Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Hmmmmm..... menarik sekali......
Gelar tiker ah....

Sambil nyubit pantat........
Eh..........
 
Kudu dipantengi iki, provokatanya manis, terlihat kematangan usia sang penulis. Nan narasi yang dibangun seakan natural seraya mengingat betul kejadian tempo itu. Sukses selalu suhu, jaya di darat jaya di udara. Thx for share. Semoga tetap aman dengan mba Ais model ginuk”
 
Yak mari....


Masih di hari itu.
Di luar, gerimis mulai turun. Mendung sejak siang mulai menumpahkan isi perutnya.
Di dalam, hawa dingin. Karena pengatur suhu. Juga karena pengaruh hujan di luar.

Tapi perasaan kami berdua, tidak segampang itu dijelaskan.

Aku kembali ke meja kerja. Bohong kalo kubilang menyibukkan diri di urusan kerjaan.
Pikiran melayang. Jauh mengambang tak tentu arah.
Detak jantung belum kembali normal.

Tentu yang paling parah, kondisi si adik kecil.
Kasian dia. Sudah bersitegang. Sudah berpengharapan.
Namun,
Gagal dibasahi. Gagal dipuaskan.
Sari sari kehidupan masih bersemayam di dua kantong selangkangan.
Batal menghirup udara luar.
Maaf.

Aku tipe pria yang tak sembarangan membuang cairan itu.
Aku tak bisa dipuaskan oleh sabun, tisu, ataupun cairan pelicin termahal sekalipun.
Tidak oleh tanganku sendiri.
Aku, mungkin juga beberapa pria lain, butuh sentuhan wanita.
Tangan, mulut, kemaluan. Terbatas. Tidak asal asalan.

Perasaan ini masih kuingat.
Pernah kualami yang serupa. Tapi tidak sedahsyat ini.
Mbak Ais, sosok yang dipuja banyak orang itu, hari ini hampir kugauli.
Sedikit lagi. Tinggal sejengkal, tapi gagal.

Momen telah terlewat.

Kutengok sekilas satu-satunya ruang yang masih bersuara.
Suara musik. Lagu tipe kesukaan Ais. Irama pop-jazz melo yang tengah populer.
Aku membayangkan.
Seandainya di gedung ini hanya ada kami berdua, pastilah ia sudah kugauli habis-habisan.
Aku perkosa dia.
Atau aku yang diperkosanya.
Atau kami sama-sama diperkosa nafsu dua manusia kesepian.
Tapi bayangan itu tipis.
Makin tipis saat suara-suara yang kukenal mendekat.

Suara langkah sepatu.
Ah iya. Shift security malam sudah aktif.
Seorang pria umur, 40-an. Berseragam lengkap, menyapaku. Basa basi mengucap selamat malam, sambil berkelakar sesuatu yang segera kulupakan. Aku tidak ingat sama sekali apa yang ia ucapkan. Pikiranku entah dimana. Plis dong ah.


Kulihat mbak Ais tengah berkemas, tampaknya ia akan segera pulang.
Sedikit berteriak, tanpa melihat ke arahku, seakan sambil lalu, menyapa. Basa basi mengajak segera pulang.

"Ayo. Ndang bali mas, selak udan neh. (segera pulang saja mas, keburu hujan lagi)"

"Yok"

Kulirik jam tangan. Pukul delapan lewat.
Hujan di luar mereda. Suara gerimis lirih masih kudengar.
Aku reflek mengambil jaket dan helm.
Aku ingin menyusul Ais.
Entah untuk apa. Dimana pikiranku, belum nemu juga.

Agak buru-buru, kupencet tombol presensi. Segera menyusul Ais ke tempat parkir. Tidak jauh dari lobi. Dekat pos security. Dua petugas tengah besantai di dalam. Hawa dingin memang teman setia bagi rokok dan kopi.

Itu saja yang kutangkap. Tujuanku bukan di situ.

Kini aku telah duduk di atas motor tuaku. Motor yang juga kupakai sejak kuliah dan pacaran dulu. Dengan Istriku, satu-satunya wanita yang pernah kupacari.

Di sisi kiri, ujung, dekat pohon talok, Mbak Ais tengah bersiap berkendara. Memakai masker. lalu helm. Jaketnya tebal. Saat melihatnya dengan pakaian seperti itu, dia lebih mirip bantal-guling-besar-empuk-hangat yang siap dikeloni.

Kukirimkan pesan singkat.

"Langsung pulang, mba?"

Dia tak membalas.
Bodoh. Kenapa gak disapa langsung. Kan cerak to yoh.

Motor distarter. Ais keluar kantor. Menyisakan bunyi klakson. Satu bagiku. Satu bagi petugas security. Pikiranku belum terkumpul. Biarlah.
Aku putuskan tuk pulang.

...

Belum 2 km. Hujan kembali turun. Aku bergegas mencari tempat berteduh. Tidak pernah membawa jas hujan. Tidak sabaran saat membuka dan memakainya. Aku memilih untuk untung-untungan mencari tempat naungan. Ketemu.

Di depan kantor ekspedisi. Sepi. Lampunya remang-remang. Hujan makin menjadi.
Iseng kubuka hape. Ada pesan masuk.

"Iyo niate langsung pulang. Hujan lagi mas." Pesan dari Ais.

"Udah sampe rumah?"

"Belum, aku berhenti di depan tukang tambal ban. Dekat gereja."

Loh, itu kan cuma seberang jalan tempatku berteduh. Clingak clinguk kulihat sekitar.
Benar saja ada bayangan samar, di seberang jalan, tidak jelas tentunya. Bias oleh hujan deras yang masih mengguyur jalanan.

Segera kukabari Ais untuk tetap di tempat. Aku akan menyusulnya.
Bodo amat, basah, basah sudah.

Tak lama, tak ada lima belas menit sejak pertemuan terakhir di parkiran, kami bersua kembali. Lucu. Koyo crito pacaran anak sekolahan.
Seolah bertemu teman sebaya, kami berbasa basi soal kenekatanku menembus hujan.
Tidak penting Ais. Ini demi ketemu kamu. Ah, pastilah ia paham. Tak perlu pula kujelaskan panjang panjang.

Momen berikutnya aku lupa.

Kami berpelukan depan belakang. Di atas motor maticnya. Mbak Ais di depan. Aku di belakang. Kami berpelukan. Seperti kekasih yang tengah melepas rindu. Makin syahdu karena hawa dingin tak kunjung pergi. Suara hujan makin deras. Makin berisik akibat airnya menggempur atap seng tempat kami bercengkrama.

Mbak Ais diam saja. Matanya melihat jauh kedepan. Tatapan kosong. Tapi kutahu ia tersenyum. Tengah bahagia kurasa.

Tangan kami bertaut. Tepat di perut mbak Ais. Jaket basah sudah kusingkirkan.
Belakangan aku baru sadar. Jaket itu jatuh di selokan. Teles kebes. Mambu. Asu.

"Mbak" kataku.

"hmmm" balasnya.

Kucium pipi kanannya. Masih dari posisi belakang.
Dia diam saja. Pura-pura tidak tahu?
Mulutku bergerak ke leher.
Dapat kain hijab. Lembut. Wangi. Sedikit bercampur dengan bau apek helm basah.
Tapi tetap wangi. Tetap menggoda. Ingin kusetubuhi dia. Di tempat itu.
Di pinggir jalan.
Di bengkel tambal ban.
Beraroma oli dan selokan dan tanah basah.

Untuk kali ini gelora itu tertahan.
Aku lebih ingin menikmati momen romantis.
Lebih gentle.
Lebih alus.

Penjelajahan di leher memberikan hasil. Mbak Ais tampak menikmati.
The game is on.
Nafasnya tampak kacau.
Ia segera memalingkan wajah. Menyamping
Kini mata itu menatapku.

Kami berciuman. Panas.
Sama seperti beberapa jam sebelumnya.

Tangan kanannya mengincar si adik kecil. Tetap di luar celana. Ia elus elus.
Ntabs. Langsung on si adik.

Tanganku tertahan di dadanya. Kini setiap gunungnya ada di genggaman tanganku.
Kuremas lembut. Perlahan. Lalu lebih kuat.
Benar saja. Ais mendesah. Desahan hebat.
Sama seperti desahan di mimpiku.
So hot.

Area mulut masih berpesta. Lidah kami makin semrawut.

Kuulangi lagi menikmati gunung kembarnya.
Kuremas lembut. Perlahan. Lalu lebih kuat.
Ais mendesah lagi. Kali ini lebih dahsyat.
Seperti dibumbui rintihan tipis. Memelas.
Ingin minta lebih kurasa.

Tapi tidak. Belum saatnya untuk lebih.
Kulepaskan bibirku dari ciuman maut itu.
Kugigit pundaknya. Tanpa bumbu kelembutan dan keromantisan.
Seperti Kucing menggigit mangsa.
Lebih mirip gigitan manja.
Menawarkan persahabatan.
Menurunkan tensi.
Mencoba meredam gejolak nafsu, yang jika dibiarkan, entah akan membawa kami kemana.

Hap. Grrrrr..... Bagai gumam bangsa kucing besar yang tengah menikamati buruannya.

Ais tertawa. Tawa ceria

"Iiih, mas ini. Nyebeli"

Kembali kami berpelukan. Badannya menggelayut, bersandar ke aku. Berat. Tapi hangat.
Tangan kiriku ogah beranjak dari susunya yang lembut.
Aku belum bisa membayangkan senikmat apa nanti, saat kugenggam bongkahan daging surga itu.
Sensasi kulit ketemu kulit surgawi.
Entah kapan. Pasti luar biasa.

Tangan kananku yang lebih terlatih sopan santun, kini menggenggam erat tangan Ais. Memberikan ketenangan bagi kami berdua.
Kiri setan, kanan malaikat.

Seolah kami telah menjadi satu.
Bukan lagi partner kerja.

We are in love.

BONUS
Mbak Ais saat Fam Gathering sekira empat tahun yang lalu



....bersambung lagi. Apel sore.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
banyakin bumbu nya bos..kentangnya jangan banyak"...
 
Bimabet
Masih musim hujan. Tahun kedua. Menjelang akhir tahun.


Di akhir tahun, Volume kerjaan berkurang.
Evaluasi aku pasrahkan ke tim ahli.
Aku hanya disibukkan perkara perencanaan kegiatan tahun depan.
Kabar baiknya, kontrak Mbak Ais bisa diperpanjang. Gajinya bakal naik pula.
kabar lebih baik, kontrak sang suami turut diperpanjang. Yang artinya mereka masih akan terpisah lautan, setidaknya satu tahun.
Aku bahagia. Kami masih dapat bersama.
Banyak rencana yang telah kami susun. Dan rencanaku sendiri, jauh lebih banyak.

Cukup tentang suasana kantor. Pada intinya, waktu kami banyak luang.

Tidak demikian dengan istri. Dia masih banyak gawe. Terbersit pula idenya untuk mengurus tugas/izin belajar, studi lanjut ke jenang lebih tinggi. Aku mengiyakan saja, dengan syarat lokasi sekolah tidaklah perlu jauh-jauh. Tentu aku ingin dia menikmati hidup, menikmati waktu senggang. Sebagai ibu dari anak-anakku, aku ingin ia punya banyak waktu di rumah. Setidaknya urusan rumah bakal lebih teratur. Ya. Selayaknya seorang suami. Pastilah aku mencintai istriku. Tapi cinta itu tidak akan pernah cukup memenuhi kebutuhanku.

Aku tidak hanya seorang ayah. Aku juga adalah laki-laki normal. Aku butuh dilayani. Aku butuh diperhatikan. Lebih jauh lagi aku butuh kepuasan batin. Hal yang tidak pernah bisa ia penuhi. Ada ruang kosong. Ruang yang akhirnya diisi Mbak Ais. Sosok yang lebih tua dariku. Juga sosok yang dapat memenuhi fantasiku saat masa remaja dulu: bercinta dengan kakak kelas.

Dua bulan jelang tutup tahun.

Kosongnya agenda kerja, tidak mengurangi jam kerjaku dan Mbak Ais. Kami masih betah berlama-lama di kantor. Untuk sekadar ngobrol, makan, ataupun saling rangsang.
Saat kukabari tentang kenaikan gaji dan perpanjangan kontrak. Ais tampak senang. Sesaat.
Tak lama senyumnya memudar. Ia menjelaskan posisinya. Bahwa ia tetap harus minta izin suami.
Ah. Sedih. Ternyata peluang masih 50-50. Belum ada kepastian.
Begini rasanya digantung.

Aku mencoba tetap tenang. Tampak yakin. Semua akan baik baik saja.

Itu yang tampak di luar.
Di dalam, gelisah tak menentu.

Dalam satu obrolan, terlontar keinginannya untuk memberikan kenangan terindah. Aku tak tahu apa maksudnya. Aku tidak berani menanyakan lebih jauh. Kuanggap itu surprise hadiah perpisahan.

Sisi nakal kami memang tereksplore habis habisan. Lewat komunikasi lisan dan tulisan. Berkali ia memancing naluri laki-lakiku, dengan chat sex, phonesex, usil menyentil si adik kecil (sumpah, ini asu tenan). Kami tahu hubungan ini harus dijaga rapat-rapat. jejak digital benar-benar kami bersihkan. Ada beberapa gambar seksi yang ia bagi. Setelah kunikmati, segera kuhapus.

Lalu momen bersejarah itu datang. Aku ditugasi berkunjung ke ibukota. Seminggu.
Terlalu panjang. Itu artinya seminggu aku harus jauh darinya. Berat. Aku tak sanggup.

Dia mencoba tetap tenang. Tampak yakin. Semua akan baik baik saja.

Benarlah. Selama di Jakarta, aku dibombardir dengan phonesex dan videocall.
Kampret. Panas dingin jadinya aku.
Lebih kampret lagi. Ia tak tahu waktu. Pagi subuh, dini hari, jam solat jumat.
Super kampretnya adalah, aku menginap di kawasan Little Tokyo. Zona yang identik dengan Japanese Night Life-nya.

Gagal fokus aku dibuatnya. Target kunjungan kerja nyaris tak tercapai.

.....

Tengah Minggu, beberapa hari pasca kunjungan luar kota.

Hujan baru saja berhenti.
Tak jauh dari kantor adalah jalan besar. Urat nadi arus barang dan jasa kota ini. Suara lalu lalang kendaraan jelas terdengar. Berusaha secepat mungkin lepas dari jalanan basah. Mungkin kuatir jika hujan susulan datang kembali.

Sore itu kudatangi ruang kerja mbak Ais. Sudah kupastikan kondisi kantor aman. Karyawan lain sudah pulang. Semoga.

Seperti biasa, kami akan memastikan sekeliling. Clingak clinguk koyo munyuk.
Bulat tekadku. Kuminta tanggung jawab Mbak Ais. Gangguannya selama masa tugasku di Jakarta, nyaris membuyarkan target. Lebih dari itu, nafsuku benar-benar telah di ujung. Harus terlampiaskan.

Mbak Ais tampak tenang. Aku yakin ia tahu yang kumau.
Senyumnya nakal.

Minta digesek nih lonte.

"Emang kenapa. Mas mau apa?" begitu dia bilang.

Jawaban ngehek. Tapi menantang. Tapi aku suka.

Mbak Aish masih duduk di kursinya. Ia hanya menggeser kursi itu. Sekarang jarak kami lebih dekat. Tak terhalang meja.
Tiba-tiba saja tangannya sudah menempel di depan resleting celana. Dielusnya perlahan.

"Beneran udah keras? Pengen dikeluarin?".

Mmmm...taek lah.

Aku masih berdiri, kedua tangan masih di saku celana. Mati gaya.
Tak lama, aku mendesah kecil. Senyum nakal Mbak Ais tampak melebar. Bangga dia. Setan emang.
Mukanya memancarkan aura panas. Seksi. Nakal akut.

Bibir bawahnya digigit, pelan. Matanya bergantian memandang tajam ke arah selangkanganku, lalu melirik ke mukaku, kembali ke selangkangan, lalu muka. Semua dengan ritme gerakan yang pas. Lenguhan kecil mulai keluar dari mulutnya. Ingin rasanya kusumpal mulut itu dengan batangku.

Tapi Mbak Ais punya rencana lain.

Diturunkannya zipper celanaku. Kembali kumenoleh sekeliling. Memastikan tidak ada orang yang melihat. Aman. Semoga.

Ais meraih ke dalam celana dalamku. Dia menemukannya (ya iya lah, mosok mung disentil maneh).
Batangku ditariknya kuat-kuat.
Mendadak.
Tiba-tiba.
Aku kaget tentu.

"He eh" spontan saja terucap dariku.

Tanganku reflek kutarik dari saku celana. Tubuhku menyesuaikan posisi mbak Ais yang kini, tetap dalam posisi duduk, mundur, mepet, mentok di dinding. Badanku terpaksa menuruti kemauan Ais. Tanganku sekarang menempel di dinding. Berusaha menahan berat badanku sendiri agar tidak menimpa setan berwajah malaikat di bawahku.

Ais tampak senang. Atau menang? entah. Kulit tangannya agak kasar. Tipe pekerja keras. Tapi permainannya halus. Ritmenya gak bikin si adik kesakitan. Bahkan aku merasa batangku membesar, level maksimum. Dibelai dengan lembut. Dimainkannya maju mundur. Dikocokin. Itulah bahasa kasarnya.

Satu, dua, tiga menit berlalu Mbak Ais makin bersemangat. Saat wajahnya menatapku, dibumbuhi mimik duck face jahannam, seolah berkata:

"Duuh, kasian...udah pengen keluar ya, udah gak tahan?"

Iyo cuk.
Sudah tak tahan aku.

Desahanku makin ancur. Entah berapa lama batangku dimainkan.
Dekat ke puncak, 5 cm lagi. Naluri setanku menggeliat. Berbisik:

"Udah boss, paksa kulum, keluarin di mulut. Kasih dia pelajaran. Suruh telan. Semuanya. gak boleh sisa"

Asu.

Aku mulai memejamkan mata. Tanda perjuangannya telah sampai di ujung. Saat kurasakan kehangatan di ujung lubang pipisku.

Mbak Ais menjilatinya dengan ujung lidah.

Djancukkk.

Tepat sebelum maniku keluar, Ais memundurkan kepalanya.

Crot...crot...crott....

Aaaahh.... Aku melenguh panjang.

Keluar sudah kamu nak.
Membasahi hijab ungu muda Mbak Ais. Muncrat tak beraturan. Kental.
Aku di tempat lain. Dimana ini? Khayangan? Surga firdaus?

Sebentar saja. Aku ngin menikmati saat ini.

Kuatur nafasku. Mata kubuka. Ais tersenyum. Masih dengan senyum nakal nan menggoda itu.

"Hemmm" gumamnya

Kusadari ada setetes mani di ujung bibir bawahnya.
Digigitnya ujung itu, dengan bibir atas ditariknya perlahan, dipaksa masuk ke mulut. Ditelan.
Itu dengan mata yang terpejam sesaat, lalu menatapku, tajam.

Asu. Seksi tenan.


.....Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd