Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Terimakasih updatenya suhu... misteri apa dengan kalung bulan sabit ya...
 
Kalau kemarin banyak pecinta Milf yang pingin cerita ibu Indira dibikin side story, ane lebih tertarik dengan kalung Intan dan Yasmin apakah itu Kedua kalung itu pemberian pak Bas atau komplotan pak bas

Tapi akan sangat seru kalau dibuat cerita lain tentang petualangan pak Bas atau komplotannya yang punya obat XTC dan RSVP untuk menaklukan wanita, btw kalau 2 episode lagi tamat bakal ada cerita baru atau ngelanjutin cerita ini sis?

Lama gak baca cerita KKN nih sis, padahal ane yakin sebagian pembaca cerita disini pasti sudah pernah atau akan menghadapi KKN, seru aja kalau fantasi kita di KKN bisa direalisasikan dalam bentuk cerita, sekedar saran hehehe

Untuk cerita baru, lanjutan cerita ini, atau apakah akan ada spin off, ditunggu saja ya
Nanti aku dan suhu @killertomato akan umumkan setelah cerita ini selesai
Karena tinggal 2 episode lagi, akhir bulan ini juga kemungkinan kelar

KKN yah? Hmm ... menarik juga

Makasih uppdatenya

Wah Indira yang udh jatuh hati dengan pak Agustinus, pasti berat banget ninggalinnya. Permintaan Andrew ga salah sih, yang salah kenapa Indiranya cakep hahaha. Tapi Andrew emang pinter sih manfaatin situasi.

dibandingkan Indira, Yasmin malah lebih baik sepertinya. Apa itu pilihan yang sulit? Yang ada Yasmin juga mulai mengakui pak Bas. Bahkan ketika mereka bersetubuh, Yasmin dengan Nafsu membayangkan Erik atau bahkan bersetubuh dengan lebih satu pria. Terlihat sekali potensi Yasmin menjadi binal ini mah hahaha.

emang paling bener vote spin off itu pas cerita ini tamat hahaha. Entah itu akhir Indira atau Yasmin, bahkan bisa aja cerita bu Gina atau istri kakak Ipar Yasmin yang dijadikan spin off

Suka banget neh sepertinya dengan Yasmin, hee

Asiiikkk... Idola saya neng Yasmin berhasil naik no 1 di polling 🤣🤣🤣

Jadi penasaran, kenapa tiba-tiba Yasmin bisa salip Laras dan Safira ya?
 
Setelah sekian lama ngebookmark, baru ada kesempatan baca marathon. Premis dan ceritanya menarik, konflik batin masing2. So far masih ngefans sama cerita dari kalangan dosen (Yasmin, Indira dan Laras).
Dinanti update-annya lagi. Terus berkarya hu
 
Mencium bau" Update xixi

Sabar ya, saya dan suhu killertomato masih ada kesibukan di RL
Kalau sudah ada waktu, pasti dipublish

safira kemana ya

Safira belum muncul, akankah akankah

Setelah ini kita munculin episode Safira dulu deh, hee

Setelah sekian lama ngebookmark, baru ada kesempatan baca marathon. Premis dan ceritanya menarik, konflik batin masing2. So far masih ngefans sama cerita dari kalangan dosen (Yasmin, Indira dan Laras).
Dinanti update-annya lagi. Terus berkarya hu

Terima kasih apresiasinya, hu
Semoga kami berdua masih bisa terus berkarya di sini

Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, cerita ini akan selesai dalam 2 episode lagi
Draftnya sudah ada, tapi masih perlu disempurnakan
Jadi jangan khawatir akan mogok, cuma tinggal tunggu waktu aja kok
Sembari nunggu, bisa nikmati karya-karya para suhu lain di forum ini, hee
 
Bimabet
Part 22: Persahabatan Semu

Hari ini, semuanya tampak begitu cerah. Terutama karena matahari yang bersinar begitu terang. Namun hal tersebut tampak bertolak belakang dengan wajah tiga orang mahasiswi yang sedang berkumpul di sebuah meja di kantin Gedung 2, tempat Fakultas Sosial Politik berada. Ketiganya tampak menunjukkan raut muka yang masam.

“Kalau menurut gue ya, kalian sudahi saja permusuhan kalian. Toh semuanya sudah terjadi, dan tidak ada yang bisa diubah kan?” Ujar perempuan yang posturnya paling kurus di antara mereka bertiga.

“Enak aja!” Perempuan lain yang berparas paling cantik dan satu-satunya dari mereka yang mengenakan jilbab, langsung mendengus kesal. “Ya lo sih gampang banget ngomong gitu, Naura. Soalnya bukan lo yang ngalamin! Sakit banget tau dikhianati sama temen sendiri.”

“Siapa yang khianatin lo sih, Saf? Si Arga sendiri yang ngejar-ngejar gue, bukan sebaliknya,” balas seorang lagi rekan mereka yang tubuhnya paling berisi.

“Ya kalau lo nggak ngejar-ngejar, mana mau sih Arga sama cewek gendut kayak lo?”

“Eh, jangan sembarangan ngomong ya, sok cantik banget sih lo. Jadi nyesel gue dateng ke sini kalau akhirnya cuma denger kata-kata pedes lo doang.”

“Lah, yang nyuruh lo ke sini juga siapa? Kalau lo sekarang pergi juga gue nggak peduli!”

“Kok jadi ngusir? Memangnya sekarang selain Arga, kantin kampus ini juga punya lo? Punya nenek moyang lo? Kenapa nggak lo aja yang pergi wahai Tuan Putri?” Ujar perempuan gemuk bernama Amira tersebut dengan nada meledek.

Melihat suasana yang justru makin memanas antara kedua temannya, Naura jadi tidak tahan. Rencananya untuk mendamaikan mereka berdua sepertinya telah berujung kegagalan. Kedua sahabatnya tersebut seperti sudah menjadi air dan minyak, yang tidak bisa bersatu bagaimanapun caranya.

“Stoooopp... Stop!!” Ujar Naura setengah berteriak. Para pengunjung kantin yang lain sontak menoleh ke arah mereka bertiga. “Gue ngajak kalian ke sini buat berdamai, bukan buat berantem.”

Safira dan Amira pun terdiam. Keduanya saling menoleh ke arah yang berlawanan, seperti tidak ingin menatap satu sama lain.

“Apa nggak bisa salah satu di antara kalian mengalah? Jadi kalian bisa saling memaafkan satu sama lain?” Tanya Naura lagi. Mahasiswi muda nan cantik tersebut seperti sudah di ujung kesabarannya menghadapi kedua temannya.

Selama beberapa menit, tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hingga akhirnya Amira memecah keheningan.

“Oke...”

“Oke apa Ra?” Tanya Naura.

“Ya, oke. Gue mau minta maaf.”

“Lo serius?” Tanya Naura seperti tidak yakin. Safira pun menoleh karena terkejut akan kata-kata temannya tersebut.

“Jadi boleh minta maaf nggak neh? Keburu gue berubah pikiran nanti.”

“Bo-Boleh dong... Ayo cepetan.”

“Saf...”

“Hhmm... “ Mahasiswi berjilbab tersebut hanya menjawab dengan deheman ringan.

“Gue minta maaf atas semua yang udah gue lakuin. Gue tahu kalau apa yang selama ini terjadi antara gue dan Arga itu salah. Nggak seharusnya gue ngelakuin itu sama pacar lo,” ujar Amira yang sepertinya mengatakan itu dengan tulus. “Tapi gue jujur pas bilang bahwa memang Arga yang ajak gue duluan, bukan sebaliknya. Terserah sih lo mau percaya apa nggak. Tapi apapun itu, gue minta maaf buat semuanya.”

Baik Amira maupun Naura kini sama-sama memandang ke arah Safira. Perempuan muda berjilbab tersebut masih diam tanpa suara, seperti bingung harus menjawab apa.

“Kok diem aja, Saf. Jawab dong,” desak Naura.

Mahasiswi itu sepertinya memang sosok negosiator yang ulung. Apabila ia sudah menginginkan sesuatu, segala macam hal pasti akan ia lakukan. Karena itu, ia mungkin berbakat untuk masuk kepolisian atau menjadi diplomat di kemudian hari.

“Oke, gue maafin,” jawab Safira dengan masih tanpa ekspresi.

Hal itu ia lakukan dengan setengah terpaksa, karena melihat Amira yang telah rela menurunkan harga dirinya untuk meminta maaf, dan Naura yang begitu bersemangat untuk mendamaikan mereka berdua. Ia sendiri tidak ingin memperpanjang masalah ini, dan lebih memilih untuk melanjutkan hidup tanpa dipusingkan dengan masa lalu.

“Nah, gitu dong... Kan jadi enak,” ujar Naura.

“Mungkin gue juga harus minta maaf karena selama ini sudah bertindak dan berkata kasar kepada lo, Amira. Terlepas dari apapun yang terjadi, sepertinya nggak pantas kalau gue bersikap seperti itu. Semua itu karena gue terlalu kebawa emosi,” ujar Safira.

“Iya, nggak apa-apa kok, Saf. Gue ngerti,” jawab Amira.

Naura pun tersenyum. Akhirnya apa yang ia inginkan dari pertemuan hari ini menjadi kenyataan. Meski sebelumnya mereka harus saling berdebat terlebih dahulu.

“Kalau begitu, kalian salaman dulu boleh?”

Safira dan Amira pun menurut, dan saling bergenggaman tangan. Walau masih tersisa rasa canggung dari sikap mereka, tetapi Naura tidak masalah.

“Tapi mungkin gue nggak bisa temenan kayak dulu lagi dengan kalian,” ucap Safira.

“Lho, kenapa? Lo tadi minta maafnya beneran kan?” Tanya Naura heran.

“Iya dong, beneran. Tapi jujur hati gue masih sakit gara-gara masalah kemarin. Jadi, mungkin sebaiknya gue nggak sering-sering ketemu dulu dengan Amira.”

“Gue setuju soal itu, Saf. Gue juga kayaknya butuh waktu untuk bisa balik kayak dulu lagi. Nggak bisa langsung sahabatan sama lo kayak kemarin-kemarin,” lanjut Amira.

Harus diakui, Naura memang sedikit kecewa dengan keputusan dua sahabatnya itu. Tapi bukankah setiap hal besar memang harus dimulai dengan hal-hal kecil terlebih dahulu. Bila mengingat bagaimana “perang besar” di antara mereka selama beberapa hari terakhir, hal ini sudah sepantasnya disyukuri oleh Naura.

“Baiklah, kalau itu mau kalian. Tapi kalau gue ajak kalian jalan satu-satu, masih oke kan?” Tanya Naura.

Safira dan Amira sama-sama mengangguk.

“Nice. Oh iya, bagaimana kalau kita bikin janji. Setahun lagi, terlepas dari kita sudah lulus atau belum, kita akan kembali lagi ke kantin ini buat ngobrol bareng tentang kehidupan kita? Gimana?”

Kedua sahabatnya tampak memikirkan tawaran tersebut, tapi jelas terlihat keengganan di raut wajah mereka.

“Hmm, kayaknya gue nggak bisa janji soal hal itu,” jawab Safira.

“Gue juga nggak mau janji, Na. Kita lihat nanti aja,” lanjut Amira.

“Hufthh... Baiklah kalau itu keputusan kalian,” tutup Naura dengan kesal.

“So, udah selesai kan semuanya? Karena gue masih ada urusan lagi,” ujar Safira sambil membereskan tasnya dan bersiap untuk meninggalkan meja kantin tersebut.

“Udah kok, Saf,” jawab Naura.

“Oke, kalau gitu gue cabut dulu yah. Bye.”

Naura dan Amira pun melihat tubuh sang sahabat, atau mungkin lebih tepat disebut mantan sahabat, pergi meninggalkan kantin ke arah tempat parkir. Mereka berdua pun langsung mengalihkan konsentrasi ke minuman mereka yang masih tersisa.

“Lo abis ini ada rencana apa, Ra? Jalan bareng yuk?” Ajak Naura.

Namun Amira cepat-cepat menggelengkan kepala. “Duh, sorry banget Na. Gue udah ada janji sama orang.”

“Sama siapa? Anak kampus?”

“Ada deh, hee,” jawab Amira sambil nyengir. “Udah ya, gue jalan dulu.”

“Ahh, nggak asyik banget sih kalian,” ujar Naura. Namun Amira tampak tidak mengindahkan kata-kata tersebut dan terus melanjutkan langkahnya menuju pintu gerbang Gedung 2.

Kini, meja kantin yang berukuran cukup besar tersebut hanya diisi oleh Naura, setelah kedua sahabatnya pergi. Dalam hati, ia jelas merasa kesal dengan Safira dan Amira yang kini sudah tidak bisa lagi disebut teman baiknya. Geng populer di kampus tersebut kini telah hancur lebur cuma karena masalah percintaan.

Namun di sisi lain, Naura sadar bahwa setiap orang punya kehidupan masing-masing, yang harus mereka jalani hingga maut menjelang. Ia sendiri pun punya kehidupan yang harus dilanjutkan, bukan?

MEHN2HY_t.png


Trrriiiinngg.

Tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari ponsel yang tergeletak di atas meja. Naura pun cepat-cepat mengambilnya.

Alangkah terkejutnya mahasiswi berparas manis tersebut, karena seseorang yang baru beberapa hari terakhir ini ia kenal, sudah berani mengirimkan sebuah foto yang mengejutkan. Secara reflek, Naura langsung menutup layar ponselnya, khawatir ada pengunjung kantin lain yang lewat di belakangnya, dan melihat foto yang sedang ia buka.

“Bisa berabe kalau mereka lihat gue lagi buka foto-foto kayak gini di kampus,” batin Naura.

Ia pun langsung menutup foto tersebut, dan mengetik sebuah pesan untuk pengirimnya. “Ngapain sih Mas kirim foto-foto kayak begitu? Aku lagi di kampus tahu!”

“Hahaa, maaf deh. Tapi kamu suka kan?” Jawab sang pengirim pesan.

“Hmm, gimana ya?”

“Jawab yang jelas dong, hee.”

“Lebih suka lihat langsung sih. Eh.”

“Ya kalau gitu lihat langsung aja.”

“Mana bisa?”

“Bisa dong.”

“Mas kan nggak di sini.”

“Kata siapa?”

Naura menoleh ke kiri dan kanan, tetapi orang yang dimaksud memang tidak terlihat batang hidungnya di kantin tersebut.

“Kata aku. Memang Mas nggak ada di sini kan. Wlee...”

“Memangnya kamu lagi di mana?”

“Aku di kantin Gedung 2. Kok malah nanya sih?”

“Ya jelas nggak ada di situ, nanti bisa ketahuan istriku.”

“Memangnya Mas lagi di mana?”

“Di parkiran Gedung 1, hee.”

“Ihh, ngapain? Bukannya cari penumpang sana.”

“Lebih suka ditumpangin kamu.”

“Gombal.”

“Jadi mau lihat langsung nggak?”

“Mau. Tapi bagaimana caranya?”

“Yaudah kamu ke sini aja.”

“Beneran?”

“Iya, cepetan. Nanti turun lagi dia.”

“Kalau aku ke sana, dia juga bakal naik lagi. Hahaa...”

“Ya, buktikan saja sendiri. Mau?”

“Oke, tunggu ya.”

“Siap.”

Naura pun tersenyum dan turut membereskan barang-barangnya yang masih tersisa di meja kantin tersebut. Seperti kedua sahabatnya, ia pun memiliki agenda sendiri yang tak kalah menyenangkannya dengan mereka.


***​


Begitu meninggalkan Naura di kantin kampus, Amira langsung memesan taksi online untuk mengantarkannya ke sebuah hotel bintang empat yang berada di pusat kota. Jalanan yang cukup macet membuat ia harus menghabiskan waktu 45 menit untuk sampai di hotel tersebut. Namun ia tidak masalah, karena toh bukan dirinya yang harus membayar ongkos transportasi ke sana.

MEHN2HV_t.png


Dengan santai, perempuan bertubuh lumayan berisi itu langsung masuk ke lobby dan berjalan menuju lift. Ini merupakan kali pertama mahasiswi tersebut datang ke hotel mewah itu. Namun seseorang yang akan ia temui sesaat lagi telah memberikan arahan tentang di mana posisi lift, dan apa yang harus ia lakukan untuk bisa sampai ke lantai yang dimaksud. Amira hanya cukup mengikuti petunjuk tersebut saja.

Karena itu, tak lama kemudian Amira telah sampai di sebuah kamar nomor 707. Perempuan cantik itu pun langsung menekan bel.

Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka dari dalam. Sesosok pria berkulit gelap tampak muncul dari baliknya, dan langsung tersenyum begitu melihat kehadiran Amira.

“Akhirnya kamu datang juga,” ujar pria tersebut.

“Kan aku sudah janji kalau akan datang,” jawab Amira malu-malu.

“Kalau begitu, silakan masuk.”

“Oke...” jawab Amira sambil menuruti perintah sang pria dan langsung masuk ke dalam kamar.

Seperti yang telah ia duga, kamar di hotel berbintang empat tersebut memang terkesan cukup mewah, meski ukurannya tidak terlalu besar. Sebuah cermin besar yang menempel di dinding kamar membuat Amira merasa kamar tersebut lebih luas dari yang seharusnya.

“Jalanan macet ya?” Tanya pria yang baru saja ditemui Amira, setelah ia menutup pintu kamar.

“Biasa lah, Om. Namanya juga kota besar.”

“Hahaha, benar juga. Sewaktu baru datang ke sini saya pun kaget, beda banget dengan di kota asal saya di pelosok.”

Amira memandang pria yang tengah berada di hadapannya tersebut, yang kini hanya tinggal mengenakan secarik handuk untuk menutup bagian perut hingga pahanya. Ia seperti ingin menunjukkan seluruh tubuhnya, tetapi tetap menyembunyikan sesuatu yang menggantung bebas di selangkangannya. Amira tidak yakin kalau pria tersebut masih mengenakan celana dalam untuk menutupi bagian vitalnya di balik handuk.

“Kenapa lihat Om begitu, Amira?”

“Seriusan cuma pakai handuk begitu aja?”

“Memangnya kenapa?”

“Emang nggak malu keliatan sama aku?”

Sang pria pun tersenyum, dan berjalan mendekati tempat Amira tengah berdiri saat ini. “Toh nanti kamu juga akan lihat semuanya kan?”

“I-Iya sih. Tapi...”

Kata-kata Amira terputus karena bibirnya langsung dibungkam oleh sang pria dengan sebuah kecupan hangat. Tangan perempuan tersebut secara otomatis berlabuh di pundak pria berkulit gelap itu. Ia bisa merasakan tubuh sang pria terasa lebih kencang daripada pria-pria lian yang pernah menyetubuhi dirinya sebelum ini, termasuk Arga dan Ahmad. Padahal, pria di hadapannya tersebut berusia lebih tua dari mereka semua.

“O-Om... Ngggghhh,” ujar Amira di sela-sela kecupan mesra mereka.

“Kamu nikmati saja ya, Sayang. Om sudah nggak tahan banget sama tubuh kamu ini, sejak pertama kali kita kenalan di twit**ter.”

“Ahhhh... Ooooommmmm...”

“Tubuh kamu yang curvy ini benar-benar idaman Om banget,” ujar sang pria sambil meremas-remas pinggang Amira, sebelum menggerakkannya ke arah payudara sang perempuan yang membusung dari balik pakaiannya.

“Oooommmmm...”

“Kenapa sayang? Kamu sudah nggak tahan ya? Hee...”

Sang pria kemudian menarik tubuh Amira lalu merebahkannya di atas ranjang kamar hotel tersebut. Ia sendiri langsung melepas handuk yang membelit pinggangnya, menampilkan batang kemaluannya yang sudah menegang. Amira tampak bergidik ngeri saat melihat ukuran penis tersebut, dan tidak tahan untuk segera mengetahui apa rasanya saat kemaluannya dimasuki oleh batang yang sudah begitu tegak tersebut.


***​


Di saat yang sama, Naura pun telah berjalan menuju area parkir Gedung 1 tempat Fakultas Ilmu Komputer berada. Lokasinya yang cukup jauh dari Fakultas Sosial Politik tempat perempuan tersebut biasa kuliah, membuat Naura merasa sedikit lelah ketika sampai. Apabila tidak ada urusan mendesak, ia tentu enggan untuk main-main ke gedung tersebut.

Begitu sampai, ia pun segera mencari posisi parkir mobil yang ia tuju. Untungnya, sang pengemudi telah memberikan beberapa petunjuk agar Naura mudah mencarinya. Tak butuh waktu lama bagi Naura untuk menemukan mobil LCGC yang sudah begitu ia kenal bentuk dan warnanya tersebut.

Mahasiswi tersebut sempat melihat ke sekelilingnya, memastikan tidak ada seorang pun yang mengikuti dirinya. Setelah yakin, ia pun langsung masuk ke dalam mobil.

“Sudah lama di sini, Mas?” Tanya Naura begitu duduk di kursi penumpang, tepat di samping pria berusia 30 tahun yang telah terlebih dahulu berada di dalam mobil tersebut.

“Lumayan, sudah sempat kirim foto kontol ke kamu kan tadi, hee,” ujar sang pria.

“Parah banget sih. Masa kirim foto begitu tiba-tiba. Kalau aku lagi sama temen-temen aku dan mereka lihat bagaimana?”

“Ya, nggak apa-apa. Siapa tahu mereka tertarik juga.”

“Heh, nggak boleh ya. Aku marah nanti,” bentak Naura dengan setengah berteriak.

Nyali sang pria pun langsung ciut. “Iya, deh. Aku minta maaf. Aku kan cuma ikuti permintaan kamu untuk kirim foto kontol setiap hari.”

“Tapi kalau mau kirim kasih aba-aba dulu, jangan langsung kirim.”

“Iya, maaf deh Naura.”

“Lalu kita mau ngapain hari ini?”

“Nggak tahu, aku ngikut kamu aja.”

“Mas benar-benar nggak nyari penumpang hari ini?”

“Nggak, hari ini spesial untuk kamu Naura manis.”

“Yaudah, kita jalan ke pantai aja yuk.”

“Pantai mana? Memangnya kamu tahu lokasi pantai yang sepi di dekat ibu kota?”

“Sudah jalan aja, nanti aku kasih tahu,” perintah Naura.

“Oke deh,” jawab sang pria sambil menyalakan mesin mobil, dan mulai melajukan kendaraan tersebut.

“Tapi kalau nanti Bu Yasmin nelepon Mas, bagaimana?”

“Ya, tinggal bilang saja kalau aku lagi narik penumpang, hee.”

“Dasar suami tukang bohong.”

“Tapi kalau sama kamu aku nggak pernah bohong kok Naura, sueerrr.”

“Gombal ihh Mas Ferdian ini.”

Suami dari Yasmin tersebut tampak sudah tidak tahan dengan kemolekan tubuh mahasiswi di sampingnya. Ia pun mulai menggerakkan tangan kirinya yang sebelumnya berada di gagang persneling, untuk menyentuh paha Naura yang masih tertutup celana jeans berwarna biru dongker. Namun sang perempuan muda langsung menepis tangan Ferdian.

“Heh, Mas lupa ya peraturannya. Mas nggak boleh sentuh tubuh aku kalau tidak aku izinkan,” ujar Naura ketus.

“I-Iya Naura. Aku minta maaf,” ujar Ferdian lirih.

Namun dari tempatnya berada, Naura bisa melihat ada sesuatu yang menonjol dari balik celana panjang kain yang dikenakan pria yang baru saja menikah tersebut. Mahasiswi muda itu pun merasa kasihan karenanya. Ia kini justru balik menggerakkan tangannya untuk membuka kancing pengait celana yang dikenakan Ferdian, beserta resletingnya.

“Eh, kamu mau ngapain Naura? Kita lagi di jalan lho,” ujar Ferdian. Mobil yang ia kendarai memang telah keluar dari gerbang kampus dan menuju jalan raya yang cukup ramai.

“Sudah, Mas Ferdian nikmati saja,” ujar Naura sambil tersenyum.

“Kenapa kalau aku mau sentuh kamu harus izin, sedangkan kamu kalau sentuh-sentuh tubuh aku tidak pakai izin?”

“Suka-suka aku dong. Mas nggak suka?”

“Eh, bu-bukan begitu... Suka kok.”

“Makanya diem aja, nggak usah berisik.”

Dengan gerakan cepat, Naura pun menurunkan sedikit celana dalam yang dikenakan Ferdian ke bawah, hingga batang penisnya mengacung tegak di bawah kemudi mobil. Perempuan cantik itu pun langsung menggerakkan tangannya naik turun, mengusap batang kemaluan tersebut dari atas ke bawah berulang-ulang. Sesekali, ia tampak mengusap-usap biji kemaluan Ferdian yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Semua rangsangan tersebut membuat Ferdian semakin tidak tahan. Ia pun tidak sabar untuk bisa segera sampai di tempat yang dimaksud oleh Naura.


***​


Naura ternyata mengarahkan Ferdian untuk menuju daerah yang berada di sisi barat ibu kota. Setelah hampir satu jam melewati jalan bebas hambatan dan jalan kecil yang sedikit rusak dan berliku, mereka akhirnya sampai juga di sebuah pantai pasir putih yang cukup indah. Anehnya, tempat itu cenderung sepi. Memang ada beberapa mobil yang juga berkunjung ke sana, tetapi area parkir yang luas membuat mereka mengambil tempat yang saling berjauhan satu sama lain.

MEHN2HY_t.png


“Wah, tempatnya bagus banget, Naura. Dari mana kamu tahu tempat seperti ini?” Tanya Ferdian yang masih duduk di kursi pengemudi.

“Ada dehh...” Ujar Naura sambil turun dari mobil, dan berpindah ke jok penumpang di belakang.

Ferdian bingung melihat tingkah mahasiswi muda tersebut yang begitu aneh. Untuk apa dia pindah ke belakang? Apakah jangan-jangan?

“Mas mau kita diem-dieman terus kayak gini sampai sore?” Ledek Naura.

“Eh... Ng-Nggak dong,” Ferdian akhirnya mengerti isyarat sang perempuan cantik tersebut, dan ikut pindah dari tempat duduknya di balik setir, dan menyusul Naura di kursi belakang.

Sebelum masuk pria tersebut sempat melihat sekeliling mobil, khawatir ada orang asing yang sedang berada di dekat mobil mereka. Dari kejauhan, ia melihat mobil yang terparkir cukup jauh dari tempat mereka dalam kondisi tertutup, tetapi bodi mobil tersebut tampak bergoyang pelan. Dan sepertinya, tidak ada yang memperhatikan mobil tersebut sama sekali.

Begitu masuk ke dalam mobil, Naura ternyata sudah mulai melepas kancing kemejanya satu per satu, hingga tubuh bagian atasnya terbuka. Tak cukup dengan itu, mahasiswi tersebut juga melepaskan bra yang ia kenakan, hingga payudaranya yang montok bergantung bebas. Pemandangan indah itu membuat Ferdian bengong tak berkedip.

“Cuma mau dilihat doang neh? Tahu gitu mending aku kirimin videonya aja tadi, nggak usah ketemu,” ujar Naura gusar.

“Eh, jangan dong... “ ujar Ferdian cepat. Ia pun langsung mendekati tubuh Naura, dan mulai mengusap-usap kedua buah dada tersebut dengan jemarinya.

Namun Naura ternyata punya ide lain. Perempuan berusia 21 tahun itu menarik kepala Ferdian hingga terbenam di belahan payudaranya.

“Isepin dong Masssss, jangan dipegang-pegang doang,” perintah mahasiswi cantik itu.

Ferdian pun tidak ada alasan lain untuk menolak, dan langsung mengikuti arahan Naura. Siapa juga yang mau menolak apabila disuguhkan “hidangan” lezat seperti yang ada di hadapannya saat ini. Apalagi ditambah bau harum dari parfum yang dipakai Naura, yang telah menggoda birahinya sepanjang perjalanan tadi. Tangan Naura yang tak henti mengelus-elus penisnya sepanjang perjalanan pun seperti menambah gejolak birahi yang dirasakan Ferdian.

“Kamu lagi sange banget ya, Sayang?” Tanya Ferdian di sela-sela kulumannya terhadap puting payudara Naura.

“Nggak kok, cuma lagi kesel aja sama seseorang... eh, dua orang. Jadi butuh pelampiasan.”

“Bukan kesel sama aku kan? Karena kalau iya, aku rela melakukan apa pun sebagai wujud permintaan maaf?”

“Apa pun?”

“Iya... Apa pun.”

Naura pun langsung mempunyai beberapa pikiran liar, dan salah satunya pun berkaitan dengan istri dari pria dewasa di hadapannya, yang merupakan dosennya sendiri. Namun Naura sepertinya lebih ingin menyimpan semuanya untuk imajinasi mesumnya di kemudian hari. Ia lebih ingin merasakan kenikmatan seperti biasa hari ini.

“Tenang saja, Mas. Aku nggak kesel sama kamu, kok. Belum kesel lebih tepatnya.”

“Syukurlah... Hmmppphhh... Hmmmppphhh...”

Naura yang merasakan payudaranya dikenyot bertubi-tubi oleh Ferdian, perlahan melemas. Ia kini sudah duduk bersandar di pintu mobil, sedangkan sang pria menindihnya dari atas. Perempuan tersebut tampak tidak khawatir dengan posisi mobil mereka yang masih termasuk dalam kategori tempat umum.

“Ki-Kita nggak akan digerebek warga kan kalau berbuat mesum di sini, Naura?” Tanya Ferdian yang mulai mengusap-usap lipatan ketiak sang perempuan dengan tangannya.

“Tenang aja, Mas. Yang datang ke sini semuanya memang mau mesum kok. Kalau kita digerebek, yang lain juga pasti sama, hee,” jawab Naura sambil menekan kepala Ferdian agar menghisap puting payudaranya lebih kencang.

Dalam hati, Ferdian merasa tertantang dengan situasi tersebut, hingga membuat batang penisnya berdiri tegak di balik celananya. Tubuh Naura yang begitu molek pun jelas membuat birahinya menggelegak, apalagi ditambah sikap sang mahasiswi yang meski masih berusia muda, tapi terus memaksa menjadi sosok yang dominan di dalam hubungan seksual mereka.

Suatu malam, Naura bahkan pernah meminta Ferdian yang sedang menunggu penumpang, untuk datang ke area parkir sebuah bar. Ketika suami Yasmin tersebut sampai di sana, ternyata ia hanya diminta untuk membantu sang perempuan muda agar lekas orgasme.

“Aku udah sange banget, Mas. Kalau dibiarin, bisa diperkosa cowok nggak jelas aku di dalem,” tukas Naura saat itu.

Sang mahasiswi pun memaksa Ferdian untuk meremas payudaranya, sembari mengelus-elus klitoris yang menggantung di bagian atas liang vaginanya. Setelah dirangsang seperti itu selama beberapa menit, Naura pun berhasil orgasme hingga cairan cintanya mengotori jok dan lantai mobil.

Namun setelah dipuaskan seperti itu, Naura justru langsung kembali ke dalam bar. Ia meninggalkan Ferdian begitu saja di dalam mobil, dalam kondisi horny berat dan batang penis yang sudah berdiri tegak. Entah mengapa, dinamika seksual seperti itu justru menjadi sesuatu yang membangkitkan adrenalin dan libido Ferdian. Sesuatu yang selama ini tidak bisa ia rasakan dari sang istri, yang selalu menuruti kemauannya dalam masalah ranjang.

Ferdian mulai merasakan hawa panas yang terkumpul di dalam mobil, karena sistem pendingin yang mati akibat mesin yang tidak menyala. Tetes demi tetes keringat pun mengalir di punggungnya, hingga membuat pria tersebut merasa sedikit risih. Lama-kelamaan, ia makin tidak tahan dan memutuskan untuk melepas kaosnya. Namun ia tahu, ada sesuatu yang harus ia lakukan sebelum menanggalkan pakaiannya.

“Gerah neh, Naura. Boleh Mas lepas pakaian?” Tanya Ferdian meminta izin.

Naura yang sudah mulai terangsang akibat rangsangan demi rangsangan yang diberikan pria beristri tersebut pun mengangguk.

“Lepasin celana aku juga, Mas,” pinta sang mahasiswi.

Sang pria pun menurut. Ia mulai melepas kaos dan celana panjang yang ia kenakan, lengkap dengan celana dalam berwarna hitam di baliknya. Tak hanya itu, ia juga melanjutkannya dengan menarik celana panjang dan celana dalam yang dipakai Naura, hingga mereka berdua telanjang bulat di bangku belakang mobil tersebut.

Pria itu sempat melihat ke luar jendela, dan tidak merasa ada siapa pun yang berada di dekat mobil mereka. Meski begitu, orang yang melihat dari jauh pasti akan merasa curiga karena gerakan Ferdian dan Naura di dalam jelas membuat mobil tersebut bergoyang-goyang. Persis seperti mobil yang dilihat oleh Ferdian tadi. Sensasi tersebut kembali membuat birahi Ferdian menanjak.

“Hmmpphh, udah gede aja sih kontol kamu, Mas. Lebih gede daripada yang difoto tadi,” ujar Naura yang langsung menunduk untuk meraih kemaluan Ferdian. Perempuan berbibir manis itu langsung memasukkan batang penis tersebut ke mulutnya, lalu mengulumnya dengan mahir. Sekejap, Ferdian bisa merasakan ujung lubang pipisnya tersebut dielus-elus oleh lidah hangat Naura. Ujung penis yang tegang itu langsung menjelajah ke lorong gelap nan lembut yang mampu memberinya kenikmatan tiada tara.

“Bagaimana nggak jadi gede kalau di depannya ada perempuan seseksi kamu. Ahhhh... Nikmat banget sepongan kamu, Nauraaaaaa...”

Naura tiba-tiba melepas kulumannya dari batang penis Ferdian. Namun mahasiswi berparas manis itu seperti tidak ingin membiarkan kemaluan yang masih tegang tersebut untuk menganggur terlalu lama. Ia langsung menjepit batang berukuran sedang itu dengan kedua payudaranya.

“Kalau kayak begini, enak juga nggak, Mas?” Tanya Naura.

Ini adalah pertama kalinya Ferdian merasakan kemaluannya dijepit oleh buah dada empuk milik seorang perempuan. Beberapa kali ia sempat membayangkan untuk meminta hal itu dari sang istri yang memang mempunyai payudara berukuran besar, tetapi ia tidak pernah berani untuk mengatakannya. Dan kini, ia malah merasakan hal tersebut dari mahasiswi yang merupakan murid sang istri di kelas.

“Enak bangeeeeeeeettttt.... Aaaaahhhhh...” desah Ferdian dengan mata yang terpejam, menahan birahi yang sewaktu-waktu bisa saja meledak.

Melihat pasangannya sudah begitu terangsang, Naura tampak tersenyum. Ia kemudian mengambil sesuatu dari tasnya yang berada di kursi penumpang di depan, lalu memasangkannya di kepala Ferdian.

“Lho, mata Mas kok ditutup begini, Naura?” Tanya Ferdian bingung ketika sebuah penutup mata dengan tali berbahan karet terasa mengelilingi kepalanya, dan menghalangi pandangannya. Ia pun jadi tidak bisa melihat apa pun yang dilakukan Naura, meski masih bisa merasakan gerakan tubuh perempuan tersebut yang bergesekan dengan tubuhnya.

“Sudah, Mas ikuti saja...”

Ferdian tiba-tiba merasakan mulutnya dibuka paksa oleh sang mahasiswi, dan sebuah puting mendadak masuk ke dalamnya. Secara reflek, pria tersebut langsung menutup bibirnya dan mulai mengemut puting payudara tersebut. Lidahnya pun sesekali terjulur ke luar, demi membuat geli bagian tubuh sensitif milik Naura itu.

“Nahhh... mulai terasa enak kan, Mas?” Bisik Naura tepat di telinga Ferdian.

Sang pria kemudian merasakan tubuh Naura seperti naik menindih tubuhnya, dan kemaluan mereka berdua saling bergesekan satu sama lain. Ferdian tampak kesal karena vagina Naura tidak kunjung turun dan mengurung batang penisnya yang sudah berkedut-kedut meminta untuk dipuaskan. Namun ketika pria itu hendak menggerakkan tangannya untuk menarik pinggul Naura, sang perempuan sudah terlebih dahulu menahannya.

“Tahan dulu dong, Mas. Mulai sekarang, kamu harus ikuti semua perintahku, kalau Mas ingin tetap diperbolehkan menyetubuhi aku. Setuju?”

“Se-Setuju...”

“Pinteeerrrr...”

“Tapi jangan dibikin nggak tahan begini dong, Naura. Mas nggak kuat jadinya.”

“Kan di situ seninya, yang penting di akhir nanti Mas bisa merasakan kepuasan yang lebih dari biasanya, hihihi.”

Dalam hati Ferdian bertanya-tanya, apa benar ia bisa merasakan kepuasan seksual yang lebih hebat dari yang pernah ia rasakan selama ini? Padahal, bisa menyetubuhi perempuan muda seperti Naura saja sudah kebanggaan tersendiri bagi pria sepertinya, yang mempunyai kualitas standar dalam segala hal.

Namun sepanjang ia berhubungan dengan mahasiswi cantik tersebut, meski berawal dari ketidaksengajaan, Ferdian memang mendapatkan banyak pengetahuan baru tentang dunia seks. Karena itu, pria yang sebenarnya baru menempuh bahtera rumah tangga itu pun berniat untuk mengikuti saja permainan Naura.

“Puaskan aku, Naura. Nggghhhh....”

Mendengar kata-kata tersebut, Naura pun semakin bersemangat. Ia kemudian menurunkan pinggulnya pelan-pelan, hingga ia merasakan ujung kulup Ferdian menekan liang senggamanya.

“Ahhhh... Tahan begini dulu, Mas. Ngggghhhh...” ujar Naura sambil mengeluarkan desahan binal.

Ferdian pun menurut. Namun ia tidak berhenti memberikan rangsangan kepada sang perempuan dengan cara mengisap-isap payudara indah milik Naura.

“Rasain kontol Mas masuk pelan-pelan ke dalam memek aku. Ugghhhh...”

Naura kembali menurunkan pinggulnya, hingga batang penis Ferdian terbenam setengahnya. Perempuan tersebut bertahan di posisi tersebut selama beberapa saat.

“Duhhh... Mas nggak tahan banget dijepit begitu, Naura. Mas masukin lebih dalem ya, pleaseeeeee... Ooohhhhh...”

“Tahan dong, Mas. Buru-buru banget sihh... “ Ujar Naura sambil tersenyum, yang tentu tidak bisa dilihat secara langsung oleh Ferdian yang matanya masih tertutup.

Perempuan bertubuh gemulai itu akhirnya kembali menurunkan tubuhnya, hingga liang senggamanya seperti menelan seluruh batang penis Ferdian. Ia pun kemudian menjepit-jepit penis tersebut dengan dinding vaginanya, sebelum kemudian bergerak naik turun guna menggenjot batang yang mengacung tegak itu.

“Ahhhh... Ini baru enak bangeeeeeetttt, oohhhhhh...” desah Ferdian.

Pria itu seperti sudah tidak memikirkan lagi di mana mereka berdua berada. Pandangan yang terhalang oleh penutup mata membuat pria tersebut seperti lupa akan segalanya, dan hanya fokus mengejar kenikmatan bersama mahasiswi cantik di pangkuannya.

“Suka nggak kalau aku giniin, Mas? Nggghhh...”

Naura memutar-mutar pinggulnya, hingga batang penis Ferdian yang masih terbenam di dalam vaginanya ikut tertarik mengikuti gerakan tersebut. Semakin lama, gerakan persetubuhan mereka di dalam mobil milik sang pria itu bertambah cepat.

“Kalau kayak begini, Mas jadi pengen cepet-cepet keluaaaarrr... Aaaaahhhhhh...”

“Keluarin aja Mas, aku izinkan kok. Toh yang jadi kotor mobil Mas ini, gggghhhh...”

“Nggak masalah, Naura. Yang penting aku bisa ngentotin memek kamu yang nikmat ini, oooohhhhh....”

“Terus emut toket aku, Mas. Sambil genjot memek akuuuu... gggghhhh”

Beberapa menit kemudian, Ferdian tampak sudah tidak bisa lagi menahan birahinya. Ia memeluk tubuh Naura dengan erat, hingga keringat yang membasahi tubuh bugil mereka saling bercampur. Sedangkan batang penisnya semakin dalam menusuk liang senggama perempuan tersebut.

“Aku keluaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrr...”

Teriak Ferdian sambil menyemburkan luapan spermanya yang kental, ke dalam kemaluan Naura. Perempuan tersebut pun tersenyum, merasakan tembakan demi tembakan dari cairan kental yang menyemprot dinding vaginanya. Meski belum mencapai kepuasan, sang mahasiswi tetap merasa bangga bisa membuat pasangannya mencapai puncak kenikmatan.

“Suka, Mas Ferdian?” Tanya Naura.

“Suka banget. Aku nggak nyangka istriku punya mahasiswi sebinal kamu, ahhhh.”

“Bu Yasmin juga nggak pernah cerita kalau suaminya suka ngentotin daun muda kayak aku, hehehe.”

Keduanya memang telah saling bercerita bahwa kehidupan mereka terhubung oleh sosok dosen di Universitas Jaya Abadi yang merupakan istri dari Ferdian tersebut. Untungnya, Naura berjanji tidak akan mengadukan apa yang telah terjadi. Awalnya, Ferdian memang meragukan hal itu, karena perempuan mana sih yang rela disetubuhi begitu saja. Namun persetubuhan demi persetubuhan yang terjadi selanjutnya membuat pria tersebut bertambah keyakinannya.

“Sebenarnya apa sih alasan kamu rela menjadi pelampiasan nafsuku, Naura?” Tanya Ferdian di sela-sela nafasnya yang masih memburu, akibat orgasme hebat yang melanda dirinya.

“Kalau aku bilang nggak ada alasan, percaya nggak?”

“Hmm, percaya aja sih. Cuma Mas tetap bingung aja.”

“Ya kalau Mas udah nggak mau ya nggak apa-apa sih. Aku bisa pulang sekarang.”

“Eh... Ja-Jangan. Udah di sini saja,” potong Ferdian yang langsung memasang raut wajah khawatir. Hal tersebut tampak aneh dengan kain penutup yang masih melapisi kedua matanya.

“Jadi masih mau lanjut?”

“Ma-Mau, Naura.”

Sang perempuan kemudian melepaskan jepitan vaginanya dari batang penis Ferdian yang tampak sudah menciut setelah menumpahkan banyak sekali cairan putih hasil persenggamaan mereka. Ia pun melepas penutup mata yang menghalangi pandangan sang pria, hingga mereka bisa kembali saling bertatapan.

“Kalau begitu, kita sekarang pakai ini, yuk,” ujar Naura sambil mengambil sebuah benda berbentuk lingkaran dari dalam tasnya.

“I-Itu bukannya?”

Naura hanya mengangguk, karena benda yang ia pegang memang tidak mempunyai fungsi lain. Para pecinta anjing biasanya mengalungkan benda tersebut di leher binatang kesayangan mereka, lalu memegang bagian rantainya agar sang anjing tidak pergi kemana-mana.

Ka-kalung anjing?

Ferdian meneguk ludah.


***​


Begitu meninggalkan kedua temannya di kantin, Safira ternyata tidak langsung pulang ke rumah. Ia justru memesan taksi online untuk mengantarkannya ke sebuah alamat yang sepertinya merupakan lokasi apartemen mewah di pusat ibu kota. Tak berapa lama, kendaraan yang akan mengantarnya pun tiba, sebuah mobil MPV berwarna silver.

“Dengan Mbak Safira ya?” Ujar sang pengemudi saat mobil yang ia kendarai telah berhenti tepat di depan sang mahasiswi, berusaha memastikan bahwa ia menjemput pesanan yang sesuai.

“Betul, Mas. Tolong antarkan ke alamat yang sesuai aplikasi ya,” jawab Safira sambil membuka pintu penumpang di belakang, lalu masuk ke dalamnya.

“Oke, Mbak. Saya jalan ya,” lanjut pengemudi tersebut sambil mengarahkan mobilnya meninggalkan Gedung 2 di Universitas Jaya Abadi, menuju lokasi yang dimaksud.

Di belakangnya, Safira menyandarkan punggung di jok mobil yang tidak terlalu empuk tersebut, sambil memandang ke arah jendela. Perempuan berparas manis itu melihat deretan pohon yang seperti berlari melawan arah ketika ia lewati. Ingatannya tertuju pada beberapa hal yang terjadi di akhir pekan lalu.


***​


Semenjak hubungannya dengan Arga kandas, Safira mulai mencari aktivitas baru untuk mengalihkan perhatiannya, agar tidak terlalu larut akan kesedihan. Aktivitas fisik alias olahraga pun merupakan salah satu hal yang ia coba akhir-akhir ini.

Waktu awal mencoba berolahraga, aku memang seperti terjebak akan tipu daya Pak Dar. Namun bukan artinya aku harus trauma dan berhenti menjaga kebugaran, bukan? Pikir Safira dalam hati.

Namun mahasiswi berparas cantik tersebut tentu telah mengambil pelajaran dari pengalaman buruknya. Mulai saat ini, ia tidak akan membagikan rencananya berolahraga kepada orang lain, terutama sang rektor yang ternyata sangat mesum itu.

MEF83KD_t.png


Seperti di akhir pekan ini, Safira berniat untuk lari pagi di lingkungan kampusnya yang memang cukup asri karena banyaknya pepohonan yang ada di sana. Meski mempunyai kepribadian yang tidak baik sebagai seorang rektor, namun Safira harus mengakui bahwa Pak Dar telah melakukan sesuatu yang bermanfaat saat pria tua itu mempunyai ide untuk membuat trek lari di lingkungan kampus. Dengan begitu, para mahasiswa pun tidak perlu bingung lagi harus pergi ke mana apabila ingin jogging ditemani pepohonan yang rimbun.

Sekitar pukul enam pagi, Safira telah memesan ojek online untuk mengantarkannya ke kampus. Karena itu, ia tidak bisa membawa banyak barang bawaan, selain dompet dan ponsel. Perempuan cantik itu telah siap dengan pakaian larinya berupa kaos lengan panjang berwarna abu-abu, serta celana training berwarna hitam dengan garis putih di sisinya. Di kepalanya, menempel sebuah hijab instan yang memang didesain agar bisa dikenakan dengan mudah saat berolahraga.

Ini adalah pertama kalinya Safira datang ke kampus di akhir pekan, saat tidak ada jadwal perkuliahan sama sekali, untuk berolahraga. Karena itu, ia cukup kaget melihat telah ada sekitar selusin mahasiswa lain yang sudah datang lebih dahulu dari dirinya. Namun trek lari yang panjang dan tempat terbuka yang luas membuat area olahraga di Universitas Jaya Abadi tidak terasa sesak.

Safira pun memulai lari dengan mengelilingi trek tersebut, yang nantinya akan berputar kembali ke lokasi di mana ia berada sebelumnya. Namun perempuan tersebut tidak menyadari bahwa tubuhnya yang indah dan parasnya yang cantik telah menarik perhatian beberapa lelaki yang ada di sana, terutama seorang pria yang sepertinya sudah memperhatikan mahasiswi berjilbab itu sejak turun dari ojek online.

Meski tidak terlalu memaksa dirinya untuk lari terlalu cepat, tetapi Safira merasakan staminanya sudah terkuras habis setelah jogging selama satu jam. Itu pun sudah diselingi dengan jalan-jalan santai atau bahkan berhenti sejenak untuk mengumpulkan nafas. Matahari yang sudah mulai meninggi sepertinya juga mempengaruhi kemampuan Safira untuk lebih lama, yang kini tubuhnya sudah begitu basah dengan keringat.

“Padahal dulu aku bisa cukup lama menjaga stamina dalam berolahraga. Sepertinya memang butuh waktu untuk bisa kembali ke kondisi prima,” pikir Safira. Ia pun memutuskan untuk melepas lelah dengan cara duduk di sebuah bangku panjang yang memang dibuat khusus sebagai tempat istirahat setelah para mahasiswa berolahraga.

Namun baru sebentar Safira duduk di sana, seorang pria muda tampak ikut duduk di bangku yang sama, tepat di sebelah perempuan tersebut.

“Halo, Saf...” Sapa pria muda itu.

“Eh, Radit. Lo lagi olahraga juga?” Jawab Safira.

“Iya, neh. Tumben hari ini keliatan.”

“Haha, iseng aja. Lagi pengen cari keringat aja gue. Lo tiap minggu rutin jogging di sini ya?”

“Lumayan, lah. Kalau nggak lagi sibuk sama urusan BEM.”

Safira memang mengenal mahasiswa bernama Radit tersebut sejak sang pria menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di Universitas Jaya Abadi. Meski seangkatan, mereka berdua memang tidak sering bertemu dan mengobrol karena berbeda fakultas. Safira sendiri menempuh pendidikan di Fakultas Sosial Politik, sedangkan Radit di Fakultas Ilmu Komputer. Mereka akhirnya bisa berkenalan dan berinteraksi satu sama lain saat terlibat di beberapa acara kampus yang melibatkan Radit sebagai ketua BEM.

“Lo bukannya udah nggak jadi ketua lagi ya?” Tanya Safira.

“Hee, iya sih. Tapi masih seneng aja bantu-bantu junior, biar mereka nggak bingung-bingung amat.”

“Rajin ya, Pak. Hahaa...”

“Kerajinan lebih tepatnya. Habis bingung di kosan sendirian nggak ada kerjaan.”

Bila diperhatikan, wajah Radit memang cukup tampan, dengan hidung yang mancung dan jenggot tipis yang menghiasi dagu hingga ujung rambut di dekat telinganya. Tapi berbeda dengan Arga yang mempunyai badan kekar dan berisi, Radit cenderung kurus dan tidak berotot. Namun kecerdasannya yang jauh di atas rata-rata mahasiswa di kampus tersebut, membuat pria itu mempunyai pesona tersendiri di hadapan para perempuan, termasuk Safira.

“Eh, lo mau makan bubur ayam bareng nggak?”

“Emang ada ya? Di mana?”

“Haha, anak jogging baru belum tahu tempat makan di sekitar sini ya?”

“Ya, maaf Pak. Masih newbie neh, hee...” ujar Safira sambil tersenyum.

“Yaudah, ikut gue yuk,” ujar Radit yang langsung berdiri, dan mengajak Safira untuk berjalan bersama dengannya.

“Boleh.”

Tukang bubur ayam yang dimaksud Radit ternyata berada di bagian belakang kampus yang berbatasan dengan perumahan warga lokal. Untuk bisa sampai di sana, mereka berdua harus melalui pintu kecil yang membatasi lingkungan warga dengan wilayah kampus.

“Jangan bilang ini pertama kalinya lo lewat daerah sini?” Tanya Radit saat melihat wajah Safira yang seperti bingung akan dibawa ke mana.

“Haha, emang. Gue baru tahu ada tempat makan kayak begini di deket kampus.”

“Terus biasanya kalau makan siang di mana?”

“Ya di kantin Fakultas.”

“Oh, kalau sabtu minggu begini kan kantin Fakultas tutup, jadi kalau mau olahraga pas libur anak-anak biasanya pada makan di sini.”

“Ahh, baiklah. Berarti lo juga makan di sini pas weekend doang?”

“Nggak juga sih. Secara makanan di kantin Fakultas kan mahal-mahal ya. Jadi kalau duit dari bokap nyokap udah menipis, ya gue makan di sini biar lebih murah, hee.”

Safira yang tidak pernah merasakan masalah keuangan seperti Radit hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata pria tersebut. Selama berpacaran dengan Arga pun ia selalu mengunjungi tempat-tempat fancy yang biasanya mematok harga cukup tinggi untuk setiap makanan yang dijual di sana.

“Tapi lo nggak apa-apa kan makan di tempat kayak begini?” Tanya Radit.

Tempat yang dimaksud Radit memang cukup ramai, karena ada belasan pedagang makanan beserta gerobaknya yang berjejer di gang yang hanya mempunyai lebar beberapa meter tersebut. Dan karena itu, kebersihan di sekitar tempat itu jadi tidak terjaga. Namun Safira bukanlah sosok yang suka sok higienis, dan selalu nyaman berada di berbagai tempat, termasuk untuk urusan makanan.

“Santai kok gue. Jadi yang mana neh bubur ayam favorit lo?”

“Neh, yang ini...” ujar Radit sambil menunjuk ke sebuah gerobak yang berada paling ujung.

Mereka berdua pun duduk di bangku plastik berwarna merah, dan memesan dua porsi bubur ayam. Tempat Safira dan Radit berada saat ini memang tidak begitu ramai, karena hanya ada lima orang lain yang juga tengah menyantap bubur ayam di sana. Dari penampilannya, mereka tampak seperti mahasiswa kampus, meski Safira tidak mengenal mereka sama sekali.

Gerobak makanan di samping pedagang bubur ayam, justru ramai dipenuhi oleh puluhan pengunjung yang sampai harus mengantri untuk menunggu giliran. Di antara pedagang lain yang berada di gang tersebut, pemilik gerobak tersebut sepertinya merupakan yang paling laris.

“Itu yang di sebelah emang selalu ramai begitu yak?” Tanya Safira.

“Ho’oh. Jualan lontong sayur sih, jadi orang-orang pada suka. Dianggap lebih bisa bikin kenyang dibanding bubur ayam kayak gini.” Jawab Radit.

“Jadi penasaran, rasanya seenak apa ya? Hahaa.”

“Kapan-kapan kalau ke sini lagi cobain aja. Tapi jangan pas di jam-jam ramai kayak begini, bakalan lama nanti ngantrinya.”

“Iya sih, itu aja udah sampai desek-desekan gitu. Berasa rebutan mau masuk konser BTS.”

“Ciee yang ARMY,” ujar Radit menyebut istilah khusus untuk fans boyband K-Pop terkenal itu.

Safira hanya tersenyum saat mendengarnya. Dalam hati, ia merasa pilihannya untuk lari pagi hari ini benar-benar tepat. Selain bisa menjaga kebugaran, ia pun bisa bertemu mahasiswa lain yang ia kenal seperti Radit, dan merasakan pengalaman sarapan di tempat tidak biasa seperti ini. Ia pun berniat untuk lebih sering melakukannya di kemudian hari.

Tak berapa lama kemudian, dua mangkuk bubur ayam pun tersaji di hadapan Safira dan Radit. Sang perempuan tampak menambahkan kecap ke dalam mangkuknya, lalu mengaduk bubur dan topping di atasnya hingga tercampur menjadi satu kesatuan.

“Ternyata lo tim bubur diaduk ya, Saf? Hee,” ledek Radit. Ia sendiri tampak tidak melakukan apa-apa terhadap bubur ayam miliknya, dan lebih memilih untuk menyantap hidangan tersebut dari pinggir.

“Wah, kita beda sekte neh ya. Hahaa...” jawab Safira sambil tersenyum.

“Pantes lo jadiannya sama Arga ya, bukan sama gue.”

Mendengar hal itu, Safira tidak menjawab. Terlihat sedikit perubahan di raut wajahnya yang jelas mengundang perhatian Radit.

“Eh, sorry kalau kata-kata gue salah. Lo lagi ada masalah ya sama dia? Baru sadar belakangan kayaknya kalian udah jarang jalan bareng di kampus,” ujar Radit berusaha mengembalikan mood mahasiswi cantik tersebut.

“Nggak apa-apa kok, Dit. Santai aja. Gue... Gue udah putus sama Arga.”

Pria muda tersebut tampak kaget, hingga ia hampir tersedak cakwe yang merupakan salah satu topping tambahan di bubur ayam miliknya. “Eh, dari kapan?”

“Beberapa minggu lalu, lah. Tapi, lo nggak usah bilang sama siapa-siapa ya, biar orang-orang pada tahu sendiri aja nanti.”

“Haa, tenang kalau soal itu. Gue bukan orang yang comel dan suka ngegosip kok. Cuma kaget aja karena kalian kan terkenal sebagai Couple Goals di kampus.”

“Ya, ternyata dalam menjalin hubungan percintaan ada aja hambatan yang bisa merusak. Kadang dari pihak yang jauh dari kita, kadang dari pihak yang dekat dengan kita.”

“I see, gue paham kok.”

“Lo sendiri, sekarang lagi pacaran sama siapa?”

“Hahaa... Gue bukan tipe orang yang suka pacaran sana-sini, Saf. Penginnya gue jatuh cinta sama satu orang, jalin hubungan selama beberapa waktu, terus langsung nikah, hee.”

“Wah, kalau begitu harus ketemu sama orang yang tepat dong dari awal?”

“Ya, harapannya sih begitu. Terlalu naif ya gue?”

“Hmm, sebenarnya bebas aja sih lo mau cari cewek yang kayak gimana. Cuma dari pengalaman sama Arga gue belajar kalau kita mungkin merasa mengenal seseorang dengan sangat baik, tetapi ternyata ada banyak hal yang ia tutupi di belakang kita. Dan untungnya kita cuma pacaran. Kalau itu terjadi pas udah nikah, gue nggak tahu lagi deh gimana ceritanya.”

“Ahh... Lo bener banget sih. Kalau masih pacaran bisa putus begitu aja. Kalau udah nikah, apalagi udah punya anak, pasti akan berat banget. Terutama buat lo sebagai cewek ya?”

“Nahh, bener tuh. Tapi kalau lo sebagai cowok harusnya sedikit lebih santai lah.”

Radit pun menghela nafas panjang. Ia tidak menyangka obrolannya dengan Safira pagi ini berubah menjadi diskusi yang begitu serius.

“Ya, kita lihat nanti aja, Saf. Gue juga masih ingin bangun karir dulu, cari duit yang banyak, biar kalau nikah bisa kasih makan anak bini dengan baik.”

“Gue juga sama, Dit. Pengen lanjut S2 dulu biar bisa dapet kerjaan yang oke. Setelah itu baru mikir soal yang namanya pernikahan.”

Meski berkata seperti itu, dalam hati Safira sebenarnya merasa gamang. Ia tidak yakin bahwa kehidupannya setelah ini bisa semulus itu, apalagi setelah apa yang terjadi antara dirinya dengan Pak Dar. Sang rektor pasti tidak akan melepaskan dirinya begitu saja, termasuk setelah dia menjadi seorang eksekutif muda yang sukses nanti.

“Udah, jangan bengong aja, Saf. Itu bubur lo sampe dikerubuti lalat begitu,” tegur Radit.

“Eh, iya. Thanks udah ngingetin, Dit.”

Mereka berdua pun melanjutkan santap pagi mereka sambil ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan perkuliahan mereka masing-masing. Dari situ, Safira jadi tahu bahwa Radit bisa kuliah di Universitas Jaya Abadi berkat beasiswa yang ia terima. Kondisi ekonomi pria muda tersebut ternyata tidak sebaik Safira yang orang tuanya kaya raya.

Radit bercerita bahwa ia sebenarnya sudah hampir masuk ke perguruan tinggi negeri yang biayanya lebih terjangkau. Namun sebuah masalah di keluarganya membuat Radit terlambat untuk mendaftar, sehingga tidak bisa mengikuti tes masuk. Untungnya, ia mendapat beasiswa dari sebuah perusahaan yang memang sedang aktif mencari bibit unggul untuk diberikan bantuan. Hal itulah yang membuat Radit akhirnya bisa kuliah di Universitas Jaya Abadi.

“Berapa semuanya, Bang?” Tanya Safira begitu bubur ayam di mangkuk miliknya telah tandas.

“Sama minum jadi empat puluh ribu, Neng.”

Safira kemudian memberikan selembar uang lima puluh ribuan, yang langsung dikembalikan dengan uang pas oleh sang pedagang bubur.

“Eh, kok lo jadi bayarin gue, Saf?” Tanya Radit yang juga telah menghabiskan sarapannya.

“Nggak apa-apa, kan? Sekali-sekali, Dit. Hee,” jawab Safira sambil tersenyum.

“Kalau gitu, gue bales anterin lo pulang aja ya. Boleh kan?”

“Nggak usah, gue bisa pulang sendiri kok.”

“Emangnya lo bawa kendaraan ke sini?”

“Nggak sih. Tapi gue bisa naik ojek online nanti. Lagipula rumah kontrakan gue nggak begitu jauh,” jawab Safira sambil menyebut nama daerah tempat dia tinggal.

“Nah, yaudah mending bareng gue aja naik motor,” lanjut Radit sedikit memaksa. Pria tersebut masih merasa tidak enak karena Safira telah membayar makanan mereka, padahal ia yang mengajak Safira untuk makan di situ.

“Hmm, boleh deh. Tapi emangnya lo bawa helm dua?”

“Nggak sih, tapi santai lah kalau ke rumah lo. Deket begitu, nggak akan ada polisi.”

Safira pun akhirnya menyetujui ajakan Radit. Selain agar ia jadi tidak perlu repot memesan ojek online, mahasiswi cantik tersebut pun mengerti bahwa sang pria muda hendak membalas kebaikannya yang sudah membayar makanan mereka berdua. Selama keduanya sama-sama enak, tidak ada salahnya berbagi kebaikan, bukan?

“Oke deh, Dit.”

“Sipp, kalau begitu. Mau jalan sekarang?”

“Boleh.”

Mereka berdua pun beranjak ke area parkir motor yang berada di dekat trek lari. Tampak beberapa mahasiswa lain yang sedang jogging melirik ke arah mereka. Yang pria seperti iri akan kebersamaan Safira dan Radit, sedangkan yang perempuan merasa mempunyai bahan gosip baru untuk dibicarakan di kelas. Tetapi pasangan mahasiswa tersebut tampak tidak menggubris hal tersebut, karena merasa tidak ada perasaan apa-apa di antara mereka.

Walau begitu, ketika motor telah mulai berjalan, Radit mulai bisa menghirup aroma harum dari parfum yang dikenakan Safira, meski sudah sedikit tertutupi keringat. Apalagi kondisi jalan yang sedikit bergelombang dan banyak polisi tidur secara otomatis membuat Safira sesekali merangkul pinggang Radit agar tidak terjatuh. Sebagai seorang pria, Radit jelas tidak bisa bohong kalau ia mulai bisa merasakan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuhnya saat hal itu terjadi.

Duh, mimpi apa aku semalam, sehingga Safira sang kembang kampus bisa aku boncengin pulang hari ini. Mana dia habis putus dengan pacarnya pula. Apa itu artinya peluangku terbuka untuk bisa menjadikan dia kekasih? Huft, mimpi gue sepertinya mulai kelewatan, pikir Radit dalam hati.

Seperti mahasiswa lain di Universitas Jaya Abadi, Radit jelas sempat mempunyai mimpi untuk bisa menjalin hubungan dengan Safira yang cantik jelita. Namun pria tersebut menyadari bahwa strata sosial dari kondisi keuangan orang tua dan popularitas di kampus, ia jelas kalah jauh. Rasanya bagai pungguk merindukan rembulan, apabila Radit berani menaruh harapan kepada perempuan itu. Bisa berdekatan dengannya seperti hari ini saja sudah merupakan anugerah tersendiri baginya.


***​


Begitu sampai di rumah kontrakannya, Safira terkejut karena sudah ada sebuah mobil yang sangat ia kenal tengah terparkir di depannya. Radit jelas tidak tahu siapa pemilik mobil tersebut, karena itu ia hanya berpikir bahwa mobil yang tergolong mewah itu adalah milik Safira.

“Thanks ya, Dit. Udah nganterin gue.”

“Sama-sama, Saf. Gue pamit dulu ya. Bye.”

“Bye, Radit.”

Dalam hati, sebenarnya ada sedikit keinginan Safira untuk memaksa Radit membawanya kabur jauh-jauh dari rumah ini. Namun hal itu tentu tidak mungkin. Selain karena sang pemilik mobil tersebut bisa mencarinya kemanapun ia bersembunyi, Safira pun tidak mau melibatkan Radit yang tidak tahu menahu soal permasalahan yang tengah dihadapi. Sungguh egois rasanya apabila Safira memperumit masalah dengan meminta bantuan orang lain, yang mungkin sudah pusing dengan masalah mereka sendiri.

Dengan langkah gontai, Safira pun masuk ke dalam rumah lewat pintu depan yang tidak terkunci. Seperti yang ia duga, seorang pria tua tampak sedang duduk di sofa panjang yang berada di ruang tamunya. Saat melihat kedatangan Safira, pria tersebut tersenyum.

“Baru pulang dari mana, Safira?”

“Tadi baru jogging di kampus, Pak,” jawab Safira dengan wajah tertunduk. Ia memang selalu merasa ketakutan apabila sedang berdua di tempat sepi dengan sang pria tua.

“Kok nggak bilang? Kalau tahu kan saya bisa nyusul, lalu kita jogging bareng.”

“Maaf, Pak. Tadi saya lupa ngasih kabar.”

“Oh. Lalu tadi kamu pulang sama siapa?”

“Sama Radit.”

“Radit yang mantan ketua BEM itu?”

Safira mengangguk. Pria di hadapannya jelas mengenal sosok Radit yang pernah memimpin organisasi kemahasiswaan tertinggi di kampus selama beberapa waktu, sehingga mereka sering berinteraksi satu sama lain.

“Kamu sekarang pacaran sama dia?”

“Ng-Nggak, Pak. Tadi kami cuma ketemu pas jogging di kampus, kemudian dia menawarkan untuk mengantar pulang.”

“Benar cuma begitu?”

“Betul kok, Pak,” ujar Safira berusaha meyakinkan pria tersebut.

Sang pria tampak diam sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu. Ia tampak ragu dengan jawaban Safira. “Oke, lah. Anggap saya percaya dengan jawaban kamu.”

“Ada apa Bapak ke sini?”

“Memangnya nggak boleh? Kamu lupa perjanjian kita kalau saya boleh melakukan apa pun terhadap kamu? Termasuk datang ke rumah ini kapan pun aku mau?”

Safira jelas tidak bisa melupakan perjanjian laknat yang telah menjerat dirinya tersebut, termasuk merebut keperawanannya. Sampai saat ini ia sebenarnya masih terus mencari cara untuk lepas dari kesepakatan itu, meski belum berhasil menemukannya.

“Bukan begitu, Pak Dar. Tapi ini kan masih lingkungan komplek, saya cuma takut akan ada omongan tidak baik kalau seorang rektor terhormat seperti Bapak sering-sering datang kemari.”

“Lingkungan sini kan sepi, tidak akan ada yang melihat dan peduli seberapa sering saya datang ke sini.”

“Maaf kalau Bapak tidak berkenan. Saya hanya takut orang tua saya...”

“Kamu takut orang tua kamu tahu kalau anak gadis kesayangan mereka kini telah menjadi gundik rektor tua seperti aku? Hahahahaa… saya justru menanti-nanti saat saya bisa bertemu dengan Ibu kamu yang molek itu.”

Safira benar-benar merasa terhina karena ucapan pria bernama lengkap Darmadi tersebut. Namun perempuan muda itu juga tahu kalau tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menolak keinginan pria tua itu. Ia pun hanya diam saja dan tidak membalas sepatah kata pun.

“Saya punya berita penting untuk kamu. Saya yakin kamu akan tertarik untuk mendengarnya, karena itu saya bela-belain datang langsung ke sini.”

“Berita apa itu, Pak?”

“Nanti saja saya cerita. Kamu lebih baik bersih-bersih dulu sana,” perintah sang rektor tua.

“Ba-Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu,” jawab Safira sambil berjalan melewati Pak Dar, dan langsung menuju anak tangga yang akan membawanya ke kamar tidur di lantai dua.

Dari belakang, Pak Dar melihat gerakan gemulai Safira yang tampak begitu seksi meski masih mengenakan pakaian olahraga. Bokongnya yang montok tampak tidak bisa terlindungi oleh celana training yang ia kenakan. Kombinasi perut yang rata dan payudara yang montok pun tidak bisa tertutupi oleh kaos lengan panjangnya yang cukup ketat. Meski sudah beberapa kali melihat tubuh mulus nan indah di baliknya, tetapi Pak Dar tetap terangsang melihat mahasiswi cantik itu.

Tanpa disadari oleh sang pemilik rumah, pria tua tersebut pun mengikutinya dari belakang.


***​


Safira baru saja masuk ke dalam kamar saat ia menyadari bahwa Pak Dar turut mengikutinya. Mahasiswi tersebut sempat mencoba menutup pintu kamar, agar bisa menjadi penghalang dirinya dengan bandot tua tersebut, tetapi gagal. Pak Dar telah terlebih dahulu menahan pintu dengan tangannya, lalu menerobos masuk ke dalam kamar tidur Safira yang penuh dengan nuansa merah muda.

“Sepertinya langsung kita mulai saja pestanya, Manis. Aku sudah tidak tahan lagi ingin mencicipi manisnya madu,” ujar Pak Dar dengan senyum yang menjijikkan.

MEHN2HQ_t.png


Safira yang kembali merasa ketakutan pun melangkah mundur ke belakang, berusaha menjauh dari pria tua tersebut. Namun ukuran kamar yang tidak terlalu besar, membuat ia tak lama kemudian tersandung tempat tidur dan jatuh di atasnya. Mahasiswi tersebut sadar bahwa hari ini ia harus kembali melayani nafsu bejat sang rektor.

“Saya mohon hentikan, Pak. Saya tidak mau lagi melakukan ini,” ujar Safira memelas.

Namun otak Pak Dar sepertinya telah tertutup oleh kabut nafsu yang menggebu-gebu, sehingga ia tidak bisa lagi berpikir dengan jernih. Apalagi posisi Safira yang kini sudah terlentang di atas ranjang, dengan pakaian olahraga yang membentuk tubuh seksinya, benar-benar memancing libido setiap pria yang melihatnya.

“Berani sekali kamu berkata seperti itu. Apakah lebih baik kalau aku melakukan sesuatu yang bisa membuat pendidikan kamu berantakan? Itu yang kamu mau?” Ancam Pak Dar sambil ikut naik ke atas ranjang dan menindih tubuh Safira.

Dengan rasa takut, Safira menggelengkan kepala. Tampaknya ia memang harus menyerah untuk yang kesekian kalinya, dan merelakan tubuh indahnya menjadi target dari nafsu birahi sang rektor. Kini pilihannya hanya dua, terus berusaha menolak dengan resiko akan membangkitkan amarah Pak Dar, atau menikmati saja apa yang akan terjadi setelah ini.

“Aku benar-benar tidak habis pikir mengapa Arga mencampakkan kamu demi perempuan lain,” bisik Pak Dar tepat di telinga Safira yang masih tertutup jilbab. “Padahal kamu mempunyai tubuh yang benar-benar seksi, seperti bidadari.”

Pak Dar mulai menyentuh payudara Safira dari luar kaos lengan panjangnya yang berwarna abu-abu. Pria tua itu langsung bisa merasakan betapa empuknya kedua gunung kembar tersebut. Dan karena pemiliknya masih berusia sangat muda, payudara tersebut masih terasa kencang, berbeda dengan perempuan paruh baya yang pernah dinikmati sang rektor, termasuk mantan istrinya.

“Tidak usah bawa-bawa Arga, Pak,” desis Safira, yang birahinya mendadak ikut naik seiring tubuhnya yang makin berhimpitan dengan Pak Dar.

“Kenapa, Sayang. Kamu masih cemburu dan sakit hati ya karena dia mengkhianati kamu? Harusnya dia yang kecewa karena tidak bisa mendapatkan keperawanan bidadari surga seperti kamu, Safira Maharani,” balas Pak Dar sambil mengecup bibir sang mahasiswi dengan mesra.

Bibir Pak Dar jelas tidak bisa dibilang segar, karena usia pemiliknya yang sudah tidak lagi muda. Namun pengalamannya yang banyak, membuat sang rektor tahu betul bagaimana teknik terbaik untuk mengecup bibir seorang perempuan, serta waktu yang tepat untuk menggunakan lidahnya dalam lumatan tersebut. Setelah berkali-kali diperlakukan seperti itu, Safira pun melemah dan mulai mengendurkan penolakannya.

“Saya ingin menikmati akhir pekan ini dengan menginap di sini, boleh kan Safira sayang?” Tanya Pak Dar lagi, sambil melepaskan kaos yang ia kenakan. Dadanya yang sudah dipenuhi lemak di sana-sini pun jadi terbuka bebas.

Safira langsung membayangkan apa saja yang akan dilakukan Pak Dar kepadanya selama berada di rumah kontrakannya tersebut, dan mahasiswi tersebut langsung merasa mual karenanya. Harga diri dan kehormatannya yang selama ini ia jaga, pasti akan langsung runtuh menjadi bulan-bulanan sang rektor. Posisinya sebagai duda seperti memudahkannya untuk melakukan itu, karena ia tidak perlu khawatir dicari oleh orang lain saat bermalam di rumah Safira.

“Bukannya Bapak tadi bilang kalau ada berita bagus untuk saya? Mengapa kita tidak mulai dengan itu saja?” Ujar Safira berusaha mengalihkan pembicaraan, meski remasan tangan Pak Dar yang bertubi-tubi dilancarkan ke payudaranya telah membuat birahi mahasiswi itu naik. Apalagi kemudian tangan sang rektor mulai masuk ke balik kaos lengan panjangnya dan menyentuh langsung perut dan dada Safira.

“Kamu ini benar-benar nggak sabaran banget sih? Nggak mau nunggu sampai saya puasin kamu dulu? Hehehe.”

“Kalau bisa dibicarakan sekarang, kenapa nggak Pak?”

“Baiklah, kalau itu mau kamu. Siapa tahu hal ini bisa membangkitkan gairah terpendam yang kamu miliki,” ujar Pak Dar sambil menarik jilbab yang dikenakan Safira, dan langsung mengusap-usap lembut rambut indah sang perempuan yang tergerai. “Ada berita bagus soal pengajuan beasiswa kamu untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri.”

“Maksud Bapak?”

“Saya telah bicara dengan beberapa rekan, dan setelah proses negosiasi yang panjang, saya bisa meyakinkan mereka bahwa kamu adalah mahasiswi yang cerdas dan layak mendapat kesempatan tersebut,” jawab Pak Dar sambil mengecup-ngecup leher Safira yang masih tertutup keringat.

“Ngggghhh... Ssssssshhhh... Yang benar Pak? Jadi, proposal beasiswa saya diterima?” Tanya Safira di sela-sela desahannya. Dalam hati, mahasiswi tersebut merasa begitu berbunga-bunga, karena impiannya selama ini akan menjadi kenyataan.

“Iya, kamu hanya perlu menyelesaikan pendidikan S1 kamu yang akan berakhir sebentar lagi, setelah itu kamu bisa langsung melanjutkan S2 ke kampus pilihan kamu kemarin.”

“Mmmmppphhh... Te-Terima kasih, Pak.”

“Hanya ada satu syarat yang kurang...”

“Syarat apa itu, Pak?”

Pak Dar tiba-tiba menghentikan aktivitasnya untuk menatap tajam kedua mata Safira dari atas. “Ada seseorang di posisi penting yang belum yakin dengan kapasitas kamu.”

“Lalu?”

“Kamu tahu lah, Safira. Kamu harus... meyakinkan dia... bahwa kamu benar-benar mahasiswi yang pantas untuk mendapatkan beasiswa tersebut,” ujar Pak Dar sambil mengusap pipi indah sang mahasiswi.

“Maksud Bapak saya harus...”

“Iya, kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan.”

Pak Dar tersenyum nakal, dan kembali melancarkan remasan demi remasan ke arah payudara Safira. Ia tidak sadar bahwa perempuan yang ia tindih tersebut tengah menangis dalam hati, menyesali nasib buruk yang seperti terus menimpanya tanpa henti.

Apakah ini memang jalan hidup yang perlu aku jalani? Apakah seperti ini jalan yang harus aku tempuh untuk mendapatkan apa yang aku mau?


***​


Ingatan Safira pun kembali ke saat ini, di mana perempuan cantik itu tengah berada di bangku belakang sebuah taksi online. Ia sedang dalam perjalanan menuju sebuah apartemen yang berada di kawasan elite.

Tak sampai satu jam, Safira pun telah sampai di lobby gedung apartemen tersebut. Dengan langkah kaki yang anggun, ia langsung menuju lift dan menekan sebuah tombol yang menandai nomor lantai yang ingin ia tuju. Tak lama kemudian, Safira pun sampai di depan sebuah pintu apartemen, dan menekan bel.

Cklek.

Tiba-tiba terdengar suara pelan dari pintu di hadapan Safira. Perempuan tersebut coba memutar gagang pintu, dan ternyata pintu tersebut sudah dalam posisi tidak terkunci. Ia pun langsung masuk ke dalamnya.

Seperti yang sudah diduga oleh Safira, interior apartemen tersebut memang cukup mewah, dengan perabot yang berkualitas dan berharga mahal. Namun hal itu tentu bukan alasan Safira datang ke apartemen tersebut. Perhatiannya pun tertuju ke pintu kamar tidur yang terbuka. Ia pun langsung berjalan ke arah ruangan itu.

Di dalamnya, telah ada seorang pria yang hanya mengenakan jubah mandi kimono berwarna putih. Begitu ia menyadari kedatangan Safira, pria tersebut langsung tersenyum sembari melepaskan jubah yang ia kenakan. Ia sudah tidak mengenakan apa-apa lagi di balik kimononya, hingga kemaluannya yang sudah tegak pun jadi terlihat jelas menantang.

Melihat hal itu, Safira menampilkan senyum termanisnya.

Perempuan tersebut kemudian mendekati sang pria yang kini tengah duduk di pinggir ranjang. Begitu berada tepat di hadapannya, Safira langsung melepas sepatu yang ia kenakan. Setelah itu, mahasiswi cantik itu pun menurunkan legging hitam yang ia pakai. Tubuhnya yang indah masih terbungkus oleh baju terusan yang memanjang hingga betis.

“Yang di dalam juga dibuka dong,” ujar sang pria.

Safira kembali tersenyum, lalu menunduk untuk menarik celana dalamnya yang berwarna merah muda ke bawah, hingga terlepas. Ia kemudian memberikan celana dalam tersebut kepada sang pria, yang langsung mendekatkannya ke hidung dan menghirup aromanya yang khas.

“Hmm, aku suka sekali aroma memek kamu di celana dalam ini.”

Tanpa memberikan jawaban, Safira langsung naik ke pangkuan pria tersebut dengan posisi berhadapan. Karena itu, ujung kemaluan sang pria pun bisa langsung bersentuhan dengan bibir vagina mahasiswi tersebut.

“Ada yang sudah tidak sabar rupanya,” ujar sang pria.

Safira kembali tersenyum. Ia bahkan bertindak lebih aktif dengan cara menggerakkan pinggulnya yang indah, hingga ujung kulup pria tersebut tergesek-gesek oleh liang senggamanya. Kini, tampak pemandangan menggairahkan seorang perempuan yang masih mengenakan dress panjang dan jilbab berwarna hitam, tengah mengangkangi kemaluan seorang pria yang secara usia dan penampilan tidak pantas menjadi pasangannya. Namun Safira tampak tidak peduli dengan hal itu dan terus melanjutkan aktivitasnya.

“Saya suka akhwat yang suka mengambil inisiatif seperti kamu,” ujar pria tersebut sambil memeluk tubuh indah Safira, dan mengusap-usap punggungnya. “Semua sesuai pesanan. Manis dan ramah.”

“Saya hanya ingin memberikan yang terbaik. Saya selalu ingin menjadi yang terbaik,” bisik Safira lirih, sambil mengecup bibir pria tersebut dengan mesra.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd