Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Fandi

CHAPTER 6 : MAYA, MITA DAN TEMANNYA

Sabtu senja itu aku kembali dari kantor, sengaja aku masuk dihari libur ini sampai sore hari, niatku adalah menyelesaikan lebih dini tugas yang diberikan kantor kepadaku walaupun tenggat waktu dari klien masih cukup lama, kami memberi istilah ini dengan sebutan kejar setoran, ini dimaksudkan agar aku dapat jatah libur yang cukup lama dari kantorku. Malah aku rencananya akan pulang malam, toh dirumah juga gak ngapa2in, lagian kan malu dong aku malam minggu harus dirumah sementara yang lainnya pada ngelayap entah kemana, tapi karena kulihat mendung telah bergelayut di langit, aku mengurungkan niatku semula, kuputuskan untuk pulang lebih cepat.
Tiba dirumah, dalam keadaan sepi, biasalah sabtu menjelang malam minggu begini, semua seolah2 berebut untuk meninggalkan rumah, tinggal aku sendiri yang seolah ditugaskan menjaga rumah, paling2 dengan bi Iyem yang kalo sepi matanya seolah gak mau lepas dari sinetron di tivi kamarnya.

Aku baru menyadari bahwa hari ini Tante Mala tidak ada dirumah, semalam dia berpesan kepadaku untuk menjaga dan mengawasi adik-adik sepupuku, beliau hendak terbang ke kota J untuk menyusul sang suami disana. Om Mirza meminta kepada Tante Mala untuk datang menemaninya karena beliau mendapat undangan pernikahan dari seorang pejabat disana, mungkin Tante Mala dan Om Mirza akan kembali hari senin lusa.

Saat memasuki rumah, tak sengaja aku melihat pemandangan 2 sosok mahluk cantik di ruang makan, kulihat didepanku sesosok wanita cantik berpenampilan sexy, baju coklat terusan dengan rok mini sewarna, mungkin sekilas aku memandangnya seperti layaknya wanita mengenakan daster, seandainya tidak ada ikat pinggang yang menempel dipinggangnya, dan pernak-pernik accessoris yang banyak menghinggapinya. Dengan riasan yang cukup mencolok bagi mata lelaki untuk memandangnya lebih dalam, entah siapa gerangan, aku baru kali ini melihatnya. Disebelahnya kulihat Mita tersenyum juga memandangku, dan membuatku terpana melihatnya, dengan kemeja putih lengan pendek, dipadu dengan rok hitam yang cukup mini, menampilkan kakinya yang jenjang bagaikan kaki jangkrik yang panjang, pahanya yang putih menantang seolah mengajak setiap pria untuk mengelus dan merabanya hingga keatas.

Tampak tersenyum kepadaku, aku memandangnya penuh tanda tanya dan berusaha membalas senyumnya. Seolah dapat membaca jalan pikiranku, bibir indahnya bergerak disusul kemudian dengan meluncurnya suara yang renyah “Sore Kak, baru pulang kerja ya ?” katanya, mungkin karena melihatku berpakaian kemeja dengan celana katun serta ditanganku ada tas kerja hitam menggantung. Aku tersenyum mengiyakan menjawab pertanyaannya dan berpaling ke arah Mita seolah untuk meminta penjelasan. “A Fandy, ditungguin juga dari tadi, kirain Aa pulang malam, ini temen Mita, namanya Ira, , kenalin A’, kita berdua mo ke ulang tahunnya Diah, eh kebetulan Aa Fandy pulang “ katanya meluncur begitu saja seolah memberikan keterangan kenapa dia memakai baju seperti itu.

Aku menjulurkan tanganku ketika dia kulihat hendak menjulurkannya, berjabat tangan, halus, putih dan mulus layaknya wanita2 yang berasal dari kota ini. Kulihat dia tersenyum, manis tapi matanya seolah memancarkan kegenitan, kutatap sekilas sambil kukatakan namaku kepadanya lirih. Duh, cewek model begini nih yang bikin deg-degan, dengan dandanan yang cukup berani dan gayanya yang kecentilan bukan mustahil ini adalah gambaran model cewek gampangan yang dengan beberapa lembar uang kertasan kita mudah untuk menikmati tubuhnya.

Aku mengambil tempat duduk di meja makan itu, kulihat kedua anak itu juga telah kembali duduk, sambil menikmati cheesecake didalam piring kecil yang tersedia dimeja, dengan duduknya yang terlihat sembrono, pahanya yang terbuka lebar seolah tak perduli aku duduk didepannya, seperti berusaha memancing aku untuk melihat jauh kebawah meja makan yang terbuat dari kaca ini.

Aku jadi terpancing untuk ikut menikmati kue yang ada dimeja, kuambil air putih segelas, meminumnya dan mencomot kue dipiring seakan aku ingin menikmati kue tersebut, padahal aku ingin melihat dan menikmati cara duduknya yang sembrono itu. Sambil berbasi basi sejenak menanyakan padanya kemana Moza dan Maya ?, ia menjawabnya dengan acuh tak acuh sambil terus berbicara kepada Ira dengan pembicaraan yang aku tak nyambung sama sekali. Ia bilang bahwa Moza belum kembali dari kuliah dan Maya ada dikamarnya, mungkin nonton televisi.

Tak lama kemudian Mita dan Ira mengangkat badannya dan berkata kepadaku, “A, Mita pamit dulu, mo berangkat “ sambil menoleh padaku dan memandangku ringan.

Kata-katanya yang bilang mau pamit bukan ijin, seakan mengatakan padaku bahwa ia tidak perlu minta ijin kepadaku, toh aku bukan kakak kandungnya yang harus minta ijin-ijin segala. Namun aku seolah tak rela, mengijinkannya pergi dengan pakaian yang seperti itu, bukan mustahil ada lelaki2 iseng yang mencoba untuk menggodanya, bahkan mencoba untuk menjamahnya.

Kupandang sejenak keduanya, dengan menarik napas, seolah2 ingin menunjukkan rasa wibawaku, “Oh, iya deh Mit, tapi hati2 ya ? dan pulangnya jangan terlalu malam”. Kataku perlahan seolah aku perduli padanya, khawatir dan ingin dia pulang dengan cepat dan utuh.

Mereka bergerak cepat, seolah2 tak ingin kehilangan moment yang sangat penting. Aku memperhatikan keduanya, duh cara berpakaian mereka terlalu berani, dengan lenggok tubuh yang aduhai dari keduanya bak peragawati yang berjalan diatas catwalk, dimana menyuruh aku untuk memandang dan memperhatikannya seolah aku akan memberinya nilai, berjalan centil menghilang dari balik pintu.

Aku berjalan meniti tangga keatas, menuju kekamarku, bermaksud untuk mandi agar badanku terlihat segar, kulewati kamar Tante Mala yang kini tampak tertutup dan terkunci. Melewati kamar Mita dan Maya, terbuka lebar, kulihat dikamar maya sedang duduk dibawah beralaskan karpet, dengan kepala menghadap televisinya, tidak menyadari bahwa aku memperhatikannya dari belakang. Dengan kaos dan celana pendek seperti biasanya, serius menonton acara di televisi.

Aku berjalan terus, melewatinya pintu kamarnya, menuju kamarku, membuka baju, mengambil handuk dan menuju kamar mandi, menyegarkan badanku, mengguyur kepalaku dengan air yang dingin, cukup memberikan kesegaran kedalam otakku, yang seharian kukerahkan untuk berpikir.

Selesai mandi, berganti pakaian dengan pakaian dinasku yang biasa, celana pendek belel dan kaos gombrang. Keluar kamar berencana kebawah untuk melihat menu dimeja dan makan malam.

Kulewati kamar Maya, pintu masih terbuka, dan kutengok kedalamnya, kulihat Maya masih serius dengan acara tivi di depannya. Entah timbul pikiran darimana, hendak kuisengi dia, aku menghampirinya perlahan, duduk pelan2 dibelakangnya tanpa suara, tanpa dia menyadarinya, aku memeluknya kencang dari belakang sambil berteriak mengagetkannya “Serius Amat !”.

Maya kaget bukan alang kepalang, sambil menjerit kencang, berusaha bergerak untuk melepaskan pelukanku terhadapnya, berusaha untuk meronta dan bangkit berdiri. Namun gerakannya itu ternyata berakibat fatal. Karena kencangnya pelukanku, malah membuatnya terdorong kedepan, dan membuatku ikut terbawa gaya tariknya, sehingga membuat kami berdua terguling. Posisi badanku kini berada dibelakangnya sambil rebahan, tanganku yang semula memeluk pinggangnya, kini telah pindah kedadanya, memegang payudaranya !.

“Ih Aa, iseng banget sih, ngagetin Maya aja !” katanya kepadaku sambil memperlihatkan mimik mukanya yang seolah-olah hendak marah, aku hanya cengengesan aja, dan menjawabnya ringan “Lagian serius banget, kalo yang masuk perampok gimana ?, ntar kamu diapa2in ma itu perampok gimana coba ?”, “Yee, biarin aja, gaklah, bodo amat” katanya sambil memonyongkan mulutnya. Aku tertawa ringan dan membalas perkataannya cepat, pura-pura tak menyadari bahwa tanganku sedang berada didadanya, menyentuhnya dan sepertinya ia tidak menyadarinya juga.

“Emang kamu lagi nonton apaan sih May ?, segitu seriusnya” kataku, dan Maya menjawabnya, “nonton sinetron, lagi seru-serunya nih !” katanya lagi, dan sepertinya ia menyadari keadaan kami, berusaha bangkit. Aku melihat situasi seperti itu, melepaskan tanganku kananku didadanya dan menaruhnya dipantatnya. Maya mengangkat badannya sejenak seolah memberi keleluasan buat tangan kiriku yang tertindih badannya di bawah ketiaknya untuk menariknya, Namun ia tidak bangkit bangun, malah menarik bantal didepannya dan menaruhnya dikepalanya, tetap tiduran dengan posisi memiringkan tubuh membelangiku. Aku menaruh tangan kiriku dibelakangnya sejajar badan miringnya, sementara tangan kananku tetap berada dipantatnya, Otak Iblisku mulai berjalan.

“Emang kamu gak ada rencana keluar May ?, kan sekarang malem minggu” begitu kata-kata yang meluncur keluar dari mulutku untuk membuka percakapan, Maya menjawabnya ringan, “Ngapain keluar, capek ah, males, mendingan nonton teve “, katanya, “Ya, kali aja jalan ma temen2 cewek kamu, kali aja nemu cowok dijalan, hehehehe” kataku menggodanya, “Yaa, Aa kayak gak tau aja, temen-temen Maya semuanya rata2 udah pada punya cowok, cuman Maya doang yang belum, tauk !” katanya sambil tetap manyun dan terus mengarahkan matanya ke televisi didepannya.

Dasar memang otak iblisku yang bekerja, sepertinya tanpa kuatur dengan pikiran jernihku, aku mengangkat tangan kiriku mengarahkannya untuk menopang kepalaku, dan tangan kananku kuarahkan untuk menaruhnya dikepalanya, serta mengelus-elus rambutnya.

Dengan posisi kepalaku yang terangkat ditopang oleh tangan kiriku, kini kepalaku tepat berada dibelakang kepalanya, lebih tinggi dari rebahan kepalanya, seolah ikut rebahan dan ikut menyaksikan acara televisi yang ditintinnya. Aku merapatkan badanku ke badannya, pantatku tanpa disuruh mulai bergeser untuk maju merapat kepantatnya, tepat mengarahkan dedeku yang berada dicelana dalam menyentuh garis belahan pantatnya. Maya seakan tak perduli dan mungkin tak menyadari akan hal ini, karena ini merupakan hal yang biasa sering aku lakukan.

“duh kesian, Ade Aa yang satu ini, belum punya cowok, jadi belum tau dong gimana enaknya pacaran !” kataku lagi. “hmmm..., Tauk Ah” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Maya, dan seolah berusaha untuk tersenyum. “Biarin deh May, kita senasib”, kataku lagi sambil cengengesan, Maya tidak menjawabnya dan seakan2 tidak mendengar, ia tampak serius menyaksikan acara teve didepannya.

Aku seperti kehilangan akal, terdiam sejenak, kemudian segera memindahkan tanganku yang mengelus2 rambutnya meraih pinggangnya, dengan berpura2 serius ikut menyaksikan acara televisi didepannya. Aku memeluknya erat, seakan membantu badanku untuk makin merapat ke badannya. Dedeku semakin tegang dan mengeras.
Maya sepertinya diam tak bereaksi, namun kurasakan dia malah seakan menyorongkan pantatnya ke belakang, mempersilahkan dedeku untuk makin merapat dengan pantatnya. Aku yang mulanya hanya berusaha menempel ketat saja dengan hanya mengharapkan adanya tekanan terhadap Dedeku, tanpa disuruh mulai meningkatkan serangan.

Sambil pura2 ikut menyaksikan acara televisi, tanganku yang berada dipinggangnya mulai turun dan mulai mengelus2 bagian pinggangnya, pura2 untuk memijitnya, kadang memijit hingga kebelakang punggung dan perutnya.

Mungkin karena ada perasaan tak enak dan ada perasaan lain, karena kulihat maya tampak serius dengan acara di televisinya, setelah beberapa saat, aku akhirnya menghentikan kegiatanku, kurebahkan badanku, menarik pantatku, menarik tanganku yang menempel dibadannya.

“Yah A, kok berhenti sih, enak bener nih, Maya kan lagi pegel, mana perut maya lagi sakit nih, pijitin lagi dong A, terusin !” tiba2 kudengar Maya berkata kepadaku sambil berhenti menatap televisi dan memalingkan kepalanya ke arahku.

"Yee… kirain gak mao, gak taunya malah minta nambah” kataku sambil menggodanya, “Orang tadi Aa iseng doang, sambil ikutan nonton !, ya udah kamu berbalik lagi kaya tadi” kataku lagi dan mulai merapatkan lagi badanku ketika badannya sudah dalam posisi seperti awal tadi.

Entah darimana mulainya, aku memijit2 bagian punggung badannya, sambil tentu saja merapatkan dedeku ke pantatnya yang bahenol itu, dan pandangan mataku seolah turut menyaksikan acara tivi yang ditontonnya, padahal pikiranku menerawang entah kemana. Kadang pijitanku bergerak nakal, mencari daerah jajahan baru untuk dikuasainya.

Kadang aku memijit punggungnya, bergerak terus kebawah, kearah pinggangnya, menekan keras sampai ia menjerit lirih dan seakan bahwa yang aku pijit adalah daerah yang mengalami sakit cukup parah, sehingga memerlukan terapi yang khusus, aku mulai memberanikan menaikkan kaos yang dikenakannya hingga memperlihatkan pusarnya dan menurunkan tali celana pendeknya hingga beberapa centi kebawah. Membuat celana dalamnya yang berwarna pink terlihat.

Seperti yang sudah-sudah, bagaimanapun sifat manusia selalu kurang dalam mencari kepuasan, aku mulai berani menurunkan celana pendeknya hingga kebawah sekali nyaris mencapai batas bawah celana dalamnya itu, hingga jelas terlihat bahwa celana dalamnya seperti melorot kebawah. Maya sepertinya diam, tak perduli dengan keadaannya dan tampak menikmati pijitanku. Dan tanpa diketahuinya aku memelorotkan celana pendekku juga dan menempelkan celana dalamku ke celana dalamnya. Sehingga dedeku dan garis pantatnya hanya hanya dibatasi 2 lembar kain tipis saja.

Aku mulai berani memijit kearah depan pantatnya, seolah memberi pijitan, lebih tepat rabaan, kepahanya dan menyentuh pinggiran tonjolan daging didepannya. Memberinya tekanan, menyuruhnya lebih menekan lagi ke Dedeku. Entah mungkin akibat rabaan2 yang kulakukan terhadapnya, kelihatannya Maya mulai terpengaruh. Pada saat aku mengulanginya untuk keberapa kali, memijit pahanya dan menyentuh tonjolan dagingnya, kulihat matanya melirik kepadaku dengan tatapan lirih dan sayu.

Ia mulai terangsang. Entah berapa lama ini kulakukan, dedeku semakin tegang. Aku pura2 capek memijitnya, mulai melepaskan pijitan dipantatnya dan meraih pinggangnya dengan telapak tanganku menyentuh perutnya. Kurebahkan kepalaku dibantal dimana kepalanya juga berada disitu, terpejam.

Tanganku mulanya hanya menyentuh diperutnya, dengan jempolku diatas pusarnya. Mulai bekerja kembali, tidak memijitnya namun mengusap-usapnya bagaikan seorang ayah yang menenangkan bayi yang dikandung istrinya. Namun itulah yang mungkin justru membuat maya semakin terangsang. Ia mulai melenguh pendek, membiarkan tanganku diperutnya dan menarik kaosnya kedepan agar lebih longgar bagi tanganku didalamnya. Entah pikiran darimana, hal ini seakan memberikan lampu hijau kepadaku untuk lebih jauh.

Dengan mataku yang terpejam, sementara badanku merapat erat dibelakang badannya. Aku melancarkan seranganku terhadap maya semakin gencar, tanganku melewati pinggangnya, mengelus2 perutnya, mengelus bawah pusarnya, menelusup kedalam celana pendeknya, meraba tonjolan dagingnya, kurasakan bulu2 yang mengumpul bagaikan permadani yang terhampar, menyentuhnya sebentar seolah tanpa sengaja, menariknya kembali keatas. Maya seakan pasrah, tanpa perlawanan, seolah tak menyadari apa yang akan kulakukan terhadapnya. Aku mulai melebarkan rabaanku, mengelus perutnya berputar keatas pusarnya, menyentuh ujung batas bawah BH pinknya dengan jempolku, terus berputar meraba, diam sejenak menunggu reaksi maya terhadapku, apakah ia akan menghentikanku, meraih tanganku dan menyentakkannya keluar dari badannya ?.

Namun hal itu tidak terjadi, maya seolah menunggu aksiku untuk melangkah
lebih jauh, memindahkan tangannya yang semula menindih tanganku, menjadi berada diatas kepalanya menutupi kupingnya. Mataku tetap terpejam seolah yang kulakukan ini adalah mimpi, seakan aku mengigau melakukan sesuatu yang tak kusadari. Tanganku mulai keatas, meraba payudaranya yang tertutup bra merah jambu itu, menyentuhnya bebas seakan milikku dan tak ada seorangpun yang berhak melarangnya. Merabanya dan hanya menekannya sesaat, menunggu reaksi penolakan yang tak kunjung tiba. Giat aku mencari pemenuhan kepuasan, aku mulai meraba lebih jauh keatas, menyentuh buah dada yang tak tertutup oleh bra, mengelusnya pelan, memberikan rangsangan terhadap pemiliknya. Kebawah lagi, membelai dan menekan bra yang menempel, meremasnya perlahan, kudengar suara Maya seperti merintih tertahan, namun tetap membiarkan. Aku semakin buas menjamahnya, meremasnya bagaikan sobekan kertas, menarik BH-nya kebawah, membiarkan putingnya mencuat keluar. Kembali meremasnya, menjepit putingnya dengan telunjuk dan jari tengahku, memutar2kan telapak tanganku, memberinya sensasi yang mungkin belum pernah dirasakannya.

Kurasakan puting payudara Maya yang sebelumnya kecil dan lunak, kini semakin panjang dan mengeras, begitu juga dengan payudaranya, yang semula lembek dan seakan landai bagaikan lembah, kini bagaikan gunung yang menjulang tinggi. Namun aku tak berani melangkah lebih jauh, ingin aku membalikkan badannya yang miring itu, telentang dan aku menindih diatasnya. Remasan tangan kananku di payudaranya semakin tak terkendali, aku sangat menikmatinya, tak terasa Dedeku yang menempel erat di garis pantatnya seakan tak terkendali, seakan pantatku turut bergoyang untuk mengarahkan dedeku agar lebih menikmati sensasi yang ada. hingga kudengar dari mulut Maya suara yang lebih tepat dikatakan rintihan.... “Aa...” hanya itu kata yang keluar dari mulutnya. Namun itu cukup menyentakku dan menyadarkanku akan apa yang telah kulakukan.

Kuhentikan gerakanku, kutarik BH-nya dan kututupi kembali payudaranya, kuraih tanganku, diam sejenak. Kurebahkan badanku telentang, menjauhinya, mengatur napas agar normal, diam beberapa saat. Kusesali apa yang barusan terjadi, aku bangun berdiri, memperhatikannya sesaat, kutatap wajahnya, kulihat matanya terpejam seolah tertidur. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan, tak ada gerakan apapun darinya, entah itu memprotes terhadap apa yang telah kulakukan kepadanya atau pun lainnya. Kubalikkan badanku, membelakanginya, meninggalkannya keluar ke arah kamarku.

Aku menghempaskan badanku, merebahkan diri dalam ranjang tempat tidur, mendengarkan suara rintik hujan yang datang, entah apa yang kurasakan, seolah pikiranku kosong seiring dengan air yang jatuh dari langit, melayang, menjemput impian.

Terjaga aku dalam nyenyakku, kurasakan dingin menyelimutiku, hingga kesumsum tulangku. Berusaha mencari kehangatan dengan meraba dalam kegelapan, mencari selimut. Namun rasa dingin menyergap dan semakin terasa, sepertinya tubuhku tak kuasa menahannya dengan perut laparku !. Kupaksakan diriku untuk bangun beranjak keluar dari ranjangku, kupicingkan mata dalam kegelapan, memandang kedinding untuk bertanya kepada sang waktu. Jam menunjukkan pukul 1 lebih 10 menit, lewat dari tengah malam, melangkah gontai aku berjalan keluar kamar, melangkah pelan, yang kutuju adalah ruang makan !.

Kuperjalan setengah terpejam, dalam keremangan lampu koridor, kulirik kamar Moza, sore tadi kamar yang kulihat gelap gulita, kini telah diselimuti lampu temaram, yang menandakan bahwa kamar itu telah berpenghuni, dan penghuninya mungkin telah tertidur pulas. Melewati kamar Maya, menengok ke arah dalam pintu yang terbuka lebar, sekilas diranjang sebelah kiri kulihat maya tertidur dengan posisi miring menghadap tembok, pulas. Aku tak melihat ranjang disebelah kanan, karena terhalang oleh daun pintu yang tertutup sebelah. Kuteruskan langkahku, meniti anak tangga, kebawah menuju ruang makan.

Kuhampiri meja makan, terdapat piring yang tertelungkup beberapa, kubuka tudung saji, meletakkannya disalah satu bangku, dan kubalikkan piring, mengambil nasi yang sudah menjadi dingin secukupnya mengambil lauk yang tersedia beberapa, mulai menyuapnya, mengunyahnya dan menelannya dengan terpaksa. Dalam keheningan malam, serasa hidup didalam hutan belantara, sendirian, melamun, menerawang sambil sedikit demi sedikit menjejalkan makanan mengisi rongga perutku.

Tiba-tiba dalam keheningan malam kudengar suara mobil, yang semula pelan, semakin keras dan menderu, mendekat. Berhenti seperti mendadak mengerem dengan decitnya, suara mesin terdengar seperti aku mengenalnya, hapal akan suaranya. Terdengar suara mesin menggerung seakan memastikan bahwa posisi kopling berada dalam posisi netral dengan diikuti injakan pedal gas yang dalam untuk memastikannya. Terperanjat aku melirik kearah ruang depan, seakan ada cahaya menyinari dari balik gorden, terang sesaat, menandakan bahwa mobil tersebut berhenti di depan rumah ini.

Segera aku bangun, bangkit dari kursi, meninggalkan nasi dalam piring yang sedikit lagi habis, bergerak menuju ke depan. Kunyalakan lampu ruang depan, sambil bertanya dalam hati, siapakah gerangan ?. saat lewat tengah malam begini rupa, mencoba menentramkan hatiku dengan mengira kalo itu adalah mobil Om atau Tanteku yang baru kembali dari luar kota dan memutuskan untuk pulang lebih awal. Kubuka perlahan gorden ruang tamu, mencoba tetap tenang namun tetap waspada, mengintip dari celah gorden yang tersibak. Terperanjat aku melihat ke arah luar !.

Tampak diisana, kulihat Mita sedang menutup pintu mobil sebelah kanan, lalu berjalan memutar mengelilingi mobil, membuka pintu mobil sebelah kiri, berbicara sejenak, tak lama kemudian kulihat temannya tadi siang yang bernama ira keluar, kulihat Mita meraihnya, merangkulnya dan memapahnya setelah menutup pintu mobil.

Bergegas aku bergerak ke arah pintu, memutar anak kunci pintu dan membukanya, menghampiri Maya yang terlihat berat memapah temannya, “Ya ampun Mit, darimana ? kok jam segini baru pulang sih ?”, namun sepertinya aku tak memperoleh jawaban, hanya kudengar suara seperti orang menggeram, atau melenguh, kuperhatikan wajahnya sesaat, tampak mukanya merah dengan sorot mata yang dipaksakan untuk membuka. Kulihat lagi wanita yang disebelahnya yang dipapahnya, berusaha keras untuk berdiri, juga dengan mata setengah terpejam, berusaha untuk berjalan. Kucium bau menyengat dari arah mulut keduanya, bau yang tak asing bagiku, minuman keras !.

Dengan mengambil posisi ditengah2 keduanya, kubimbing mereka menuju kedalam rumah, tangan mereka berdua berada dibahuku dan tanganku berada dibahu keduanya, berjalan pelan menuju ruang tamu, mendudukkan mereka.

Aku meninggalkan mereka sambil menggelengkan kepala, berjalan keluar, menutup garasi yang memang terbuka mungkin sejak sore, dan kembali kearah pintu masuk, menguncinya dan memastikannya bahwa rumah dalam keadaan safety. Pikiranku berputar keras, darimana mereka ? apa yang telah terjadi terhadap mereka ?, bukankah mereka tadi pamit kepadaku untuk menghadiri pesta yang diadakan temannya ? Kenapa Mita pulang2 tampak seperti mabuk ? giting, teler, namun ada yang lebih kucemaskan, seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan, apa yang akan kulakukan ? bagaimana Mita dapat menyetir mobilnya dalam keadaan seperti itu ? Bagaimana bila terjadi kecelakaan menimpanya ?

Berjuta pikiran berkecamuk didalam otakku, memikirkan Mita, menyudutkanku, seolah aku tak peduli dengan adik sepupuku ini, membiarkannya terjadi, namun ini bukan seperti Mita yang kukenal, sepertinya ia terpengaruh oleh teman-temannya, biar dikatakan cewek gaul, ia mengikuti ajakan temannya untuk meminum minuman keras.

Memasuki ruang dimana kududukkan Mita dan Ira, kulihat mereka seolah tak perduli kepadaku, mereka saling memandang kemudian entah apa yang dibicarakan, seolah berbisik dan kemudian tertawa keras, sejenak kuperhatikan, dengan rok mini yang dipakai keduanya, tak peduli dengan keadaannya, duduk sembrono. Mita kulihat mengangkat kaki kanannya dan menyilangkannya ke salah satu sandaran tangan yang terletak dipinggiran kursi mebel, seolah tak perduli dengan posisinya, rok mininya seperti tertarik keatas pinggangnya, memperlihatkan selangkangannya yang ditutupi celana dalam warna putih.

Kulihat Ira lebih parah lagi, merebahkan kepalanya ke sandaran tangan mebel itu, kakinya yang kanan diletakkannya diatas, dan kaki kirinya dijulurkannya kebawah, kelantai, dengan posisi seperti itu, jangankan hanya selangkangannya, celana dalamnya pun terlihat sampai kebagian atas, celana dalam berwarna putih itu menampakkan bayangan hitam diatasnya. Kutertegun sejenak menatap mereka. Apa selanjutnya yang harus kulakukan ?

Aku berpikir sejenak, lalu kuputuskan untuk memindahkan mereka keruang atas, memikirkan situasi terburuk yang akan terjadi, seandainya sang kakak melihatnya dalam kondisi seperti ini, atau Bi iyem melihatnya, dan mungkin yang lebih parah lagi bila kedua orang tuanya melihatnya, aku takut memikirkannya seandainya Om Mirza atau Tante Maya pulang lebih awal dan melihat kondisi Mita seperti ini. Tentu semuanya akan berbalik kepadaku.

Kuangkat dan kupapah mereka, berusaha berjalan tertatih-tatih, pelan namun pasti, bergerak menuju lantai atas. Mereka menurut saja dengan apa yang kulakukan, mengikuti langkahku dengan berat. Kutarik napas panjang setelah selesai meniti anak tangga, terengah sejenak, lalu melangkah kembali, menuju kamar Mita. Kubuka perlahan daun pintu yang terbuka setengah, kulihat Maya tertidur, terlentang, tak sadar dengan apa yang terjadi, kulihat saking pulasnya, kaos bajunya terbuka keatas, memperlihatkan Bra-nya sebagian, mengingatkan aku dengan apa yang terjadi tadi sore.

Bingung kusesaat, dimana aku harus menaruh kedua wanita ini, kulihat dengan ukuran kamar yang sama besar denganku, terdapat 2 tempat tidur yang kecil, yang hanya cukup muat ditiduri oleh satu orang, sedangkan dibawahnya kulihat hanya terdapat karpet tipis kecil polos yang mungkin muat satu orang, namun banyak buku berserakan disana. Setidaknya aku harus membereskannya terlebih dahulu.

Aku berpikir cepat, entah darimana ide ini, aku bergerak balik keluar, kupapah keduanya melewati lubang pintu yang sama, bergerak kearah kamarku, kuputuskan untuk menaruh keduanya dalam kamarku, toh nanti setelah membaringkan keduanya dalam tempat tidurku yang cukup besar, yang mampu menampung dua orang atau malah cukup untuk tiga orang, aku dapat menumpang tidur dikamar Maya, diranjang tidur Mita.

Memasuki kamar, mungkin antara sadar dan tidak, Mita sepertinya sudah tak tahan untuk merebahkan dirinya, dan mungkin juga akibat kendornya peganganku terhadap Mita, kulepaskan Mita yang seolah hendak terjatuh kelantai, sambil memegang lengan bahuku, mencari tempat yang nyaman diatas karpet tebal di lantai kamarku. Setelah memastikan posisi tubuhnya aman, dia segera merebahkan dirinya.

Sementara Ira, masih dalam papahanku, kuraih tubuhnya dengan tangan kiriku yang semula memegang Mita, merangkulnya dan hendak mengangkatnya kepembaringan. Cukup berat memang mengangkat tubuh montok yang tingginya hampir sebaya denganku. Aku berusahan untuk mendudukkannya dipinggiran pembaringan, tangannya berada dibahuku, memeluk leherku, dengan mata berusaha membuka, berupaya melihat siapa yang berada didepannya. Aku tak peduli, kedorong tubuhnya untuk membiarkannya berbaring, dan celakanya dengan mendorongnya, karena tangannya masih melingkar dileherku, justru membuat badanku ikut terbawa, terhempas kedepan!.

Tertegun aku sejenak, posisi badanku kini menindih ira, kepalaku tepat diatas kepalanya dan kurasakan hembusan napasnya dihidungku, sangat dekat. Kulihat ira menatap mataku, saling menatap, sekilas. Entah siapa yang memulai, dan seakan insting membimbingku, padahal hati kecilku seakan menolak, kurengkuh kepalanya seakan menyuruhnya mendongak, kusentuh bibirnya dengan bibirku, lembut, dan entah bagaimana, seolah tangan yang berada dileherku seakan berpindah kebelakang kepalaku, menariknya agar lebih mendekat, merapatkan kedua wajah kami.

Kurasakan kedua bibir kami saling bertautan, saling mencengkram, berusaha mendahului satu sama lain, saling menguasai, berusaha untuk memonopoli. Merengkuhnya, melumatkan bibirnya, memainkan lidahku didalam rongga mulutnya. Posisi badanku mulai mencari tempat yang pas, dan Ira seperti mengerti akan keadaan, dia mengangkat kakinya, bergeser dan membuka pahanya agar lebih terbuka dan membiarkan aku berada ditengah2nya. Aku seakan memanjat tebing, berusaha menjalari tubuhnya, memposisikan diriku agar berada pas diatas badannya.

Bibirku bergeser ke pipinya menuju arah lehernya, menciuminya, memancing gairahnya yang mulai meledak, terus menuruninya, bergerak ke arah dadanya. Tanganku seolah mengerti akan tugasnya, kutarik dari belakang leher yang menimpanya, berusaha menjamah badannya, meraba sekujur tubuhnya dari mulai paha terus keatas, kepinggang, perut dan mengarah ke dada. Kutarik bagian atas bajunya yang menutupinya dadanya sebagian. Menariknya sehingga memperlihatkan tonjolan dadanya yang putih, dan ranum itu. Aku mencium dada bagian atasnya, mengecupnya perlahan dan memainkan tanganku di dadanya yang menggumpal. Menekannya, merabanya dan meremasnya perlahan, kulihat dari mulutnya terdengar suara lirih melenguh, dengan mata terpejam.
Aku mulai menuruninya, kuturunkan kepalaku, sesekali mulutku meraba tubuhnya, menciumi baju luarnya, terus kebawah, ke atas kemaluannya hingga mencapai pahanya. Kutarik keatas baju yang menutupinya, seolah mengerti akan kemauanku, diangkatnya pinggangnya, menyorongkannya ke depan, dan membuka ikat pinggang besar yang melingkari pinggangnya, menariknya dan melemparkannya kebawah.

Aku makin beringas dan seolah ikut tak sadarkan diri, kuciumi bagian bawah pahanya, merabanya dengan kedua tanganku, dan menggerakkan bibirku untuk menciumi selangkangannya dari luar CD-nya. Seakan tak puas atas apa yang telah kulakukan, dan menginginkanya lebih dari itu, dia memegang bagian bawah bajunya, menariknya keatas hingga keleher, diangkatnya kepalanya, disusul dengan mengangkat badannya, duduk dan meloloskan bajunya melewati kepala, menaruhnya disebelahnya dan kembali merebahkan badannya.

Kini dihadapanku tergolek tubuh setengah telanjang, hanya dengan Bra dan Celana dalam warna krem menutupinya, menatapku setengah terpejam, berharap aku untuk menyelesaikan apa yang telah kumulai. Aku melirik ke lantai, bawah ranjang, tampak tergolek disana tubuh Mita, tak mengetahui apa yang telah terjadi diatas ranjang ini. Sejenak kutatap wajahnya, kulihat lengannya menutupi matanya, seperti berusaha agar memejam. Kupikir saat itu situasi dalam keadaan aman terkendali. Kembali mataku menatap ke depan, menatap tubuh mulus yang tergolek setengah sadar.
Kuangkat kaos bajuku, mengeluarkannya lewat kepala, melemparkannya kebawah. Sesaat kemudian badanku menjalar, menindih tubuh didepanku. Menciuminya kembali bertubi-tubi, bibir sensualnya, lehernya, dadanya, menarik Bra hingga payudaranya menyembul keluar.
Seolah mengerti akan keinginanku dan mengharapkan lebih perlakuanku, ketika aku terus merabanya, menciuminya turun terus kebawah, kearah selangkangannya, Ira menyorongkannya badannya kedepan, menarik pengait BH dibelakangnya, melepaskannya, saat yang sama, aku menarik celana dalamnya, memelorotkannya kebawah lewat ujung kakinya.

Kuraba paha mulus, jenjang, putih dihadapanku, menundukkan wajahku ke arah selangkangannya, menghembuskan napas diatas dataran paha yang rata, licin tak berdempul itu, menciuminya sesaat dan mengarahkan bibirku ke vaginanya. Kuendus perlahan, terasa aroma yang sensasional, menggiringku untuk lebih mendekat, menjulurkan lidahku dibawah tonjolan bukit landai itu, merasainya. Kubelai permukaan celah sempit itu dengan lidahku, seolah mencicipi es cream saat pertama kalinya, dan menjulurkannya kembali, menjalarinya dengan lidah, mengecapnya berulang-ulang.

Kudengar rintih halus yang keluar dari mulut Ira, desahan-desahan lembut yang diiringi bunyi napas yang semakin tak beraturan, diikuti gelengan kepala kiri kanan yang semakin cepat. Tangannya diarahkannya ke belakang kepalaku, berusaha menekan kepalaku, berharap agar aku melakukan penetrasi lebih dalam, dan membuka jarak antara kedua pahanya semakin lebar, memberikan ruang kepadaku agar aku dapat memasukinya lebih dalam.

Tanganku tak tinggal diam, kuangsurkan keatas, mengarah ke dadanya. Kubelai pelan kedua buah dada yang kini telanjang itu, bulat, lonjong, kenyal. Merabanya, menekannya, merasakan kedua putingnya berada dalam rengkuhan telapak tanganku. Berusaha mengumpulkannya dalam genggaman, agar dapat merengkuhnya sekaligus. Meremasnya dengan lembut namun semakin lama semakin gemas. Desahan dan rintihan Ira semakin terdengar jelas, disusul oleh bunyi kecupan bibir dan lidahku, seprei yang semula rapih kini telah kusut dan tertarik kemana-mana. membuat kesan bahwa di kamar itu sedang terjadi aktifitas.

Sesaat pikiranku kosong, melayang entah kemana, menikmati sensasi yang ada, melupakan keadaan sekeliling, hanya terfokus pada satu keinginan, memuaskan segala hasrat yang terpendam.
Sesaat kehentikan segala aktifitas, terdiam sejenak ketika menyadari ada sesuatu yang lain. Kupalingkan wajah kearah belakangku, tak jauh dari pinggir ranjangku, kulihat Mita sedang berdiri, menatap ke arah kami berdua !.

Mita yang semula kukira tertidur pulas, dibawah, dilantai karpet kamarku, tampak telah berdiri dihadapan kami berdua, mita yang semula kukira tidur terpejam, berusaha menghilangkan rasa pusing akibat minuman keras yang diminumnya, berdiri, menatap tajam, memperhatikan segala gerakan yang kami lakukan. Terhenyak aku melihatnya, terkejut !

Namun rasa terkejutku tak lama, kulihat Mita yang berdiri memandangi kami berdua, membuka kancing baju kemejanya satu demi satu, terus menerus menatap kami tak bergeming seakan tak ingin kehilangan moment.
Ira begitu menyadari bahwa aktifitas yang kulakukan terhenti, mengangkat kepalanya berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Dilihatnya aku terdiam sambil memalingkan wajah ke samping, ikut mengarahkan wajahnya ke arah pandanganku, dan dilihatnya Mita menatap kami berdua. Namun Ira seolah tak perduli akan adanya pihak ketiga, yang memperhatikan apa yang dilakukannya denganku. Dia mengangkat badannya, memelukku dan menarikku kedalam pelukannya, memintanya agar aku menindihnya, melanjutkan aktifitas yang sempat terhenti.

Aku memperhatikannya Mita dengan penuh tanda tanya, apa yang akan dilakukannya ?, karena kulihat Mita, mencopot semua kancing bajunya, mengarahkan tangannya ke punggungnya, dan tak lama kemudian kulihat ia telah memegang BH-nya disalah satu tangannya dan melepaskannya dilantai. Dengan kemeja yang kancingnya telah terbuka semua, jelas memperlihatkan hampir semua bagian payudaranya yang montok, melangkah dengan anggun, menghampiri ranjang kami.

Aku yang berada diatas tubuh Ira dengan posisi terduduk diatas pahanya, terdiam sejenak, memperhatikannya mengangkat kaki kanannya, dan menaruh lututnya di bibir ranjang, kaki kirinya menyusul kemudian, beringsut, menjejakkan pantatnya disamping pinggul Ira yang telentang, menatap wajahku dengan tatapan sayu.
Dipegangnya bahuku, direngkuhnya agar mendekat, yang membuat badanku miring kearahnya, memaksaku untuk memalingkan wajahku kearahnya, mendekatkan bibirku ke bibirnya, yang dengan segera melumatnya. Terpejam aku menikmati perlakuannya.

Seumur hidupku, jangankan membayangkan, bermimpipun aku tidak pernah mengalaminya, kini dihadapanku terdapat dua gadis manis, yang memintaku untuk mencumbunya, satu dibawahku telah terbujur polos menunggu untuk aku setubuhi dan satu disampingku dengan dada terbuka menunggu giliran berikutnya. Aku bergerak bangkit, mengangkat salah satu kakiku, melangkahi badan Ira, beringsut ke arah Mita.

Aku jongkok dihadapannya, memelorotkan celana pendek katunku, sekaligus dengan celana dalamku, menurunkannya perlahan melewati ujung kakiku dan bersimpuh dihadapan Mita, merengkuhnya, dan dibalas dengan Mita yang memelukku erat, menciumi bibirku dengan rakus, mengulumnya, memainkan lidahnya didalam rongga mulutku, dan kubalas dengan memainkan lidahku dimulutnya. Di dalam hatiku jelas aku lebih memilih sepupuku Mita dibandingkan dengan temannya Ira, dalam hal wajah Mita jauh lebih cantik, bodypun Mita lebih bagus, kulit putih, mulus, ditumbuhi bulu-bulu halus, dengan pantat yang diturunkannya dari sang ibu, dan dengan dada bulat, ranum, montok.

Ira tak tinggal diam, seakan tak rela, mainannya direbut oleh Mita, berusaha bangkit, duduk, dan memelukku dari belakang. Menjilati kupingku, menciumi leherku, dan mengusap-usap dadaku, dengan terus menekan payudaranya kepunggungku, menggoyangkan badannya seolah-olah punggungku sedang meremas payudaranya.

Aku menciumi leher Mita, tak perduli dengan apa yang dilakukan Ira terhadapku, kulihat Mita menengadahkan kepalanya, menikmati sensasi ciumanku, tangannya bergerak meraba payudaranya. Aku mengerti, kearahkan ciumanku ke dadanya, menelusuri lidahku disekeliling lingkaran merah kecoklatan putingnya. Dari payudara yang satu ke payudara yang lain, bergantian. Dan tak lama kemudian, cuimanku kuarahkan kembali ke leher dan bibirnya, tanganku merengkuh Mita, kumiringkan badanku, bergerak untuk mengambil posisi berbaring, mengajak Mita untuk menyusulku, berbaring disebelahku.

Mita mengerti akan keinginanku, tanpa melepaskan ciuman dibibirnya, mengikuti arah kepalaku, menciumiku yang kini terbaring telentang. Disisi lain kulihat Ira, yang melihatku akan berbaring, melepaskan pelukannya dipunggungku, tetap duduk diposisinya. Begitu aku terbaring, tanpa menunggu lama, kulihat ia telah memegang penisku. Menundukkan kepalanya dan mulai menciumi penisku. Dicicipinya sekujur batang penisku bagaikan anak kecil yang mendapat ice cream yang diidamkannya, membuatnya semakin keras dan menegang.

Sambil terus menikmati ciuman pada bibirku, dan aku membalas ciumannya, juga tanganku memberikan kenikmatan kepadanya dengan meremas-remas payudaranya, membuat payudaranya semakin mengeras dan putingnya semakin menegang. Mata Mita nampak terpejam sesekali terdengar lenguhan dari dalam mulutnya, rintihan, akan nikmatnya sensasi yang kuberikan.

Tak lama kulihat Mita, mengangkat pantatnya, menurunkan rok mini dan celana dalamnya, membuka bajunya, hingga tubuhnya polos tanpa ditutupi oleh sehelai benangpun. Aku terkesima menatapnya, bagian tubuh yang selama ini tertutup dan hanya kulihat bagian luarnya saja, walaupun kadang aku sering membayangkannya, dengan pakaian yang super mini yang suka dikenakan oleh pemiliknya ini, tapi saat ini aku diperlihatkannya semuanya.

Kembali ia mengarah padaku, menciumi dada, leher, dan bibirku, disusul keningku, kemudian melewati kepalaku, mengerti akan keinginanya ketika payudaranya berada diatas mulutku, kujulurkan lidah menggapainya, memainkan lidahku diputingnya, mengulumnya perlahan dan menghisapnya dengan keras untuk memberikan rasa yang lebih padanya. Sementara tangan kananku kuselusupkan ke selangkangan Mita dan memainkan jari-jariku di bibir vaginanya.

Kurasakan dipenisku ada getaran-getaran halus, kuturunkan mataku melirik Ira yang sedang memegang batang penisku, dan memasukkannya kedalam mulutku, ada rasa yang menyeruak ketika kuluman mulut ira hampir mencapai pangkal penisku dan menariknya dengan perlahan. Berulang-ulang terus sampai beberapa lama.

Aku ingin merasakan sensasi lain, lebih dari kepuasan yang ada sekarang. Aku ingin penisku merasakan sensasi baru, ingin memasukkannya ke salah satu vagina gadis-gadis ini. disaat yang genting ini ketika dirasakan ada desakan yang memuncak dari batang penisku, ketika rutinitas yang dijalani serasa belum memberikan kepuasan lebih. Kuhentikan semua gerakan, bangkit dari posisi berbaring, menarik Ira yang berada dibawahku, dekat penisku dan mengarahkannya agar menindihku.

Memahami keinginanku, Ira menindihku, kemudian menegakkan badan dan mengambil posisi duduk diatas pahaku, mengangkat pantatnya dan mengangkangiku, memegang penisku dan memasukkannya ke dalam vaginanya, pelan, pelan dan mantap menusuk.

Didalam hatiku sebenarnya aku ingin sekali memilih Mita sebagai alat pemuasanku, pemuas napsu birahiku, yang jelas aku memilih barang yang lebih bagus diantara dua pilihan, walaupun yang satu tidak kalah menariknya dari yang lain, namun otakku berpikiran lain, Mita biar bagaimanapun adalah sepupuku, masih saudara denganku, yang aku diminta untuk menjaganya, gadis lugu dan perawan yang saat ini mungkin dalam keadaan tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tegakah aku untuk menodainya, ketika dirinya dalam keadaan mabuk dan tidak sadar dengan apa yang mungkin telah dilakukannya ?.

Namun Mita seolah sadar dengan pilihanku, dia tidak beringsut menjauh, duduk disampingku, menciumiku dan memberikan kepadaku dadanya untuk aku nikmati.

Ira memberikan sensasi kenikmatan kepadaku, merem melek aku dibuatnya, menikmati goyangan pantatnya, menahanya dengan lutunya, turun naik mengarahkan penisku keluar masuk vaginanya, sesekali aku mengikuti iramanya dengan menggoyang-goyangkan pantatku kekiri dan kekanan, dan kadang mengangkat keatas pantatku agar penetrasi yang ditimbulkan lebih dalam, hingga beberapa saat.

Bangkit aku menegakkan badanku, meminta Mita agar menggeserkan badannya menjauh, kurengkuh Ira, menariknya cepat, membalikkan dan memutar badannya, memintanya merebahkan badannya dan aku mengambil posisi diatasnya. Ira seakan mengerti akan keinginanku, dibukanya pahanya lebar-lebar agar posisi pantatku bisa memasuki selangkangannya. Aku arahkan penisku lurus menuju lubang kenikmatannya, memasukkannya cepat dan menusuknya perlahan hingga mencapai titik maksimum yang dapat kuberikan.

Diangkatnya pantatnya agar penetrasi yang kuberikan lebih dalam, kutarik lagi keluar penisku, sampai ujung kepala penisku, kumasukkan lagi perlahan, begitu terus hingga kulihat Ira memejamkan matanya menikmati sensasi ini.

Kulirik Mita yang terlihat sedang duduk bersandar pada sisi atas ranjang, dengan beralaskan bantal pada punggungnya, kulihat ia sedang memainkan jari-jarinya pada vaginanya, membelai bibir vaginanya serta menggosok-gosokannya perlahan dan semakin cepat, sementara matanya mengarah padaku seakan-akan aku yang memberikan sensasi itu padanya.

Aku terus memaju mundurkan pantatku, seakan menyuruh penisku untuk bergerak maju mundur, keluar masuk. Menatap wajah ira yang terpejam namun terus menggeleng-gelengkan kepalanya, Menatap Mita yang tampak makin terhanyut dengan aktifitas yang dilakukannya, membayangkan bahwa yang sedang kusetubuhi dibawah ini adalah Mita, Aku memacu dengan penuh semangat.

Terdengar lenguhan, desahan dan rintihan dari kami bertiga, tak perduli seandainya ada orang yang mendengar suara-suara yang datang dari arah kamar ini. Peluh bercucuran dimalam yang dingin ini, berlawanan dengan udara dingin setelah hujan yang menerpa sejak sore hingga tengah malam tadi.

Ketika kenikmatan telah mencapai puncaknya, ketika tujuan akan diraih dan ketika awal telah mencapai akhirnya, entah berapa kali kulihat Ira mencapai orgasmenya, namun ketika menjelang titik kulminasi akan menyerangku, sesaat setelah Ira mencapai orgasmenya, kukocok dengan cepat penisku, dan makin cepat, memuncratkan cairan hangat putih kental ke dalam rahim Ira.

Mengerang aku sesaat, demikian juga Mita, yang juga telah mencapai orgasme dengan mastursabiny, kurebahkan badanku disampingnya, memeluknya dengan erat, merangkulnya, membagi kebahagian dan kepuasan yang baru dialami. Ia memelorotkan tubuhnya, bergeser kearah Ira yang tampak telah terbaring dengan wajah penuh kepuasan dan mata terpejam, pulas. Aku mengikutinya, mensejajarkan tubuh kami bertiga, mencium keningnya, memejamkan mata sambil berbaring memeluknya. Tubuh indah yang semula hanya berada dalam bayanganku kini berbaring bugil tidur kelelahan disampingku.

Mataku terpejam mengingat sensasi yang baru saja terjadi, namun pikiranku menerawang jauh. Ada sedikit penyesalan yang kurasakan, rasa khawatir dan takut yang datang silih berganti. Memikirkan kejadian yang tak kuduga sama sekali, membuat mataku makin sulit terpejam.

Tak berapa lama, aku menegakkan badan, bangun dari posisi rebah, melirik ke arah kiriku, dua gadis cantik tanpa busana, tampak tertidur pulas. Menarik napas perlahan seakan tak ingin membangunkan keduanya, menurunkan kakiku menyentuh lantai.

Mataku menerawang dalam keremangan cahaya kamar, mencari benda yang kutuju, pakaianku, menggapainya, dan meraihnya serta mengenakannya. Melangkah pelan, menuju sisi penjuru kamar, mencari selimut yang biasa diletakkan disana, mengambilnya dan melebarkannya, menutupi dua tubuh bugil yang tertidur pulas.

Malangkah ke arah pintu kamar, melangkah pelan, kulirik jam yang saat ini hanya satu-satunya yang bersuara. Jam 3 lewat 37 menit, kupegang gagang pintu, memutarnya, membukanya dan melewatinya. Menutupnya kembali, berjalan gontai menuju kamar Maya, mendorong pintu yang sedikit terbuka, memasukinya, menutupnya rapat-rapat.

Kurebahkan badanku, diranjang yang biasanya dipakai tidur Mita, kurebahkan kepalaku dibantalnya, kupeluk guling dan tercium wangi harum dikeduanya, wangi yang sangat kukenal, wangi yang baru saja kunikmati. Namun wangi harum itu tidak dapat mengalihkan pikiranku, pikiran-pikiran yang membuat otakku menerawang, memikirkan dengan apa yang harus kulakukan besok, memikirkan seandainya Mita sadar dengan apa yang telah kami lakukan, menyesali yang telah diperbuatnya, memikirkan jika ia marah besar, dan mengadukan hal ini kepada saudara-saudaranya, atau bahkan kepada ibunya, apa yang nanti harus kujawab bila Tante Mala menanyakannya kepadaku, memarahiku, meminta tanggung jawabku atau bahkan mengadukan kepada orang tuaku.
 
mantapppppppppppppppppppppppp!!!!!!!!!!!!!!!!


update terussssss
 
Hum...alurnya bener2 mengalir pelan...tp sebanding ama detailnya...
Dpt drmn neyh yah? Jd penasaran
:D
 
Akhirnya setelah chapter 6 baru ada exe-nya...Muantabs nih, bisa membuat imajinasi makin melayang
 
Jangan takut bro..., klo tante mala marah sama ente...., biar ane yg jadi saksinya.., siapa yg memulai dan menjadikan ente pemuas nasfu ke2 gadis tsb....., "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ
Lanjutkan bro..., ane tggu kisah selanjutnya
 
Akhirnya setelah chapter 6 baru ada exe-nya...Muantabs nih, bisa membuat imajinasi makin melayang
Lha chapter 4 kan ada. Excol = Exe colongan.....sory gan. Kayaknya gue menderita kelainan seksual. Gue suka ama cerita seks yang isinya menyetubuhi orang tidur, menyetubuhi orang pingsan, menyetubuhi orang terkena hipnotis...........orang lho bukan mayat :)
 
Lanjut dikit nih gan...nggak ada apa-apa di sini..cuma coli coli caja. Sori kalo gak sesuai harapan. soalnya gue emang senengnya yang gak vulgar banget, kalo bokep ya yang semi..:Peace:
===============================================================

CHAPTER 7 : MERABA TANTE SANDRA

Hari berganti:
“Fan, kamu nanti antar Tante yah ?” Berkata Tante Mala padaku.
Terdengar kata-katanya begitu lembut namun tegas, mengagetkanku. Saat itu aku sedang menikmati kopi di beranda atas rumah, yang menghadap kolam renang. Pagi ini seperti biasa, bangun tidur, sebelum mandi, aku menghirup kopi, menikmati sinar matahari, menghirup asap rokok sambil melamunkan entah apa. Hari itu memang aku sedang mengambil dayoff dari kantorku, aku berencana mengambil libur beberapa hari, selain badanku agak letih setelah beberapa hari mengejar target setoran kerjaan, juga maksudku adalah untuk menenangkan pikiran, yah mengistirahatkan otakku lah, lumayan dari hari kamis sampai dengan minggu.

Semalam memang aku ngobrol dengan Tante Mala, dan bilang padanya bahwa beberapa hari ini aku akan libur, namun aku tak menyangka bahwa Tante Mala akan memanfaatkan waktu liburku ini. Dari perkataan Tante Mala yang meminta aku mengantarnya seolah tak menginginkan adanya penolakan dariku. “Nganter kemana Tan ? “ aku tak mengiyakan ataupun tak menolaknya, namun hal ini jelas memberikan asumsi kepada Tante Mala kalo aku tidak keberatan namun ada penekanan terhadap kejelasan dari permintaannya. Yang jelas aku kan males aja kalo seandainya disuruh nganter ke tempat arisan atau kumpulan ibu2 yang bikin aku bete.

“Kamu gak ada acara kemana2 kan Fan ?” begitu kata Tante Mala lagi melihat keraguanku muncul, sambil tersenyum seolah membujuk aku agar tak menolaknya. “Ini Fan, Tante ada urusan sama Ibu Sandra, kamu kenal kan ? Tante minta kamu antar dan ikut Tante... kami mau ada acara..ya nanti sore-sorean aja kali Fan, abis Tante malas kalo pergi sendirian...” begitu kata Tante Mala lagi.

Begitu mendengar nama Ibu Sandra disebutkan, kontan pikiranku membayangkan sesosok tubuh. Seorang wanita setengah baya, mungkin seumuran dengan Tanteku ini kurang lebih 36an tahun. Aku memang mengetahui wanita yang dimaksud Tanteku ini, beberapa kali ia datang ke rumah ini, dan aku hanya sebatas kenal saja, beberapa kali bertegur sapa, berbasa-basi dan hanya sebatas itu, tidak lebih. Aku hanya mengiyakan saja permintaan Tante Mala, mengangguk dan menyetujui permintaannya, karen toh menolak pun percuma, lagian aku juga gak ngapa2in ini.
Sebenarnya aku sungkan dan malas mengantar Tante Mala ke rumah Ibu Sandra. Yang membuat aku segan dan malas adalah bahwa biasanya ini menyangkut bisnis perempuan dan aku enggan untuk ikut campur. Kuketahui dari pembicaraan mereka berdua yang kadang tanpa sengaja kukupingi bahwa Tante Mala dan Ibu Sandra melakukan usaha patungan untuk memperdagangkan barang dagangan, namun aku kurang jelas dengan produk yang mereka perdagangkan. Namun yang kuketahui lagi bahwa Ibu Sandra bersuamikan seorang importir yang memasok barang2 dari luar negeri dan mereka berdua memasarkannya disini.

Ibu Sandra dan Tante Mala memang kulihat tampak sangat akrab, beberapa kali Ibu Sandra datang ke rumah ini, dan Ibu Sandra nampak tak sungkan dengan keadaan rumah ini. Seolah rumah ini sudah dianggap sebagai rumahnya juga, beberapa kali beliau kulihat makan bersama, kadang ikut tiduran di ruang keluarga, kadang ikut renang dan menumpang mandi disini. Aku baru mengetahui bahwa sebenarnya Tante Mala dan Ibu Sandra dulunya adalah teman satu sekolah, dan suami ibu Sandra juga adalah teman satu sekolah mereka.

Sore itu seperti yang telah disepakati, setelah aku cukup istirahat, lumayan ketiduran pules beberapa jam, aku pergi mengantarkan Tante Mala ke tujuan yang dimaksud, tentunya setelah aku mandi dan berdandan ala kadarnya, yang jelas aku usahakan agar aku berpenampilan tidak kelihatan ndeso, namun jika kubandingkan dengan Tante Mala, jelaslah aku kalah jauh. Seperti layaknya Tuan dan Majikan, hehehehe….kuperhatikan Tante Mala berdandan dengan dandanannya yang Wah, bikin ngiler. Dengan dandanannya yang kulihat seperti serba terbuka, nampak mempertontonkan keindahan tubuhnya. Aku tak menyangka bahwa Tante Mala kelihatan seperti gadis 20an tahun, jauh menggambarkan dari umur sebenarnya.

Dengan baju entah model seperti apa, hanya dengan tali sebelah yang menggantung di pundaknya, dengan belahan dada yang cukup rendah, dipadu dengan celana ketat, jelas menimbulkan hasrat bagi setiap lelaki yang melihatnya. Aku meliriknya sesaat saat menjalankan mobilnya, melintas dipikiranku seakan-akan aku membawa cewek yang menjadi pacarku dan sedang mengajaknya kencan.

Mobil kuarahkan menuju tempat yang dimaksudkan, tak banyak perbicangan yang terjadi selama kami berada dalam mobil, beliau hanya sesekali mengajukan pertanyaan yang tidak begitu penting, hanya sekedar basa-basi sambil menunjukkan ke arah mana aku harus berbelok.

Pikiranku menerawang saat sesekali melirik wanita yang berada disebelahku ini. Dia memang Tante Mala, wanita yang sangat cantik, berbody mulus, putih, halus, montok, sexy dan segala macam kata2 yang ada aku kira tidak dapat menggambarkan ke-perfect-an tubuhnya. Wanita yang sangat kukagumi akan kecantikan dan kemolekannya, yang aku sering membayangkan, dan selalu berharap dapat menjamahnya lagi. Pikiranku jadi malayang, mengingat kejadian-kejadian selama aku tinggal dirumahnya, kejadian2 yang membuat hati ku berdesir, membuat seolah perutku tertarik.

Aku membayangkan kejadian dimana aku memijitinya, meraba2 seluruh bagian tubuhnya, meremas2 payudaranya, dan memasukkan dedeku ke vaginanya, sementara beliau sedang tertidur pulas.


Pernah sering kali, saat beliau mungkin sedang ingin berbagi cerita dengan seseorang, beliau memasuki kamarku dan mengajakku ngobrol ketika aku sedang mengerjakan pekerjaan. Kadang ngobrol hingga jauh malam, hingga membuatnya tanpa sengaja tertidur pulas. Disaat itulah pikiran kotorku sering timbul, kubiarkan ia tertidur pulas dikamarku, dan beberapa lama kemudian, dengan sengaja dan pelan2 aku ikutan merebahkan badan disampingnya.

Dan seakan ada yang membimbingku, dan mengajariku bagaimana caranya mendapatkan sensasi, aku akan berpura2 tertidur juga disampingnya, berpura2 tanpa sengaja menaikkan dasternya hingga ke batas pinggulnya, sehingga membuat pahanya terlihat, membuat celana dalamnya terbuka, dan aku akan berpura2 tertidur pulas dengan memeluknya dari belakang, menempelkan dedeku diantar garis pantatnya, dan kadang mengeluarkan dedeku agar sekedar mendapat celah untuk menyelusup dan mendekam diselengkangannya. Sementara tanganku memeluknya dari belakang, berusaha meraih payudaranya, menyentuhnya pelan, kadang sampai meremas-remasnya, hingga berhasil mencapai kepuasan.

Setelah beberapa lama aku tinggal di rumah tanteku ini, memang kadang membuatku berpikir bahwa aku telah semakin rusak dan merusakkan. Aku yang dulu dididik oleh orang tuaku dengan pendidikan agama yang cukup ketat, lambat laun kini telah berubah. Kuakui bahwa dirumah inilah aku mengenal sex, merasakanya langsung. Selama ini kukenal sex hanya sebatas pengetahuan saja, dan merasakannya hanya dengan membayangkannya saja.

Aku mulai nekat ingin merasakan sex, ketika aku berada dirumah ini, ketika aku mulai melihat dengan mataku sendiri, wanita-wanita cantik di rumah ini, yang notabene adalah bukan muhrimku, yang sering memancing birahiku ketika aku melihat mereka dalam keadaan yang membuat kelaki-lakianku bangkit. Semakin lama aku tinggal di rumah ini, kurasakan bahwa aku semakin tidak dapat mengendalikan hawa napsuku. Aku semakin rusak, ketika malah sebaliknya, hawa napsukulah yang mengendalikan aku.

Sering aku membuat salah satu dari mereka, entah Tante Mala, Mita atau Maya yang menjadi bahan dari masturbasiku, mungkin hanya Mozalah yang selama ini belum pernah aku sentuh. Tante Mala sering kujadikan objek seksualku saat ia sedang terlelap, si bungsu Maya malah seolah belajar dari aku bagaimana caranya mendapat sensasi dalam urusan seks ini, tidak jarang sepertinya Maya mungkin sewaktu ada “keinginan” dan tidak tahu harus melakukan apa, meminta padaku untuk memuaskan keinginannya itu entah dengan cara memeluk-meluk aku dan membiarkan aku menjamah seluruh tubuhnya hanya sekedar ingin merasakan rangsangan yang memberinya kepuasan.

Mita anak keduanya, bahkan pernah hampir saja melakukan hubungan terlarang denganku, melakukan hubungan seksual denganku kalo saja aku tidak dapat menguasai dan mengendalikan napsuku, ia kulihat memang lebih berpengalaman dari saudara-saudaranya, ia yang mulanya sangat aku takutkan untuk mengadukan kejadian tersebut ternyata hanya berkata kepadaku untuk melupakan semua yang terjadi serta tidak membuka rahasia ini kepada siapapun, dan justru itu yang membuat aku merasa “aman”.

Pernah suatu ketika saat kami semua beramai-ramai berolah raga renang, hampir semua wanita2 dirumah ini mejadi objek seksualku, dari sekedar menyentuh, meraba seolah tanpa sengaja, hingga menempelkan dedeku dibagian tubuhnya. Hingga aku sempat merasakan kesan bahwa aku merusak mereka. Entahlah yang jelas mereka semua adalah menjadi objek atau bahan colai/masturbasi ku.

Aku semakin melamun, membuat aku yang sedang menyetir mobil tanteku ini, tidak dapat berkonsentrasi, membangunkan dedeku sehingga membuat celanaku menonjol keluar, kulirik ke sebelah, tampak tanteku sedang mengarahkan pandangan ke depan, melihat ke arah jalan yang kulewati. Aku membayangkan bahwa Tante Mala saat ini, sedang menggodaku, menurunkan baju merah ketatnya, memperlihatkan payudaranya, menyentuhnya, memancingku untuk melihatnya, memintaku untuk menyentuhnya, merabanya dan meminta aku untuk meremasnya.

Duh, seandainya yang disebelah kiriku ini adalah pacarku, mungkin aku sudah meng-apa-apain-nya sejak tadi, aku mungkin sudah menarik bajunya, menyembulkan payudaranya keluar, memegang dan meremas-remasnya sambil menyetir kendaraan ini, duh seandainya ia bukan Tanteku….

Tak terasa mobil yang kukendarai telah sampai di tempat tujuan, hari menjelang maghrib ketika ketepikan mobil di depan garasi sebuah rumah yang cukup asri, mungil namun memberi kesan bahwa rumah tersebut dimiliki oleh orang yang berkecukupan. Tante Mala turun dari mobil, dan memintaku untuk menyertainya turun. Mulanya aku enggan dan mengatakan padanya bahwa aku lebih baik menunggunya di mobil saja, namun Tante Mala mengatakan padaku bahwa kemungkinan akan lama dan meminta aku menyertainya.
Aku akhirnya mendampinginya untuk memasuki rumah itu, membuka pagar dan mengiringi langkah kaki Tante Mala masuk ke dalam rumah. Kulihat ada sebuah mobil terparkir digarasi dalam rumahnya, terus aku menghampiri pintu depan. Belum sampai kami di depan pintu dan hendak mengetuknya, kulihat pintu depan rumah terbuka, dan nampak dibalik pintu seraut wajah cantik dan ramah menyapa kami berdua.

“Hai, jadi juga rupanya kalian datang, sudah ditunggu tunggu sejak tadi, kirain gak pada jadi datang” sambutnya ramah, sambil membuka pintu lebar-lebar. Tante Mala tampak disambut gembira oleh Tante Sandra, keduanya berpelukan sembari cium pipi kanan dan pipi kiri, yang membuatku menjadi jengah, dan inilah yang membuat ku agak bersemu, tanpa sungkan2 Ibu Sandra, memberikan aku cipika-cipiki juga. “Eh Fandi, kmu ikut juga toh, gitu dong sekali2 maen ke rumah Tante “ katanya sembari mencium pipi ku. Aku hanya tersenyum mendapat perlakuannya, yang semula aku ingin memanggilnya dengan sebutan ibu, kini seolah mendapat penghargaan dengan disuruh untuk memanggilnya Tante.

Aku menjadi bersemu merah karena pada saat itu Tante Sandra mengenakan baju tipis, transparan warna kebiru-biruan, dengan bercelana santai , mungkin saat itu beliau baru selesai olehraga sore dan karena dirumah ini kulihat tidak ada siapa2 selain beliau seorang diri jadi mungkin Tante Sandra cuek saja dengan dandanannya.
Namun jelas ini membuat pikiranku miring, dan mukaku menjadi bersemu merah, bagaimana tidak, biar bagaimanapun aku adalah seorang lelaki yang jelas jika melihat pemandangan seperti ini membuat kelaki-lakianku bangun.

Rumah itu kulihat kecil saja, hanya terdapat ruang tamu, ruang keluarga dan hanya 2 kamar tidur, hanya terdapat foto Tante Sandra dan Suaminya yang belakanganan kuketahui bernama Om Herman, mereka telah menikah belasan tahun namun hingga kini belum dikaruniai anak. Kulihat di foto yang dipampang, tampak Om Herman dengan wajahnya yang bersih, ganteng layaknya Om Mirza, lelaki penuh kematangan dan kemapanan tersenyum dengan jas hitam.
Memasuki ruang tamu, aku diminta untuk terus ke ruang keluarga dan dipersilahkan duduk olehnya. Tante Mala tampak dirumah itu bagaikan rumahnya saja, sama seperti Tante Sandra dirumah kami, itu diperlihatkan dengan cara Tante Mala yang sepertinya sudah hapal dengan keadaan rumah itu, duduk di sofa sambil mengangkat kaki dan langsung merebahkan diri.

Tante Sandra tanpa basa-basi memintaku untuk tidak sungkan, untuk mengambil minum sendiri karena dirumah itu ia hanya seorang diri katanya, tanpa pembantu. Dan berkata kepada kami bahwa ia akan mandi, berdandan dan bersiap-siap. Aku hanya tersenyum dan mengiyakannya, kulihat Tante Mala, bangkit berdiri dan mengikuti Tante Sandra masuk ke Kamar Tante Sandra, mereka tampak berbicara didalam, kemudian kulihat Tante Sandra memasuki kamar mandi didalam ruang kamar tidurnya dan aku hanya menunggu di ruang keluarga dan sambil membaca buku yang tergeletak di meja dan sesekali melirik ke arah kamar yang tidak tertutup.

Tak berapa lama kulihat Tante Sandra selesai mandi, kulirik dari pintu yang tidak tertutup rapat, dengan seenaknya sambil berbicara dengan Tante Mala, Tante Sandra kulihat menggosok-gosokkan badannya dengan handuk, mengeringkan badannya, dan melemparkan handuk ke arah ranjang, tanpa menyadari bahwa aku melihat aktifitas yang dilakukannya. Aku hanya dapat menahan napas berusaha mengendalikan hawa panas dan jantung yang berdegup kencang, dan berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain.

Tak berapa lama, kulihat kedua wanita itu telah keluar kamar, aku memandangnya sekejap, kulihat 2 wanita yang sama2 cantik, berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Tante Mala dengan baju merahnya yang ketat, menampilkan sosok keindahan wanita yang elegan, dengan payudara yang padat merayap menonjolkan lekuk tubuh yang padat berisi, sementara disampingnya berdiri dengan gaun warna hitam wanita yang tak kalah seksi, dengan baju berbelahan rendah, memperlihatkan hampir duapertiga isinya, membuat laki-laki yang melihatnya menahan napas, berkacamata bening, menimbulkan kesan anggun. Aku hanya terpaku dan tersenyum melihat mereka berdua. Kalo saja mereka meminta pendapatku soal penampilan mereka, entahlah, apa yang harus kuucapkan, mungkin aku hanya dapat tersenyum saja dengan memasang tampang muka bego.

Kupikir tujuanku hanya sampai dirumah ini, namun akhirnya kuketahui bahwa, malam itu mereka akan mengadakan acara makan malam, Om Herman akan mengajak mereka makan malam. Mulanya yang akan di ajak makan malam adalah Tante Mala dan Suaminya, Om Mirza, namun karena Om Mirza kebetulan saat ini sedang sibuk2nya dengan proyek diluar kotanya, maka Tante Mala memutuskan untuk menyertakan aku, aku sempat mendengar bahwa Om Herman mengajak makan malam semua, karena Tante Mala dianggap berhasil memasarkan produk yang di import olehnya, yah itung-itung sebagai bonuslah, katanya.
Duh untung saja saat ini aku mengenakan pakaian yang cukup rapi, kemeja hitam lengan pendek dengan celana katun warna putih, sehingga keliatan macho lah dikit, walaupun tampangku masih keliatan ndeso, dan kalo soal itu mah, gak bakal deh bisa dirubah…. Hehehe..

Tepat jam 7, kami bertiga akhirnya pergi meninggalkan rumah Tante Sandra, dimana Tante Mala berada disampingku dan Tante Sandra jok kursi dibelakang menuju tempat dimana acara tersebut akan diadakan. Aku mulanya berpikir bahwa tempat makan yang kami tuju adalah dekat saja dari sini, namun ternyata adalah bahwa tempat itu letaknya cukup jauh mungkin sudah ke arah luar kota, ke arah pelabuhan yang jauh dari kota ini, dimana bisa 2 atau 3 jam perjalanan dari sini. Pantes saja Tante Mala mengajak aku, gerutuku dalam hati.

Jam 9 lewat kurang, aku telah sampai ditempat yang dituju, selama perjalanan aku hanya berdiam diri dan sesekali ikut nyeletuk dengan pembicaraan kedua wanita penumpangku. Tempat yang dituju adalah sebuah Tempat Peristirahatan dengan fasilitas hotel berbintang, walaupun tidak ada gedung bertingkatnya namun kulihat disitu nampak berjejer kamar-kamar dengan berbentuk bungalow, dengan fasilitas restoran, kolam renang dan segala macam fasilitas lain tersedia.

Om Herman menyambut kami dengan antusias, kelihatannya mereka bertiga sudah sangat akrab, dan aku hanya mengikuti mereka dengan malu-malu. Kami bertiga langsung diajak untuk mengikutinya, Om Herman nampak sangat ramah, beliau menanyakan kabar Om Mirza dan keluarga Tante Mala, bahkan beliau meminta kami, aku dan Tante Mala untuk menginap di tempat itu. Aku tak menjawabnya hanya tersenyum dan melirik Tante Mala, seolah mengatakan bahwa ini semua tergantung Tante Mala.

Baru berapa menit kami duduk, bahkan makanan pun belum kami pesan, tiba-tiba salah seorang pelayan menghampiri meja kami dan berbicara dengan Om Herman bahwa ada seseorang yang menghubunginya lewat telepon dimeja counter. Om Herman kemudian bangkit berdiri dan menuju kearah yang ditunjukkan oleh pelayan tersebut. Aku hanya memandang ke arahnya dan berpikiran kalo ternyata Om Herman cukup dikenal disini, mungkin karena bisnisnya yang sukses sehingga beliau banyak dikenal orang.

Tak lama kemudian Om Herman datang menghampiri kami, beliau mengatakan kepada kami bahwa ada sesuatu terjadi dan harus diurus saat itu juga. Ada salah satu kliennya yang mengirimkan barang terlambat datang, sedangkan barang tersebut adalah produk baru yang harus diperhatikan kualitas dan kuantitasnya dan beliau harus mengeceknya. Tampak sekali beliau bimbang dengan hal ini, sambil menjelaskan bahwa produknya ini adalah produk khusus untuk wanita, dan kelihatan sekali beliau ingin meminta istrinya untuk membantunya sedangkan apabila dilakukan besok maka pengiriman ke distributor akan terlambat pula.

Aku dan Tante Mala berpandangan bingung, sudah jauh2 kami kesini dan sekarang kami akan ditinggalkan, apakah Aku dan Tante Mala harus pulang?, dengan acara yang tiba2 saja batal ? Ataukah aku dan Tante Mala harus tetap tinggal dan bahkan harus menginap disini sementara menunggu Om Herman dan Tante Sandra selesai dengan pekerjaannya ? aku hanya diam tak berkomentar apapun.

Sejenak mereka berpikir, akhirnya diputuskan oleh Tante Mala, kalo aku dan Tante Mala akan ikut menginap disini, mengingat perjalanan yang cukup jauh, toh jika pun kami harus pulang tentu akan cukup melelahkan, dan diputuskan pula, bahwa agar tidak membuat kami kecewa, maka Tante Mala akan ikut membantu Om Herman untuk melakukan pengecekan terhadap barang tersebut, toh bisnis ini juga melibatkan Tante Mala. sedangkan Tante Sandra bertugas menemaniku sambil menunggu kedatangan keduanya dengan alasan bahwa Tante Sandra saat ini sedang tidak enak badan dan lebih baik menunggu di hotel saja.

Maka dengan tidak ada pikiran apapun, ditinggallah kami berdua, Aku dan Tante Sandra. Aku hanya lurus-lurus saja melihat kepergian mereka, kalaupun aku misalnya disuruh ikut dengan mereka sebetulnya aku juga tidak menolaknya, namun dengan kondisi yang cukup lumayan capek karena membawa mobil dalam perjalanan yang cukup jauh jelas menjadi pertimbangan tersendiri diantara kami. Akhirnya tinggalah aku berdua dengan Tante Sandra, sedangkan Tante Mala dan Om Herman berangkat menuju ke arah gudang pelabuhan menaiki mobil Om Herman.

Setelah memesan makanan yang kurasa dapat membangkitkan rasa laparku, dan sambil menunggu makanan itu tiba, aku bercakap-cakap dengan Tante Sandra, walaupun banyak percakapan yang hanya sekedar basa-basi namun pembicaraan kami berlangsung segar. Aku baru menyadari bahwa selain enak dilihat, tante Sandra juga orangnya sangat fleksible, ramah, dan bisa diajak bercanda. Kadang kami bercakap sambil tertawa dan sesekali Tante Sandra melayangkan cubitan ataupun tepukan ke bahuku apabila candaku cukup mengena. Kadang beliau menggodaku bahkan kerap menjahiliku bila percakapan menjurus ke arah persoalan perempuan dan hal-hal yang berbau seks.

Entah berapa lama kami menunggu dan melakukan pembicaraan, kulihat satu demi satu para tamu yang bersantap di restoran ini mulai menghilang. Dan malampun semakin larut, tak terasa. Kulirik jam ditanganku, telah menunjukkan hampir pukul 11, kulihat Tante Sandra matanya kerap berkedip menandakan kalo beliau sudah merasa ngantuk. Aku kemudian mengajak beliau untuk meninggalkan ruang itu, dan bermaksud untuk beristirahat dikamar yang telah disediakan oleh Om Herman. Tante Sandra menyetujuinya, sambil mengatakan kalau kami lebih baik menunggu dikamar saja.


Kami akhirnya meninggalkan ruang makan restoran tersebut, berjalan beriringan keluar, menuju kamar yang telah Om Herman sediakan untuk kami. Tempat itu aku perhatikan lebih merupakan sebuah tempat peristirahatan, layaknya sebuah komplek perumahan dengan bungalow-bungalow yang berjejer, dengan banyak fasilitas yang tersedia. Kulihat beberapa mobil berjejer di pelataran parkir tempat tersebut, menandakan bahwa saat ini tempat tersebut cukup banyak pengunjungnya.

Dalam keremangan lampu, aku dan Tante Sandra melangkah menyusuri tepi jalan menuju bungalow yang kami tuju yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh resepsionis. Aku menundukkan kepala, berusaha memperhatikan jalan yang aku lewati, berusaha hati-hati agar tidak tersandung batu, sementara disebelahku berusaha mengikutiku, menggandeng memegang lenganku, tante Sandra, melewati beranda-beranda bungalow yang nampaknya beberapa telah terisi.

Sambil berjalan, kami bercakap lirih, memberi komentar terhadap keadaan tempat ini, dan kuketahui bahwa tempat ini merupakan tempat singgah favorit bagi Om Herman dan Tante Sandra. Saat kami melewati beberapa bungalow, kuperhatikan bahwa hampir semuanya mempunyai bentuk dan luas yang sama, masing-masing bungalow terpisah berjarak beberapa meter satu dengan yang lainnya, sungguh asri. Namun sebenarnya bukan itu yang menjadi pikiranku, saat melewati bungalow, kulihat lampu beranda menyala menandakan bahwa tempat tersebut berpenghuni, namun kadang lampu dalam ruangan kulihat ada yang menyala terang, redup ataupun gelap. Dan sewaktu kami melewati salah satu bungalow itu, seperti terdengar suara desahan dan rintihan yang keluar dari dalam ruangan dimalam yang sepi ini. Aku hanya tersenyum sambil memandang tante Sandra. Kulihat wajah Tante Sandra pun sedang memandang kearahku, aku jadi nyengir dan kemudian tertawa terbahak-bahak begitu juga dengan Tante Sandra.

Saat berjalan ini, tangan Tante Sandra yang memegang bahuku terasa semakin erat, entah hanya pikiranku saja, atau memang seperti itu adanya, namun kurasakan dilenganku sepertinya menyentuh payudara tante Sandra yang tak menggunakan Bra itu. Sepertinya pikiran ngeresku mulai datang menggoda, sambil berjalan aku membayangkan lenganku yang menyentuh payudara Tante Sandra, memainkan dan meremas-remasnya.

Aku agak heran mengapa Om Herman lebih senang menempati bungalow yang berada di pojok ini, memang kalo dilihat tampaknya tempat ini lebih tenang daripada yang lainnya, namun apabila kita perlu sesuatu setidaknya kita harus berjalan cukup jauh. Ada 2 bungalow yang telah kami sewa, aku melihat kunci yang diberikan, kulihat no yang tertera pada gantungannya, berarti aku dan Tante Mala menempati bungalow sebelah kiri dan Om Herman dan Tante Sandra sebelah kanannya. Aku melepaskan pegangan tangan Tante Sandra sambil mengacungkan kunci yang aku pegang, seolah memberitahukan padanya bahwa aku bermaksud langsung menuju bungalow yang disediakan untukku. Namun Tante Sandra seolah tak mau melepaskan pegangannya terhadapku dan berkata kepadaku bahwa sebaiknya aku menemaninya dahulu dibungalownya.

“Fan, kmu mau ngapain langsung ke Kamar ?, mending kamu di tempat Tante dulu, kamu belum ngantuk kan Fan ? sambil nunggu suami Tante dan Tante kamu, sebaiknya kamu temenin Tante Dulu ya ? kali aja kita bisa ngobrol dulu…” katanya kepadaku, sambil terus menggamitku ke arah bungalownya. Memang dari arah kami berjalan, posisi bungalow Tante Sandra lebih dekat dibandingkan bungalowku. Akhirnya dengan berat hati aku mengikutinya, melangkah menuju bungalownya, membukakan kunci untuknya.

Kulihat tempat ini cukup luas, beranda depan dengan dihiasi taman, terdapat 2 kursi dan 1 meja kecil, tampak menyenangkan. Di sebelah dalam kulihat terdapat satu ruangan yang cukup luas, tanpa penyekat terdapat juga 1 sofa panjang beserta meja mungil, dan 1 tempat tidur yang cukup besar dengan seprei warna putih. Kulihat diruangan berAC itu juga terdapat kulkas yang biasanya telah terisi dan sebuah televisi berukuran 21 inch.

Setelah menyalakan lampu dalam ruangan, aku mulanya hendak berbalik, biar bagaimanapun ada perasaan tak enak bila aku harus tetap didalam, karena yang sedang bersamaku disini adalah jelas seorang wanita bersuami, dan rasanya kurang pantas bila aku berada bersamanya didalam ruangan dimana cuma kami berdua saja didalamnya. Tapi seperti mengerti akan keraguanku, tante Sandra malah menyuruh aku tetap didalam, “Fan, kamu di dalam saja, diluar tidak enak, banyak angin, lagian tidak ada yang dilihat, kalo didalam kan kamu bisa menemani Tante sambil menonton Televisi” katanya kepadaku. Aku seperti sulit untuk menolaknya, memang seperti tadi saat kami berjalan, kurasakan angin yang menerpa sangat kencang, mungkin karena saat ini adalah sedang musim kemarau dan kebetulan daerah disini adalah daerah yang berdekatan dengan pantai.

Aku menghempaskan pantatku disalah satu ujung sofa panjang yang terdapat di dalam ruangan itu, kuperhatikan sekeliling tanpa mengucapkan sepatah katapun, seolah mencari sesuatu ide ataupun benda yang bisa aku jadikan bahan penghilang kebisuan, entah itu koran, majalah, ataupun sesuatu yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Entah apa yang harus kukatakan untuk memecah kebisuan disini. Untunglah Tante Sandra seperti mengerti akan keadaan, beliau menghampiri kulkas disana sambil membukanya, melihat kedalam sebentar dan menawarkan minuman kepadaku, “Kamu mau minum Apa Fan ?, banyak minuman nih disini “ katanya. Aku menjawabnya dengan segera “Apa aja Tan, lagian saya belum haus kok, tadi kan baru “ kataku.

Tante Sandra seolah tak mendengar perkataanku, sibuk melihat seisi kulkas, kemudian dia berbalik ke arahku menyodorkan sekaleng minuman beralkohol kepadaku, “Ini aja Fan, lumayan buat menghangatkan tubuh” katanya lagi, aku mengambil kaleng minuman yang diangsurkannya, sebetulnya sejak lama aku tak pernah menyentuh dan merasakan minuman seperti ini, sewaktu masih di rumah orang tuaku dan masih senang nongkrong mungkin ini adalah minuman favorit aku. Namun semenjak aku tinggal di rumah Tante Mala, sekali pun aku belum menyentuhnya lagi.

Tante Sandra mengambil duduk disebelahku, karena memang di ruangan itu tidak ada tempat duduk lain selain disitu, kecuali kalau memang ingin duduk di sisi tempat tidur. Ia mengambil remote televisi dan menyalakannya. “Fan, kamu jangan pergi dulu ya, temani Tante sampai Om Herman dan Tante Mala datang, katanya sambil memandangku “Soalnya Tante kalo ditinggal sendiri disini, gak berani, kalo dirumah sih Tante berani, kan udah biasa” katanya lagi tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya tersenyum, sambil melihat ke arah televisi.

Aku melihat kearah jam ditanganku, sudah menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh, aku melirik ke arah keluar pintu, yang memang sengaja aku tidak tutup, karena biar bagaimanapun aku tidak ingin orang menyangka yang tidak-tidak kepada kami, apalagi aku takut kalau saja tiba-tiba Om Herman dan Tante Mala datang dan mengetahui kami berdua didalam kamar yang tertutup.

Seperti mengetahui kegalauanku, Tante Sandra akhirnya berkata, “duh Fan, biasanya kalau sudah melakukan cek barang, paling sedikit Om Herman bisa 2 – 3 jam baru selesai, yah mungkin sebentar lagi beliau datang, ya udah kita santai-santai aja dulu, kamu kalo mo ngapain, ngapain aja dulu, terserah, pokoknya kamu jangan ninggalin Tante” begitu kata-kata meluncur dari mulutnya. Aku hanya memandangnya sambil tersenyum, dan mengatakan bahwa aku tidak keberatan, lagipula jika aku berada dikamar sendiri, toh juga mo ngapain, kataku kepadanya, palingan juga sama dengan disini.

Aku memandangnya, kulihat ia asyik melihat acara televisi sambil sesekali meneguk minuman. Duh wanita yang sangat seksi menurutku, dengan bajunya yang berdada terbuka, indah sekali memandangnya, bibirnya yang menurutku sangat sensual, terutama saat bergerak mengucapkan kata-kata, indah sekali dilihat. badannya yang sangat montok, kencang, mungkin karena beliau belum pernah melahirkan, hanya dadanya yang sudah agak sedikit turun menurutku, entahlah, apakah mungkin karena beliau jarang sekali menggunakan Bra atau mungkin sang payudara sering dipakai sebagai alat pemuas sang suami, sehingga agak tertarik ... hehehe...

Aku sepertinya lebih tertarik untuk melihat kearahnya daripada ke arah acara televisi, aku lebih banyak terdiam dan sesekali melirik ke arah luar, untuk melihat kalau-kalau Om Herman dan Tante Mala muncul. Pembicaraan antara aku dan Tante Sandra sesekali keluar, kadang terdiam cukup lama, kadang berbicara cukup panjang, tergantung pokok bahasan yang timbul. Entahlah, lambat laun kulihat beliau terlihat mengantuk, mungkin karena bosan ataupun memang saat itu sudah mendekati larut, Ia menguap dan berkata kepadaku “Fan, tante udah agak ngantuk nih, pokoknya kamu tetap disini, jangan tinggalin Tante, Tante rebahan dikasur dulu ya Fan, kamu terserah mo dimana, mo disini sambil nonton tipi, atau mo ikut rebahan dengan Tante, yang jelas kamu jangan keluar dari kamar ini”. Aku tertegun sejenak, menatapnya dan tersenyum “Iya Tante, Fandi tetep nemenin Tante kok, janji deh gak kemana2” kataku menjawabnya.

Tante Sandra bangkit dari duduk disebelahku, berjalan kearah tempat tidur, membelakangiku. Namun tiba-tiba ia memegang bawah bajunya, mengangkatnya keatas, yang jelas membuat aku kaget dan terpana. “Fan, maaf ya, tante buka baju, abis gerah nih, gak enak kalo dibawa tidur, mana Tante gak bawa salinan lagi. Besok baju kalo dipake lagi kan bau, katanya sambil membuka baju dan menaruhnya dipinggiran ranjang. Jelaslah mau gak mau aku memperhatikan beliau saat itu, hanya dengan bercelana dalam saja, dengan bertelanjang dada, beliau melangkah, mengangkat kakinya, menjejakkan, merebahkan badannya dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Aku menahan napas, berusaha menahan gejolak didadaku melihat pandangan seperti ini, pikiran ngeresku seolah mengaduk-aduk otakku, kulirik kembali pintu, memandang kearah luar, berjaga-jaga seolah-olah takut ada yang ikut menyaksikannya juga. Terdiam aku sejenak, berpikir keras, seakan mencari taktik jitu untuk melumpuhkan sang lawan. Mataku berkali-kali melirik ke arah depanku, kearah tubuh tante sandra yang tergolek, dan wajahnya mengarah ke tivi dan aku kemudian berpaling ke arah tivi untuk ikut melihat apa yang sedang di lihatnya, padahal pikiranku sedang kacau.

Semakin sering aku melihatnya, semakin membuatku kegerahan, sementara dedeku yang semula berusaha untuk tenang, menjadi terganggu dan berusaha berontak. Entah, dipikiranku yang kotor ini, sepertinya membayangkan, menghayalkan bahwa saat ini di depanku terdapat wanita paruh baya, yang cantik, montok, putih mulus berusaha menggodaku, membangkitkan hasrat seksualku. Berusaha membangkitkan kelaki-lakianku, memancingku untuk bersetubuh dengannya. Pandangan mataku semakin nanar, dan berkali-kali meneguk minuman beralkohol ditanganku, berusaha menetralisir keadaan dan minuman itu ternyata malah menimbulkan efek yang sebaliknya.

“Fan, kamu kalo ngantuk, rebahan aja disini, gak papa kok, sementara menunggu Om Herman dan Tante Mala datang” katanya sambil memandang ke arahku sekilas, mungkin karena melihat aku sepertinya akan rebahan dan sofa yang aku pakai tidak cukup muat untuk badanku berselonjor. Padahal niatku saat itu adalah menselonjorkan badan hanya sekedar untuk membetulkan dedeku yang salah orbit.

“Iya Tante, gampang, gak papa kok, saya sekedar meluruskan badan, agak pening nih, mungkin lumayan tadi bawa mobil kesini” kataku bergumam entah ia mendengar atao tidak, yang jelas aku berusaha untuk bersikap jaim padanya. Padahal sebetulnya aku mau sekali, namun hati kecilku sangat takut, takut dan khawatir seandainya nanti Om Herman datang dan melihatku berada diranjang berdua dengan istrinya, “ah gila ah” membatin aku.

Aku hanya diam, memandang ke langit-langit kamar ini, menutupi keningku dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku tetap memegang kaleng minuman, melayangkan pikiran entah kemana.

Beberapa lama kemudian, tiba-tiba kudengar langkah kaki berjalan mendekat, aku sontak bangkit, mendudukkan tubuhku, kupandang ke arah pintu keluar. Langkah kaki tersebut sepertinya berhenti sesaat, aku bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu, berusaha mengetahui siapa gerangan yang datang. Kulihat diujung jalan yang mengarah ke bungalow kaki, seorang petugas keamanan hotel berdiri, mengarahkan pandangan sejenak, berkeliling untuk memastikan keadaan aman, kemudian melangkahkan kakinya lagi, berjalan menjauh.

Aku menghela napas, ternyata hanya security sini aja, aku kira Om Herman dan Tante Mala yang datang, aku berbalik tak sengaja pandanganku mengarah ke ranjang, kulihat Tante Sandra tergolek, pulas, sementara tanpa disadarinya dadanya menyembul keluar, menampilkan pesona keindahan tersendiri bagi yang melihatnya.

Dadaku berdegup kencang, menyaksikan pandangan tersebut, pikiran kotor yang sejak tadi menyerang otakku, kini semakin membuat keruh. Kupegang daun pintu disebelahku, kegerakkan untuk menutupnya, namun masih ada rasa kekhawatiran menyelimutiku sehingga aku hanya menutupnya sedikit, menyisakan 10 cm tetap terbuka.

Kelangkahkan kakiku perlahan menuju ke arah pembaringan mematikan lampu tengah ruangan yang terang benderang, kemudian menyalakan lampu tidur disisi pembaringan yang redup dan menaruh kaleng kosong minuman yang kupegang dimeja sisi ranjangnya.

Kutatap wajah Tante Sandra, tampak pulas, namun keseksian dan kemulusan tubuhnya tetap memancar, wajahnya nan ayu dan cantik menggambarkan keanggunan yang mempesona. Berdegup kencang dadaku melihatnya. Kucoba untuk duduk disisi ranjang, tampak tidak ada gerakan sama sekali, seolah tak menyadari diriku yang berada didekatnya. Seakan-akan aku juga tak sanggup untuk menahan kantuk, kuarahkan pandanganku ke arah televisi yang menyiarkan acara entah apa, kurebahkan diriku disampingnya dan berpura-pura untuk tak perduli dengan keadaannya. Tante Sandra sepertinya terlelap layaknya bayi yang tertidur pulas.

Entah otakku yang semakin keruh dan miring atau hasratku yang semakin menggebu, sepertinya keadaan membuatku kalap. Kurebahkan sebentar badanku disisinya, memperhatikannya tergolek membelakangiku, timbul rasa isengku. Kudengar napas teratur yang keluar dibarengi dengan suara dengkuran halus, kugerakkan tanganku seolah-olah akan menggeliatkan tubuhku, dan dengan sengaja menyikut punggungnya untuk memastikan apakah Tante Sandra terjaga apabila ada gangguan. Dan ternyata hal itu berjalan dengan sukses.

Tante Sandra sepertinya tidak menyadari akan kehadiranku, kutarik selimut yang menutupi tubuhnya, memasukkan tubuhku kedalam selimutnya, seakan aku ingin ikut berlindung di dalamnya, bersamanya, menghindari angin malam dan rasa dingin yang menerpa.

Sepertinya beliau tidak sadar dengan apa yang terjadi, aku hanya terdiam, memikirkan langkah selanjutnya. Menarik napas perlahan, memasang telinga, mendengarkan kalau-kalau ada langkah mendekat.

Kegeser badanku merapat dengannnya, perlahan, tak ingin membangunkannya. Kurasakan bagian punggungnya yang bugil bersentuhan dengan lenganku. Tak ada gerakan menolak atau sikap menentang darinya. Pelan, keputar tubuhku kekanan menempel dengannya, seakan-akan aku juga tertidur pulas dan tak sadar menggelinjangkan tubuhku. Mengangkat lengan kiriku melewati punggungnya memeluknya dari belakang, perlahan melewati lengannya yang menyamping memegang guling. Sejenak aku menahan napas, telapak tanganku kini menyentuh payudaranya yang polos, dibalik selimut yang menutupinya.

Kesentuh payudara tersebut, hanya menyentuhnya, kemudian merabanya perlahan, mengusap-usapnya. Aku menunduk terpejam, tercium wangi harum dari lehernya yang menempel di hidungku. Seolah aku juga tertidur pulas dan tak menyadari apa yang kulakukan.

Aku tak tahu mengapa pikiran kotorku lebih banyak menguasaiku, apakah karena pancingan dari Tante Sandra yang mengena atau pengaruh minuman beralkohol yang kuminum.

Aku semakin beringas, aku yang mulanya hanya menyentuh, meraba payudaranya, kini mulai meremas-remas perlahan, menyentuh putingnya dengan jari telunjuk dan tengahku, menjepitnya dan memelintirnya. Membuatnya semakin keras dan memanjang. Dedeku yang berada didalam celanaku kini semakin tak terkendali berusaha berontak keluar, berusaha menempel ketat, sang empunya celana dalam.

Entah berapa lama ini terjadi, namun kedengar napas Tante Sandra semakin memburu, semakin tidak teratur, hingga tiba-tiba kusadari adanya gerakan darinya. Ia membalikkan badannya, yang semula berbaring menyamping membelakangiku, kini telah berbaring telentang. Aku terkaget dan diam sesaat. Tanganku yang semula sedang meremas-remas dadanya tehenti sejenak, namun aku tak mengangkatnya dari dadanya, apabila kuangkat dari dadanya aku takut mungkin ini malah membuatnya terbangun. “Hmmm...Mas...” kudengar suaranya lirih, seperti mengigau, dan tak lama kemudian membuka matanya mengedip-ngedipkan matanya untuk sesaat.

Aku dengan segera memejamkan mataku, kembali berpura-pura sedang tertidur pulas padahal hatiku deg-degan setengah mati. Aku yang sedang berbaring disebelahnya dan tangan kiriku yang sedang nemplok didadanya, tetap menempel, menyentuh lembah nan indah itu, terpaku, terdiam menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Dalam terpejamku, kudengar napas menghembus perlahan, seolah mencoba mengetahui siapa yang berbaring disisinya namun tidak ada sesuatupun yang terjadi hingga beberapa lama.

Kucoba membuka mataku, melirik kesamping, untuk mengetahui kesadaran akan keberadaan, kulihat disebelahku, Tante Sandra, masih terpejam nampak semakin pulas, malah kini wajahnya menghadap diriku, dengan tangan kanannya keatas kepalanya, membiarkan tanganku menyentuh payudaranya. Aku kini semakin tenang, kembali memasang telinga, bersikap waspada. Kembali meraba dada putih dan montok itu, menekan-nekannya, meremasnya, membuatnya semakin kenyal dan mengeras.

Aku menghembuskan napasku, meniupnya kearah wajah nan cantik yang terpejam di depanku, seolah menginginkannya mengetahui keberadaanku. Aku semakin berani dan nekad. Kuangkat kepalaku, berusaha mendekati dada nan putih dan montok itu, berusaha untuk mendekatkan bibirku, menjulurkan lidahku untuk mengecup lingkaran merah kecoklatannya. Kini posisiku seperti menelungkup disebelahnya, menikmati dadanya. Kuangkat perlahan kain tebal yang menyelimutinya, berusaha berada dibawah memposisikan pahaku menyilang pahanya, seakan mencoba mendekati dedekku ke arah tonjolan dibawah perutnya yang hanya ditutupi oleh celana dalam hitamnya.

Kini posisiku tepat berada diatasnya, yang hanya terdiam dan tak sadar akan apa yang terjadi. Memposisikan penisku diatas selangkangannya. Aku menarik celana panjangku sekaligus celana dalamku, hingga tonjolan pantatku terbuka sampai batas paha bawahku. Menempelkan dedeku pada celah selangkangannya, bertumpu pada kedua tanganku disisi kiri kanan tubuhnya. Merasakan penisku menempel di celana dalamnya, diantara selangkangannya, diantara kedua pahanya yang terbuka lebar.

Aku menggesek-gesekkan penisku dibawah tonjolan daging tersebut, menikmati sensasi, menghayalkan seakan2 penisku masuk kedalam rongga vaginanya. Meleletkan lidah seakan2 memberikan kenikmatan kepada wanita cantik dibawahku ini, sesekali aku menundukkan kepala, mencium puting yang kelihatan semakin menonjol dan mengeras, mengulumnya. Dan menggoyangkan pantatku kembali untuk memberikan sensasi pada dedeku ini.

Hingga beberapa saat, ketika kurasakan akan ada desakan keluar dari ujung penisku, ketika kurasakan akan adanya cairan yang akan melesak keluar, kehentikan kegiatan sejenak. Kupejamkan mata, kukerenyitkan mataku, kutahan dan kubendung air bah yang akan tumpah mencoba untuk mencegahnya keluar. Seperti ada kepuasan tersendiri ketika sensasi akan mencapai puncaknya. Kuhela napas tertahan, menggapai kemenangan.

Pelan-pelan aku mengangkat kaki, bergeser menjauhinya ke tepi pembaringan, duduk sejenak, menyelimuti tubuh dengan kain tebal yang tadi sempat terobrak-abrik, melangkah pelan ke arah sofa, membaringkan tubuh sejenak, menghembuskan napas, lega.

Memang kepuasan yang kudapat belumlah mencapai puncaknya, namun aku jelas sedikitnya dapat menikmati tubuh yang kini terbaring diranjang depanku ini. Ada rasa penyesalan, khawatir, takut seandainya tadi, tiba2 saat aku menggerepe tubuh Tante Sandra, Om Herman dan Tante Mala datang. Namun untunglah setan berpihak kepadaku
 
Lha chapter 4 kan ada. Excol = Exe colongan.....sory gan. Kayaknya gue menderita kelainan seksual. Gue suka ama cerita seks yang isinya menyetubuhi orang tidur, menyetubuhi orang pingsan, menyetubuhi orang terkena hipnotis...........orang lho bukan mayat :)

Siap Boss...:beer:
 
Bimabet
"Saat berjalan ini, tangan (tante mala) yang memegang bahuku terasa semakin erat"
ada kesalahan di bagian ini Bro' g pikir yg di dalam kurung it harusnya Tante Sandra krn ketika itu si Fandi lg jalan ama Tante Sandra
:D
Ngg...itu dopost yah Bro' minta Om Gig beresin aza Bro' cuz cerita lo khan panjang2...susa scrollnya
:D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd