Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 17 - Fase baru



Ciuman pertamaku dengan Via, tampaknya menjadi titik puncak hubungan kami. Entahlah, kupikir belum bisa disebut hubungan juga. Lebih soal spontanitas. Momen yang tercipta tanpa rencana. Mengalir sedemikian adanya.

Selepas peristiwa itu, semua kembali normal. Seakan momen itu tak pernah terjadi. Kami tak pernah lagi berkesempatan pergi berdua. Via sibuk dengan tugas magangnya, aku di sisi lain disibukkan dengan persiapan tes masuk ke lembaga pemerintahan.

Beberapa bulan berlalu, satu kabar mengagetkanku sore itu.

Aku dan beberapa kawan diundang Dion untuk pesta bakar2 di kontrakan. Dulu, itulah agenda rutin kami hampir tiap minggu. Aku yang tanpa agenda, tentu saja mengiyakan. Ada sekitar tujuh orang yang sore itu datang, Via salah satunya. Via datang dengan penampilan cuek, pakaian main, santai, tanpa hijab. Kali ini tidak bersama mantan pacarnya yang kebetulan tengah di luar kota.

"Gaes, Aku dan Via mau nikah"

Kalimat itu diucapkan Dion. Tepat sesaat setelah aku menenggak minuman bersoda.

Kaget tentu.

Via?

dan Dion?

Menikah?

Really?

"Serius lo???" tanya teman sebelahku, perempuan berbadan bulat.

Dion memandang Via yang duduk bersila di sebelahnya

Via mengangguk.

"Iya, aku mau." kata perempuan cantik itu.

Kami berlima duduk bersila, mati gaya.

Wow.

Hening menyergap.

Lama.

"Selamat bro." ucapku. Sembari mengangkat gelas plastik. "Asu tenan. Lucky Bastard"

Dion tersenyum.

Kami bertujuh berusaha membuat sore itu secair mungkin. Kabar dari Dion tadinya nyatanya memang membuat upaya itu gagal. Yang ada adalah suasana kaku, tidak biasa, sungkan, dan aneh. Keanehan yang akan kami rasakan hingga beberapa bulan ke depan. Suasana yang pada akhirnya membuat beberapa dari kami memilih untuk tak pernah lagi berkumpul, seolah memutus tali persahabatan, salah satunya mantan pacar Via.

Peristiwa sore itu, secara tidak langsung berpengaruh cukup besar untukku. Tidak lama, aku juga memutuskan untuk menikah. Seakan tak mau ketinggalan dengan Via dan Dion.

Sekali lagi, garis nasib membawa kisah persahabatan kami di jalur yang berimpit.

Sejak beberapa tahun yang lalu, kami tinggal di kota ini. Dion diterima sebagai pegawai kontrak di Perusahaan Umum Milik Daerah, Via berbisnis jual-beli online dari rumah. Mereka, dan anak-anaknya, tinggal menyewa rumah tak jauh dari tempat tinggalku. Sesekali bersilaturahmi, sekadar memberi kesempatan anak-anak kami yang sepantaran untuk bermain bersama. Tidak pernah lagi kami terlibat obrolan serius, sibuk mengayuh lajur hidup kami masing-masing.

Peristiwa di tepi sungai sore itu, kukunci di memori, kupendam dalam-dalam, tak pernah kubuka lagi, entah kalo Via.

---

Kurasa cukup cerita tentang masa laluku dan Via. Mari kita lanjutkan.


...bersambung...
 
Lembar 18 - Penawaran Terbatas


Akhir tahun keenam.

Pesan singkat dari Via, kubaca kata demi kata. Tidak panjang, hanya beberapa kalimat. Diakhiri emoticon senyum.

Pada intinya, Via minta tolong, dia perlu cash segera, untuk bayar kontrakan setengah tahun ke depan. Jumlahnya tak besar, sekian juta, tak lebih dari nominal permintaan Ais kemarin.

Kemarin Ais, sekarang Via. Lalu siapa lagi? besok Ella, lalu istriku?

Kenapa semua ujung-ujungnya utang?

Aku bukan koperasi simpan pinjam.

Aku senyum-senyum sendiri. Kebetulan yang aneh.

Belum kubalas pesan itu. Aku berpikir sejenak, mencoba melihat gambaran besar situasi yang kualami.

Kasus kali ini berbeda dengan Ais. Via dan Dion adalah sahabatku. Terkhusus Dion, sahabat sejak remaja. Pun aku punya kemampuan membantu, kurasa tak salah jika aku bantu. Toh sekian lama persahabatan kami, tak pernah sekalipun menyangkut persoalan uang. Memori kuputar kembali, tentang Dion yang banyak membantuku dulu saat masa-masa kuliah. Hangatnya rasa persaudaraan kami, juga dengan Via dan teman-teman yang lain.

"Boleh," jawabku. "Kutransfer sekarang? Rekeningmu atau Dion?"

Pesan itu kukirim tanpa pikir panjang, tanpa banyak prasangka. Belum ada notifikasi terbaca. Kutinggalkan percakapan maya kami, lanjut aktivitas kerja.

Jelang sore, pesan balasan masuk.

"Masuk kerja bro? boleh telepon gak?" tanya Via.

Tentu boleh.

Aku berinisiatif menelepon duluan.

"Samlekum...." ucapnya.

"Waalaykum salam,.... salam yang bener ngapa?" jawabku.

"Hehe.. Kaget boss, harusnya kan aku yang nelpon. Maapkeun kelancangan hamba... "

"Emang... Terus gimana? Transfer sekarang? Apa mau cash?"

"Mmmm... cash aja kali ya. Mas Dion gak tau soale... hahahaha..."

Lah. Ada apa ini?

"Uang yang harusnya buat bayar kontrakan, kemarin kupake buat modal jualan. Eh belum balik sampe sekarang. Cashflow mandeg cuy. Hihihihi..." lanjut Via.

Wah kacau ini perempuan. Sudah main rahasia di balik suami.

"Salah itungan jangan2?" tuduhku.

"Nggak lah... sepi order aja. Istrimu suruh nge-order tempatku sana"

"Haissh, malah diprospek. Bakalan dapet kapal pesiar gak di ujungnya?"

Tawa Via kudengar. Teringat beberapa tahun lalu, saat kami terjebak di satu event motivasi, yang ujung-ujungnya ditawari masuk MLM.

"Ya wis, kapan kita ketemu?" tanyaku, memastikan kesepakatan.

Kami berjanji untuk bertemu di satu tempat, besok.

"Salam untuk anak-anak." Ucapku, menutup percakapan telepon sore itu.

Satu pesan singkat dariku menyusul kemudian.

"Juni tahun depan balik modal loh ya. Buat bayar sekolah anakku"

Tak lama, pesan balasan masuk.

"Siap boss..."

Ah, percakapan tadi membuka memori-memori indah.

Aku merindukan saat mudaku dulu. Saat dunia tampak baik-baik saja. Saat energi berlimpah. Saat pertemanan diukur dari lamanya waktu bersama. Pertemanan tanpa pamrih. Seiring waktu bertambah, sirkel pertemanan menyempit. Sulit kutemui orang baru yang benar-benar bisa disebut "teman". Seakan semua punya kepentingan. Oportunis, berusaha memenuhi kebutuhan bahkan mungkin ketamakannya sendiri.

Pola hidup yang melelahkan.

Bagiku, keluarga adalah tempat me-recharge energi. Itupun tidak cukup, percikan-percikan kecil juga dibutuhkan. Percikan dari Ais. Percikan yang sepertinya tak bisa lagi kuharapkan.

Di saat seperti sekarang, kehadiran teman menjadi penting.

Untung ada Dion... Mmmm... tidak-tidak. Ada yang salah dengan pemikiranku tadi.

Urusan tadi tidak melibatkan Dion.

Permintaan Via tidak mewakili keinginan Dion.

Aku menyadari satu hal.

Ini tentang aku dan Via.

Tidak tentang dua keluarga.

Tidak tentang Dion dan aku.

Tidak melibatkan istriku.

Iya, istriku kurasa tak perlu tau.

Via.

Kembali kulihat pesan-pesan yang muncul di percakapan tadi. Kusandingkan dengan ingatan saat bertelepon.

Iya, benar. Ini murni tentang dua orang.

Pikiran usilku muncul.

Lokasi pertemuan besok kupilih di satu restoran, lantai teratas satu mall terkemuka. tepat di depan hotel mewah.

Mungkinkah Via bersedia kuajak mampir sebentar di hotel itu?

Bagaimana jika Via adalah pengganti untuk Ais. Sebagaimana Ella dulu?

Seindah inikah rangkaian takdir membawaku dari satu perempuan ke perempuan lain?

Perasaan bahagia tiba-tiba datang.

Perasaan yang sebangun dengan mekarnya bunga-bunga cinta monyet, sebagaimana kurasakan saat remaja dulu.

...

Jumat sore, hari berikutnya.

Obrolan di lantai pucuk dari gedung itu mengalir begitu saja. Seolah dua sahabat yang lama tak berjumpa, semua hal kami ceritakan. Seperti dugaanku, Via datang sendiri. Tampilannya santai, dengan jeans dan hijab warna krem-coklat polos. Sedikit gemukan dari terakhir kali kami bertemu. Seingatku, terakhir kali kami bertemu adalah dua tahun lalu, sebelum aku menempuh studi lanjut. Ibu dua anak. Kurasa itu hal yang cukup sebagai alasan berubahnya tubuh Via. Aku masih dengan pakaian semi formal, pakaian kantor. Baju saja yang kuganti polo shirt, baju yang selalu kusediakan sebagai baju cadangan di mobil.

Obrolan ringan dengan bumbu canda mewarnai sore kami.

"Kamu kok ngajak ketemuan di tempat ini?"

"Mosok ya mau ngobrol di Warmindo? 'Soda gembira sama indomie telor satu bang! kuah tipis-tipis'" balasku, menirukan kelakuan kami dulu saat remaja. "Udah gak jamannya bunda... "

"Iya ya, udah tua kita"

Mata Via memandangi lilin kecil di tengah meja. Matanya indah. Mata itu melengkapi penampilan eksotis Via. Kulit Via memang agak gelap, tapi garis-garis di wajahnya tampak tegas. Wajah perempuan dengan prinsip hidup yang kuat. Bibirnya tipis, hidungnya sedikit pesek. Tapi matanya itu loh. Mata paling indah yang pernah kutemui langsung. Dia selalu mengaku ngaku mirip artis tahun 2000-an, Ririn Dwi Ariyanti. Ya boleh lah, gak terlalu beda jauh. Cuma kulit Via lebih gelap. Dan dulu, gak ada alus-alusnya. Kulitnya kaya cowok, kering, keseringan naik gunung mungkin.

Takut kebablasan, kupalingkan wajahku ke arah jauh. Memandangi langit sore yang sebentar lagi gelap.

"Aku tau kenapa kamu ngajak ketemuan di sini," kata Via.

"Maksudmu?"

"Udah lah. Gak perlu pura-pura. Kita udah kenal lama kan"

Aku tak mengerti ucapannya. Kemana sesungguhnya arah pembicaraan ini?

"Ya lama lah, 10 tahun ada deh kayake," kataku.

Via menghela nafas, membetulkan posisi tubuhnya. Lalu memandangiku, dengan tatapan misterius itu.

"Aku minta tolong ke kamu dengan kesadaran penuh. Dengan risiko yang sudah kutimbang baik-baik. Ciuman itu, yang dulu. Aku masih ingat loh. Saat ini kesempatanmu untuk lanjut."

Pikiranku masih sibuk menerka-nerka, menerjemahkan kode yang Via buat.

"Boleh kok. Kamu mau lanjut ngewe kan?" kata Via

Deg.

MAMMAMIA...

Kaget boss.

Jantungku terpompa tak teratur.

Aku sedikit beringsut dari kursi, nyaris menyenggol pelayan yang lewat di belakangku.

"Maaf mbak," ucapku untuk waitress itu.

"Cuma sekali ini saja. SEKALI. No hard feeling ya bro" Via menyambung.

Aku geleng-geleng kepala.

Oh My God.

"Yes. Aku memang... ah, you know, andai Dion gak ngajak kamu waktu itu... "

"Cukup. Ini cuma soal kamu dan aku." Tegas Via.

"Sorry... " kataku.

Jeda sebentar.

"So???" tanyanya lagi.

"Gak ada main perasaan ya?"

"No"

"Rahasia?"

"Iyalah, bego banget" kalimat Via yang tegas, dan blak-blakan. Dia belum berubah

"Gak bakal ada lanjutan? Hanya sekali ini?"

"Em hem," Via menggelengkan kepala. "Aku jam delapan musti sampai rumah."

Kulihat jam tanganku, hampir jam lima.

Tiga jam tersisa, ah tidak, paling lama dua jam.

"Di hotel belakang?" tanyaku. Pertanyaan bodoh.

"Kamu lah yang atur, cemen kali"

"Aaaaaah.... bangsat emang nih..." ucapku. "Tanpa kondom ya?"

"Boleh."

...bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd