyan tersebut muncul di layar.

“Boleh, kamu yang telepon ya.”

Sofyan pun kembali bersemangat. Akhirnya, setelah berhasil mengantar sang dosen cantik pulang ke rumahnya beberapa hari lalu, kini ia bisa kembali mendengar suara merdu Yasmin. Setelah dua kali nada dering, perempuan tersebut pun mengangkat telepon.

“Hayo, mau ngapain nelpon-nelpon aku,” ujar Yasmin. Suara perempuan tersebut terdengar terengah-engah, seperti sedang melakukan aktivitas yang cukup berat.

“Iseng aja, mau denger suara kamu. Eh, itu kamu lagi di mana kok seperti ngos-ngosan begitu?”

“Baru selesai check-in. Ini lagi bawa koper ke kamar.”

“Oh, baru sampai ya? Naik apa tadi? Pesawat, kereta, atau bus?”

“Pesawat. Biar cepet.”

“Coba kamu bilang, kan bisa aku antar ke bandara, hee.”

“Ish, kayak apa aja. Nggak apa-apa lah, nanti malah ngerepotin. Kamu lagi di mana sih?”

“Di rumah, kan tadi aku udah bilang.”

“Gak ditanyain Laras kalau telponan begini?”

“Dia lagi di kamar,” ujar Sofyan. Ia kembali melirik ke arah kamar, dan ternyata pintunya masih tertutup rapat.

“Eh, tunggu sebentar ya. Ini aku baru sampai kamar, mau ke toilet dulu.”

“Oh, oke… aku tunggu.”

Sofyan pun menunggu di sambungan telepon tersebut, yang ternyata tidak dimatikan oleh Yasmin. Perempuan tersebut pun sepertinya lupa untuk menekan tombol mute. Karena itu, Sofyan pun bisa mendengar suara-suara aneh yang keluar dari bibir Yasmin.

“Ngghh… ahhhh…”

Baru sebentar saja, suara desahan tersebut sudah membuat jantung Sofyan berdebar kencang. Tak hanya itu, kemaluannya yang sedari pagi seperti tidak bekerja, kini mulai menegang. Imajinasi pria tersebut mulai melanglang buana, membayangkan Yasmin sedang menurunkan celana panjangnya dan duduk di atas toilet. Payudaranya yang besar pasti tampak begitu indah dalam kondisi tersebut.

“Hmmppphh… ahhhh…”

Dalam kondisi biasa, suara mengedan tersebut mungkin terdengar biasa. Apalagi setelah itu, terdengar suara guyuran air yang membersihkan toilet setelah digunakan oleh sang perempuan. Namun di telinga Sofyan, suara tersebut membuatnya bisa kembali dekat, memeluk, atau bahkan mencium perempuan yang telah menjadi pujaan hatinya sejak kuliah itu.

“Eh, Sofyan. Halo… Kamu masih di sana?”

“Iya, halo Yasmin. Aku masih di sini kok,” jawab Sofyan yang baru saja tersadar dari lamunan joroknya.

“Maaf ya, tadi aku lupa tekan tombol mute. Kamu gak dengar apa-apa kan?”

“Iya, gak terdengar suara apa-apa kok,” ujar Sofyan bohong. “Hari ini kamu akan istirahat saja di kamar, atau jalan ke tempat lain?”

“Nggak tahu nih. Lumayan capek sih, tapi mungkin nanti mau keluar buat makan malam. Kenapa? Kamu ada rekomendasi tempat yang asyik di sini?”

“Ada sih beberapa. Nanti aku kirimkan lewat WhatsApp ya …”

“Boleh. Eh, Sof… Udahan dulu ya, ada telepon masuk neh yang harus aku angkat.”

“Eh, iya … Silakan. Bye, Yasmin.”

“Bye juga, Sofyan.”

Sang pria tampak menggerutu dalam hati, karena kebersamaannya dengan Yasmin kembali harus berakhir. Ia pun jadi teringat rasa sebalnya beberapa hari lalu, saat ia gagal mengajak perempuan berjilbab tersebut jalan ke luar, karena suaminya tiba-tiba mengirim pesan.

“Kapan ya aku punya waktu untuk berduaan dengan Yasmin,” gumam Sofyan pelan.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu kamar tidur yang dibuka dari dalam.

“Habis telepon siapa, Mas?” Ujar Laras sambil menghampiri sang suami. Perempuan tersebut tampak curiga dan coba melirik-lirik ke arah ponsel Sofyan.

“Itu, tadi Yasmin nelpon. Dia lagi di Semarang dan minta rekomendasi tempat yang bagus untuk dikunjungi,” jawab Sofyan. Ia memelintir sedikit cerita sebenarnya agar sang istri tidak curiga.

“Memangnya ada acara apa dia di sana?”

“Katanya ada seminar atau apa lah, aku juga kurang paham,” ujar Sofyan. “Aku mau ke toilet sebentar.”

Baru saja Laras duduk di dekatnya, Sofyan justru menghindar dan langsung berjalan menuju kamar mandi. Ia seperti tidak ingin istrinya melihat percakapannya dengan Yasmin. Namun tindak tanduknya yang tidak biasa tersebut justru membuat istrinya semakin curiga.


***​


Dua orang pria paruh baya yang sama-sama mengenakan kemeja lengan pendek nampak tengah berjalan menembus kerumunan orang di sebuah bar. Sepanjang langkah, mata mereka terus saja melirik ke arah para pengunjung perempuan yang hampir semuanya mempunyai paras menawan. Dan yang pasti, semuanya berusia jauh lebih muda daripada mereka.

Langkah keduanya terhenti begitu menemukan seorang pria yang sedang duduk sendirian di meja bar, sambil menyeruput gelas whiskey di hadapannya.

“Tumben ngajak ketemunya di sini, Yo? Lagi cari mangsa? Hahaa…” ujar salah satu di antara keduanya yang bertubuh lebih pendek.

“Hushh … Ngawur lo. Cari suasana baru lah, masa tiap minggu kita ketemunya di kampus terus,” jawab Pak Yo, yang memang masih berada di bar tersebut sejak berbalas pesan dengan Laras.

“Yo, gue mau pesan bir buat gue sama Banu. Lo mau pesan tambahan lagi gak?” Tanya pria satunya lagi, yang bertubuh paling tinggi di antara mereka.

“Nggak usah, gue mau habiskan ini dulu aja.”

Kedua pria yang datang menyusul Pak Yo ke bar tersebut adalah rekannya sesama dekan di Universitas Jaya Abadi, yaitu Banu Handoko dan Sam Permana. Mereka bertiga memang cukup dekat, karena mulai menjabat sebagai dekan di fakultas masing-masing di waktu yang sama. Karena itu, hampir setiap akhir pekan mereka akan meluangkan waktu untuk berkumpul santai, sambil membicarakan urusan kampus maupun persoalan pribadi mereka masing-masing.

Pak Banu adalah dekan Fakultas Sosial Politik. Tubuhnya adalah yang paling pendek di antara mereka bertiga, lengkap dengan perut yang paling buncit, dan pipi yang gempal. Sedangkan Pak Sam adalah dekan Fakultas Ilmu Komputer yang bertubuh jangkung, meski telah terlihat gelagat penuaan di wajahnya.

Ketiganya sama-sama sudah menikah dan mempunyai anak. Namun berbeda dengan pak Yo yang istri dan anaknya berada di luar kota, keluarga Pak Banu dan Pak Sam saat ini sudah tinggal di kota. Karena itu, pergerakan mereka dalam melirik perempuan lain pun lebih terbatas. Meski begitu, setiap mereka bertiga berkumpul, tentu akan selalu ada obrolan soal selangkangan.

Bar tempat mereka berkumpul sekarang memang sedang menjadi tempat hits di kalangan anak muda. Namun selain mereka, ada juga beberapa pria paruh baya lain yang datang, meski kebanyakan sudah membawa perempuan muda untuk menemani mereka sepanjang malam.

Bar tersebut biasanya akan memutar musik dengan volume tinggi apabila hari sudah melewati tengah malam. Namun di saat para dekan tua tersebut bertemu, malam baru saja dimulai, sehingga hanya terdengar lantunan musik romantis bertempo rendah dari live band di atas panggung. Karenanya, mereka masih bisa mengobrol tanpa harus berteriak demi mengungguli volume musik yang kencang.

“Duh, tengsin nih gue gak bawa cewek ke sini. Lihat tuh om-om semuanya udah pada bawa gandengan,” ujar Pak Banu.

“Hahaa… Makanya lo cari dong gandengannya di sini,” goda Pak Yo.”Musim panen ini, ayo panen.”

“Hmm, bener juga. Lihat cewek yang di ujung deh, Sam. Oke gak buat gue?”

“Yang mana sih? Yang pakai baju merah atau hitam?” Tanggap Pak Sam.

“Yang pakai tanktop merah itu lho… tali beha-nya sampai keliatan gitu. Bikin geregetan aja. Masih di bawah 25 tahun kayaknya tuh cewek.”

“Haa, kalau gue lebih suka yang pakai dress hitam, yang sebelahnya dia. Sepertinya justru gak pakai daleman dia, hahaa …”

Pak Yo hanya tertawa saja melihat tingkah laku kedua temannya. Meski ketiganya adalah sosok dosen dan dekan terhormat di kampus, tetapi di luar mereka tetap lelaki normal yang punya ketertarikan terhadap lawan jenis. Usia pernikahan mereka yang sudah begitu lama, membuat mereka mulai bosan dengan istri mereka masing-masing. Karena itu, ketiganya sering mencari perempuan lain di luar baik untuk perselingkuhan semalam atau hubungan jangka panjang. Namun hingga saat ini, belum ada satu pun perempuan yang bisa mereka gaet untuk menjadi teman dekat untuk waktu yang lama.

“Kalian ini. Sudah gue duga bakal langsung melotot matanya begitu gue ajak ke sini,” ledek Pak Yo.

“Kucing dikasih ikan siapa yang nolak sih, Yo,” ujar Pak Banu.

“Apalagi ikannya yang segar-segar seperti ini, ya Ban? Sluurrrrppphh…” tanggap Pak Sam, sambil memperagakan adegan menyedot-nyedot puting payudara perempuan. “Memangnya lo sekarang sudah nggak suka daun muda apa?”

“Suka lah. Aku masih normal.”

“Lha terus? Kok sepertinya nggak tertarik sama cewek-cewek di sini?” Tanya Pak Banu.

“Wah jangan-janngan udah ada gandengan ya? Hahaha, mantap memang suhu yang satu ini, gampang banget dapat sugar baby,” tambah Pak Sam. “Sepintas terlihat cupu ternyata suhu.”

Pak Yo kembali tertawa. “Bukannya nggak suka sama yang di sini. Tapi di luar sana kan juga banyak yang lebih segar dari mereka.”

“Iya sih. Kalau di fakultas gue, yang namanya Bu Yasmin itu lho … mmmmmmuuaanntaapp pollll !!” ujar Pak Banu.

“Mantap bagaimana Pak?” Pak Yo mulai penasaran.

“Susunya itu lho, gede banget Yo. Jilbabnya selalu disampirkan ke leher, kan jadi bikin pemandangan indah itu kebuka banget. Mana masih pengantin baru, besar peluang buat jadi tambah gede itu nenennya,” jawab Pak Banu yang tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai sange. Gabungan pemikiran kotor yang selama ini bersemayam di kepala, ditambah alkohol yang melewati tenggorokan, adalah kombinasi optimal yang membuatnya bisa menyerocos seperti itu. “Setiap ketemu dia bawaannya pengin peluk dari belakang, terus remas-remas toketnya dari luar sampai dia ngeluarin desahan binal.”

“Tenang saja Ban, di fakultas gue juga ada yang gak kalah hot… Namanya Bu Indira,” ujar Pak Sam.

“Yang biasa pakai jilbab juga kan?” Tanya Pak Banu. “Kayaknya dia temenan sama Bu Yasmin juga deh.”

Pak Sam pun mengangguk. “Indira ini belum nikah dan kayaknya masih perawan ting-ting, yakin banget gue. Toketnya emang gak segede punya Yasmin, tapi cukup lah buat jepit kontol gue di belahannya. Tapi yang paling bikin nafsu itu bibirnya yang kayaknya enak banget kalau dipakai nyepong kontol, sama tubuhnya yang seksi, beuuhh … Bikin naik mulu ini si otong kalau tiap rapat di fakultas.”

“Pasti enak banget kalau bisa jadi yang pertama ngerasain memeknya ya, Sam.”

“Banget sih… Mana gue sama dia sama-sama tinggi kan, kalau main sambil berdiri pasti pas banget kontol gue masuknya ke dalem,” ujar Pak Sam.

“Nggak dong, Sam. Justru lebih enak kalau dia sama gue yang pendek begini, pasti menggairahkan banget kalau cewek alim yang tinggi kayak dia, justru bertekuk lutut di hadapan cowok cebol kayak gue, hahaa…” Tukas Pak Banu.

“Kita tukeran aja apa? Ngerasain ngentotin Bu Yasmin yang lebih pendek dari gue kayaknya enak juga, memek pengantin baru pasti masih legit banget kan. Biar gue sodok kontol gue yang panjang ke dalam memeknya yang sempit, hahaa…”

Pak Yo hanya bisa menggeleng-geleng kepala mendengar obrolan mesum kedua temannya tersebut. Hal itu pun memicu rasa heran dari Pak Banu dan Pak Sam, karena rekannya tersebut biasanya akan ikut menimbrung diskusi dewasa mereka.

“Perasaan dari tadi lo diam aja Yo? Gemes ya karena di Fakultas Bisnis Ekonomi gak ada dosen cewek yang oke? Hahaa…” Ledek Pak Banu.

“Adanya janda kayak Bu Tuti tuh, hi … Yang kemarin sengaja disuruh ngerjain akreditasi biar Pak Yo bisa sering-sering berdua sama dia,” ledek Pak Sam.

“Biarpun janda, tapi kayaknya masih bahenol juga deh badannya. Gue juga masih mau kalau dikasih secelup dua celup mah, hehehehe,” tambah Pak Banu.

Pak Yo tersenyum, sambil mengambil ponsel dari kantong celananya. Ia kemudian menunjukkan sebuah percakapan di aplikasi WhatsApp kepada kedua rekannya tersebut, sambil menutup nama pengirimnya. Raut wajah Pak Banu dan Pak Sam pun langsung berubah menjadi bersemangat. Tanpa diceritakan apa maksudnya, mereka berdua sudah tahu apa yang ingin dipamerkan rekannya tersebut.

“Waaaaaah, benar ternyata. Udah punya cem-ceman baru ternyata dia …” Ujar Pak Banu setengah berteriak. “Siapa tuh, Yo? Orang kampus?”

Pria yang ditanya hanya menggelengkan kepala, tanpa melepas senyuman dari bibirnya.

“Boleh dong kapan-kapan dibagi ke kita berdua. Bagi kenikmatan maksudnya, heheheh…” Tanya Pak Sam yang wajahnya sudah mulai memerah karena pengaruh alkohol.

“Enak aja.”

“Huu, pelit banget lo Yo kalau soal selangkangan,” ujar kedua rekannya kecewa.

“Tapi kalau orangnya mau, kenapa nggak? Atau kalian mau tukeran, Yasmin dan Indira buat gue, nanti barang punya gue bisa kalian pake, hehehe.” lanjut Pak Yo sambil tertawa.

“Nah, gitu dong. Ini baru namanya sahabat, hahaa…”

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd