Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Semoga Besok Om. huehuehue. Biar Menjadi Kado Natal Untuk Semprot Lovers. Kangen Advanture Bu Yasmin di Semarang. Dan Juga The One And Only Laras & Pak Yoo Memadu Cinta. huehuehue
 
Part 13: Gairah Baru

Cahaya matahari menyeruak ke dalam kamar, tanpa bias malu-malu langsung masuk menerangi ruang.

Seorang wanita berparas cantik merasa menyesal tidak menutup gorden kamarnya tadi malam. Akibatnya, ketika matahari mulai meninggi, cahayanya yang menyilaukan langsung menembus ke dalam kamar yang berada di lantai lima, tanpa permisi dengan serta merta menghangatkan kelopak mata sang perempuan yang masih terasa berat.

“Huaaaaaaahhhh…” mulut perempuan itu menguap cukup lebar, menjadi penanda betapa lelahnya ia setelah tidur semalaman.

Saat matanya mulai terbuka, perempuan itu pun mencoba mengingat tempat di mana dia berada sekarang. Ia memandang ke sekeliling kamar, tidak ada siapa pun di sana. Dari perabotnya, ia merasa sedang berada di kamar hotel. Koper besar miliknya tergeletak di samping lemari pakaian, yang artinya kamar ini adalah kamarnya sendiri.

“Aduhh… Pusing banget kepala gue,” gumam sang perempuan sambil memegang kepalanya di bagian kiri.

Ia ternyata masih mengenakan pakaian yang tidak seharusnya ia gunakan untuk tidur. Untuk atasan, dia memakai kaos lengan panjang berwarna hitam, yang dilapisi dengan jaket berbahan denim biru muda yang juga menutupi hingga ujung lengannya. Ia pun masih mengenakan celana panjang berwarna hitam. Dan yang paling aneh, dia masih memakai jilbab berwarna biru muda, meski posisinya sudah berantakan karena gerakan-gerakan tubuhnya saat tidur.

Dengan tubuh yang masih lemas, perempuan tersebut bangkit untuk melepas jilbabnya, hingga rambutnya yang panjang sepunggung tergerai bebas. Ia kemudian menanggalkan jaketnya, dan melemparkannya begitu saja di atas ranjang. Karena itu, payudaranya yang besar pun langsung tampak menonjol di balik kaos hitamnya yang ketat.

Sang perempuan mencari ponsel yang ternyata berada di dalam tas tangan berwarna merah muda. Tas tersebut tergeletak begitu saja di atas meja nakas, di samping tempat tidur. Ia pun memeriksa waktu, yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Namun yang paling membuat perempuan tersebut kaget adalah panggilan telepon tak terjawab yang banyak sekali jumlahnya. Semuanya berasal dari satu nomor, yaitu nomor milik suaminya Ferdian Jayadi.

Perempuan tersebut pun panik, dan langsung menelepon suaminya. Untungnya, sang suami langsung menjawab.

MEHN2HR_t.png


“Halo? Yasmin?”

“Iya, halo, Mas. Selamat pagi… sudah bangun?”

“Ya sudah lah! Kamu pikir ini jam berapa? Semalam kamu ke mana saja?” Bentak sang suami kepada perempuan bernama Yasmin Wulandari itu.

Yasmin menghela napas panjang, demi meredam emosinya. Siapa sih yang tidak kesal pagi-pagi, dalam kondisi baru bangun tidur, langsung dibentak seperti itu.

“Maaf, sayang. Semalam aku ketiduran,” ujar Yasmin dengan nada bicara yang lembut, tidak ingin meladeni kata-kata kasar suaminya.

“Beneran tidur? Bukan jalan sama cowok lain?”

“Astaghfirullah… Kok bisa-bisanya kamu berpikiran seperti itu sih Mas?”

“Ya kan aku nggak tahu kamu di sana lagi ngapain, sama siapa, ada di mana.”

“Berani sumpah, Mas. Aku semalam cuma makan malam sama Pak Bas, setelah itu aku pulang ke hotel. Entah kenapa aku pusing banget, makanya langsung tidur.”

“Terserah kamu lah. Aku kan juga tidak tahu.”

Lama-kelamaan, Yasmin mulai merasakan sesuatu yang tidak pernah ia ketahui sebelum menikah dengan pria yang sedang berada di ujung sambungan telepon tersebut. Ferdian ternyata merupakan tipe pria yang posesif, dan selalu ingin tahu apa yang dilakukan pasangannya setiap saat. Di masa pacaran, Yasmin menganggap itu sebagai perhatian yang menyenangkan. Namun setelah menikah, sifat tersebut terasa begitu menyebalkan.

Ada yang mengatakan bahwa sikap seperti itu adalah akibat dari rasa tidak percaya sang suami kepada istrinya, sehingga ia tidak yakin sang istri tidak akan bermain serong di belakangnya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa rasa posesif itu muncul karena kurangnya rasa percaya diri sang pria, sehingga ia takut ditinggalkan begitu saja oleh pasangannya.

Selain itu, hal lain yang mulai diketahui Yasmin dari sang suami adalah sikapnya yang sering acuh tak acuh bila mereka berdua sedang mendiskusikan sesuatu. Pria tersebut sering sekali berkata “Masa bodo”, “Terserah”, dan “Gak mau tahu”, bila keduanya sedang mencari solusi dari sebuah permasalahan. Bila itu terjadi, Yasmin jadi merasa harus memecahkan masalah tersebut sendirian.

“Kamu hari ini mau mulai cari penumpang jam berapa Mas?” Tanya Yasmin berusaha mengalihkan topik.

“Sebentar lagi,” jawab Ferdian yang sehari-hari berprofesi sebagai pengemudi taksi online.

“Sudah makan belum?”

“Belum, nanti saja di jalan.”

“Kamu yang semangat ya cari uangnya, tetap jaga kesehatan dan keselamatan.”

“Iya.”

Meski hanya lewat sambungan telepon, Yasmin bisa merasakan nada ketus dari jawaban-jawaban singkat sang suami. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengakhiri obrolan tersebut.

“Ya sudah. Aku mau kerja dulu ya, Mas. Bye.”

“Bye.”

Perempuan tersebut kemudian merebahkan tubuhnya yang indah di atas ranjang. Ia merasa begitu lemas, hingga malas sekali untuk memeriksa pekerjaan di laptop. Padahal, ia sudah izin tidak mengajar di kelas, dan memberikan tugas tertulis sebagai gantinya. Karena itu, Yasmin seharusnya mulai memeriksa tugas-tugas tersebut.

“Besok saja deh, sepertinya mau tidur di kamar saja hari ini,” gumam perempuan tersebut, sambil memijat-mijat kakinya yang masih terasa pegal.

Ia pun mencoba mengingat dengan rinci apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya kemarin, setelah dia sampai di Semarang.


***​


Sesampainya Yasmin di Semarang, ia sempat menelpon sahabatnya Sofyan, tepat saat ia baru saja selesai check-in di hotel. Sambungan telepon tersebut bahkan terus berlangsung hingga perempuan itu masuk ke dalam kamar. Namun, tiba-tiba Pak Bas menelepon dan Yasmin harus memutus pembicaraan dengan sahabatnya tersebut.

“Selamat siang, Bu Yasmin. Bagaimana perjalanannya ke Semarang?”

“Baik. Jadi kapan kita harus ketemu dengan calon investor?” Jawab Yasmin ketus dengan langsung menembak ke tujuan perjalanan mereka ke Semarang. Dia tidak ingin berbasa-basi sedikitpun.

Seingatnya, perjanjian mereka hanyalah Yasmin harus menemani Basuki alias Pak Bas yang merupakan pemilik yayasan tempat ia mengajar, untuk memancing calon investor. Di perjanjian tersebut, tidak ada larangan Yasmin untuk berkata ketus di hadapan sang pria tua. Karena itu, dosen muda tersebut pun berani melakukan tindakan tidak sopan itu.

“Duh, buru-buru banget sih Bu Yasmin ini. Kan sudah saya bilang, proses ini tidak semudah ibu makan di restoran, bayar, lalu pulang. Kita harus banyak bersabar, hehehe. Memancing ikan itu butuh waktu dan kesabaran. Ketika kail dilemparkan, belum tentu ikan akan langsung menangkap umpannya,” ujar pria tua tersebut sambil tertawa. “Ibu sudah siapkan materi presentasi yang saya minta buatkan kemarin?”

“Ya tentunya sudah.” Yasmin masih terkesan ketus.

“Bagus sekali. Sayangnya baru ada kabar kalau Pak Rahmat yang sedianya mau kita temui ternyata tidak bisa meluangkan waktu hari ini. Mungkin baru besok atau lusa. Kamu siap-siap saja.”

“Baik, Pak.”

“Sudah izin di kampus sampai minggu depan kan?”

“Sudah.”

“Baiklah kalau begitu. Oh iya, nanti malam mau makan bareng?”

Yasmin pun berpikir sejenak. Sepertinya tidak ada salahnya untuk makan malam bersama dengan Pak Bas. Lumayan, bisa irit biaya untuk konsumsi. Setelah makan malam, dia bisa langsung pamit untuk kembali ke hotel.

“Memangnya mau makan malam di mana, Pak?”

“Saya ada rekomendasi restoran dengan pemandangan yang bagus, nanti saya share akun Instagramnya. Kamu mau bareng ke sananya?”

“Tidak usah, Pak. Nanti saya bisa ke sana sendiri. Bapak share saja lokasinya,” meski terdengar aneh karena mereka sebenarnya berada di hotel yang sama, tapi Yasmin merasa bahwa hal ini harus ia lakukan demi menjaga harga dirinya, serta harga diri sang suami. Ia merasa tidak pantas jalan berduaan dengan Pak Bas, apalagi kalau ada opsi lain di mana ia bisa menghindar.

“Hmm, baik kalau begitu.” Terdengar nada kecewa dari kata-kata Pak Bas. “Sampai ketemu nanti malam.”

“Sampai jumpa, Pak.”

Yasmin memejamkan mata dan menepuk dadanya. Dalam batinnya ia merasa senang karena masih tetap bisa menjaga jarak dengan sang pemilik yayasan. Tenang saja, Mas. Yasmin akan selalu berusaha untuk setia dan menjaga martabat sebagai seorang istri. Mas Ferdian tidak perlu khawatir.

Tenang saja.


***​


Dari foto yang dibagikan Pak Bas, restoran yang akan menjadi tempat makan malam mereka memang cukup berkelas. Meski begitu, suasananya tidak begitu formal dan harga makanannya juga tidak terlalu mahal, sehingga banyak anak muda yang sering nongkrong di tempat tersebut.

Karena itu, Yasmin memutuskan untuk mengenakan pakaian yang biasa ia gunakan untuk pergi ke mall di ibu kota, yaitu kaos lengan panjang ketat yang dibalut jaket denim, dan celana panjang hitam. Karena sudah terbiasa pula, wanita muda itu juga membentuk sedikit alisnya dan menggunakan make up secukupnya untuk mempercantik diri.

Di perjalanan menuju restoran, Yasmin mendapatkan supir taksi online yang benar-benar pendiam. Sejak dosen muda itu masuk ke dalam mobil hingga turun di tempat tujuan, sang supir hampir tidak pernah bicara sama sekali. Dalam hati, Yasmin sebenarnya merasa senang karena ia jadi tidak perlu sibuk meladeni obrolan yang kurang penting, dan bisa asyik bermain ponsel di bangku belakang. Ia jadi membayangkan seperti apa suaminya yang juga berprofesi sebagai pengemudi taksi online apabila sedang membawa penumpang, apakah ia tipe yang cerewet suka mengajak ngobrol, atau yang pendiam.

Begitu sampai di restoran yang dituju, Yasmin langsung menemukan Pak Bas sudah duduk di sudut restoran. Tempat tersebut sepertinya tidak terlalu ramai, hanya terisi sekitar setengah dari kapasitas maksimalnya. Karena itu, suasananya pun menjadi cukup nyaman bagi mereka berdua.

“Selama malam, Bu Yasmin. Silakan duduk,” sapa Pak Bas ketika melihat kedatangan dosen muda tersebut.

Pria tua itu sempat tertegun karena terpesona saat menatap wajah cantik Yasmin, serta tubuhnya yang indah malam ini. Namun ia seperti tidak ingin menampakkannya dengan jelas di depan sang perempuan, dan berusaha menyembunyikannya sebaik mungkin.

“Selamat malam, Pak,” jawab Yasmin berusaha sedikit sopan.

“Silakan duduk, kamu mau pesan apa,” ujar Pak Bas sambil memberikan daftar menu. “Tenang, semuanya saya yang tanggung kok.”

Yasmin hanya memberikan senyuman singkat, seperti tidak tertarik dengan kata-kata Pak Bas. Ia pun memilih-milih menu, dan memutuskan untuk memesan spaghetti dan lychee tea. Setelah menetapkan pilihan, mereka pun memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka.

Harus diakui, Pak Bas memilih tempat yang cukup menyenangkan malam itu. Tempat mereka berada sekarang adalah sebuah restoran yang dipadu dengan coffee shop di sampingnya. Lokasinya berada di daerah yang lebih tinggi di kota Semarang, dan seperti berada di sisi tebing. Karena itu, para pengunjung pun disuguhkan pemandangan kota yang tampak begitu mengagumkan.

Pak Bas dan Yasmin saat ini duduk di area semi outdoor, yang meski mempunyai atap, tetapi tidak dilengkapi dengan jendela pembatas. Karena itu, mereka pun bisa menikmati pemandangan indah tersebut dengan lebih jelas, sembari menikmati udara malam yang segar.

“Bagus ya tempatnya, Bu Yasmin?” Tanya Pak Bas.

Yasmin hanya mengangguk.

“Kalau di ibu kota, sepertinya gak akan ada tempat dengan pemandangan seperti ini ya? Lahan sudah diisi oleh gedung-gedung yang tidak jelas baik secara fungsi maupun estetika. Pembangunan yang asal dan tidak mementingkan pengaruhnya terhadap alam sekitar.”

Yasmin kembali tersenyum singkat, tanpa berkata apa-apa. Hal tersebut jelas membuat pria tua itu gemas. Pak Bas hanya nyengir melihat Yasmin yang tak tergoyahkan.

“Oh iya, bagaimana soal perkembangan revisi presentasi yang kemarin saya brief ke kamu?” Pak Bas akhirnya melontarkan pertanyaan yang seharusnya bisa memaksa Yasmin untuk membuka mulutnya, kali ini strategi itu berhasil.

“Sudah saya kerjakan. Mulai dari prestasi kampus saat ini, hingga rencana pengembangan kampus kita dalam waktu beberapa tahun ke depan, sudah saya buat sesuai arahan Pak Bas.”

“Kamu sudah buat juga yang saya minta? Satu halaman tambahan yang menunjukkan bagaimana investasi ke kampus kita merupakan sesuatu yang baik bagi bisnis Pak Rahmat, baik dari sisi branding dan pengembangan sumber daya manusia?”

“Itu juga sudah, Pak. Saya coba buat sesuai dengan arahan Pak Bas, tetapi ada yang saya ubah sedikit agar bahasanya lebih mudah dipahami. Nanti Bapak bisa cek apakah sudah layak untuk ditampilkan atau belum.”

“Bagus. Kalau menurut kamu, ada lagi yang perlu ditambahkan?”

“Hmm, kalau menurut pandangan Bapak, kira-kira perlu tidak kita memasukkan perbandingan target pasar kampus kita bila dibandingkan Universitas lain, setidaknya yang sama-sama kampus swasta? Karena saya bisa membayangkan Pak Rahmat pasti akan menanyakan hal itu, apa yang membuat kampus kita berbeda, sehingga ia perlu memberikan sumbangan untuk kampus kita, bukan kampus lain,” jelas Yasmin. “Kita bisa memasukkan halaman itu sebagai lampiran. Jadi saat presentasi tidak perlu ditampilkan, tapi begitu ditanya kita bisa langsung memunculkannya dengan mudah.”

“Itu ide yang bagus, Bu Yasmin,” ujar Pak Bas sambil tersenyum.

Pria tua itu merasa tidak salah memilih dosen muda di hadapannya untuk membantu dia dalam proses penggalangan dana ini. Yasmin memang merupakan sosok yang pintar, dan punya ide brilian yang tidak ragu untuk ia ungkapkan. Meski dalam kasus ini, Pak Bas tidak tahu apakah ide-ide yang muncul tersebut memang berasal dari keinginan Yasmin agar kampus mereka semakin maju, atau tekanan karena ia baru saja menghambur-hamburkan uang kampus dalam jumlah yang banyak. Apapun alasannya, Pak Bas tidak mau terlalu ambil pusing.

Namun otak Yasmin yang brilian tidak bisa memalingkan Pak Bas dari hal lain yang menarik dari perempuan tersebut, yaitu tubuhnya yang indah. Apalagi, kini ia bisa dengan jelas melihat sepasang payudara berukuran besar yang menyembul dari kaos hitam ketat yang dikenakan Yasmin. Ia bahkan sampai membayangkan seberapa binal desahan perempuan berjilbab itu seandainya ia meremas-remas kedua buah dada tersebut dengan penuh nafsu.

Tak lama kemudian, pelayan pun menghampiri mereka berdua dan meletakkan semua pesanan di atas meja. Pak Bas sendiri memesan steak dan minuman bersoda untuk mengisi perutnya malam ini.

“Pak, saya izin ke kamar mandi sebentar ya,” ujar Yasmin.

“Iya, Bu Yasmin. Silakan.”

Begitu Yasmin meninggalkan bangku, Pak Bas menyeringai. Perlahan, ia mengeluarkan sebuah botol kecil yang hanya berisi cairan sebanyak 20 mililiter. Saat yakin tidak ada seorang pun di restoran tersebut yang menatap ke arahnya, pria berusia 60 tahun tersebut meneteskan lima tetes cairan ke dalam minuman Yasmin dengan bantuan pipet mini. Setelah itu, ia pun mengaduk minuman tersebut hingga tercampur dengan baik.

“Cukup lima tetes saja setiap hari, dan di hari ketiga perempuan tersebut pasti akan haus belaianku, hahaa,” ujar Pak Bas terkekeh.

Beberapa menit kemudian, Yasmin pun kembali ke tempat duduk, dan keduanya memulai aktivitas makan malam mereka. Selama menyantap hidangan, sang bidadari jelita di hadapan Pak Bas kembali tidak banyak bicara, atau menanggapi kata-kata Pak Bas, kecuali apabila dirasa perlu. Sang pria sendiri tidak merasa bermasalah dengan hal itu, karena dia punya strategi lain untuk bisa menaklukkan dosen perempuan yang baru saja menikah tersebut.

Rasa lelah akibat perjalanan udara yang baru saja ia jalani, membuat Yasmin tampak begitu lahap menyantap makanan yang ia pesan. Tak perlu waktu yang lama hingga ia menghabiskan santapan di hadapannya, termasuk lychee tea segar sebagai penutup.

“Enak makanannya, Bu Yasmin?”

“Enak, Pak. Plus pemandangannya juga bagus. Kalau saya ke Semarang lagi, mau ajak suami saya makan di sini juga nanti,” jawab Yasmin. Perempuan tersebut mulai merasakan sesuatu yang berbeda dengan tubuhnya, meski ia tidak tahu apa.

“Iya. Harga makanannya juga tidak terlalu mahal,” ujar Pak Bas. Ia jelas melihat perubahan yang terjadi dengan raut wajah dosen muda tersebut, dan hanya tertawa dalam hati. Siasat busuknya mulai bereaksi. “Bu Yasmin kenapa, kok kelihatannya seperti kurang nyaman?”

“Hmm, saya juga tidak mengerti, Pak… tiba-tiba saja seperti terasa gerah. Bapak merasa di sini sedikit panas nggak?”

“Panas? Tidak. Ini justru adem karena kita di tempat terbuka.”

“Iya sih…” Ujar Yasmin sambil sesekali mengipaskan tangan ke tubuhnya.

“Bu Yasmin mau ke mana lagi setelah ini?”

“Ngghh… Sepertinya mau langsung balik hotel. Saya pesan taksi online dulu boleh, Pak?”

“Tidak mau bareng saya saja? Kita satu hotel lho.”

“Tidak, Pak. Saya mau pulang sendiri saja,” ujar Yasmin sembari membuka aplikasi taksi online di ponselnya.

“Hmm, baiklah,” jawab Pak Bas dengan nada kecewa.

Dari awal, pria tua itu memang berniat untuk bisa lebih sering berduaan dengan sang dosen cantik di hadapannya. Itulah mengapa ia mengajak makan malam di tempat yang cukup jauh dari hotel mereka. Namun sepertinya Yasmin juga bukan perempuan yang naif, dan mempunyai strategi sendiri untuk mencegah mereka berdua saling berdekatan.

Dalam hati, Pak Bas justru bangga akan pilihannya. Yasmin terbukti bukan seorang perempuan yang mudah ditaklukkan. Ia adalah dosen dengan otak yang cerdas, bisa berpikir dengan cepat, dan belum terlalu banyak mempunyai pengalaman seksual karena baru saja menikah. Ditambah dengan bentuk tubuhnya yang seksi, Yasmin benar-benar sosok perempuan yang sempurna di mata sang pimpinan yayasan tersebut.

Setelah beberapa saat keduanya terdiam, Yasmin terlihat lega.

“Taksi online saya sudah sampai, Pak. Saya pamit dulu. Permisi,” ujar Yasmin yang langsung beranjak dari tempat duduknya tanpa menunggu balasan salam dari Pak Bas.

Pak Bas mengangguk dan Yasmin pun berlalu pergi.

Di belakang Yasmin, Pak Bas hanya tersenyum penuh arti. “Tunggu saja beberapa hari lagi, cantik. Bisa kupastikan kamu akan bertekuk lutut di hadapan kontol besar milikku, dan meremas-remasnya dengan payudaramu yang berukuran jumbo itu, hahaha…”

Setelah Yasmin hilang dari pandangannya, Pak Bas mengirim pesan ke seorang dekan di kampus yang juga merupakan sahabat baiknya.

“Sudah kujalankan seperti yang kamu ajarkan. Kamu yakin ini akan berhasil?”

Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul. “Yakin banget. Gue dan beberapa teman lain sudah pernah mencobanya. Hasilnya sukses besar, hehehe.”

“Tapi benar-benar harus menunggu tiga hari ya, Yo?” Tanya Pak Bas lagi sambil menyebut panggilan untuk sahabatnya yang mempunyai nama lengkap Sunaryo tersebut.

“Iya. RSVP itu dosisnya lima tetes untuk satu kali minum, dan setiap minum harus berjarak minimal enam jam. Di awal mungkin belum terlalu kelihatan efeknya, walau mulai bikin anget-anget geli gitu. Tapi setelah tiga kali pemakaian, beuuhh… bakal gatel banget itu memek doi minta disodok-sodok, Bas. Namanya juga RSVP - Répondez s'il Vous Plaît. Kalau minum harus ada reply terhadap rangsangan. Hahaha."

“Gak bisa langsung dikasih lima belas tetes aja sekalian?”

“Bisa, tapi kalau itu cewek nggak kuat malah bisa jadi modar dia, Bas. Gue yakin lo nggak mau ambil resiko begitu.”

“Iya sih, gue kan mau enak, bukan mau susah. Oke lah, gue sabar aja kalau begitu, hee.”

“Lagian kalau mau yang cepet, kenapa gak pake XTC aja sih? Udah jaminan paten itu si cewek bakal pasrah aja mau lo apain juga.”

“Gue gak suka yang ceweknya nggak sadar gitu, Yo. Kayak kurang menantang aja.”

“Hahaa… Udah tua masih aja butuh tantangan lo, Bas. Tapi lo musti hati-hati juga.”

“Hati-hati bagaimana maksud lo?”

“Ya, obat ini kan cuma bikin dia terangsang. Tapi mainnya sama siapa ya nggak bisa dipastiin. Karena pernah ada kejadian temen gue ngasih obat itu ke istri orang, eh si target malah lampiasin birahi ke suaminya sendiri. Zonk deh temen gue.”

“Haa … Oke. Thanks masukannya Yo,” jawab Pak Bas. Dalam hati, ia akan mengingat kata-kata Pak Yo barusan, dan memastikan bahwa Yasmin hanya akan melampiaskan syahwat dengan dirinya. “Oh iya, lo bukannya lagi ada target juga ya?”

“Hehehe, kabar burung bisa terbang dengan cepat ya.”

“Hahaa, apa sih yang gak beredar kalau soal ginian, Yo. Jadi bener?”

“Iya, hahahaa. Tapi masih dalam tahap penjajakan.”

“Nggak pakai obat ini juga?”

“Hmm, kali ini gue mau pakai cara lama aja, pedekate sampai dia jatuh ke pelukan gue. Karena yang satu ini lumayan sensitif posisinya, jadi ada kemungkinan ganggu nama baik gue kalau misalnya terlalu dipaksa.”

“Jangan-jangan orang kampus ya? Hahaa …”

“Nggak kok, bukan orang kampus, hee.”

“Oke deh kalau begitu, nanti kita lanjut lagi ya, Yo.”

“Siap, Bas.”

Setelah selesai berbalas pesan dengan temannya tersebut, Pak Bas pun membuka aplikasi taksi online. Karena malam ini tidak bisa bersama dengan Yasmin, ia pun berniat untuk mampir ke bar langganannya di kota tersebut.


***​


Saat Pak Bas sedang asyik mengobrol dengan Pak Yo lewat aplikasi pengiriman pesan, Yasmin menghampiri sebuah mobil Ayla berwarna merah yang telah menunggunya di depan restoran.

MEHN2HR_t.png


“Mbak Yasmin, nggih?” Tanya sang pengemudi dengan logat Jawa yang kental. Ia tampak telah membuka jendela dan menatap ke arah sang dosen cantik tersebut.

“Hmm, iya Pak,” jawab Yasmin yang sedikit mengerti bahasa Jawa, meski tidak bisa mengucapkannya dengan fasih. Ia pun langsung membuka pintu penumpang di belakang.

Namun perempuan tersebut kaget, karena terlihat ada bekas cairan seperti minyak yang menempel di bangku belakang mobil tersebut. Memang tidak ada bau yang menyengat, tetapi tentu membuat ia enggan untuk duduk di sana.

“Ini kenapa ya, Pak?”

Sepurane ya, Mbak. Tadi ada penumpang bawa minyak entah apa, terus tumpah di situ. Saya sudah coba bersihkan tapi ndak bisa-bisa.”

“Hmm, terus bagaimana dong? Saya cancel aja?”

Duhh, ojo tho Mbak. Jangan. Nanti rating saya jadi jeblok kalau di-cancel… Kalau Mbak duduk di depan saja boleh ndak?”

Yasmin sebenarnya sudah terlanjur kesal dengan sang pengemudi taksi online yang tidak menjaga kebersihan mobilnya tersebut. Namun, perempuan itu kasihan juga apabila sang pengemudi harus kehilangan rezeki karena ratingnya turun dan akunnya ditutup, kalau Yasmin membatalkan pesanan. Meski merasa tidak nyaman, ia pun mengikuti permintaan sang pengemudi dan duduk di kursi depan.

Berbeda dengan pengemudi taksi online yang mengantarnya ke restoran tersebut, kali ini Yasmin bertemu dengan sosok pengemudi yang cerewet. Namun perempuan tersebut menanggapi saja karena melihat sang pengemudi sudah cukup tua, mungkin sekitar 50 tahun. Wajahnya berbentuk oval khas pria asal Jawa Tengah, dan tampak bersih dari kumis dan jenggot. Namun rentetan uban di rambutnya jelas menunjukkan bahwa pria tersebut sudah tidak muda lagi. Yasmin sempat melihat sekilas nama sang pengemudi di aplikasi miliknya, yaitu Pak Dewo.

“Asline pundi, Mbak?” Tanya Pak Dewo membuka obrolan.

“Ibu kota, Pak.”

“Owalaaaahhh … Saking dari ibu kota tho, pantes ayune ra karuan, hee.”

Yasmin pun tersenyum. Ia berusaha sopan, meski dalam hati merasa bahwa kata-kata sang pengemudi tersebut sedikit tidak pantas.

“Kuliah di Semarang?”

“Nggak, Pak. Saya sudah kerja.”

“Mosok? Penampilan sampeyan iki masih koyo wong kuliahan lho mbak, tenan,” lanjut Pak Dewo yang seperti tidak bisa berhenti tersenyum sejak awal percakapan tadi. “Kerja di bidang apa, Mbak?”

“Saya dosen, Pak.”

“Eeeeeladalaaahh … Mesti pinter banget Mbak ini bisa dadi dosen, plus wajahnya ayu tenan. Pasti banyak yang naksir. Iyo tho, Mbak?”

“Saya sudah nikah, Pak,” ujar Yasmin sambil menunjukkan cincin pernikahan yang ia kenakan.

“Wah, pantes. Ndak heran saya kalau perempuan cantik koyo Mbak wis ono gandengan. Lalu ke sini berarti sama suaminya?”

“Nggak, Pak. Saya sendiri aja karena ke sini untuk tugas kampus.”

Serius dewe’an, Mbak? Emang suami Mbak ndak takut kalau istrinya yang cantik ini diambil orang? Hahahaha.”

“Bapak ini bisa saja …”

Yasmin merasa heran mengapa tiba-tiba tubuhnya menjadi lebih hangat dari biasanya. Ia coba memeriksa AC mobil milik Pak Dewo, sepertinya semua berfungsi normal. Baju yang ia gunakan pun tidak terlalu tebal, sama seperti yang biasa ia kenakan sehari-hari saat tengah berjalan-jalan di ibu kota. Bila diingat-ingat, semua ini ia rasakan saat selesai menyantap makanan dan minuman di restoran tadi.

Perasaan hangat tersebut bahkan mulai bercampur rasa geli di bagian-bagian sensitif tubuhnya, seperti payudara dan kemaluannya. Yasmin coba memandang ke luar jendela dan berkonsentrasi ke pemandangan di sisi jalan, demi menghilangkan perasaan tersebut, tetapi gagal. Ia merasa tubuhnya tidak akan merasa nyaman sebelum ia menyentuh dan mengusap bagian-bagian yang terasa hangat dan geli tersebut.

Yasmin coba melirik ke kanan, dan melihat Pak Dewo masih fokus memperhatikan jalanan, tidak lagi mengajaknya ngobrol. Karena itu, perempuan tersebut pun memberanikan diri untuk mengusap sedikit payudaranya yang sebelah kiri.

“Ahh… Rasanya nikmat sekali,” gumam Yasmin dalam hati.

Ia pun coba mengusapnya kembali, namun kali ini ia sedikit memperkuat intensitasnya menjadi remasan, dan kenikmatan itu kembali terasa. Begitu nyamannya remasan tersebut, hingga membuat Yasmin sampai harus menggigit bibir bawahnya dan memejamkan mata. Ia mulai tidak sadar tempat di mana dia berada saat ini.

Tekanan dari sabuk pengaman yang ia kenakan, turut memperkuat sensasi aneh yang tengah dirasakan perempuan tersebut. Sabuk itu seperti membelah payudara sang dosen cantik, membuat buah dada indah miliknya jadi begitu menonjol ke depan. Setiap lelaki yang melihat pemandangan tersebut pasti akan tergiur birahinya.

“Ngghhh… Mengapa nikmat sekali perasaan ini,” ujar Yasmin lirih. Ia sebenarnya bermaksud mengatakannya dalam hati, tetapi tanpa sengaja terucap pelan lewat bibirnya.

Tiba-tiba, Yasmin merasakan ada tangan lain yang meraba pundaknya, dan kemudian turun menyentuh payudaranya. Perempuan tersebut membuka mata, dan melihat bagaimana sebuah tangan keriput milik pengemudi taksi online di sebelahnya tengah menangkup payudaranya yang sebelah kanan.

Ia pun melotot kepada supir bernama Pak Dewo itu.

“Kenapa Mbak, enak ya diremas toketnya seperti ini? Mesti lagi kangen banget karo bojone yo? Hehehehe… uweeempukke! Guedeee susune sampeyan, Mbak.” Ujar Pak Dewo dengan nada meledek. Pengemudi taksi online tersebut kini bahkan mulai berani meremas-remas payudara tersebut.

“He… hentikan sekarang juga, Pak,” ujar Yasmin lirih, tanpa berusaha keras untuk melepaskan sentuhan sang pengemudi yang berusia jauh di atasnya tersebut. Ia tidak bisa memungkiri bahwa tubuhnya tiba-tiba seperti menginginkan sentuhan seperti itu di bagian-bagian sensitif dirinya, demi menjemput kenikmatan aneh yang merangsang tubuhnya.

“Yakin mau berhenti? Mbak masih mendesah-desah gitu lho…” Lanjut Pak Dewo. “Mimpi apa aku semalam, bisa remas-remas toket dosen cantik dari ibu kota kayak sampeyan, Mbak Yasmin.”

Remasan demi remasan yang diberikan Pak Dewo membuat nafsu Yasmin menggelegak. Ia bahkan sampai memajukan dadanya ke arah depan, seakan ingin menjemput kenikmatan yang hanya bisa diberikan oleh remasan tangan sang pria tua tersebut. Tak hanya itu, selangkangan perempuan muda itu pun mulai lembab, sehingga ia tidak tahan dan mulai melebarkan selangkangannya.

“Wah, tempiknya wes gelem dimasukkin kontol po, Mbak? Sampe ngangkang begitu, hahaa…”

Tangan Pak Dewo kini mulai menyentuh paha Yasmin yang masih dibungkus celana panjang berwarna hitam. Ia mengusap-usap paha yang mulus tersebut, berusaha memberikan rangsangan yang tidak bisa ditolak oleh perempuan berparas menawan itu.

Tangan tua tersebut bahkan kemudian bergerak perlahan ke arah selangkangan Yasmin. Meski masih tertutup celana, tetapi Pak Dewo bisa merasakan kehangatannya yang seperti menyeruak keluar. Mobilnya yang bertransmisi otomatis pun memudahkan pria tersebut dalam memberikan sentuhan, sembari tetap mengemudikan kendaraan.

“Sss... Stoooopp, Paaaakkk… Saya nggak kuat, ahhhh…”

“Ndak kuat piye tho, Mbak? Enak tenan yo dielus-elus begini tempiknya?” Ujar Pak Dewo sambil menggerak-gerakkan jarinya di area kemaluan Yasmin, seperti gerakan mengorek-ngorek. Gerakan tersebut pun membuat perempuan tersebut menggelinjang. “Wis anget tenan iki tempiknya.”

“Ahhh… hentikan paaaaakkk… Ngghhh…”

“Saya ndak nyangka dosen cantik kayak sampeyan ternyata binal juga ya, Mbak. Baru saya remas begini saja sudah mendesah-desah kayak lonte. Malam ini kita ke kontrakan saya ya, Mbak Yasmin. Nanti saya masukin kontol saya biar Bu Dosen puas, hahaa…”

Dalam kondisi tersebut, Yasmin berusaha untuk tetap berpikir jernih. Dalam hati, ia memang menikmati rangsangan demi rangsangan yang diberikan Pak Dewo. Namun itu semua jelas merupakan aktivitas terlarang yang harus dijauhi oleh perempuan bersuami seperti dirinya. Bila dilanjutkan, keselamatan dirinya pun menjadi taruhan. Karena itu, ia harus menemukan cara agar bisa menjauh dari pengemudi mesum itu.

Yasmin memandang daerah di sekitar tempat mobil tersebut berada, dan sepertinya sudah cukup dekat dengan hotelnya. Ia melirik ke arah pintu, dan sepertinya Pak Dewo lupa untuk menekan tombol central lock. Karena itu, begitu mobil tersebut berhenti di sebuah lampu merah, Yasmin langsung melepas sabuk pengaman, membuka pintu, dan bergegas keluar.

Perempuan tersebut langsung berlari menjauhi mobil, tanpa memperdulikan teriakan Pak Dewo yang terdengar di belakangnya. Ia tidak mengindahkan kakinya yang mulai pegal, dan terus berlari sampai menemukan arah yang tepat menuju hotelnya.


***​


Pukul lima pagi adalah saat di mana banyak orang masih banyak yang terlelap, meski matahari sudah bersiap terbit. Aroma embun yang segar membawa ketenangan bagi siapa pun yang menghirupnya. Kokokan ayam yang bersahutan seperti menjadi penanda bahwa ada hari baru yang perlu disongsong oleh para penduduk bumi.

Namun bagi pria penghuni rumah mungil di sebuah komplek perumahan masyarakat kelas menengah tersebut, pukul lima pagi adalah waktunya untuk bangun. Bukan hanya matanya saja yang bangun, tetapi kemaluan di area selangkangannya juga ikut berdiri tegak pagi ini.

Karena itu, tangannya pun mulai mencari pelampiasan dengan bergerilya meraba-raba tubuh seorang perempuan yang masih tertidur di sampingnya. Tangan itu menyelinap masuk dari bagian bawah daster panjang yang dikenakan sang perempuan, dan menariknya ke atas. Pria tersebut mulai meraba-raba dan mengusap paha perempuan cantik tersebut, yang langsung bangun karena merasa tubuhnya baru saja disentuh oleh sang pria.

MEHN2HT_t.png


“Mas Sofyan … Apa sih? Masih pagi ini,” ujar sang perempuan sambil berusaha membuka matanya.

“Aku lagi pengin, Laras. Boleh ya minta jatah pagi ini, hee,” ujar pria bernama Sofyan Pratama sambil memutar tubuh istrinya yang bernama Laras Kinanti tersebut, lalu mengecup bibirnya dengan lembut.

Awalnya, Laras hanya diam saja menerima ciuman itu. Namun lama kelamaan, gairah sang perempuan pun ikut naik. Akhirnya ia pun merespon kecupan sang suami, hingga mereka saling berpagutan.

Sofyan kemudian menarik tubuh indah sang istri ke dalam pelukannya, lalu meremas bokongnya yang montok dari balik daster. Saat itu, sang pria hanya mengenakan celana kolor tanpa memakai celana dalam lagi di baliknya. Karena itu, Laras bisa merasakan kemaluan sang suami yang telah mengeras, dan mulai menyundul-nyundul perutnya.

Tanpa menunggu lama, Sofyan menarik daster Laras ke atas, hingga perempuan tersebut hanya tinggal mengenakan bra dan celana dalam. Ia memandangi tubuh indah sang istri yang begitu putih dan mulus bagai pualam, membuat matanya terpana.

“Aku lepasin daleman kamu, ya sayang,” ujar Sofyan, yang dijawab dengan anggukan oleh sang istri. Sebaliknya, Laras pun turut membantu suaminya melepas kaos dan celana pendek yang ia kenakan.

Pasangan suami istri tersebut kembali berciuman. Tubuh mereka kini saling menempel secara langsung, tanpa dihalangi oleh sehelai kain pun. Gesekan tubuh telanjang mereka membuat keduanya jadi semakin bernafsu.

Sofyan pun mulai meremas-remas payudara Laras, yang langsung disambut dengan erangan binal sang perempuan.

“Ngghhh, Maaaaasss… Geliiiii …”

Laras pun membalas dengan meraih kontol sang suami yang sudah begitu tegang. Batang kemaluan tersebut berukuran sedang, dengan bulu tipis di bagian pangkalnya. Perempuan cantik itu pun mulai mengocok kontol suaminya dengan perlahan, sambil memainkan ujung kulupnya yang menggemaskan.

“Duhh, enak banget dikocok begitu istriku …” Ujar Sofyan sambil mengecup-ngecup leher Laras yang terbuka. Lidahnya tampak menyusuri kulit Laras yang halus hingga ke daerah belakang telinganya. Rangsangan tersebut membuat birahi sang perempuan menjadi tak tertahankan.

Seperti tidak ingin membuang waktu, Sofyan langsung bangkit dan menindih tubuh telanjang sang istri. Ia kemudian kembali mengecup bibir Laras, yang kemudian turun ke dagu, leher, hingga belahan payudara perempuan tersebut. Bibir Sofyan akhirnya berlabuh di puting payudara Laras yang begitu indah, dan mengisapnya dengan penuh nafsu.

“Sluuuuurrrrppphhh… Enak gak diemut gini Sayang?” Tanya Sofyan sambil melirik ke arah wajah sang istri yang tampak sedang memejamkan matanya menahan birahi yang tak bisa lagi ia bendung.

Sang suami tampak memutar-mutarkan lidahnya di puting payudara Laras, sebelum kemudian memasukkan seluruh puting tersebut ke dalam mulut dan mengisapnya kuat-kuat.

“Nikmat banget Maaassss… Emutin terus dong toket aku, nggghhhhh…”

Masih dengan mata terpejam, Laras merasakan sang suami mulai memposisikan diri untuk mengangkanginya. Terasa sebuah benda panjang nan keras yang kini tengah menggesek-gesek bibir vaginanya. Laras yang sudah berhari-hari tidak mereguk kenikmatan birahi sampai dibuat menggelinjang. Ia telah begitu menanti batang kemaluan tersebut menembus liang senggama miliknya.

“Sayang…” Ujar sang suami setengah berbisik.

“Iya, Mas…”

“Kita bikin dedek, yuk.”

Laras hanya tersenyum dan mengangguk. “Yuk, Mas…”

Perempuan tersebut kini merasakan batang panjang milik sang suami yang berusaha menembus vaginanya. Sofyan mendorong dan menggerakkannya maju mundur agar bisa melesak masuk. Setelah beberapa kali percobaan, penis Sofyan pun berhasil bersarang di lubang kemaluan sang istri.

“Ahhh… hangat banget sayaaanng,” desis Sofyan.

Laras merasakan penis Sofyan bergerak masuk lebih dalam, menyentuh setiap relung liang senggamanya. Vagina tersebut terasa penuh dengan kemaluan Sofyan, dan tidak menyisakan ruang kosong sedikit pun.

Sofyan mulai menghentakkan pinggulnya maju mundur dengan kecepatan rendah. Pria tersebut menyempatkan diri untuk kembali memagut bibir sang istri, yang langsung disambut dengan kecupan liar. Seiring dengan makin binalnya ciuman mereka, semakin kencang pula gerakan tubuh Sofyan menggenjot Laras.

“Sambil emut-emut toket aku juga, Pak Dosen, ahhh…” ujar Laras menggoda sang suami.

Sofyan pun tersenyum dan langsung menjilat-jilat kembali puting payudara sang istri, lalu mengisapnya dengan kuat. Ia pun mempercepat genjotannya di vagina Laras yang masih terasa begitu sempit, hangat, dan menggairahkan. Dinding kemaluan tersebut seperti meremas-remas batang penis Sofyan tanpa ampun. Mereka kini saling berpelukan, demi bisa menikmati persetubuhan tersebut secara sempurna.

“Ahhh… Ahhh… Enak banget Masssss…”

“Apa yang enak sayaaaanng?” Tanya Sofyan tanpa mengendurkan genjotannya.

“Kontol kamuuuu….”

“Nakal banget sih ini bibirnyaaaaa,” ujar Sofyan sambil mengecup mulut sang istri. Setelah itu, ia pun turut menjilat-jilat lubang telinga Laras, memberikan rangsangan luar biasa di daerah sensitif tersebut.

“Maaaaassssss… Terus genjot kontol kamu massssss….

Laras berusaha mengimbangi gerakan Sofyan yang begitu cepat. Kemaluannya mulai basah, hingga menciptakan bunyi kecipak yang begitu menggairahkan, seperti menjadi musik pengiring persetubuhan pasangan suami istri yang sama-sama masih berada di usia muda tersebut.

Entah mengapa, menjelang puncak kenikmatan mereka, sosok atasan sang suami justru lewat sekilas di benak Laras. Perempuan tersebut mengingat bagaimana pria tua tersebut memeluk tubuhnya dari belakang di apartemen miliknya, memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya, hingga membuat jantungnya berdebar. Karena itu, Laras justru jadi membayangkan bahwa ia kini sedang ditindih oleh dekan berusia 50 tahun tersebut.

“Sial… Kenapa gue jadi mikirin dia sih. Tua bangka begitu emangnya punya kontol yang lebih gede dari punya suami gue? Tapi kalau iya bagaimana Laras, lo mau cobain? Ahh, Laras begooo …” Pikir sang perempuan dalam hati.

Desakan demi desakan dari batang kemaluan sang suami di vaginanya membuat nafsu Laras memuncak. Ia pun tak kuasa untuk menahan lagi birahinya, dan bersiap untuk menggapai kenikmatan tertinggi dalam persetubuhan tersebut.

“Teruuuussss Massss…. Enaaaakk bangeeeeetttt…”

“Aku mau sampe sayaaaaaaannnggg …” Ujar Sofyan.

Napas sang pria terasa begitu menderu, seiring dengan kian kencangnya jepitan kemaluan Laras. Mereka pun saling mendekap erat. Hingga akhirnya Sofyan pun meluapkan seluruh libidonya di liang senggama sang istri.

“Aaaahhhhhhhh…..”

“Aaaaaaaahhhhhhhhhhhhh….”

Pasangan suami istri tersebut akhirnya meraih orgasme di saat yang hampir bersamaan. Sofyan membenamkan penisnya di vagina Laras, berharap salah satu spermanya berhasil menembus indung telur milik sang istri dan menghasilkan calon jabang bayi yang lucu dan cantik. Mereka saling berpelukan erat, dengan pikiran dan imajinasi mereka masing-masing.

Laras merasa sedikit bersalah karena sempat memikirkan pria lain di sela-sela persetubuhan tersebut. Namun ia tidak tahu bahwa sang suami pun sempat membayangkan bahwa yang tengah ia tindih dan genjot tadi adalah seorang perempuan dengan payudara lebih besar, yang berprofesi sama dengan dia. Ia membayangkan perempuan yang baru saja menikah tersebut akhirnya meninggalkan suaminya, dan lebih memilih untuk mereguk kenikmatan dunia bersama Sofyan.


***​


Seks di pagi hari memang bukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh Sofyan dan Laras. Itulah mengapa persetubuhan pagi ini terasa begitu spesial. Saat melepas suaminya berangkat ke kantor pun, Laras masih menyempatkan diri untuk mengecup bibirnya. Ia sampai tidak sadar bahwa sudah ada seorang pedagang tukang sayur dan dua orang pembeli yang melihat kejadian tersebut.

“Ciee… Bu Laras sama Pak Sofyan, masih pagi udah cium-ciuman,” ledek salah seorang ibu-ibu yang sedang memilih sayuran. Diledek seperti itu, Sofyan dan Laras hanya tersenyum. Di lingkungan mereka, saling bercanda seperti itu memang sebuah hal yang biasa.

“Oh iya, sayang. Aku lupa kasih tahu, jadi kemarin aku diminta Pak Yo untuk studi banding soal akreditasi kampus ke luar kota,” ujar Sofyan tiba-tiba.

“Ke mana memangnya Mas?”

“Jogja.”

“Jauh banget. Terus berangkatnya kapan?”

“Besok pagi.”

“Kok mendadak banget sih?”

“Soalnya kata Pak Yo narasumber yang bisa aku wawancara itu cuma bisa ketemu besok dan lusa doang.”

“Yah, aku ditinggal dong,” ujar Laras sambil memasang wajah sedih. “Aku jadi gak bisa dibikin enak kayak tadi pagi lagi dong.”

“Nanti pas aku pulang, kamu bakal aku bikin enak sampai berkali-kali. Gimana, deal?”

“Deal.”

“Cium lagi dong kalau gitu, hee.”

“Mas Sofyan ihh, malu itu dilihatin sama ibu-ibu.”

“Haa, bercanda Sayang. Mas pamit ya, bye.”

“Bye, Mas.”

Sepeda motor Sofyan pun menghilang dari pandangan Laras beberapa detik kemudian. Perempuan tersebut baru akan kembali masuk ke dalam rumah, saat ia akhirnya ingat bahwa ada beberapa sayuran yang perlu ia beli untuk stok di rumah. Ia kemudian berbalik untuk mendekati tukang sayur keliling yang tengah berhenti di jalanan depan rumahnya.

“Gimana Bu Laras, mainnya Pak Sofyan semalam joss banget neh kayaknya,” ujar seorang ibu-ibu paruh baya yang tadi meledek pasangan suami istri tersebut.

“Bu Retno ini bisa saja,” ujar Laras sambil tersenyum.

“Habis tadi kayaknya mesra banget, hee. Sampai cium-ciuman segala di depan rumah.”

“Kan katanya suami istri tuh harus terus menjaga percikan-percikan asmara biar pernikahannya langgeng,” jawab Laras.

“Nah, dengerin tuh Bu Retno… Makanya suami kamu itu diajak bikin percikan asmara, biar nggak nyari janda kembang di luar sana,” ujar seorang ibu-ibu lainnya yang juga tengah berbelanja di tukang sayur tersebut.

Bu Retno tampak kesal dan mencubit lengan temannya tersebut dengan gemas. Tak lama kemudian, kedua perempuan paruh baya itu pun telah selesai berbelanja, lalu pamit untuk kembali ke rumah.

“Lho, Bu Retno sama Bu Ajeng kok udah pulang? Saya baru dateng malah ditinggal?” Protes Laras.

“Makanya besok-besok kalau serangan fajar jangan kelamaan Bu Laras, biar gak kesiangan belanja sayurnya, hahaa …”

Laras hanya tersenyum mendengar ocehan mesum ibu-ibu komplek tersebut. Keakraban seperti itu adalah salah satu hal yang membuat perempuan cantik itu merasa betah tinggal di rumah yang ia tempati sekarang. Meski sering berkomentar aneh, tetapi penghuni komplek itu tidak pernah membicarakan orang lain di belakang, setidaknya setahu Laras begitu.

MEHN2HT_t.png


Meski tinggal sendirian, Laras tetap melanjutkan kegiatannya memilih-milih sayur untuk ia beli. Namun aktivitas tersebut terhenti saat namanya dipanggil oleh seseorang.

“Eh, Bu Laras,” tiba-tiba Mang Ujang, sang tukang sayur yang dari tadi hanya diam mendengarkan percakapan para ibu-ibu, mulai mengeluarkan suaranya. “Bu Laras. Kira-kira saya boleh nanya sesuatu tidak ya?”

“Boleh dong, Mang Ujang. Memangnya mau nanya apa?”

“Hmm… Itu… Aduh, bagaimana ya saya ngomongnya. Kira-kira saya agak tidak enak ini.”

“Ya ngomong aja Mang Ujang. Masa sama saya saja pakai malu-malu. Hampir setiap hari kan saya beli sayur sama Mamang.”

Sang tukang sayur tersebut memang pantas merasa canggung di hadapan Laras, karena penampilannya yang begitu anggun pagi itu. Sang perempuan berusia 27 tahun tersebut mengenakan daster panjang yang menutup sampai ke mata kakinya, serta jilbab berwarna merah muda. Namun karena bentuk tubuhnya yang begitu sensual, pakaian tertutup tersebut tetap tidak mampu menghalangi tonjolan-tonjolan di bagian tertentu dari tubuh Laras. Pemandangan tersebut jelas membuat Mang Ujang grogi. Apalagi, mereka kini hanya tinggal berdua, setelah Bu Retno dan Bu Ajeng kembali ke kediaman mereka masing-masing.

“Hmm… Anu… Yang mau saya tanyakan kira-kira yang tadi.”

“Yang tadi mana, Mang?”

“Apa benar, Bu Laras kira-kira baru begitu…”

“Begitu apa sih, Mang? Saya jadi nggak paham, nih,” ujar Laras sambil tersenyum.

Sebagai seorang perempuan, ia tentu tahu apa yang dimaksud oleh sang tukang sayur langganannya tersebut. Namun ia ingin coba mengetes sejauh mana Mang Ujang berani untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi di hadapannya. Laras sebenarnya berharap ada ibu-ibu lain yang datang untuk membantunya mengerjai Mang Ujang, tapi situasi sekitar rumahnya tampak sudah sepi.

“Itu lho, kira-kira yang tadi disebutkan Bu Retno.”

“Yang mana sih, Mang? Tadi Bu Retno ngomong banyak banget kan,” balas Laras pura-pura bingung. Meski dalam hati ia sebenarnya sedang terkikik geli.

“Itu… Saya mau tanya… Kira-kira apakah bener Bu Laras dan suami baru bobo bareng?” Akhirnya sang tukang sayur yang berusia 40 tahun itu pun mengungkapkan apa yang membuatnya penasaran.

“Oh, soal itu.” Laras tersenyum menggoda. “Memangnya kenapa kok Mang Ujang pengin tahu?”

Ia pun berjalan perlahan mendekati tukang sayur tersebut, hingga berdiri tepat di sebelahnya. Bau parfumnya yang harum semerbak, kini menghiasi rongga hidung Mang Ujang, dan membuatnya begitu terpesona.

“Penasaran aja, kok bisa Bu Retno kira-kira nebak kayak begitu. Karena saya sendiri nggak lihat perubahan apa-apa dari penampilan Bu Laras,” ujar Mang Ujang dengan hati-hati. Ia tampak benar-benar takut menyinggung perasaan perempuan muda tersebut dan tidak diperbolehkan lagi berjualan di komplek tersebut. “Mohon maaf kalau sekiranya saya lancang.”

“Misalnya penampilan saya memang nggak berubah, karena saya tiap hari memang bobo bareng sama suami, gimana Mang?”

“Ngg… Nggak apa-apa sih. Namanya juga suami istri.”

“Nah, itu Mamang paham.”

“Tapi saya bingung, karena saya sama istri kadang pernah sebulan gak bobo bareng.”

“Duhh … Mang Ujang kasihan banget sih. Memangnya Mang Ujang nggak pengen sering-sering gituan?”

“Pasti pengen lah, namanya juga laki-laki. Cuma istri saya aja yang kadang males. Capek katanya, kerja jadi tukang cuci baju seharian,” Mang Ujang tampak makin gelisah. Laras melirik ke arah celana pendek yang dikenakan pria tersebut, tampak ada sesuatu yang menonjol di sana. Tukang sayur tersebut pun berusaha mengalihkan obrolan. “Oh, iya. Tadi Bu Laras mau beli apa?”

“Hmm… yang ini. Namanya apa Mang? Kok tiba-tiba saya jadi blank begini pikirannya.”

Laras tampak mengambil sebuah buah berwarna ungu yang bentuknya memanjang seperti mentimun, lalu menggenggamnya dengan tangan.

“Lho. Itu … Itu kan sekiranya terong Bu Laras.”

“Owh iya, duh kenapa deh saya pagi ini. Harganya berapa, Mang?”

“Errr… 15 ribu sekilo.”

“Terongnya panjang-panjang ya, Mang. Ukurannya juga besar…” ujar Laras sambil menggerakkan tangannya naik turun dari pangkal ke ujungnya, secara berulang-ulang. Gerakan tersebut serupa saat perempuan tersebut sedang mengocok sesuatu yang bentuknya mirip dengan terong tersebut.

Mang Ujang yang melihat aksi tersebut langsung menelan ludahnya sendiri. Ia coba menghentikan gerakan tersebut dengan cara mengambil terong yang sedang dipegang Laras. Namun tangannya kini justru bertautan dengan jemari perempuan muda tersebut. Ia akhirnya bisa merasakan betapa halus dan mulusnya tangan milik istri dari Sofyan yang tubuhnya begitu seksi itu. Ia sempat khawatir Laras akan marah atau langsung melepas genggaman tangannya, namun perempuan tersebut justru diam saja.

“Mang Ujang suka nggak kalau terongnya diginiin?” Tanya Laras sambil menggigit bibir bawahnya.

Perempuan tersebut sebenarnya memang sengaja menggoda tukang sayur yang lebih tua dari dirinya tersebut. Namun anehnya, secara otomatis Laras pun merasakan gairah yang meningkat dari dalam tubuhnya. Ia coba menghentikan desakan tersebut, tapi tidak bisa.

“Su… Suka banget Bu. Apalagi digituin sama tangannya Bu Laras, nghhh …”

Tangan Mang Ujang dan Laras kini tampak bersama-sama mengocok terong yang mereka genggam. Keduanya saling berpandangan penuh arti, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Cuma pengin dimainin begini aja terongnya, Mang?”

“Nggak Bu.”

“Terus? Mau diapain lagi?”

“Saya juga mau… gesek-gesek terong saya di tubuh seksi Bu Laras.”

Mang Ujang kemudian memberanikan diri untuk menarik terong yang sedang mereka genggam, lalu menyentuhkannya ke pipi Laras. Ujung terong tersebut kemudian ia gesek-gesekkan di bibir indah sang perempuan berjilbab tersebut. Tanpa sadar, tukang sayur tersebut pun jadi membayangkan bahwa yang sedang dikecup-kecup oleh bibir Laras adalah terong alami yang masih berada di balik celananya. Membayangkan batang terongnya yang hitam rela dicium oleh perempuan manis berjilbab seperti Laras jelas membuatnya begitu terangsang.

Karena tak tahan, Mang Ujang tiba-tiba menyentuh pinggang Laras yang masih berbalut daster panjang. Ia pun jadi bisa merasakan langsung bentuk tubuh indah yang dimiliki perempuan berparas cantik tersebut.

Namun Laras ternyata punya rencana lain. Ia tiba-tiba menjauh dari Mang Ujang, dan langsung beranjak pergi meninggalkan tukang sayur tersebut.

“Sudah cukup, Mang Ujang. Sampai bertemu besok,” ujar Laras sambil menoleh untuk terakhir kalinya ke arah sang tukang sayur.

“Lah … lha ini terongnya bagaimana Bu?”

“Saya lebih suka yang asli, Mang.”

Mang Ujang pun memukulkan tangannya yang baru saja bersentuhan dengan Laras tadi ke kepala. Ia kini hanya bisa mengingat-ingat bagaimana bentuk tubuh indah Laras yang baru saja ia sentuh secara langsung, dan menyaksikan bidadari tersebut kembali masuk ke dalam rumahnya.


***​


Beberapa hari berselang, sebuah mobil LCGC tampak sedang terparkir di pinggir jalan yang merupakan akses utama untuk masuk ke sebuah komplek perumahan. Daerah tersebut tidak begitu ramai, sehingga hampir tidak ada yang sadar kalau mobil tersebut sudah terparkir di sana untuk waktu yang cukup lama.

Di dalamnya, seorang pria bernama Ferdian Jayadi tengah berada di kursi pengemudi dengan sikap gelisah, seperti sedang menunggu sesuatu. Di pagi hari seperti ini, ia biasanya sudah berkeliling ibu kota untuk mencari penumpang. Namun khusus untuk hari ini, ia langsung berangkat dari tempat tinggalnya guna menuju tempat dia berada sekarang. Ketiadaan sang istri di rumah membuatnya bisa melakukan apa pun yang dia mau.

Wajahnya baru terlihat sumringah saat melihat seorang perempuan muda tampak keluar dari rumah nomor 10. Perempuan tersebut sepertinya hanya mengenakan tanktop berwarna putih yang seperti menonjolkan payudaranya yang menonjol. Untungnya, ia masih mengenakan cardigan berwarna coklat untuk menutupi pundak dan lengannya. Meski begitu, ia tampak jauh lebih seksi dibanding kali terakhir Ferdian bertemunya beberapa hari lalu.

Perempuan tersebut ternyata sedang menunggu ojek online di depan pagar rumahnya. Saat ojek tersebut tiba, ia pun langsung naik ke jok belakang dan pergi meninggalkan rumah menuju pintu gerbang komplek. Ferdian pun bergegas menyalakan mesin mobil demi bisa mengikuti perempuan tersebut.

“Luar biasa sekali tubuhmu itu, Naura. Pasti nikmat sekali bisa meremas toket dan pinggulmu yang seksi itu,” gumam Ferdian.

MEHN2HY_t.png



***​


Saat sang suami tengah sibuk membuntuti perempuan lain, istrinya yang bernama Yasmin Wulandari tampak tengah merapikan presentasi di dalam sebuah kafe. Perempuan tersebut tampak bekerja dengan buru-buru, karena presentasi tersebut harus selesai dalam waktu 10 menit lagi. Ia pun berusaha untuk fokus di depan laptop, agar bisa menyelesaikan revisi terhadap presentasi itu tepat pada waktunya.

MEHN2HR_t.png


Ia sebenarnya telah menyelesaikan presentasi tersebut di malam sebelumnya. Namun mendadak ia diminta untuk mengubah tampilan data di satu halaman agar bisa lebih mudah dipahami dalam pertemuan nanti. Untungnya, Yasmin berhasil melakukan tugasnya dengan baik, tepat sebelum dua orang pria yang sama-sama berusia sekitar 60 tahun, datang menghampiri mejanya. Perempuan tersebut pun berdiri dan memasang senyum termanisnya demi menyambut kedua pria itu.

“Pak Rahmat, perkenalkan ini salah satu dosen Universitas Jaya Abadi yang mendampingi saya di kesempatan hari ini, Bu Yasmin,” ujar salah satu pria yang biasa dipanggil dengan sebutan Pak Bas. “Bu Yasmin, perkenalkan Pak Rahmat, pemilik salah satu perusahaan retail terbesar asal kota Semarang.”

“Silakan duduk, Pak,” ujar Yasmin mempersilakan kedua pria tua di hadapannya untuk duduk di meja yang sama dengan dia.

Pak Bas tampak mencondongkan tubuhnya ke arah Yasmin dan berbisik, “revisi yang aku minta sudah selesai?”

Yasmin pun mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya, tanda semua pekerjaanya sudah ia bereskan. Pak Bas pun tersenyum.

“Oke, Pak Rahmat. Apa bisa kita mulai?” Tanya Pak Bas.

Isa, Bas. You langsung mulai saja ke pokok-pokoknya ya, waktu saya sedang tidak banyak,” Jawab Pak Rahmat sambil melirik ke arah jam tangannya.

Mengerti akan kondisi yang ia hadapi, Pak Bas pun langsung menunjukkan perangkat tablet yang menampilkan sebuah presentasi di hadapan Pak Rahmat. Dengan sigap, ia menjelaskan tentang maksud dan tujuannya mengundang sang konglomerat untuk datang pada hari ini, serta kerja sama seperti apa saja yang bisa dibangun antara Universitas Jaya Abadi dan perusahaan milik Pak Rahmat.

Di momen ini, Yasmin menemukan sisi yang berbeda dari Pak Bas. Pria tua yang selama ini dia anggap menyusahkan, berotak mesum, serta tidak bisa dipercaya, justru bisa menjelaskan dengan sempurna apa yang harus ia sampaikan kepada Pak Rahmat. Sang pimpinan yayasan tersebut bahkan tidak perlu melihat presentasi yang sebelumnya dibuat Yasmin sebagai panduan. Presentasi itu justru hanya untuk diperlihatkan kepada Pak Rahmat, dan Pak Bas dengan fleksibel akan menjelaskan lebih lanjut bila ada halaman tertentu yang mendapat perhatian lebih dari pemilik perusahaan besar itu.

Entah mengapa, aura kejantanan Pas Bas benar-benar terpancar di momen tersebut, menurut Yasmin. Perempuan tersebut pun merasa ia harus mempersiapkan diri apabila ada pertanyaan dari Pak Rahmat, agar bisa menjawabnya dengan baik. Ia tidak ingin mengecewakan sang pimpinan yayasan yang telah memulai semuanya dengan sempurna.

Dan akhirnya momen tersebut pun tiba.

“Saya ingin bertanya kepada Bu Yasmin. Menurut you, apakah Universitas Jaya Abadi harus terus menerus bergantung pada dukungan dari investor? Atau mencukupkan diri dengan pendapatan dari para mahasiswa,” ujar Pak Rahmat.

“Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin saya perlu gambarkan bahwa kampus pada dasarnya adalah institusi pendidikan. Karena itu, meski pada akhirnya ia harus menjalankan bisnis agar bisa bertahan, namun pondasi utamanya tetap pada unsur pendidikan, dan di negara berkembang seperti Indonesia, inklusivitas dalam pendidikan adalah hal penting,” papar Yasmin.

Yasmin melirik sebentar ke arah Pak Bas, khawatir jawabannya dirasa kurang tepat. Namun sang pria tua mempersilakan dia untuk melanjutkan jawabannya.

Perempuan tersebut pun menurut, “Atas dasar itu, semata-mata bergantung pada pendapatan dari mahasiswa bukanlah hal yang memungkinkan bagi Universitas Jaya Abadi, setidaknya untuk saat ini, karena bisa berdampak pada kurangnya inklusivitas kampus. Hanya orang kaya raya saja yang nantinya bisa bersekolah di kampus kami, dan itu bertentangan dengan visi misi kami sebagai lembaga pendidikan. Itulah mengapa menurut saya perlu adanya lini bisnis baru yang dalam hal ini berkaitan dengan dana investor, yang bisa dikelola oleh kampus untuk memberikan manfaat, bukan hanya untuk kegiatan belajar mengajar, tapi juga untuk kepentingan dari sang pemberi dana. Dengan begitu, kampus kami bisa tetap teguh pada prinsip mendorong sektor pendidikan, sekaligus bisa membangun bisnis yang berkesinambungan.”

Pak Rahmat pun mengangguk-angguk setelah mendengar jawaban panjang dari Yasmin.

“Sekian pak, jawaban saya. Apabila masih ada yang ingin ditanyakan, silakan.”

“Saya rasa cukup… Nek saya sih suka sama proposal kamu ini, Bas. Nanti biar si Judith sekretaris saya yang menghubungi lebih lanjut untuk teknisnya. You sudah tahu nomernya si Judith juga kan? Gimana?”

“Baik tidak masalah, Pak Rahmat,” jawab Pak Bas dengan wajah sumringah. Ia tak menyangka perjalanannya mencari investor kali ini akan langsung berakhir dengan kesuksesan.

Oke, saiki piye? Ada hal lain lagi yang perlu kita bicarakan? Nek ndak ada saya pamit dulu. Saya ndak ada waktu lagi ini, harus menghadiri acara lain lagi. Sukses untuk you semua ya, Bas… Bu Yasmin.”

Setelah bersalaman, sang konglomerat kelas kakap tersebut pun langsung pergi meninggalkan kafe tempat mereka berada. Saat sosok Pak Rahmat sudah tidak terlihat dari pandangan mata, Pak Bas dan Yasmin secara reflek langsung saling berpelukan demi melepaskan rasa bahagia mereka.

Pak Bas pun jadi bisa merasakan betapa empuknya payudara sang dosen muda tersebut, sesuatu yang sudah ingin sekali ia sentuh dan remas sejak pertama kali bertemu dengannya. Aroma tubuh sang perempuan yang begitu harum, praktis membuat birahinya langsung menggelegak.

Di sisi lain, Yasmin pun merasakan kehangatan berbeda, karena ini adalah pertama kalinya ia merasakan tubuh Pak Bas secara langsung dalam dekapannya. Buah dadanya yang kini menempel di tubuh pria tua tersebut menjadi terasa sedikit geli dibuatnya.

Beberapa menit kemudian, mereka pun melepaskan pelukan tersebut. Situasi menjadi canggung, karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing tentang sentuhan tersebut.

“Terima kasih, Yasmin. Atas bantuan kamu, kampus kita bisa mendapat dana dari Pak Rahmat. Jawaban kamu tadi benar-benar luar biasa,” ujar Pak Bas.

“Sama-sama, Pak. Senang rasanya bisa membantu kampus, sekaligus mempertanggungjawabkan kesalahan saya,” jawab Yasmin.

“Ahh … Kamu sudah tidak perlu khawatir soal Entrepreneurship Day. Uang yang diberikan Pak Rahmat nanti jauh lebih besar dari jumlah yang kita permasalahkan kemarin, hahaha.”

Yasmin merasa senang dengan kata-kata tersebut, meski ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. “Hmm, kalau begitu, saya pamit dulu Pak. Mau jalan-jalan dulu mumpung lagi di sini. Boleh kan?”

“Boleh. Mau saya temani?”

“Nggak usah, Pak. Saya sendiri saja,” ujar Yasmin sambil membereskan barang-barangnya.

“Oh iya, Yasmin. Saya bawa minuman kesukaan kamu, ambil saja. Buat teman jalan-jalan nanti,” ujar Pak Bas sambil memberikan sebotol minuman elektrolit yang memang merupakan merek favorit Yasmin.

“Bapak tahu saja saya suka minuman ini. Terima kasih banyak, Pak. Saya permisi dulu kalau gitu,” ujar Yasmin sambil berjalan meninggalkan kafe tersebut.


***​


Kesepian adalah perasaan yang sangat menyebalkan. Setelah terbiasa terus bersama setiap hari, ketidakhadiran seorang pasangan meski hanya untuk sehari, tetap saja meninggalkan lubang yang menganga di hati. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Laras malam ini. Pagi tadi, sang suami baru saja berangkat ke Jogja, sehingga perempuan cantik tersebut kini seperti tenggelam dalam kebosanan karena hanya sendirian saja di rumah.

Ia telah coba menghabiskan waktu dengan menonton serial favoritnya di Netflix, memeriksa akun Instagramnya yang kini semakin ramai, serta menelepon sang suami yang terpisah sekitar 500 kilometer darinya. Namun setelah semua itu selesai ia lakukan, Laras masih belum merasa mengantuk.

Perempuan cantik yang tengah mengenakan daster panjang tersebut pun mempunyai sebuah ide menarik untuk mengisi waktunya malam ini. Ide tersebut berkaitan dengan seseorang yang terus menerus menggodanya selama beberapa hari terakhir. Karena itu, ia pun membuka aplikasi WhatsApp demi memulai rencananya.

MEHN2HT_t.png


"Malam, Pak Dekan. Sudah tidur?" Ketik Laras, sambil menunggu balasan dari sang pria tua selama beberapa menit.

Kebiasaan menggoda pria seperti ini memang bukan yang pertama kali ia lakukan. Laras mempelajari betapa kuatnya pesona seorang perempuan di mata lelaki sejak ia masih duduk di bangku SMA. Saat itu, perempuan yang tidak mempunyai kemampuan di bidang olahraga tersebut sempat terkilir kakinya sewaktu menjalani tes akhir yang menentukan kelulusannya dari sekolah. Karena itu, ia pun dibopong oleh guru olahraganya yang berusia 40 tahun ke ruang UKS.

Awalnya, sang guru hanya menanyakan keadaannya, dan memeriksa apakah perempuan yang masih berstatus pelajar tersebut perlu penanganan lanjutan atau tidak. Namun tak lama kemudian, sang guru mulai mengusap-usap kakinya tanpa izin, serta bagian tubuhnya yang lain. Untungnya, guru tersebut tidak sempat menggerakkan tangannya ke bagian yang lebih sensitif dari tubuh Laras, karena terlanjur dihentikan oleh sang perempuan muda.

"Stop, Pak. Saya tidak akan mengatakan apa yang terjadi kepada guru yang lain, asalkan Bapak memberi nilai bagus untuk saya di tes olahraga kali ini. Setuju?" Ujar Laras muda sambil mengedipkan sebelah matanya. Sang guru hanya terdiam dan langsung pergi dari ruang UKS. Dan akhirnya, Laras lulus dari ujian olahraga dengan hasil yang memuaskan, meski tidak memberikan usaha terbaiknya sama sekali.

Di bangku kuliah, Laras pun melakukan strategi serupa kepada beberapa dosen pria yang sering terlihat gelisah di dalam ruang kelas saat memandang tubuhnya yang menarik. Apabila Laras merasa kesulitan di mata kuliah yang diampu oleh dosen perempuan, maka ia akan menggoda mahasiswa paling pintar di kelas tersebut demi mendapat bantuan.

Ia pun mendekati suaminya saat ini, Sofyan, dengan cara yang sama. Laras waktu itu ingin terlibat lebih aktif di organisasi kampus, tetapi terus mendapat penolakan dari para senior. Karena itu, ia pun mendekati Sofyan yang akhirnya memuluskan jalannya di organisasi tersebut. Dan karena sang pria akhirnya jatuh cinta dan berniat melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, Laras pun setuju. Meski begitu, ia tetap tidak bisa melupakan betapa kuatnya pengaruh tubuh gemulainya di mata para pria hidung belang.

Dalam kasus Pak Yo, Laras sebenarnya masih bimbang keuntungan seperti apa yang bisa ia dapatkan. Namun setidaknya, apabila pria tua itu memberi jalan yang mulus bagi karir suaminya serta peluang bisnis bagi perempuan tersebut, semuanya terasa impas.

Namun di sisi lain, Laras mulai khawatir apakah ia sudah mulai melewati batas dalam kasus ini. Beberapa kali bertemu dengannya, hati sang perempuan sempat berdebar cukup hebat saat tengah bersama dengan pria tua tersebut. Dan hal ini berbeda dari biasanya.

Akhirnya, pesan yang ditunggu Laras pun tiba. "Selamat malam, Dik Laras. Belum kok, saya belum tidur. Ada apa?"

Perempuan tersebut melirik ke arah jam dinding di kamarnya, yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suka tidur malam juga rupanya pria tua ini, pikir Laras.

"Cuma mau tanya saja, Pak. Memangnya Mas Sofyan memang harus pergi ke Jogja ya? Dan harus sampai berhari-hari?"

"Oh, soal itu. Sesuai prosedur memang seperti itu, Dik. Pak Sofyan kan masih terhitung baru dalam proses akreditasi ini, jadi supaya dia lebih paham tentang alur kerjanya, akan lebih baik kalau dia belajar pada ahlinya di Jogja. Dan tentu saja, hal itu tidak bisa selesai hanya dalam waktu satu hari."

"Baik, Pak. Saya paham. Jadi menurut Pak Yo, ini adalah hal yang baik untuk karir suami saya?"

"Tentu saja, Dik Laras. Apabila sukses mengurus akreditasi, sepertinya tidak ada lagi dosen dengan pengalaman dan kualitas yang lebih baik dari Pak Sofyan di Fakultas Ekonomi Bisnis."

Laras pun tersenyum. Ia memang tidak yakin apakah kedekatan dia dengan Pak Yo mempunyai andil dalam kemajuan karir sang suami. Namun selama hasilnya bagus, perempuan tersebut tak peduli apa pun penyebabnya.

"Memangnya kenapa, Dik Laras? Kesepian ya? Heheh..."

Laras pun tersenyum melihat chat dari sang dekan tua yang mulai menjurus ke arah seksual. "Istri mana sih yang tidak kesepian kalau ditinggal suaminya Pak? Hihihi..."

"Kalau kesepian begitu biasanya ngapain?"

"Ya, cari kesibukan saja yang menyenangkan."

"Jadi, mengobrol dengan saya itu menyenangkan?"

Jantung laras seperti terkena lemparan granat. Laras sepertinya sudah salah bicara. Pria tua itu memang sangat cerdas dan pintar membalikkan kata-kata. "Pak Yo kan orang baik, siapa sih yang tidak senang ngobrol dengan Bapak."

"Jadi sama saya cuma senang ngobrol nih, nggak mau yang lain?"

"Yang lain itu apa, Pak?"

"Ya, misalnya makan Toblerone bareng di apartemen saya."

"Hahaa... Jangan deh Pak. Takut keterusan."

"Kalau keterusannya bikin enak, memangnya Dik Laras mau menolak?"

Duhh... Laras makin geregetan saja dengan pria tua yang tak henti-henti menggodanya tersebut. Ia pun jadi teringat kejadian saat ia tengah berduaan dengan Pak Yo di apartemen milik dekan tua tersebut. Pelukan tubuh Pak Yo terasa begitu hangat, bahkan sedikit lebih hangat dibanding suaminya sendiri. Dan ketika jemari sang pria tua masuk ke dalam mulutnya yang sensual, Laras sebenarnya enggan untuk melepasnya, dan ingin terus menghisapnya kuat-kuat.

"Ingat anak istri di rumah, Pak. Hihihi," ujar Laras mengalihkan pembicaraan.

"Saya ingat kok. Dik Laras kalau sedang bersama Pak Sofyan, apakah mengingat saya juga?"

Hahh... Bagaimana pria tua ini bisa tahu kalau Laras sempat membayangkan dirinya saat tengah bermain cinta dengan sang suami. Apakah dia adalah seorang cenayang?

"Hahaa ... Saya hanya bercanda, Dik Laras. Tidak usah dimasukkan hati," ujar Pak Yo. "Eh, mau melanjutkan permainan kita yang kemarin?"

"Yang mana, Pak?"

"Mengirim foto tempat kita berada sekarang."

Laras sebenarnya enggan karena dia masih tetap berada di tempat yang sama, yaitu di dalam kamar tidurnya. Namun ia penasaran juga mengapa sang dekan senang sekali melakukan permainan ini. Karena itu, perempuan cantik tersebut pun mengiyakan.

"Boleh, Pak. Siapa duluan?"

"Kamu duluan saja, Dik Laras."

"Oke, Pak."

Laras sempat berpikir sejenak. Ia melihat sebuah bra miliknya yang berwarna merah menyala, tergeletak di dekat lemari. Ia pun mempunyai ide yang sedikit gila. Perempuan tersebut sengaja menggantungkan bra tersebut di sebuah gantungan dekat meja rias di dalam kamarnya. Kemudian ia pun mengambil foto kamar yang seolah-olah fokus pada meja rias, tetapi tetap menangkap gambar bra tersebut di ujungnya. Ia pun mengirimkan foto tersebut pada Pak Yo.

"Hmm, semakin dilihat, semakin bagus juga ya kamar kamu."

Laras terkejut. Pak Yo tidak memberikan komentar apa-apa tentang bra yang sengaja ia gantungkan di sebelah meja rias. Apakah dekan tersebut tidak melihatnya?

"Apa yang Bapak paling suka dari foto ini?" Laras mencoba memancing.

"Hmm, kamu punya koleksi make up dan parfum yang menarik. Kapan-kapan boleh saya belikan yang baru untuk menambah koleksi?"

"Ihh... Mauuuuu... Nanti saya kirimkan link ecommerce-nya boleh nggak?"

"Boleh banget, Dik Laras. Apa pun yang bikin Dik Laras senang, saya juga senang, heheh."

"Sekarang giliran Bapak."

"Oke."

Sesaat kemudian, dekan tua tersebut mengirimkan foto yang membuat Laras begitu kaget. Foto tersebut menampilkan kamar tidurnya yang tidak berisi terlalu banyak perabotan. Namun foto itu sepertinya diambil oleh Pak Yo dalam posisi terlentang di atas ranjang. Pria tua tersebut mengambil foto dari sudut pandang kepalanya ke arah bawah, sehingga menampilkan bagian dada, selangkangan, hingga kakinya. Masalahnya, saat ini Pak Yo sepertinya sedang tidak mengenakan kaos, dan hanya memakai celana boxer ketat untuk menutup bagian kemaluannya. Dan Laras pun bisa melihat jelas tonjolan besar di balik celana boxer tersebut.

"Hmm... Besar…” Laras tidak sengaja mengetik kata-kata tersebut, dan langsung menghapusnya. Sayang, Pak Yo sudah sempat membacanya.

"Kok dihapus Dik Laras? Memang apanya yang besar?"

"Hmm, ituuuu... Maksud saya kamar tidur Pak Yo besar banget."

"Oh, kirain apa. Kalau besar, memangnya Dik Laras mau bermalam di sini?"

"Mau, tapi Pak Yo tidur di luar ya."

"Nggak, apa-apa. Tapi di sini kamar mandinya hanya satu, jadi nanti kita pakai barengan ya."

Cukup... cukup... Laras sepertinya tidak sanggup lagi meladeni godaan dari atasan suaminya tersebut. Ia pun berusaha menghentikan obrolan malam yang sudah hampir melewati batas itu.

"Pak Yo ini. Makin malam makin ngaco omongannya. Lebih baik tidur, Pak. Besok ke kampus kan?"

"Iya, sih. Besok saya di kampus dari pagi hingga sore."

"Nah, harus jaga kondisi kalau begitu. Saya permisi dulu ya Pak, sudah malam."

"Hmm, boleh minta sesuatu dulu, Dik Laras?"

"Mau minta apa Pak?"

"Night Kiss."

Hihh... Ada-ada saja sih Pak Yo ini. Namun Laras pun terlalu malas untuk menolak. Ia pun mengirim sebuah emoticon yang berbentuk seperti bekas lipstik merah setelah mengecup sesuatu.

Pak Yo pun membalas dengan emoticon yang sama.

"Hmm... Jadi Pak Yo besok ada di kampus. Aku jadi bisa melaksanakan rencanaku selanjutnya. Tapi ingat, Laras. Kali ini jangan sampai kelewat batas, camkan itu," gumam Laras pada dirinya sendiri, sebelum kemudian tertidur pulas di atas ranjang yang biasa ia gunakan bersama sang suami.

(Bersambung)
 
Christmas eve ga ada apdet
Eh pas hari natal nya dikasih apdet 9.8k words
Makasih kado natalnya hu :papi:
 
Semoga Besok Om. huehuehue. Biar Menjadi Kado Natal Untuk Semprot Lovers. Kangen Advanture Bu Yasmin di Semarang. Dan Juga The One And Only Laras & Pak Yoo Memadu Cinta. huehuehue

Selamat Natal bagi semua semprot lovers yang merayakan.

Dengan ini, saya memberikan hiburan berupa petualangan Bu Yasmin di Semarang dan interaksi menjanjikan antara Laras dan Pak Yo, hee

Keren banget penulisan sm gaya bahasanya, ajib hu

Terima kasih apresiasinya, suhu

Kali aja minggu2 ada penyemangat ekstra.. baca update sist @fathimah hehehe

Semoga bertambah ya semangatnya minggu ini, hii
 
Makasih updatenya

Sempat kepikiran gitu kalau Yasmin bakal dibuat teler gtu, eh ternyata dikasih obat perangsang ya hahaha. Duh di hari pertama aja udh di grepe-grepe sama tukang taksi, gimana hari kedua dan ketiga.

Ferdian ini nguntit Naura sebagai kekesalannya atas Yasmin atau emang sebenernya emang tabiat aslinya aja yang udh keluar hahaha. Serem banget orang macam Ferdian ini.

Astaga Laras, sebenernya nyangka kalau Laras muncul pasti ada adegan dimana Laras menggoda pak Yo, tapi ga nyangka aja kalau sampai godain mang Ujang tukang sayur keliling. Mana sampai terong ditempelin di pipi dan bibir lagi, ya mana tahan si mang Ujang hahaha. Tapi setelah penjelasan kenapa Laras pandai menggoda pria ternyata udh menjadi kebiasaan disaat muda ya, sepertinya tidak adanya pengawasan atau jenuhnya hubungan dengan Sofyan menjadi salah satu penyebab Laras dapat mengekspresikannya kembali.

Ditunggu kelanjutannya
 
Detail tulisan sama giring emosinya itu keren bgt hu, luar bisasa ente @fathimah

Terima kasih apresiasinya hu
Semua juga berkat dukungan dari partner collab om killertomato

Makasih updatenya

Sempat kepikiran gitu kalau Yasmin bakal dibuat teler gtu, eh ternyata dikasih obat perangsang ya hahaha. Duh di hari pertama aja udh di grepe-grepe sama tukang taksi, gimana hari kedua dan ketiga.

Ferdian ini nguntit Naura sebagai kekesalannya atas Yasmin atau emang sebenernya emang tabiat aslinya aja yang udh keluar hahaha. Serem banget orang macam Ferdian ini.

Astaga Laras, sebenernya nyangka kalau Laras muncul pasti ada adegan dimana Laras menggoda pak Yo, tapi ga nyangka aja kalau sampai godain mang Ujang tukang sayur keliling. Mana sampai terong ditempelin di pipi dan bibir lagi, ya mana tahan si mang Ujang hahaha. Tapi setelah penjelasan kenapa Laras pandai menggoda pria ternyata udh menjadi kebiasaan disaat muda ya, sepertinya tidak adanya pengawasan atau jenuhnya hubungan dengan Sofyan menjadi salah satu penyebab Laras dapat mengekspresikannya kembali.

Ditunggu kelanjutannya

Semua yang terjadi di masa lalu, memang biasanya menimbulkan sesuatu di masa sekarang
Tidak ada asap kalau tidak ada api katanya …
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd