Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Mantap malam ini update...safira lagi ngejar laras dipoling..apa bisa melampaui laras..
 
Part 18: Perbedaan Besar

Dengan langkah yang sedikit pincang, seorang perempuan tengah menuruni tangga rumahnya menuju ke lantai dasar. Ia menuju ke ruang makan, di mana Ayah dan Ibunya sudah menunggu di sana.

“Wah, tuan putri sudah bangun rupanya. Ayo sini duduk,” panggil sang Ibu.

Perempuan tersebut pun tersenyum, dan perlahan mendekat ke arah kursi yang disiapkan untuknya. Meski sudah bisa berjalan kemana-mana, tetapi perempuan itu masih berusaha mengikuti perkataan dokter untuk tidak terburu-buru untuk beraktivitas seperti biasa.

“Ibu apaan sih? Berasa seperti anak manja saja aku kalau dipanggil begitu, hihihi.” ujar perempuan tersebut.

“Hahaa … Ibu hanya bercanda, Sayang. Ayo langsung dimakan sarapannya. Itu Ayah kamu sudah duluan.”

“Hawbiws suwdawh lawpawr bawngewt siwh …” tanggap sang Ayah sembari mengunyah nasi uduk yang disiapkan istrinya.

Perempuan tersebut hanya tertawa saja melihat kelakuan orang tuanya pagi ini. Setelah kecelakaan yang menimpa dirinya beberapa hari lalu, perempuan bernama Indira Nur Aisyah tersebut memang lebih sering di rumah untuk mempercepat pemulihan. Ia berencana untuk baru kembali mengajar di kampus minggu depan. Untungnya, ada rekannya sesama dosen yang berbaik hati menggantikannya mengajar selama ia tidak masuk.

MEHN2HU_t.png


“Jadi, bagaimana keputusan kamu soal Ahmad, Nak?” Tanya sang Ibu tiba-tiba. Pertanyaan yang langsung merusak mood Indira pagi ini.

“Ibu jangan bahas-bahas itu dulu, ah. Indira masih males ngomonginnya. Denger namanya aja males.”

“Maaf, deh. Ibu cuma mau kamu tegas mengambil keputusan, agar masalah ini tidak berlarut-larut. Kalau mau lanjut ya silakan, kalau tidak ya silakan.”

Dalam hati, Indira mengakui bahwa perkataan sang Ibu memang ada benarnya. Lebih cepat hubungannya dengan Ahmad menemui titik terang, semakin cepat pula ia terbebas dari belenggu yang seperti mengekang dirinya tersebut. Ketegasan seperti ini biasanya diharapkan muncul dari pihak pria. Namun apabila Ahmad tidak kunjung mengambil keputusan sebagaimana mayoritas pria lain, maka Indira-lah yang harus menentukan pilihan.

“Sampai sekarang apa kamu belum bisa menghubungi dia?” Tanya sang Ibu lagi.

Indira menggelengkan kepala. “Belum, Bu.”

“Ya sudah. Sepertinya memang tidak ada itikad baik dari pihak mereka.”

“Ibu juga belum bertemu Ummi lagi sejak kemarin Indira cerita?”

“Belum, Nak.”

Entah apa yang terjadi sebenarnya dengan keluarga tersebut, sampai mereka kini seperti memutus hubungan dengan keluarganya. Namun Indira memilih untuk tidak memperdulikan itu, dan sibuk dengan masalahnya sendiri.

Perempuan tersebut pun mengingat percakapannya dengan Pak Agustinus beberapa hari lalu, saat ia masih berada di rumah sakit. Saat itu, mereka bicara tentang mimpi Indira, tipe pria yang ia suka, dan perbedaan besar yang ada antara mereka berdua, meski secara tersirat. Dan kata-kata Pak Agustinus tentang istilah dosa pun jadi begitu melekat di kepala Indira.

“In my opinion, sin is only a way of God to prevent us from giving harm to other people. But if it’s two people, doing everything that they want without harming other people, I dare to do that sin. - Menurut pendapatku, dosa adalah cara Tuhan untuk mencegah manusia menyakiti sesama. Tapi jika hal itu terjadi antara dua orang yang melakukan apa yang mereka inginkan tanpa menyakiti atau merugikan orang lain, maka itu dosa yang akan aku lakukan.”

Ucapan dan wajah Pak Agustinus terngiang-ngiang di benak Indira.

Indira pun jadi berpikir, apabila keinginan di dalam hatinya menjadi kenyataan, seharusnya tidak ada seorang pun yang tersakiti. Apakah hal tersebut merupakan dosa? Dan apakah benar bahwa ayah dari Andrew tersebut benar-benar mau melakukannya?

Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.


***​


Di saat yang sama, seorang pria tua berusia 55 tahun tengah duduk di meja kerjanya sambil menatap ke arah layar komputer. Ia sedang memeriksa berita-berita terkini, berjaga apabila ada perkembangan terbaru di luar sana yang harus ia respon. Namun tidak banyak berita yang menarik pagi ini, selain peneliti instansi negara yang dengan gegabah mengunggah opininya terkait badai di media sosial, serta berita seorang selebriti tanah air yang baru saja masuk rumah sakit karena pendarahan di otak.

Tkk… Tkk…

Terdengar ketukan di pintu ruang kerjanya.

“Masuk.”

Seorang perempuan cantik dengan rambut sebahu tampak memasuki ruangan tersebut dengan langkah anggun dan sopan, tak lupa Ia menutup pintu di belakangnya. Wanita cantik itu mengenakan tanktop putih yang dilapisi oleh blazer hitam, serta rok pendek yang hanya menutupi hingga setengah lututnya. Payudaranya yang berukuran sedang tampak menyembul dari balik blazer, membuat siapa pun yang melihat pasti tergiur akan keindahannya. Namun, sang pria tua tampak tidak terlalu banyak bereaksi akan kedatangan perempuan tersebut.

“Selamat pagi, Pak Agustinus,” ujar perempuan yang sepertinya masih berusia di bawah 30 tahun tersebut.

“Selamat pagi. Ada kabar apa hari ini, Johana?”

“Sumbangan yang kita galang untuk bencana banjir di pinggiran ibu kota sudah sampai dan diterima dengan baik. Masyarakat di sana juga mengucapkan terima kasih atas bantuan tersebut.”

“Oke, selain itu?”

“Ada kabar baik dari Partai Rakyat dan beberapa partai koalisi lainnya. Pencalonan Bapak sebagai kandidat tunggal calon gubernur sepertinya akan diumumkan sebentar lagi.”

Pak Agustinus pun tersenyum. Kabar yang telah lama ia tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Bila berhasil, ini akan menjadi pencapaian terbesar dalam hidupnya. Meski ada satu lagi pencapaian yang ingin dikejar oleh sang pria tua, namun ia tidak terlalu yakin hal tersebut akan menjadi kenyataan atau tidak.

“Oke, terima kasih. Ada lagi Johana?”

“Tidak ada, Pak. Itu saja.”

“Baik. Ngomong-ngomong anak magang itu ke mana? Kok belum kelihatan? Siska ya kalau nggak salah namanya?”

“Betul, Pak. Siska. Mmh, hari ini dia izin sakit, Pak.”

Pria tua yang duduk di kursi kerjanya tersebut tersenyum. Ia tentu tahu siapa yang menyebabkan Siska tidak masuk hari ini. Supirnya yang bernama Jono itu mungkin terlalu kelewatan menggarap perempuan yang masih muda tersebut.

“Oke, tidak terlalu dipermasalahkan. Kamu sendiri bagaimana dengan Pak Sam? Aman?”

Johana tersipu mendengar pertanyaan tersebut. Ia pun berjalan mendekat ke arah tempat duduk sang anggota dewan yang merupakan atasannya tersebut.

“Anunya sih nggak terlalu panjang, Pak. Tapi lama banget keluarnya. Kayaknya dia pake obat kuat deh, hee,” ujar Johana setengah berbisik di telinga Pak Agustinus.

Pria tersebut hanya tertawa mendengarnya. “Biarkan saja dia seperti itu, mungkin butuh pembuktian betapa jantannya dia di luar rumah. Asal jangan sampai semaput saja pas main sama kamu, bisa jadi cerita konyol nanti.”

“Kalau itu tidak usah khawatir, Pak. Saya pasti akan melakukan apa pun yang Bapak perintahkan.”

“Nice. Good job, Johana. Kerja bagus.”

“Hmm, boleh saya tanya sesuatu, Pak?”

“Boleh, tanyakan saja.”

“Selama saya bekerja dengan Bapak, saya selalu diberi tugas untuk memuaskan orang lain. Apakah… Bapak tidak ingin saya puaskan juga?” tanya Johana sambil membuka kancing blazernya yang paling atas, sehingga payudaranya semakin membusung keluar. Perempuan cantik itu pun tak lupa mengedipkan matanya untuk menggoda sang anggota dewan.

Pak Agustinus pun tersenyum, lalu merangkul pinggang sang perempuan dari posisi duduk. “Ini bukan karena kamu kurang cantik atau kurang seksi, Johana. Kamu itu sempurna.”

“Tapi? Pasti ada tapinya kan Pak?”

“Tapi sejak istri saya meninggal, saya memang sudah berjanji untuk tidak bermain cinta dengan perempuan yang saya tidak jatuh hati padanya. Sejauh ini, hubungan kita masih sebatas profesional dan tetap akan seperti itu. Kita adalah the winning team, dan kita tidak akan merubah apapun tentang the winning team.”

“Iya, Pak. Betul,” ujar Johana yang tidak menyembunyikan kekecewaannya. Dalam hati dia mendambakan sang pria tua yang masih gagah itu.

Di antara seluruh staf Pak Agustinus, Johana memang yang paling cantik di antara mereka. Karena itu, apabila ada di antara mereka yang nantinya dijadikan istri, pacar, atau sekadar gundik bagi sang anggota dewan, Johana pasti menjadi pilihan utama. Namun sejauh ini, Pak Agustinus tampak masih terus bertahan dengan kesendiriannya.

“Saya bertanya begitu karena ingin mengingatkan saja, apabila Bapak nanti berubah pikiran, langsung panggil saya aja. Saya bisa menjadi apa saja, siapa saja, dan siap kapan saja Bapak membutuhkan saya… dengan ataupun tanpa busana,” kata Johana dengan suara yang mendesah manja. “Bapak tahu bagaimana menghubungi saya.”

“Hahaha, baiklah.”

“Saya permisi dulu, Pak.”

“Silakan, Johana.”

Begitu stafnya tersebut keluar dari ruangan, Pak Agustinus pun membuka aplikasi WhatsApp miliknya. Di sana, ada sebuah pesan yang tidak juga berlanjut sejak beberapa hari lalu, antara dirinya dengan Indira. Dari dokter yang merawatnya di rumah sakit, pra tua itu tahu bahwa sang dosen cantik yang menjadi incarannya tersebut sudah pulang ke rumah. Namun pesan lanjutan yang ditunggu tidak juga kunjung datang.

Pak Agustinus pun menghela napas panjang, sambil kembali berkutat dengan pekerjaannya hari ini.


***​


Di dalam kamar tidurnya, Indira mematut tubuhnya yang indah di depan cermin. Ia telah mengenakan kaos ketat lengan panjang yang berwarna hitam, serta jilbab dengan warna senada. Sedangkan untuk menutup bagian bawah tubuhnya, ia sengaja menggunakan rok berwarna kuning terang yang begitu mencolok.

Tkk… Tkk…

Terdengar bunyi ketukan di pintu kamarnya.

“Masuk aja, nggak dikunci,” ujar Indira setengah berteriak.

Tak lama kemudian, sang Ibu masuk ke dalam kamar tersebut sambil membawa beberapa pakaian bersih yang sepertinya baru selesai dicuci dan disetrika. Perempuan tua itu meletakkan beberapa pakaian tersebut di dalam lemari, tempat biasa ia meletakkannya.

MEF83KG_t.png


“Duh, anak Ibu sudah cantik banget. Mau pergi ke mana?” Tanya sang Ibu.

“Ada deh Bu, urusan anak muda, hihihi.”

“Iya, deh. Ibu memang sudah tua, hahaa. Memangnya kaki kamu sudah tidak sakit?”

“Masih sakit sih benernya, tapi cuma sedikit aja. Ga apa-apa, Bu. Kalau di rumah terus Indira malah bakal bosen banget. Jadi mau main dulu ke luar. Boleh kan?”

“Boleh kok, sayang. Kabari saja kalau nanti sudah mau pulang.”

“Siap, Bu.”

“Oh iya, Indira,” tiba-tiba sang Ibu berbalik sebelum keluar dari kamar.

“Iya, Bu?”

“Kamu sudah besar, sudah bisa menentukan pilihan kamu sendiri,” ujar sang Ibu tiba-tiba. “Pesan Ibu hanya satu. Teruslah kejar kebahagiaanmu, selama kamu yakin itu yang terbaik untuk kamu.”

Kata-kata tersebut benar-benar seperti panah yang menancap di hati Indira. Dosen muda tersebut jelas tidak menceritakan apa-apa tentang perasaan hatinya kepada sang Ibu, tetapi naluri dan firasat perempuan yang melahirkannya tersebut jelas lebih kuat dari apa pun. Tanpa Indira harus cerita, ia sepertinya sudah tahu apa yang tengah dipikirkan oleh anaknya.

Indira pun mendekati perempuan tua tersebut, lalu memeluknya erat. “Indira sayang Ibu.”

“Ibu juga sayang kamu, Nak,” balas sang Ibu. “Sana lanjutin dandannya. Itu alis kamu belum selesai kan?”

“Hahaha, Ibu tahu saja.”

Begitu sang Ibu pergi meninggalkannya, Indira pun melanjutkan aktivitasnya membentuk alis di atas kelopak matanya. Setelah merasa makeup-nya sempurna, perempuan tersebut pun melirik ke arah rak sepatu, berusaha memilih mana yang akan ia kenakan.

“Hari ini aku mau pakai sepatu hak saja ah, biar bisa sama tinggi dengan pria yang ingin aku temui hari ini.”


***​


Pak Agustinus membuka sebuah grup di aplikasi pengiriman pesan Telehot yang sebenarnya jarang ia buka karena anggotanya kurang aktif mengirim pesan. Namun selama beberapa minggu terakhir, grup tersebut tiba-tiba menjadi begitu ramai. Padahal, bila sang anggota dewan turut dihitung, anggota grup tersebut hanya enam orang.

“Baru berhasil eksekusi binor yang toketnya gede neh. Thanks berat buat Pak Yo untuk bantuan pengetahuannya, hahaa.”

“Memek gadis yang masih kinyis-kinyis memang nggak ada duanya. Ternyata usia memang bukan hambatan untuk merawanin anak orang, hee.”

“Akhirnya berhasil juga mewujudkan fantasi ngewong sama pramugari maskapai penerbangan yang super seksi, walau bukan pramugari beneran. Thanks Pak Agustinus untuk supply-nya, hahaha.”


Tiga pesan tersebut berasal dari tiga pengirim yang berbeda, dan akhirnya dikomentari oleh anggota grup yang lain. Beberapa anggota pun ada yang mengatakan bahwa mereka juga hampir menguasai target mereka masing-masing, dan akan membagikan ceritanya di grup tersebut dalam waktu dekat.

Hampir seluruh anggota grup tersebut adalah petinggi di Universitas Jaya Abadi, yaitu Pak Bas selaku pimpinan yayasan, Pak Dar selaku rektor, serta ketiga orang dekan, Pak Yo, Pak Sam, dan Pak Banu. Satu-satunya anggota yang berada di luar lingkungan kampus hanya Pak Agustinus. Namun peran anggota dewan tersebut, yang juga merupakan bos prostitusi tanah air, adalah salah satu yang terpenting dalam lingkaran jaringan mesum mereka. Selain sering memberikan perempuan baru untuk mereka, seperti saat ia menghadiahkan Johana kepada Pak Sam, Pak Agustinus pun bisa melindungi mereka semua apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Pak Bas adalah inisiator terbentuknya grup tersebut, setelah mengetahui bahwa para petinggi kampus yang ia pimpin ternyata mempunyai nafsu birahi yang sama-sama menggebu. Demi saling membantu untuk memuaskan nafsu mereka masing-masing, dan saling melindungi apabila salah satu dari mereka terkena masalah, sang pimpinan yayasan pun memutuskan untuk membuat grup itu. Karena apabila terjadi sesuatu terhadap salah satu dari mereka, nama kampus mereka pun akan jadi rusak.

Pak Agustinus pun dimasukkan ke dalam grup karena bisa membantu tujuan terakhir tersebut. Sebagai imbalannya, sang anak yang bernama Andrew bisa bebas masuk ke Universitas Jaya Abadi tanpa tes sama sekali dan dipastikan akan mendapatkan nilai-nilai terbaik di mata kuliah tertentu meskipun pada kenyataannya ia masih kurang mampu memahami beberapa materi.

Uniknya, grup tersebut mempunyai sebuah aturan unik, yaitu semua anggota boleh membagikan petualangan seksual mereka, tetapi tidak boleh menyebutkan nama perempuan yang mereka jadikan target. Tak hanya itu, petunjuk-petunjuk yang bisa membuka identitas sang target pun tidak diperbolehkan di grup tersebut. Pak Bas memutuskan untuk membuat aturan itu demi berjaga-jaga apabila suatu saat ada yang mengetahui grup rahasia tersebut atau berhasil meretasnya.

Itulah mengapa mereka berenam membuat grup di aplikasi Telehot, yang jarang digunakan oleh orang lain. Selain itu, aplikasi tersebut pun memungkinkan mereka untuk menyamarkan identitas mereka, tidak seperti WhatsApp yang memerlukan nomor telepon saat akan mendaftar. Aplikasi tersebut bahkan selalu meminta pengguna untuk memasukkan kata sandi sebelum dibuka. Dengan begitu, seluruh percakapan mereka di grup tersebut pun akan tersimpan aman.

“Selamat ya Bapak-Bapak semua. Semoga bisa selalu bahagia dengan target masing-masing,” ketik Pak Agustinus.

“Terima kasih Pak Agustinus. Tapi kalau dilihat-lihat, Bapak sudah jarang sekali share tentang target baru neh, hee. Nggak mungkin lagi kosong kan?” Ujar Pak Bas.

“Atau jangan-jangan, sekarang bukan nyari target. Tapi malah cari ibu baru untuk Andrew, hahaa,” lanjut Pak Dar sang rektor kampus yang berperut buncit.

“Hahaa, bisa saja Bapak-Bapak ini. Saya sedang tidak mood saja, dan situasi politik juga memaksa saya untuk berhati-hati. Tapi kalau ada kabar bahagia, pasti akan saya bagikan di sini,” tulis sang anggota dewan berusia 55 tahun itu.

“Siap deh Pak Calon Gubernur, hahaha… semakin tebal saja kocek sahabat kita yang satu ini nantinya setelah dilantik.”

Obrolan kemudian berlanjut dengan desakan para anggota grup terhadap Pak Yo, untuk berbagi sedikit petunjuk sosok perempuan yang tengah ia jadikan target. Sang dekan Fakultas Ekonomi Bisnis tersebut pun enggan menjawab, dengan alasan itu melanggar aturan grup. Pak Agustinus hanya tertawa saja melihat tingkah para bocah tua nakal itu.

Ia pun hampir tidak sadar ketika telepon di atas meja kerjanya berdering. Pria tua itu pun langsung menutup aplikasi Telehot di ponselnya, lalu mengangkat gagang telepon.

“Iya, Johana?”

“Siang, Pak. Maaf, di sini ada yang ingin bertemu Bapak.”

“Siapa, orang partai? Laki-laki atau perempuan?”

“Bukan orang partai, Pak. Ini perempuan, dan cantik banget orangnya.”

Pak Agustinus pun mendadak bingung, karena ia merasa tidak membuat janji dengan perempuan mana pun hari ini. “Siapa namanya?”

“Indira,” ujar staf sang anggota dewan dari ujung sambungan telepon.

“Oh…” Pak Agustinus tampak terkejut, karena perempuan yang sedari kemarin ia tunggu pesannya di WhatsApp, kini justru datang langsung ke kantornya di gedung dewan perwakilan. “Persilakan Bu Indira masuk, Johana.”

“Baik, Pak.”

“Kalau ada yang menghubungi, bilang saya sibuk dan tidak bisa diganggu sampai satu jam ke depan. Mengerti?”

“Mengerti, Pak.”

“Sip.”

Tak sampai semenit kemudian, seorang perempuan yang mengenakan kaos ketat berwarna hitam dan rok panjang berwarna kuning memasuki ruangan kerja Pak Agustinus. Hijab berwarna hitam yang ujungnya ia sampirkan di pundak, seperti menambah kesan anggun di diri perempuan tersebut. Penampilan sang perempuan yang lebih “mewah” dari biasanya tersebut membuat Pak Agustinus sempat terpesona sesaat.

Sungguh cantik sekali. Luar biasa cantiknya.

MEHN2HU_t.png


“Pak Agustinus…? Pak…?” Sapa sang perempuan saat melihat pria tua tersebut hanya duduk saja di kursi kerja sambil menatap dirinya, tanpa berkata apa-apa.

“Eh!? Eh, maaf Bu Indira,” jawab Pak Agustinus begitu ia sadar dari lamunannya. “Silakan duduk di sofa.”

Ketika berdiri, pria tua tersebut merasa perempuan berjilbab tersebut tampak lebih tinggi dari biasanya. Hal itu membuat sang perempuan terkesan lebih seksi di mata Pak Agustinus. Apalagi begitu keduanya telah sama-sama duduk di sofa, harum semerbak dari parfum yang dikenakan perempuan tersebut langsung menyentuh setiap saraf pembau di dalam hidung sang pria tua, seolah memberikan feromon pendorong naiknya gairah sang anggota dewan.

Ruangan kerja Pak Agustinus memang tidak terlalu besar. Tetapi karena sang pemilik tidak meletakkan terlalu banyak furnitur di dalamnya, ruangan itu terasa cukup lega. Begitu masuk ke ruangan tersebut, para tamu akan langsung berhadapan dengan sebuah sofa berwarna hitam yang menempel di dinding bagian kiri, dan tampak sangat nyaman untuk diduduki. Sofa tersebut langsung berhadapan dengan layar televisi yang menempel di dinding sebelah kanan, tanpa ada benda apa pun di antara keduanya. Sedangkan di ujung ruangan hanya ada meja kerja sang anggota dewan, yang dilengkapi PC dan layar monitor di atas meja.

“Bengongnya sudah selesai, Pak?” Tanya Indira dengan senyum termanis yang pernah dilihat oleh Pak Agustinus. Baru mulai mengobrol saja sang pria tua sudah dibuat malu.

“Sudah… Eh, maksudnya saya dari tadi nggak bengong kok.”

“Jangan bohong. Jelas-jelas kayak orang baru kerasukan gitu tadi.”

“Bener, Bu Indira. Saya dari tadi nggak…”

“Saya nggak suka pria yang suka bohong,” potong Indira.

Tatapan serius sang perempuan membuat Pak Agustinus langsung terdiam. Apakah dia benar-benar serius dengan perkataannya? Apakah baru begitu saja perempuan tersebut sudah tersinggung?

“Hahaa, saya cuma bercanda kok, Pak,” kekeh Indira setelah melihat sang anggota dewan yang langsung terdiam begitu ia pura-pura marah barusan.

“Bisa saja kamu ngerjain saya,” ujar Pak Agustinus sambil tersenyum. “Oh iya, ada perlu apa ke sini, Bu Indira? Kamu sudah merasa baikan?”

“Saya sudah sembuh, kok. Hanya sesekali saja terasa perih di kaki, tetapi jalan ke mana-mana sudah nggak masalah. Buktinya saya sekarang bisa sampai ke sini,” ujar Indira. “Kedatangan saya utamanya sih untuk berterima kasih atas kebaikan Bapak yang sudah membayar biaya rumah sakit saya. Saya sangat sangat sangat sangat berterima kasih.”

“Sama-sama, Bu Indira. Itu bukan kebaikan, itu kewajiban. Kalau selain itu?”

“Saya ingin… melanjutkan obrolan kita di WhatsApp kemarin.”

“Yang soal apa ya?”

“Soal apakah sesuatu yang salah apabila kita melakukan hal yang melanggar perintah agama, meski tidak mengganggu orang lain.”

Pak Agustinus pun menghela napas, karena tiba-tiba Indira langsung menghujaninya dengan pembahasan yang berat seperti itu. Namun bukankah hal ini yang membuat perempuan berjilbab tersebut tampak menarik di hadapan sang anggota dewan? Bagaimana ia selalu berbicara tentang sains, filosofi, dan hal-hal kompleks lainnya?

“Owh, yang itu… Memangnya apa lagi yang ingin kamu tanyakan, Bu Indira?”

“Bagaimana kalau keputusan kita tadi, meski tidak menyakiti orang lain, tapi menyisakan sesuatu yang mengganjal bagi orang terdekat kita?”

Pak Agustinus tentu paham arah pembicaraan ini. Dan karena itu, ia pun coba memilih kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya.

“Kamu setuju nggak kalau saya bilang bahwa apa pun keputusan yang kita ambil, pasti ada saja orang yang tidak senang dengan kita?”

“Setuju, Pak. Tentu mustahil untuk memuaskan semua orang.”

“Yup. Karena itu prinsip saya, selama apa yang saya lakukan bukan pembunuhan, pencurian, atau semacamnya, saya tetap akan melakukannya asal itu membuat saya bahagia. Kalau ada yang tidak suka, ya itu urusan dia. Marcus Aurelius bilang people are not disturbed by things, but by the views they take of them. Orang-orang tidak akan terganggu oleh obyek, melainkan oleh perspektif mereka sendiri.”

“Tapi kalau yang tidak suka dengan pilihan kita itu adalah orang tua kita sendiri?”

“Nah, kalau ini memang sedikit tricky. Tapi saya percaya semua orang tua pasti punya unconditional love kepada anak mereka. Memang ada penyimpangan di kejadian orang tua membunuh anak, atau semacamnya, tapi jumlahnya tidak banyak,” jelas Pak Agustinus. “Seiring berjalannya waktu, pandangan mereka terhadap keputusan kita pun bisa berubah, sesuai kata Marcus Aurelius tadi.”

Indira hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari sang anggota dewan tersebut.

“Yang terpenting, kamu sudah yakin dengan pilihan yang kamu ambil. Jangan plin-plan. Karena biasanya seseorang akan sedih dan kecewa bukan karena salah mengambil keputusan, tetapi akibat tidak mampu mengambil keputusan. First say to yourself what you would be, and then do what you have to do. Pertama-tama, tanyakan pada dirimu sendiri, mau jadi orang yang seperti apa kamu ini, kemudian lakukan apa yang harus kamu lakukan.”

“Epictetus.” Ujar Indira.

“Yes, correct.” Pak Agustinus tersenyum, “Itu tadi quote dari Epictetus.”

“He who is brave is free. Dia yang berani, akan bebas.”

“Now you’re quoting Seneca?” Tanya Pak Agustinus. “Giliran quote dari Seneca.”

“Yes, Pak,” kekeh Indira.

Pak Agustinus tersenyum. Ia jadi makin kagum dengan perempuan di hadapannya yang tidak hanya jelita parasnya, tetapi juga menakjubkan pengetahuannya akan pendapat-pendapat para filsuf.

“Jadi, bagaimana kabar kamu dengan pria yang sedang kamu dekati?”

“Hmm, pria yang mana, Pak?”

“Itu lho, yang kamu bilang the most ambitious, most caring, and smartest person you know.”

“Oh, dia…” Indira tampak tersenyum sambil tersipu malu.

“Kok jadi malu?”

“Nggak apa-apa kok, Pak. Seperti yang saya bilang kemarin, dia sedang dalam sebuah proyek ambisius yang pasti akan sangat menyita waktunya. Apa lah saya ini di hadapan dia.” Ujar Indira.

“Bagaimana kalau… menurut orang tersebut kamu adalah segala-galanya. Bahkan lebih dari proyek ambisius yang sedang ia kejar?” Tanpa Pak Agustinus.

Perlahan, pria tua tersebut tampak menggerakkan jemarinya ke arah tangan Indira yang tergeletak di atas sofa, lalu mengusapnya dengan lembut.

Jantung Indira bagai mau copot.

Mengapa tiba-tiba Pak Agustinus menyentuh tanganku? Ini kan seharusnya tidak boleh terjadi, batin Indira.

“Hmm, tapi apakah hal tersebut mungkin, Pak? Rasanya ekspektasi seperti itu terlalu berlebihan bagi perempuan biasa seperti saya. Saya tidak ingin berandai-andai dalam ketidakpastian.”

“Siapa bilang kamu hanya perempuan biasa, Bu Indira? Kamu itu kombinasi sempurna antara wajah yang rupawan dan otak yang cerdas. Siapa pun yang mendapatkan kamu, pasti akan merasa sangat beruntung,” lanjut Pak Agustinus. Genggaman tangannya di tangan Indira terasa semakin kuat.

“Anggap itu memang benar, tetap saja ada perbedaan besar di antara kami berdua, Pak.”

“Seperti yang saya bilang kemarin, apabila pria tersebut ambisius dan pintar, perbedaan itu bukan masalah baginya.”

“Benarkah?”

Pak Agustinus mulai mengubah posisi duduknya agar mendekat ke arah Indira. Pria tua itu kemudian menggerakkan tangannya ke arah kepala sang perempuan yang masih berbalut jilbab, lalu mengusapnya dengan lembut. Ia bahkan mulai berani menggerakkan kepalanya hingga berada dekat sekali dengan wajah Indira.

“Benar, Indira. Perbedaan itu bukan masalah baginya, asalkan kamu bersedia menjadi miliknya,” bisik sang anggota dewan tepat di telinga Indira.

Jantung perempuan tersebut berdebar kencang karena kedekatan keduanya, nafasnya pun menggebu tidak beraturan. Indira tidak tahu harus berbuat apa.

“Ta-Tapi itu tidak mungkin terjadi, Pak,” balas Indira dengan suara yang begitu lirih.

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Bu Indira.”

Kini wajah Pak Agustinus telah begitu dekat dengan Indira, hingga hidung mereka hanya terpisah beberapa senti. Keduanya tampak diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tubuh mereka seperti kaku tak bisa bergerak. Satu-satunya hal yang terdengar adalah deru nafas mereka masing-masing yang tidak beraturan.

Pak Agustinus akhirnya menggerakkan tangannya ke pundak Indira, lalu mengusap-usapnya dengan penuh kelembutan. Namun, hal tersebut justru membuat sang perempuan bergerak menjauh, dan kemudian berdiri.

“Ada apa Bu Indira?” Tanya Pak Agustinus yang akhirnya ikut berdiri.

“A-Ada sesuatu yang harus saya kerjakan setelah ini, Pak. Sekali lagi, terima kasih atas kebaikan Bapak. Saya izin pamit dulu.”

“Tapi Bu Indira…”

“Aaahhhhh…”

Baru saja Indira hendak membalikkan badan, kakinya yang tidak biasa mengenakan sepatu ber-hak tinggi tiba-tiba tergelincir, hingga membuat tubuh indahnya jatuh ke atas sofa. Pria tua yang berdiri di hadapannya pun berusaha untuk menahan tubuhnya, namun sayangnya ia justru ikut terjatuh.

Kini, Pak Agustinus menindih tubuh perempuan berjilbab itu di atas sofa.

Keduanya sangat dekat. Begitu dekat sampai-sampai wajah mereka merasakan helaan napas yang ditarik semakin berat. Keduanya tahu masing-masing punya keinginan, keinginan yang mungkin sama, dan bahkan hampir past isama. Tapi apakah mereka berani melakukannya? Beranikah mereka mewujudkan keinginan?

“Pak A…”

Lirih suara Indira tidak berlanjut.

Tanpa perlu diperintah, Pak Agustinus langsung mendekatkan wajahnya ke arah Indira. Ia berhenti sejenak saat bibirnya berada tepat di hadapan sang perempuan, seperti meminta persetujuan. Sang dosen muda mengangguk dengan gerakan yang sangat pelan, tetapi tetap tertangkap oleh ayah dari mahasiswanya tersebut.

Bibir Pak Agustinus mulai bersentuhan dengan bibir Indira.

Cuuuppp…

Kecupan pelan tersebut begitu mereka rindukan. Seakan-akan perasaan yang telah lama dipendam, bisa tertumpah ruah tanpa halangan. Keduanya mendamba hal yang sama. Perasaan tertaut, nafsu pun menyambut. Ciuman lembut perlahan-lahan mulai berubah menjadi kuluman yang liar.

Cuuuupppp…

Lidah hangat Pak Agustinus mulai berusaha menembus pertahanan Indira yang mulai longgar. Di sisi lain, kecupan ini adalah sesuatu yang telah ditunggu-tunggu oleh sang wanita jelita itu selama bertahun-tahun. Ini adalah wujud kecupan idaman yang ia harapkan selama ini, ciuman nan romantis, hangat, dan penuh rasa cinta.

Indira pun tak tahan untuk merangkulkan tangannya di leher sang anggota dewan yang usianya berada jauh di atasnya tersebut. Badan pria yang dari segi usia lebih pantas menjadi ayahnya itu begitu tegap dan gagah seperti membuat birahinya meledak-ledak. Ia memang tidak seharusnya mengizinkan bibirnya yang suci dikecup begitu saja oleh pria yang bukan suaminya tersebut. Namun gairahnya terhadap sang pria tua tersebut seperti sudah tidak tertahankan lagi.

Apa rasanya bila aku bisa merebahkan kepala di dada yang bidang milik Pak Agustinus, batin Indira mulai berkhayal, tapi itu khayalan normal yang bisa menjadi kenyataan bukan?

Perempuan tersebut kini telah meraba-raba kemeja lengan pendek yang dikenakan Pak Agustinus di bagian dada. Matanya terpejam, seperti ingin menikmati dengan khusyuk kehangatan bibir dan lidah sang pria tua yang terus menerus menyerang dirinya.

“Kamu boleh lepas kancingku kalau kamu mau, Bu Indira…” bisik Pak Agustinus dengan nada suara yang begitu seksi di telinga perempuan tersebut.

Indira yang memang sudah menginginkan hal tersebut pun menurut. Ia melepas satu per satu kancing kemeja yang dikenakan sang anggota dewan, yang ternyata tidak mengenakan kaos dalam di baliknya. Tangan halus milik dosen muda tersebut pun bisa langsung menyentuh dadanya yang bidang, dengan bulu lebat di bagian tengah dan sekitar putingnya. Semuanya persis dengan imajinasi Indira selama ini yang membayangkan bagaimana bentuk dada pria tua tersebut setelah selama ini hanya melihat bulu-bulu lebat di lengannya.

“Kamu suka, Bu?”

Ini tidak boleh Indira !! Tidak seharusnya kamu menyerah semudah ini. Kamu dan dia tidak ada hubungan apa-apa, dan kalian tidak akan mungkin bersatu.

Namun semua pikiran tersebut tidak mampu menahan gairah Indira yang telah begitu memuncak. Apalagi ketika Pak Agustinus pun seperti membalasnya, dengan cara mengelus lembut payudaranya yang berukuran sedang dari balik kaos yang ia kenakan.

“Su-Suka, Pak. Saya suka, ngghhhh…”

“Mau ke tempat di mana kita bisa lebih private?”

Indira pun mengangguk.

Pak Agustinus akhirnya bangkit dari posisinya, sebelum kemudian membantu Indira agar perempuan tersebut bisa kembali duduk di atas sofa. Ia pun langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya dengan tangan kiri, lalu menelepon seseorang. Sementara tangan kanannya kini telah bertaut dengan tangan mulus nan halus milik perempuan di sebelahnya.

“Jono, siang ini kamu bisa free ya, nanti mobil biar saya saja yang bawa. Sekalian minta tolong sampaikan kepada Bi Ijah dan asisten lain di rumah, mereka bisa istirahat ke luar rumah dulu hari ini,” ujar Pak Agustinus di sambungan telepon tersebut. “Ya, terima kasih.”

Indira menatap Pak Agustinus dan sang pria tua menatapnya balik.


***​


Sementara itu di rumah Pak Agustinus, seorang anak muda berusia 21 tahun tampak sedang turun ke lantai bawah rumahnya. Ia ternyata merasa kehausan, dan langsung menuju ke dekat kulkas satu pintu berukuran amat besar yang berada di area dapur. Pemuda itu lalu mengambil gelas dari lemari gantung, meletakkannya di island, membuka kulkas, mengambil satu karton kotak susu dan menuang susu ke dalam gelas yang sudah ia siapkan. Ia mengembalikan susu itu ke dalam kulkas dan duduk di samping island..

Ia memandang ke sekeliling rumah yang tampak lebih sepi dari biasanya. Rumah tersebut memang hanya dihuni oleh dia dan papanya. Namun setiap hari pasti terdengar suara obrolan Mang Jono dengan Bi Ijah, atau suara sang asisten rumah tangga yang sedang memasak di dapur atau mencuci pakaian di ruang cuci.

“Pada ke mana sih mereka? Mentang-mentang aku tadi pagi bilang mau pergi ke rumah teman, sekarang mereka malah kelayapan. Aku kasih tahu Papa baru tahu rasa,” gerutu pemuda bernama Andrew tersebut. Ia tampak sudah tidak mengenakan kain penyangga lengan yang ia kenakan beberapa minggu terakhir.

Hari ini, mahasiswa tersebut memang berencana untuk berkunjung ke rumah Steven, sahabatnya. Namun rekannya tersebut tiba-tiba mengabarkan kalau ia diajak pergi oleh orang tuanya ke pusat perbelanjaan, sehingga tidak bisa menemani Andrew di rumah. Akhirnya, pemuda itu pun membatalkan rencananya.

Setelah memuaskan dahaga, Andrew kembali ke kamarnya di lantai dua. Layaknya kamar-kamar remaja pria pada umumnya, kamar Andrew dihiasi dengan poster-poster band dan klub basket di berbagai sudut dindingnya. Di ujung kamar yang menghadap ke jendela, ada sebuah meja dengan layar komputer di atasnya.

Sang mahasiswa pun membuka tampilan layar yang ia akses sebelum turun ke bawah tadi. Layar tersebut seperti terpisah dua, dengan bagian kirinya menampilkan akun Instagram milik seorang dosen muda yang akhir-akhir ini telah begitu dekat dengan dirinya, yaitu Indira. Sedangkan di bagian kanan, ada sebuah video porno yang tengah diputar. Seperti yang sudah bisa diduga, video tersebut menceritakan kisah seorang dosen muda yang merelakan tubuhnya digagahi oleh mahasiswanya yang culun.

“Nggghhhh… Ahhh… Nggghhhh… Ahhhhhhh…”

Terdengar bunyi desahan perempuan di video yang tengah ditonton Andrew. Saat itu, terlihat adegan sang dosen cantik tengah duduk di meja guru dan merelakan selangkangannya dibuka dan dijilat-jilat oleh sang mahasiswa yang dalam video tersebut diceritakan sering dibully oleh teman-temannya.

Adegan tersebut pun membuat Andrew jadi bergairah, hingga ia terpaksa melepas celana pendek dan celana dalam yang ia kenakan. Kondisi pintu yang terkunci dan kamar yang kedap suara membuat Andrew tidak ragu-ragu untuk melakukan hal mesum seperti itu di rumahnya sendiri.

Mahasiswa tersebut tentu tidak membayangkan ia sedang bersetubuh dengan si pemeran perempuan di video tersebut, melainkan perempuan cantik yang setiap harinya mengenakan jilbab, di layar sebelah kiri. Dosen muda yang selalu menjadi bahan onaninya tersebut tampak tengah tersenyum manis di sebuah foto yang tengah dibuka oleh Andrew.

“Ahhh, Bu Indira … Iya gitu, Bu. Buka lagi selangkangan Ibu biar aku bisa masukin kontol aku, ngghhh …”

Andrew tampak mulai mengocok kemaluannya sendiri dengan perlahan. Ia kemudian mengambil sebuah botol lotion dari atas mejanya, dan mengusapnya di batang penisnya sendiri, demi mempermudah aktivitas tersebut.

Video porno yang tengah diputar pun tampak beralih ke adegan lain. Kini, sang dosen yang sudah tidak mengenakan sehelai pakaian pun itu sudah dalam posisi menungging, dengan sang mahasiswa bersiap untuk menyetubuhinya dari belakang. Andrew pun jadi membayangkan bahwa sang mahasiswa adalah dirinya sendiri, dan di depannya kini tengah ada Bu Indira yang sudah menungging, memintanya untuk memerawani kemaluan perempuan tersebut.

“Cepet, Andrew… Masukin kontol kamu yang gede itu ke memek Ibu. Ibu udah nggak tahan banget, ahhh,” ucap Bu Indira dalam imajinasi sang mahasiswa.

Andrew pun mempercepat kocokan di kemaluannya sendiri, sambil memejamkan mata, berusaha meresapi setiap rangsangan yang menerpa dirinya. Begitu kuatnya gairah tersebut, yang mungkin juga ditambah dengan betapa rindunya melihat wajah sang dosen idola secara langsung, membuat Andrew semakin tidak tahan.

“Crrrrrrrtttt… Crrrrrttttttt… Crrrrrrrrrrrttttttt…“

Cairan kental tersebut pun melesak keluar dari sarangnya, hingga membasahi paha, selangkangan, hingga terlempar ke lantai kamar sang mahasiswa. Andrew pun menghela nafas, tampak puas akan kenikmatan yang baru saja ia rasakan. Meski begitu, dalam hati ia merasa tetap ada sesuatu yang kurang.

Puas tapi kurang puas.

Sial.

Andrew kembali menggerutu.

“Sedang di mana ya Bu Indira sekarang,” gumam mahasiswa tersebut. “Kalau saja beliau datang, akan kupastikan beliau merasakan kenikmatan, meski hanya lewat mimpi saja. Heheheh.”


***​


Tak butuh waktu lama, sebuah mobil Camry hitam tampak melesat dari gedung dewan perwakilan menuju rumah Pak Agustinus yang berlokasi di kawasan elite ibu kota. Sesuai perintah sang pemilik rumah, hanya ada seorang petugas keamanan yang berada di pos jaga dan membukakan pintu pagar saat mobil itu tiba. Selain itu, rumah bertingkat dua tersebut juga terlihat begitu sepi seperti tidak berpenghuni.

Begitu mobil berhenti dengan sempurna tepat di depan pintu rumah, Pak Agustinus langsung keluar dari kursi pengemudi untuk membuka pintu penumpang di sisi yang berlawanan. Dari pintu tersebut, keluar seorang perempuan cantik dengan kaos dan jilbab hitam yang masih ia kenakan. Meski sudah sering datang ke rumah tersebut, sang dosen muda itu terlihat sedikit malu-malu ketika Pak Agustinus mempersilakannya untuk masuk.

“Mau minum apa, Bu Indira?” Tanya Pak Agustinus begitu mereka berdua sampai di area makan yang berbatasan dengan dapur.

“Apa saja, Pak,” jawab Indira.

Perempuan tersebut melihat ke sekeliling rumah yang sudah sangat ia kenal isinya, karena begitu seringnya ia mampir ke rumah tersebut. Namun bila biasanya ia datang ke situ untuk membantu mahasiswanya mengerjakan skripsi, kini ia datang untuk dibantu mengerjakan sesuatu yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya.

Apapun itu namanya.

MEF83KG_t.png


Tak lama kemudian, Pak Agustinus pun kembali dengan dua gelas berisi jus jeruk, dan memberikan salah satunya kepada Indira. Karena haus, sang perempuan pun langsung meneguk minuman tersebut hingga habis.

“Serius, Andrew beneran lagi pergi, Pak?”

“Serius, tadi pagi dia bilang mau main ke rumah temannya. Pusing katanya kalau di rumah terus nggak ada kerjaan. Ya sudah biar saja, namanya juga anak muda.”

“Bagaimana dengan tangannya? Memangnya sudah tidak apa-apa?”

“Sudah lebih baik. Penyangga lengannya juga sudah dilepas.”

“Berarti beneran tidak ada siapa-siapa lagi di sini?”

Pak Agustinus yang juga telah menghabiskan minumannya tampak mendekati perempuan berparas ayu tersebut, lalu meraih pinggulnya yang seksi.

“Iya, tidak ada siapa-siapa lagi di sini, Bu Indira,” bisik Pak Agustinus.

“Hmm… Indira saja.”

“Maksudnya?”

“Panggil saya Indira saja, Pak,” jawab perempuan cantik tersebut malu-malu, tanpa berusaha menghindar dari dekapan sang pria tua.

Pak Agustinus pun tersenyum, sambil menarik tubuh Indira hingga merapat ke arahnya. Payudara perempuan tersebut kini telah menempel erat di dada sang anggota dewan. Sepatu hak yang dikenakan Indira membuat matanya kini berada sejajar dengan pria tua tersebut.

“Bapak benar-benar mau melakukan ini? Kita… berbeda.”

“Cih. Memangnya kenapa? Saya tidak peduli dengan perbedaan itu, Indira. Saya hanya peduli pada perasaan kamu. Kamu juga mau melakukan ini kani? Apa yang aku rasakan juga apa yang kamu rasakan bukan?”

Indira mengangguk, yang langsung dibalas dengan senyuman oleh Pak Agustinus. Sang pria pun langsung menarik kepala dosen muda berjilbab tersebut, dan mengecup mesra bibirnya. Ciuman mereka hangat dan menuntut, seakan ciuman itu sudah mereka dambakan sejak pertama kali saling mengenal.

Perempuan muda bahkan membalas dengan cara mengeluarkan lidahnya yang hangat hingga akhirnya bersentuhan dengan lidah Pak Agustinus.

“Mmmppphhhh…“ Terdengar lenguhan tertahan dari bibir Indira. Seirama, selaras, dan seiring Pak Agustinus memperkuat lumatannya.

Gairah wanita cantik itu makin meninggi ketika tangan Pak Agustinus menyusup ke balik kaos yang ia kenakan, menjelajah langsung ke bagian yang paling ia minat. Pria tua itu menyentuh payudara Indira yang begitu sensitif. Ini adalah pertama kalinya Indira merasakan buah dadanya disentuh oleh seorang pria - yang kebetulan sekali mempunyai lengan berbulu seperti fantasinya selama ini. Seorang lelaki jantan yang ia idam-idamkan, bukan seorang pecundang yang hanya tahu memaki, menyuruh, dan menyudutkan.

“Bagaimana rasanya dosa yang kita lakukan ini, Indira?”

Indira sudah tidak lagi bisa berpikir jernih, “E-Enak, Pak… Ngggghhhhh.”

Pak Agustinus menyingkap jilbab hitam yang dikenakan Indira, hingga ia bisa melihat lehernya yang putih dan menggoda. Tergantung sebuah kalung emas di leher tersebut, yang menambah kesan menawan dari sang dosen muda. Pria tua itu pun tak sabar untuk mengecup-ngecupnya dengan kasar, hingga membuat tubuh Indira menggelinjang.

“Nggghhh… Pakkkkk. Hentikan, pleasseeeee… Ahhh, aku nggak kuat.”

Meski sikapnya menolak, tetapi Indira tidak tampak berusaha lari sama sekali dari dekapan pria tua tersebut. Pak Agustinus justru makin bersemangat menjilat dan mengecup-ngecup bagian tubuh Indira yang biasanya tertutup tersebut, hingga membuat semacam bekas merah di sana.

“Apa yang Bapak lakukan, ahhhhhhhh …” Tanya Indira di sela-sela erangannya.

“Tidak ada. Hanya membuat pesan siapa pemilik tubuh ini sekarang …” jawab Pak Agustinus penuh arti.

Pria tersebut kemudian menggenggam tangan Indira, dan menariknya ke sebuah ruangan di lantai dasar rumah tersebut. Perempuan tersebut tahu betul ruangan apa yang dimaksud Pak Agustinus, karena sebelumnya ia pernah beribadah di sana. Begitu mereka berdua berada di dalam, sang pria tua langsung mendekati Indira yang langsung duduk di tepi ranjang, sampai dia lupa menutup pintu ruangan tersebut.

Dengan langkah pelan, Pak Agustinus berjalan ke arah ranjang, sambil melepas kancing kemejanya satu per satu, lalu melemparkannya ke lantai. Dadanya yang berbulu pun jadi jelas terlihat di hadapan Indira. Begitu sang pria berada tepat di hadapannya, dosen muda yang masih perawan tersebut menjadi tidak sabar untuk langsung menyentuhnya.

“Ngghhh… Elus-elus seperti itu, Indira sayang. Iya, terussss… Ahhh,” ujar Pak Agustinus saat merasakan telapak tangan sang perempuan yang begitu halus, mulai menyibak bulu-bulu di sekitar puting dadanya.

Indira sendiri tidak memberikan jawaban apa-apa. Perempuan tersebut tampak begitu terpana akan pemandangan yang baru kali ini ia lihat, dan begitu menggoda imannya. Tanpa sadar, sang dosen muda itu sampai harus berkali-kali menelan ludahnya.

Pak Agustinus yang mulai terpancing birahinya langsung mengangkat kaos yang dikenakan Indira sampai lepas, lalu mendorong perempuan tersebut hingga rebah di atas ranjang. Ia pun kemudian naik dan kembali menindih tubuh indah dosen muda yang merupakan pengajar anaknya di kampus.

“Indah sekali tubuhmu ini, Indira,” gumam Pak Agustinus sambil menjilat-jilat belahan payudara perempuan tersebut yang terbuka, meski ia masih mengenakan bra.

Diperlakukan seperti itu, Indira tampak tidak bisa menahan gejolak birahi yang tiba-tiba menyerangnya. Tangannya bergerak ke atas untuk menggapai ujung tempat tidur, dan meremas-remasnya guna mempertahankan kehormatan dirinya.

Melihat itu, Pak Agustinus tampak semakin bersemangat. Ia sedikit mundur ke arah kaki sang perempuan muda, lalu melepas sepatu hak yang ia kenakan satu per satu, beserta kaos kaki panjang yang terpasang di sana. Begitu kaki Indira tampak bebas, pria tua tersebut langsung menarik salah satu jempol perempuan tersebut dan menjilatinya dengan lembut.

“Aduuuuuh… ehmmmm… what are you doing, Pak? Bapak ngapain? Hnggghhhh,” Indira benar-benar merasa kegelian. Ia sendiri tidak tahu betapa sensitif tubuhnya di bagian tersebut, karena belum pernah ada satu pun pria yang menjilat dan mengisap jempol kakinya.

Pak Agustinus tersenyum, dan menggerakkan tangannya untuk mengusap-usap betis Indira, dan kemudian naik ke pahanya yang begitu mulus. Tak lama kemudian, telapak tangan sang pria tua telah bersarang di selangkangan Indira, dan melakukan gerakan memutar tepat di depan vagina sang perempuan yang masih tertutup celana dalam.

“Bagaimana rasanya, Indira? Masih tertarik untuk menolak?”

Indira menggeleng. Dalam hati, ia tidak mengira bahwa bermain cinta bisa terasa senikmat ini. Namun di saat yang sama ia pun bertanya-tanya, apakah semua laki-laki bisa memberikan kepuasan yang sama seperti ini?

Pak Agustinus kemudian melepas kaitan beha yang dikenakan Indira di bagian punggung, agar payudara sang perempuan yang indah terbuka bebas. Setelah itu, ia pun langsung mengarahkan mulutnya untuk mengisap-isap puting payudara Indira. Di saat yang sama, tangannya pun kembali bergerak ke balik rok yang dikenakan sang perempuan, masuk ke balik celana dalam yang ia kenakan, dan mengusap-usap bibir vagina Indira yang mulai lembab.

“Aaaaaaaaahhhhhh, stop Paaaaakkkk …. Pleeeaaassseeeee …”

Dirangsang secara bersamaan di payudara dan vaginanya, membuat tubuh Indira menggelinjang hebat. Ia kini sudah memejamkan mata, dengan kepala yang berkali-kali terdongak ke atas, setiap kali Pak Agustinus memperkuat kuluman di putingnya.

“Cukuuuupppp Paaaaakkk … Ooooooohhhhh …”

Mendengar desahan dan lenguhan Indira yang mengisi seantero ruangan, Pak Agustinus pun bisa merasakan bahwa libidonya juga ikut meninggi. Ia pun melepaskan celana panjang yang biasa ia pakai saat bekerja ke kantor dewan perwakilan, serta celana dalam di baliknya. Dengan cepat, ia menarik rok kuning dan celana dalam berwarna putih yang dikenakan Indira ke bawah, hingga perempuan tersebut hanya menyisakan secarik jilbab saja yang masih menutupi kepalanya.

Alangkah terkejutnya Indira ketika melihat kemaluan Pak Agustinus yang sudah bebas dari sarangnya. Sebagai perempuan yang berpendidikan, ia tentu tahu bagaimana bentuk penis pria pada umumnya. Namun, batang kemaluan sang pria tua tampak sedikit berbeda, terutama di bagian ujungnya.

Pak Agustinus tersenyum melihat raut terkejut di wajah Indira. “Apakah terlihat berbeda dari yang kamu tahu? Baru kali ini melihat kemaluan yang belum sunat ya, Indira?”

“Ngggggghhhhhh…” Indira langsung bergidik ngeri. Selain karena fakta bahwa Pak Agustinus belum disunat, ia pun bisa melihat ukurannya yang menurut perkiraannya cukup besar untuk pria tanah air. Hal tersebut pun mengingatkan perempuan tersebut akan perbedaan yang menjulang di antara mereka berdua.

Mereka berasal dari dua kutub yang berbeda. Tapi bukankah, opposites attract?

Meski pikirannya kalut, dan bahkan cenderung menolak persetubuhan yang mungkin akan terjadi, tetapi tubuhnya tidak bisa berbohong bahwa ia menikmati semua rangsangan yang telah ia terima. Gundukan kemaluan di selangkangan Indira pun tampak sudah berkedut-kedut, seperti meminta untuk segera dipuaskan.

“Bolehkah aku memasukkan batang kejantananku ke dalam vagina kamu, Indira…?” bisik Pak Agustinus sambil memposisikan batang penisnya tepat di depan vagina sang perempuan. Suaranya bergetar menahan nafsu yang sudah di ujung.

“Ba-Bapak nggak mau pakai kondom dulu?”

Pak Agustinus tertawa pelan. “Aku steril Indira. Sejak istriku meninggal, aku sudah melakukan operasi sehingga aku tidak akan bisa punya anak lagi. Jadi kamu tidak perlu khawatir.”

Jantung Indira berdetak kencang, nafasnya menderu tak menentu, dan batinnya berguncang hebat, seiring dorongan batang kemaluan tersebut menembus pertahanan terakhir kehormatannya. Dan yang lebih membuat nafsunya meninggi, penis tersebut akan menembus vaginanya secara langsung tanpa pelapis apa-apa.

“Haaaaaaaaaaakghhh!! Aaaaaaaahhhhh!! Paaaaaak! Ahaaaagkkk!”

Senti demi senti, batang berukuran besar tersebut memasuki liang senggamanya, hingga menimbulkan perasaan unik bahwa tubuhnya untuk pertama kalinya kini dimasuki oleh benda yang benar-benar asing.

“Lemesin aja ya, Indira. Biar nggak sakit pas masuk,” bimbing Pak Agustinus yang langsung dituruti oleh perempuan tersebut.

Tangan Indira terus meremas-remas sprei ranjang di mana ia berada sekarang, demi bisa bertahan dari dorongan syahwat yang sedang memasuki tubuhnya. Pikirannya kalut, dan tidak bisa memikirkan apa-apa, selain bentuk kemaluan Pak Agustinus dan selangkangannya yang penuh bulu. Dia meronta sekaligus menikmati.

“Nikmatkah, Indira…? Enakkah rasanya? Ahhhhhh…” Pak Agustinus mendesah-desah saat kemaluannya berhasil menembus liang senggama Indira. Terasa ada sesuatu yang lepas dari tempatnya saat pria tersebut mendorong penis tersebut, yang mengingatkan betapa indah kenikmatan yang ia terima hari ini.

“Ahhhh … Pelan-pelan, Paaaaaakkkk …” Indira menjerit begitu merasakan kegadisan yang selama ini ia jaga berhasil dikoyak oleh pria tua yang tengah menindihnya itu. Tanpa terasa, tetesan air mata mengalir di pipinya. Ia tetap merasa tertekan, meski sadar bahwa semua ini adalah pilihan yang ia ambil secara sadar.

Gerakan pinggul Pak Agustinus ke depan dan belakang membuat tubuh Indira menjadi maju mundur sesuai irama. Perempuan tersebut merasakan perih yang tiada tara, meski kemudian langsung berganti dengan kenikmatan unik yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Kenikmatan tersebut bahkan melampaui apa yang ia bayangkan selama ini.

“Hangat sekali memekmu ini, Indira. Aku sukaaaaaa ….”

“Pelaaan-pelaaan Paaaakk … Oooohhh … Sakiiiitttt …”

Pak Agustinus sadar bahwa perempuan berjilbab yang sedang ia kangkangi tersebut masih merasa perih karena baru pertama kali merasakan persetubuhan seperti ini. Karena itu, ia pun hanya menggenjot kemaluannya dengan kecepatan rendah. Meski hal itu tetap saja membuat penisnya bisa bergesekan lembut dengan dinding vagina sang perempuan.

Seiring makin cepatnya genjotan Pak Agustinus, buah dada Indira yang berada tepat di hadapannya pun berguncang-guncang indah, seperti menggoda sang pria tua untuk segera menikmatinya. Anggota dewan berusia 55 tahun tersebut pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan langsung membenamkan kepalanya di belahan dada sang perempuan yang begitu empuk dan indah.

Hentakan demi hentakan yang berasal dari pinggul Pak Agustinus benar-benar membuat birahi Indira semakin meninggi. Perempuan tersebut merasakan ada sesuatu yang akan meledak dari dalam dirinya, seiring dengan gesekan di dinding vaginanya yang makin terasa, karena ukuran penis Pak Agustinus yang besar.

“Nggggghhhhhh …”

Indira berusaha bertahan dengan memejamkan mata, tetapi ia tidak bisa. Perzinahan yang tengah mereka berdua lakukan terasa begitu nikmat, hingga perempuan tersebut tidak bisa memungkirinya sama sekali.

“Ahhhhhh … Pak Agustinuuuuussss … Lebih cepet Paaaaaakkk … Aku mau pipiiiiiiissssss … Sodok vagina aku kuat-kuat, ahhhhhh.”

Pak Agustinus hanya tersenyum melihat pasangannya kini telah begitu binal, sampai memohon-mohon untuk segera dipuaskan. Pria tua itu pun makin bersemangat, dan kembali mempercepat kocokannya.

“Aaaaahhhhh … Memek kamu sempit banget, Indira … Ngggghhhh.”

“Iyaaahhhh … Terus, Paaaaakkkk …. Jangan berhentiii … Oooohhhhh ….”

Kini Pak Agustinus mengarahkan bibirnya untuk mengecup bibir Indira, dan membelit lidah perempuan tersebut dengan lidahnya. Ia tampak begitu bergairah melihat kalung emas indah yang tergantung di leher sang perempuan yang telah terbuka. Tangan pria tersebut pun langsung meremas-remas payudara Indira, memelintir putingnya, dan menarik-narik puting tersebut. Segala sensasi itu membuat sang perempuan tak kuat lagi menahan birahinya.

“Aaaaahhhhhh … Aku keluar paaaaaakkkk …” Teriak Indira.

Mengerti akan kondisi tersebut, Pak Agustinus pun menghentikan gerakannya. Ia tetap membenamkan penisnya di dalam vagina Indira, merasakan kedutan-kedutan pelan dari orgasme yang melanda perempuan tersebut. Ia bisa merasakan mengalirnya cairan dari liang senggama sang perempuan muda, yang bercampur dengan darah keperawanannya. Bukannya jijik, hal tersebut justru membuat pria tua itu makin bergairah.

Beberapa saat kemudian, ketika Pak Agustinus merasa Indira telah selesai dengan orgasmenya, ia pun mengangkat tungkai kaki sang perempuan ke atas, hingga selangkangan perempuan tersebut kembali terbuka lebar.

“Aaaaaahhhhh …” desah Indira dengan nada manja.

“Nggghhhhhh …” Pak Agustinus pun melenguh saat penisnya kembali merasakan jepitan liang senggama dosen muda yang baru saja ia perawani tersebut. “Aku boleh keluarin di dalem kan, Indira?”

Indira mengangguk malu-malu.

Melihat raut wajah perempuan tersebut yang begitu menggoda, Pak Agustinus pun langsung menggenjot pinggulnya ke kemaluan Indira.

“Ugggghhhhhh …” desis perempuan tersebut saat merasakan penis sang pria tua kembali menegang maksimal, dan memenuhi liang senggamanya yang masih suci hingga hari ini.

Keduanya mulai terbiasa dengan organ reproduksi mereka masing-masing, sehingga bisa larut dalam gerakan maju mundur yang seirama. Indira memang sempat merasa geli dengan penis Pak Agustinus yang belum disunat, ia risih dan berasa aneh. Tetapi kini sepertinya ia sudah tidak mau lagi merasakan kemaluan yang berbeda, karena kenikmatan yang ia rasakan.

“Keras banget penis Bapak… Ooooohhhhhmmm.”

“Penisku ini hanya milik kamu, Indira… hanya buat kamu seorang, tidak ada yang lain lagi. Nggggghhhhhh. Tubuh kamu benar-benar membuatku kacau, Bu Dosen. Nafsu birahiku tak tertahankan.”

Indira melenguh dan memekik kencang, seiring dengan makin cepatnya sodokan penis Pak Agustinus di dalam liang cintanya. Mungkin suaranya terlalu kencang, tapi keduanya tidak peduli, toh mereka berdua tahu hanya ada mereka berdua saja di dalam rumah bertingkat dua tersebut.

Raut wajah Indira yang tengah bernafsu, begitu menggoda nafsu birahi Pak Agustinus, dan membuatnya jadi tambah membara. Ia memandang leher, payudara, pinggang, pinggul, dan kaki perempuan tersebut yang telah ia nodai kehormatannya. Pikiran itu pun membuat sang pria semakin dekat dengan puncak kenikmatan.

“Sedikit lagi aku mau keluar, Indiraaaaa…”

“Saya juga, Paaaaaakkkk…. Aaaaaahhhhhh….”

Ranjang besar yang mereka berdua tempati bergoyang hebat, seiring guncangan yang begitu keras dari persetubuhan insan yang berbeda usia dan kepercayaan di atasnya. Payudara Indira yang terbuka tanpa penghalang berguncang-guncang binal, sedangkan pinggulnya kini telah ikut bergoyang-goyang mengikuti irama genjotan pinggul Pak Agustinus.

“Ahhh, nikmat banget rasanya bisa ngentotin dosen cantik berjilbab seperti kamu, Indiraaaaaa…. Aaaaaaahhhhhh. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan seperti ini rasanya…”

“Samaaaa… aku juga seneng banget ditindih oleh Bapak. Aaaaaaaaaaaaaaahhaakkkkkgg…”

“Aku mau kamu jadi gundik aku sayaaaaaannnggg…. Aaahhhhh.”

“Aku mau jadi gundiknya Pak agustinusssssss … Nggggghhhh.”

“Aku keluaaaaaaaarrrrrrrrr ….”

“Akuu jugaaa, Paaaaaaaaakkkkkkk….”

Terasa denyutan-denyutan kuat dari batang penis Pak Agustinus, yang kemudian menyemprotkan banyak sekali cairan kental nan lengket ke dalam rongga vagina milik Indira. Keduanya pun langsung roboh ke atas ranjang, tanpa ada niat sedikit pun untuk melepas kemaluan mereka berdua yang masih saling menyatu. Keduanya berpelukan mesra, layaknya pasangan suami istri yang baru saja menjalani bulan madu.

Sesaat, keduanya terengah-engah. Mungkin bukan karena kehabisan tenaga, tapi lebih ke pemuasan nafsu yang tak lagi bisa ditahan-tahan.

“Enak sekali, sayang.” Pak Agustinus menatap Indira lembut, “Kamu membuatku tak berdaya.”

“Pak Agustinus yang perkasa? Pak Agustinus sang calon gubernur yang terhormat itu bisa kubuat tak berdaya? Oh ya? Mimpi apa aku ini?”

“Sangat… sangat tak berdaya.” Pak Agustinus mengecup dahi Indira. “Bukan aku yang hebat, Indira, tapi kamu yang luar biasa. Aku sangat sangat beruntung bisa mendapatkan malam indah bersamamu.”

Indira tersenyum manis, ia semakin meringkuk di dalam pelukan sang pria idaman, merasakan kehangatan yang dirindukan. Keduanya berpelukan tanpa ingin lepas.

Begitu asyiknya persatuan kedua perasaan tersebut, sampai-sampai keduanya tidak sadar akan adanya sepasang mata yang mengintip aktivitas mereka lewat pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd