Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 21 - Percikan


Jelang pergantian tahun.

Setiap makhluk dikaruniai naluri untuk bertahan hidup, juga naluri berkompetisi. Naluri yang dapat dibuktikan bahkan sejak dari tahap penciptaan. Manusia berasal dari nutfah yang adalah hasil kolaborasi dua entitas berlainan, sperma dan sel telur. Tidak sembarang sperma, dia yang terpilih adalah satu sperma juara yang berhasil mengalahkan jutaan bahkan milyaran pesaing lainnya, saudara seperjuangan dengan karakter identik.

Apa yang terjadi di kantorku beberapa waktu belakangan, juga adalah wujud naluri itu.

Sebagian besar teman-temanku sedang berusaha keras bertahan, sibuk dengan urusan masing-masing, melobi pejabat sana-sini, agar mendapat tempat bernaung baru yang setidaknya tidak lebih buruk dari tempat ini, kapal yang sebentar lagi dipastikan karam. Mereka berusaha menunjukkan pengaruh ke berbagai pihak, memamerkan citra positif. Aku, di sisi lain tidak terlalu peduli dengan dinamika itu. Bagiku, kualitas seseorang tidak perlu dibungkus dengan pencitraan segala rupa. Kubiarkan saja mengalir apa adanya, misalpun harus dipindah ke unit lain antah-berantah, aku tak masalah. Emas tetaplah emas.

Nasib para tenaga kontrak lah, termasuk Ais, yang harusnya kupikirkan. Sayangnya, instruksi dari atasan cukup tegas. Kami para koordinator dilarang melakukan upaya untuk mempertahankan mereka. Atasanku, pria berbadan subur, paruh baya di ujung masa pengabdiannya, kurasa cukup bijak dalam hal satu ini. Aku sepakat saja.

Melihat situasi hubunganku dengan Ais akhir-akhir ini, tampaknya kami memang tidak ditakdirkan bersama. Kami terlalu beda. Jurang pemisah terlalu dalam. Mungkin, sejatinya aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Walaupun kalau boleh jujur, semua isi hati dan pikiranku sudah kubuka lebar-lebar untuknya.

Menyedihkan.

Seolah bertepuk sebelah tangan.

Aku terbuka, dia tidak.

Pikiran yang akhirnya kusadari salah. Salah besar.

Nyatanya, aku pun menjalin hubungan dengan perempuan lain, tanpa pernah menceritakan ke Ais.

Fakta yang membuatku tersenyum, lalu tertawa kecil, terkekeh, tanpa sadar.

Sudahlah, perempuan tidak hanya Ais. Aku menghibur diri.

Ais juga tengah bahagia di sana, berlibur bersama teman-temannya yang lain. Kurasa dia akan baik-baik saja.

Kami akan baik-baik saja.

Panggilan dari pengeras suara Bandara menyadarkan lamunanku, panggilan terakhir bagi penumpang menuju ke ibukota. Hari ini aku memang harus berangkat ke sana, menerima surat penugasan baru. Aku beranjak dari kursi dingin, berjalan ke arah petugas cantik dengan penampilan anggun yang menyambutku dengan senyum manisnya.

Cantik sekali wajahnya, darahku berdesir pelan.

Oh God...

Aku terlalu lemah di depan wanita cantik.

...

Satu foto masuk di smartphone-ku.

Menyusul foto-foto lain. Foto berlatar pantai, dan bangunan ikonik tempat itu.

Foto dari Ais.

Sejak sampai di Jakarta, aku tak bisa menahan kangen untuknya. Kukirimkan pesan, kalimat basa basi.

Tak lama, kami telah berbalas pesan, lama, pagi hingga siang ini. Isinya tak jauh dari cerita pengalaman Ais di Negeri itu. Kali ini aku tak banyak berkabar tentang diriku sendiri, aku lebih ingin mendengar cerita darinya. Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Pagi tadi, aku telah teryakinkan bahwa Ais bukan siapa-siapaku. Nyatanya, tak lama kemudian, saat aku tengah kesepian seperti sekarang, Ais lah orang yang kuhubungi pertama. Bukan istri, bukan anak, bukan pula sahabatku kemarin.

Bagaimana aku harus menjelaskannya?

Sanggupkah kami menjalin hubungan setengah-setengah seperti ini?

Aku kini berbaring di hotel, salah satu tempat dengan layanan premium di pusat kota, tidak jauh dari kantor pusat.

Acara pelantikan tadi hanya sebentar, tak terlalu banyak seremoni, tak banyak pula tokoh-tokoh pejabat yang kukenal. Aku sedikit merasa terasing. Jadilah kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu, segera check-in ke sini. Harusnya aku bisa pulang sore ini, sayang tiket kepulangan telah habis sejak jauh-jauh hari. Wajar, akhir tahun seperti ini jadwal penerbangan selalu penuh. Terpaksa malam ini aku menginap di tempat mewah ini, memanfaatkan anggaran negara untuk kenyamanan pribadi.

Smartphone-ku penuh oleh isi pesan Ais, juga foto-foto yang sebenarnya tak terlalu kuanggap penting. Aku terhibur. Kehadiran Ais, bahkan lewat jalur tak langsung seperti ini, selalu bisa mengobati kesepian.

Aku teringat salah satu kalimat dari sahabatku dulu:

"Kadang orang yang di menemani kita bukanlah orang yang kita cintai. Dia adalah orang yang membuat kita nyaman. Kehadirannya tak banyak dihargai, karena kita sudah merasa biasa. Tapi saat dia pergi, barulah kita sadar arti kehadiran itu."

Kurasa itu ada benarnya.

Tapi tidak sepenuhnya benar.

Aku yang sekarang ini, terlebih sejak mengenal Ais, adalah pribadi yang lain.

Begini, dulu saat usia pernikahanku masih muda, anakku masih batita, aku merasa kebutuhanku telah cukup. Mimpiku untuk memiliki keluarga kecil, telah tercapai. Sejak kenal Ais, atau paling tidak sejak Aku dan Ais bermain ranjang sore itu, pandanganku berubah. Kebutuhanku ternyata tak sesimpel itu. Ada kebutuhan sebagai pria dewasa. Ada kebutuhan untuk dilayani, dipuaskan secara lahir-batin. Lebih spesifik, harus disediakan wanita, selir-selir yang siap melayani. Mungkin memang inilah yang disebut fitrah laki-laki. Selalu minta dipuaskan.

Jika ingin lebih jauh, arogansi laki-laki selalu digambarkan sebagai singa, penguasa tunggal yang dikelilingi singa-singa betina yang siap berbakti. Atau raja, pribadi otoriter dengan selir dan pelayan yang tunduk dan patuh. Atau dari sisi spiritual, janji surga selalu melibatkan hadirnya bidadari-bidadari cantik jelita, yang muda, perawan, siap memuaskan birahi para penghuni.

Pemikiran itu membuatku berpamitan dengan Ais. Aku beralasan kelelahan, mau tidur siang. Ais kuminta menikmati waktu liburannya. Satu pesan Ais menutup percakapan tertulis kami.

"Kemarin pas di pesawat, aku sebelahan sama cowok ganteng Mas. Tinggal di sini. Penulis, traveler kelas dunia. Nih, dia ngasih aku buku...[Foto buku]."

Hmmm... Ais tak berubah.

Entah kenapa aku merasa dia selalu berusaha membuatku cemburu.

Dan... berhasil.

Kucari di mesin pencari online.

Buku berjudul ****, ditulis oleh *******.

Pria putih, botak, berkacamata.

Kucari lebih lanjut siapa orang itu.

Masuk ke laman blog pribadinya.

Benar, ternyata petualang. Tinggal di Asia. Beberapa buku telah ditulisnya.

Ada pula foto-fotonya yang tengah bersama orang-orang penting, artis dan pesohor. Pria hebat.

Ah, fuck...

Cukup.

Toxic.

Kututup layar telepon itu. Kubanting di sebelahku, untung bed empuk.

Kututup mataku dengan bantuan tangan. Kuhela nafas sebentar.

Ide baru muncul: Mungkin di kota ini aku bisa menyewa seorang pelacur.

...bersambung...
 
Lembar 22 - Mozaik Malam



Dering telepon membangunkanku. Bunyi dering telepon klasik, makin lama makin nyaring. Settingan yang ternyata cukup mengganggu, polusi suara.

Mataku setengah terpejam. Tanganku gagap, menyusur area sekeliling ranjang.

Ketemu.

Kuangkat layar itu, pas segenggaman.

Kesadaran belum pulih. Mata kubuka perlahan.

"Arul Jkt"

Nama itu tertampil di layar.

Arul adalah teman kerjaku. Lebih, kami berteman sejak kuliah, satu angkatan beda jurusan, sekarang satu kerjaan. Dia berstatus pegawai pusat, aku pegawai daerah.

Tombol hijau kusentuh.

"Piye rul?" tanyaku. Mata kupejamkan kembali, mengumpulkan kesadaran yang tadi tercerai berai.

"Dimana kau? Nggak mampir tempatku tadi?" Nada setengah marah, turun dari darah Sumatera-nya.

Asu.

Bangun-bangun kupikir bakal dapat oral sex seperti minggu lalu, ini dapat nada panas begini.

"Ngantuk banget gue" kataku, beralasan.

"Suaramu lain bro. Bangun tidur ini?"

"Iyo..."

"Dimana ini sekarang?"

Kujelaskan lokasi hotel ini.

Obrolan kami berlanjut, hal-hal yang segera kulupakan, tak kusimpan di ingatan.

"Ntar malem kujemput lah. Kesian kali sendirian. BO atau apa gitu lah," katanya, sesaat sebelum telepon ditutup.

"ASU..." ucapku. Entah dia dengar atau tidak.

Kulihat angka kecil di ujung layar.

16.30

Sudah setengah lima. Hawa ruangan ini panas.

Ah, ******, kuumpat kebodohanku sendiri. AC belum kuatur tadi, masih di suhu 25 derajat.

Saatnya mandi.

...

Hampir pukul tujuh malam. Di luar hujan deras. Jika bukan karena ajakan Arul, tak sudi aku keluar kamar, lebih baik ndekem, menghangatkan diri dalam selimut tebal dan lembut itu.

Tapi di sinilah aku. Tempat bernuansa terang, lapang, berlatar alunan lagu yang tipis, menenangkan. Marmer (mungkin) memenuhi tiap sudut. Interior ditata cantik, dengan hiasan tanaman bunga di beberapa sudut. Di lobby hotel, mengamati orang lalu lalang, sebagian riweuh karena harus menghadapi situasi hujan deras yang cukup horror itu. Aku menunggu jemputan.

Pesan itu datang.

"Sudah di lobby boss? Aku sudah di parkir luar. Tunggu di dalam ya, duduk tenang saja kau"

"Cepeten nyet, lama kali aku tunggu"

"Ah, babi kau"

Tak lama, pria tegap itu datang. Masih dengan pakaian kerja, semi formal, khas pekerja millennial, necis tapi berkesan casual. Kemeja warna... entah apa warnanya kombinasi pink dengan orange-coklat. Entahlah pokoknya tampak muda. Jauh berbeda dari penampilan lusuhnya saat kuliah dulu. Aku hanya tampil seadanya, polo shirt dan jeans.

Arul menyapaku duluan

"Aiih, mau ke Al3xis kok penampilannya al-azhar?"

What?

Wajahku berubah, kaget dengan kata-katanya. Aku mau dibawa ke tempat klub malam itu?

"Hahahaha... bercanda sob. Santai lah kita ngopi-ngopi aja" katanya.

Ooohhhh. Cukup lega aku dibuatnya.

"Belum balik ke rumah om?" tanyaku, sembari berjalan keluar, ke arah parkir luar.

"Belum lah. Baru jam enam tadi keluar kantor. Lagian tinggalku dekat-dekat sini."

"Ada rumah di sekitar sini? Konglomerat lu sekarang"

"Hahaha,... bukan lah. Apartemen aja"

"Pindah sekeluarga dari rumah yang dulu?" Seingatku, dulu dia tinggal di perbatasan, dekat bandara internasional.

"Rumah itu dikontrak orang. Anak istri di Bali, istriku kerja di sana sekarang. Sudah setahun ini aku bebas nge-jomblo, hehehe..."

Kehidupan yang berat, buatku. Jauh dari anak istri adalah siksaan berat bagiku. Mungkin tidak bagi Arul.

"Oh iya, aku bawa teman di kursi belakang. Biar gak garing omongan kita, hahaha..."

Teman? Siapa? Kupikir kami bakal berdua saja. Tidak ada omongan soal teman lain. Tapi sudahlah, dia yang ngajak, dia tuan rumahnya. Aku ngikut saja.

Kami terus berjalan, melalui teras samping lobby hotel yang basah, sebagian air hujan sempat memercik ke arahku, lengan bajuku sedikit basah.

Mobil Arul, sedan eropa warna abu-abu tua, terparkir di sana. Tampak mewah dan terawat. Selera Arul yang tinggi, tercermin dari pilihan-pilihan barang pribadinya yang ber-merk. Mobil itu salah satu buktinya.

"Peringatan ya bro. Jangan ada omongan soal anak-istri. Clear?" kata Arul, beberapa saat sebelum langkah kami mencapai pintu mobil itu.

What the...

Apa maksud pria rambut cepak ini?

Kubuka pintu depan, langsung duduk manis, masuk di samping jok kemudi. Arul menyusul kemudian.

Hawanya dingin, mesin mobil sengaja tak dimatikan sejak tadi.

"Kenalin bro... (penulis sejujurnya lupa nama mereka, jadi nama berikut ini full rekaan) temen gue, Cindy dan Giselle"

Arul menunjuk dua sosok yang duduk di jok belakang.

Kulongok sebentar.

OH WOW.

Dua perempuan manis, dengan senyum yang manisnya kelewatan, dengan pakaian kerja lengkap, baju pramugari.

...

Tempat ini, semacam cafe kelas atas, berlokasi di pinggiran kota. Satu jam perjalanan dari hotel.

Sepanjang jalan tadi. Pikiranku melayang tak terkendali. Untunglah, bahan obrolan mengalir tanpa hambatan. Arul memang terkenal dengan gaya bicaranya, dan wawasannya yang luas. Semua topik bisa dilibas, mudah saja. Dia semacam kamus berjalan.

Dua wanita di jok belakang ternyata juga mudah akrab.

Arul mengaku sudah mengenal Cindy sejak beberapa bulan. Sedangkan wanita yang duduk persis di belakangku, Giselle, baru kali ini ditemuinya, sengaja diajak oleh perempuan pertama. Kedua gadis muda itu memang berprofesi sebagai pramugari salah satu maskapai besar milik negara. Kebetulan beberapa hari ke depan sedang off.

Satu hal yang buatku tertarik, adalah gaya bicara Giselle. Lembut, tutur kata dan cara bicaranya tertata rapi, dengan tempo yang pas. Ada nada serak basah. Ah, pasti lebih menarik saat mendesah.

BAJINGAN.

Pusaka di bawah meronta.

Pikiran mesumku sejak siang, seakan diberi pupuk gara-gara kelakuan Arul.

COOKKK!!!!

Hujan di luar mereda, menyisakan gerimis.

Di kejauhan tampak pemandangan danau kecil, embung dengan cahaya kelap-kelip yang mengitarinya. Suasananya asik, cocok untuk menghabiskan malam. Di luar sana, sedikit keluar dari area ini, berdiri macam-macam tempat hiburan. Kawasan klub malam, restoran, dan penginapan.

Kami berempat duduk di lantai atas, mengitari satu meja kotak besar, tepat di samping pagar pemisah. Arul di sisi kanan, mengebul sejak tadi, mungkin berusaha melawan dingin. Giselle di sebelah kiri.

Aduh, parfumnya boss. Wanginya segar, semerbak, beneran membangkitkan sesuatu.

Sementara Cindy di seberangku, posisi duduk yang makin lama berimpit dengan Arul. Kedua orang itu tampak akrab, kadang topik-topik panas tak sungkan dibahas. Sesekali tubuh mereka bersentuhan, ada aura manja, atau mesum? Beda tipis.

Kuduga Arul dan Cindy memang sepasang kekasih. Bahasa tubuh mereka jelas terlihat.

Obrolan demi obrolan saling mengisi waktu malam kami. Cindy ternyata memang tipikal perempuan yang rame, ceplas-ceplos, tak segan nge-banyol, setipe lah sama Arul. Klop sudah berdua.

Perempuan di sebelahku lebih kalem. Sesekali menimpali obrolan kami, dengan kalimat seperlunya. Kata-kata yang menurutku menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan. Selayaknya pramugari, keduanya memiliki wajah yang terawat, mulus, bercahaya, dengan porsi make-up yang tepat. Ah, cantik lah pokoknya, tak perlu kujelaskan panjang lebar.

Aku lebih banyak jadi pendengar. Otakku masih sibuk menerka-nerka maksud pertemuan itu.

Arul dan Cindy pasangan selingkuh. OK, semua juga bisa melihatnya.

Giselle sengaja diajak untuk menemaniku? Bisa jadi.

Aku yakin pasca pertemuan ini, Arul dan Cindy akan lanjut ber-wik-wik di satu tempat, entah di mana. Toh Arul memang tinggal sendiri. Lalu Giselle?

Untukku gitu?

Apa ya dia mau?

Mungkinkah kami nantinya bergumul dalam hawa dingin ini?

BANGSAT!!

Membayangkan itu saja, si adek kembali ngaceng.

"Mas Ian pulang besok?"

Suara merdu memecah kesadaranku.

"Ohhhh... mmm... gimana tadi? maaf..."

Giselle cekikian, senyum manisnya itu loh jeung...

"Mas, pulang ke ******* kapan? besok pagi?"

"Oh iya, besok. Pesawat jam 8" kujawab, kutelusuri pandangan di depanku. Arul dan Cindy tak terlihat, entah ke mana. Di bawah meja kah?

Melihat gelagatku, Giselle tampak berusaha memberi solusi.

"Cindy minta diantar ke bawah tadi. Mungkin ke toilet"

Toilet?

Berdua?

Ngapain mereka?

Aduh mak, pikiranku kotor betul.

Terbayang Arul yang tengah berdiri bersandar di tembok toilet, matanya merem melek, sesekali dihisapnya rokok favorit itu. Sementara di bawah, Cindy tengah merokok batang yang lebih besar. Mulutnya sibuk menyervis pasangan selingkuhannya itu, mengulum dengan tempo yang memabukkan, melumat batang berurat yang makin kaku dan basah.

Ngaceng lagi saya.

"Tenang mas, kita nggak bakal ditinggal kok," kata Giselle. Mungkin dia menyangka aku gelisah karena takut ditelantarkan di tempat ini.

Hening sejenak.

"Kalo ditinggal berdua sama kamu sih, seminggu juga betah mbak." kataku.

Entah darimana datangnya kata-kata itu. Muncul begitu saja.

Kata-kata buaya.

Menjijikkan.

Reaksi Giselle ternyata di luar dugaan.

Dia tersenyum, diselingi tawa kecil. Dan lagi, senyuman maut itu. Meleleh hatiku neng...

Kualihkan pandanganku dari wajah manisnya, kuambil cangkir kopi yang masih sisa setengah.

Sekali tegukan, cukup untuk meredakan suasana aneh yang kuciptakan.

Satu tegukan yang mengawali obrolan lanjutan. Giselle memulai topik tentang kopi, satu hal yang ternyata dikuasainya dengan baik. Wanita muda ini ternyata pencinta kopi. Mengaku berdarah sumatera bagian utara, kopi baginya adalah minuman harian. Aku yang sekadar penikmat kopi, menikmati betul setiap kata yang dia ucapkan. Penuh ilmu, pengalaman, dengan perspektif yang sangat luas. Tentu aku juga menikmati ekspresi wajah cantiknya yang seakan berbinar saat bercerita, ada gelora di situ, passion.

Lalu bibir tipis itu, bergerak-gerak, lembut , lemah gemulai. Entah kenapa aku makin terangsang. Berimajinasi, membayangkan bibir itu melumat penisku yang lapar sejak siang tadi.

Pusing tiba-tiba datang.

Kupejamkan mata dalam-dalam.

"Kenapa mas?" tanya perempuan di depanku.

"Pusing, nggak tau nih."

Perasaanku aneh, pusing yang tajam menghujam. Sakit, serangannya bertubi-tubi. Perutku juga, bergerak-gerak seperti memompa, ingin muntah tapi tertahan.

Keseimbanganku kacau, pandangan kabur, seakan semua berputar.

Aku mabuk???

Ingatan selanjutnya benar-benar sulit kuraih. Seakan fragmen-fragmen pendek, mozaik dengan tata letak acak.

Mohon pembaca ingat, ini adalah kisah nyata. Penulis tidak ingin membumbui dengan rekaan dan khayalan ngawur yang mengada-mengada.

Akan kutulis apa-apa yang kuingat.

Gambaran tentang aku yang tergeletak di atas meja, kepalaku berat, mataku sulit terbuka. Suara-suara panik. Giselle sepertinya. Aku tak ingat ada suara lain yang kukenal. Lalu beberapa tamparan di pipi, entah siapa, tangan kasar.

Fragmen berpindah ke kamar hotel. Aku merasa dipapah seorang berbadan tegap, berseragam. Mungkin pegawai hotel? Security? Bellboy?

Aku ingat berbaring di permukaan yang lembut, empuk dan nyaman. Ada suara wanita yang kudengar. Ada yang menyentuh kulitku, entah di mana. Sentuhan lembut. Seingatku di sekitar paha.

Sebatas itulah ingatan yang sempat kusimpan.

Pagi harinya, telepon kamarku berdering. Kepalaku masih berat, kesadaran berangsur pulih. Aku terbaring tanpa busana lengkap, hanya kaos dalam dan boxer, dengan posisi miring-miring nggak mapan. Kuangkat telepon, dari resepsionis, telepon pengingat.

"Layanan pengingat dari kami pak. Sekarang sudah jam enam. Pesawat bapak jam delapan."

Ah iya, aku harus kembali ke kotaku.

Kesadaran kupaksakan bangkit. Bergegas bersiap. Secepat kilat berkemas.

...

Aku telah sampai di ruang tunggu bandara. Masih ada rasa pusing. Sengaja kubeli kacamata hitam di jalan tadi, menutupi mataku yang masih memerah. Di tanganku secangkir kopi dalam kemasan gelas plastik.

Aku termenung di ruang tunggu eksekutif, dekat jendela besar. Berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.

Panggilan telepon dan puluhan pesanku untuk Arul, tak dijawabnya.

Semakin keras kumengingat, semakin hilang mozaik-mozaik itu. Bercampur (mungkin) dengan mimpi. Batas khayalan dan realita yang tak jelas. Kurasa saat ini penting untuk mendengar testimoni dari Arul.

Entah kenapa aku juga enggan mencari tahu detail kejadian dari pihak hotel, mungkin karena tadi terlalu buru-buru, fokusku hanyalah mengejar jadwal pesawat ini.

Sampai aku tiba di kota tujuan, barulah satu pesan masuk, dari Arul.

"How are you, brow... Sorry semalam kutinggal sebentar. Kata Gisel, lo pingsan, mabok kali. Dia yang ngantar balik ke hotel, sampai kamar. Nggak tau deh lanjut ngapain. hehehe... "

Pesan itu tidak mengobati rasa penasaranku.

Kutahan pertanyaan lanjutan, berusaha menghentikan nafsu rasa penasaran. Biar saja itu menjadi misteri. Pesan Arul segera kuhapus.

Kadang ada hal-hal yang sebaiknya tak perlu kita buka.

Hingga kini misteri itu tak terpecahkan. Arul, tak pernah lagi berkesempatan menceritakannya, beberapa bulan yang lalu dia meninggal akibat covid-19.

...bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd