pendekarguolowo
Adik Semprot
...
Hmmm... Aku masih belum yakin untuk menuliskan cerita ini. Keterkaitan dengan Ais tidak terlalu kuat. Ini lebih tentang aku. Tak apa lah, kuanggap memorabilia saja, sembari mengingat kejadian-kejadian yang kualami.
...
Kota xxx, Negeri Jauh. Awal tahun kelima.
Cuaca di tempat ini masih dingin. Pemanas di apartemen tidak banyak membantu. Masa kecilku dulu dihabiskan di dataran tinggi, harusnya sudah terbiasa. Tapi tidak, ini lebih dingin. Dingin tapi kering, tidak terlalu lembab. Sulit kugambarkan, pastinya menyiksa bagi kaum tropis sepertiku.
Sedikit kuceritakan siapa aku. Sebagai pengantar bagi cerita di bagian ini. Keluarga besarku dari Abeh (panggilan untuk ayah) berasal dari keluarga ulama, salah satu trah di Jawa Timur, masih ada darah timur tengah. Sayangnya, genetik arab tak terlalu tampak di generasiku. Mungkin hanya warna kulit, tipikal rambut dan warna mata yang diwariskan ke aku, postur dan perawakan sama sekali tak bersisa. Abeh yang sejak remaja banyak terlibat di urusan pesantren, sering berpindah rumah, mengurus beberapa yayasan di sekitar Jawa. Unik sebenarnya, di satu waktu terafiliasi dengan ajaran tradisional, kadang tergabung di aliran moderat, pun pernah terlibat di gerakan pembaharu dan modern. Bisa dibilang beliau bertualang ke banyak komunitas keagamaan. Mungkin itu sebabnya pemikiran kami relatif terbuka. Bahkan ketika anak-anaknya memilih jalur karier yang sama sekali berbeda dengan orang tua, tidak ada protes. Disilakan saja. Jadi lah bisnis rumahan Emak (panggila untuk ibu) tak ada yang melanjutkan.
Kami sekeluarga tidak terbiasa untuk tinggal menetap lama di suatu tempat. Paling lama 3 tahun, menyesuaikan tahun pelajaran. Emak yang berasal dari keluarga priyayi di Jawa Tengah, memilih untuk mendampingi Abeh ke manapun yang beliau inginkan. Keluarga petualang. Sebagai ibu rumah tangga, nyatanya Emak tak bisa berdiam diri. Di setiap tempat ada saja usaha yang beliau rintis. Sebagian gagal, sebagian yang lain berhasil. Ini pangkal masalahnya. Kami, anak-anaknya tak ada yang mau melanjutkan. Masing-masing dari anaknya memilih jalan hidup yang berlainan. Bisnis yang berhasil tadi pada akhirnya diserahkan ke orang lain. Sebagian besar ke murid-murid ataupun jamaah Abeh.
Satu bisnis peternakan di Utara Jawa, misalnya. Diserahkan ke seorang teman ngobrol Abeh, masih ada hubungan saudara dengan Emak. Kami sekeluarga diwanti-wanti untuk berlepas diri dengan usaha itu. Tidak boleh merasa memiliki. Kami anggap sudah disedekahkan. Tapi itu hanya keyakinan kami, tidak bagi si penerima mandat, panggil saja Paklek. Hubungan kami dengan keluarga Palkek, demikian juga dengan beberapa orang lain yang kami pasrahi untuk melanjutkan usaha, menjadi unik. Seakan seperti keluarga besar. Lebih akrab daripada hubungan kami dengan keluarga trah.
Saat aku SMA dulu, Paklek pernah menawari Abeh untuk berbesan. Paklek punya anak perempuan, tiga tahun lebih tua dariku. Namakan saja Ella. Cantik, khas didikan jawa: sopan, pendiam, tutur katanya halus. Rencananya sang anak yang masih duduk di bangku kuliah akan dijodohkan dengan kakakku. Sayangnya gagal, kakakku menolak, dengan alasan sudah punya calon istri, padahal belum sih, enggan saja tampaknya. Rencana besanan gagal, tapi hubungan keluarga besar masih baik. Setelah kejadian itu, tak pernah lagi kudengar kabar dari Paklek. Iya, aku tak terlalu peduli dengan urusan antar keluarga, aku lebih suka mengurus diriku sendiri.
Takdir Tuhan membawaku ke Negeri Nun Jauh ini. Garis nasib ternyata selalu membuka pintu-pintu rahasia yang tak dinyana. Di tempat yang jauh dari rumah ini, aku bertemu Ella!
Bahkan, kini, jika mengingat momen itu. Rahasanya mustahil. Tapi benar, ini nyata.
Mbak Ella tengah belajar lanjut, spesialis, tahun terakhir. Aku bertemu dengannya di Asian Market, tak jauh dari apartemenku. Singkat kata, kami lalu menyempatkan diri bercakap sesiang itu di satu kedai kopi. Obrolan mengalir begitu saja. Tentu kejutan yang menyenangkan, bertemu anggota keluarga di negeri asing. Yah, walaupun bukan hubungan sedarah. Terlebih penampilan Mbak Ella tak banyak berubah. Lebih dewasa iya. Lebih muslimah, dengan jilbab besar, yang waktu itu diselimuti jaket tebal mirip jubah musim dingin warna gelap. Masih malu-malu. Tutur katanya tetap halus, cenderung terlalu lembut, kadang perkataannya tak kudengar, harus minta dia mengulanginya. Agak gak sopan sih ya. Makin awkward lama-lama.Sesungguhya jarang sekali kami mengobrol. Bahkan bertemu pun hanya setahun sekali, saat lebaran. Terakhir kami bertemu saat aku belum bekerja, sekitar tujuh tahun lampau. Itu pun tidak ngobrol serius. Kini kami dipertemukan, tanpa rencana, tak terduga.
Si embak ternyata suka bercerita, mungkin karena merasa hubungan keluarga cukup dekat. Kesan malu-malu perlahan terkikis. Mbak Ella mendapatkan beasiswa, dari tempatnya mengabdi, satu yayasan pendidikan tersohor di Tanah Air. Masih single di awal umur 30-an ini, tapi tak akan bertahan lama. Selepas masa studi, dia akan menikah.
"Dijodohkan mbak?" tanyaku
"Mboten... ," jawabnya. "Aku pilih sendiri, terakhir kali dijodohkan ya sama Mas-mu, kan gagal. Untung gagal ya, Mbak kan gak terlalu kenal dengan Mas ***, ngobrol aja belum, moso baru kenalan pas ijab, hehehe..."
Cekikikan dia. Senyumnya ditutup tangan mungilnya. Imut.
Aku ikut tersenyum melihat ekspresi Mbak Ella.
Jadi begini, perawakan mbak Ella kecil. Sepadan dengan istriku, lebih pendek dari Ais. Aku masih belum bisa menerka bentuk tubuhnya, tapi kurasa agak chubby, lebih berisi dari istriku. Pipinya agak gembil. Kulitnya bersih, sawo matang, tidak seputih Ais. Yang mempesona adalah wajahnya. Hidung kecil, bibir mungil, alisnya alami, tk tersentuh alat makeup. Matanya yang paling indah, besar, tatapannya intimidatif, menunjukkan wibawa, tipikal dominan. Wajahnya mirip-mirip artis jepang atau korea, tapi bercampur, blaster dengan ras eropa. Ya agak mirip Neng Ayana. Agak saja, tidak mirip banget.
Sore itu kami akhiri dengan bertukar nomor telepon, juga alamat kediaman, siapa tau masih berjodoh.
...
Pergumulan di kantor yang lalu, adalah terakhir kalinya Aku dan Ais bertemu. Satu tahun berikutnya aku habiskan untuk fokus studi. Bisa dibilang Ais tersisihkan. Tidak hanya Ais, keluargaku di rumah pun tak banyak kulibatkan. Konsentrasiku tersedot ke urusan sekolah.
Beban studi cukup berat sebenarnya, untunglah banyak teman yang membantu, terkhusus Mbak Ella. Entah bagaimana aku menjelaskannya. Seakan seperti punya kakak perempuan. Sesekali kami saling berkunjung. Lebih sering dia yang ke tempatku, atau kami janjian di satu tempat, sekadar ngobrol, belanja kebutuhan, atau menikmati suasana kota asing ini. Apartemen ku kinclong jika Mbak Ella datang. Semuanya dia yang bersihkan, sampai mengepel kadang. Itu belum ditambah dengan kesediaanya memasak makan malam. Masakan jawa, masakan ndeso, dengan bahan-bahan seadanya, tetep... enak tenan. Aku sampai tak enak hati. Dia selalu berkata bahwa keluarganya berhutang budi sedemikian besar, yang tak akan bisa dibayar dengan apapun. Kami tau itu berlebihan.
Keakraban kami, rahasia kami.
Hubunganku dengan Mbak Ella, tidak pernah kuceritakan ke siapapun. Tidak dengan Ais. Tidak dengan Istri. Tidak juga dengan keluarga besarku.
Nyatanya, hubungan laki-laki dan perempuan tak pernah benar-benar 'bersih'. Setidaknya bagiku. Beberapa bulan di tempat ini, tentulah aku merindukan sentuhan wanita. Mbak Ella satu-satunya opsi yang kupunya. Ya tentu saja, selain opsi jajan sembarangan, yang sejak jauh-jauh hari kucoret dari daftar. Tapi tentu saja, aku demikian hormat. Kami satu keluarga. Kukubur anganku dalam-dalam. Tak pernah sekalipun aku berusaha menggodanya.
Sampai di satu kesempatan.
"Kamu gak pernah ngerasa kesepian gitu? jauh dari istri dan anak?" sekali pertanyaan itu terucap dari mbak Ella. Pertama kalinya.
Aku belum menyiapkan jawaban. Kupaksa otakku berputar. Cepat. Lebih cepat.
"Gak lah. Ada mbak Ella kan. Setia menemani." jawabku, dengan sedikit nada bercanda.
Tampaknya dia tidak siap dengan jawabanku. Sekilas pipinya memerah. Imut sekali
"Aiiih... siapa bilang teman? Ini BAN-TU-AN, bukan DO-NA-SI. Ingat! Ada harganya. Sudah kucatat kok. Lihat saja, akan kutagih nanti...."
Mbak Ella meneruskan argumennya, entah apa isinya, tak lagi kudengar. Pandanganku fokus ke ekspresi Mbak Ella yang lucu. Mirip anak kecil yang menjelaskan sesuatu. Bibirnya mungil, pingky, bergerak-gerak dengan indah. Ultimate cuteness.
Tanpa sadar wajahku mendekatinya, berusaha menyosor bibirnya yang makin ke sini makin merona.
Cup. Satu kecupan. Mataku terpejam.
Lalu menyusul, beberapa cipokan lanjutan.
Mataku mencuri pandang, sedikit kupaksa terbuka, mengintip, berusaha menebak respon Ella.
Mata Ella turut terpejam!
Sinyal positif? Apakah ia turut menikmati?
Ketahuan. Aku ketahuan mengintip.
Matanya yang indah terbuka lebar-lebar. Ekspresi kaget. Adegan ciuman itu berakhir. Mbak Ella buru-buru menarik bibirnya, bergegas mengambil barang bawaan, tas, jaket, sekenanya.
"Mbak...." ucapku, bego.
Tidak ada statement lanjutan.
Mbak Ella secepat kilat beranjak dari tempat itu, setengah berlari ke arah pintu, mukanya menyembunyikan malu, juga marah mungkin, sekilas tampak dari wajahnya yang memerah. Syal dikalungkan paksa, menutup sebagian muka. Tak bisa lagi kunilai ekspresi di wajahnya yang cantik. Selain malu.
Aku memaksa diri untuk bersikap biasa, beranjak tenang dari sofa, saksi bisu kejadian. Berdiri, lalu menyusulnya dengan berjalan. Seakan tanpa upaya menahan kepergian perempuan berhijab lebar.
Sang wanita telah sampai di ujung pintu. Pergi tanpa menoleh.
"Assalamualaykum..." ucapnya.
Pintu ditutup. Wanita itu telah pergi.
...
Dua minggu kami tak bertemu. Kejadian terakhir tampaknya merusak hubungan kami. Pesan singkatku tak lagi dibalas, bahkan tak ada lagi notifikasi terbaca.
"Maaf. Aku yang salah." Tiga kata itu yang pertama kukirimkan. Hingga kini tak ada jawaban.
Gambar profilnya kosong. Telah demikian adanya sejak malam itu. Aku tak berani menelepon. Dan kini aku tengah membulatkan tekad untuk menemui Ella di tempat tinggalnya. Cukup jauh dari tempatku, setengah jam perjalanan. Lebih dekat jika dari kampus.
Kendaraan umum di sini sangat nyaman. Ada tarif khusus bagi pelajar sepertiku. Hanya beberapa penumpang yang naik siang itu. Sepasang suami-istri, usia lanjut, tampak duduk di kuris belakang. Mereka bercakap. Indah. Ikatan batinnya terasa kuat. Aku menduga mereka sepasang manusia yang telah melalui masa setengah abad. Kenyang pengalaman. Kenyang masalah. Menyisakan umur-umur membahagiakan. Dambaan banyak orang.
Lalu pikiranku menjelajah. Berusaha menyusun kata-kata pembuka untuk Ella. Banyak yang belum aku tahu, kami belum sedekat itu, aku bertindak kejauhan.
Berkali-kali aku menyalahkan kebodohan sendiri. Aku meyakinkan diri, bahwa Ella pantas marah, pantas malu, pantas kecewa. Aku adik yang mengecewakan.
Langkahku sampai di gedung itu. Bangunan tinggi dengan dinding batu, klasik. Untuk ketiga kalinya aku berkunjung ke sana. Aku masuk lewat pintu samping, tak pernah dikunci, semacam jalur penyelamat jika terjadi sesuatu. Letaknya cukup tersembunyi, Ella yang dulu memberitahuku. Beberapa tamu dan penghuni bisa tetap masuk saat pintu depan dikunci. Pintunya dari besi, agak berat, kadang mengeluarkan suara berdecit.
Kamar Ella ada di lantai tiga. Di ujung lorong. Kanan-kiri lorong ditutupi pelapis dinding, semacam wallpaper-isolasi, menjaga suhu tetap hangat, juga tetap sejuk saat jelang musim panas seperti sekarang. Iya, harusnya musim semi ini menjadi musim yang indah. Aku harus memperbaiki hubunganku dengan Ella. Tekadku membulat.
Pintu kamar kuketuk sembari mengucap salam.
Kutunggu beberapa saat.
Ada jawaban salam dari dalam ruangan.
"Tunggu sebentar..." lanjut suara dari dalam. Suara Perempuan.
Satu-dua menit berlalu.
Pintu dibuka. Mbak Ella yang menyambut dengan hijab putih kebiruan, hijab instan. Bergamis biru muda, tampak anggun berpadu dengan suasana coklat muda di dalam ruangan. Masih ada rona kaget. Tampaknya dia berusaha menutupi kekagetan, dalam waktu singkat. Kurasa ia tau aku akan datang, cepat atau lambat.
Rona kagetnya pelan-pelan hilang. Berganti dengan aura sedih. Matanya yang mistik itu memandangku sebentar. Wajah cantiknya lalu tertunduk pelan. Aku salah tingkah. Gugup menyergap.
"Masuk..." kata Ella.
Kami duduk di ruang tengah. Ruang kecil yang juga difungsikan sebagai ruang makan. Ada meja kecil di situ, beberapa alat makan teronggok di pojokan. Fokusku bukan ke sana, ada benda yang lebih menarik. Toples transparan, berisi kerupuk ikan.
Gugup perlahan hilang. Fokusku bergeser, bak kucing melihat mangsa, segera kubuka kaleng itu, mengambil kerupuk yang menggoda.
"Krauss...kraukkk..." Aku makan tanpa permisi. Tak kupedulikan sekitar.
Mbak Ella tersenyum melihat aksiku. Senyum merekah di bibirnya. Senyum yang mengusir canggung itu berjasa besar bagi hubungan kami selanjutnya.
Entah dari mana itu dimulai, yang jelas kami kembali bercakap. Seolah kejadian yang lalu tak pernah terjadi. Tentu masih ada perasaan aneh di diri masing-masing. Aku yakin itu. Tapi, tampaknya kami benar-benar berusaha keras mengabaikannya.
Suasana mencair. Obrolan kami meluwes pelan-pelan. Lalu semua tampak biasa.
Setempo kemudian, kami kehabisan kata.
"Aku mau minta maaf mbak. Aku mengaku salah. Mbak tidak ada salah. Aku salah besar, karena menganggap kita lebih dari teman. Lebih dari kakak-adek"
Kembali hening, aku tak melanjutkan. Mbak Ella juga diam. Matanya melihatku sekilas, pandangan yang intimidatif, menaklukkan, melemahkan. Sesaat kemudian, padangan itu menyingkir, menyasar entah kemana, yang pasti bukan ke arahku.
Mbak Ella mendengus ringan.
"Kita sudah sama-sama dewasa Mas.... Harusnya kamu tau, apa yang kamu sampaikan tadi itu juga salah besar. Sedemikian besar hingga sesuatu yang samar tak bisa kau nilai benar. Kamu salah, iya. Tapi benar, kita memang lebih dari kakak-adek."
Blarrrrrrrr.....
Meletus Gunung Semeru.
.....bersambung....