Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Makasih updatenya.

Sebenarnya kalau ada vote karakter yang tidak disukai pembaca, ane vote Ferdian deh.
Sepertinya yg dapat ikan besar kali ini bukan Ferdian tapi malah si Naura.

Adegan Yasmin dengan orang lain itu bikin dag dig dug, kebayang kalau ketahuan aja hahaha.
Nah akhirnya kena pentungan pak Bas juga si Yasmin, tinggal kelanjutannya aja nih yg ditunggu.

Kalau boleh tau apakah akan ada efek samping dari obat RSVP? Karena setau anr di chapter sebelumnya dijelasin kalau pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Sedangkan sebelum di eksekusi pak Bas, Yasmin kembali minum air yang dicampur lagi dengan obat RSVP. Sebenarnya ane udh bayangin Yasmin perlahan-lahan mulai berubah sifatnya, ya minimal kayak laras yang jago flirting atau bisa lebih malah hahaha.

Ditunggu kelanjutannya
 
mantap 11k words buat malam jumat :papi:

Semoga malam jumatnya menyenangkan yaa ...

Safiranya masuk kloter berikutnya yaa ??padahal mau jadi bacol niih . .

Yup, Safira akan masuk part selanjutnya ya hu

Damn yasmin ur first blowjob for stranger … thats fuckin crazy
Mantap sist @fathimah nyisipin scene dengan stranger lagi tentunya dengan peningkatan stimulan seks pada yasmin dan tetep terasa klimaks walopun tanpa intercourse scene yeah because yasmin gave her first blowjob for stranger good job sist
Scene stranger menjadi narasi pembuka yang mengesalkan sekaligus menegangkan dan ditutup dengan ciamik saat perentotan yasmin dan paketu terwujud
Dan gw ga nyangka aja efek obat rsdv dibuat se ekstrim itu anjir mungkin karena pemberian yang rutin dan di tambah bulus nya pak ketu yg bikin yasmin nyosor duluan ampe mohon mohon

Makanya hati-hati kalau pake obat
Efeknya nanti bisa kemana-mana, ehh

Wow..yasmin yg galak sampai mohon2..keren bro fatimah..awal mula buat yasmin jd gundiknya..

Terima kasih apresiasinya huu

aiihhh gak nyangka mlhn yasmin duluan...
Warbiyasah... gmn laras dan safira apalagi indira entar..

Semoga yang selanjutnya juga memuaskan yaa
Karena proses yang mereka lalui juga beda-beda

Menanti kedua payudara jumbo yasmin bergelantungan di kampus tanpa bra

Wow, fantasimu itu lho huuuu ...

Wah wah wahh,, rencana pak bas berhasil juga untuk menaklukkan yasmin. Nggak nyangka efek obat nya sekuat itu sampai mohon-mohon... Di tunggu update lainnya terutama bagian laras😀

Untuk bagian Laras harap bersabar yaaa
Nanti akan ada waktunya, hee

Sist @fathimah ...mau apdet kapan aja, nggak apa2...mau diberondong triple apdet, juga nggak apa2...up to U aja...

Kalau gitu update lagi habis tahun baru aja gmana? Hahaa
Nggak deng, malam ini juga ada update lagi ...
 
Gw ngarepnya safira diperkaos ama orang yg ga dikenal dulu sebelum digarap secara rutin ama pak dar
 
Update ini anjing bgt lah scenenya, apalagi ditutup klimaks yasmin.
Moga aja laras g kalah nanjak scenenya hu.
Thanks hu udah bikin karya ini @fathimah
 
Hore . . Hore . . Malam ini update lagi, ooh safira kutunggu kebinalanmu malam ini
 
Finally Akhirnya Bu Yasmin Wulandari Takluk Juga Oleh Efek Dari RSVP. huehuehue
Setelah Momen Pelecehan Dari Pak Dewo Sang Sopir Taksi Online & Kakek Tua "Museum Lawang Sewu" Puncak nya Pak Basuki Bisa Mencicipi Vagina Manis Sang Dosen. Semoga Next Tidak Memakai Obat RSVP Agar Bu Yasmin Takluk Seutuh nya Pada Sang Pejantan Tua. hehehe

Naura Is Bitchy. Nakal & Menggoda. Naura Seperti nya Type Dominant nii. Cocok Untuk Majikan Ferdian ke Depan nya. Anjing Peliharaan. hehehe


Yasmin & Ferdian Memulai Konflik Rumah Tangga Mereka. Menarik Melihat Next Episode Akan Berjalan Seperti Apa.
 
Part 17: Meja Makan

Mobil Palisade berwarna hitam tengah memasuki area parkir sebuah rumah bertingkat dua. Tidak banyak yang melihat kejadian itu karena suasana komplek perumahan cenderung sepi. Namun bagi dua orang yang berada di dalam mobil, malam ini akan menjadi saat paling menentukan dalam banyak hal dan dalam berbagai perspektif.

Seorang pria tua berusia 55 tahun turun dari kursi pengemudi, sedangkan dari kursi penumpang terlihat seorang perempuan muda berusia 21 tahun yang masih dengan pakaian kuliahnya malam ini. Sang pria tua menghampiri perempuan tersebut. Sang wanita pun langsung menggamit lengannya. Mereka berdua bersama-sama masuk ke dalam rumah bagaikan suami istri yang baru saja menikah.

Begitu masuk, perempuan muda tersebut langsung menyalakan beberapa lampu agar suasana menjadi lebih terang. Sedangkan sang pria langsung duduk di atas sofa ruang tamu, seperti ingin beristirahat setelah menyetir dari kampus tempatnya bekerja.

MEHN2HQ_t.png


“Saya… saya ijin mau mandi dulu di atas, Pak Dar,” ujar perempuan muda tersebut sambil beranjak ke arah tangga.

“Tunggu, Safira,” ujar pria tua yang bernama Darmadi tersebut tanpa bangkit dari tempat duduknya.

Safira tampak terkejut saat mendengar kata-kata dari sang rektor tersebut. Setiap kali pria tua itu membuka mulutnya, selalu saja keluar permintaan aneh yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun karena terpaksa, Safira pun harus bersedia melakukannya.

Contohnya saat di mobil tadi, Pak Dar meminta Safira untuk melepaskan celana panjang yang ia kenakan, hingga pahanya yang mulus dan celana dalamnya yang berwarna merah muda terlihat jelas. Karena itu, pria tua tersebut pun bisa mengelus-elus paha sang mahasiswi sepanjang perjalanan. Pak Dar begitu menikmati hal tersebut, yang terlihat dari selangkangannya yang perlahan membesar, lebih dari ukurannya yang biasa.

Namun di sisi lain, Safira harus mengakui bahwa rangsangan yang diberikan Pak Dar seperti meninggalkan kesan di hatinya. Selama menjalin hubungan dengan Arga, sang pria memang berulang kali memintanya untuk melakukan aktivitas seksual yang lebih intim, seperti berciuman mesra, cuddling hanya dengan memakai pakaian dalam, atau blow job. Namun, Safira tidak pernah mau menuruti permintaan tersebut. Itulah mengapa mahasiswi cantik itu belum pernah sama sekali merasakan kenikmatan seksual yang didapat dari semua aktivitas itu.

Ketika kini ia mendapatkannya dari Pak Dar, yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, Safira pun merasakan sensasi aneh antara nyaman dan ragu. Nyaman karena ia memang merasakan kenikmatan saat disentuh oleh Pak Dar, dan ragu karena ia seharusnya menolak semua perlakuan tak senonoh dari sang rektor tersebut. Saat bersama Arga, mereka seperti pasangan yang tidak tahu harus berbuat apa dan terus berpetualang bersama. Saat bersama Pak Dar, Safira bagaikan dibimbing dan diberikan pelajaran yang tidak dibutuhkan.

“Iya, Pak?” Safira pun tampak tegang menunggu permintaan yang akan dilontarkan pria tua itu. “Ada apa?”

“Hmm, ternyata saya lapar. Boleh nanti sehabis mandi kamu turun ke bawah lagi dan masak makan malam?”

Safira menarik napas lega. Ternyata Pak Dar hanya minta dibuatkan makan malam. Kalau hanya itu, perempuan muda tersebut jelas bisa melakukannya setiap saat. Ia pun tersenyum manis yang tentunya ia paksakan.

“Boleh, Pak. Nanti saya buatkan. Bapak tunggu di sini ya,” ujar Safira sambil berjalan menuju kamarnya di lantai atas.

Perempuan muda tersebut tidak menyadari bahwa sang pria tua yang tadi duduk di sofa ruang tamu, diam-diam mengikutinya dari belakang.


***​


Saat Safira tengah diantar pulang oleh Pak Dar, mantan kekasihnya Arga sedang duduk di sebuah bar dengan pikiran yang kosong. Pria muda itu tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia tengah merasa sangat kesepian.

Di kala tidak ada jadwal kuliah seperti ini, ketika mereka berdua masih berpacaran, ia biasanya akan menghabiskan waktu dengan Safira. Mereka bisa pergi ke mall, nonton di bioskop, atau jalan-jalan ke taman, dan semua orang akan memandang ke arah mereka. Pasangan yang serasi.

Pria itu sadar betapa tampan wajahnya dan betapa cantik wajah kekasihnya di mata orang lain. Karena itu, tak heran banyak yang menjuluki mereka sebagai raja dan ratu kampus, karena kemolekan fisik keduanya. Betapa beruntungnya dia pernah berpacaran dengan sang kembang kampus dan betapa beruntungnya Safira pernah mendapatkan dirinya sebagai kekasih.

Apabila Safira sedang sibuk dengan urusan perkuliahan, Arga pun bisa langsung menghubungi Amira, yang merupakan sahabat dari kekasihnya tersebut. Ia bisa mengajak perempuan bertubuh montok itu untuk datang ke kamar kos yang sengaja ia sewa hanya untuk mereka berdua. Di sana, keduanya bisa bermain cinta hingga pagi menjelang, tanpa khawatir ketahuan oleh siapa pun. Ia bisa dengan puas mengemut payudara Amira yang membusung, serta menjilat-jilat kemaluannya yang tembam. Hidupnya terasa begitu sempurna.

Namun kini, kedua kenikmatan tersebut seketika hilang dari dirinya. Sang kekasih jelas tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah tahu pengkhianatan yang ia lakukan dengan Amira. Sedangkan Amira saat ini justru tidak bisa dihubungi. Entah di mana dia berada.

Karena itu, Arga pun berusaha menenangkan diri dengan duduk sendirian di bar, menikmati gin and tonic favoritnya, menunggu hingga kesadarannya mulai terganggu. Bila sudah begitu, ia pun bisa langsung pulang dan beristirahat dengan tenang. Biasanya, alkohol adalah cara terbaik untuk melupakan masalah. Meski harus diakui, masalah tersebut tetap akan kembali lagi saat Arga bangun di keesokan harinya.

Bar tersebut tampak cukup ramai dengan muda-mudi yang menghabiskan waktu santai mereka. Namun ada juga beberapa om-om dan tante-tante sosialita yang tampak berkumpul di meja-meja tertentu. Biasanya, mereka akan terdengar cukup ramai karena memesan banyak sekali minuman. Namun Arga tampak tidak mengindahkan semua itu, dan hanya fokus pada gelas alkohol di hadapannya saja.

Namun tiba-tiba, terdengar suara yang cukup ramai di bagian belakang bar, yang memancing perhatian mahasiswa muda tersebut. Arga pun mendadak berbalik dan tanpa sengaja tangannya mengenai seseorang yang sedang lewat.

Ada minuman yang tumpah saat tangan Arga menyenggol gelas.

“Woy…! Lihat-lihat dong, Mas!” ujar seorang perempuan yang langsung berteriak saat Arga mendadak memutar tubuhnya.

“Eh, maaf banget Mbak. Saya nggak sengaja,” ujar Arga.

Perempuan tersebut masih menunduk melihat pakaiannya yang kotor karena terkena tumpahan minuman. Ia masih memegang gelas yang minuman di dalamnya hanya tersisa setengah. Arga pun bernapas lega karena cairan di gelas tersebut berwarna kekuningan seperti bir, bukan wine atau semacamnya, sehingga tidak akan terlalu membuat noda. Perempuan itu pun mengenakan blus berwarna hitam, sehingga tidak akan terlalu kentara apabila ada noda menempel di sana

Namun tetap saja Arga merasa bersalah. Ia pun berdiri dari bangku, dan mendekati perempuan tersebut. “Maafkan saya ya, Mbak. Beneran nggak sengaja tadi.”

Betapa kaget Arga saat melihat wajah perempuan yang baru saja bertabrakan dengannya tadi. Perempuan tersebut pun sama terkejutnya saat melihat wajah sang pria muda.

“Lho, Bu Tuti…!?”

“A-Arga, jadi kamu yang…?”

“Ma-Maafkan saya Bu Tuti, tadi benar-benar nggak sengaja,” Arga merasa ketakutan karena yang berada di hadapannya tersebut adalah salah satu dosennya di kampus. Mau lari dari kehidupan kampus, kok malah ketemu di bar. Ini gimana sih?

“Hahaa, iya iya nggak apa-apa kok. Untung Ibu nggak lagi bawa wine…” kata Bu Tuti sambil terus menggosok-gosok pakaiannya demi menghilangkan noda minuman yang mungkin menempel. “Makanya kalau mau nengok lihat-lihat dulu.”

“Iya, Bu. Saya minta maaf ”

“Ibu maafkan kok, Arga. Ya sudah, Ibu mau ke mobil dulu sebentar ambil tissue.”

“Tunggu, Bu. Saya ikut,” ujar Arga yang masih merasa bersalah.

Pria tersebut berniat membantu sang dosen untuk membersihkan diri. Ia khawatir kalau dosen tersebut marah kepadanya, maka nilainya di kelas bisa dibuat seburuk mungkin. Arga jelas tidak mau menambah masalah percintaannya dengan persoalan akademis, hanya karena kesalahan sepele.

Bu Tuti tidak berusaha melarang Arga yang mengikutinya, karena sibuk memikirkan bagaimana cara membersihkan tubuh dan pakaiannya dari bekas bir yang tumpah gara-gara mahasiswa muda tersebut. Begitu sampai di mobil, ia pun langsung masuk ke kursi pengemudi dan mengambil tissue untuk mengeringkan bekas cairan di tubuhnya. Arga pun mengikuti dan masuk ke kursi penumpang.

“Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu.” ujar Arga dengan wajah memelas.

“Iya, Arga. Iya… sudah nggak usah minta maaf lagi, Ibu nggak akan mengaitkan kejadian ini dengan nilai kamu di kampus kok,” ujar Bu Tuti sambil terus mengusap-usap lehernya dengan tissue. “Mendingan kamu bantu Ibu ngeringin bekas bir ini aja.”

Arga pun menurut. Pria muda berusia 21 tahun tersebut langsung mengambil beberapa lembar tissue dan mengusapkannya di leher Bu Tuti. Setelah itu, ia pun turut mengusap bagian pundak dan lengan sang dosen. Karena posisinya yang berada di kursi penumpang, pria tersebut harus sedikit mencondongkan tubuhnya yang kekar ke arah sang dosen.

Karena dekatnya posisi mereka, Arga pun bisa menghirup aroma parfum Bu Tuti yang begitu menggoda. Dari dekat, rambut sang dosen yang panjang pun tampak sangat menarik. Namun yang paling membuatnya terkejut adalah sesuatu yang tampak mengacung di pakaian perempuan tersebut, yang tidak biasa ia lihat dari perempuan lain di tempat umum.

Meski merupakan dosennya sendiri, Arga jarang sekali memperhatikan sosok dosen berusia 35 tahun tersebut saat mengajar di kelas. Setahu sang mahasiswa, Bu Tuti sudah pernah menikah, tetapi kemudian bercerai. Perempuan setengah baya itu pun belum mempunyai anak, sehingga ia hanya tinggal sendirian di rumah miliknya di ibu kota.

Penampilan sang dosen selalu rapi ketika mengajar, dengan kemeja lengan panjang dan celana panjang yang sopan. Satu-satunya hal yang menggoda dari Bu Tuti adalah bokongnya yang tampak montok apabila beliau sedang menulis sesuatu di papan tulis. Beberapa mahasiswa sering mengatakan bahwa Bu Tuti pasti sengaja melakukan itu, tetapi menurut Arga itu hanyalah ketidaksengajaan. Parasnya cukup cantik, tetapi tentu tidak bisa dibandingkan dengan para dosen impian seperti bu Indira atau bu Yasmin, atau bahkan para mahasiswi yang masih segar seperti Safira dan Amira.

“Ada yang menarik, Arga?” tanya Bu Tuti tiba-tiba. Ia menangkap basah Arga mengamati dadanya dengan lekat.

“Eh, a-anu… Maaf Bu, nggak sengaja,” jawab Arga asal.

“Baru kali ini ngelihat cewek nggak pake beha?”

“A-anuu…”

“Nggak dong pastinya. Kamu sudah pernah ML kan?”

Wajah Arga memerah, ia mengangguk dengan malu-malu. Kenapa juga mesti berbohong? Dia bangga dan jujur..

“Nah, berarti kamu pernah lihat yang lebih dari ini dong. Mustahil mahasiswa seganteng dan sekekar kamu belum pernah having sex,” lanjut Bu Tuti. “Sama pacar kamu yang itu ya? Siapa namanya? Safira?”

“Hmm, bukan Bu. Kami… kami sudah putus.”

“Eh? Kenapa? Cantik begitu kok diputusin? Eh sebentar… wah, jangan-jangan putusnya gara-gara ketahuan pernah having sex sama cewek lain?”

Arga mengangguk sambil tersenyum malu.

“Hahaa… Ibu kira kamu cowok baik-baik. Ternyata nakal juga ya. Kukira cupu ternyata suhu.”

“Ya, namanya juga cowok Bu.”

“Memang kalau cowok kenapa?”

“Kalau ada cewek yang bisa digarap, ya hajar aja, hehehe…”

“Wih. Begitu ya? Termasuk yang lebih tua?”

“Eh, maksud Ibu?”

“Ibu kan lebih tua dari kamu. Kalau Ibu bisa digarap, kamu mau?” Tanya Bu Tuti sambil menatap tajam ke arah mata Arga. Senyum Bu Tuti tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Senyum yang membuat Arga salah tingkah.

Mau tidak mau, Arga jadi ingat kejadian sebelum ini, di mana dia membayangkan bisa bersetubuh dengan dua orang dosen cantik di kampusnya, yaitu Bu Yasmin dan Bu Indira. Apakah dia benar-benar menginginkan hubungan dengan perempuan yang lebih tua? Kata-kata Bu Tuti ini apakah serius, atau cuma strategi untuk menguji seberapa nakal dirinya?

Belum sempat Arga menjawab, Bu Tuti sudah terlebih dahulu mendekatkan wajahnya ke arah sang mahasiswa. Hidung mereka kini sudah saling bersentuhan, sedangkan bibir mereka hanya terpisah jarak beberapa senti. Arga bisa mencium bau alkohol yang cukup kentara dari nafas sang dosen, tanda bahwa perempuan tersebut sepertinya sudah sedikit mabuk. Keduanya saling menatap satu sama lain, tetapi tidak ada yang berani untuk berbuat lebih jauh.

Czzzzztttt.

Tiba-tiba terdengar suara decitan ban dari sebuah mobil yang berada di area parkir tersebut. Bu Tuti memang memarkirkan mobil di area basement, sehingga suara decit sedikit saja akan langsung terdengar ke mana-mana. Suara tersebut pun mengagetkan Arga dan Bu Tuti yang langsung menjauh.

“Sudah lumayan kering neh, kita balik ke dalam yuk,” ujar Bu Tuti.

“I … Iya, Bu,” jawab Arga.

Keduanya pun kembali ke dalam bar tanpa bicara sepatah kata pun. Orang yang melihat pasti tidak akan mengira bahwa mereka saling mengenal satu sama lain. Begitu sampai di dalam bar pun, keduanya berpisah ke arah yang berbeda.

“Arga, kamu sendirian?” Tanya Bu Tuti tiba-tiba saat mereka berdua baru akan berpisah.

“Iya Bu.”

“Mau gabung sama Ibu dan teman-teman? Kita ada table di sana,” ujar Bu Tuti sambil menunjuk ke sebuah arah.

“Memangnya boleh Bu?”

“Boleh, kenapa nggak. Kita juga ada buka minuman, kamu gabung aja. Tenang, nggak perlu ikut patungan kok, hahaha. Yuk, daripada sendirian aja manyun.”

Arga sempat berpikir apa ia harus menuruti ajakan tersebut atau tidak. Namun saat ini ia memang merasa kesepian, dan mungkin malamnya bisa jadi lebih ceria bila ia bergabung dengan Bu Tuti dan teman-temannya.

“Hmm, boleh deh Bu. Sebentar saya ambil gelas saya dulu ya.”


***​


Begitu sampai di dalam kamar, Safira langsung meletakkan tasnya di atas tempat tidur, lalu berdiri di depan meja riasnya. Dalam diam, ia memandangi tubuhnya sendiri yang begitu ideal sebagai seorang perempuan. Apakah benar ini ideal? Safira tahu banyak yang suka kepadanya, apakah itu beneran suka, atau hanya memandang fisik belaka? Dia tidak bertubuh indah bagaikan bombshell Hollywood.

Payudaranya memang tidak terlalu besar, tetapi ia mempunyai tubuh yang cukup tinggi dan pinggang yang begitu montok. Kulitnya yang putih dan halus pun menambah keindahan tubuhnya. Dan yang paling memikat pria adalah parasnya yang cantik, bibirnya yang sensual, serta hidungnya yang mancung. Tak sedikit lelaki yang mengatakan bahwa mereka langsung terpesona setiap Safira tersenyum ke arah mereka.

Perempuan muda itu pun sadar akan semua pujian yang tertuju ke arahnya. Ia hanya bersyukur atas semua itu, dan berniat untuk menjaga semuanya untuk diberikan pada suaminya kelak, bila ia nantinya akan menikah.

Bagi Safira, yang lebih mementingkan karir dan masa depannya sendiri, pernikahan memang bukan sesuatu yang terlalu ia pusingkan. Ia bahkan sempat membayangkan untuk tidak berbagi keindahan tubuhnya pada siapa-siapa, bila akhirnya ia tidak akan menikah. Namun yang pasti, ia hanya akan membiarkan tubuhnya dijamah oleh orang yang benar-benar spesial di hatinya.

Itulah mengapa ancaman yang diberikan Pak Dar pagi tadi benar-benar membuat hatinya terombang-ambing. Di satu sisi, ia ingin terus mengejar pendidikan yang lebih baik, dan karir yang menunggu setelahnya. Namun untuk itu, dia harus merelakan tubuhnya dinikmati oleh pria tua tersebut.

Safira tentu tidak rela.

Mengingat hal tersebut, Safira kembali sedih. Ia hampir saja menangis lagi, bila tidak mengingat bahwa kesedihan tersebut justru akan membuatnya sulit bertahan dari rangsangan Pak Dar yang mungkin akan menderanya saat kembali ke lantai dasar rumahnya nanti. Karena itu, Safira bertekad untuk kuat dan terus bertahan.

MEHN2HQ_t.png


Namun harapan tersebut seperti hilang, saat pintu kamarnya dibuka dari luar. Seorang pria tua yang telah mengisi pikiran Safira sejak pagi tadi pun masuk ke dalam kamar tidur tersebut.

“Sial, mengapa aku sampai lupa mengunci pintu kamar sih,” batin Safira, yang melihat kejadian tersebut dari pantulan di cermin.

Perempuan tersebut hanya membiarkan saja sang pria yang merupakan rektor di kampusnya tersebut masuk, dan mendekati tubuhnya dari belakang. Ia pun tetap menatap ke arah cermin di hadapannya.

“Mau apa Bapak masuk ke sini?” Tanya Safira kesal.

“Lho, kamu kan gundik Bapak. Jadi boleh dong kalau Bapak masuk ke kamar kamu, hee,” jawab Pak Dar sambil terkekeh menyeramkan.

Safira benar-benar merasa terhina dengan panggilan tersebut. Namun panggilan lain seperti pacar, kekasih, atau istri, jelas sama buruknya di telinga perempuan tersebut.

“Saya mau ganti baju dan mandi dulu, Pak. Bapak tunggu saja di bawah,” ujar Safira ketus. Ia sebenarnya khawatir Pak Dar akan protes karena kata-katanya tersebut, tetapi perempuan tersebut tampak sudah begitu kesal dengan permainan sang tua bangka itu.

“Siapa tahu akan lebih cepat kalau… Bapak bantu.”

“Maksud Bapak?”

Pak Dar tidak menjawab, dan terus berjalan mendekati Safira, hingga ia berdiri tepat di belakang mahasiswi cantik yang menjadi idaman banyak pria di kampus tersebut. Mereka berdua sama-sama menghadap ke arah cermin, sehingga bisa melihat perbedaan kontras tubuh Safira yang ideal, dan tubuh Pak Dar yang buncit.

“Sini, Bapak bantu kamu ganti baju,” ujar Pak Dar sambil mengecup-ngecup leher Safira yang masih berbalut jilbab.

Pria tua tersebut mulai dengan menarik resleting yang berada di bagian belakang blus putih bermotif kembang-kembang yang dikenakan Safira. Karena itu, pakaian tersebut pun bisa langsung turun ke bawah dengan mudah, menampakkan tubuh indah sang mahasiswi yang kini hanya tertutup bra berwarna merah muda.

Pak Dar tampak begitu tergiur dengan tubuh indah yang sudah terbuka bebas itu. Lampu kamar Safira yang tidak terlalu terang dan terkesan remang-remang, seperti menambah romantis suasana tersebut. Sang pria tua kemudian mengecup-ngecup pundak Safira yang terbuka, lalu mengusap lengan perempuan cantik itu dengan punggung tangannya, dari atas ke bawah.

“Halus. Putih. Mulus. Alus…”

“Pak Dar, hentikan,” lirih Safira. “Saya mohon…”

“Kalau kamu minta aku hentikan, maka kamu harus siap aku setubuhi sekarang juga, Safira. Mau?”

Safira pun menggeleng. Ia sadar bagaimana posisi dia saat ini. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa apa yang dilakukan Pak Dar telah membangkitkan gairahnya sendiri. Ia khawatir tidak akan bisa bertahan sampai akhir malam.

“Jadi, boleh aku lanjutkan?”

Safira diam saja.

“Apa, Safira? Bapak tidak dengar.”

Safira menghela nafas, bocah tua nakal ini memang mintanya macam-macam. “Boleh, Pak. Lanjutkan saja apa yang Bapak mau.”

“Nah, gitu dong. Itu baru namanya gundik yang baik.”

Pak Dar melanjutkan dengan melepas kaitan beha berwarna merah muda yang dikenakan sang mahasiswi, hingga payudaranya yang berukuran sedang tersebut tidak lagi tertopang dengan baik. Pemandangan mahasiswi teladan tersebut yang hanya mengenakan jilbab dan celana panjang, dengan payudara yang terbuka, benar-benar membuat Pak Dar terangsang. Namun ia tahu, bahwa ia harus bertahan apabila ingin berhasil dalam rencananya.

Sebelum melanjutkan aksinya, Pak Dar sempat menggenggam payudara Safira dengan kedua tangannya dari belakang, dan meremasnya lembut. Tak lupa, ia pun sempat memainkan puting payudara sang perempuan muda dengan jempolnya, hingga perempuan tersebut sampai mendongakkan kepalanya menahan gairah.

Safira memejamkan mata menahan diri dari sengatan birahi.

“Sudah tidak tahan ya, Safira?”

“Ngghh… Iya, Pak. Safira tidak tahan.”

“Itu bukan keyword yang seharusnya, maka artinya kamu belum mau dipuaskan sepenuhnya, hehehee,” ujar Pak Dar mengingatkan Safira akan perjanjian mereka. “Karena itu, Bapak akan terus membantu kamu berganti pakaian.”

Dalam hati, Safira benar-benar merasa seperti perempuan rendahan, yang mau membiarkan pria tua seperti Pak Dar menyentuh tubuhnya tanpa penolakan berarti. Ia pun merasa kesal pada tubuhnya sendiri yang ikut bergairah karena semua rangsangan tersebut. Namun, ia sadar bahwa ini semua adalah pengorbanan, demi masa depan yang lebih baik bagi dirinya.

Di tengah lamunan tersebut, Pak Dar sudah langsung melepas kancing celana panjang Safira, dan menariknya ke bawah. Paha terbuka milik sang mahasiswi pun langsung menjadi santapan tangan pria tua tersebut, seperti yang tadi ia lakukan di dalam mobil, sepanjang perjalanan ke rumah Safira ini.

“Untuk yang terakhir, coba kamu lepaskan sendiri, Safira,” bisik Pak Dar, sambil menjilat lubang telinga perempuan tersebut. Lelaki tersebut kini bahkan sudah berani menempelkan kemaluannya yang masih berada di balik celana, ke arah bokong Safira yang seksi.

“Baik, Pak.”

Perlahan, Safira mengangkat kakinya yang jenjang satu per satu, dan melepaskan celana dalamnya yang berwarna merah muda. Secara reflek, perempuan muda tersebut pun menutup kemaluannya dengan kedua tangannya.

“Duh, benda bagus begitu jangan ditutup dong, Safira. Justru kamu harus menunjukkannya kepada saya,” ujar Pak Dar sambil menarik kedua tangan Safira ke samping, hingga vaginanya yang hanya ditumbuhi bulu-bulu kemaluan yang tipis jadi terbuka. “Nahh, begini. Memek kamu bagus banget lho. Emang gak salah aku pilih kamu sebagai gundikku.”

Mendengar kata-kata itu, Safira tampak tersipu malu. Tubuhnya tidak pernah dipuji sevulgar itu oleh lelaki lain, karena mereka semua khawatir membuat mahasiswi tersebut marah dan tersinggung. Karena itu, sensasi berbeda pun muncul saat ia mendengarnya dari Pak Dar.

Terlebih lagi, sang rektor kemudian menyentuh selangkangannya tersebut dengan jari telunjuknya, dan bermain-main di sana. Rangsangan tersebut membuat Safira mendesah hebat.

“Ahhhh… ahhhh… ahhhh….”

“Nahhh, akhirnya keluar juga desahan kamu Safira. Selain cantik, ternyata kamu berisik juga ya kalau lagi horny, hahaa …”

“Ingat janji, Bapak. Ngggghhhhh… Jangan sampai jarinya masuk ke dalam, Pak. Ahhhhhhh…”

“Hahaa, oke… Oke… Tapi kalau kamu berubah pikiran, jangan lupa kata kunci yang harus kamu ucapkan ya.”

Kini, Safira sudah tidak mengenakan apa-apa lagi di tubuhnya, selain jilbab berwarna merah muda yang membelit leher dan kepalanya. Tanpa menunggu lama, Pak Dar juga menarik perlahan kain penutup kepala tersebut hingga lepas. Rambut panjang Safira yang begitu indah pun langsung tergerai dengan menawan.

“Wow, indah sekali rambut kamu, Safira. Beruntung sekali aku bisa menjadi salah satu yang melihatnya, dalam kondisi kamu sedang telanjang pula, hahaa,” ujar Pak Dar sambil tersenyum nakal.

Safira hanya tersenyum setengah terpaksa saat mendengar kata-kata tersebut. Namun senyuman tersebut kembali berganti menjadi lenguhan saat Pak Dar mulai menyingkap rambutnya demi mengecup lehernya yang terbuka. Tangannya yang lain pun kembali hinggap di payudara sang mahasiswi dan meremasnya dengan gemas.

“Sungguh sempurna tubuhmu, Safira. Siapa pun yang menikmati keperawananmu nanti pasti sangat beruntung,” ujar Pak Dar. “Namun aku yakin orang tersebut adalah aku, hahaa.”

Di tengah-tengah rangsangan hebat yang dilancarkan Pak Dar, pria tersebut tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Safira sebenarnya ingin lehernya kembali dicium, dan payudaranya kembali diremas, karena rasanya yang teramat nikmat. Namun perempuan muda tersebut jelas tidak bisa mengakui hal itu, karena akan membuat Pak Dar makin bersemangat. Ia pun memutuskan untuk menahan birahinya tersebut di dalam dirinya sendiri.

Dari cermin, Safira bisa melihat Pak Dar berjalan mendekati lemari pakaian dan membuka pintunya. Ia tampak memilih-milih pakaian di situ, dan mengeluarkan sebuah pakaian berwarna ungu yang sangat dikenal oleh perempuan tersebut.

Setelah menemukannya, Pak Dar kembali mendekati Safira dan langsung memakaikan pakaian tersebut ke tubuh sang perempuan yang masih tanpa busana.

“Kamu sekarang mandi dan bersih-bersih,” bisik Pak Dar. “Setelah itu langsung ke bawah dengan hanya pakai jas almamater ini, tanpa pakai apa pun lagi di baliknya. Kamu masakin aku nasi goreng sambil pakai jas ini. Mengerti?”

Apa!? Apa-apaan perintah itu? Memasak hanya dengan memakai jas almamater? Batin Safira berontak. Tapi jawaban yang keluar dari mulutnya berbeda jauh.

“Me-Mengerti, Pak.”

“Bagus … saya tunggu di bawah,” ujar Pak Dar sambil bergerak meninggalkan kamar tidur Safira, dan turun ke bawah.

Di dalam kamar, Safira kembali menangis meratapi nasib buruk yang terus menerus ia terima hari ini.


***​


Selain Bu Tuti, ternyata ada empat orang perempuan lain di meja tersebut. Semuanya tampak mempunyai umur yang sebaya. Tak terbayang betapa hebohnya teman-teman Bu Tuti tersebut saat melihat sang dosen kembali bersama Arga.

“Duh, Tuti… Lama banget pesen bir, kirain ke mana. Dateng-dateng sama brondong booo…” ujar seorang perempuan yang tampak paling tinggi di antara mereka semua.

“Mana brondongnya kece banget lagi, keker pula badannya,” ujar perempuan lain yang tampak paling bersinar karena menggunakan baju terusan berwarna emas.

“Husshh… kalian ini. Dijaga itu mulutnya. Ini mahasiswa gue di kampus,” tukas Bu Tuti.

Arga memang tampak canggung karena disambut dengan kalimat-kalimat cabul seperti itu. Namun ia tidak marah, dan malah tersanjung karena merasa dipuji. Mahasiswa muda tersebut pun langsung duduk di samping Bu Tuti.

“Mahasiswa beneran atau mahasiswa khusus pelajaran biologi neh? Hahaa…” ledek seorang perempuan lain yang paling pendek di antara mereka semua.

“Heh, dibilang mahasiswa ya mahasiswa. Kalian ini kalau mabok emang omongannya udah kayak tante-tante girang,” balas Bu Tuti.

“Makanya kenalin dong sama kita-kita …” ujar perempuan pendek tadi.

“Oke… Oke… Ladies, Mas ini namanya Arga. Dia mahasiswa teladan di kampus. Idaman mahasiswi, berprestasi, dan kesayangan dosen seperti Tuti.”

Teman-teman Bu Tuti tertawa.

“Halo Argaaaaa…” para perempuan paruh baya tersebut serempak menyapa.

“Nah Arga, ini semua teman-teman ibu. Yang paling tinggi ini namanya Intan, yang bling-bling pakai baju emas itu namanya Zahra, yang pendek itu namanya Bebi, dan yang di ujung pakai kacamata dan dari tadi nggak ngomong apa-apa namanya Lina.”

“Salam kenal semuanya,” Arga sopan menyapa dan berrsalaman dengan satu persatu.

Arga jelas tidak bisa langsung menghapal nama semua teman Bu Tuti tersebut. Pria muda itu pun mencoba membaur sambil meneguk sedikit demi sedikit minumannya.

“Omong-omong… kalian kok bisa ketemu di sini?” tanya Intan yang sedari tadi memang terkesan paling penasaran dengan Arga.

Bu Tuti pun akhirnya menceritakan kejadian mereka saling berbenturan di dekat meja bar, yang menyebabkan bir yang dibawa sang dosen tumpah mengenai tubuhnya.

“Pantes badan lo basah gitu, gue kira habis ngapain sama Arga, hahaa,” ujar Zahra.

“Enak aja, kalau main juga nggak di tempat begini kali …” Jawab Bu Tuti.

“Ya siapa tahu, lo mau cari tantangan baru. Kan udah lama gak ada yang nyodok, hahaa,” lanjut Zahra lagi.

Bu Tuti langsung berdehem dan melirik ke arah Arga. Ia jelas malu kalau sang mahasiswa tahu bahwa dia sudah tidak pernah bermain cinta sejak ditinggal suaminya.

“Nggak apa-apa kali, Arga udah gede kan ya?” Ujar Zahra yang langsung disambut dengan tawa seluruh sahabatnya.

Tiba-tiba terdengar suara musik techno yang membahana di seantero bar tersebut. Lagu yang diputar itu sepertinya merupakan favorit banyak pengunjung, karena suasana tiba-tiba menjadi riuh.

“Woooooooooo… “ Keempat teman Bu Tuti pun langsung berteriak heboh, dan beranjak dari meja menuju lantai dansa di depan meja DJ yang memutar lagu tersebut.

Bu Tuti pun tampak akan mengikuti teman-temannya itu. Namun sebelum pergi, ia tampak menarik tangan Arga.

“Yuk, ikut …”

“Ngapain, Bu?”

“Kemana lagi? Ke lantai dansa. We’re going to the dance floor…”

“Tapi… saya ga bisa, Bu. I can’t dance. Saya kaku kalau…”

“I’ll teach you. Aku dosen kamu, kamu belajar dari aku, paham?” ujar Bu Tuti sambil menarik tangan Arga setengah memaksa. Sang mahasiswa pun akhirnya mengangguk dan menurut.

Sesampainya mereka berdua di lantai dansa, Bu Tuti langsung mengangkat tangannya ke atas dan menari dengan gerakan yang mengikuti irama lagi. Dosen berusia 35 tahun itu begitu menikmati musik yang menghentak lantai dansa, sampai memejamkan matanya sendiri. Arga pun mengikuti perintah sang dosen untuk mengikuti gerakan tersebut, sambil menambahkan gayanya sendiri.

Hanya dalam waktu tidak sampai satu jam, Arga sudah merasa begitu dekat dengan dosen yang mengajarkannya melantai itu. Ia yang tadinya mungkin tidak akan peduli apabila bertemu dengan Bu Tuti di kampus, kini sedang berdansa bersama dengan perempuan yang berstatus janda itu. Apalagi perempuan di hadapannya tersebut ternyata mempunyai tubuh yang cukup menarik, terlebih dengan puting payudaranya yang menonjol karena tidak dilapisi oleh bra.

Beberapa menit kemudian, Bu Tuti tampak kelelahan menari dan langsung mengalungkan tangannya di leher Arga. Tak hanya itu, sang dosen kemudian seperti bersandar ke tubuh Arga, hingga payudaranya yang tidak dilapisi beha menempel langsung di dada sang mahasiswa. Arga pun bisa merasakan betapa kerasnya puting payudara sang dosen. Arga pun memberanikan diri untuk balas memeluk perempuan tersebut, yang ternyata tidak mendapat penolakan.

“Suka?”

“Banget.”

“Baguslah. Yang penting kamu menikmati…”

“Iya…”

“Kita pulang yuk, Ga,” bisik Bu Tuti tiba-tiba di telinga Arga.

“Tapi saya masih mau …”

“Pulang ke rumah aku. Mau?”

Arga meneguk ludah. Jantung pemuda itu langsung berdebar membayangkan apa yang akan terjadi di antara mereka berdua.


***​


Sesuai perintah, Safira turun dari lantai atas rumahnya hanya dengan menggunakan jas almamater kampusnya yang berwarna ungu. Perempuan tersebut merasa sedikit kedinginan, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa lagi karena ini adalah perintah dari sang rektor yang tidak mungkin ia langgar.

Demi menutup bagian-bagian sensitif tubuhnya, perempuan tersebut sengaja menutup kancing jasnya di bagian depan. Jas tersebut pun berukuran cukup panjang sampai setengah paha, sehingga bisa sedikit menutup liang senggamanya.

MEHN2HQ_t.png


Namun perempuan tersebut terkejut, saat melihat pria tua yang menunggunya di lantai dasar ternyata sudah tidak menggunakan sehelai benang pun di tubuhnya. Pak Dar tengah telanjang bulat sambil duduk manis di atas sofa ruang tamu. Pria tua itu pun tersenyum saat melihat Safira turun ke bawah mengenakan pakaian yang ia minta.

Seperti pura-pura tak melihat Pak Dar, Safira langsung ngeloyor ke arah dapur, dan mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Tadi pagi perempuan tersebut memang sempat menanak nasi dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga ia kini hanya perlu menggorengnya saja dengan bahan-bahan tambahan.

Mendadak, Safira merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang.

“Saya suka kamu memenuhi permintaan saya, Safiraku sayang,” bisik Pak Dari di telinga perempuan muda tersebut. “Tapi sepertinya ada yang salah, karena kancing ini seharusnya dibuka.”

Pria tua tersebut perlahan membuka kancing jas yang dikenakan Safira, lalu mulai meraba-raba payudara berukuran sedang milik perempuan muda tersebut. Berbeda dengan buah dada perempuan paruh baya yang sering dimainkan oleh Pak Dar, payudara Safira memang terasa lebih kencang dan lebih segar. Ia pun seperti tidak bosan-bosan menyentuhnya.

“Bapak ngapain telanjang begitu?” Tanya Safira.

Tubuh Pak Dar memang jauh dari kata kekar, jantan, atau seksual. Perutnya yang buncit dan lemak yang memenuhi hampir seluruh tubuh sang rektor membuatnya tidak bisa dibilang menarik. Batang penisnya pun tidak terlalu besar, dan telah sedikit loyo karena dimakan usia. Namun tetap saja, Safira merasakan sensasi yang berbeda saat melihat tubuh pria tanpa busana tersebut, karena ini adalah pengalaman pertama baginya.

“Kenapa? Kamu nggak suka, Safira?”

“Su… suka, Pak. Saya suka…” Ujar Safira berbohong demi menyelamatkan keperawanannya yang menjadi taruhan dalam permainan berbahaya ini. Namun harus ia akui, meski merupakan kebohongan, kata-kata tersebut lama-lama terpatri di kepalanya, dan suatu saat bisa berubah menjadi kenyataan.

“Kamu memang pelacurku yang pintar dan menyenangkan.”

Kata-kata tersebut membuat Safira kaget.

“A-Apa yang Bapak bilang barusan?”

“Pe… La… Cur… Kamu memang pelacurku kan? Atau kamu mau protes?”

“Ti-Tidak, Pak. Saya tidak mau protes.”

“Bagus, bisa diulang kamu apanya Pak Dar, Safira?”

“Saya pelacurnya Pak Dar.”

“Bagus, sekarang kamu masak yang enak yah. Saya tunggu di meja makan,” ujar sang rektor.

Namun sebelum pergi, Pak Dar menyempatkan diri untuk membelai rambut indah Safira, dan mengecup lehernya dengan romantis. Meski kemudian ia mengakhirinya dengan mengusap-usap vagina sang mahasiswi dengan jemarinya. Rangsangan tersebut membuat sang perempuan ingin diusap-usap seperti itu terus, tetapi menjadi sedikit tertahan karena tiba-tiba sang pria tua pergi meninggalkannya dengan birahi yang tetap tinggi.

“Sial, pintar sekali pria tua bangka itu memainkan birahiku,” batin Safira.

Perempuan muda tersebut pun melirik ke arah jam dinding, berusaha menghitung berapa jam lagi ia harus bertahan sebelum Pak Dar kelelahan sendiri dan memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Ternyata masih cukup lama.

Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Safira untuk membuat dua buah porsi nasi goreng untuk dirinya dan pria tua yang tengah bersamanya tersebut. Masih dengan mengenakan jas almamater yang telah terbuka kancingnya, ia pun menyajikan santapan makan malam mereka tersebut di atas meja makan. Di sana, Pak Dar masih duduk menunggu sang pujaan hati, tanpa mengenakan sehelai benang pun.

“Hmm, enak banget masakan kamu, Safira…” Ujar Pak Dar setelah melahap beberapa suap nasi goreng di hadapannya.

Safira hanya tersenyum, sambil menahan rasa dingin yang menerpa karena ia sama sekali tidak mengenakan apa-apa lagi di balik jas almamaternya. Rasa dingin itu pun berubah jadi geli saat menyentuh puting payudara dan bibir vaginanya. Perasaan tersebut bahkan tidak kunjung hilang meski Safira telah berusaha mengalihkan perhatian denga menyantap hidangan yang tadi ia buat.

Pak Dar tiba-tiba mendekatkan kursi tempatnya duduk ke arah Safira, hingga keduanya kini duduk bersebelahan. Pria tersebut kemudian membelai pipi sang perempuan dengan lembut.

“Mengapa kamu seperti tidak lahap menyantap makanan kamu sendiri, Safira? Padahal rasanya enak lho…” ujar Pak Dar sambil mengusap bibir indah sang mahasiswi.

Tangan tersebut kemudian beralih ke payudara Safira yang hanya tertutup oleh jas almamater berwarna ungu, tanpa apa-apa lagi di baliknya. Pak Dar tampak meremas payudara tersebut dengan lembut, sambil memainkan putingnya. Pria tua tersebut seperti sudah tidak sabar untuk membuat Safira bertekuk lutut di hadapannya.

“Sekarang kamu naik ke pangkuanku, Safira.”

“Eh, maksudnya bagaimana Pak?”

“Ya, kamu naik ke pangkuanku.”

“Tapi nanti …”

“Tenang saja. Aku masih ingat aturan yang aku buat, bahwa aku tidak boleh merusak keperawananmu. Iya kan?”

“I-Iya, Pak.”

“Dan kamu juga harus ingat, bahwa kamu harus menuruti semua permintaanku.”

“Ba-Baik, Pak.”

Dengan terpaksa, Safira pun naik ke pangkuan Pak Dar dengan posisi saling berhadapan. Dengan begitu, batang penis sang pria tua kini tepat berada di hadapan selangkangan perempuan muda itu. Safira pun berusaha kuat agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan kemaluan Pak Dar tersebut.

Namun Safira tampak tidak bisa mencegah saat payudaranya mulai diemut-emut oleh sang rektor. Apalagi kemudian Pak Dar membuka jas almamater yang tengah dikenakan mahasiswi tersebut, lalu melemparkannya ke lantai. Kini, kedua insan tersebut telah saling berpelukan tanpa sehelai busana pun yang membatasi mereka.

“Pak Dar …. Ngghhh,” Safira melenguh saat pria tua yang sedang memangkunya tersebut mengalihkan kecupannya ke bagian leher. Sementara tangannya yang masih bebas, kini mulai meremas-remas payudara Safira dari arah depan.

“Kamu masih bisa tahan, Safira? Hehehe…”

Pak Dar tampak sudah begitu bergairah, sehingga kemaluannya pun makin menegang, dan berkedut-kedut naik turun. Hal itu pun menjadi sesuatu yang berbahaya bagi Safira, karena artinya batang penis tersebut kini seperti menggesek-gesek bibir vaginanya. Liang senggama yang sudah mulai lembab tersebut pun kini kian basah.

“Aku masih kuat Pak, hnggghhhh…”

“Bagaimana kalau begini, Safira?”

Pak Dar kini menjilat-jilat bibir sang mahasiswi, sambil meremas-remas bokongnya yang tengah ia pangku. Malang bagi Safira, yang ternyata mempunyai titik sensitif di daerah tersebut. Perempuan tersebut pun menggelinjang tidak karuan saat bokongnya menjadi mainan sang pria tua. Sang rektor pun tersenyum.

“A-Ampunn Pak, hentikaaaannn…”

“Yakin kamu mau aku berhenti? Artinya perjanjian kita batal lho kalau kamu nggak mau memenuhi permintaan aku.”

Safira pun sadar bahwa dia telah terjebak di tengah dilema tersebut. Ia menerima, maka keperawanannya akan rusak. Ia menolak pun, Pak Dar akan senang hati memerawani tubuhnya.

“Ahhh, iya aku mau Pak.”

“Mau apa, Manis?”

“Remas-remas terus pantatku, Pak… nggghhh.”

“Kayak gini ya? Hahaha … Memang montok sekali bokongmu ini lonteku sayang.”

Safira tampak benar-benar tidak bisa lagi menahan birahinya. Ia sudah berusaha kuat menggigit bibirnya, memejamkan matanya, dan mengalihkan perhatiannya ke hal lain, namun semuanya gagal. Gesekan batang penis Pak Dar yang bertubi-tubi mengetuk pintu gerbang vaginanya, seperti menjadi ambang batas terakhir yang bisa ia terima.

Mahasiswi cantik tersebut akhirnya berdiri dari pangkuan Pak Dar, lalu mendekat ke arah meja makan. Tangannya tampak menopang di pinggir meja, dan pinggulnya sedikit didorong ke belakang. Ia pun menatap ke arah Pak Dar dengan tatapan yang begitu binal. Ia terengah-engah.

“Pak Dar… a-aku mohon, en-entotin aku sekarang.”


***​


Di saat yang sama, Bu Tuti baru saja membuka pintu rumahnya, diikuti oleh Arga di belakangnya. Mereka terlihat sesekali doyong ke kanan dan ke kiri, mungkin sedikit mabuk, meski masih bisa berjalan dengan baik tanpa perlu dibantu.

“Pintunya ditutup aja, Arga. Suka banyak nyamuk,” ujar Bu Tuti yang langsung berjalan masuk ke bagian belakang rumahnya.

“I-Iya, Bu,” jawab Arga yang langsung melaksanakan perintah tersebut. Pria muda tersebut pun mengikuti sang dosen, hingga sampai di area yang sepertinya merupakan ruang makan, karena terdapat meja besar yang dikelilingi beberapa kursi di sisinya.

“Kamu mau minum apa, Ga?” Teriak Bu Tuti dari arah dapur.

“Apa aja, Bu.”

Beberapa saat kemudian, sang dosen paruh baya tersebut pun kembali dengan membawa segelas air putih. Arga menerima gelas tersebut dan langsung meminum isinya sampai habis.

“Ibu tinggal sendirian saja di sini?”

“Iya, Arga. Habis sama siapa lagi?”

“Ya, kirain ada keluarga yang ikut tinggal di sini,” ujar Arga. “Memangnya Ibu nggak kesepian tinggal sendiri?”

Bu Tuti tidak menjawab, dan malah berjalan mendekati mahasiswanya tersebut. Saat posisi keduanya telah begitu dekat, dosen perempuan tersebut justru merangkulkan tangannya ke leher Arga.

“Memangnya kenapa kalau Ibu kesepian, Arga? Kamu mau menemani?”

“Ngghh… Bukan begitu Bu. Ma-maksud saya…”

“Maksud kamu apa?”

“Sa-saya harus kembali ke bar untuk mengambil mobil saya, Bu. Tadi kan janji saya hanya mengantarkan Ibu sampai rumah.”

“Kamu bisa ambil mobilnya besok pagi kan? Kenapa buru-buru? Tidak suka ngobrol sama Ibu?”

“Maksudnya gimana Bu? Kok ambil mobilnya besok pagi?”

“Tadi kamu sempat bilang kalau semua cowok itu sama saja. Kalau ada cewek yang bisa digarap maka akan langsung dihajar. Semua cowok itu termasuk kamu. Bener tidak?”

“Be-Bener Bu.”

“Bagaimana kalau ceweknya lebih tua dari kamu, usianya 35 tahun, dan merupakan dosen kamu?” Kini Bu Tuti mulai menempelkan hidungnya di leher Arga. “Bagaimana, Arga?”

“Bu Tuti…” dengan nada suara yang bergetar, Arga mulai membelai rambut dosennya tersebut. Ia tidak bisa memungkiri bahwa seluruh rangsangan dan rayuan yang diberikan sang dosen telah membuatnya begitu terangsang.

Mahasiswa berusia 21 tahun tersebut bahkan bisa merasakan lidah Bu Tuti yang mulai menjilati keringat di lehernya, membuatnya benar-benar geli. Tangan Arga pun secara otomatis langsung bergerak ke arah payudara Bu Tuti yang sudah tidak tertutup bra.

Putingnya yang menonjol pun langsung dimainkan oleh sang mahasiswa berwajah tampan itu. I-ini ini luar biasa!

“Nghhh, iya di situ, Ga. Ahhh… enak bangeeeeettt.”

Dalam hati, Arga bertanya-tanya apakah ocehan temannya tentang Bu Tuti yang belum pernah bermain cinta dengan pria lain setelah bercerai dengan suaminya memang benar. Apabila iya, Arga tentu akan menjadi pria yang sangat beruntung bisa merasakan vagina yang jarang dipuaskan seperti itu.

Gairah tersebut akhirnya mendorong Arga untuk menarik blus yang dikenakan Bu Tuti, hingga tubuh bagian atasnya terbuka dan puting payudara yang sejak awal malam tadi terus menggoda sang mahasiswa jelas terlihat. Tanpa pikir panjang, pria berbadan kekar itu pun langsung menghisap-hisap puting tersebut dengan penuh nafsu.

“Nggghhh, Argaaaaa… Nikmat banget sih emutan kamu, Sayang,” ujar Bu Tuti sambil menjambak-jambak rambut Arga yang halus.

Panggilan sayang dari sang dosen membuat mahasiswa tersebut semakin bergairah. Ia pun mendorong Bu Tuti hingga rebah di atas meja makan. Pria muda tersebut kemudian menarik celana dalam sang perempuan paruh baya, yang merupakan pakaian terakhir yang menutupi tubuhnya. Arga pun menyempatkan diri untuk mengusapkan tangannya ke selangkangan Bu Tuti, yang langsung membuat perempuan tersebut menggelinjang.

Sang mahasiswa kemudian melucuti pakaiannya sendiri, hingga semuanya ikut jatuh ke lantai, bercampur dengan pakaian sang dosen. Ia lalu memposisikan kemaluannya yang berukuran cukup besar di bibir vagina Bu Tuti, dan mendorongnya perlahan. Dan seperti yang ia duga, liang senggama sang dosen benar-benar terasa sempit, lebih rapat dari vagina Amira yang pernah ia cicipi.

“Ngghhh… terus dorong Argaaaaaa… Ahhhh, enak banget bisa dientot sama brondong kayak kamuuuu …” Bu Tuti terus meracau di sela-sela otaknya yang kian buram karena pengaruh alkohol.

Arga pun makin bersemangat, dan terus menggenjot vagina sang perempuan hingga payudaranya terus berguncang tidak karuan. Ia seperti lupa bahwa tidak seharusnya ia melakukan itu tanpa karet pengaman. Namun rasa nikmat bersetubuh tanpa pengaman telah membuat keduanya hilang akal.

Beberapa belas menit kemudian, Arga pun merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari testisnya. Dorongan tersebut terasa begitu kuat, hingga sang mahasiswa tidak mampu menahannya. Ia pun mendorong batang penisnya kuat-kuat hingga menusuk dalam liang vagina milik Bu Tuti.

“Aaaaaaaahhhhhhhhhh… aku keluaaaaaaaaaarrrrrr…” teriak Arga dengan kencang.

Bu Tuti pun menikmati orgasme yang dirasakan mahasiswanya tersebut. Ia menahan tubuh Arga agar tidak segera melepas kemaluannya dari vagina sang dosen. Semprotan demi semprotan sperma yang bertubi-tubi seperti memberikan sensasi yang unik bagi Bu Tuti yang sudah lama tidak merasakan kenikmatan bercinta. Dan kini, ia justru mendapatkannya dari mahasiswa tampan yang biasa menjadi muridnya di kampus.

Perempuan tersebut pun tidak tahan untuk bangkit, demi bisa mengecup bibir Arga.”Enak banget kontol kamu, Arga,” bisiknya di sela-sela ciuman tersebut.

Arga tidak menjawab.

Dia hanya memeluk sang dosen.


***​


“Pak Dar… a-aku mohon, en-entotin aku sekarang.”

Kalimat yang diucapkan Safira terdengar lirih saat ia sambil mengambil posisi menungging di sisi meja makan. Dia memejamkan mata. Sama sekali ia tidak menduga akan mengucapkan kalimat sialan itu saat ini. Ada lelehan air mata jatuh di pipi Safira, tapi dia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan.

“Apa, Safira sayang? Suamimu ini tidak mendengar, bicaralah dengan lebih kencang. Kamu tahu sendiri berapa usiaku,” ujar Pak Dar sambil menyeringai, menggoda mahasiswi cantik kembang kampus yang tengah menunggingkan pantat di hadapannya.

“Entotin aku sekarang, Pak Dar… Aku mau dientotin sama kamuuuu,” ujar Safira dengan nada suara yang lebih kencang. Tapi sesaat kemudian kalimatnya kembali lirih, “entotin aku… su-suamiku…”

Dalam hati, perempuan muda tersebut merasa benar-benar terhina akan apa yang dilakukan Pak Dar terhadap dirinya. Namun, ia juga tidak bisa menolak rasa haus akan kenikmatan birahi yang ingin segera ia reguk. Dia kebingungan sendiri tentang apa yang dia inginkan dan apa yang dia tolak mentah-mentah.

Mama… maafkan anakmu ini, Mama… batin Safira bergejolak.

MEHN2HQ_t.png


Pak Dar tersenyum. Ia pun mengambil sebuah obat dari rak di dekat meja makan dan memberikannya kepada Safira. Sang rektor sepertinya sudah menyiapkan obat tersebut sebelumnya.

“Minum obat ini, Safira sayang.”

“Apa ini, Pak?”

“Kamu tidak mau punya anak dari aku kan? Cepat minum obat ini.”

Mendengar itu, Safira langsung menelannya cepat-cepat. Ia jelas tidak mau masa depannya yang susah payah ia bangun, harus hancur karena kehadiran seorang bayi di luar pernikahan.

“Tahan ya, Safira kekasihku… Aku masukin sekarang, hngghhh…!!”

Tanpa menunggu lama, Pak Dar langsung mengambil posisi di belakang Safira, dan mengarahkan batang penisnya ke liang senggama mahasiswi cantik tersebut. Ia sempat kesulitan karena bibir vagina Safira yang masih perawan seperti menolak dimasuki benda asing.

“Susah sekali… heheh. Begini yang menyenangkan. Hnnnnghhhh…!” Sekali lagi Pak Dar mencoba, dan sekali lagi ia gagal. Batang kemaluannya seperti enggan melesak karena sempitnya liang cinta sang kembang kampus.Tapi bukan Pak Dar namanya kalau menyerah begitu saja. Setelah mencoba berkali-kali, ujung kemaluan Pak Dar yang cukup besar akhirnya bisa menembus pertahanan perempuan muda tersebut.

“Ahhhaaaaaaaagkkkkhhhhh!!! Sakit banget, Paaaaaaaaakkk…” teriak Safira. Tak lama kemudian kembang kampus itu pun menangis sesunggukan, tangannya mencengkeram ujung meja dengan sepenuh tenaga. “Sakit…. sakit… sakit…”

Air mata Safira mengalir deras. Ia bergetar hebat, antara kesakitan, malu, kecewa pada diri sendiri, hancur, sekaligus merasa kotor.

Mama…. tolong aku, Mama…. Mama… Mama…

“Tenang saja, lonteku sayang… sebentar lagi juga bakal terasa enaknya, kamu pasti bakal minta tambah porsinya,” balas Pak Dar sambil mulai menggenjot tubuh sang mahasiswi dengan perlahan. Ia pun melakukannya sambil meremas-remas payudara Safira dari belakang.

“Ahaaaakghhh!! Sakit… sakit…”

Mau tidak mau Safira harus menahan semua rasa yang berkecamuk di dalam hatinya. Bisakah dia menikmati ini? Sepertinya tidak mungkin. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa menikmati sesuatu yang dibencinya?

Blssshkkkkg!

”Ahaaaaaaakghhh! Kok makin dalem Pak?! Ahhhhhh… sakit tauuuuu!”

“Sudahlah, Safira istriku sayang. NIkmatin saja kontol suamimu ini. Malam ini akan menjadi malam pertama yang paling indah untuk kamu.”

“Tapiiiii … sakit Paaaaaakkkkk …”

“Duhhh, sempit banget memek kamu, Saf… kenceng banget jepitannyaaa…”

“Paaak Daaaaarrr, aaaahhh …. Sakiiiiiiitttt …”

“Nikmatin saja sayang, sebentar lagi Bapak masukin lebih dalam. Jadi ditahan saja ya. Ini belum seberapa.”

“Aaaaahhhh, jangaaaaan!! Pak Daaaar… pleeeaaassseeeee…. Stooooopppp…” Safira menjerit-jerit dan menangis semakin keras, “huhuhuhu… Pak Daaaar! Jangaaaaan… Sakit! Sakit! Sakit!”

“Ayolah. Apanya yang sakit? Buka pelan-pelan memek kamu sayaaaang, Bapak mau masuuukk, ahhhhhh…” Pak Dar melesakkan penisnya semakin jauh ke dalam.

“Jangan dalem-dalem, Paaaak…!! Ahaaaakghhh!!” Safira memejamkan mata, “kok malah makin gedeeeee, ahhhhhh…”

“Enak bangeeettt, Safiraaaaaa…! Nggak salah Bapak pilih lonte perawan kayak kamuuuuu…!.”

Akhirnya, Pak Dar merasakan ada sesuatu yang seperti lepas dari tempatnya semula akibat dorongan batang penisnya. Pria tua tersebut pun tersenyum bahagia, sambil terus menggenjot pinggulnya maju mundur dari belakang tubuh Safira. Ada darah yang mengalir tapi kedua insan itu tidak ada yang menyadarinya.

Sementara itu, sang mahasiswi mulai menikmati pengalaman pertamanya bersetubuh, yang tentunya sedikit perih, namun langsung berganti dengan kenikmatan yang tiada tara. Desahan demi desahan pun langsung meluncur dari bibirnya.

“Nggghhh…. Ahhhhh…. Ngggghhhh…. Aaaaahhhh….”

Ja-jadi ini yang namanya seks? Penis Pak Dar kenapa jadi enak bangeeeetttt? Eh!? Tidak! Safira tidak terima! Dia tidak mau menikmati! Tidak mau!

Safira menggelengkan kepala menolak kenikmatan yang tidak bisa ia nikmati dalam benaknya namun dirasakan oleh tubuhnya.

“Bapak genjot makin kenceng ya sayaaaang … Dari belakang gini kamu kelihatan seperti anjing betina yang minta dipuasin sama pejantannya, hahahaha.”

Kurang ajar! Tidak terima! Safira tidak terima dikatain seperti itu! Tapi… tapi…

Pak Dar menepuk pantat Safira beberapa kali. Gadis yang kehilangan kegadisannya dengan menyedihkan itu pun berteriak kesakitan.

“Sudaaaah. Sudaaaah. Sudaaah.”

Setelah beberapa menit di posisi yang sama, Pak Dar pun memberikan kelonggaran untuk sang dara jelita. “Masih belum. Tapi tidak apa-apa, kita ganti posisi saja. Rebahan di atas meja.”

Pak Dar menarik penisnya yang tertancap dalam di liang cinta sempit milik sang kembang kampus. Ketika sampai di luar, terdengar bunyi kecipak menandakan basahnya liang cinta itu.

Safira terlihat sangat lemas, tapi ia tetap menurut. Dara jelita itu merebahkan tubuh di atas meja. Dengan taat sang mahasiswi menurut pada semua perintah Pak Dar. Tidak butuh waktu lama bagi sang pria tua yang penuh nafsu untuk menyerang. Safira pun langsung menerima sodokan batang penis Pak Dari dari arah depan. Perempuan berparas jelita itu tampak membuka lebar selangkangannya, dengan lutut yang ia tekuk agar kakinya bisa menopang di pinggir meja.

Blssskhhh!

“Aaaaaaaahhhhkkk!”

“Masih sakit?”

Safira tidak menjawab, tapi ia mengangguk. Air mata sang bidadari muda itu pun mengucur deras.

“Enak banget bisa ngentotin memek perawan kaya kamu Safira, haaa… Ayah Ibu kamu pasti bangga punya anak yang memeknya legit kayak kamu. Ibu kamu masih muda ya? Aku lihat di foto masih sangat cantik. Kecantikannya menurun ke kamu. Wah, kapan-kapan boleh deh Bapak ketemu sama ibumu. Setelah menikmati anaknya, jadi pengen tahu bagaimana rasanya ngentotin memek ibunya.”

Dalam keadaan biasa, Safira pasti sudah marah mendengar kata-kata tersebut. Namun kini vaginanya tengah disodok-sodok oleh penis Pak Dar, sedangkan ketiaknya tengah dijilat-jilat liar oleh sang rektor. Karena itu, ia pun tidak bisa membalas apa-apa, selain menikmati semua rangsangan tersebut.

Dia sudah terlalu lelah dan capek menahan rasa sakit.

Tak lama kemudian, Pak Dar tampak kembali mempercepat genjotannya hingga mencapai kecepatan maksimal. Pria tua tersebut sudah merasakan ada gejolak liar yang ingin menembus pertahanan birahinya. Ia pun tidak kuat untuk mencegahnya lebih lama, dan…

“Uwaaaaaahhhh!!”

Crrrroooooottt… Crrroooottttt… Crrrooottttt…

Entah berapa banyak sperma yang keluar dari lubang pipis Pak Dar, entah seberapa banyak cairan cinta membanjiri vagina Safira yang masih berkedut-kedut berharap kepuasan. Pria tua itu pun menikmati orgasme pertamanya malam ini. Ia mengecup puting payudara, leher, dan bibir Safira, seperti mengucapkan terima kasih atas kepuasan yang ia berikan.

Air mata Safira masih mengalir. Pak Dar menyekanya dengan punggung tangan secara lembut. Safira menepis tangan pria tua itu dengan marah.

“Heheheh. Jangan lupa siapa kamu dan siapa aku, Safira pelacurku tersayang. Coba sebutkan siapa aku?”

Safira memejamkan mata. Tidak hanya sakit fisik, dia juga disakiti secara batin. Safira menghela napas, “Pak Dar adalah kekasihku, suamiku, tuanku.”

“Bagus. Mulai malam ini, kamu milikku seutuhnya, Safira,” bisik Pak Dar sambil terkekeh penuh kebahagiaan.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd