Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Mari kita lanjutkan.

Cerita untuk BAGIAN PERTAMA (season 1) cukup lah kurasa. Kelanjutan di hotel waru seingatku hanya adegan persetubuhan standar. Bagian paling membekas hanya soal peristiwa telan-menelan seperti cerita sebelumnya. Kita lanjut ke BAGIAN KEDUA.
 
Terakhir diubah:
Mari kita lanjutkan.

Cerita untuk BAGIAN PERTAMA (season 1) cukup lah kurasa. Kelanjutan di hotel waru seingatku hanya adegan persetubuhan standar. Bagian paling membekas hanya soal peristiwa telan-menelan seperti cerita sebelumnya. Kita lanjut ke BAGIAN KEDUA.
Ditunggu bagian 2 nya suhu
 
BAGIAN KEDUA

Tahun Ketiga.

Tahun yang berat. Beban kerja luar biasa berat. Waktuku habis untuk bekerja dan keluarga. Nyaris tak ada waktu untuk Ais. Kurasa itu pula yang Ais alami. Sering kali kulihat raut-raut keletihan di wajahnya. Berusaha di tutupi dengan ekspresinya yang ceria. Penampilan Ais lebih elegan, lebih tertutup, lebih menarik. Tahun ini kami gagal meluangkan waktu untuk bersenggama. Sekadar ciuman dan pelukan, masih. Tidak berlanjut ke hal lain. Keintiman hubungan kami berpindah ke percakapan lewat media pesan singkat. Bertukar fantasi lewat chatting, whatsapp dan wikipedia. Foto-foto syur bertaburan di ponsel kami (sayangnya sebagian besar sudah terhapus).

Di akhir tahun, masalah besar hadir. Tak elok kuceritakan detailnya, masih terkait kerjaan. Masalah pelik yang memaksaku untuk memilih dua opsi sulit: berpindah bagian/departemen atau rehat sejenak dengan cara mengambil studi lanjut. Aku memilih opsi kedua. Ais yang membujukku. Dia tidak ingin berpisah sepertinya.

Pada akhirnya aku diterima studi lanjut, di salah satu sekolah bergengsi di negeri lain, negeri yang jauh.

---

Tahun keempat.

Entah kenapa, hubungan kami merenggang. Chatting mesum masih lanjut, tapi saat berjumpa di kantor, kami seperti rekan kerja biasa. Mungkin sedikit banyak karena konsentrasiku tidak lagi berada di tempat itu, tidak lagi bersama urusan berkas kerjaan, tidak lagi bersama Ais. Mungkin aku ingin pembaruan, membuka lembar baru, menerima tantangan baru. Tapi tetap tak ingin kehilangan Ais.

Lalu waktu itu tiba. Akhir Agustus, hari jumat. Hari terakhir aku berkantor di tempat itu. Sengaja aku pulang rada telat. Urusan pamit dan pesta perpisahan dengan orang kantor sudah tuntas. Satu urusan tersisa, pamitan ke Ais.

Seharian aku tak melihat kehadirannya. Kulirik jam tangan. Sudah jam lima. Pagi tadi Ais berjanji akan mengabari lokasi pertemuan. Iya, kami janji bertemu selepas jam kantor. Menjelang magrib, belum juga ia berkabar.

"Mas, ketemu di resto xxx ya", baru saja pesan itu masuk menjelang maghrib. Dia merujuk ke satu resto dan pemancingan, agak jauh dari pusat kota. Aku balas singkat, "ok".

Lokasi resto xxx masuk ke perkampungan. Untuk menuju lokasi harus melalui jalanan desa, tanah padat, berbatu. Agak ngeri juga untuk kendaraan sedanku. Tak apa, demi Ais. Posisi resto dikelilingi sawah, jauh dari jalan raya. Di depan resto berjejer lampu obor, disangga bambu-bambu. Seakan mempersilakan tamu untuk masuk. Ini kali kedua aku ke sana. Dulu suasananya sedikit berbeda. Aku datang untuk makan siang. Sekarang aku datang, entah untuk apa. Pun belum kusiapkan kata-kata.

Di sisi depan resto hanya ada dua mobil terparkir. Sepi. Cukup aman sepertinya. Kami memang selalu hati-hati. Hubungan yang kami simpan baik-baik, tampaknya belum ada orang lain tahu.

Kami bertemu di satu saung bambu, tepat di pinggir kolam ikan. Nomor delapan, aku ingat betul. Ais memilih tempat yang cukup tersembunyi, tidak terlihat dari area pintu masuk. Cahaya remang-remang. Obrolan mengalir begitu saja. lebih banyak bercanda malah. Tidak seperti pertemuan untuk pamit. Dia lebih banyak curhat tentang hari ini. Tentang banyaknya mitra kerja yang harus ia temui, juga tentang letihnya berkeliling kota untuk menemui klien-klien itu.

Begitulah, seintim apapun isi pesan singkat kami, saat bertemu tetap saja layaknya teman. Tidak ada mesra-mesranya. Jauh di balik omongan kami, ada kegetiran di situ. Juga kesedihan. Juga kebingungan. Juga kepasrahan. Campur semua. Di beberapa momen, kami sama-sama diam. Canggung. Ais memandang kejauhan, mungkin setengah melamun. Bibirnya sedikit terbuka. Aku tak kuat.

Kucium dia. Spontan saja. Awalnya kagok, lama-lama hanyut pula. Ciuman makin panas, tangan Ais menahan kepalaku bagian belakang. Kadang diselingi jambakan. Tanganku memeluk pinggangnya, kadang mengelus punggungnya. Satu dari sedikit hal yang kutau bisa membuat Ais menggila. Benar saja, lenguhan-lenguhan kecil mulai datang.

Tangan Ais mendadak turun. Menyasar ke selangkanganku. Diremasnya keris pusaka yang sudah tegang-menjulang di bawah sana. Kaget aku. Kejadiannya cepat, detailnya bahkan sudah tak lagi kuingat.

Mulut perempuan berhijab itu kini tengah mengulum sang pusaka. Aku pasrah saja saat wanita cantik itu melayaniku. Tandas penisku, masuk tak bersisa.

Sial. Aku tanpa persiapan. Sedotan mulut seksinya sedemikian kuat. Basah dan hangat. Aku lepas kendali. Kutahan kepala berhijab itu. Aku sudah tidak kuat. Aku ingin menghadiahinya peju hangat.

Batal.

Suara langkah kaki menyudahi aksi Ais. Gugup dan canggung, kami beringsut gelagapan memilih posisi normal.

"Penitiku mana ya mas?" tanyanya, basa basi, sandiwara. Lengkap dengan aksi mencari pandang di sekitar meja.

"Sudahlah, gak usah dicari..." jawabku sekenanya.

Si empunya langkah kaki itu ternyata pelayan resto.

"Masih ada yang ingin dipesan pak? Mohon maaf, setengah jam lagi kami tutup", ucapnya.

"Eee...Eng..***k sih mas. Cukup...Thanks ya....", aku menjawab, kubumbui senyuman tipis.

Si pelayan lalu pamit.

Fiuhhh....hampir saja....

Pandanganku beralih ke Ais. Tawanya tertahan.

"Lanjut mbak?"


.....bersambung....
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd