Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 11 - Penjaja Senja


Pertengahan tahun keenam.

Aku kembali ke tanah air. Sedikit lebih cepat dari waktu studi yang direncanakan. Cuti belajarku masih tersisa tiga bulan. Kumanfaatkan betul-betul untuk keluarga, menghabiskan waktu dengan menekuni hobi di rumah. Pagi dan sore sibuk Ternak Teri, Anter Anak Anter Istri. Sebagian waktu yang lain untuk menuntaskan sisa urusan studi yang tercecer.

Dua minggu setelah kembali ke kotaku, pimpinan unit kerja menghubungi. Meminta kesediaanku untuk mewakili Pemerintah Daerah, berdiklat di salah satu kota besar Indonesia.

Tak lama, dikirimnya salinan foto Surat Tugas. Undangan diklat dari Pemerintah Pusat. Tentu aku mengiyakan. Biasanya diklat yang dibiayai APBN fasilitasnya menggiurkan, kelas VVIP. Sekalian liburan juga. Lain dari itu, kulihat di daftar undangan, peserta diklat sebagian besar adalah calon-calon pejabat muda, pastinya jadi satu kesempatan langka untuk bisa membangun jaringan dengan mitra-mitra potensial itu.

Jadilah kami berangkat berdua. Aku dan mbak ****, bendahara kantor.

Diklat berjalan lancar. Beberapa dari peserta memang sudah saling kenal, sebagian besar berusia 30-an, relatif muda bagi pegawai pemerintah. Seiring waktu berjalan, terbentuk semacam kelompok-kelompok kecil. 5-8 orang. Golongan orng orang se-visi. Ada kelompok relijius. Kelompok serius. Aku masuk di kelompok main-terus, hampir setiap malam keluar hotel, sekadar jalan-jalan, menjelajah kota, berburu kuliner, atau duduk-duduk santai ngopi di pinggir dermaga. Ada sekitar tujuh orang tergabung di genk itu. Sebagian besar adalah anak muda. Topik bahasan kami tak jauh-jauh dari banyolan, kadang diselingi curcol urusan kerjaan, kadang nyangkut pula di urusan ranjang.

Dua wanita tergabung di grup kami. Keduanya, satu single, satu binor, tampak nyaman saja membaur dengan obrolan ngeri-ngeri sedap itu. Sang wanita single, berambut pendek, muka oriental, amoy kurasa, relatif paling menarik di antara peserta diklat yang lain. Mungkin juga karena single, dia lah yang paling sering kami goda. Aku tak tau niatan yang lain ya, tapi buatku itu murni candaan. Aku tak terlalu tertarik dengannya, tidak pula dengan wanita-wanita lain, tidak ada niatan berbuat aneh-aneh di sini. Lebih ingin menjaga reputasi di depan para calon pejabat muda itu. Tapi tidak dengan pria lainnya. Pria bertubuh tinggi, kulitnya gelap, logatnya kental dengan dialek sunda. Sang pria ini bercandanya kadang kurasa agak berlebihan, bahkan kesan mesum sudah terlihat saat acara perkenalan. Seakan tidak ada jaim-jaim nya. Kuanggap sebagai karakter bawaan, mungkin memang orangnya begitu. Belakangan aku tau dia sudah beristri, dengan dua anak.

Hari terakhir diklat, kami, satu genk ini, menghabiskan waktu menjelajah kota. Memakai mobil sewaan, kami berkeliling kota pelabuhan itu, mencari oleh-oleh, menyambangi beberapa lokasi ikonik, juga warung-warung kuliner legendaris yang tersebar di penjuru kota. Satu hari tampaknya kurang untuk bertualang. Toh, bagi temanku yang lain petualangan tampaknya telah selesai.

Dari obrolan selama perjalanan, terkuak beberapa rahasia. Beberapa di antara peserta diklat, bukan dari kelompokku, ternyata petualang malam. Beberapa kali terlihat membawa wanita ke kamar hotel. Ada pula yang jajan langsung di satu sudut kota, tempat biasa orang-orang menuntaskan birahi. Yang lain, ada yang mondar-mandir ke panti pijat eksklusif, terkenal dengan layanan esek-eseknya.

Aku setengah tidur, kelelahan, tak terlalu banyak terlibat di obrolan itu. Sekadar jadi pendengar yang baik saja.

"Kalo gue sih, gitu-gitu gak ada seninya, gak greget" kata seseorang di baris jok belakang.

"Yang greget gimana boss?" tanya pria lain, di baris depan, tertua di antara kami, kami nobatkan beliau sebagai kepala suku.

"Kalo bisa ngedapetin Bu Maria... nah itu baru greget. Tusuk dari belakang, uuufffhh..... Enak banget tuh pasti..." jawab pria pertama.

Tawa membahana di minibus itu. Aku yang tadinya nyaris tidur, ikut ngakak. Bu Maria, salah satu trainer kami, memang masuk kategori MILF. Usia 40an, penampilannya masih tergolong fresh, elegan saat dibalut tampilan pekerja kantoran. Kata-katanya lugas, suaranya lantang, tampak cerdas, sosok ambisius. Mungkin bagi sang pria tadi, Bu Maria adalah tantangan yang sebenarnya. Singa betina liar yang sulit ditaklukkan, tentu jadi hadiah bernilai tinggi bagi yang berhasil menjinakkan.

...

Pria bertubuh tinggi, berkulit gelap itu tengah bersantai di taman, merokok selepas makan malam. Sudah jam 10 malam, sebagian dari peserta diklat sudah pulang ke kota masing-masing, berkumpul dengan keluarga. Sebagian lain, terkapar di kamar akibat penjelajahan sesiang tadi. Aku yang banyak tidur selama perjalanan, belum ada niatan kembali ke kamar. Taman luas itu, di luar resto utama, berada di lantai atas, lantai 3 seingatku. Dari sana pemandangan kota tampak cukup jelas. Megah, berkilau akibat sumber cahaya yang tak terhitung. Cuacanya cerah, nyaman sekali di tempat itu. Di situasi seperti ini, aku merindukan Mbak Ais. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merindukannya. Aku buka HP, menelusuri jejak digital Ais di media sosial. Keasyikan berselancar di dunia maya, tepukan di pundak mengagetkanku.

"Ngepoin sapa mas?" kata sang pria bertubuh gelap. Orang yang menepukku.

"Mmmm... nggak... ngecek FB saja. Kamu belum tak-add kayake," jawabku, agak terbata-bata. Berusaha mengalihkan topik.

"Nggak main FB mas, mending main yang lain... Rokok?"

"No thanks, sudah pensiun sejak dilarang istri"

"SUSIS kah??" tanya sang pria, nada setengah mengejek. SUSIS, Suami Sieun (Takut) Istri.

"Nggak juga sih... Demi kesehatan brow. Tapi ya nggak anti rokok juga, gak masalah kalo ada yang ngerokok. gak yang musti gimana-gimana. Enjoy aje..."

"OK..." ucapnya. Sembari kembali menghisap batang rokok.

Obrolan kami berlanjut. Pria ini ternyata wawasannya luas. Kami banyak cerita soal bola, juga otomotif, kadang sedikit menyinggung politik, politik di kantor lebih tepatnya. Banyak nyambungnya. Baru kenal beberapa hari, rasanya sudah seperti teman lama. Pun lingkar pertemanan kami ternyata dekat, kami sama-sama dekat dengan satu orang. Teman seangkatanku saat studi lanjut adalah teman satu divisinya, satu ruang bahkan. Pake diklarifikasi pula. Sempat-sempatnya dia telpon teman kami itu. Aku yakin, andai punya banyak waktu, tentu kami bisa lebih akrab lagi. Obrolan berakhir tengah malam. Aku harus tidur, esok subuh masih ada kewajiban lain, mengejar pesawat pertama.

...

Akhir tahun keenam.

SK (Surat Keputusan) Penempatan-ku yang baru, pasca selesai studi, belum juga turun. Jadilah aku kembali bekerja ke unit instansi yang lama, sementara. Sesungguhnya kantor kami ini memang tengah dalam situasi sulit. Akibat restrukturisasi, pendanaan dari pusat akan dihentikan mulai tahun depan. Beberapa tenaga ahli pendamping, yang dulu kurekrut secara personal, bahkan sudah mengundurkan diri, mencari proyekan lain. Tersisa segelintir saja yang masih berkantor. Timku menyisakan tiga orang karyawan non-PNS. Mbak Ais termasuk salah satunya.

Nasib keberlangsungan unit kerjaku jadi tak menentu. Nasib hubunganku dengan Ais pun demikian, tak jelas.

Saat studi kemarin, bisa dibilang hubungan kami putus. Putus tanpa kata putus. Rehat mungkin lebih tepat. Tapi bukan juga, intinya kami menjauh, berjarak. Seakan dipisah jurang terjal. Jurang yang nantinya harus kami akui, lebih terjal dari yang dibayangkan.

Beberapa waktu terakhir, aku merasa hampa, kosong. Hubunganku dengan Ais, samar-samar, tanpa bentuk. Doktrin yang kuyakini dulu, bahwa Ais sekadar pemuas nafsu, makin ke sini makin goyah. Tampaknya ada sedikit perasaan yang terlibat. Sedikit banyak. Yang jelas ada perasaan itu. Sudah kucoba menjalin keakraban kembali dengan Ais, lewat beberapa pesan singkat, juga obrolan langsung. Tapi tak jua menghasilkan kepuasan hati. Aku merasa kami salaing menutup satu sama lain. tak jujur dengan perasaan masing-masing. Di sisi lain, kali ini harus kuakui, aku masih setengah hati. Tak benar-benar berniat memperbaiki hubungan. Aku seperti penasaran saja dengan sosok Ais. Ingin mengenalnya lebih jauh, tidak sekadar hasrat untuk ber-making love.

Pelan-pelan keberanian itu tumbuh. Tekad makin bulat. Ada yang ingin kusampaikan ke Ais, setidaknya perasaan jujur. Aku ingin membuka diriku lebar-lebar. Mengutarakan pemikiran terpendam juga perasaan terdalamku kepadanya, blak-blakan saja. Tentu ada agenda lain, semacam pemantik agar Ais juga membuka diri. Entahlah, kurasa belakangan sikap Ais berubah. Jika boleh menduga-duga, dia sakit hati. Tempo hari kuabaikan, sekarang balas dia yang mengabaikanku. Dulu aku bersikap "jangan pedulikan aku, urus dirimu sendiri, aku urus urusanku sendiri, aku tak butuh kamu". Kini sikap itu pula yang ia tunjukkan.

Hari ini kesempatan itu datang, tanpa rencana. Masih kuingat betul, Jumat sore.

Keluar kantor sekitar jam 15.00. Di parkiran masih ada motor Ais. Di ruang kerjanya tadi sudah kosong, tak ada orang. Ah, mungkin sedang di toilet, atau Mushola. Coba kukirimi pesan singkat.

"Belum pulang mba? Dimanakah dirimu?"

Beberapa saat, belum ada jawaban.

Masuk notifikasi.

"Iya. Habis solat. Mas belum balik juga?"

"Belum" jawabku. Segera kuambil kesempatan "Mbak, pengen ngobrol nih. Ngafe yuk, atau ke mana lah, ngikut" lanjutku.

"Jangan cafe atuh mas... bahaya..."

"Lha mana? manut wis"

Tak ada jawaban.

Merasa belum ada solusi, kuputuskan untuk jalan dulu. Kuhidupkan mesin mobil, melaju aku di jalan raya. Anehnya, tanpa sadar jalur yang kuambil tak menuju rumah, menjauh dari arah rumah, entah apa yang kupikirkan waktu itu.

Tak lama, pesan Ais kembali masuk.

"ke sini aja...."

Disusul koordinat google maps. Kuhentikan laju mobil di depan minimarket. Kuperiksa ulang koordinat itu. Satu resort di perbukitan. Sekitar 15-20 KM dari posisiku sekarang.

"Pernah ke situ mbak?"

"Belum, nemu di google juga ini. hehehe...."

Tanpa pikir panjang, kuiyakan usulan Ais.

"OK. Mbak parkir di supermarket *** aja ya. Ntar kujemput di depan" kataku.

Ais membalas dengan sticker "Siap, 86"

...

Kami berdua kini dalam perjalanan menuju resort yang dimaksud. Sepanjang jalan, Ais mencoba mencari tau lebih jauh tentang resort itu. Ada beberapa foto artistik yang tayang di mesin-mesin pencari. Pun banyak review positif di media sosial. Tempatnya cukup tersembunyi, jauh dari keramaian.

Lokasinya di lereng perbukitan, harus menempuh jalan menanjak untuk sampai lokasi. Di sepanjang jalan, lereng bukit itu, kutemui beberapa muda-mudi tengah menghabiskan sore, duduk berdua di atas motor, menikmati pemandangan kota dari pinggir jalan raya.

"Semisal aku lupa gak bawa uang, kita ngemper kaya mereka aja ya mbak, Mbak tetep mau kan ya?" Aku berusaha menggoda Ais.

"Gak mau lah, mending aku pulang..."

Cok!!!

Sekitar setengah jam perjalanan, kami sampai di TKP.

Pintu masuknya persis di samping jalan. Jalannya cukup halus yang sayangnya tak seberapa lebar. Aku yakin bukan tujuan favorit bus-bus wisata. Di sisi kiri jalan, beberapa meter struktur penguat lereng, lalu langsung jurang. Jurang berundak, tentu tak ada yang ingin terjebak di sana. Di sisi kanan, itulah lokasi yang dimaksud. Pagar depan resort, dibatasi dinding, dengan hiasan batu-batu yang disusun acak, tetap dengan proporsi yang artistik, bercita rasa seni. Begitu masuk area parkir, nuansa tradisional langsung menyergap. Pun nuansa mewah. Security atau semacam petugas pintu masuk, menjemput kami berdua, menawarkan beberapa layanan.

"Selamat sore... Resto atau Penginapan Pak?" tanya Mas-mas itu, sopan.

"Resto mas"

"Punya membership atau sudah reservasi?"

"Mmm...Belum"

"Baik, mari pak, saya antar..."

Wow, pelayanan kelas satu.

...

Kami masuk resto, ada beberapa wisatawan asing di sana, beberapa orang (kurasa satu rombongan wisata) juga kulihat di bagian tengah. Restonya cantik, interior tradisional, sedikit bercampur dengan gaya jepang, perpaduan unik. Kami memilih meja luar, menghindari keramaian. Tentu kami harus menimbang-nimbang posisi itu baik-baik. Tak bisa pilih tempat asal-asalan. Kami ini pasangan selingkuh.

Di depan resto pemandangan luar biasa indah, sebagian kota terlihat, pun beberapa tempat ikonik kota ini tampak jelas. Nun jauh di sana pemandangan sawah dan perbukitan. Tak jauh dari resto, beberapa rumah penginapan tengah dalam masa pembangunan, dibatasi taman indah dengan lampu taman yang berjajar. Di kanan-kiri banyak terdapat unsur air. Kolam ikan dan gentong tanah liat. Tempat romantis ini, kurasa di era sekarang pasti jadi spot instagram yang diburu anak-anak muda.

Tempat ini menjajakan makanan berbagai genre. Lokal dan internasional. Kami memesan makan malam. Bersantap jam 4 sore, boleh dianggap makan malam kan ya...

Aku tak terlalu berselera makan sebenarnya. Aku hanya ingin punya waktu berdua, dengan Ais, membahas beberapa hal yang perlu diklarifikasi.

Kami buka obrolan dengan style pertemanan. Ngalor ngidul membahas indahnya tempat ini, sampai sok-sokan membahas prospek resort ke depan. Sedikit kubumbui dengan tinjauan teknis, menyesuaikan latar belakangku sebagai Enjiner. Sampai di satu tema.

"Aku pengen bikin pengakuan. Atau curhat. Atau membuka rahasia. Ini tentang aku ya... " Kubuka sesi utama pertemuan itu

Narasi selanjutnya, kuceritakan tentang bagaimana kehidupan rumah tanggaku, rahasia yang kusimpan, tadinya hanya untukku, kali ini kubagi ke Ais.

"Aku tak pernah benar-benar mencintai istriku. Aku tak pernah menganggapnya sebagai istri. Dia kupilih karena aku yakin dia akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku. Tak ada urusan hati, sayang, cinta...bla..bla... Ini soal pilihan hidup. Opsi-opsi logis. Aku harus menikah, aku harus memilih siapa yang layak jadi ibu untuk anak-anak. Lebih penting lagi, siapa yang mau kunikahi."

Kuceritakan tentang latar belakang aku menikah muda, aku tau Ais pun dulu menikah di usia muda. Satu episode kehidupan yang pernah kualami.

"Aku lulus kuliah saat teman seangkatanku sebagian besar sudah lulus. Saat kembali ke kampung halaman, aku ingat betul, tempat itu telah berubah. Kota yang kukenal itu, tak lagi kukenal. Teman-temanku tak lagi di sana. Kampung halamanku seakan menolakku datang kembali, aku merasa tak diterima. Kehidupan lamaku telah usang. Saatnya memulai kehidupan baru. Aku berusaha membuat rencana hidup, pertama kalinya aku berpikir serius tentang hidup. Kubuat daftar, list, apa saja yang kuinginkan, juga langkah-langkah meraihnya. Dari hal yang sederhana, kujabarkan, rumit, lalu kusederhanakan, kembali menjadi langkah-langkah sederhana. Dari titik itu, target kucanangkan:
- Enam bulan, harus sudah bekerja.
- Satu tahun, harus sudah menemukan 'calon ibu'.
- Satu setengah tahun, harus sudah menikah,
- Tiga tahun harus punya anak, laki-laki.
- dst..."

Kuceramahi Ais panjang lebar. Kutambahi rencana-rencana besar lain. Rencana yang sempat kutulis di buku agenda kecilku. Tinggal menetap, membangun rumah dengan disain sendiri, studi lanjut, dll. Setidaknya gambaran kehidupan 10 tahun sudah ada.

Tentu, bertemu, mengenal, dan bersyahwat dengan Ais, tak masuk rencana itu.

"Di satu titik, belakangan ini terutama, aku ngerasa kehilangan sesuatu mbak. Hal yang akhirnya kudapat hanya dari mbak Ais. Satu hubungan yang juga melibatkan ikatan kuat, atau entah apa itu, jiwa mungkin. Aku ngerasa klop aja, semacam kepingan puzzle bertemu kepingan lain. Dan itu nyata loh, nyambung aja gitu..."

Ais masih memainkan sedotan dengan jari, menyembul dari ice lemon tea yang dipesannya. Matanya tertuju ke gelas itu. Kuputuskan untuk lanjut berceramah.

"Bolehkan aku mengaku kalau aku gak pernah senyaman ini. Senyaman saat bersama mbak. Aku dan Kamu, kurasa lebih dari urusan ritual hubungan suami-istri. Di luar kebiasaan, kenormalan. Di luar itu. Jauh lebih besar dari itu. Dimensinya lebih besar. Gak ada urusan dengan status pernikahan. Kita ini berjodoh di waktu yang salah"

Kalimat itu menutup pengakuanku. Kopi susu di depanku kuseruput. Penanda bawa sesi ceramahku telah cukup.

Ais lalu merespon. Awalnya berterima kasih, mendapat kepercayaan, kehormatan seperti itu. Lalu menjelaskan apa-apa yang ia kagumi dariku, lalu cerita lain yang aku tak terlalu ingat...

Yang jelas, omongan Ais menunjukkan ketidaksiapannya untuk merespon pengakuanku. Narasi yang ia bangun tak pernah benar-benar tuntas. Terlebih waktu sudah sedemikian larut, cukup larut. Dari jauh suara adzan berkumandang, sudah maghrib. Kami terpaksa mengakhiri momen makan sore itu.

Sebelum pulang, Ais mengajakku ke taman-taman di luar resto. Taman cantik, yang membawa kami tanpa sadar berjalan menjauh, jauh ke dalam lingkungan resort, hingga batas dinding di sekitar penginapan. Kami mencari jalan memutar, jalan sepi, sisi lain dari taman itu.

Entah darimana datangnya ide itu, tiba-tiba saja kutarik lengan Ais.

Kudorong tubuhnya ke dinding. Dinding baru, masih beraroma cat basah.

Kucium dia, tepat di bibirnya yang seksi.

Ais membalas pagutan itu.

Diiringi pelukan mesra.

Tentang ciuman itu... entah dengan kata apa aku harus menggambarkan.

Rasanya lain.

Belum pernah kualami. Tak pernah lagi kualami. Ciuman dengan perasaan sedemikian kuat. Bukan ciuman nafsu. Tidak ada secuilpun perasaan 'ingin merenggut'. Ada nuansa keikhlasan dariku, semacam 'ingin memberi'.

Berlalu sekian detik...

Langkah dan suara beberapa anak muda menyadarkan kami.

Ciuman itu terpaksa terhenti, kami buru-buru mencari sumber cahaya, berusaha bersikap biasa, seolah sepasang manusia yang tengah menikmati suasana sore dengan berkeliling taman.

Anak-anak muda itu, kutaksir anak kuliahan, tengah asik berfoto, dalam cahaya remang-remang yang kurasa kurang ideal untuk berfoto.

Kami tak mengikuti jejak mereka, tak ada satupun foto yang kami ambil.

Tapi tempat di lereng bukit itu memberi sesuatu yang lain.

Satu pengalaman berbeda.

Dengan balutan aneka rasa, bercorak warna warni, bermacam aroma.

Kenangan yang akan kami simpan baik-baik.

.....bersambung....
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd