Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Bimabet
Lembar 4 - Berhasil


"Aaaaccchh...shit....gigit lagi masss.....iya....di situ.....lagih.....hmmmm..."

Berkali-kali perintah itu keluar dari mulut Ais. Aku takzim, sami'na wa atho'na.

Makin ke sini, desahan Ais melemah. Mungkin kecapekan. Tangan-tangan Ais gagal meraih sang Antonio Conti, terpaksa menyibukkan diri dengan mencakar-cakar punggungku. Mulutku ikut sibuk, menyusu payudara sebelah kanan. Ukuran putingnya sedikit berbeda. Lebih kecil, tapi lebih panjang, juga sedikit lebih lunak. Lebih nikmat untuk dijilat-jilat.

Sekitar wilayah dada Ais penuh dengan cairan ludahku. Permukaan kulitnya yang lembut dan cerah makin mengkilap akibat cahaya remang-remang dari luar. Tangan kanannya masih rajin menjambak rambutku, menekan kepalaku, memaksaku menyusu lebih intens, seperti tak rela jika aksiku terhenti. Mungkin juga ia sengaja membekapku, membuatku kehabisan nafas? Aku rela kehabisan nafas di tengah jepitan gunung kembar itu. Sungguh.

"Hati-hati licin..."

Suara dari luar memaksa kami menghentikan aksi. Masing-masing dari kami berusaha kembali ke posisi normal.

Tiga orang yang kami tunggu, perlahan mendekat ke arah mobil yang kami tempati. Langkahnya hati-hati. Berupaya menghindari genangan air di sekitar area parkir. Sekali-dua kali terdengar bunyi cipratan air. Menandakan upaya mereka gagal. Di tengah pergumulan panas tadi, gerimis terhenti. Menyisakan udara lembab, tanah becek. Kurasa ada yang becek selain permukaan tanah. Aku yakin pembaca sudah paham.

Tak lama, mereka masuk di jok tengah.

"Loh mbak Ais sudah di sini toh? Ngapain kalian gelap-gelapan", kata salah satu penumpang, sembari menata posisi duduknya.

"Enak-enak pasti", yang lain menimpali.

"Pasti lah", sambarku. Seatbelt kupasang. Pandangan lurus ke depan. "Sudah dua ronde,... yo mbak?". Berusaha berparadoks. Dibungkus candaan tapi kebenaran ada di dalamnya. Wajahku kupalingkan ke perempuan cantik di sebelahku.

"Kalian kurang lama sih, tanggung e jadinya", Mbak Ais turut meramaikan. Pandangan Ais tajam ke arahku. Senyuman tipisnya mengikuti.

"Lambemu...", jawab penanya pertama. Disambut tawa kami nyaris bersamaan.

Aman.

Kendaraan menderu. Menanjaki jalan licin menuju pintu keluar resort. Suara radio menyamarkan degup jantung dan nafasku yang masih tak beraturan. Di dalam mobil gelap. Menyembunyikan aksi Ais yang berlanjut. Tangannya kali ini berhasil meraih tujuan, menggenggam penisku yang tegang sejak awal. Aku terpaksa menahan konak, setidaknya hingga kami menemukan tempat nongkrong di alun-alun nanti.

Jancok!

....bersambung....
 
Cerita ini terjadi beberapa bulan sebelum TS berangkat studi lanjut. Terlewat karena gagal mengingat. Masih berkait dengan cerita di lembar sebelumnya. Salah satu pengalaman tak terlupakan. Semoga masih dapat dinikmati.


Intermezzo - Ruang Gelap


Awal tahun keempat. Kotaku.

Ada beberapa bioskop di tempat ini. Menawarkan berbagai tayangan film dengan style dan genre nya masing-masing. Sesungguhnya cukup jarang aku sambangi, setahun mungkin hanya dua-tiga kali. Aku lebih suka menikmati film lewat TV di rumah. Lebih syahdu lagi jika menontonnya dari layar komputer di meja kerjaku, dengan headset, saat malam, sendiri. Aku memang penyendiri.

Beberapa teman kantor, lintas bagian, yang kuanggap cukup dekat sering mengajakku menonton. Kadang di jam kerja. Keluyuran di jam kerja, hmmm...mohon jangan dicontoh.

Tentu saja lebih sering aku tolak mentah-mentah. Tapi kali ini lain. Bukan karena film nya yang memang sedang hits. Namun karena dibujuk Ais.

"Ayolah. Sekali ini saja. Terakhir kali sebelum mas berangkat. Sudah gak ada waktu lagi. Mumpung gak pakai seragam, gak bakal ketahuan lah. Mumpung jadwal longgar juga kan... Ya? Ya? Plissssss.....Mau ya?"

Senyuman manis dari ukhti berhijab ini sungguh membius. Aku tak kuasa menolak.

Jadilah kami berlima, 2 pria, 3 wanita, berangkat ke salah satu bioskop terdekat, bagian dari franchise bioskop terkenal di Indonesia. Posisinya di tengah kota. Di tepi jalan protokol. Di sekitar tempat itu penuh gedung perkantoran, restoran, dan penginapan. Tepat di seberang jalan sana ada dua hotel bersebelahan. Hotel yang akan jadi saksi bisu ceritaku yang lain, nanti. Mungkin di bagian ketiga.

Tiba di bioskop di jam makan siang. Suasana cukup ramai oleh calon penonton. Sebagian besar anak muda. Film yang dijadikan highlight saat itu adalah film komedi domestik. Aku tak terlalu peduli dengan film apa yang bakal kutonton. Aku hanya ingin membersamai teman-temanku. Memanfaatkan waktu bersantai dengan mereka yang kukira tak terlalu banyak. Aku berinisiatif membayari tiket, lengkap dengan setengah lusin minuman ringan dan beberapa bungkus popcorn, tanda apresiasi.

Masuk ke bioskop, film belum diputar. Kami menempati kursi di bagian tengah, posisinya kurang ideal, terlalu di atas. Tak apa, aku tak punya ekspektasi berlebih. Kesan pertama yang kudapat, kursinya nyaman, empuk dan dimensinya pas. Ditemani hembusan sejuk dari pengatur suhu ruangan, mungkin aku akan memilih tidur saja saat film diputar nanti.

Makin lama penonton makin banyak. Anehnya, di sisi kiriku kosong, mungkin ada empat-lima kursi kosong di sana. Diantara kami berlima aku duduk paling kiri, ada Mbak Ais di sebelahku persis, lalu satu teman kantor perempuan di sisi kanan Ais. Perempuan muda ini sifatnya masih agak kekanak-kanakan. Ada semacam hubungan adik-kakak dengan Ais. Urusan perempuan, tak terlalu banyak kugubris. Sepanjang film nanti, dia lebih banyak menggelayut, bermanja di lengan Ais.

Film dimulai.

Suasana cukup berisik. Sesekali diwarnai tawa penonton. Hal yang membuatku mengurungkan niat tidur.

Tanganku dan Ais saling genggam. Jari-jari kami tak bisa diam, bertaut, saling goda. Geli juga sebenarnya. Udara memang mulai dingin. Ais yang sengaja membawa jaket, menutupi bagian paha, naik hingga ke dada, lalu melebar hingga menutupi kedua tangan kami yang tengah berasyik-masyuk, seolah berselimut. Cerdas.

Mendadak wajah Ais mendekat ke wajahku. Bibirnya yang lembut mengecup pipiku.

Hangat. Enak. Tepat saat tawa penonton menggema.

Aku kaget. Kupalingkan wajahku ke arahnya. Kami saling pandang.

"Terima kasih sudah mau ikut ke sini", Kata Ais. Sedikit berbisik di dekat kupingku. Aroma tubuhnya begitu khas, menggoda, mengundang syahwat.

Aku hanya menghela nafas.

Kubalas kecupan itu dengan ciuman ke arah bibir nakalnya. Kami berciuman. Mesra. Intens. Halus. Dua kali sapuan lidah. Cukup.

Kami tak ingin kebablasan.

Kami kembali bersandar ke sofa masing-masing. Menghadap layar besar di depan sana. Gambar gerak yang kupastikan tak bisa diolah otak dan pikiran kami sedikitpun. Pikiran kami tengah berada di tempat lain. Tangan kami kembali saling genggam. Kali ini lebih erat.

Terasa penisku bereaksi. Mengeras pelan-pelan. Aduh, minta jatah dia.

Gelap, berisik, penonton sibuk fokus ke layar, harusnya cukup ideal untuk berbuat sesuatu. Pasti nikmat jika Ais mau mengemut kontiku. Aku membayangkan bibirnya yang lembut dan hangat. Lalu sapuan lidahnya yang manja. Juga mulutnya yag hangat, kuat saat menghisap.

Bajingan.

Konti mengeras seketika.

Cukup. Cukup. Aku menarik angan-anganku kembali ke tempat itu. Berusaha menikmati sajian layar. Beberapa kali kugeser posisi duduk. Berharap ada ruang lega di sekitar kemaluan, agar ia tak keenakan di sana, agar ia rileks.

Lalu aku sadar, tangan Ais lepas dari genggaman. Tangan Ais meraba batang pusakaku!!!

Aduh mama sayangeeeeee.....

Lonte jahanam!

Tangan Ais mengelus-elus area zipper.

Kubiarkan saja ia beraksi. Si Adik bangkit lagi.

Duh biyung.

Segera, dengan gerak tiba-tiba, kupandang wajahnya.

Ais bersikap sok dingin. Matanya lurus menatap layar di depan. Senyuman mengejek perlahan keluar dari mulutnya, bibir bawahnya digigit perlahan. Senyum usil. Senyum kemenangan.

Tai.

Aku tak mau dilecehkan.

Tangan kananku kupasrahi tugas suci, untuk membalas perbuatan sundal terlaknat ini. Mencoba menelusup di balik selimut jaketnya, masuk ke dalam rok. Rok berkaret, mudah saja kutembus. Menyasar bongkahan daging berjembut. Hanya sasaran itu yang paling logis, terlalu kelihatan jika harus menyasar bukit kembar di area atas.

Area bawah ternyata masih kering. Tangan kananku melanjutkan perjalanan. Pelan-pelan menyusup di balik celana dalam. Ternyata ada benteng pertahanan lain. Kain tebal. Pembalut?

"Mbak lagi dapet tah?", tanyaku, berbisik, kaget dan sedikit kecewa.

"Hmm...Enggak kok. Emang biasa pakai kan, gampang basah soalnyah...", jawabnya dengan suara manja, ada kesan desahan di sana, juga kesan malu.

Ooooh. Aman pemirsa. Kita lanjut.

Tanganku kembali masuk ke area bencana. Suasana di sana sudah tak kondusif. Banjir melanda. Jari tengahku memulai gerakan di rimbunnya bulu-bulu kemaluan Ais yang halus. Rata menutupi lubang kenikmatan, tapi tak terlalu lebat. Pasti enak jika dijelajahi rudal antar benua.

Kupandangi Ais sekilas. Dia menahan desahan. Di kanan Ais, teman kami tampak menggelayut ke badan Ais. Pasti sedang kacau balau perasaan Ais saat ini. Enak, pengen mendesah, tapi takut ketahuan.

Rasain lu.

Kudekatkan mulutku ke kuping Ais.

"Udah becek banget," Kataku.

Mimik muka Ais berubah, memelas, minta pertolongan, juga minta dipuaskan.

Entah kenapa, aku bahagia. Merasa menang. Genggaman ais di kontiku melemah. Tersisa usapan-usapan kecil. Ada sedikit tremor di sana. Terlebih saat jariku menyentuh bibir lubang cintanya yang membanjir. Konsentrasinya buyar.

Duduknya sedikit beringsut. Berusaha sedikit melebarkan paha. Mengundangku untuk masuk lebih dalam.

Ahsiaaappp...

Tak ada yang kutahan-tahan lagi. Segera kumainkan jariku di lubang memeknya. Pertama hanya jari tengah. Kesepian, kutambah jari telunjuk.

Mendadak tangan kiri ais meremas pahaku sebelah dalam. Kaget aku mak.

Semakin becek lubang kemaluan Ais, semakin asik jari-jariku mengobel. Kadang mencapai bola kecil di ujung sana. Hal yang membuat tubuh Ais segera bereaksi.

Jari manisku ingin turut berpesta. Ayuk lah masuk.

Jadilah tiga jari mengolah lubang itu. Tak bisa masuk semua sebenarnya, tapi menambah sensasi geli pastinya.

Dan benar memang, saat ada dua jari berduaan, yang ketiganya adalah setan.

"Ah....", Desahan Ais tak tertahan. Terucap begitu saja.

Nah kan, si setan.

Wadidaw...

"Kenapa mbak?", tanya perempuan di sebelah.

"Sssshh..***k tau nih, mulesss...., karena soda kali yah?", jawab Ais. Diplomatis. Tapi kuakui sebagai jawaban cerdas. "Aku minta air mineral dong", Lanjutnya

Beberapa teguk diminumnya. Sesekali melirikku. Ujung botol itu sedikit dimasukkan ke mulutnya. Sengaja tampaknya, ingin menggodaku.

Tentu saja upayanya berhasil, birahiku naik tiba-tiba. Membayangkan penisku menghujam mulut itu. Basah dan lembut. Oh shit. Oh fuckin' shit.

"Mas, mau?" Ais menyodorkan botol air mineral itu. Buyar imajinasiku.

"Enak?" balasku.

"He-em" mulut Ais tak bisa menjawab. Air tadi memenuhi mulutnya. Membuat rongga mulut dan pipinya menggembung. Lalu perlahan ditelannya air itu.

Lagi, imajinasiku melayang. Kampretos.

"Aaah..." ucap Ais, seolah puas minum.

"Aiiih...jorok si embak nih" kata perempuan di sana.

Pikiranku yang jorok. Aku.

Ais hanya membalas dengan tersenyum.

Aktivitas nonton berlanjut. Aktivitas pertempuran di lubang meki turut berlanjut. Tapi tak lagi frontal. Lebih sopan. Jari setan kupaksa untuk menunggu di semak belukar, tak kuizinkan masuk. Reaksi Ais menunjukkan ekspresi enak, entah mungkin karena belajar dari tragedi 'Ah' tadi, desahannya kini lebih terkontrol.

Sepanjang film, nyaris dua jam, meki Ais kuobok-obok. Selama itu Ais tak berdaya, kulecehkan dan kukuras sumur kewanitaannya. Entah sudah sehancur apa area pertempuran di sana. Pastinya porak poranda. Selama itu pula aku menahan konak. Hasrat tertahan.

Dua jam di bioskop, memberiku tiga pengalaman penting:

Pertama, bahwa ada kalanya kita sebagai pria hanya bisa melayani pasangan, cukuplah memberi, tanpa menuntut imbal balik setimpal. Tanpa meminta pasangan berbalik melayani. Tentu dengan catatan: jika ego, kebanggaan sebagai pemenang, dan kepuasan batin sebagai pelayan tidak dihitung sebagai imbal balik itu.

Kedua, bahwa kontiku mampu bertahan dua jam dalam kondisi on-off, asalkan tidak dirangsang berlebihan. Tidak diurut. Tak disentuh. Aku tak pernah mengalami hal serupa sebelumnya.

Ketiga, ternyata oh ternyata, menahan konak selama dua jam itu sungguh menyedihkan.

Sayangnya itu bukan yang terakhir. Pengalaman yang sama akan kembali terulang. Juga dengan perempuan yang sama.

---intermezzo selesai---
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd