Lanjut Kisanak...
Di luar hujan turun. Kota ini beberapa waktu terakhir memang terus diguyur hujan, tak cukup deras, ringan-ringan saja. Rutin, setiap sore. Baru akan terhenti lepas isya. Kontras dengan siang yang cukup terik, jelang sore, hawa lebih bersahabat, berangsur dingin. Pun hari ini.
Dinginnya hawa di luar cukup berimbas ke dalam. Suhu kamar kini turut mengikuti. Lebih adem karena campur tangan pengatur suhu yang tak sempat kami sesuaikan. Kami terlalu sibuk mengatur urusan domestik, berdua. Sibuk memuaskan diri, sekalian berupaya memuaskan pasangan. Setidaknya itu yang kurasa, kukira Mbak Ais juga berusaha hal yang serupa. Kompak.
Mbak Ais tampak letih. Dinginnya suhu kamar tak jua mengurangi deras kucuran keringat di sekujur tubuh. Tengah kutindih ia. Mulutnya beberapa kali mendesis, bergumam tentang seberapa besar rasa sayang, protes tentang keusilanku, sambil tetap berseling desahan yang entah kenapa begitu membius, melenakan, sekaligus membuatku makin bersemangat. Maut.
Batangku masih mendesak bongkahan daging di bawah, segar berair. Suaranya merdu, berirama, mirip suara tanah becek yang diganyang larian anak anak. Tak terlalu kuperhatikan, yang penting nikmat. Juga karena semak belukar di sana menghalangi pandanganku. Ah, ini lebih soal preferensi. Aku dasarnya tak suka Sury@ P@l0h turut campur. Itu saja.
Cukup lama di posisi itu. Si Buaya Buntung belum jua menunjukkan tanda-tanda menyerah. Masih kaku dan bergairah. Di pihak lawan, banjir dari lobang buaya makin deras. Layaknya pompa hidrolis, cairan pelengkap senggama di sana jadi unsur penting. Dalam hal ini, membuat pertempuran makin seru sekaligus aman. Tak lagi kupikirkan soal kondom. Kurasa sengaja ia bersembunyi. Tak ingin dilibatkan. Tau jika kehadirannya di tengah-tengah kami hanya jadi penghalang bagi datangnya rasa intim. Fungsi tak jelas, malah mengurangi kenikmatan. Ya. Seperti kehadiran kerupuk di atas sajian bubur ayam. Tak guna. Menurutku.
Mungkin karena perbedaan postur tubuh kami, tak se-kufu', nikmat pengeboran tak seberapa yang kurasa. Mungkin pula karena kehadiran hutan belantara (iiih, aku masih terbayang lebatnya-red). Atau mungkin karena aku terlalu mengagumi tubuh Mbak Ais di paruh teratas. Ubun-ubun hingga pusar. Iya, apapun pokoknya di atas jembut. Pergenjotan duniawi sore itu memang kufokuskan untuk menjelajah area pas foto. Pengalaman dari sex halal-ku, daerah kuping dan leher adalah spot sensitif yang masih sangat bisa dijajah. Tentu selain jajaran gunung kembar. Aduh, jadi haus. Lebih dari itu, area atas menawarkan keterjangkauan. Saat pertempuran bawah makin berkecamuk, sesungguhnya pusat komando perang berada di zona atas. Taktik dan pengaturan timing lebih ditentukan kinerja mulut dan tangan. Kedua zona, atas dan bawah terhubung oleh tali komando. Bawah bergoyang, atas berguncang.
Sadar akan hal itu, cupangan demi cupangan kubuat di sekitar leher, juga di lembah dan kaki gunung. Puji Tuhan, puting ais memang telah tersetting untuk menahan lara akibat gigitan. Justru akibat berkali-kali kugigit, sedikit kasar bahkan, goyangan dan desahan Ais jadi makin liar. Sempat beberapa kali kurasakan, liang surga di bawah turut bereaksi, berkontraksi, berkedut, semacam menjepit. Dan itu telah terjadi beberapa kali, tak kuhitung, pastinya lenh dari tiga kali sore itu. Apa ini artinya ia telah mengalami orgasme? Aku tak paham. Harus kuakui aku tak pernah bisa tahu kapan wanita telah mencapai puncak. Kecuali dia yang memberi tahu.
Aku merasa cukup menjelajah area pegunungan. Kini hanya ingin menatap wajah Ais. Tengah menikmati ia. Berkali mimik wajah keenakan itu kutangkap. Terpejam. Bibir bawah dan atas bergantian digigitnya. Lenguhan keluar dari sela-sela bibir seksi itu. So Hot, Ladies and Gentlemen. So fuckin' hot.
Kuping si Embak kemerahan, bekas kuganyang. Becek juga, karena lidahku tak mau berdiam diri. Stempel cupang bertebaran di sekitar leher. Rambut Ais luar biasa acak-acakan. Masih wangi kurasa. Pantene tampaknya berhasil menciptakan formula yang paten: Wangi tahan lama, cocok untuk senggama.
Lalu tiba saatnya, Sang Buya, Sang Buaya maksudku, bermual durja. Bersiap memuntahkan isi perut.
"Sayang aku mau keluar. Pengen keluarin dimana?"
"Di dalam"
Eh yang bener. "Yakin??" tanyaku
"He em" jawab Ais. Lirih. Kepalanya mengangguk pelan. Masih merem.
Aduh terlewat. Satu hal belum kusiapkan. Tadi belum kupikirkan, dimana mau kubuang pejuku. Gak sempat mikir. Tentu setiap lokasi pembuangan, menyisakan konsekuensi di belakang. Ada faktor risiko yang harus kuhitung. Harusnya.
Sudah tak ada waktu. Harus segera kuputuskan.
Belum sempat kucabut. Si Adik sudah bersikap kurang ajar. Ngompol duluan.
"Aaaaaaaaaachhhhhh....."
Boom.
Muncrat pejuku di liang senggama.
Berkali-kali, tak terkendali.
Mataku terpejam. Tubuh tegang luar biasa.
Enak. E-N-A-K.
Aku melayang. Lagi. Kini lebih tinggi. Jauh lebih tinggi. Melesat antar galaksi. Menembus gugusan bintang-bintang. Tersedot lubang hitam. Terkoyak tarikan gravitasi para pengisi angkasa. Pecah berkeping-keping. Ambyarrr.
Aku membuka mata. Wajah Ais di sana. Menatapku. Datar. Mulutnya mulai membuka.
"Kok beneran crot di dalam?"
Lah?
.... masih bersambung