Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Aduuh mak, paripurna pasti. Membiarkan spermaku menjelajah rahim wanita cantik. Fantasi yang liar dan menggoda. Tapi aku bimbang, sisa akal sehatku masih bisa mengontrol bagian diriku yang lain. Aku takut Ais hamil. Iya, sudah bertahun pernikahannya, tak juga diberi momongan, tapi tetap sja ada peluang hamil kan. Aku tak siap dengan konsekuensi lanjutan

Hahaha...
Masih bisa mikir dalam situasi begitu...
 
Lembar 14 - Empat Jam


Sekian lama cuti bertarung ranjang, staminaku nyata-nyata tak bisa diandalkan. Baru sekali bertarung, aku ambruk seketika. Belum sempat bebersih, badanku sudah tak sanggup berbuat lain-lain. Sejam berikutnya, kuhabiskan untuk tidur. Ais pun demikian, mungkin karena kecapekan akibat upacara tadi. Kami K.O.

Sejam berlalu, rasa laparlah yang lancang membangunkanku. Iya, aku memang belum makan sejak siang. Kutengok di sebelahku, wanita pujaanku tengah terlelap. Cantik. Kuciumi kembali pipinya yang merona, dan kening, lalu leher dengan aroma yang membius. Tubuh Ais menggeliat, merespon rangsangan dadakan itu.

Tangan ais menarik tanganku, minta dipeluk.

Oh yess baby, tentu saja boleh.

Kami akhirnya dalam posisi berpelukan, aku mendekap tubuhnya dari belakang, masih sembari menjelajah leher, pundak, dan sekitar punggung dengan kecupan-kecupan mesra. Desahan-desahan kecil mulai dilantunkan Ais. Syahdu.

Lalu...

"Krrrreeekkk.....krrruuucccuuukkkkk,...."

Keras suara itu, muncul dari dalam perutku.

Loh.

Kami spontan tertawa, makin terpancing, hingga terbahak-bahak.

Menertawai momen teraneh dalam karier ranjang kami.

Pergumulan harus tehenti di tahap awal, hanya gara-gara perut yang berontak. Buset dah.

Kami putuskan untuk rehat dari permainan. Karena aku tak membawa cash, Ais berinisiatif memesan layanan antar makanan, sebut saja go-food. Kata dia, kami perlu berbagi tugas, aku yang membayar hotel, Ais membayar makanan. Yah, aku sepakat saja. Kami memesan ayam geprek.

Jeda waktu menunggu pesanan datang, kami habiskan untuk bercerita ngalor-ngidul. Curhat macam-macam hal. Di saat itulah Ais becerita tentang kehidupan rumah tangganya yang tengah bermasalah. Kali ini lebih soal ekonomi. Sang suami gemar membeli barang-barang kredit. Mobil, Motor, perangkat digital, semua belum lunas. Ada pula satu kebutuhan mendesak yang harus segera butuh pelunasan.

Suasana segera berubah. Setidaknya bagiku demikian. Aku memang tidak suka membicarakan bab keuangan. Terlebih karena secara pribadi, hutang bukanlah pilihan. Hutang artinya kita menyerahkan nasib kita pada takdir. Saat situasi normal, pemasukan cukup, maka semua tampak baik. Saat ada kebutuhan mendesak, maka cash-flow akan carut marut. Lalu jalan keluarnya? Ditutup kembali dengan hutang lain. Gali lubang, tutup lubang. Capek.

Aku menahan diri untuk tidak mengkritisi pengelolaan keuangan di rumah tangga Ais. Menurutku itu urusan yang tak perlu kuketahui, boro-boro terlibat.

Prasangkaku makin parah. Pikiran sudah tak bersih. Kuduga nanti di ujung curhat, pastilah Ais ingin minta bantuan, paling tidak untuk pinjam sejumlah uang. Ais masih terus bercerita, mbulet, banyak aspek, tapi topik utamanya masih soal keuangan. Aku banyak diam, menimpali secukupnya. Moodku hilang sudah.

Makanan akhirnya datang, kurir sudah menunggu di lobby.

Ais memintaku mengambil pesanan itu. Aku dibekali dengan smartphonenya.

Ada yang sedikit ganjil, HP itu dikunci layar, seolah tak ingin aku membukanya. Gelagat aneh itu juga kulihat beberapa kali, khususnya hari ini, sejak pertemuan di cafe siang tadi. Indikasi keanehan, tapi aku berprasangka baik, mungkin memang ada rahasia yang ia ingin simpan sendiri. Aku hargai, tapi sekaligus membuatku sadar satu hal, bahwa kami masih berjarak.

Obrolan berlanjut. Sambil menyantap makanan yang ternyata cukup pedas itu, topik soal kesulitan ekonomi kembali jadi menu pendamping makan. Tidak luput, soal unit kerja kami yang tahun depan terindikasi akan dibubarkan. Tentu saja hal itu membuat Ais makin kuatir tentang masa depannya.

"Mas sih enak, sudah PNS, ada tunjangan tiap bulan. Unit bubar ya tinggal pindah unit lain. Aku dan teman-teman yang lain gimana dong? Nasib gak jelas. Mungkin terpaksa aku harus ikut suami ke pulau seberang."

Kata-kata Ais itu merusak moodku, benar-benar rusak. Sudah tidak ada lagi keinginan untuk ronde lanjutan, tak ada lagi agenda persetubuhan hari ini. Aku hanya ingin menghabiskan makan, lalu mandi, pulang.

Pikiranku berubah negatif. Aku menduga Ais hari ini sanggup melayaniku bukan karena ingin memadu kasih, lebih karena maksud tersembunyi. Karena uang. Karena ia menganggapku bisa jadi solusi bagi masalahnya. Opsi paling logis untuk mengatasi hutang-hutang suaminya, hutang yang juga dinikmati Ais.

Aku berusaha mencari sisi positif dari argumen-argumen Ais. Tak ada, tak ada yang kutemukan barang secuilpun. Semua berujung di kebutuhan materiil. Aku kecewa dengan pikiranku itu. Aku kecewa denganmu, Ais. Ngentot demi uang. Murahan. Pelacur.

There ain't no such thing as a free lunch

Hanya itu pelajaran dari curhatan Ais.

Kutegaskan padanya, dengan bahasa yang selembut mungkin, bahwa aku tak bisa membantu. Sekian juta rupiah yang ia pinta, tak bisa aku sediakan. Pun seandainya uang itu ada, jelas bukan untuk kebutuhan orang lain, pastinya untuk mencukupi kebutuhanku, keluargaku.

Aku tak sanggup menatap mata Ais dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Pandanganku padanya telah benar-benar berubah.

Masih sempat Ais menggodaku, mau mengemut kontolku.

Kutolak tawaran itu. Seolah menegaskan, tadi aku tak bisa memenuhi permintaan Ais untuk meminjami uang, maka tak pantas kiranya aku mendapat layanan dari mulut itu. Lebih dari itu, hasratku kini telah habis, tak ada lagi gairah.

"Gak usah deh, mbak habis makan pedes-pedes pula kan. Panas tititku nanti"

Alasan itu yang kuberi untuknya.

Waktu juga telah petang, alasan tambahan bagi kami untuk berpisah, menutup pertemuan tanpa rencana itu. Aku lepas wanita berhijab itu pergi, dengan kecupan di kening, juga dengan pandangan setengah hati, tanpa binar.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tak berhenti bekerja, meresapi arti pertemuan empat jam bersama Ais tadi. Menganalisis berbagai hal yang kami lalui, lalu berhipotesis sendiri.

Apakah Ais telah berubah?

Atau memang inilah sosok Ais yang sebenarnya?

Perempuan yang rela melakukan apapun demi uang?

Apakah dia tidak pernah melibatkan 'rasa' dalam hubungan kami?

Mungkinkah ia ingin dihamili agar bisa mengikatku?

Inikah yang namanya hubungan antar orang dewasa?

Sekadar berlandaskan kebutuhan?

Keinginanku untuk membangun hubungan yang lebih dalam, tampaknya harus kembali kucukupkan. Biarlah hubungan ini hanya soal fisik dan materi.

Dia tidak benar-benar mencintaiku

.....bersambung....
 
duh..semoga saja Ais berbuat begini karena memang Ais terjebak dan tidak punya pilihan lain..
semakin penasaran dengan update selanjutnya..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd