Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Makasih updatenya

Astaga malah tambah kompleks aja ini cerita. Permasalahan 2 pasangan suami istri ini sebenarnya hal biasa, cuma karena hubungan Sofyan dan Yasmin ini yang bisa bikin permasalahan yang ga biasa. Belum lagi permasalahan yang akan dihadapi mereka berdua, Yasmin sedang diincar oleh pak Bas, sedangkan sedangkan Sofyan tidak sadar istrinya telah di incar pak Yo.

Eh ada agenda tukar gadis ini diantara petinggi kampus, terjadi atau tidak tetep ditunggu sih kalau soal Indira hahaha.

Ditunggu kelanjutannya
 
Kayaknya Yasmin nih pertama target kena rudal

Yakin? tapi masalahnya, rudal siapa yang pertama masuk? Ehh ...

Suhu @fathimah dan @killertomato sama-sama update nih,, makasih ya update nya, cerita nya semakin menarik

Suhu @killertomato emang luar biasa, di sini dia update, di sana dia update, wkwkwkw

Semangat huu mantab update terus , makasih suhu , spertinya habis menang banyak nih sama suhu PB juga hahhaa msh menunggu para wanita jelita di lecehkan dan diperkosa dihabisi mentalnya sama para bandot tua smpe bertekuk lutut.... Mksih suhu

Suka yang kasar-kasar kamu ya? hee

Aku menantikan Laras ber teasingria lagi :goyang:

Laras emang hobinya teasing kok, ditunggu aja ...

nungguin Laras ini.. mana ya... hehehe...

Sabar hishhh, ganti-gantian donk

bayangin mereka yasmin, indira dan laras tukaran digangbang tiba2 huuuui

Apakah akan terwujud? hihiii ...

Makasih updatenya

Astaga malah tambah kompleks aja ini cerita. Permasalahan 2 pasangan suami istri ini sebenarnya hal biasa, cuma karena hubungan Sofyan dan Yasmin ini yang bisa bikin permasalahan yang ga biasa. Belum lagi permasalahan yang akan dihadapi mereka berdua, Yasmin sedang diincar oleh pak Bas, sedangkan sedangkan Sofyan tidak sadar istrinya telah di incar pak Yo.

Eh ada agenda tukar gadis ini diantara petinggi kampus, terjadi atau tidak tetep ditunggu sih kalau soal Indira hahaha.

Ditunggu kelanjutannya

Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya
Termasuk juga di cerita ini, hee ...

Suhu kayaknya bahas Indira melulu neh

lanjut suhuuu...

Malam ini update lagi ya, dan sangaaaaaaaaaaatttt panjang (untuk ukuran cerita ini)
Semoga jadi teman terbaik di weekend ini

:fgenit:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Trimaksih suhu... Membuat warna malam ini semakin indah menghitam.. Ditunggu jadwal malam nya suuhu
 
Part 12: Lari Kencang

Seorang gadis berhijab berparas jelita terlihat sedang duduk di salah satu cabang coffee shop ternama, yang logo berwarna hijaunya benar-benar ikonik. Perlahan ia meminum Java Chip Frappuccino di hadapannya, sebuah menu pilihan yang selalu ia pesan setiap kali datang ke coffee shop tersebut. Sesekali, gadis manis itu tampak menoleh ke kiri dan kanan, seperti tengah menunggu seseorang.

Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik dengan rambut sebahu datang tergopoh-gopoh ke meja yang ditempati perempuan berjilbab tersebut. Ujung rambutnya yang sedikit pirang pun jadi berkibar-kibar karenanya. Ia berusaha mengawali obrolan, sambil mengontrol deru nafasnya yang masih menderu akibat berjalan terlalu cepat ke tempat tersebut.

“Sorry banget gue telat, Saf. Tadi di jalanan macet banget,” ujar perempuan yang baru datang itu.

“Iya, nggak apa-apa kok. Gue juga baru sampe,” ujar lawan bicaranya yang bernama lengkap Safira Maharani tersebut. Hari ini, ia memang ada janji untuk bertemu dengan sahabat baiknya, Naura Salsabila. “Mau gue pesenin gak?”

“Boleh deh, Caramel Macchiato aja kayak biasa.”

“Oke, tunggu sebentar.”

MEF83KD_t.png


Setiap kali mereka jalan bareng, Safira yang mempunyai kondisi ekonomi lebih baik memang suka sekali mentraktir para sahabatnya. Ia pun tidak pernah keberatan akan hal itu. Situasi tersebut berlangsung dari dulu hingga sekarang, sehingga para sahabatnya seperti Naura bahkan sudah tidak sungkan lagi untuk meminta traktiran.

“Ini minumannya, Na,” ujar Safira beberapa menit kemudian, sambil meletakkan segelas Caramel Macchiato di hadapan Naura.

“Thanks, Saf. Kok tumben cepet, gak pake nunggu dulu?”

“Lagi sepi tuh antriannya. Makanya langsung dibikinin. Apa kabar lo?”

“Baik, lo juga baik kan? Gak lagi sakit atau apa?”

“Iya, baik juga kok gue, beb.”

“Tumben banget ngajakin gue ketemu di sini. Amira belum datang?” Tanya Naura yang bingung mengapa hanya ada mereka berdua di coffee shop tersebut, tanpa seorang perempuan lagi yang sering jalan bareng mereka.

“Nah, itu yang sebenarnya pengin gue obrolin sama lo.”

“Kenapa? Hmmm… dia ga lo ajak kesini ya? Benernya lo lagi ada masalah apas sih sama Amira? Pantes di kelas tiba-tiba jadi gak pernah ngobrol, setiap gue ajak makan bareng di kantin juga kalian pada nolak. Ada apa sih sebenernya?”

“Hmm, Ini bukan cuma masalah kecil, Na.”

Wajah Naura berubah serius, “Ada apa sih?”

“Amira… ternyata udah khianatin gue.”

“Haaah!? Khianatin? Maksudnya apa sih?”

Akhirnya Safira pun menceritakan kepada sahabat baiknya tersebut apa yang terjadi selama ini, mulai dari nomor anonim yang mengirimkan foto-foto kemesraan Arga dan Amira, hingga pengakuan kekasihnya bahwa hal tersebut ia lakukan karena tidak mendapat kepuasan seksual dari Safira.

“Astagaaaa… jadi, lo sekarang akhirnya putus sama Arga?” tanya Naura yang tak habis-habisnya terkejut mendengar kabar dari sang sahabat.

“Pas kemarin di rumah gue sih kita nggak ada obrolan apa-apa lagi. Dia tahu-tahu pergi aja gitu sama Amira. Sepertinya udah jelas ya semua. Dia nggak mau lagi sama gue, dan gue juga nggak mau lagi sama dia.”

“Sama sekali nggak ada kemungkinan buat balikan?”

“Dengan masalah ini, plus yang kemarin dia bentak-bentak gue di depan banyak orang, sepertinya udah cukup Na. Gue udah tahu bagaimana Arga yang sebenarnya, dan gue nggak suka itu. Gue nggak bisa bayangin hidup selamanya sama dia.”

“Terus, lo sama Amira bagaimana? Masih bisa balik jadi sahabat kan?” Tanya Naura lagi dengan wajah setengah memelas.

“Kalau itu, sepertinya juga susah. Dia mungkin akan lebih milih berdua sama Arga dibanding sama gue.” Safira memandang Naura dengan sedih, “Kenapa lo nanya itu, Na?”

Perempuan di hadapan Safira tersebut pun tak mampu lagi menahan air matanya. Beberapa tetes air mata akhirnya berhasil keluar, dan mengalir melewati pipinya yang sedikit tirus. Ia pun seperti tidak sanggup menjawab pertanyaan Safira.

“Eh, kok lo malah nangis, Na. Sorry, sorry… gue sama sekali gak bermaksud bikin lo sedih,” ujar Safira khawatir.

Sang sahabat pun mencoba untuk menjawab pertanyaan Safira, di tengah-tengah emosinya yang siap meledak.

“Iya nggak apa-apa, Saf. Gue paham berat banget pasti buat lo harus menghadapi semua ini. Tapi … Tapi gue juga nggak bisa bohong kalau gue akan sedih kehilangan kebersamaan kita. Gue jelas gak bisa pilih salah satu, karena kalian berdua adalah sahabat terbaik gue.”

Mendengar kata-kata itu, Safira pun jadi mengenang kebersamaan mereka bertiga yang benar-benar menyenangkan selama ini. Mereka sudah mengarungi suka dan sedih bersama, meski sekarang harus terpisah karena masalah percintaan. Tanpa disadari, Safira pun ikut meneteskan air mata.

“Yang paling bikin gue kesel, kita jadi begini gara-gara seorang Arga yang nggak berguna itu,” ujar Naura yang mulai sesunggukan.

Mereka berdua pun tidak berkata apa-apa lagi. Keduanya sibuk menahan tangis mereka, yang sewaktu-waktu bisa keluar dan membuat mereka malu di hadapan pengunjung coffee shop yang lain. Namun di kepala mereka, ada perasaan kesal, sedih, dan kenangan indah yang semua bercampur jadi satu.

Andai saja, perjalanan waktu bisa diputar kembali dengan mudah.


***​


Saat Safira tengah mencurahkan isi hatinya di hadapan sang sahabat, seorang dosen cantik baru saja sampai di depan sebuah rumah bertingkat dua yang berada di sebuah cluster perumahan mewah. Rumah tersebut memang tidak sebesar rumah Andrew yang ia kunjungi setiap minggu, tetapi tetap menunjukkan bahwa pemiliknya adalah seorang yang kaya raya.

Perempuan tersebut langsung menekan bel, seperti yang biasa ia lakukan setiap kali datang ke sana. Setelah menunggu beberapa menit, seorang asisten rumah tangga yang sudah berusia kepala enam tampak menghampirinya dari balik pagar.

MEF83KG_t.png


“Eh, ternyata Non Indira,” ujar sang asisten rumah tangga yang memang sudah kenal baik dengan perempuan berjilbab itu. “Silakan masuk Non.”

“Terima kasih Bi. Mas Ahmad atau Ummi sedang ada di rumah?”

“Oh, kalau Den Ahmad dari pagi sudah pergi. Tapi kalau Ummi ada di dalam, sedang duduk-duduk di ruang keluarga. Non Indira langsung masuk aja.”

Mendengar jawaban tersebut, dosen bernama lengkap Indira Nur Aisyah tersebut sedikit bingung. Hal itu jauh berbeda dengan isi pesan yang ia terima tadi pagi. Firasatnya yang mendorong untuk datang ke rumah ini ternyata tidak meleset. Namun ia masih penasaran, di mana pengirim pesan tersebut berada saat ini.

Dengan langkah santai, Indira pun masuk ke dalam rumah lewat pintu utama. Ia langsung menemukan seorang perempuan tua berusia 60 tahun yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Perempuan tersebut tampak begitu serius, sampai tidak menyadari kedatangan Indira.

“Assalamualaikum, Ummi,” sapa Indira dengan nada yang sopan.

“Waalaikumsalam,” ujar perempuan tua itu sambil menolehkan kepala. Wajahnya langsung berseri saat melihat kedatangan Indira. “Eh, calon menantu Ummi datang. Kok gak bilang-bilang dulu, sini duduk di samping Ummi.”

Indira pun tersenyum saat disapa seperti itu. Ia kemudian menuruti perintah perempuan yang dipanggil Ummi tersebut, dan duduk tepat di sebelahnya.

“Kok tahu-tahu datang ke sini, disuruh Ahmad ya?” Tanya Ummi kepada Indira.

“Eh, enggak kok Ummi. Saya memang sengaja nggak bilang-bilang dulu, karena mau kasih kejutan.”

“Hahaa… Kamu ini bisa saja mengagetkan Ummi. Tidak ada kelas hari ini?”
“Iya, lagi nggak ada jadwal mengajar, Ummi.”

“Bagaimana kerjaan kamu di kampus? Semua lancar?”

“Alhamdulillah lancar, Ummi. Insya Allah kalau tidak ada halangan, dalam waktu dekat saya sudah bisa jadi dosen tetap di sana.”

“Alhamdulillah kalau begitu. Ummi ikut senang dan bangga mendengarnya. Papa dan Mama kamu juga pasti bahagia dengan pencapaian kamu itu.”

“Terima kasih, Ummi. Oh iya, tadi Papa sama Mama juga titip salam, katanya udah kangen juga lama tidak bertemu dengan Ummi.”

“Waalaikumsalam, sampaikan salam kembali ke orang tua kamu ya, Indira. Mereka berdua orang baik, Ummi juga kangen sudah lama tidak bertemu mereka. Duh, kamu ini baik banget. Mirip sama seperti Mama Papa kamu.”

Indira kembali tersenyum. Ummi merupakan satu-satunya orang tua Ahmad yang tersisa, karena sang ayah yang kerap dipanggil Abi sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sebagai sosok yang dituakan, Indira merasa kagum akan cara Ummi berinteraksi dengan anak muda sepertinya yang tetap terlihat berwibawa, tetapi tanpa kesan sombong sedikit pun. Hal ini justru berbeda dengan sang anak yang dari waktu ke waktu tak pernah berhenti membanggakan kesuksesannya dalam membangun bisnis.

“Ummi suka perempuan yang mau meniti karir seperti kamu. Yang penting, jangan lupa untuk menikah dan membangun keluarga, karena itu adalah sumber kebahagiaan,” ujar Ummi sambil menggenggam tangan Indira.

Indira pun merasakan kehangatan yang menjalar dari tangan Ummi, memasuki tubuhnya sendiri lewat genggaman tersebut. Karena itu, ia pun tidak bisa terlalu banyak memberikan jawaban.

“Insya Allah, Ummi. Mohon doanya saja.”

“Pasti Ummi selalu doakan.”

“Oh iya, Mas Ahmad katanya sedang pergi ya, Ummi?” Tanya Indira.

“Iya, tadi pagi pamit sama Ummi. Ummi pikir dia mau pergi sama kamu.”

“Nggak kok, Ummi. Mungkin ada urusan lain,” ujar Indira sambil tersenyum. Meski dalam hati ia juga menyimpan rasa penasaran, di mana sebenarnya Ahmad tengah berada saat ini. Mengapa ia harus mengatakan hal yang berbeda di pesan yang diterima Indira tadi pagi.

Namun Indira tidak mau berprasangka buruk. Ia pun melanjutkan obrolan dengan Ummi, tentang apa pun persoalan yang bisa mereka bicarakan.


***​


Saat hari telah beranjak sore, terdengar suara mobil tengah memasuki area parkir rumah Ahmad. Ummi dan Indira pun sama-sama mendengarnya.

“Nah, itu pasti si Ahmad pulang. Untung kamu belum pulang, jadi bisa ketemu,” ujar Ummi.

Benar saja, tak lama kemudian hadir seorang pria berusia 30 tahun, dengan janggut tipis bertengger di dagunya. Pria itu terkejut saat masuk ke ruang tamu dan melihat Ummi sedang bersama dengan Indira.

“Kok kamu di sini?” Tanyanya heran.

“Hissshh… Anak Ummi ini. Kalau masuk rumah itu awali dengan salam,” ujar Ummi dengan nada kesal. Dalam hati, Indira baru mengetahui dari mana kebiasaan mengesalkan kekasihnya tersebut berasal.

“Eh, iya maaf. Assalamualaikum, Ummi,” ujar Ahmad sambil mencium tangan sang ibunda.

“Waalaikumsalam. Nah, gitu dong. Kamu itu dari mana saja sih, Indira menunggu kamu lho dari tadi siang.”

“Tidak kemana-mana… ya biasa saja, seperti biasanya aku…”

Belum sempat Ahmad menyelesaikan kalimat, dari belakangnya muncul seorang wanita muda yang mengenakan jilbab berwarna hitam, ikut masuk ke ruang tamu. Seperti tidak mengerti situasi yang sedang terjadi, ia langsung berjalan mendekati Ummi dan menyalami tangannya.

“Assalamualaikum, Ummi.”

Ia baru tertegun saat melihat keberadaan Indira di ruang tamu tersebut. Sebaliknya, Indira pun kaget melihat kedatangannya. Dosen muda tersebut kini mengerti ke mana saja sang kekasih pergi seharian ini. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung berpamitan kepada Ummi.

“Ummi, aku izin pulang dulu. Baru ingat ada urusan di kampus yang belum aku selesaikan. Assalamualaikum,” tanpa menunggu balasan dari salam tersebut, Indira sudah berjalan dengan cepat menuju pintu keluar.

Saat baru sampai teras, Indira merasakan tangannya ditarik dari belakang dengan kencang. Perempuan tersebut sontak membalikkan badan sambil menahan rasa perih, dan ternyata telah ada Ahmad di sana.

“Apa-apaan sih kamu? Tiba-tiba datang ke sini tidak izin dulu sama aku!?” ujar Ahmad dengan nada suara yang tinggi. Namun pria tersebut masih berusaha menahan diri agar suaranya tidak terdengar sampai ke dalam rumah, di mana sang Ummi berada.

“Hah? Serius kamu nanya gitu? Kamu itu yang apa-apaan! Untuk apa aku izin datang ketemu sama Ummi? Biar kamu tidak ketahuan bisa mesra-mesraan sama Annisa? Begitu, Mas? Ya sudah sana. Dinikmati aja saat-saat kalian berduaan. Tidak perlu ada aku, kan?”

“Heh, jaga ya mulut kamu! Aku seharian ini ke kantor ngurus bisnis, tahu!? Aku baru ketemu sama dia sore ini!”

“Pembohong!! Kamu pikir aku tidak pernah menanyakan keberadaanmu di kantor? Ditelpon seharian tidak ada kabar, jadi aku telpon ke kantor! Kamu itu seharian gak pergi ke sana!! Mau alasan apa lagi kamu?”

Ahmad pun seperti mati kutu mendengar argumen dari Indira. Ia sadar bahwa semua alasan yang ia berikan justru akan menambah keyakinan perempuan tersebut bahwa dirinya tengah berbohong.

“Dengar dulu… aku bisa jelasin semuanya, Indira. Tapi kamu harus tenang dulu. Tidak semua seperti yang kamu pikirkan.”

“Denger apa? Denger kalau cowok yang katanya serius sama aku, mau nikahin aku, ternyata bohong? Kau mau cari alasan apalagi supaya aku percaya kalau kamu kerja? Mau cari alasan apalagi buat seharian jalan sama cewek lain? Lagian cewek itu apa maunya sih? Kamu gak bilang sama dia tentang hubungan kita? Atau dia memang cuek dan berniat merebut kamu?”

“Kamu gak usah bawa-bawa dia, Indira. Ini urusan kita berdua…”

“Oh gitu? Masih belain? Jelas-jelas ini urusan kita kalau kamu selingkuh sama cewek sialan itu!”

“Heh…! Jaga mulut kamu, ini rumahku!”

Indira seperti tidak bisa menahan lagi kesabarannya selama ini. Ia kini menyaksikan langsung bagaimana sang kekasih lebih memikirkan soal kesucian cara bicara dan bersikap, dibanding kesetiaan dalam menjalin hubungan.

“Ohh… maaf ya, Den Ahmad. Maaf kalau saya bicara tidak sopan di rumah yang suci ini. Di depan Den Ahmad yang benar-benar suci tanpa cela. Yang selalu bermulut manis layaknya khotib di atas mimbar, tapi di belakang kerjaannya membohongi kekasihnya sendiri dan berduaan dengan cewek lain,” ujar Indira dengan nada sarkas.

“Indira! Apa sih maksud kamu?”

“Bajingan kamu, Ahmad. Kamu tidak lebih dari tukang selingkuh dan pembohong yang bersembunyi di balik kedok sok suci! Tadi pagi bilangnya sibuk bantuin Ummi di rumah jadi gak bisa nemuin aku di kampus. Sampai aku telepon pun gak diangkat. Ternyata? Asyik-asyikan sama pelacur yang kerjaannya…”

Plaaaaaaaaaakkkkkkk!!

Belum sempat Indira menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Ahmad sudah terlebih dahulu meluncur ke pipi Indira, menamparnya dengan keras. Begitu kerasnya, sampai terlihat bekas merah yang kentara di pipi halus nan putih tersebut.

Keduanya tertegun. Keduanya saling bertatapan. Indira menatap galak ke arah Ahmad yang langsung merasa bersalah karena bersikap kasar.

“Indira…! Ma-maaf … Aku terbawa suasana dan… dan…” Ahmad kebingungan menjelaskan reaksi spontannya.

“Memang bener bajingan kamu, Mas…”

Indira pun langsung lari meninggalkan rumah tersebut, tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Rasa perih di pipinya seperti memberi isyarat bahwa tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan dari hubungan ini.

Apapun harapan orangtua mereka pada hubungan Indira dan Ahmad, rasa-rasanya tidak akan terwujud.

Jurang itu telah tercipta.


***​


Pertemuan tadi siang dengan Naura memang membuat Safira sempat merasa sedih. Mau bagaimana pun, Naura dan Amira adalah sosok yang telah menemaninya selama menjalani kuliah di kota. Mereka telah melalui susah senang bersama. Tapi pengkhianatan yang dilakukan Amira adalah sesuatu yang menyakitkan bagi Safira dan masih belum termaafkan. Ia merasa sangat bodoh dan tolol telah mempercayai sang sahabat yang bermuka dua.

Setelah menjalani beberapa kelas di kampus, Safira pun langsung pulang ke rumah kontrakan miliknya. Komplek cluster perumahan di mana perempuan tersebut tinggal merupakan area yang sepi, karena kebanyakan pemilik properti di sana tidak menempati sendiri rumah yang mereka beli. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menyewakannya, termasuk sang pemilik rumah yang ditempati Safira saat ini.

Karena itu, tidak banyak tetangga yang bisa Safira ajak curhat, sekedar mengobrol, atau bersosialisasi. Setiap kali pulang ke kontrakan, gadis muda itu biasanya selalu langsung masuk ke dalam kamar tidurnya, baik untuk mengerjakan tugas atau sekadar membuka aplikasi media sosial di ponsel. Apabila merasa bosan, ia akan mengundang Naura atau Amira untuk menginap dan menemaninya nonton Netflix bareng atau hanya ngobrol tentang kehidupan kuliah mereka.

Seperti malam ini misalnya, Safira pun merasa bosan karena hanya sendirian saja di rumahnya. Harus ia akui, tanpa Arga dan kedua sahabatnya, hari-harinya terasa sepi. Bila dibiarkan terlalu lama, bisa jadi ia akan mulai bosan menempuh pendidikan di kota, padahal tinggal sebentar lagi dia akan lulus.

MEF83KD_t.png


“Ga bisa begini. Ga bisa terus merasa sepi. Aku harus mulai mencari kegiatan baru supaya tambah semangat,” pikir Safira. Dia harus bisa melakukannya.

Di saat yang sama, ia pun melihat rak sepatunya yang berada di pojok kamar tidur. Di sana ada sebuah sepatu olahraga berwarna merah muda, yang sejak dibeli sepertinya belum pernah ia pakai. Perempuan tersebut pun mendapat ide bagus.

“Besok pagi aku coba lari keliling komplek ah. Waktu pertama kali tinggal di sini, aku kan suka lari, tapi sudah lama nggak lanjut karena lebih sering jalan keluar dengan Arga. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk kembali ke hobi tersebut,” batin perempuan berparas cantik itu.

Saking semangatnya, Safira pun mengambil foto sepatu tersebut, lalu mengunggahnya di status WhatsApp dengan caption “Besok mau lari pagi ahh…”

Entah siapa yang akan membacanya karena sahabat-sahabatnya meninggalkannya sendiri, dan pacarnya berselingkuh. Safira tidak peduli, toh dia hanya ingin berbagi.

Setelah itu, perempuan tersebut pun langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berdiri di bawah aliran shower, merasakan guyuran air hangat menyentuh setiap inci tubuh indahnya yang tengah tanpa busana. Ia baluri tubuh moleknya dengan sabun hingga berkilau dan terjaga kehalusannya.

Sekitar 20 menit kemudian, barulah Safira keluar dari kamar mandinya dengan hanya mengenakan handuk untuk membeli tubuhnya yang seksi. Karena merasa tengah sendirian di kamar, ia pun langsung merebahkan badannya dengan pakaian seperti itu di atas ranjang. Ia pun mengambil ponsel miliknya yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.

Di luar dugaan, ternyata status yang ia buat justru menarik perhatian cukup banyak orang. Jadi… siapa bilang dia sendiri dan kesepian? Mereka pun merespon status tersebut dengan mengirimkan pesan kepada Safira.

“Nah, gitu dong. Anak Mama harus rajin olahraga biar sehat,” tulis Mama-nya..

“Duh, si cantik pake olahraga segala lagi, makin gak bisa nyaingin aja deh kita,” ujar seorang mahasiswi yang merupakan temannya di kampus.

Namun yang paling menarik perhatian Safira dari semua pesan tersebut adalah nama seorang pria tua yang sepertinya tidak lazim merespon status WhatsApp perempuan muda seperti dirinya. Apalagi pesan tersebut berbunyi, “Wah, kalau lari pagi itu enaknya bareng-bareng, Safira. Lebih seru dibanding lari sendirian.”

Dalam hati, Safira merasa penasaran mengapa pria yang sudah berusia 55 tahun tersebut sampai meluangkan waktu untuk membalas status WhatsApp-nya yang sederhana. Bukankah pria itu punya banyak pekerjaan yang jauh lebih penting, di kampus yang ia pimpin. Ya, pesan tersebut memang berasal dari Darmadi, sang rektor terhormat dari Universitas Jaya Abadi.

“Mengapa perhatian dari Pak Dar kepadaku terasa berbeda ya?” Pikir Safira dalam hati.”Hanya perasaanku saja atau…”

Mahasiswi tersebut jadi mengingat kembali saat-saat Pak Dar memeluk dirinya, mulai dari saat ia melakukan kesalahan di acara Entrepreneurship Day beberapa minggu lalu, hingga saat ia mendapat pesan anonim yang berisi foto mesra Arga dan Amira.

Beberapa orang mungkin akan melihatnya sebagai kasih sayang seorang ayah kepada anaknya, karena usia mereka berdua yang terpaut jauh. Namun Safira tidak bisa berbohong bahwa selain kenyamanan dan kehangatan yang ia rasakan dari pelukan tersebut, ada getaran aneh yang muncul. Getaran itu serupa dengan yang ia rasakan saat tengah berduaan dengan mantan kekasihnya, Arga.

Dan menurut Safira, Pak Dar pun merasakan hal yang sama. Itu terbukti dari detak jantung pria tersebut yang terasa begitu kencang, saat perempuan cantik itu menyandarkan kepalanya di dada sang rektor. Namun di sisi lain, mahasiswi yang berusia belia itu heran, apakah pria tua seperti Pak Dar masih bisa mempunyai perasaan seperti itu.

Ada rasa penasaran yang bercampur dengan kekhawatiran.

“Apa aku perlu membuktikan, kalau Pak Dar memang mempunyai ketertarikan spesial padaku ya? Kalau memang benar seperti itu, aku jadi punya alasan untuk menjauhi dia nantinya,” batin Safira yang makin tenggelam dalam lamunannya..

Di sisi lain, dirinya pun tengah merasa kesepian, dan butuh aktivitas dengan orang lain. Ditambah mungkin ia harus sedikit berterima kasih kepada Pak Dar yang telah membantunya melalui masa-masa sulit selama beberapa minggu belakangan. Safira pun membulatkan tekad untuk coba mengajak sang rektor tersebut bertemu.

Tidak ada salahnya. Anggap saja social experiment.

“Betul banget, Pak. Kalau lari pagi enaknya memang berdua. Tapi aku bingung mau ajak siapa, semua temanku pada sibuk, hiks…” ketik Safira, sebagai balasan untuk pesan Pak Dar. Di bagian akhir kalimat ia menambahkan emoticon menangis.

Safira memang sengaja menambahkan kesan manja di pesan tersebut, sekadar ingin melihat reaksi sang rektor. Namun di waktu yang sama, tubuh mahasiswi tersebut sedikit menghangat, hingga ia akhirnya memutuskan untuk melepas kaitan handuknya, dan tampil tanpa busana di atas ranjang tidurnya.

Ternyata, Pak Dar cukup cepat membalas pesan tersebut. “Masa sih? Memangnya kamu kalau lari pagi biasanya jam berapa?”

“Jam setengah enam, Pak. Biar udaranya masih cukup segar, dan tidak terburu-buru juga karena takut terlambat masuk kuliah.”

“Hmm, besok kebetulan Saya free… Kalau saya yang temani, apakah boleh?”

Akhirnya pancingan Safira berhasil mengenai sasaran. Mahasiswi muda tersebut tersenyum, karena ia berhasil membuat sang rektor mengatakan hal tersebut, tanpa harus ia minta. Namun ia merasa tidak boleh langsung mengiyakan ajakan tersebut, demi meninggikan martabatnya di depan sang rektor.

“Memangnya tidak masalah, Pak? Maksud saya, tidak ada aturan kampus yang melarang untuk kita bertemu di luar kampus?”

“Tidak ada, Safira. Lagipula kita hanya lari pagi saja kan? Memangnya mau ngapain? Hahaha…” tulis Pak Dar. “Tapi …”

“Tapi apa Pak?”

“Tapi larinya santai saja kan? Bukan seperti mau latihan marathon atau semacamnya? Kamu tahu sendiri berapa usia saya. Hehehe. Saya pengen sehat, tidak pengen pingsan.”

Safira pun tertawa sendiri di kamarnya saat membaca pesan tersebut. Perempuan muda itu akhirnya mengambil guling, dan memeluknya dengan tubuh telanjangnya karena gemas.

“Hahaa… Iya, Pak. Larinya santai saja kok.”

“Baik, besok pagi saya ke rumah kamu ya.”

“Oke, Pak. Saya tunggu. Selamat malam.”

“Malam, Safira.”

Safira merasa tidak sabar menunggu hari esok, di mana dia akan lari berdua dengan sang rektor untuk pertama kalinya. Dalam hati, ia merasa bahwa kedekatan dengan Pak Dar tentu bisa membantunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Sebagai rektor, ia tentu punya kewenangan untuk memberikan referensi yang bagus terhadap mahasiswi tersebut. Namun di sisi lain, Safira merasa harus berhati-hati agar kedekatan ini tidak sampai melewati batas.

Ingat batasnya, Safira. Ingat batasnya.


***​


Tepat pukul 5.30 keesokan harinya, Safira tampak telah siap dengan busana olahraga sambil melakukan pemanasan ringan di teras rumahnya. Ia mengenakan kaos lengan panjang berwarna merah muda dan jilbab dengan warna yang sama. Menurutnya, pakaian itu tentu akan lebih pas dengan sepatu larinya yang juga berwarna merah muda. Sedangkan untuk bawahan, ia mengenakan celana training berwarna hitam yang cukup ketat membentuk kakinya yang indah.

Pak rektor yang ditunggu-tunggu ternyata datang tepat waktu. Mobil Palisade berwarna hitam miliknya tak lama datang dan berhenti di depan rumah Safira. Pemiliknya pun langsung turun dari kursi pengemudi dan menghampiri sang mahasiswi. Pagi ini, ia mengenakan kaos olahraga dan celana pendek, yang menampakkan betul bentuk tubuhnya yang menggelambir karena dimakan usia.

“Sudah siap, Safira?”

“Sudah, Pak. Tepat waktu sekali ya datangnya, hehehe..”

“Ya, supaya kamu tidak menunggu kan,” ujar Pak Dar sambil tersenyum. “Saya orangnya tepat waktu dan selalu menepati janji, Safira.”

“Bagus. Aku suka sih cowok yang nggak ngaret, hihihi. Kita jalan sekarang ya, Pak.”

“Yuk, silakan kamu duluan. Saya mengikuti rute kamu saja.”

Safira pun mulai menyusuri rute lari yang biasa ia lewati mengelilingi komplek tempat ia tinggal. Komplek tersebut mempunyai kontur tanah yang datar, sehingga tidak banyak tanjakan atau turunan yang curam, cocok untuk penghuninya yang ingin berolahraga dengan santai.

Pak Dar pun mengikuti Safira dan berlari tepat di sisinya. Namun ia membiarkan saja sang mahasiswi tersebut menentukan rute lari mereka. Ia sendiri malah sibuk melirik ke arah tubuh sang perempuan yang tampak begitu seksi dengan busana olahraganya. Berkali-kali pria tua tersebut meneguk air liurnya sendiri, demi menahan gairahnya yang mulai naik akibat melihat tubuh indah sang mahasiswi.

Safira sendiri bukan perempuan yang terlalu lugu. Ia menyadari bahwa beberapa kali sang rektor menatapnya dengan tatapan tajam, seolah ingin menelanjangi tubuhnya saat itu juga. Tatapan tersebut serupa dengan yang diberikan Arga setiap kali mereka tengah berduaan di tempat sepi. Bila sudah seperti itu, Safira pasti akan menghentikan apa pun yang tengah dilakukan kekasihnya, dan berkata tidak.

Dalam hati, perempuan tersebut hanya tersenyum melihat tingkah Pak Dar. Ia yakin, meski sebenarnya sangat ingin, sang rektor tidak akan berani berbuat apa-apa di tempat terbuka seperti ini.

Seperti janjinya, Safira memang tidak terlalu serius dalam aktivitas olahraga hari ini. Selain agar Pak Dar yang sudah berusia lanjut bisa mengimbangi laju larinya, perempuan tersebut pun merasa belum mempunyai stamina yang cukup, karena sudah lama ia tidak melakukan olahraga pagi. Karena itu, mereka baru tiba kembali di rumah Safira sekitar pukul tujuh.

“Hufthh … Lumayan juga ya, Pak,” ujar Safira sambil duduk di teras rumahnya yang memang berukuran cukup luas. Perempuan muda tersebut langsung menyandarkan punggungnya ke sebuah tiang penyangga rumah, demi melepas lelah.

“Hhhh … stamina kamu oke juga ya, Safira,” jawab Pak Dar sambil duduk di bagian lain teras tersebut. Pria tua itu tampak masih ngos-ngosan karena aktivitas fisik yang cukup menguras tenaganya pagi ini.

“Pak Dar bisa aja, ya mungkin karena saya masih muda. Ini juga masih belum maksimal kok. Saya sudah lama tidak lari pagi, jadi tidak mau memaksakan,” ujar sang mahasiswi sambil meneguk botol air minumnya agar tidak dehidrasi sehabis olahraga. Namun, ia sebenarnya cukup khawatir dengan kondisi sang rektor. “Bapak sendiri aman kan? Tidak terlalu capek kan?”

“Aman kok, tenang saja. Hanya butuh istirahat sebentar, nggak apa-apa kan kalau saya istirahat dulu di sini?”

“Iya, boleh kok Pak. Duduk-duduk saja dulu di sini.”

“Terima kasih, Safira,” ujar Pak Dar sambil mengatur aliran napasnya agar kembali normal.

Safira tersenyum sambil menatap ke arah Pak Dar dengan penuh rasa penasaran saat pria tua itu mengelap wajahnya yang berkeringat. Pak Dar tertegun saat melihat Safira menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya.

“Safira? Ada yang aneh dari wajah saya?”

“Hah? Eh, nggak kok, Pak.”

“Beneran?” Pak Dar tersenyum penuh makna, “yakin tidak ada yang mau kamu tanyakan?”

Safira tertawa. Pak Dar seperti mampu membaca pikirannya. Gadis manis itupun sepertinya ingin nekat bertanya, “Bapak tahu gak sih desas-desus tentang Bapak di kampus? Hehehe,” Safira berusaha membuka obrolan dengan nada bercanda.

Pak Dar pun tertawa mendengarnya. “Hahaha… ya jelas saya dengar buuuaaaannyaaaakk sekali rumor tentang saya. Coba, memangnya versi mana yang pernah kamu dengar? Saya sudah menduga kamu lambat laun pasti akan menanyakan itu.”

“Hmm oke… pertama nih, yang saya dengar sih Bapak pernah selingkuh dengan salah satu dosen kampus, yang akhirnya membuat Bapak bercerai dengan istri Bapak. Dan akhirnya, justru dosen tersebut yang dipecat dari kampus.”

“Hmm… oh yang itu.”

“Iya, Pak.”

“Kamu percaya dengan cerita itu?”

“Nggak sih, Pak. Hehehe …” Kali ini Safira berkata jujur.

Ia memang tahu bahwa pria seperti Pak Dar tentu mempunyai nafsu birahi saat melihat perempuan cantik seperti dirinya. Namun apa yang selama ini Pak Dar lakukan terhadap dirinya, masih dalam batas wajar. Termasuk saat lari pagi tadi di mana Pak Dar melirik-lirik ke arah tubuhnya, Safira masih memaklumi. Karena itu, menurutnya apa yang diceritakan orang di luar sana tentang sang rektor sepertinya terlalu dilebih-lebihkan.

“Baguslah,” lanjut Pak Dar sambil menatap mata sang mahasiswi. “Kamu tahu, Safira. Banyak hal di dunia ini yang terlihat baik, padahal sebenarnya tidak. Dan sebaliknya, banyak yang tidak terlihat baik, padahal ada ketulusan di dalam hatinya.”

“Iya, Pak. Saya setuju,” jawab Safira sambil meneguk air di botol minumnya hingga habis. “Wah, habis. Saya ambil minum sebentar ke dalam ya, Pak.”

“Silakan, Safira.”

Tanpa diketahui oleh sang mahasiswi, Pak Dar tampak melihat ke arah kiri dan kanan rumah tersebut, memastikan tidak ada orang yang berada di sekitarnya. Setelah yakin, pria tua itu perlahan berjalan mengikuti Safira masuk ke dalam rumah.


***​


Safira baru saja mengambil sebuah botol minum di dalam kulkas yang berada di area dapur, saat ia melihat Pak Dar telah masuk ke dalam rumah, dan tengah berjalan mendekatinya. Ada aura berbeda yang terasa dari tatapan pria tersebut, jauh berbeda dengan tatapan sang rektor saat mereka sedang mengobrol beberapa menit sebelumnya.

“Eh, Pak Dar. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Safira.

MEF83KD_t.png


Perempuan tersebut masih berusaha berprasangka baik bahwa Pak Dar mungkin sedang ingin ke kamar kecil, atau butuh minum karena staminanya habis. Namun pria tua itu tidak menjawab, dan tetap berjalan dengan pelan menuju ke arahnya.

“Hmm, ada apa ini Pak?” Safira kembali bertanya, kali ini dengan suara yang sedikit bergetar. Perempuan tersebut mulai merasa aneh. Perasaannya tidak nyaman. Ia mulai sedikit takut.

Perubahan sikap Pak Dar yang begitu drastis tersebut membuat Safira ngeri. Perempuan tersebut akhirnya mundur ke belakang, hingga bagian belakang tubuhnya menempel di meja dapur, tanda bahwa ia sudah tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi.

Di depannya, Pak Dar terus melangkah maju, hingga ia berdiri tepat di hadapan Safira. Mereka pun sama-sama bisa menghirup aroma dari keringat mereka masing-masing, yang anehnya tidak menghentikan sang pria untuk terus mendekati sang mahasiswi.

Pak Dar mulai mengarahkan tangannya untuk membelai pipi Safira, seperti hendak menghapus keringat dari wajah cantik perempuan muda tersebut. Setelah itu, ia mulai mengelus lengan Safira yang masih tertutup kaos lengan panjang, serta mengusap-usap kepala perempuan tersebut yang masih berbalut jilbab berwarna merah muda.

“Pak Dar? He-hentikan…” Ujar Safira. “Ini su-sudah terlalu… berlebihan….”

Meski menolak, tubuh mahasiswi tersebut justru kaku dan tidak bertenaga untuk menghindar dari sentuhan sang pria tua yang merupakan rektor terhormat di kampus tempat ia menimba ilmu. Dalam hati, ia ingin segera pergi atau berteriak agar Pak Dar benar-benar menghentikan aksinya. Namun urat sarafnya seperti terputus dan tidak bisa mengirimkan sinyal yang tepat ke otot motoriknya. Tanpa sadar, botol minum yang selama ini ia genggam telah jatuh ke lantai.

“Pak? Ja-jangan… Ini salah, Pak …” Ujar sang mahasiswi tersebut, mencoba mengingatkan sang rektor yang seperti sudah kehilangan akal sehatnya itu.

Tidak ada jawaban yang terdengar dari mulut Pak Dar. Hanya hembusan napasnya saja yang terasa begitu menderu, dan berkali-kali menyentuh tubuh Safira. Sang rektor bahkan dengan berani menyibakkan jilbab yang dikenakan sang mahasiswi, hingga lehernya yang masih basah karena keringat terbuka di hadapannya.

“Pak… saya mohon… ja… Jangan, Pak,” ujar Safira lirih. “Sa-saya akan teriak…”

Perempuan muda tersebut kini mulai memejamkan mata, seperti tidak ingin melihat apa yang selanjutnya akan dilakukan sang rektor terhadapnya. Kedua tangannya kini tengah meremas erat meja dapur yang menjadi tempatnya bersandar, berusaha menahan rasa geli dan hangat yang bertahap meresapi tubuhnya.

Dalam kondisi mata yang masih tertutup, Safira bisa merasakan bibir Pak Dar yang kasar mulai mengecup lehernya. Tak hanya itu, pria tua tersebut bahkan mulai mengeluarkan lidahnya untuk menjilati keringat yang menempel di leher Safira. Ini jelas pertama kalinya mahasiswi tersebut diperlakukan seperti itu oleh seorang pria. Apalagi yang melakukannya adalah seorang rektor, yang sesaat sebelumnya betul-betul ia hormati kedudukannya. Kombinasi hal tersebut membuat birahi Safira mulai naik, meski ia jelas tidak mau menunjukkannya secara terang-terangan.

“Fakta. Saya ingin memberitahukan satu fakta untukmu, Safira,” ujar Pak Dar dengan nada setengah berbisik, sambil mengusap payudara sang perempuan muda yang masih mengenakan kaos lengan panjang tersebut secara lembut. “Cerita yang kamu dengar tentang aku memang benar-benar terjadi.”

Safira terkejut dengan kata-kata tersebut, dan langsung membuka matanya. Ia menatap tajam ke arah mata Pak Dar, berusaha mencari tahu apakah yang baru saja ia dengar dari bibir sang rektor adalah sebuah kejujuran. Di saat yang sama, ia tidak bisa menolak gelombang kenikmatan dari setiap sentuhan pria tua tersebut di titik-titik sensitif tubuhnya.

“Maksud Bapak?”

“Ya, beberapa tahun lalu, saya pernah berselingkuh dengan salah satu dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, namanya Bu Ratna. Ia sudah mempunyai suami dan dua orang anak, namun tetap mau aku gagahi berkali-kali. Kami bahkan pernah bermain cinta di ruang rektor.”

Membayangkan hal tersebut, Safira langsung bergidik ngeri. Pak Dar yang sempat ia sangka merupakan sosok yang baik, ternyata merupakan serigala buas seperti apa yang dikatakan orang-orang. Mahasiswi tersebut jelas telah salah mengambil pilihan untuk mengundang sang rektor ke rumahnya.

“Suatu saat, ia ingin mengakhiri hubungan kami demi suami dan anaknya. Karena itu ia menceritakan semuanya kepada istri saya, yang akhirnya menceraikan saya. Hal itu jelas membuat saya tidak terima, dan dengan berat hati saya putuskan untuk memecatnya,” jelas Pak Dar.

“Kenapa …”

“Kenapa apa, Safira? Kenapa dosen tersebut nggak protes soal pemecatan tersebut? Dia jelas takut pada saya karena koneksi yang saya miliki dengan petinggi kampus yang lain, serta aparat keamanan. Dia pun takut kalau cerita perselingkuhan kami sampai di telinga suami dan anak-anaknya, dan dia harus berpisah dengan mereka.”

Safira tidak menyangka bahwa hampir 100 persen cerita yang beredar tentang sang rektor benar adanya. Seorang pria yang sempat memeluknya dengan hangat beberapa waktu lalu, yang ia anggap mempunyai aura kebapakan, ternyata merupakan buaya jahat dengan pengaruh yang tidak bisa dianggap remeh.

“Dan itu juga yang akan terjadi pada kamu, kalau berani menceritakan apa yang terjadi antara kita kepada orang lain. Kamu tidak mau kan tiba-tiba dikeluarkan dari kampus dan membuat harapanmu untuk melanjutkan pendidikan terbuang sia-sia? Kamu tidak mau kan orang tua kamu merasa malu anaknya berhubungan badan dengan rektor tua seperti aku?”

Perempuan yang masih mengenakan jilbabnya tersebut merasakan gelombang rasa ngeri mulai melanda tubuhnya. Ia tetap tidak bisa bergerak saat tangan kanan Pak Dar mulai memeluk tubuhnya, serta mengelus punggungnya. Dengan nakal, pria tua itu bahkan menyempatkan diri untuk memainkan jemarinya di kaitan bra milik Safira, yang meski tertutup kaos tapi tetap bisa terasa dari luar. Tangan tersebut bahkan bergerak ke bawah, dan mulai meremas bokong sang mahasiswi. Celana panjang yang dikenakan Safira benar-benar membuat sang pria tua gemas, karena bentuknya yang ketat sehingga lebih mirip seperti legging.

“PAK DAR! He-hentikan, Pak Dar!! Ini salah, Pak! Ini tidak boleh! Saya tidak akan menceritakannya pada siapa-siapa, saya janji… tapi tolong... Lepaskan saya…” lirih Safira mencoba melawan. Ia mulai membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan oleh sang rektor kepadanya. Dan semuanya menambah rasa cemas dan gelisah di hatinya.

“Sudah terlambat, Manis. Di saat pertama kali kamu berada di pelukanku, kamu telah jadi milikku. Dan tidak akan kubiarkan kamu pergi, hehehe…” Pak Dar tertawa terbahak-bahak melihat sang buruan sudah mulai menyadari jebakan yang ia tebar. “Safira yang cantik yang menjadi kembang kampus… telah jatuh ke dalam pelukanku, dan hanya untukku.”

Pria tersebut tahu, ia tidak akan merasakan kenikmatan yang sesungguhnya apabila memaksa Safira untuk memuaskan nafsunya saat ini. Karena itu, perlahan ia melepaskan pelukannya dari tubuh sang perempuan.

“Nanti sore sehabis kelas, kamu datang ke ruangan saya. Jangan lupa pakai baju yang menarik, kalau tidak mau - kamu tahu apa yang akan terjadi padamu,” bisik Pak Dar di telinga Safira. “Sampai jumpa lagi, Manis.”

Pak Dar kemudian mundur dari hadapan sang mahasiswi yang masih berdiri kaku di dapur rumahnya. Sebelum berpisah, sang rektor sempat menempelkan bibir mereka berdua, membuat keduanya sedikit bertukar keringat yang masih mengucur setelah aktivitas lari pagi tadi. Itu adalah ciuman pertama yang dirasakan oleh Safira dari seorang pria selain Arga, dan hal itu membuat sang perempuan merasa jijik.

Pak Dar meninggalkan Safira yang jatuh terduduk di dapurnya.

Deru mobil milik Pak Dar yang bergerak meninggalkan rumahnya pun seperti menjadi pemantik perasaan lega yang mulai muncul. Namun ancaman dari sang rektor jelas bukan sesuatu yang main-main. Safira harus berpikir keras apa yang harus ia lakukan setelah ini.

Celaka.


***​


Sehari setelah kejadian mengesalkan di rumah Ahmad, Indira memutuskan untuk melupakannya dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan di kampus. Karena itu, sejak pagi ia sudah duduk di ruangan dosen, meski jadwal mengajarnya hari ini baru ada di sesi siang.

Setelah pergi dari rumah Ahmad, dosen cantik itu langsung pulang ke rumah, dan menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya. Mereka pun tampak memahami masalah yang tengah dihadapi anak mereka, dan mendengarkan semua keluhan Indira dengan penuh perhatian.

MEF83KG_t.png


“Apa yang kamu rasakan dan lakukan itu memang benar, Indira. Meski begitu ada baiknya kita lihat dari dua sisi. Ada baiknya kalau kamu dengarkan dulu apa yang ingin dikatakan Ahmad. Apabila setelah itu kamu tetap ingin memutuskan hubungan dengan dia, Ibu pasti akan mendukung. Tapi jangan lupa berpamitan dengan Ummi, agar tidak ada syak prasangka antara keluarga kita dan mereka,” ujar sang Ibu kepada Indira semalam.

Dalam hati, Indira mengagumi betapa bijaksana Ibu yang telah membesarkannya sejak kecil tersebut. Perempuan tersebut tetap mendukungnya sebagai anak, tetapi juga memberikan pandangan baru tentang cara terbaik dalam menyelesaikan masalah ini.

Meski begitu, Indira merasa ia masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Karena itu, ia terus saja menolak panggilan telepon dari Ahmad yang berulang kali masuk ke ponselnya. Saat nanti ia telah siap, ia berniat untuk langsung pergi ke rumah kekasihnya tersebut untuk menyelesaikan semuanya. Kekecewaan itu memang ada di hati Indira, tetapi hubungan yang sudah cukup lama ia bangun dengan Ahmad tentu tidak bisa juga ia putus begitu saja.

Beberapa jam kemudian, Indira tampak sudah bisa sedikit bersantai. Seluruh tugas mahasiswa telah selesai ia koreksi. Dosen cantik itu pun seperti bingung harus melakukan apa lagi untuk mengisi waktu.

Ia pun akhirnya teringat temannya sesama dosen, Yasmin. Siapa tahu sambil makan siang, ia bisa curhat tentang kejadian yang menimpanya, dan sahabatnya tersebut bisa memberi masukan tentang apa yang harus ia lakukan terhadap hubungannya dengan Ahmad. Indira pun langsung menelepon sahabatnya itu.

“Halo, beb. Lagi sibuk gak?” Sapa Indira.

“Nggak kok. Ada apa beb?” Jawab Yasmin, dengan suara yang terdengar begitu lemas.

“Kok suara lo kayak gitu, beb. Yakin nggak lagi kenapa-kenapa?”

“Iya, yakin kok. Gue baik-baik aja. Kenapa nih tiba-tiba nelpon?”

“Hmm, gue lagi gabut neh di kampus. Mau makan siang bareng nggak?”

“Duh, sorry banget beb. Gue lupa ngabarin ya. Sekarang gue lagi di Semarang, buat dateng seminar.”

Indira pun kaget mendengar jawaban sahabatnya itu. “Oh, dari kapan lo di sana?”

“Dari weekend kemarin. Sorry banget gue belum kasih tahu, habis mendadak banget sih acaranya.”

“Oh gitu, yaudah deh.”

“Sorry banget ya, beb.”

“Santai kok. Have fun ya di sana.”

“Thank you.”

Dalam hati Indira merasa ada yang janggal, karena tidak biasanya sang sahabat pergi ke luar kota tanpa mengabarkan terlebih dahulu kepada dirinya. Acara seminar pun biasanya membutuhkan waktu beberapa hari untuk konfirmasi kedatangan, serta pengurusan administrasi ke kampus terkait biaya transportasi dan akomodasi. Hampir tidak ada istilah seminar dadakan kalau untuk urusan kampus.

“Ah, bodo amat deh. Ngapain juga gue ngurusin orang lain, masalah gue sendiri aja udah bikin pusing,” pikir Indira.

Satu-satunya pilihan lain untuk dia ajak makan siang adalah Sofyan. Namun selama ini ia hampir tidak pernah pergi keluar berdua saja dengan dosen jurusan ekonomi tersebut. Mereka selalu melakukannya bertiga, Indira, Sofyan, dan Yasmin. Karena itu, ia khawatir Sofyan atau istrinya akan berpikir yang tidak-tidak apabila tiba-tiba Indira mengajak makan siang berdua.

Saat sedang menimbang-nimbang pilihan lain, mendadak sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponsel Indira.

“Selamat siang, Bu Indira. Ini nomor saya, Agustinus.”

Dosen muda tersebut pun heran, bagaimana ayah dari mahasiswanya itu bisa mengetahui nomor teleponnya. Seingat Indira, mereka belum pernah bertukar nomor telepon di pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Dan yang lebih penting, dalam rangka apa tiba-tiba anggota dewan itu menghubungi dirinya.

Indira pun mencoba memeriksa profil sang pengirim pesan. Sebagai seorang dosen jurusan Teknik Informatika, ia tentu tidak mau sampai terjebak modus scam lewat chat yang saat ini sedang banyak beredar. Namun foto profil pengirim pesan itu jelas menunjukkan sosok ayah dari Andrew, yang sedang berpose dengan jas hitam, dasi merah, serta peci hitam khas seorang anggota dewan. Di kolom nama pun tertulis nama lengkap beliau, Agustinus Santoso, S.E., M.M., Ph.D.

Karena itu, Indira memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. Dalam hati, getaran-getaran halus yang beberapa hari sebelumnya ia rasakan saat diantar pulang oleh pria tua tersebut, kembali menyeruak ke permukaan.

“Selamat siang, Pak. Kok bisa tahu nomor saya?”

“Oh iya. Maaf kalau saya lancang. Saya minta kemarin sama Andrew. It's okay, right?”

It's okay. Saya hanya bingung saja karena tiba-tiba mendapat pesan dari Bapak. Ada yang bisa dibantu, Pak?”

“Jadi begini, saya saat ini sedang di kampus. Apa Ibu sedang di kampus juga?”

“Kebetulan iya, Pak. Nanti jam dua siang saya ada jadwal mengajar. Bapak sedang ada urusan apa di kampus?”

“Tadi saya mampir sebentar ke kantor administrasi untuk membahas tentang status Andrew. Saya tidak ingin memaksakan dia untuk segera masuk ke kampus setelah kecelakaan kemarin, karena itu saya coba tanya-tanya tentang kemungkinan mengambil cuti atau semacamnya.”

Indira semakin kagum dengan ayah mahasiswanya tersebut. Meski dia mempunyai kedudukan yang tinggi di peta politik tanah air, tetapi ia tidak lupa untuk memenuhi kewajibannya sebagai orang tua.

“Oh, iya. Karena Ibu sedang di kampus juga, boleh nggak kalau saya ajak Ibu makan siang di luar? Saya ingin bicara tentang perkembangan skripsi Andrew, dan sepertinya tidak enak kalau kita bertemu di lingkungan kampus.”

Indira mengakui bahwa perkataan Pak Agustinus ada benarnya. Janggal sekali melihat orang tua mahasiswa datang langsung ke ruang dosen untuk berbincang tentang perkembangan skripsi anak mereka. Mengobrol di tempat lain seperti kantin kampus pun akan terlihat lebih aneh lagi.

Sang dosen muda nan cantik itu sebenarnya bisa saja menolak permintaan tersebut, tetapi masih ada sedikit perasaan bersalah atas kecelakaan yang menimpa Andrew, yang justru mendorongnya untuk mengiyakan permintaan tersebut. Selain itu, ia pun ingin memastikan apakah getaran yang ia rasakan saat diantar pulang oleh sang anggota dewan tersebut bisa muncul lagi untuk kesekian kalinya.

“Memangnya mau makan siang di mana Pak?”

“Restoran yang dekat kampus saja, karena kan nanti Bu Indira harus kembali lagi untuk mengajar. Bagaimana?”

Indira pun berpikir untuk terakhir kalinya, sebelum menyetujui ajakan tersebut. “Boleh deh, Pak. Tapi nanti boleh antar saya kembali ke kampus, takut telat untuk mengajar.”

“Tentu boleh dong. Nanti setelah makan siang pasti saya antar kembali ke kampus. Kebetulan hari ini saya sudah mengosongkan jadwal demi mengurus kuliah Andrew.”

“Oke kalau begitu. Mau ketemu di mana, Pak?”

“Kebetulan saya sedang parkir di seberang Gedung 1. Ibu bisa ke sini saja?”

“Baik, tunggu sebentar ya, Pak. Saya siap-siap sebentar, kemudian turun ke bawah,” ketik Indira mengakhiri percakapan tersebut.

Sebelum meninggalkan ruangan, Indira menyempatkan diri untuk memasukkan beberapa barang ke dalam tas tangan miliknya. Tak lupa, ia juga merapikan kerudung, menyemprotkan parfum, serta menambahkan sedikit make up di wajahnya. Ia sendiri pun heran mengapa ia perlu melakukan hal-hal tersebut.

Kenapa? Kenapa rasanya dia ingin tampil lebih cantik di depan Pak Agustinus? Kan tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka berdua. Atau… atau memang Indira menginginkan sesuatu dari hubungannya dengan Ayah Andrew?

Haish!

Mikir apaan kamu, Indira? Kami masih belum menyelesaikan masalah dengan Ahmad yang sudah bersiap untuk menyunting kamu. Pastikan dulu.

Batin sang dosen muda itu pun bergejolak.


***​


Saat telah sampai di gerbang utama Gedung 1, Indira bisa melihat dengan jelas sebuah mobil Camry berwarna hitam sedang berhenti di area parkir. Meski baru sekali menumpang mobil tersebut, ia sudah tahu bahwa itu adalah mobil milik Pak Agustinus. Setahu dia, tidak ada dosen atau mahasiswa yang biasa membawa mobil mewah keluaran baru tersebut ke kampus.

Seperti yang dikatakan Pak Agustinus, Indira memang hanya perlu menyeberang jalan utama untuk sampai di area parkir tersebut. Saat akan menyeberang, dosen berjilbab tersebut bisa melihat sosok ayah Andrew yang baru saja keluar dari mobilnya. Pria tua itu tampak berdiri menunggu Indira tepat di sisi kanan kendaraan.

Hari ini, Pak Agustinus kembali mengenakan kaos polo lengan pendek yang memperlihatkan lengannya yang berbulu. Meski begitu, ia mengenakan celana panjang berbahan kain yang membuat penampilannya tetap dianggap cukup sopan untuk datang ke kampus. Dalam hati, Indira kembali tertegun akan postur tubuh anggota dewan tersebut yang begitu kekar meski usianya sudah tidak muda. Kulitnya yang gelap pun menambah sensasi tersendiri di mata dosen cantik itu.

Indira kembali bimbang akan pilihan hatinya. Apakah mungkin kini ia tertarik kepada orang tua mahasiswanya sendiri, yang tentu tidak akan bisa ia miliki secara utuh karena perbedaan keyakinan mereka? Padahal ia masih mempunyai Ahmad, yang mempunyai keyakinan sama dan siap mempersuntingnya. Tapi di sisi lain, Ahmad telah menampakkan sisi buruknya yang sering berbohong dan melakukan kekerasan, sedangkan Pak Agustinus tampak begitu lembut dan halus.

Kebimbangan itu tanpa sadar terbawa oleh Indira saat ia menyeberang jalan, hingga perempuan cantik itu tak sadar adanya mobil yang melaju kencang ke arahnya. Akhirnya, ia pun terlambat bereaksi, dan…

Bruuaaaaaakkkkkkk!!!

Pandangan Indira melayang ke arah langit, lalu suasana terasa hening.

“Indiraaaaa…!!!”

Terdengar teriakan seorang pria, tetapi napas perempuan tersebut tiba-tiba terasa sesak.

“Hoooiiii… Jangan pergi lo… Kejaaaaarrrr!!”

Mata Indira berkunang-kunang, semuanya mulai terasa gelap.

“Bu Indira … kamu tidak apa-apa?”

Perempuan berjilbab itu merasakan perih di tubuhnya, tapi ia tidak bisa menggerakkannya sama sekali. Mulutnya pun seperti terkunci, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hal terakhir yang ia rasakan adalah lengan kuat penuh bulu yang seperti menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, kesadarannya pun hilang secara sempurna.


***​


Di sebuah kamar kos, terdengar suara lenguhan dan desahan sepasang pria dan wanita muda yang bersahut-sahutan tanpa henti. Keduanya telah sama-sama telanjang, tanpa sehelai busana pun menempel di tubuh mereka. Ranjang berukuran sedang yang bersentuhan langsung dengan lantai kamar menjadi saksi bisu pergumulan dua insan di atasnya.

“Ahh… Mir… Terus, Mir… Enak banget genjotan lo… Nghhh…” ujar sang pria yang sedang dalam posisi tergeletak di atas ranjang.

Di atasnya, seorang perempuan yang tubuhnya berisi sedang menaikturunkan tubuhnya di atas selangkangan sang pria berwajah tampan tersebut. Perempuan tersebut kelihatan sudah begitu pengalaman karena meski tubuhnya lebih besar dari rata-rata temannya, gerakan pinggulnya masih tetap lihai mengobrak-abrik kemaluan sang pria.

Tanpa diperintah, sang pria yang sehari-hari menjadi idaman para mahasiswi muda di kampus tersebut langsung meremas payudara putih nan mulus milik sang perempuan yang tersaji tepat di hadapannya. Semakin kencang goyangan pinggul sang perempuan yang rambutnya telah tergerai itu, semakin kencang pula remasan tangan sang pria di payudaranya. Sesekali, sang pria pun mengusap-usap puting payudara sang perempuan hingga menegang.

“Oh… Iyaaaahhh… Amiraaaa… Ayo lebih kencang lagi goyangannya, sayang,” ujar sang pria.

Diperintah seperti itu, perempuan bernama lengkap Amira Ramadhani itu pun menurut. Ia mempercepat gerakan pinggulnya naik turun di atas tubuh sang pria, hingga lawan mainnya tersebut kewalahan. Sang perempuan tampak benar-benar menikmati batang kelelakian sang pria, yang berukuran cukup besar, dan tengah ia tunggangi dengan liar.

“Mmmhhh… Arrgaaa… enak banget sih kontol lo yang gede iniii… Ohhhh,” balas Amira sambil terus menghentak-hentakkan pinggulnya yang montok di atas selangkangan Arga Hartanto, yang mulai tampak kewalahan mengimbangi gerakan erotis nan binal perempuan tersebut. “Lo emang gak cuma ganteng… tapi permainan kontol juga bikin gue terbaaaaaaaaang… ahhhhh…”

Desahan demi desahan yang keluar dari bibir seksi Amira seperti menjadi pembakar semangat Arga untuk terus menggenjot vagina perempuan tersebut. Di sisi lain, liang senggama sang perempuan pun telah begitu becek karena tusukan dan gesekan batang penis pria tampan itu yang berkali-kali menghujam hingga mentok ke dalam. Ini memang bukan pertama kalinya mereka berdua bersetubuh, tapi di setiap kesempatan selalu saja ada kenikmatan baru yang mereka raih, sehingga keduanya seperti tak pernah bosan untuk terus beradu birahi.

“Gue gak kuat sayaaaanggg… Cepet lo balik ke bawaahhh…” Perintah Arga sambil melepaskan penisnya dari liang senggama Amira.

Sang perempuan pun tidak perlu diperintah dua kali, dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas ia bisa melihat batang kontol milik pasangannya yang sudah tegang maksimal, di balik bulu-bulu kemaluan tipis yang menghiasi selangkangannya.

Dengan cepat, Arga langsung membuka bungkus sebuah kondom yang tergeletak di lantai, lalu memasangkannya ke penisnya. Tanpa menunggu lama, ia kembali menghujamkan kemaluannya yang sudah dipasang pengaman itu ke dalam vagina Amira, dan langsung menggenjotnya dengan gerakan maju mundur.

“Duhhh… enak banget sih memek lo, Miiirrrr… Gak bosen-bosen gue ngentotin memek lo iniiii… Nggghhh.”

“Terus tusuk kontol lo, Gaaaa… Tusuk yang kenceng sampe daleeeemmm… Ahhhhhh…”

“Suka banget gue ngentotin cewek yang badannya curvy kayak looooo… anget banget rasanyaaaaaaa…!!.”

“Genjot yang kenceng, Argaaaaa… muncratin peju lo di memek gueeeeee…”

Demi menambah nafsu birahi sang perempuan, Arga pun mulai menjilat dan mengemut buah dada Amira yang kiri dan kanan secara bergantian. Rangsangan tersebut pun membuat tubuh Amira menggelinjang.

“Anjiiiinngg… Argaaaaa… Enak banget sih emutan looo… Nggghhh…”

Arga hanya tersenyum, dan terus mengemut-emut puting payudara Amira, sambil memaju mundurkan pinggulnya demi memuaskan liang senggama sang perempuan. Hanya butuh waktu beberapa menit sebelum keduanya merasa hampir sampai di puncak birahi masing-masing.

“Gue mau nyampe, Gaaa …. Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh …”

Terdengar lenguhan panjang dari mulut Amira, yang diiringi oleh getaran hebat yang melanda tubuhnya. Di saat yang sama, dinding kemaluan sang perempuan pun menjepit batang penis Arga dengan sangat kuat, membuat sang lelaki akhirnya juga mengeluarkan orgasme pertamanya hari ini.

“Aaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhh …”

Tubuh Arga langsung ambruk menindih Amira, hingga keduanya saling berpelukan mesra. Namun beberapa saat kemudian, Arga sudah menarik penisnya dari vagina sang perempuan, dan langsung beranjak ke kamar mandi yang berada di kamar tersebut untuk melepaskan kondom yang ia kenakan.

Biasanya, Amira akan mengikuti sang pria untuk membersihkan tubuhnya. Namun kali ini ia merasa lebih lelah dari biasanya, dan memutuskan untuk membersihkan vaginanya dengan tissue basah saja. Setelah itu, perempuan itu kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Kamar tempat mereka berdua berada saat ini berukuran tidak terlalu besar. Tidak banyak perabot yang ada di sana, karena kamar tersebut memang jarang ditinggali. Arga sengaja menyewa kamar tersebut hanya untuk aktivitas spesial antara dirinya dan Amira. Menurutnya, menyewa kamar kos seperti itu lebih murah dibanding mereka harus membayar kamar hotel setiap kali ingin bermain cinta.

Beberapa menit kemudian, Arga sudah kembali dari kamar mandi dan ikut merebahkan tubuhnya di samping Amira. Dengan gemas, ia menggerakkan tangannya untuk memainkan payudara Amira yang memang berukuran besar, sekaligus mencium bibirnya yang sensual.

“Thanks ya, Mir. Enak banget memek lo hari ini,” ujar Arga sambil memainkan lidahnya untuk beradu dengan lidah Amira.

“Jadi, biasanya gak enak? Ih nyebelin…” Jawab Amira begitu sang pria melepas kecupannya.

“Biasanya enak, hari ini enak banget, hahaha …”

“Enak sih enak, tapi jangan lupa yang biasanya,” ujar Amira sambil mengedipkan mata ke arah pria tampan di hadapannya.

“Oh, tenang kalau soal itu,” jawab Arga sambil tersenyum. Pria tersebut kemudian mengambil dompetnya yang tergeletak di samping ranjang, dan mengeluarkan lima lembar uang nominal seratus ribu. “Seperti biasa kan? Pokoknya aman asal kamu tetap sayang sama aku…”

Amira pun mengangguk, lalu mengambil uang tersebut dan memasukkannya ke dompetnya sendiri. Ia pun mengucapkan rasa terima kasihnya dengan cara memeluk tubuh bugil sang pria, dan mengecup bibirnya dengan liar. Tubuh telanjang mereka pun saling bersentuhan, menciptakan kehangatan seksual di antara keduanya.

“Duh, jadi pengin lagi kan… Tapi masih belum berdiri neh… Hehehehe,” ujar Arga sambil tersenyum.

“Iya, nggak apa-apa, sayang. Kamu istirahat dulu aja. Biasanya kan juga begitu, kamu harus bobo dulu sebelum ronde kedua.”

“Aih, kamu udah paham banget. Aku istirahat dulu ya,” lanjut Arga sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi membelakangi Amira. Sang perempuan pun tersenyum sambil mengelus-elus kepala Arga dengan lembut.

Hubungan Arga dengan Amira memang tidak hanya soal seks. Di awal hubungan mereka, sang pria memang cukup intens mendekati Amira dan mengajaknya berhubungan badan, sesuatu yang tidak ia dapatkan dari Safira, kekasihnya sendiri.

Setelah berkali-kali dirayu, Amira yang memang sudah punya pengalaman bersetubuh dengan pria lain sebelumnya, akhirnya menyerah. Ia pun mengiyakan ajakan Arga, tetapi dengan syarat sang pria harus memberinya imbalan setiap kali mereka bersenggama. Sang pria yang memang berasal dari keluarga berada, tidak bermasalah dengan hal itu.

Secara ekonomi, Amira memang tidak sebaik kedua sahabatnya, Safira dan Naura. Perceraian kedua orang tuanya membuat perempuan tersebut hanya bisa bergantung pada ibunya yang menjalankan bisnis pakaian perempuan. Usaha tersebut juga tidak begitu besar, sehingga pendapatan sang ibu hanya cukup untuk biaya kuliah dan uang jajan seadanya. Amira pun jadi tidak bisa membeli makanan yang enak dan pakaian yang bagus seperti teman-temannya yang lain.

Itulah mengapa perempuan yang tubuhnya berisi itu akhirnya membuat kesepakatan finansial dengan Arga. Pria tersebut bisa menikmati tubuhnya kapanpun dia mau, selama ia memberikan sejumlah uang kepada Amira. Di sisi lain, sang perempuan juga menikmati persenggamaan mereka. Permainan seksual Arga tidak terlalu buruk, ukuran penisnya juga cukup memuaskan. Satu-satunya kekurangan pria tersebut adalah ia butuh waktu untuk bisa langsung bermain cinta kembali setelah orgasme. Namun Amira tidak bermasalah dengan itu.

Seperti yang terjadi hari ini, di mana Arga langsung tumbang setelah mengeluarkan spermanya. Amira pun memanfaatkan waktu tersebut untuk membuka akun twit**ter miliknya. Selain akun utama yang ia gunakan untuk memantau cuitan orang-orang terkenal dan teman-temannya setiap hari, Amira sebenarnya juga mempunyai akun lain (biasa disebut akun alter) yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan beberapa kenalan di dunia maya. Di akun alter ini, ia tidak menggunakan nama dan foto asli, serta rutin mengikuti akun-akun yang sering membagikan konten dewasa, alias not safe for work (NSFW)

Salah satu hal yang sering ia lakukan dengan akun alter miliknya adalah memantau akun menfess, yang menampilkan cuitan-cuitan anonim dari para followernya.

Contohnya seperti tweet yang baru saja Amira baca: “Nanti malem ada yang mau nemenin ngeroom gak, lagi suntuk bgt sama kerjaan. Benefitnya bisa dibicarakan. Prefer yang petite tapi di luar itu oke. No HS (having sex) yaa & All bils on me. M28 bks.”

Amira membaca tweet itu sambil lalu, karena sang pengirim meski tinggal di dekat ibu kota, tetapi mencari yang tidak langsung berhubungan seks, padahal Amira suka pria yang langsung to the point. Ia pun mencari perempuan yang tubuhnya petite alias kurus, jauh berbeda dengan postur Amira yang gemuk.

Perempuan itu pun membaca tweet selanjutnya: “Staycation yuk F ibu kota nanti malam. Split bills ya, M25.”

Meski dari segi jarak dan usia sudah masuk di kriteria, tetapi Amira tentu enggan ikut membayar untuk staycation dengan orang yang tidak ia kenal. Ia pun mencari lagi tweet yang sesuai dengan minatnya.

Akhirnya, ia menemukan sebuah tweet yang menarik perhatiannya: “Any F curvy sekitaran ibu kota yang pengin jadi FWB (Friends With Benefit) gue? Benefit bisa didiskusikan. Rep aja nanti gue DM. M30 single di sini.”

Amira pun tertarik dan langsung mengirimkan tiga huruf di kolom reply “HMU”, alias hit me up. Itu adalah penanda bagi sang pengirim tweet, bahwa Amira tertarik akan tawarannya. Bila sang pengirim juga tertarik, maka ia bisa langsung mengirimkan pesan lewat kolom reply atau langsung melalui direct message (DM). Setelah itu, Amira pun coba melihat-lihat cuitan-cuitan lain, meski tidak ada yang mencuri perhatiannya.

Tak lama, seorang pengguna dengan akun “AF_Tampan1992” mengirim DM kepadanya. Pesan tersebut berbunyi. “Hi, aku sender. Boleh kenalan? Tertarik buat FWB-an?”

Amira pun tersenyum, dan mulai memberikan balasan kepada sang pemilik akun tersebut. Perempuan itu melirik ke arah Arga, yang ternyata masih terlelap tidur di sebelahnya. Ia pun merasa aman.

“Boleh.”

“Usia berapa? Dom ibu kota juga?”

“F21. Iya, ibu kota juga,” Amira sengaja hanya membalas dengan singkat. Ia ingin mengetes keseriusan pemilik akun tersebut.

“Serius mau FWB-an? Benefit apa yang kamu harapkan?”

“Kalau kamunya serius, kenapa nggak. Emang mau kasih benefit apa?”

“Berapa pun yang kamu mau, asal sama-sama suka.”

Amira cukup tertarik dengan lawan bicaranya yang cukup percaya diri dan lumayan agresif. Pria-pria yang uangnya pas-pasan dan hanya mau bersetubuh tanpa mau membayar, biasanya tidak akan seagresif itu.

“Atau kita ketemu dulu, ngopi-ngopi santai gitu. Biar ngobrolnya enak. Gmana?”

“Boleh, tapi bisa isiin dompet digital aku dulu nggak?”

“Berapa?”

“500 ribu.”

“Oke, kirimin nomornya aja ya.”

Amira pun langsung mengetikkan nomor rekeningnya, dan dalam waktu singkat saldo di dompet digitalnya bertambah sesuai nominal yang ia minta. Perempuan tersebut pun yakin bahwa sang pria benar-benar serius ingin menjadikannya pasangan kencan. Meski telah bersama dengan Arga, ia rasa tidak masalah sekali dua kali berhubungan dengan pria lain.

Apalagi kalau pria lainnya ini ternyata jauh lebih kaya dan bisa kasih perhatian lebih dibanding Arga, pikir Amira.

“Sudah diterima belum?” Tanya sang pengirim pesan.

“Sudah neh, makasih ya.”

“Jadi, bisa ketemu kapan?”

“Hmm, besok boleh.”

“Oke. Di Kedai Kopi Hijau, Mall Pusat, mau?”

“Boleh. Tapi aku badannya gede lho, kamu nggak apa-apa?”

“Justru aku cari yang berisi, hee. Sampai ketemu ya.”

“Oke, sampai ketemu.”

Amira tampak tersenyum. Pria yang baru saja berbincang dengannya di twit**ter itu tampak percaya sekali bahwa Amira nanti akan datang. Padahal, bisa saja sang perempuan menolak datang ke lokasi yang dijanjikan dan membawa kabur uang yang telah ditransfer.

Namun untungnya Amira bukan perempuan seperti itu. Ia justru melihat keseriusan dari sang pria, dan tertarik untuk mengetahui lebih lanjut sosok pria tersebut. Ia pun melihat nama di rekening yang baru saja mentransfer sejumlah uang untuknya. Nama pria tersebut adalah Ahmad Fathullah.


***​


Di dalam sebuah bar, seorang perempuan muda tampak sedang meminum segelas bir, ditemani oleh seorang pria yang tampak sebagai kekasihnya. Perempuan tersebut tampak sudah mulai kehilangan kesadaran karena gabungan pengaruh alkohol serta rasa kantuk karena hari yang sudah hampir tengah malam.

“Na, udah dong. Ini udah berapa botol lo minum malam ini. Udah ya, sayang,” ujar sang pria memaksa perempuan bernama Naura Salsabila tersebut untuk berhenti menenggak minuman beralkohol di hadapannya. Pria bernama Fadil itu tampak benar-benar khawatir akan kondisi sang kekasih.

“Ih apaan sih, beb. Tenang aja, gue masih kuat kok…”

“Na…”

“Semua sahabat gue udah ninggalin gue, jadi cuma ini caranya gue buat senang-senang,” ujar Naura dengan mata yang sudah hampir tertutup dan nada bicara yang kacau.

Sebelumnya, perempuan tersebut memang telah menceritakan apa yang terjadi dengan kedua temannya, Amira dan Safira, kepada sang pacar. Dengan bijak, Fadil pun mendengarkan seluruh keluh kesah pasangannya, dan menganjurkan Naura untuk bersabar dan mencari kesenangan selain bersama para sahabatnya tersebut. Namun ternyata Naura justru mencari pelarian dengan minum berbotol-botol bir, yang justru berbahaya untuk dirinya.

“Malam ini lo nginep di kosan gue ya,” ujar Fadil.

“Ihhhh… Mau ngentotin gue lagi lo ya, hahaa …” ujar Naura. Secara reflek, Fadil langsung menutup mulut sang pacar dengan tangannya, agar racauan ngaconya tidak terdengar oleh pengunjung bar yang lain.

“Bukan begitu, beb. Tapi gue khawatir lo gak bisa sampe rumah kalau udah mabok kayak gini.”

“Nggak bisa, beb. Kalau nggak pulang nanti malah bokap nyokap gue nyariin, bisa dilarang keluar keluar lagi nanti.”

“Kalau gitu gue anterin pulang aja ya?”

“Tenang aja, beb. Gue udah pesen taksi online kok … Neehhhh …” ujar Naura sambil menunjukkan layar ponselnya ke arah sang pacar. Fadil pun sedikit lega, meski dalam hati ia masih merasa khawatir.


***​


Beberapa menit kemudian, sebuah mobil MPV tampak berhenti di depan bar. Fadil telah menunggu di sana, sambil merangkul tubuh pacarnya yang sudah setengah sadar. Setelah memastikan bahwa mobil tersebut memang taksi online yang dipesan Naura, Fadil pun membantu kekasihnya tersebut masuk ke dalam mobil.

“Lo yakin bisa pulang dalam kondisi begini, beb?”

“Bisa, beb. Lo tenang aja. Nanti sampe rumah gue tinggal buka kunci rumah, masuk kamar, terus kunci biar gak ada yang masuk sampe pagi. Beressssssss …”

“Oke, deh,” Fadil akhirnya menyerah. Ia kemudian bergeser ke jendela sang pengemudi mobil. “Pak, titip pacar saya ya. Nanti kalau sampe rumah dia gak sadar, Bapak bangunin aja. Atau bangunin orang di rumahnya.”

“Siap, Mas,” ujar sang pengemudi.


***​


Tak sampai 45 menit, Ferdian Jayadi telah sampai di titik pengantaran yang ditampilkan aplikasi taksi online miliknya. Ia sedikit merasa menyesal terus mengambil penumpang hingga larut malam, karena aplikasi tersebut terus mengarahkan dirinya ke rute yang menjauhi tempat tinggalnya.

“Tahu gini, tadi gue langsung pulang aja, gak usah ngambil-ngambil penumpang lagi,” gumam Ferdian dalam hati.

Malam ini, Ferdian memang beroperasi lebih malam dari biasanya. Pria berusia 30 tahun tersebut sedang malas pulang cepat ke rumah, karena istrinya yang bernama Yasmin Wulandari sedang pergi ke luar kota. Karena itu, pria tersebut lebih memilih untuk mencari tambahan uang dengan terus mencari penumpang, meski akhirnya ia menyesal.

“Sedang apa ya istriku sekarang?” Gumam Ferdian sambil melirik ke arah ponselnya. Malam ini ia sudah berkali-kali coba menelepon sang istri, tapi tidak kunjung diangkat. Ia pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan menoleh ke belakang.

Penumpang yang tadi ia jemput di sebuah bar tampak sedang tertidur pulas di bangku belakang. Meski posisi duduk mereka cukup jauh, tetapi Ferdian masih bisa mencium bau alkohol yang begitu kuat keluar dari mulut sang perempuan.

“Duh, PR banget neh musti ngurusin penumpang mabok,” gerutu Ferdian.

Pria tersebut pun memutuskan untuk melepas sabuk pengaman, mematikan mesin, dan turun dari kursi pengemudi. Ia melihat daerah di sekitar tempatnya berhenti, ada beberapa rumah di sana yang jaraknya cukup berjauhan. Namun semua rumah tersebut tampak gelap, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Ia prediksi penumpangnya tersebut tinggal di rumah nomor 10, sesuai keterangan yang ada di aplikasi. Namun rumah yang dimaksud pun dalam keadaan tertutup, sehingga ia tidak mungkin membuka pagarnya begitu saja. Ferdian pun memutuskan untuk membuka pintu di bangku belakang dan duduk di sebelah penumpangnya tersebut.

“Mbak, bangun Mbak. Sudah sampai neh …” ujar Ferdian sambil menepuk-nepuk pundak perempuan tersebut. Penumpang itu tidak kunjung bangun.

Diam-diam, Ferdian mengamati wajah penumpangnya tersebut yang tampak begitu manis, meski dalam kondisi tertidur pulas. Meski bau alkohol dari hidung dan mulutnya tercium jelas, tetapi harum parfum yang ia kenakan juga masih terasa. Saat itu, perempuan tersebut hanya mengenakan kemeja putih dan rok berwarna merah yang hanya menutup sampai setengah pahanya.

Melihat pemandangan tersebut, jakun Ferdian pun bergerak naik turun. Ia meneguk ludah yang tertahan di kerongkongannya, dan nafasnya terasa kian cepat. Sejak awal, ia tidak terlalu memperhatikan sosok penumpangnya tersebut karena kondisi mobil yang gelap. Namun saat berdekatan seperti ini, Ferdian baru menyadari betapa indah tubuh penumpangnya tersebut, dan betapa cantik parasnya. Kulit perempuan muda itu begitu putih, dengan rambut hitam sebahu yang tampak berwarna pirang di ujungnya.

Hal pertama yang menarik perhatian Ferdian adalah payudara sang perempuan yang cukup membusung. Kemeja yang dikenakan perempuan tersebut pun hanya dikancing dari lobang ketiga hingga ke bawah, sehingga dari posisinya duduk sekarang Ferdian bisa melirik ke belahan dada sang perempuan yang tertutup bra berwarna merah.

“Anak ini kayaknya masih 20an tahun, masih kinyis-kinyis banget dibanding istri gue,” gumam Ferdian lirih.

Pria tersebut pun semakin nekat. Setelah melihat kondisi sekitar mobilnya yang sepi, dan perempuan tersebut yang masih tertidur pulas, ia coba melepas satu lagi kancing kemeja sang perempuan … dan berhasil. Payudara perempuan tersebut pun kini terbuka bebas. Dengan berani, Ferdian coba menyentuh bra merah milik sang perempuan, dan meremasnya pelan.

“Damn… empuk banget toketnya …” ujar Ferdian dengan wajah penuh nafsu.

Pria yang baru saja menikah tersebut mulai berani menyentuh belahan dada sang perempuan yang tidak tertutup bra. Ia bisa merasakan kelembutan kulit di bagian tubuh sensitif perempuan tersebut, sehingga secara otomatis kemaluan di balik celananya pun jadi membesar.

“Ahh, begini aja langsung konak gue. Apalagi bisa emut-emut toketnya secara langsung.”

Tak lama kemudian, Ferdian pun menyadari bahwa ada target lain yang lebih menggiurkan. Ia mengarahkan tangannya ke paha penumpangnya tersebut, dan coba menariknya ke atas dengan perlahan. Dengan mudah, ia bisa melihat celana dalam yang menutupi vagina sang perempuan.

“Anjing… bra sama celana dalamnya sama-sama merah, bikin horny banget.”

Sambil menggigit bibir bawahnya, Ferdian coba mengelus-elus paha putih sang perempuan yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Kulit paha tersebut terasa begitu lembut dan kencang, hingga tangannya tak tahan untuk meremasnya sedikit lebih kuat.

“Ngghh … “ Tiba-tiba perempuan tersebut bergerak, dan menjatuhkan tas tangannya ke lantai mobil.

Secara reflek, Ferdian pun bergerak menjauh agar tindakan mesumnya tidak ketahuan. Tetapi sang perempuan tampaknya kembali tertidur pulas. Ia hanya mengigau. Ferdian coba memastikan dengan menunggu beberapa lama, tetapi perempuan tersebut tidak kunjung bangun.

Setelah merasa aman, Ferdian pun mengambil tas tangan sang perempuan dan meletakkannya di tempat semula. Sebuah dompet kecil tampak ikut terjatuh, dan suami dari Yasmin tersebut turut mengambilnya. Sebelum meletakkan dompet tersebut, ia sempat melihat isinya. Ada sebuah kartu mahasiswa yang terselip di sana.

“Naura Salsabila, Fakultas Sosial Politik, Universitas Jaya Abadi. Wahh… Jangan-jangan dia mahasiswi bini gue,” gumam Ferdian.

Ia sempat khawatir kalau aksinya tadi akan ketahuan, dan terdengar ke telinga istrinya. Namun Naura tidak kunjung bangun dari tidurnya, sehingga Ferdian pun merasa tertantang untuk bertindak lebih jauh.

Pria tersebut kini coba mendekatkan hidungnya ke selangkangan Naura yang sudah terbuka sebagian. Ia menghirup aroma yang menyeruak dari vagina sang perempuan, meski masih tertutup celana dalam.

“Ahhh … nikmat banget bau memek mahasiswi muda kayak si Naura ini,” ujar Ferdian.

Ia pun semakin berani mendekatkan kepalanya ke sela-sela paha Naura, hingga tanpa sengaja hidungnya bersentuhan langsung dengan bagian paha dalam sang perempuan.

“Nggghhh… Sudah sampai ya, Pak?”

Naura kini tampak sudah benar-benar terjaga. Kelopak matanya terbuka, dan ia langsung berusaha mencerna sedang berada di mana dia sekarang.

“Iya, Mbak. Sudah sampai rumah neh. Baru saya mau bangunkan,” ujar Ferdian dengan gugup. Ia merasa beruntung telah berada di posisi yang cukup jauh dari perempuan muda tersebut. Ia kini hanya bisa berharap Naura tidak sempat menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

“Owhh … ya sudah. Terima kasih ya, Pak.”

Tanpa menunggu lebih lama, Naura langsung berjalan dengan gontai menuju rumahnya. Dan ternyata benar tebakan Ferdian, bahwa perempuan muda itu memang tinggal di rumah nomor 10. Meski sudah begitu mabuk, Naura tampak masih bisa mengenali jalan menuju rumahnya dengan baik.

“Hmm, kok kancing gue kebuka banyak banget sih,” gumam Naura saat membuka pintu pagar. “Ah, pasti kerjaan si Fadil neh. Punya pacar mesum banget deh.”

Di belakangnya, Ferdian tampak masih berdiri sambil tersenyum penuh arti.

(Bersambung)
 
Terima kasih updatenya bro..sayangnya kedua cewek fav yasmin dan laras tidak muncul, malah cewek pemain pendukung yg muncul semua..
 
Safira oh Safira, Kamu Bermain Dengan Serigala Lapar Bukan Kucing Yang Bisa Kamu Ajak Bermain Main. huehuehue

Bu Indira Mulai Nyaman nii Dengan Aura Pak Agustinus, Karena Perilaku Buruk Ahmad Kepada nya. Belum Lagi Kecelakaan Yang Menimpa Bu Indira, Momen Buat Pak Agustinus Masuk ke Hati nya Bu Indira. hurhurhur

Duo Mahasiswi Cantik Yang Saya Pikir Akan Berperan Maksimal di Next Episode Selanjutnya. Amira & Naura. Mahasiswi Yang Bermain Dengan Pasangan Para Dosennya. Amira Yang Bermain Nakal Dengan Ahmad. Naura Yang Bermain Dengan Ferdian, GAWAT !!! Tas Naura Ketinggalan Lagi. huehuehue. Momen Untuk Ferdian Masuk nii

Next Bu Yasmin & Laras yaa SUHU. Kangen Holiday Bu Yasmin di Semarang. Laras Yang Bermain Nakal Dengan Pak Yooo. huehuehue
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd