Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 12 - Restart


Akhir tahun keenam.

Hari ini aku bertugas di ibukota, menjadi wakil dari daerahku untuk memimpin satu kontingen lomba tingkat nasional. Konsentrasiku tidak di lomba itu. Aku niatkan untuk sekadar jalan-jalan, juga berkenalan dengan calon mitra-mitra baru. Berkesempatan sejenak luput dari pengawasan istri, waktu-waktu di jakarta kumanfaatkan betul untuk membangun intensitas komunikasi dengan Ais, berharap ada hal yang bisa kami perbaiki.

Beberapa kali kupancing Ais untuk membicarakan topik ranjang, hal yang sering kami lakukan dulu. Tanggapan Ais terkesan seadanya, dingin. Aku anggap sebagai sinyal-sinyal bahaya. Inikah waktunya? Apakah hubungan kami sudah berakhir?

Lewat satu pesan singkat, kuberanikan diri menanyakan kebenaran dugaan itu.

"Mbak, masih maukah check in denganku?"

Pesan itu cukup lama dianggurkan, tak ada balasan. Kukirim siang, saat jam istirahat. Baru dibalas sore, saat perjalananku kembali ke Hotel. Itupun hanya dibalas singkat, menggantung.

"Nanti malam lewat telpon aja ya," jawabnya.

Aduh mak, makin penasaran.

Lepas makan malam, aku sempatkan diriku mencari spot ternyaman untuk bertelepon. Satu sudut lobby hotel kujadikan pilihan. Tempatnya cozy, menampilkan pemandangan kota yang hanya dibatasi dinding kaca tembus pandang berukuran penuh. Lalu lintas orang-orang, sebagian adalah kontingen lomba dari seluruh Indonesia, tampak jelas di sana.

Obrolan kami buka dengan bertukar kabar. Masih ada kurasakan aura kehangatan di obrolan kami. Hangat, tapi dalam porsi yang berbeda. Hangat tanpa percikan bara. Seakan obrolan sahabat lama. Pelan-pelan arah obrolan berpindah ke topik yang ingin kutuju sejak sekian waktu terakhir.

Aku deg2an menanti jawaban Ais. Bagai tersangka yang menanti vonis hakim.

"Aku tuh udah terlalu nyaman dengan situasi yang sekarang," kata Ais. "Mas pernah bilang bahwa hubungan kita lebih dari aktivitas seks. Tidak hanya kontak fisik. Kalimatmu itu benar-benar menyadarkanku loh mas. Bahwa perasaan sayang mas ke aku ternyata sudah sedalam itu, lebih dari yang kuduga. Dulu aku beranggapan kita ini hanya terjebak di situasi akibat kesepian. Mendapat momen yang pas, lalu terjadilah. Makin ke sini, ternyata tidak sesederhana itu. Di tahap ini, hubungan kita kok malah terasa lebih baik. Tanpa bertemu fisik, tanpa seks, justru makin nyaman. Iya gak sih?"

Tidak.

Aku ingin menanggapi kalimat Ais dengan "Tidak".

Tapi mulutku tak sanggup berkata-kata.

"Kalau memang tanpa seks kita sudah di tahap yang senyaman ini, kenapa harus dirusak dengan seks?" lanjut Ais.

Kalimat terakhir menamparku keras-keras. Mis konsepsi itu...

Aku dulu membimbing Ais untuk belajar saling menyanyangi, dalam cara-cara yang tak normal. Tidak harus dalam pernikahan, tidak harus dengan bertemu, tidak harus dengan kontak fisik. Ternyata ia menyelami filosofi itu terlalu dalam. Hubungan perselingkuhan tanpa seks.

Ah, ini di luar perkiraan.

"Tapi tetap mau cek in kan?" tanyaku lagi, menegaskan pertanyaan di awal tadi. Kali ini perjudian, kubumbui dengan sedikit humor, agar suasana obrolan jarak jauh kami tak terlalu kaku.

"Hmmm... ya kalau itu yang mas mau. Why not?" Jawab Ais.

Setidaknya masih ada kesempatan, pikirku.

Topik percakapan selanjutnya tak kuingat tepat. Tak terlalu penting juga.

...

Beberapa minggu kemudian.

Hari ini, salah satu hari besar nasional. Kami sebagai abdi negara diwajibkan mengikuti rangkaian seremoni peringatan hari besar itu. Pagi-pagi sekali, aku telah sampai di lokasi seremoni. Upacara besar, diikuti pula oleh karyawan di instansi pemerintah lainnya, juga dihadiri beberapa tenaga kontrak dan non-ASN. Ais termasuk salah satunya.

Sejak semalam, perasaanku tak enak. Galau, kata anak-anak muda. Telah cukup lama, kebutuhan biologisku tidak terpenuhi. Istriku, yah begitulah, tak bisa diharapkan. Ais satu-satunya opsi yang kupunya. Sayang, hubungan kami tak terlalu baik, kurang intens, kurang greget, kurang hangat. Aku merasa, ada jarak semacam tembok pemisah, mungkin juga sejenis jurang terjal. Aku tak berani melangkah lebih jauh, segan untuk meminta 'jatah'. Seperti biasa, kubiarkan saja nasib membawa hubungan kami, sekaligus berharap kesempatan datang.

Benar saja, kesempatan itu datang tanpa prediksi.

Selepas upacara, kami berdua berkesempatan ngobrol. Tadinya tidak hanya berdua, beberapa rekan kerja memilih warung kopi, semacam kedai kecil tidak jauh dari lokasi seremoni, untuk sekadar kongkow. Seiring matahari yang meninggi, satu demi satu mereka pamit. Tersisa aku dan Ais.

Kumanfaatkan momen itu untuk melanjutkan obrolan tempo hari, soal tawaran cek in.

"Mbak, main yuk, udah lama banget loh" kataku. Penuh kode.

"Ke hotel?" tanya Ais.

"Iyaaa...."

"Ya mas yang nyari dulu sana"

Wah, ini kesempatan emas. Aku menimbang sejenak. Berkalkulasi tentang banyak hal dalam tempo cepat. Waktu yang terpenting. Waktuku cukup, setidaknya kosong sampai malam. Cukup lah untuk sekadar melepas rinduku pada tubuh Ais.

"Tapi aku gak mau kalau ke tempat yang lama, Hotel Waru. Kejauhan juga. Hotel yang agak bagusan aja sih" lanjut Ais.

Ais mengajukan syarat yang tak terduga. Aku tak siap dengan rencana itu. Tak buang waktu, segera kubuka aplikasi pencari penginapan. Muncul beberapa opsi, penginapan dengan tiga bintang.

Kubahas opsi-opsi itu dengan Ais. Berbagai alasan mengeliminasi pilihan-pilihan yang tersedia. Tersisa satu opsi dengan budget menengah, hotel berbintang di tengah kota. Sempat kami timbang dengan cukup teliti. Ada plus-minus. Hotelnya strategis, di kawasan yang mudah dijangkau, tapi tidak di tepi jalan besar. Area parkir di basement. Rating dan review pelanggan juga baik. Kelemahannya hanya satu, lokasi itu dekat dengan kantor induk. Faktor terakhir sempat kami perdebatkan dengan cukup alot. Tentu lokasi itu berisiko, selalu ada peluang bertemu kenalan. Aku bahkan yakin, hotel ini sering dipakai beberapa rekan sejawat untuk 'bermain'.

Pada akhirnya, aku meyakinkan diri. Memang tidak ada hal di dunia yang tanpa risiko. Ambil saja. Bismillah.

.....bersambung....
 
Lembar 13 - Langkah Mula


Lokasi hotel ternyata memang cukup strategis. Ada jalan memutar ke belakang hotel, lalu turun ke basement, jalur aman bagi pengunjung yang tidak ingin terlihat dari jalan depan. Di kiri kanan terdapat beberapa penginapan lain, juga gedung bertingkat, cafe, serta arena futsal. Ini memang salah satu pusat perkantoran di kotaku.

Aku segera menuju lobby, mataku awas mengamati sekeliling, berharap tak ada yang kukenal. Aman, sepertinya. Ais sudah menunggu di basement, sabar menanti isyarat dariku. Singkat cerita, sampailah kami berdua di kamar, lantai atas, lantai 6 seingatku.

Seperti biasa, ritual pertama saat masuk kamar hotel adalah memeriksa sekeliling. Kubuka tirai jendela, pemandangan kota tampak jelas. Tiba-tiba kurasakan hangat di punggung.

Ais memelukku.

Pelukan rindu, kurasa.

Kubiarkan ia menikmati momen ini beberapa saat. Aku ikut larut dalam hangat pelukan itu.

Kuputar tubuhku.

"Mas, kangen aku gak sih?" tanya Ais. Ekspresinya berubah, tak seperti biasa saat kami bertemu di kantor. Manja.

Aku tak mau jawab. Kurasa ia tak perlu tau jawabanku, pun ia pasti tau.

Mendadak kucium bibirnya yang merona. Aku tak tahan, gejolak nafsuku sudah berontak sejak beberapa waktu. Kesempatan ini akan kupakai baik-baik. Ciuman kami makin panas. Masing-masing dari kami segera sibuk dengan aktivitas sambilan yang lain, melepas busana lawan satu persatu. Sementara bibir kami terpagut, kami sudah telanjang. Ais full-nude, aku masih menyisakan boxerku.

"Mas, aku mau emut ini," kata Ais. Tangannya telah mencengkeram penisku yang menonjol.

Oh, tentu saja sayang, penisku memang kusiapkan spesial untukmu.

Ais lalu berjongkok, setengah berlutut, dibukanya bingkisan di selangkanganku. Kontolku yang tegang, segera menyembul. Menunjukkan urat-urat yang merindu sentuhan wanita, merindukan mulut Ais. Ais beraksi, digenggam kontol itu, sementara mulutnya menjelajahi area di sekitar bola zakar, menjilatinya. Aku geli luar biasa.

Ah, kenikmatan yang kudamba ini datang lagi.

Aku mengamati setiap gerakan lidah dan mulut binal itu. Menghisap kedua bola berbulu, bergantian. Lidah itu menyusuri setiap jengkal area di pangkal kemaluan, menyapunya perlahan, naik hingga ujung teratas, lubang pipis yang sudah sedikit mengeluarkan cairan pelumas. Cairan itu disedot Ais kuat-kuat.

"Aaaaaahhhh..." aku mengerang, menikmati kelakuan perempuan jalang itu. Mataku terpejam. Tanganku membelai rambutnya yang sudah tanpa hijab, sedikit menahan kepalanya agar tak cepat-cepat melepaskan kontolku.

Gerakan Ais berlanjut, mulutnya memaksa mencaplok batang kaku. Dalam satu gerakan, sang pusaka amblas sudah. Lenyap dalam goa kenikmatan yang lembut, basah, dan hangat. Sesekali gerakan lidahnya menggeliat, menggesek lembut, menimbulkan sensasi geli yang menyelimuti sekujur kontol, lalu menyebar ke seluruh tubuh.

Adoh boss, aku gak tahan. Ini terlalu nikmat.

Badanku lemas seketika, seakan energi yang tersedia tersedot seluruhnya lewat mulut kecil Ais. Hisapan mulut Ais membawaku ke angkasa, melayang di antara awan-awan yang berpencar. Gawat, geli makin menjadi, bisa-bisa bocor duluan.

"Ooooohhh,,,,... sudah mbak, nanti keluar..."

Ais malah makin menggila. Kembali dijilati area di sekitaran peler, seakan menikmati es krim, melumat kontolku yang tegang dan basah itu, kali ini dengan ritme yang ganas.

Aaah. Lonte kesurupan. Aku benar-benar tak tahan. Sisa tenaga segera kukumpul, memaksa agar mulut Ais lepas dari batang itu. Berhasil. Seakan habis menghisap darah, vampir wanita itu menunjukkan ekspresi puas. Ekspresi yang membuat darahku mendidih, syahwatku meninggi, memuncak. Ais makin cantik, aura nakalnya ingin kusesap dalam-dalam.

Segera kudorong tubuh Ais, menghempaskannya ke kasur empuk di belakang. Pahanya spontan mengangkang, menunjukkan liang kenikmatannya yang sudah sedemikian basah, membanjir. Aku tau Ais ingin daging basah itu kujelajahi, dengan lidah atau dengan jari, atau keduanya. Tapi nope. Tapi tidak hari ini, mekimu adalah jatah makan bagi kontolku yang lapar. Dan hanya kontolku yang berhak atas kehormatan menjebolnya setelah sekian lama.

Aku bergegas menindih tubuh Ais. Kuciumi wajah cantiknya, juga area kuping, dan tengkuk, lalu leher di sekitar bawah kuping, spot dengan aroma tubuh terbaik.

"Asaaauuuuccchhhhh....aaahhhh..." Desahan Ais datang.

Desahan erotik, yang lama tak kudengar itu selalu hadir saat leher Ais kegarap. Kunikmati desahan berikut gerakan tubuh Ais yang menggelinjang akibat aksiku di sekitar leher. Aku suka saat tubuh Ais tak berdaya seperti itu, saat aku yang memegang kendali. Sekaligus mengulur waktu, mengistirahatkan kontiku yang hampir jebol akibat sergapan Ais tadi.

Aksiku tak berhenti, kali ini menjajah sekitar bukit kembar Ais. Putingnya tengah mengeras, warnanya gelap, dengan ukuran jumbo. Daging dengan kekenyalan masih terjaga, bukti bahwa belum menyusui balita. Payudara terindah yang pernah kujamah. Tak buang waktu, kupuaskan diriku menyusu di situ, diselingi gigitan dan remasan untuk bukit di sebelah.

"Addduuuhhh....aaahhhh...enakk....gigit masss.....aaahhhh...."

Ais memompa birahi kami berdua, aku makin semangat menyusu, sementara tangan Ais tak kuasa mengacak-acak rambutku. Seakan tak rela susu kenyal itu dianggurkan sekian lama. Gerakan tak terduga Ais, membuatku iri. Adalah tangan kanannya yang menginisiasi gerakan, menelusuri liang kenikmatan yang membanjir, mengelus, lalu mengobok-obok, mencolok-colok mawar di selangkangan itu.

Cukup, lubang itu jatahku.

Segera kutarik tangan kurang ajar itu.

"Itu bagianku," bisikku ke Ais, tepat di samping kuping kirinya.

Kubuka paha Ais lebar-lebar. Ais berusaha menata nafas, lepas dari garapanku.

Tanpa basa-basi, kutusukkan kontolku yang tegang maksimum itu ke lubang kewanitaan Ais.

Tubuh Ais beringsut, sedikit kaget, lalu teriakannya mengiring.

"AAAAwwwwwhhh....oooogggghhhh.......hhmmm...ssshh...aaaahhhh....sakitiiitt....aahahh...sakit masss....."

Tanpa peduli protes Ais, kontolku kupaksa masuk ke batas terdalam, sekali, dua kali hentak. Menerobos tanpa perlawanan. Lalu terbenam seutuhnya.

Kuciumi lagi leher jenjang Ais, dagu, lalu bergeser ke samping, sedikit kugigit manja di sana. Posisi tubuh kami yang menyatu, hangat dan lembut permukaan kulitnya, juga kekenyalan payudara yang menekan dadaku, wangi aroma tubuh dan rambut Ais. Ah, aku ingin menikmati momen ini selama mungkin.

Tanpa komando, pinggul Ais bergerak. Mulanya gerakan lemah, membuat dua alat kelamin yang menyatu itu bergesekan lembut. Makin ke sini makin cepat, makin terasa goyangannya, memberi variasi rasa yang nikmat.

Tangan Ais menahan pantatku, menggodaku untuk terus bergoyang, mengikuti kemauan sang pemilik lubang. Desahan Ais makin tak tertahan.

"Aaaahh... hmmm... ssshhh.. sshhhhhh.... uuuooffhhh..... aaahhhgg...."

Tubuhku seolah bergerak tanpa perintah. Menyodok, menggoyang, mengatur tempo, meremas bagian-bagian tubuh Ais yang sensitif, memaksa perempuan berkulit putih itu mengeluarkan desahan dan erangan yang memacu birahi. Bulir-bulir keringat bercampur dengan aroma parfum Ais, juga aroma tubuhku, menambah kekhusyukan pergumulan kami. Dua manusia berbeda jenis kelamin tengah menjejak nikmat dunia, nikmatnya bercinta.

Gerak dan posisi tubuh makin tak beraturan. Kaki Ais kuangkat tinggi-tinggi, lalu kutekan, kudorong mendekat ke tubuhnya.

"Aaaaaaahhhh.... ini kerasa banget massss..... oooooh...ohhhhh... ohhhhh my god...... ooog yseeesss.. mentok banget sayang... aaaahhhh.... "

Pekikan Ais, setengah berteriak, membakar birahiku dengan api kenikmatan yang tiada tanding. Bangga, puas, memompa semangatku kembali. Aku tau Ais menikmati persenggamaan itu. Mekinya basah luar biasa, cairan meluber hingga alas ranjang putih itu. Pendingin ruangan tak banyak membantu, keringat kami makin deras.

Dalam posisi yang membuatnya menggila itu, tampaknya Ais sudah kehilangan daya perlawanan. Tubuhnya pasrah kuentot sekuat tenaga. Teriakan demi teriakan saat penisku menusuk titik terdalam, makin menenggelamkan sang bidadari dalam lembah kenikmatan. Lembah yang menariknya kuat-kuat. Kenikmatan yang akhirnya menular padaku.

Aku masih ingin bertarung, tapi tubuhku tak kuasa menolak batas kemampuan. Kenikmatan yang kurasakan telah menemukan titik puncak.

"Aku mau keluar sayang...," kataku.

"Di dalam.... masukin di dalam aja...."

Aduuh mak, paripurna pasti. Membiarkan spermaku menjelajah rahim wanita cantik. Fantasi yang liar dan menggoda. Tapi aku bimbang, sisa akal sehatku masih bisa mengontrol bagian diriku yang lain. Aku takut Ais hamil. Iya, sudah bertahun pernikahannya, tak juga diberi momongan, tapi tetap sja ada peluang hamil kan. Aku tak siap dengan konsekuensi lanjutan.

Sesaat jelang puncak birahi, kutarik pusakaku dari arena pertarungan. Setengah merayap, kuarahkan kontol mengacung itu ke muka Ais yang tampak pasrah dan payah. Sembari kutahan dengan tangan, akhirnya muncratlah pejuku ke sasaran baru.

Crrrotttttt.... crroottt....cruuut..... cccrrrrootttt...

"OOOhhhgg...uuuggghhhh....hmmm....uqqqhhhh..." Aku memekik, mengerang bersamaan dengan semprotan sperma.

Sekian kali semprotan itu tumpah, menyebar di wajah Ais yang makin cantik, makin berkilau karena cipratan cairan surga. Mata Ais masih terpejam.

Tanpa kuduga, tangan Ais meraih senjataku yang masih kaku itu. Mengocoknya. Nikmat kembali kurasakan, menumpuk dengan nikmat kepuasan yang baru saja kusesap.

Satu gerakan Ais, menyempurnakan puncak birahi itu, mulut Ais mencaplok kontolku!!!

Mengulum.

Menghisap.

Menyedot sisa-sisa sperma di sana.

Aku kalah. Inilah kenikmatan puncak.

Tak ingin melepaskan nikmat, kutahan kepala Ais di situ. Memaksanya membersihkan kontolku tanpa sisa.

"Aaaahh... iya sayang.. pinter... sedotin semua...." perintahku untuknya.

Sang betina tak banyak pilihan. Kembali dikulumnya penisku itu, menyelesaikan tugas. Menutup klimaksku dengan layanan terbaiknya.

Ais, perempuan cantik yang sehari-hari berpenampilan anggun itu, nyatanya tak lebih dari lonte haus kontol.

.....bersambung....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd