Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
baca ceritanya udh keren, baca komennya jg ga kalah keren, out of the box klo tiba2 sofyan yg dpt runtuhan meki yasmin, tp klo liat peringatan pak yo sih mgkn aj sbg sop iler kejadian selanjutnya.... wah imajinasi ane makin kemana2 dah, mending duduk manis, seduh kopi n tunggu apdet berikutnya aj dah
 
Makin seru nih ....gk terasa udah di page34...saking banyak nya penggemar suhu ...trus hu lancrotkaaannn

Semoga setelah ini makin banyak penggemarnya ya
silakan bantu sebarkan ke seluruh dunia, hahaa ...

Cerita yang penuh tipu daya dan rencana jahat / kekerasan dan ancaman itu paling kusukaaa.... Masih mantau gmn kedepanya .... Hihi. Tpi biasanya alur crita yg disusun suhu killertomato gapernah bosenin dan fantasinya slalu cocok dengan para pembaca. Mkasih updatenya suhu, sehat slalu yaaa...

Terima kasih dari kami ...
Semoga yang kali ini juga cocok ya dengan kalian

Makin bikin penasaran yah hu ceritanya :aduh:

Tenang saja, diusahakan terus update cepat kok sampai akhir tahun
Tapi mohon maaf kalau di sela-selanya kami juga butuh liburan, hee

Tambah asik nih hu.. Berbagai tehnik disajikan dalam satu cerita... Warna warni nih nanti lama2 bacanya

Mana yang bakal sukses? Dan mana yang bakal gagal?

Ane baru liat ada karya dua legend dimari.. semoga setelah ini terus muncul karya collab kaya gini

Doakan semoga saya dan suhu killertomato tetap betah buat kerja bareng
Atau mungkin dari suhu-suhu penulis lain juga akan bikin collab serupa

Bener-bener layak diapresiasi kolaborasi suhu berdua. Dan yg kerennya adalah hampir update tiap hari sekarang. Ngerasain banget, ane aja sebagai penulis di real life, nggak mudah buat bikin satu plot cerita pendek, ini berseri pula tulisan. The best dahh

Semoga kami gak kehabisan ide buat memuaskan pembaca ya, hee

Semakin penasaran...... Eksenya kek gimana yaaaa???!!!! Euhhhhh.....

Sebentar lagi kok, semoga sukaaaaa ...
 
Bertubi tubi masalah yang datang ke Safira. Lalu Safira di exe rektor, waktu berjalan, Safira cari kedamaian dengan lanjut studi keluar negeri dan kejadian malang berlanjut, Safira di - exe paksa oleh afro spek kon**l sebesar tiang listrik, lalu Safira commit suic*de.

Akankah? Ah... sudahlah... hanya penulis yang tahu.
#SAFESAFIRA
 
Semoga sebelum akhir tahun udh ada yg kena icip2 bro..
 
Part 14: Fokus Berbeda

Dalam gelap, seorang perempuan tampak tengah merasakan rasa sakit yang menerpa seluruh tubuhnya, seperti menyelimuti sekujur badannya. Karena itu, ia pun langsung membuka matanya dalam kondisi panik dan terkejut. Cahaya putih langsung menembus pupil dan lensa matanya hingga ke retina, seperti mengisi relung yang tadinya hampa dengan sinar yang menyilaukan.

"Hahh... Hahh... Hahh..."

Perempuan itu pun terengah-engah. Ia berusaha mengatur napasnya agar kembali normal. Setelah kondisinya sudah cukup tenang, ia melihat ke sekeliling. Sepertinya Ia berada di sebuah ruangan rumah sakit, dikelilingi oleh tiang infus dan beberapa perlengkapan medis.

Namun yang paling membuatnya terkejut adalah keberadaan seorang pria yang mengenakan kaos polo lengan pendek di dekatnya. Pria tersebut duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring, dan menelungkupkan kepalanya di atas tempat tidur, seperti tengah tertidur. Tangannya tergeletak di atas tempat tidur, meski tidak sampai menyentuh tubuh sang perempuan.

MEHN2HU_t.png


Perempuan bernama Indira Nur Aisyah yang baru saja siuman tersebut langsung memegangi kepalanya yang masih terasa pening. Ia berusaha mengingat hal terakhir yang ia rasakan sebelum kehilangan kesadaran.

Waktu itu, ia tengah berjalan menuju mobil milik Pak Agustinus, dan harus menyeberang jalan. Mereka hendak pergi ke restoran dekat kampus untuk membicarakan perkembangan skripsi Andrew, anak semata wayang dari sang pria. Saat itulah tubuhnya seperti terserempet mobil yang melaju kencang, dan langsung hilang kesadaran.

Indira melihat tubuhnya yang ternyata masih mengenakan pakaian yang ia pakai sesaat sebelum kejadian tersebut terjadi. Lipstik merah yang ia oleskan sebelum menemui Pak Agustinus pun masih menempel di bibir indahnya. Jilbab berwarna merah muda yang ia kenakan juga masih terpasang di tempatnya semula.

"Berarti, pria ini adalah... Pak Agustinus?" batin Indira bertanya-tanya.

Ia bertambah yakin akan tebakannya tersebut saat melihat kulitnya yang gelap, dan lengan sang pria yang dipenuhi dengan bulu. Pria tersebut tampak begitu nyaman dalam tidurnya, seperti seseorang yang kelelahan setelah melakukan pekerjaan berat. Namun mengapa sang pria justru berada di sini, bukannya mengurus pekerjaan atau keluarganya?

Indira menatap ke arah jam dinding yang tergantung di hadapannya, sudah menunjukkan pukul enam sore. Artinya, sudah sekitar enam jam ia tidak sadarkan diri.

"Hanya aku sendiri pasiennya? Kok tidak ada pasien lain?" Pikir Indira bingung sembari mengamati kamar perawatannya yang tampak mewah, dengan area yang lebih luas dibanding ruangan rumah sakit pada umumnya. Ruangan itu juga dilengkapi sofa besar, kulkas kecil satu pintu, AC, televisi yang menayangkan sajian televisi berbayar, dan meja berukuran sedang. "Eh!? Apakah ini di ruang VIP? Siapa yang membayarnya?"

Indira pun langsung melirik pria yang masih tertidur di dekatnya. Jangan-jangan Pak Agustinus yang mengurus semuanya, pikir perempuan tersebut.

Meski wajah sang pria masih menelungkup ke bawah, Indira tetap merasakan getaran di dalam hatinya saat melihat tubuh Pak Agustinus yang cukup kekar, jauh berbeda dengan tubuh Ahmad, sang kekasih yang cenderung kurus. Dari tempatnya berbaring, Indira bahkan bisa menghirup aroma parfum Pak Agustinus yang begitu jantan, dan menimbulkan sensasi unik di hidungnya.

"Pria ini baik sekali," gumam Indira. Namun ia tentu sadar akan perbedaan besar yang menjulang di antara keduanya. "Tapi tentu saja, kami tidak akan pernah menjadi apa-apa."

Getaran hati tersebut mendorong Indira untuk menggerakkan tangannya ke arah sang pria. Perlahan, perempuan tersebut menyentuh jemari pria tersebut, yang sebenarnya tidak boleh ia lakukan karena tidak ada hubungan keluarga di antara keduanya. Namun Indira seperti tidak peduli, toh tidak ada orang lain di kamar tersebut, dan sang pria pun masih dalam kondisi tertidur.

"Kalau tidak sekarang, tidak mungkin aku punya kesempatan seperti ini lagi," pikir Indira.

Merasa tidak ada perubahan dari kondisi Pak Agustinus, Indira coba memberanikan diri untuk menggerakkan tangannya ke arah lengan berbulu anggota dewan tersebut, yang telah memicu rasa penasaran di hatinya sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tanpa disadari oleh sang pria, jantung perempuan tersebut selalu saja berdebar kencang saat melihat bulunya.

"Ohhh..." desis Indira Lirih saat merasakan bulu-bulu halus di lengan sang pria.

Sejak muda, perempuan yang selalu mengenakan jilbab tersebut hampir tidak pernah berhubungan terlalu serius dengan lawan jenis. Ia lebih memilih untuk fokus dalam pendidikan, dan kemudian berkonsentrasi pada karirnya sebagai dosen setelah lulus kuliah. Ia tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan orang tuanya yang telah membesarkannya hingga sekarang.

Karena ketertarikan besarnya pada dunia akademis, sedari muda Indira sudah memimpikan punya pasangan yang sama-sama berpendidikan dan bisa diajak mengobrol tentang hal-hal yang serius. Dan tentu saja, pria tersebut harus menyayanginya dengan sepenuh hati, dan mencurahkan perhatian penuh kepada dirinya.

Namun entah mengapa, pria yang mendekatinya selama ini selalu saja mempunyai strata pendidikan yang lebih rendah darinya. Karena itu, ia pun jadi tidak bisa membicarakan kegelisahan-kegelisahan intelektual di dalam otaknya kepada mereka. Obrolan mereka selalu saja tidak nyambung.

Di sisi lain, Indira pun tidak bisa terlalu banyak memilih, karena mayoritas pria yang mendekatinya datang dari kenalan orang tuanya.

"Padahal aku tidak butuh pria dengan wajah yang tampan atau tubuh yang ideal, hanya ingin mereka bisa membuatku hangat saat berada di dekat mereka," pikir Indira.

Dan kehangatan tersebut tidak bisa ia rasakan saat bersama dengan Ahmad, meski Indira mengakui bahwa pria itu mempunyai wajah yang cukup tampan. Sisi positif tersebut jadi terlupakan ketika Ahmad mulai menyombongkan kekayaannya, tingkah yang benar-benar membuat Indira ilfeel. Namun keseriusan sang pria untuk segera menikah, membuat Indira akhirnya luluh.

"Witing tresno jalaran soko kulino," ujar orang tuanya berkali-kali. "Cinta itu tumbuh karena terbiasa."

Setelah kedatangan Pak Agustinus dalam hidupnya, Indira baru menyadari bahwa kombinasi tubuh kekar dan otak yang cerdas di diri seorang pria bukanlah sesuatu yang mustahil. Dari Andrew, Indira mengetahui bahwa sembari mengembangkan bisnis, sang ayah tidak pernah lupa untuk melanjutkan pendidikannya. Dorongan untuk menjadi politikus pun muncul dari kegelisahannya akan kondisi masyarakat saat ini. Di titik tersebut, Indira pun mulai merasakan kehangatan yang ia impikan selama ini.

"Ayah selalu bilang bahwa otak yang cerdas akan membuat kita bisa melalui segala tantangan dalam hidup, seberat apa pun hambatan tersebut," ujar Andrew di sela-sela obrolannya dengan Indira, saat sang dosen datang ke rumahnya untuk membantu mengerjakan skripsi.

Indira sadar bahwa Pak Agustinus mempunyai wajah yang tidak terlalu tampan, dan warna kulit yang berbeda 180 derajat dengan dirinya. Mereka bahkan mempunyai kepercayaan yang berbeda. Namun semua perbedaan itu justru membuat Indira seperti tertantang untuk mengetahui lebih banyak hal tentang pria tua tersebut.

"Bulu tangan Pak Agustinus kok bisa lebat begini sih, bagaimana dengan…”

Indira tersentak sendiri karena pikirannya terlalu berani.
“Hisshhh, mikir apa sih kamu Indira," gumam perempuan berjilbab tersebut. "Ingat, kamu itu perempuan terhormat yang tidak boleh melakukan hal-hal di luar norma."

Namun rasa gemas di hatinya seperti tak tertahankan. Indira coba menggenggam lengan Pak Agustinus lebih erat, hingga tangannya serasa penuh dengan bulu lengan sang pria. Rasa geli seperti menyeruak dari tangan Indira, dan mengirimkan respon misterius lewat saraf sensorik ke jaringan otaknya.

"Hooaaaaahhhmmmm..."

Tiba-tiba terdengar lenguhan dari bibir Pak Agustinus, seperti orang yang menguap saat baru bangun tidur. Dengan panik, Indira pun langsung menarik tangannya yang halus dari lengan sang pria, lalu membenahi posisi tidurnya.

Pak Agustinus mengerjapkan mata, berusaha meraih kesadaran sempurna. Tak lama kemudian, matanya pun saling bertatapan dengan Indira.

"Bu Indira, anda sudah sadar?"

"Su-sudah, Pak," jawab Indira sambil tersenyum, berpura-pura tidak ada yang terjadi sebelum sang anggota dewan tersebut membuka mata.

"Sejak kapan? Bagaimana? Masih terasa sakit tidak? Perlu saya panggilkan dokter? Ada yang pusing? Memar? Pegal? Linu?" Pak Agustinus tampak panik.

"Hahaa, tidak usah, Pak," ujar Indira menenangkan. "Memang masih terasa sakit di beberapa bagian, tetapi saya sudah enakan kok."

"Yakin? Kalau muncul rasa nyeri yang tidak bisa Ibu tahan, langsung bilang saja ya."

"Iya, Pak," jawab Indira sambil tersenyum. "Ngomong-ngomong, apa yang sebenarnya terjadi Pak? Bagaimana saya bisa sampai terkapar di sini?"

"Ibu ingat kan kalau kita berdua sempat berencana makan siang bersama?"

Indira mengangguk.

"Nah, sewaktu Ibu menyeberang jalan di depan Gedung 1 menuju area parkir, tiba-tiba ada mobil yang melaju kencang dan menyerempet tubuh Ibu hingga terpelanting," ujar Pak Agustinus dengan raut wajah khawatir. "Saya langsung lari menghampiri Ibu yang pingsan dan tergeletak di tengah jalan, lalu membawa Ibu ke rumah sakit."

"Pengemudi mobil itu sekarang di mana Pak?"

"Dia kabur, Bu. Saya sempat coba mengejarnya, tetapi karena saya lihat Ibu sudah jatuh, akhirnya saya putuskan untuk menyelamatkan Ibu terlebih dahulu. Plat nomornya pun tidak jelas, sehingga sulit mengidentifikasinya."

"Satpam dan keamanan kampus juga tidak ada yang mampu menghentikannya, Pak?"

"Saya pikir juga mereka akan menghentikan mobil tersebut. Tapi anehnya mereka tidak terlihat sama sekali saat kejadian berlangsung."

"Hmm..." Pikiran buruk Indira langsung melayang kemana-mana. Kok aneh? Jangan-jangan…

Ia curiga bahwa hal yang menimpa dirinya adalah sebuah kesengajaan. Namun ia tidak bisa menebak siapa yang sampai mempunyai niat jahat seperti itu untuk mencelakai dia. Indira merasa tidak mempunyai musuh sama sekali.

"Ibu jangan berpikir yang berat-berat dulu. Fokus utama Ibu saat ini adalah agar bisa lekas sembuh dan segera beraktivitas,” ujar Pak Agustinus saat melihat dosen perempuan tersebut tampak memikirkan sesuatu.

"Iya, Pak," jawab Indira. "Ngomong-ngomong, mengapa saya ditempatkan di ruangan ini, Pak? Setahu saya asuransi kampus hanya mengcover ruang perawatan kelas 2 untuk rawat inap."

"Saya sudah menangani semuanya, Bu. Jangan khawatir. Urusan rumah sakit semuanya adalah tanggung jawab saya," jawab Pak Agustinus sambil tersenyum.

"Hmm, tapi saya jadi tidak enak, Pak."

"Tidak perlu begitu, Bu Indira," ujar pria tua tersebut. "Anggap saja ini sama dengan apa yang Ibu lakukan untuk Andrew. Saya juga merasa bersalah dengan kecelakaan yang menimpa Ibu, dan ini adalah salah satu cara saya untuk menebusnya."

Indira tidak menyangka bahwa kata-katanya pada Andrew beberapa minggu lalu kini justru kembali kepadanya. Dan yang menggunakan kata-kata tersebut kepadanya justru ayah Andrew sendiri. Dalam hati, perempuan tersebut pun terkesan dengan niat baik pria tua itu.

Sang dosen muda kemudian berusaha untuk bangkit dari posisi tidur untuk mengucapkan rasa terima kasihnya, namun langsung dicegah oleh Pak Agustinus. Pria tua tersebut menahan bahu Indira, hingga sang perempuan kembali ke posisinya semula. Namun karena gerakan tersebut, tangannya pun jadi bersentuhan dengan lengan sang perempuan.

"Stop it, Bu. Just lay down..." ujar Pak Agustinus.

"Hmm, okay Pak..." jawab Indira menurut.

Namun setelah ditunggu beberapa lama, tangan sang anggota dewan tidak juga lepas dari lengan Indira. Pria berkulit gelap tersebut bahkan seperti mengusap-usap lengan sang perempuan dari atas ke bawah, secara berulang-ulang. Di mata orang yang melihat, sentuhan tersebut mungkin masih bisa dianggap normal dilakukan oleh seseorang yang sedang menunggu pasien. Namun bagi Indira yang tidak biasa disentuh oleh lawan jenis, usapan Pak Agustinus tersebut merupakan sesuatu yang spesial. Tubuhnya pun seperti kaku menikmati usapan tersebut. Hanya matanya saja yang menatap dalam-dalam mata Pak Agustinus, yang langsung dibalas oleh sang pria tua.

Dosen muda tersebut bahkan tetap diam saat Pak Agustinus berdiri dari kursinya dan mendekat ke tempat kepalanya bersandar. Sang pria kemudian mengarahkan tangannya untuk mengusap kepala Indira yang masih berbalut jilbab. Ia melakukannya dengan begitu lembut, seperti ada cinta kasih yang mengalir di setiap usapan tersebut. Apalagi ketika tangan sang pria tua terus turun hingga menyentuh pipi indah Indira.

Ini adalah pertama kalinya Indira merasakan pipinya yang mulus disentuh oleh seorang pria selama bertahun-tahun. Salah satu mantannya memang sempat mencoba melakukannya beberapa tahun lalu, tetapi langsung dihentikan oleh Indira. Mereka sempat saling marah selama berminggu-minggu karena masalah itu, meski akhirnya berbaikan kembali.

Mereka pada akhirnya putus karena sang pria menganggap bahwa apabila mereka menikah, Indira harus berhenti dari pekerjaannya sebagai dosen dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Ini adalah salah satu syarat yang tidak bisa dipenuhi sang perempuan. Karena itu, Indira langsung meminta izin kepada orang tuanya untuk memutus hubungan mereka.

Namun entah kenapa, Indira seperti tidak punya tenaga untuk menghentikan Pak Agustinus dari menyentuh wajahnya. Permukaan tangan sang anggota dewan yang kasar tersebut memberikan sensasi tersendiri di tubuh Indira. Seakan perempuan tersebut ingin disentuh seperti itu, lagi dan lagi.

Jauh di dalam relung hatinya, Indira tahu bahwa apa yang terjadi di ruang VIP rumah sakit tersebut adalah hal yang salah, dan ia harus segera menghentikannya.

"Please stop," ujar Indira dengan nada pelan dan parau, seperti sedang berbisik.

“You sure? It seems that you like it,” ujar Pak Agustinus sambil memberanikan diri untuk menyentuh ujung bibir Indira.

“I’m sure. You know that we can’t do it. I’m your son’s lecturer. We have boundaries.”

“I see. You’re a good lecturer. Smart and intelligent. For me, an intelligent woman such as yourself is so… breathtakingly gorgeous and also… cute.”

“Likewise, Pak,”
jawab Indira yang mulai merasa tegang akibat sentuhan bibirnya dengan jemari Pak Agustinus. Ia menatap pria itu dengan sejuta tanya dan harap yang tidak berani ia bayangkan.

“Maksudnya?”

Indira pun jadi ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Apalagi Pak Agustinus masih terus mengusap-usap bibirnya.

“Maksudnya apa? Just say it, Bu,” Pak Agustinus kini mulai mendekati tubuh Indira, dan membisikkan kata-kata tersebut tepat di telinga sang perempuan.

“Menurut saya… an intelligent person like you is also quite… charming and… cute.”

Pak Agustinus tampak tersenyum. “Our feelings are mutual, then.”

Tepat pada saat itu, Pak Agustinus dan Indira sama-sama mendengar suara pintu ruangan dibuka dari luar. Sang pria pun reflek mundur ke belakang, menjauhi tubuh Indira. Ternyata, sepasang pria dan perempuan paruh baya tampak baru saja memasuki ruang perawatan tersebut, dan langsung menghambur ke arah Indira.

“Ya ampuuuuun. Kamu tidak apa-apa, Nak?” Tanya sang Ibu.

“Ya Tuhan. Kenapa kamu? Tidak apa-apa kan? Apa yang bisa Bapak lakukan untuk kamu, Nak? Aduh… aduh… anakku sayang,” Tanya sang Ayah.

Diberondong dengan pertanyaan seperti itu, Indira pun tersenyum. “Ayah dan Ibu ini … Indira nggak apa-apa kok, sudah baikan. Oh iya, kenalkan ini Pak Agustinus, orang tua dari salah satu mahasiswa yang kebetulan menolong dan membawa Indira ke rumah sakit.”

Pak Agustinus pun langsung menyalami tangan kedua orang tua Indira tersebut sambil tersenyum.

“Hmm, sepertinya Ibu pernah lihat wajahnya, tapi di mana ya?” tanya Ayah Indira.

“Kebetulan saya adalah salah satu anggota dewan perwakilan di ibu kota. Mungkin ibu melihat foto saya karena itu.”

“Oh iya, bener juga. Yang mencalonkan diri jadi gubernur juga kan?”

“Hahahaa, doakan saja, Bu,” jawab Pak Agustinus. Melihat suasana ruangan yang sudah ramai dan kondisi Indira yang mulai sehat, ia pun berpamitan. “Oh iya, kebetulan saya ada keperluan lain setelah ini. Mohon izin untuk pergi dulu ya. Bapak dan Ibu, senang bertemu dengan kalian… Indira, semoga cepat sembuh.”

“Iya… terima kasih banyak, Pak. Be careful on your way.” ujar Indira tiba-tiba. Ia sengaja menggunakan Bahasa Inggris agar orang tuanya tidak mengerti.

“I will,” jawab Pak Agustinus sambil beranjak pergi. Namun sebelum keluar kamar ia tampak berbalik. “Hmm, do you want me to let you know when I’m home?”

Hati Indira berdebar. Apakah hubungan seperti itu yang ia inginkan? Karena bersama Ahmad, ia terbiasa selalu menjadi pihak yang menanyakan kabar sang pria. Sedangkan kekasihnya tersebut tidak pernah sama sekali menanyakan kabar atau keberadaannya, kecuali di saat-saat ia membutuhkan Indira.

“Ehm… may I?”

“Only if you want it.”

“Why do you asked me this question? Of course it’s up to you.”

“Do you want it? I asked you first. Yes or no. Do you want it or not?”


Indira akhirnya menyerah. Ia ingin kehangatan itu, ia ingin perhatian itu, ia ingin rasa berdebar itu. Apabila ia bisa mendapatkannya hanya dari pesan singkat, mengapa tidak.

“Yes.” Wajah Indira memerah karena malu, “Yes, please.”

Pak Agustinus pun tersenyum, dan langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut.


***​

MEHN2HU_t.png


Orang tua Indira tampak duduk di samping ranjang yang ditempati sang anak, dan melihat ke sekeliling ruangan.

“Bagus ya kamarnya,” ujar sang Ayah.

“Iya ya. Yah. Namanya juga kamar VIP,” jawab Indira.

“Jadi yang menanggung ini semua Pak Agustinus yang tadi?”

“He’em. Betul, Yah. Katanya dia merasa bersalah sudah menjadi salah satu penyebab Indira kecelakaan. Karena tadi memang menyeberang jalan untuk ketemu dia.”

“Oh, begitu. Nanti kamu harus bilang terima kasih sama dia, ya Nak.”

“Pasti, Yah.”

“Oh, iya. Kamu sudah kabarin Ahmad soal ini?” Kali ini giliran sang Ibu yang bicara.

“Hmm, belum sih, Bu. Perlu nggak ya? Kan Ibu sudah tahu kalau kami berdua sedang ada masalah kemarin.”

“Kamu coba telepon saja. Apabila dia tidak bisa dihubungi, ya sudah.”

“Baiklah …”

Indira akhirnya berusaha menelepon sang kekasih. Ponselnya dan beberapa barang pribadi lain miliknya sedari tadi memang tergeletak di sebuah meja rak di samping ranjang tempat perempuan tersebut berbaring. Namun beberapa kali ia melakukan panggilan, tidak juga ada jawaban.

Dalam hati, ia bertanya-tanya sedang apa sebenarnya Ahmad saat ini. Di saat ia sedang membutuhkannya, pria tersebut justru tidak ada. Sedangkan ayah dari mahasiswanya, yang usianya jauh lebih tua, justru berada di sisi Indira.


***​


Saat Indira menelepon Ahmad, pria tersebut memang tidak bisa mengangkat telepon sama sekali. Saat ini, ia sedang duduk di sebuah kafe bersama seorang perempuan yang baru ia kenal. Mereka telah berjanji untuk bertemu di kafe itu sejak beberapa hari yang lalu.

“Kamu… ternyata seksi banget ya…” Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Ahmad kepada perempuan berparas manis di hadapannya. “Tubuh kamu indah banget.”

“Hmm, masa sih Mas…?”

“Ahmad. panggil saya Ahmad,” potong pria yang mempunyai janggut tipis di dagunya tersebut. “Nama asli kamu siapa? Masa iya saya harus memanggilmu dengan nickname?”

“Amira, Mas,” jawab sang perempuan bertubuh sedikit gemuk tersebut.

“Amira?”

“He’em. Amira.”

“Nama yang indah, seperti orangnya yang seksi, heheh…”

“Mas Ahmad bisa saja,” ujar Amira sambil tersipu malu. “Masa iya sih, Mas? Tubuh saya seperti ini lho. Beberapa teman saja ada yang bilang kalau tubuh saya agak gemuk, berat badan saya juga cukup jauh dari mereka. Masa begini dibilang seksi?”

“Kamu memang cukup berisi, tapi justru saya suka bentuk tubuh seperti yang kamu miliki. Kayak Mama Gigi. Heheh.”

Amira tertawa.

MEHN2HV_t.png


Saat ini, kedua perempuan yang tengah dekat dengan Ahmad, yaitu Indira dan Annisa, memang sama-sama mempunyai bentuk tubuh yang kurus dan tinggi. Berbeda dengan Amira yang lebih montok dan pendek. Pria tersebut menaksir tinggi mahasiswi tersebut pasti tidak sampai 160 cm.

Sejak bangku SMA, Amira memang sudah merasa kurang percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Hampir semua temannya mempunyai bentuk tubuh yang ideal, termasuk Naura. Dan tidak jarang yang menyebut dirinya dengan istilah “gendut”, “gembrot”, “genset”, atau “bakul nasi”. Namun perempuan berkulit putih tersebut akhirnya bisa mengubah pola pikirnya karena beberapa kejadian yang berlangsung setelahnya.

Meski menyebut dirinya dengan istilah yang tidak pantas, beberapa teman prianya justru melakukan hal tersebut sambil melirik ke payudaranya yang lebih besar. Buah dada tersebut memang sering tampak menonjol di balik baju seragamnya yang ketat. Tak hanya itu, Amira pun pernah mendapat pelecehan saat sedang menumpang bus kota. Di tengah bus yang padat, seorang pria paruh baya menyentuh dan meremas-remas payudara Amira dari balik pakaiannya. Sayangnya, perempuan muda tersebut tidak sanggup untuk berteriak dan mencegah tubuhnya disentuh secara nakal seperti itu. Dia hanya bisa menangis di tempat saat itu. Dia merasa kotor dan hina.

Amira pun menyadari bahwa ia sebenarnya mempunyai “aset” yang sangat menggiurkan di mata para pria. Apalagi setelah itu ia cukup aktif di twit**ter, dan melihat banyak pria yang justru memuji perempuan bertubuh curvy alias sedikit gemuk. Dari aplikasi media sosial tersebut pula ia bertemu dengan seorang dokter muda yang akhirnya berpacaran dengannya.

Sang dokter adalah sosok yang baik, dengan paras yang cukup menarik. Namun tubuhnya yang lebih pendek dari Amira, membuat perempuan tersebut malu untuk memperkenalkan dia kepada kedua sahabatnya, yaitu Naura dan Safira. Bersama dokter muda itu, Amira pun melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya, dan melepas statusnya sebagai seorang perawan.

Sayangnya, mereka berdua harus putus karena sang dokter harus pindah ke luar kota karena tuntutan pekerjaan. Meski begitu, rentetan kejadian tersebut membuat Amira hampir tidak pernah lagi merasa minder dengan bentuk tubuhnya.

“Mas, kok ngelihatnya ke sini mulu sih,” ujar Amira sambil melirik ke arah payudaranya, dan membetulkan posisi kaos ketat berwarna hitam yang ia kenakan.

Ahmad pun seperti mati kutu mendengar kata-kata tersebut. Jujur lebih baik daripada tidak jujur. Sudah kepalang tanggung, “Heheh, tapi nggak apa-apa kan? Saya suka ukurannya.”

“Selama ada keuntungannya buat aku, nggak masalah kok,” jawab Amira sambil mengedipkan mata ke arah Ahmad, dan membuat hati pria tersebut jadi berbunga-bunga.

Sejak kecil, Ahmad yang tumbuh di keluarga kaya raya dan memegang teguh ajaran agama memang dididik secara serius oleh ibunya yang biasa dipanggil Ummi. Pria tersebut sebenarnya tidak mempunyai otak yang cukup cerdas, tetapi orang tuanya selalu memasukkannya ke sekolah bergengsi. Rapor yang dibagikan setiap semester seperti menunjukkan kualitas intelektual Ahmad yang rendah. Di momen tersebut, Ummi pasti akan membanding-bandingkan Ahmad dengan anak temannya yang lain.

Itulah mengapa setelah bekerja sebagai wiraswasta dan makelar untuk proyek-proyek skala besar di sektor pertambangan, Ahmad pun selalu merasa punya keinginan untuk menyombongkan dirinya. Ia seperti ingin menunjukkan kepada Ummi, dan orang lain di luar sana, bahwa meski tidak mempunyai otak yang cerdas, ia juga tetap bisa sukses. Padahal, kalau dipikir lebih lanjut, koneksi dan proyek yang didapat oleh pria tersebut juga tidak lepas dari campur tangan Ummi.

Hal lain yang menekan Ahmad adalah keharusan untuk mengikuti ajaran agama yang ketat di rumahnya. Sekali saja pria tersebut meninggalkan sembahyang, maka Ummi akan langsung memarahinya. Dan tentu saja, membandingkan Ahmad dengan anak temannya yang lebih rajin beribadah dan menuruti perintah agama.

Padahal, layaknya laki-laki pada umumnya, Ahmad juga mempunyai rasa malas untuk rutin beribadah. Ia pun punya ketertarikan yang tinggi untuk melakukan kontak fisik dengan lawan jenis, sesuatu yang pasti akan membuat Ummi marah apabila tahu. Namun ketatnya tali kekang yang seperti dikalungkan Ummi di lehernya, justru membuat Ahmad semakin tertantang untuk melakukan perlawanan di belakang ibunya tersebut.

Pria tersebut awalnya coba memesan seorang pekerja seks lewat aplikasi online, saat ia sudah mempunyai penghasilan sendiri. Ketika bertemu dengan perempuan yang ia pesan, Ahmad merasa terkesan karena akhirnya mendapat sosok yang mau ia perintah untuk melakukan apa pun. Tentunya asal ia mau membayar.

Di momen tersebut, Ahmad pun mendapat pengalaman hubungan intim pertamanya. Ia merasakan pengalaman seksual yang selama ini hanya bisa ia ketahui lewat film porno yang ia tonton, mulai dari cuddling, fingering, dan blow job. Bersama perempuan nakal tersebut, Ahmad seperti merasa punya status dan kekuasaan yang lebih tinggi, yang tak pernah ia rasakan di hadapan Ummi. Tanpa sadar, saat sedang menyetubuhi perempuan tersebut, Ahmad sebenarnya sedang melampiaskan rasa marahnya kepada Ummi yang selama ini selalu mengaturnya.

Sejak saat itu, Ahmad pun jadi ketagihan untuk berhubungan seksual dengan pekerja seks lainnya yang mau menuruti seluruh permintaannya. Meski di saat yang sama, ia pun tetap menuruti perintah Ummi untuk mencari calon istri yang cantik, pintar, dan perhatian.

“Jadi, benefit apa yang kamu harapkan, Amira? Berapa?”

“Ish. Aku bukan cewek BO yang suka netapin tarif, Mas. Ini kontrak. Mas Ahmad kasih aja penawaran. Kalau cocok, aku yes.”

“Yang kemarin aku transfer, cocok gak?”

Amira tersenyum. “Cocok kok mas.”

“Aku boleh ngapain aja?”

Amira pun mengangguk. “Asalkan nggak sampai nyakitin aku, oke-oke aja. Dan jangan lupa pakai kondom.”

“Hehehe, tenang kalau itu. Oh iya, kamu saat ini punya pacar?”

“Hmm, bagaimana ya?” Amira tampak berpikir. “Lebih ke hubungan tanpa status sih. Kalau Mas?”

“Saya sudah ada calon istri, tidak apa-apa kan?”

“Tidak masalah kok, Mas.”

“Bagus kalau begitu. Mau jalan sekarang?”

“Boleh,” jawab Amira sambil mengambil tas tangannya dan berdirik mengikuti Ahmad.

Mereka berdua pun berjalan meninggalkan kafe menuju area parkir, di mana mobil Ahmad berada. Sepanjang jalan, sang pria tampak tak henti-henti melirik ke arah payudara Amira yang membusung, membuat selangkangannya semakin penuh hanya dengan melihatnya. Sang perempuan sebenarnya menyadari hal itu, dan justru sengaja menonjolkan dadanya demi memancing gairah sang pria.

Karena gemas, Ahmad pun langsung memeluk pinggang Amira, sambil terus berjalan. Perempuan tersebut sedikit mengubah posisi tubuhnya, meski tidak sampai melepaskan pelukan tersebut.

“Hmm, kok peluk-peluk gini mas?”

“Memangnya kenapa? Kamu nggak suka?”

“Hmm, aku sih nggak masalah. Tapi emang nggak takut ada kenalan Mas yang lihat nanti?”

“Ohh… aku aman sih.”

“Okelah kalau begitu. Tapi kalau sama girlfriend experience begini, tambahin benefit-nya dong ya?” pancing Amira sambil tersenyum.

“Tenang saja kalau soal itu, berapapun yang kamu minta aku oke saja,” jawab Ahmad. “Oh iya, kamu beneran masih mahasiswi?”

“Iya, Mas. Memangnya kenapa?”

“Nggak apa-apa kok. Suka aja.”

“Nggak pernah ketemu stranger yang masih mahasiswi ya? Hihihi.”

Ahmad mengangguk. Ia memang biasanya berhubungan dengan perempuan yang usianya sama dengan dia, atau sedikit lebih muda. Memeluk tubuh seksi seorang mahasiswi cantik seperti Amira tentu memberikan sensasi tersendiri baginya.

“Boleh tahu kamu kuliah di mana?”

“Universitas Jaya Abadi.”

Tiba-tiba Ahmad terhenyak. Ia jelas tahu bahwa kekasihnya Indira juga merupakan dosen di kampus tersebut. Namun Universitas Jaya Abadi adalah kampus besar dengan banyak sekali mahasiswa. Kecil kemungkinan kalau perempuan semok di hadapannya ini juga mengenal Indira.

“Kenapa, Mas? Lulusan situ juga?” Tanya Amira lagi.

“Hmm, nggak kok. Cuma tahu aja. Aku kuliah di kampus lain.”

Mereka pun melanjutkan langkah menuju mobil dengan perasaan tidak sabar.


***​


Saat Amira tengah bersama dengan Ahmad, pasangannya yang lain tengah duduk di dalam mobil BMW hitam miliknya yang terparkir di area kampus. Pria bernama Arga Hartanto tersebut baru saja selesai latihan basket seperti biasa.

Dalam keheningan hari yang tengah menuju senja, Arga tampak memikirkan kembali hubungannya dengan sang kekasih, atau lebih tepatnya disebut mantan kekasih, yaitu Safira. Ada sedikit perasaan menyesal dari dalam dirinya melepaskan perempuan secantik Safira begitu saja. Biar bagaimanapun, Safira adalah sang dewi Venus-nya kampus ini, wanita jelita yang diidam-idamkan banyak pria. Meski dingin dan terkesan introvert, Safira adalah idola.

Sejak awal berpacaran dengan perempuan bertubuh indah tersebut, semuanya terlihat sempurna di mata Arga. Kekasihnya tersebut tak hanya cantik, tapi juga berasal dari keluarga kaya, mempunyai otak yang brilian, serta merupakan sosok lembut yang tidak pernah bersikap egois. Pria tersebut bahkan sempat membayangkan bisa menjadikan perempuan itu sebagai pendampingnya di pelaminan kelak.

Namun dengan segala kelebihannya tersebut, Safira juga datang dengan ambisi besar untuk mengejar karir, serta membatasi diri dari hubungan seksual yang terlalu dalam. Arga pun merasa ada yang tertahan dari dalam dirinya, dan mendesak untuk dikeluarkan. Itulah mengapa ia kemudian memutuskan untuk mendekati perempuan lain, termasuk Amira.

Bersama dengan sahabat kekasihnya tersebut, Arga mendapatkan sosok penurut yang mau memenuhi semua permintaannya. Yah, ada plus ada minusnya. Amira tentunya tidak secantik Safira, bahkan tubuhnya pun sedikit lebih besar dari sang mantan, ditambah lagi gadis bertubuh besar itu sering meminta materi setiap kali mereka berhubungan.

Selama ini, Arga menganggap kehadiran Safira dan Amira di hidupnya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Di hari-hari biasa, ia bisa bersama sang kembang kampus yang menjadi idaman para mahasiswa. Namun ketika ada masalah dengan Safira, ia bisa dengan mudah berpaling ke Amira yang akan langsung memuaskannya. Karena itu, ia berusaha keras untuk menjaga agar keseimbangan tersebut tidak sampai rusak.

Ketika akhirnya Safira mengetahui hal tersebut, Arga pun jadi kalut dan pergi dari rumah sang kekasih bersama Amira - seseorang yang ia anggap bisa membahagiakannya secara lebih memuaskan.

“Kemana lagi dia sekarang?” Gumam Arga.

Ia pun langsung menelepon pasangannya tersebut, meski keduanya hingga sekarang belum menentukan apa status hubungan mereka, tapi ada keterkaitan tanpa ikatan. Friends with Benefit mungkin adalah istilah yang paling tepat.

“Duhh, kok nggak diangkat-angkat sih. Tumben banget,” ujar Arga kecewa. Ia pun menyerah setelah berusaha menghubunginya sebanyak tiga kali.

Sebelum pulang, pria tersebut akhirnya memutuskan untuk membuka-buka aplikasi Instagram miliknya, untuk melihat update terbaru dari kehidupan teman-temannya. Toh karena Amira tidak bisa dihubungi, ia tidak akan bertemu siapa-siapa lagi hari ini.

Aktivitasnya melihat-lihat feed Instagram terhenti di sebuah foto yang diunggah oleh akun khusus acara Entrepreneurship Day. Meski acara telah selesai, akun khusus tersebut masih terus mengunggah foto-foto acara dan keseruan yang terjadi selepas acara demi meningkatkan engagement.

Di foto tersebut, tampak Arga sebagai ketua panitia tengah diapit oleh dua orang perempuan berjilbab yang jauh lebih tua darinya, yaitu Bu Yasmin yang merupakan dosen public relations dan Bu Indira sang dosen jurusan teknik informatika. Selama ini, Arga mengakui bahwa ia jarang sekali memperhatikan mereka, karena keduanya mengajar di fakultas yang berbeda dengan tempat Arga menimba ilmu.

“Hmm, ibu-ibu dosen ini ternyata cantik-cantik juga ya kalau diperhatikan baik-baik,” gumam Arga.

MEHN2HU_t.png


Pandangannya tertuju pada Bu Indira yang berada di sebelah kirinya. Dengan tinggi semampai, perempuan tersebut tampak begitu cantik dengan bibir yang sensual. Fakta bahwa ia adalah seorang perempuan alim yang selalu mengenakan jilbab setiap hari pun menambah kesan anggun di diri dosen muda tersebut. Arga yakin bahwa sang dosen hingga saat ini belum pernah melakukan hubungan seksual.

“Apa rasanya ya kalau setelah foto itu diambil, aku menariknya ke belakang panggung dan mendorongnya ke dinding? Kemudian bibir indah yang biasa digunakan untuk mengajar di kelas itu aku jilat-jilat dengan liar,” ujar Arga dalam hati.

Tanpa sadar, kemaluan pria yang rutin berolahraga tersebut mulai membesar. Apalagi begitu ia membayangkan sang dosen merelakan kancing kemejanya dilepas satu per satu oleh Arga, hingga payudaranya yang montok terbuka. Perempuan itu pasti tampak seksi dengan jilbab panjang yang masih ia kenakan.

“Kalau beha-nya udah gue lepas, pasti nikmat banget toket Bu Indira gue sedot-sedot, ngghhh …”

Arga yang sudah mulai birahi pun membuka kancing celana jeans yang ia gunakan, lalu menurunkan celana tersebut beserta celana dalam di baliknya. Seketika, penisnya yang sudah mengeras pun melesak keluar dan berdiri tegak di selangkangan Arga. Pria tersebut melihat sekeliling dan merasa aman karena tidak ada seorang pun yang lewat di sekitar mobilnya.

MEHN2HR_t.png


Fokusnya kini beralih ke dosen lain yang ada di sebelahnya, yaitu Bu Yasmin. Pria tersebut membayangkan sang dosen yang baru menikah tersebut sengaja menyentuhkan payudaranya yang besar ke dada Arga, dan menggigit bibir bawahnya dengan binal. Mahasiswa tersebut mengingat aroma parfum yang sempat ia hirup saat berada di dekat Bu Yasmin, yang ternyata begitu menggoda.

“Gue bayangin dia narik gue ke ruang dosen, terus pintunya dikunci. Kemudian gue disuruh duduk dan dia berlutut di depan gue, dan pelorotin celana gue. Nghh … Enak banget pasti kalau Bu Yasmin mau ngemut kontol gue,” desah Arga.

Pria tersebut bahkan membayangkan Bu Yasmin bersedia diminta duduk di atas meja dengan kaki mengangkang setelah celana panjang dan celana dalamnya dilepas. Perempuan tersebut pasti akan tampak begitu binal, karena masih mengenakan kaos lengan panjang ketat yang tidak mampu menyembunyikan payudaranya yang besar.

“Memek dosen yang baru married pasti masih sempit banget, dan dia pasti akan mendesah-desah binal setiap kontol gue yang gede ini masuk ke memeknya. Nanti yang ada dia malah ketagihan lagi, ahhhh …” pikir Arga.

Pria tersebut pun mempercepat kocokan tangan di kemaluannya yang sudah menjulang, seiring dengan makin liarnya imajinasi dia membayangkan kedua dosen muda nan cantik tersebut.

“Ayo sini Bu Indira dan Bu Yasmin, gue mau ngentotin lo berdua, ahhh …”

Arga pun tidak bisa menahan lagi syahwatnya. Spermanya yang kental mendesak keluar, hingga menyemprot ke setir, dashboard, dan panel pintu mobilnya. Meski kesal karena harus membersihkannya, Arga tampak merasa lega. Namun di sisi lain, ia juga heran mengapa ia bisa terangsang melihat foto kedua dosen cantik tersebut.

“Kenapa gue jadi horny lihat cewek yang lebih tua sih? Anehh …”


***​


Di hari yang sama, seorang mahasiswi berjilbab dengan paras luar biasa cantik sedang naik ke lantai atas gedung rektorat dengan menggunakan lift. Ia baru saja selesai mengikuti kelas terakhirnya di hari itu. Karenanya ia pun harus segera memenuhi janji yang telah ia buat sebelumnya.

“Sebenarnya bukan janji sih, tapi lebih ke dia yang memaksa aku untuk datang,” batin gadis jelita itu dengan bersungut-sungut. Dia sebenarnya enggan melakukan ini. Detak jantungnya makin cepat saat melihat angka di lift beranjak naik perlahan. Dia seperti sedang menghadiri persidangan dan semakin lama semakin mendekati putusan akhir.

Tentu saja, kedatangan perempuan tersebut ke gedung rektorat bukan akhir dari semuanya, karena pria yang mengundangnya jelas menginginkan sesuatu yang lebih darinya. Pria tua tersebut bahkan telah mengatakannya secara terus terang pagi ini, setelah keduanya selesai lari pagi keliling komplek. Karena itu, seharian ini sang perempuan terus berpikir bagaimana cara terbaik untuk menghindar.

Hari ini, mahasiswi muda tersebut memutuskan untuk mengenakan blus berwarna putih dengan motif bunga, yang dipadu dengan jilbab berwarna merah muda. Untuk bawahan, ia mengenakan celana jeans berwarna biru yang membungkus kakinya dengan ketat.

Safira berhenti sejenak di depan pintu, mengumpulkan napasnya, mengatur dirinya sendiri supaya lebih tenang menghadapi apapun yang akan dihadapinya nanti di dalam. Setelah mengumpulkan keberanian dan merasa siap, ia mengangguk - seakan memberi semangat pada dirinya sendiri.

Ini sudah kesekian kalinya perempuan tersebut datang ke ruangan yang ia tuju. Karena itu, ia pun langsung membuka pintunya dan masuk ke dalam, tanpa mengetuk terlebih dahulu.

“Selamat sore, Pak,” ujar gadis muda nan rupawan itu.

Meski awalnya sudah siap dan berani, ternyata begitu masuk ke dalam ruangan seluruh keberanian Safira hancur berantakan. Nyalinya langsung menciut saat menatap ke salah satu sudut ruangan.

Di sana, di ujung ruangan, terlihat seorang pria bertubuh gemuk yang mengenakan kemeja putih lengan panjang sedang memeriksa sebuah berkas di atas meja kerjanya. Di belakangnya, ada jendela besar yang menghadap ke area kampus, menampakkan guratan merah jambu pertanda senja yang sesaat lagi akan datang.

“Oh, kamu sudah datang Safira. Silakan duduk di sofa,” ujar sang rektor bernama Darmadi tersebut.

MEHN2HQ_t.png


Safira Maharani pun menurut, karena takut akan ancaman yang diberikan Pak Dar sebelumnya. Begitu Safira duduk, Pak Dar menyusul. Mereka kini sudah duduk bersebelahan di atas sofa empuk yang berada di depan rak buku ensiklopedia yang menghias penuh salah satu dinding ruangan rektor. Safira terus menundukkan kepala karena rasa takut dan malu, sedangkan Pak Dar yang merasa di atas angin menunjukkan raut wajah sumringah. Bagaimana tidak? Di sampingnya kini hadir seorang dara berwajah jelita bertubuh indah. Siapa yang tidak ngiler melihatnya.

Safira tiba-tiba merasa dagunya diangkat oleh jemari Pak Dar, hingga mata mereka bertatapan.

“Bagaimana kuliahmu hari ini? Lancar?”

“La-Lancar, Pak,” jawab Safira dengan nada bicara yang sedikit bergetar dan terbata. Matanya berusaha menghindar dari tatapan tajam mata sang rektor.

Gadis itu merasakan tangannya kini telah digenggam oleh Pak Dar dengan lembut. “Bagus. Kalau kamu mengikuti perkuliahan dengan baik, hanya soal waktu sebelum kamu bisa memastikan untuk melanjutkan pendidikan ke kampus yang lebih baik sesuai dengan keinginan kamu.”

“I-Iya, Pak.”

Pak Dar menatap mata Safira dengan tajam. Ia pun menggesekkan jari telunjuknya di tubuh sang perempuan muda mulai dari pundak, kemudian turun ke lengan, hingga berakhir di punggung tangan Safira.

“Pakaian kamu hari ini menarik sekali, Safira. Terima kasih sudah memenuhi janji kamu,” ujar Pak Dar.

Seperti tak sabar, pria tua tersebut langsung menggerakkan kepalanya seperti hendak mengecup bibir perempuan cantik di hadapannya. Namun tiba-tiba, Safira menahan bibir Pak Dar dengan jarinya.

“A-apa yang hendak Bapak lakukan?,” ujar sang mahasiswi, “Saya… saya tidak mau.”

Pak Dar tampak heran.

“Lho, berani kamu? Berani kamu melawanku? Kamu ingin pendidikan kamu di kampus ini selesai dengan nilai rendah sehingga kamu akan gagal meraih impianmu? Mau kamu membuat orang tua kamu malu?” Pria tua tersebut kembali mengancam. Wajahnya sudah berubah menjadi seperti titisan iblis di mata Safira saat ini.

“Jangaaaaaan… Jangan, Pak. Saya tidak mau itu terjadi.” Safira menggelengkan kepala. Satu-satunya harapan yang ia miliki sekarang adalah membahagiakan orangtuanya. Hidupnya sedang berantakan, percintaannya kandas, persahabatannya hancur. Ia kesepian dan tidak mau satu-satunya harapan pun musnah.

“Ya kalau begitu penuhi permintaan saya. Apa susahnya sih? Mulai sekarang, kamu itu jadi budak seks saya, mengerti?”

“Nghh, apa tidak ada jalan lain, Pak?” Safira bergetar saat mengucapkan kalimatnya.

“Tidak ada. Hanya itu yang saya inginkan,” jawab Pak Dar dengan wajah yang sudah begitu bernafsu melihat keindahan dan kecantikan sang bidadari di hadapannya..

Pria tua tersebut memang merasa kesal karena ia harus menghadiri sebuah rapat penting hari ini, sehingga kebersamaannya dengan Safira tadi pagi harus berakhir dengan singkat. Namun sore ini, tidak ada lagi yang akan menghalangi keinginannya.

“Hmm, bo-bolehkah saya menawarkan sesuatu?” gadis cerdas itu mulai berpikir dengan cepat.

“Apa itu, Safira? Kamu jangan macam-macam ya sama saya.”

“Mmm … Bukan begitu, Pak. Saya memang ingin semua ini berakhir, karena jelas saya tidak menginginkannya. Namun saya juga sadar di mana posisi saya saat ini.”

“Oh, begitu rupanya.” Pak Dar mengernyitkan dahi, “Lalu, apa yang ingin kamu tawarkan?”

“Hmm, sa-saya… saya sebenarnya masih… masih… virgin, Pak.”

“Lalu?” Tanya Pak Dar dengan raut wajah penasaran. Padahal, di dalam hatinya ia tengah berteriak senang karena bisa mendapatkan gundik baru yang masih belum terjamah oleh siapapun sebelumnya. Safira Maharani yang idola kampus itu masih perawan dan dia yang akan pertama kali menikmatinya! Bagai mendapatkan durian runtuh!.

“Saya ingin mempertahankan itu sampai saya menikah kelak. Ka-kalau boleh, saya ingin Bapak tidak merusak virginity saya itu. Namun sebagai gantinya, saya akan melakukan segala hal yang Pak Dar inginkan. Bagaimana?”

Sang rektor pun berpikir sejenak. Hal ini memang tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan, karena lelaki mana yang bisa bertahan untuk tidak menyetubuhi perempuan cantik seperti Safira apabila diberi kesempatan? Namun Pak Dar juga melihat peluang lain, karena sang mahasiswi muda tersebut menawarkan penyerahan diri secara seutuhnya pada sang rektor.

“Oke, karena kamu memberikan penawaran, saya juga akan memberikan counter-offering, bagaimana?”

“Boleh, Pak,” ujar Safira yang tampak sedikit lega karena penawaran yang telah ia susun sejak pagi tadi berhasil mencegah Pak Dar dari melakukan pelecehan terhadapnya, setidaknya untuk saat ini.

“Pertama, saya tidak akan melakukan penetrasi kemaluan ke dalam vagina kamu, dan merusak keperawanan kamu. Saya tidak akan pernah memaksa kamu untuk melakukan itu. Tapi …”

Jantung Safira bagaikan sedang didera oleh tumbukan bertubi. Ia tegang sekali. Di satu sisi ia senang karena rencananya berhasil, di sisi lain dia masih merasa insecure dengan si bandot tua ini. “Tapi apa, Pak?”

“Tapi itu selama kamu tidak menginginkannya. Seandainya kamu mengatakan keyword “Entotin aku, Pak Dar”, maka itu artinya kamu sudah mengizinkan saya untuk menyetubuhi kamu untuk pertama kali, dan seterusnya. Bagaimana?”

Safira langsung menganalisis permintaan tersebut. Ini artinya, keputusan terakhir berada di tangan perempuan tersebut apakah dia ingin mempertahankan keperawanannya atau tidak. Sepertinya itu terdengar adil. Itu artinya seks antara mereka berdua hanya dimungkinkan secara konsensual, tanpa paksaan.

“Baik, Pak. Saya setuju,” jawab Safira, yang disambut dengan senyuman penuh arti dari Pak Dar.

“Kedua, kamu mau melakukan apa saja yang saya perintahkan, tentu saja kecuali hubungan seksual secara langsung seperti poin pertama tadi. Setuju?”

“Setuju, Pak.”

“Lalu yang ketiga…”

Safira tampak mendengarkan baik-baik. Ia ingin tahu apa lagi yang diinginkan sang pria tua itu dari dirinya.

“Ketiga… mulai saat ini, kamu adalah gundik, kekasih, sekaligus istri saya. Karena itu, kamu harus bersikap mesra dan romantis terhadap saya, baik saat bertemu langsung atau berkirim pesan. Apabila kamu gagal dalam hal ini, maka poin pertama tadi tidak akan berlaku.”

Gundik, kekasih, dan istri? Apa-apaan? Safira geram sekali, tapi ia tak mungkin melawan, ia ingat posisinya. Dengan menekan emosinya sebisa mungkin, gadis cantik itu bertanya, “Ma-Maksudnya bagaimana ya, Pak?”

“Ya kita akan bersikap layaknya pasangan yang berpacaran. Kamu harus mau kalau saya menggandeng tangan kamu saat berjalan di luar, dan membalas pesan saya dengan kata-kata yang mesra. Tentu saja hal ini tidak berlaku saat kita berdua sedang berada di kampus, atau di tempat yang mungkin akan sering dikunjungi teman atau kenalan kamu. Bagaimana?”

Safira tampak merutuki nasib buruknya. Ia baru saja lepas dari pasangan tukang selingkuh bernama Arga. Namun kini ia justru harus menjadi pacar bagi pria tua bernama Pak Dar. Namun hal ini tampaknya masih bisa ia tangani, setidaknya hingga ia lulus kuliah dan sang rektor tidak punya pengaruh apa-apa lagi di hidupnya.

Keperawanannya masih akan tetap aman, dia masih punya harapan.

“Ba… Baik, Pak. Saya setuju.”

“Nah, gitu dong.”

“Kalau begitu saya pamit karena sudah sore dan….”

“Apa maksudmu pamit? Ya kita mulai dari sekarang lah,” ujar Pak Dar yang geli melihat kepanikan Safira.

Pria tua tersebut pun langsung merangkul sang dara jelita, dan mendekatkan bibirnya ke bibir ranum sang mahasiswi. Saat bibir keduanya bersentuhan, Pak Dar merasakan sedikit penolakan dari perempuan berjilbab tersebut.

“Ingat, Safira. Mulai sekarang kamu adalah gundik saya. Karena itu, jangan pernah berpikir untuk menolak permintaan saya, mengerti?”

Safira memejamkan mata dan hanya mengangguk. Ada garis air mata menetes di pipinya.

Pak Dar kembali coba mengecup bibir sang mahasiswi, dan kali ini tidak mendapat penolakan. Dengan mudah, pria tua itu bisa menjelajahi rongga mulut Safira yang begitu hangat, dan memulasnya dengan lidahnya yang kasar. Hidung keduanya tampak bersentuhan, seperti menambah hangat suasana senja tersebut.

Safira berciuman dengan Pak Dar.

(Bersambung)
 
Setelah ini, masih akan ada Part tentang Indira, Amira, dan Safira ya
Tadinya mau digabung di sini, tapi khawatir terlalu panjang
Dan kalian kan jadi lebih lama nunggunya nanti, hee

Setelah itu langsung masuk ke Part yang fokus menceritakan para tokoh satu-satu
Semoga seluruh cerita ini bisa selesai tidak lama setelah tahun baru

:fmalu:
 
thanks suhu @fathimah

safira terlalu meremehkan idola kita nih wkwk
gk sabar liat dia takluk lalu minta suami nya tsb.
semoga pak Dar mainnya jujur gk pake obat2an biar lebih menantang
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd