Lembar 6 - Ruang Rahasia
Gathering hari ketiga.
Pagi ini acara 'inti'. Kami mengadakan rapat kerja, biasa dikenal dengan istilah "
benchmarking", dengan mengundang beberapa instansi setempat. Semua tau, ini hanya basa-basi, pembungkus acara liburan di tempat ini. Rapat yang asal saja, asal ada yang datang, asal kumpul, asal ada yang diomongin, asal foto-foto. Sekadar untuk bahan pertanggungjawaban, biar gak dikira pemborosan uang negara.
Rapat sudah lebih dari satu jam, aku tetap gagal fokus, menahan kantuk sejak tadi. Kepalaku berat. Pusing kembali datang. Flu belum tuntas ternyata, makin parah sebenarnya. Aktivitas sehari kemarin agak berlebihan: Pagi game ringan, siang rafting, sore masih lanjut outbound di area atas. Tentu diselingi kejadian mengerikan di toilet, sebagaimana kuceritakan di lembar sebelumnya. Ah iya, cerita ini masih tentang Ais, dan hari ini, dia cantik sekali. Ais selalu tampak lebih wah, saat serius. Hari ini pun demikian. Dia duduk mendampingi kepala Satuan Kerja kami, sibuk merekam jalannya rapat lewat ketikan di keyboard laptop merahnya. Matanya tajam menatap layar. Terkadang mencuri-curi pandang, tau kalau ada pria bersuami yang tengah memperhatikannya sejak rapat dimulai. Masih dengan hijabnya, warna coklat-krem, melengkapi penampilan semi formal khas pekerja kantoran. Pusing kembali kurasakan, mungkin karena teringat si adik yang belum terpuaskan, atau karena perbuatan Ais yang nanggung, dua kesempatan dalam dua hari. Juga mengingat waktu yang semakin terbatas untuk bermesraan di resort ini.
Rencana untuk berduaan dengannya nyaris gagal. Tak ada waktu yang cukup leluasa untuk menggarap perempuan manis itu. Semalam tadi, demam kembali datang. Kemarin sore, badanku yang basah akibat ber-arung jeram, kupaksakan untuk turut berpartisipasi di sesi outbound. Air yang menempel di baju seakan merendam tubuhku yang belum dalam kondisi fit ini.
Lepas Maghrib, badanku terasa menggigil. Aku akhirnya memutuskan untuk rehat saja di kamar, mandi berendam air hangat, lalu tarik selimut dan tidur. Capek sekali. Bangun-bangun sudah jam tiga pagi. Pesan Ais di HP belum ada yang kubalas. Belakangan aku tau, Ais mengkhawatirkanku dan sempat menanyakan kondisiku ke teman sekamarku. Oiya, tiga hari ini, bahkan istriku saja tidak menanyakan kabar. Kadang perhatian itu mahal.
Acara gathering tiga hari resmi berakhir. Tampaknya aku harus melupakan rencana jahatku. Kami bersiap pulang.
....
Sore hari, kantorku.
Kami baru saja sampai di tempat ini. Waktu tempuh untuk pulang nyaris dua kali dari waktu keberangkatan. Tadi sengaja kuambil jalan memutar, mencari jalur yang lebih sepi, aku mengkhawatirkan kondisiku yang makin drop. Empat orang penumpangku memaklumi. Kami akhirnya mencari jalur yang lebih santai, bahkan menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, dua kali. Pertama untuk makan siang, dan kedua untuk mampir berfoto-foto di salah satu spot perbukitan terkenal. Aku tak banyak bergerak, kucoba untuk memejamkan mata sebentar di kesempatan kedua itu. Puji tuhan, kami akhirnya kembali dengan selamat.
Aku membantu menurunkan beberapa barang bawaan dari bagasi belakang, saat kudengar teman-temanku berpamitan. Ada yang sudah dijemput, ada juga yang pulang sendiri, motornya dititipkan satpam tiga hari ini. Ais termasuk golongan kedua. Sudah ada tiga orang berpamitan. Artinya di kantor tersisa aku dan Ais. Ah, sepertinya masih ada kesempatan.
Ais tengah duduk santai di lobby lantai satu, tepat di samping tangga. TV yang disediakan di ruang itu, tengah menayangkan berita. Ais duduk dengan tangan yang sibuk bermain telepon genggam. Matanya tampak serius. AKu yakin ia tengah memilah-milih foto hasil jepretan tadi.
"Dapat foto banyak mbak?" tanyaku, setengah menebak juga.
"Lumayan mas, tapi gak ada foto kita berdua" jawabnya. Bisa aja apem jawa.
Obrolan berlanjut, aku lupa detailnya. Ingat, kepalaku pusing, tubuh meriang. Terlebih, otakku sedang tak berada di tempat itu. Dia berpikir keras untuk memindai potensi risiko di kantor kami. CCTV tidak ada, satpam hanya berjaga di pintu masuk, kunci tersedia di tiap pintu. Seharusnya bisa nih. Sekedar berciuman dan lanjut BJ kayaknya bisa. Bisa aku yakin.
"Naik aja yuk mas" ajak Ais.
Kesempatan.
Ais mengajak ke lantai dua, ruang divisi kami. Relatif aman di sana. Asal tidak ada teman kantor yang datang. Harusnya tidak ada. Mereka harusnya sudah kembali ke rumah masing-masing. Tanpa sengaja, kami telah menciptakan waktu yang ideal, dengan memperpanjang waktu perjalanan. Belum sempat ku cek motor di parkiran, tapi aku yakin sudah tak ada yang akan datang. Semoga.
Ais naik duluan. Aku menyusul, dengan membawa printer dan beberapa alat kantor lain yang kemarin kami pakai.
Aku telah sampai di pintu masuk ruang kerja yang luas itu. Di dalam sana, ada Ais, tengah berdiri, tangannya sibuk memeriksa HP, entah sedang apa. Ais membelakangiku. Kaos warna gelap. Rok panjang warna coklat-krem, sama dengan warna hijab, tak mampu menahan kemolekan pantatnya. Aduh, aku tak tahan.
Kupeluk ia dari belakang.
Tak kurasakan aura kaget. Sepertinya Ais memang sudah bersiap, hanya menunggu aksiku saja.
Kucium tengkuk dan leher Ais. Wangi. Seperti biasanya, memabukkan. Tanganku meremas pantat Ais yang menggoda.
"Hmmm....aaahhhh..." Ais mendesah tipis.
Dia segera memutar tubuhnya. Kami berhadapan, tangannya merangkulku, mengalungkan ke leherku.
"Kangen ya?" tanya Ais. Bibirnya turut menggodaku, sedikit manyun.
Aku tak menjawab. Ada hal lebih penting yang ingin kulakukan.
Segera kucium bibir seksi itu. Melumatnya dengan sedikit kasar dan tergesa. Lidahku ikut ikutan. Ais pasrah saja. Desahannya tertahan.
Tanganku dua-duanya masih terkunci di bokong Ais yang ranum. Kuremas-remas sejak tadi. Remasan yang tampaknya membuat Ais makin panas. Tangannya makin intens mengacak-acak kepalaku bagian belakang, juga menahan agar ciuman kami tak berhenti.
Kali ini dia balas melumat bibirku, juga dengan gerakan agak kasar. Tak terlalu lama, Ais berpindah posisi.
Berlutut dia. Membuka resleting celananku dengan gerak bar-bar. Lalu melahapnya.
"AAAhhhhhh...." Aku mendesah tak tertahan.
Mulut Ais tepat sasaran. Ia tau apa yang kuinginkan.
Ini enak banget.
Basah. Lembut. Hangat.
Agak lama ia mengulum penisku yang makin tegang. Mengemutnya. Menahannya dengan gerakan halus, sedikit maju, sedikit mundur, lalu kurasakan hisapan.
Aaaah, pro sekali.
Adrenalin meninggi. Sesekali kulirik sekitar. Berharap tak ada orang yang lihat. Sensasi diemut perempuan berhijab, dengan pakaian anggunnya yang masih lengkap. Juga karena ini di kantor. Kantor loh!
Sementara tangan Ais yang lembut menahan pantatku, seolah tak rela jika kontiku melepaskan diri. Tangan satunya bermain di sekitar pangkal penis. Kadang mengelus paha, kadang meremas buah zakar, kadang mengocok saat kepala penisku disesap mulutnya yang basah.
Aduh penis tegang maksimal. Aku tak tahan, ingin kuperkosa mulut itu.
Tanganku segera mencengkeram kepala Ais, menahannya agar tak melawan. Pantat kupaksa maju, agak kasar. Ais tampak kaget, aku tak peduli.
Kutusuk mulut wanita solehah itu dengan senjata yang teracung.
Menerobos masuk.
Menyentuh ujung rongga mulut. Mentok.
Kutahan posisi itu.
"GGggghhh..... mmmggghhhh..." Sepertinya Ais ingin mengatakan sesuatu, tak kugubris. Aku ingin memuaskan diriku sendiri. Badanku sedikit membungkuk. Mata kupejamkan. Kurengkuh kenikmatan itu dalam-dalam.
Cukup lama, lebih dari 10 detik.
Segera kutarik mundur.
Ais tampak shock.
Terengah-engah.
Sedikit terbatuk.
Ditatanya nafas-nafas itu.
Aku belum puas.
Kuhujamkan lagi penisku. Masih dengan kasar. Tiga hari aku digantung, kali ini akan kupastikan dia memuaskanku.
Aku berimprovisasi, kugoyang batang kakuku. Maju-mundur. Memompa mulut Ais yang tampak kepayahan. Tak ada perlawanan berarti. Tangan Ais sekadar menjangkau pantat dan sekitar pahaku.
Makin kuperkosa mulut itu, makin naik nafsuku.
"Clok.....plop...clokkh...ceplokkss..." Becek sekali suara di dalam sana. Air liur Ais benar-benar membanjir, sebagian sampai tumpah keluar, tak terbendung.
Aku berkuasa. Ais tak berdaya. Erotis.
Kukeluarkan sang gagah dari mulut mbak Ais.
Lagi-lagi. Ais tampak kepayahan. Badannya lemas. Nafasnya tak beraturan, ada sedikit air mata kulihat. Sebagian air liur masih menetes. Ais bersimpuh, gaun masih lengkap, tapi acak-acakan.
Kubungkukkan badanku. Kubisikkan sesuatu di kuping Ais.
"Hukuman buat yang kemarin..."
Ais tak bereaksi. Tak ada jawaban. Sukurin dah.
Aku masih belum puas. Ada lubang lain yang harus kujajah. Kulihat sekeliling. Ada tempat solat, di ujung. Ada karpet, cukup layak untuk alas bersenggama. Sempat berpikir, untuk kujadikan tempat pemerkosaan. Tapi segera kubatalkan. Tidak sopan.
Atau kupaksa dia menunggangiku, di kursi kerja. Ah tidak, aku tak ingin didikte. WOT artinya wanita yang berkuasa. Tidak. Akulah yang berkuasa.
Satu tempat tersisa. Tempat paling nyaman, tersembunyi, lebih penting lagi ada sofa panjang. Di sanalah Ais harus melayaniku. Di ruang pimpinan.
Tekadku bulat.
Kutarik tangannya, kupaksa ikut. Ais tak melawan. Anak baik.
.....
Ruangannya masih gelap.
Segera kucari saklar lampu. Ketemu. Lampu on. Ais yang persis di belakang, menutup pintu. Tiba-tiba wajahnya berpaling ke arahku.
"Gak ada kuncinya mas," katanya.
Celaka, tak ada kunci. Artinya tingkat keamanan rendah. Otakku beku, buntu.
"Biarin deh...," segera kutarik Ais, kudorong tubuhnya ke tembok. Kupepetkan di sana. Leher dan sekitar kuping Ais harus kujamah, bagian sensitifnya.
Benar saja, Ais menggelinjang tanpa ritme sesaat setelah mulutku mendarat di lokasi. Beberapa cupangan kusisakan di sana.
"Aaaachhh...iya....hmmmmffhhh....aaaaaccchhh...di sana mas...iyaaa....," racau si ukhti cantik.
Leher Ais putih, bersih, juga wangi. Wangi selalu berhasil meracuni. Penis di bawah sontak tegang berdiri.
Hijab Ais kulepas paksa. Bersama ikat rambut yang turut terlepas. Rambut panjangnya terurai. Tidak hitam pekat. Ada sedikit warna coklat. Wanginya senada dengan aroma leher dan kuping. Menggoda.
"Cantik banget kamu mbak,..." kataku. Terucap tanpa rencana, spontan.
Ais tampak tersipu. Pipinya yang putih, memerah. Aura kelelahan begitu tampak. Tapi tak mengurangi esensi kecantikan alami yang dia punya. Lengkap dengan lesung pipit yang selalu ia banggakan di depanku.
Sekilas kulihat Ais tersenyum. Tiba-tiba ia menyosor, menciumku tepat di bibir. Kami kembali berciuman. Ciuman panas.
Tak mau berlama-lama, tujuanku kali ini adalah untuk menggagahinya.
Kuserbu kembali pipi, kuping, leher, kusesap aromanya yang begitu membius di tempat itu, lalu ciumanku turun ke dada.
Kaos mbak Ais kulepas, sedikit kasar, lalu kulempar begitu saja. Entah ke mana.
Ais memakai BH warna hitam, dihiasi renda-renda tipis, tak berlebihan, seksi. Ukuran BH gagal menghalangi pesona susu Ais yang membusung. Besar, mendesak, seolah berontak, ingin segera dibebaskan.
Aku kabulkan. Segera kubebaskan gunung kembar itu dari sang kain penahan.
Aaaah, Indah. Pemandangan Indah. Di bawah cahaya ruang yang cukup, payudara putih, kontras dengan puting gelapnya yang eksotis, Terpampang, Menantang. Aku sudah tak tahan.
Kucaplok susu Ais, favoritku, susu kiri. Aku menyusu bak anak kecil. Menghisap, melupat, menjilat, kulengkapi dengan remasan agak kuat. Tangan kiriku turut bermain dengan remasan, kocokan, dan jepitan untuk puting Ais di sebelah kanan.
"Aaaahhhh....Massss....Ennnnaaaakkk.....,Sssshhh... Hhhhmmmmmm.... Aaaaah.... Lagi sayang,.... gigit lagi....oooohhhh....iyaaaaaahhh....Ooouuuwwwwhhhhh....he-emmmhhhh...." Desahan Ais berkali-kali berkumandang. Tak terkendali. Ada perasaan takut ketauan yang tiba-tiba datang, tapi ekspresi binal sang perempuan di depanku berhasil menutupnya rapat-rapat. Membuatku makin beringas.
Giliran susu sebelah kanan yang kugarap. Putingnya keras, tapi masih bisa dinikmati. Kulumat inci demi inci wilayah gunung kembar ais, telaten. Hal yang membuat Ais kembali meracau tak jelas.
"Awwwwwhhh.....iyaaahhh....massss.....aaaccch....awwwwhhh...ooohhh..."
Tangan kananku sudah maju satu langkah, menelusup ke selangkangan Ais. Sekilas menyapu sekitar wilayah itu. Basah sudah.
Tak sabar. Kuturunkan rok coklat itu. Rok dengan bentuk estetis dan tidak sederhana, ternyata bisa lepas dengan sekali tarikan. Celana dalamnya pun kucopot tanpa perlawanan.
Ais terlanjang bulat.
Indah.
Membayangkan perempuan alim, yang biasanya anggun itu, kini memperlihatkan lekuk tubuhnya di depanku.
Indah.
Meki Ais Becek. Banjir bandang. Jariku kini mengobok-obok area itu. Mencolok-colok area sensitif.
Ais mendengus, mendesah, menggelinjang hebat. Sesekali mulutnya berusaha menggigit kupingku, sakit, lebih sering kuhindari.
Aku merasa sudah waktunya. Saatnya memek basah itu merasakan hujaman rudalku. Kulepaskan tanganku dari area sensitifnya, aku ingin membawa Ais ke sofa coklat tua.
Ternyata Ais punya rencana lain, tubuhnya masih bisa bergerak bebas. Tangan Ais meraih kontiku yang tengah tegang. Kembali Ais berlutut lalu mengemut daging kaku itu.
"Aaaaaahhhcchhh...." setengah kaget, aku spontan bereaksi.
Kuluman Ais agak kasar, tampaknya mengimbangi pola serangan yang kubangun sejak tadi. Cukup lama ia bermain di sana. Aku sudah merem-melek keenakan. Geli-geli enak. Basah dan hangat akibat sedotan mulut terlatih.
Momennya kurang pas. Aku bisa crot.
Tidak, tidak mau.
Aku yang berkuasa, bukan Ais.
Kutarik paksa kontol tegang itu. Ais masih terengah-engah. Serangannya cukup berhasil. Tapi cukup.
Mari ke menu utama.
Kutarik tubuh Ais, kuhempaskan ke sofa panjang.
Pemandangan setelahnya, di luar dugaan.
Wajah cantik Ais berubah. Menjadi wajah liar. Mata Ais merem-melek. Bibirnya digigit perlahan. Lidah Ais sesekali membasahi bibir seksinya. Ada yang lebih ekstrim.
Tangan Ais bermain-main dengan lubang kenikmatan, berusaha mengocoknya, sekali ia berusaha membuka lubang itu lebar-lebar. Disertai gerakan mengangkang. Mengundang kontolku masuk.
Cokkk!!!
Minta diperkosa.
Baiklah, mari kita mulai.
Waktu seakan berakselerasi....
Kedua tangan Ais kutahan di atas kepalanya. Aku ingin melihat ketiak Ais, kujilati sebentar. Ais kembali mendesah. Hmmm...satu lagi area sensitif. Kontiku yang tegang sesera menghujam. Tanpa perlawanan. Licin oleh cairan cinta yang banjir sejak tadi. Kukocok di sana. Maju mundur.
Ais menggelinjang hebat. Desahan Ais makin menjadi. Pantat Ais bergoyang mengimbangi. Lonte memang.
"Sssssshhhh....aaahhh....ennnaakkk sayang....teruss masssss....." Kembali racauan nikmat itu keluar. membuatku makin bersemangat.
Kebenamkan batang kaku itu dalam-dalam. Menyesap nikmat dari cengkeraman mekinya yang membius. Sekian detik. Lalu kembali kugoyang. Desahan Ais sudah tak tentu arah. Entah kata-kata apa yang keluar.
Enak. Lagi. Masuk. Kerasa banget. Aaaah. My God. Mau. Terusin. Colok-colok. Tahan. Dorong...
Ais pakar mendesah. Diksinya tak terhingga.
Sudah sekian menit aku minindih perempuan jalang ini. Tak ada tanda-tanda akan keluar. Tadinya aku berharap bisa segera tuntas. Masih ada sisa kekhawatiran jika Security mengecek ke ruang itu. Terlebih masih ada kendaraanku dan Ais di parkiran.
Terpaksa kami berganti posisi. Doggy.
Kembali kuperkosa meki Ais, kali ini dari belakang. Lebih terasa karena tertahan oleh pantat semok ais. Aku remas-remas dengan gemas. Tenagaku tak cukup ternyata. Sekal, membal, remasan tanganku seperti tak memberikan efek apapun bagi Ais.
Berkali-kali kuhujamkan kontol ke memek Ais. Disambut dengan lenguhan dan racauan.
Ada pemandangan indah di bawah sana. Susu Ais bergoyang, menggantung dan bergoyang, sesekali jatuh terhimpit badan Ais yang terdorong akibat sodokanku. Aku berusaha meraih bongkahan daging kenyal itu.
Berhasil. Keduanya kugenggam. Kuremas kuat-kuat.
Reaksinya sungguh tak terbayang.
"AAAAAAWWWWWHHHHHHHHH........"
Ais mendesah hebat. Erangan yang lebih keras dari biasanya.
Membuat kontolku makin tegang, tegang maksimal. Kembali kukocok sekuat tenaga. Rasa geli itu perlahan muncul. Kupercepat ritmenya. Makin cepat.
Desahan Ais semakin dahsyat, kdang diselingi erangan memelas. Enak, tapi menderita. Menderita keenakan.
Kocokanku semakin menjadi. Lalu rasa itu datang. Geli hebat. Tanda-tanda akan meledak.
Kutarik penisku. Ais memutar tubuhnya tanpa kuperintah. Wajah Ais lalu mendekat ke penis tegang-merah-basah itu.
Croootttt....crootttt..crooootttt......
Spermaku muncrat di wajah Ais. Memenuhi wajah cantik Ais yang tengah merem. Sebagian mengenai rambut, Sebagian di leher. Sebagian kecil di belahan dada membusungnya.
"Bersihin...," perintahku.
Budak cintaku menurut. Menjilati sisa sperma di sekitar penisku yang msih berkedut. Memeriksa dengan teliti, telaten, hingga ke bola zakar, hingga ke batas anus. Lalu menyapunya perlahan ke arah kepala kontol yang masih geli. Kemudian happp...
Amblas sebatang. Dikulum, diemut, disedotnya tongkat pusaka itu kuat-kuat. Beberapa kali kedutan masih kurasakan saat mulut nakal ais memungkasi pertarungan kami.
Pejuku ludes tak tersisa, dilahap lonte penurut yang kuperkosa tanpa ampun. Bukan di tempat yang kurencanakan. Tapi di tempat yang tak pernah ku duga. Ruang Pimpinan.
.....bersambung....