Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 24 - Selepas Badai


Tahun ketujuh.

Konon, perempuan lebih mengandalkan perasaan sedangkan laki-laki mengutamakan logika.

Salah satu buku klasik termahsyur berjudul Men from Mars, Women from Venus, karya Dr. John Gray mampu menjelaskan dengan baik perbedaan kedua makhluk lain jenis itu. Cara berpikir keduanya, juga pola interaksi dan komunikasi yang berlainan, digambarkan dengan cukup sederhana, berujung pada pemahaman penting untuk mendalami hubungan antara laki-laki dan perempuan. Satu penelitian lain menjelaskan tentang kemampuan unik dari perempuan untuk mengaitkan memori dan keadaan sosial, hal yang mendasari perilakunya yang lebih mengandalkan perasaan. Di sisi lain, para laki-laki lebih praktis, satu hal sebagai akibat dari disain otak yang tidak menyediakan koneksi pada perasaan. Mari kita anggap semua itu bermuara pada stereotip sederhana: laki laki tidak harus memakai perasaan, cukup gunakan logika.

Ada belasan alasan yang bisa kupakai untuk meninggalkan Ais. Alasan yang tidak hanya didasari logika, melainkan juga perasaan.

Ais berkhianat. OK. Tapi aku pun demikian.

Ais bersetubuh dengan pria lain. OK. Dia bahkan sudah berkali-kali ML dengan suaminya. So apa salahnya?

Ais menyimpan rahasia. OK. Aku tak terkecuali, mungkin lebih banyak rahasiaku.

Ais melukai perasaanku. Well, benarkah? Ais yang salah? Atau akunya saja yang terlalu baper?

Nyatanya aku terlalu baik, atau mungkin hanya terlalu logis?

Kadang berpikir pragmatis ada manfaatnya. Selama tubuhnya masih bisa kunikmati, peduli setan dia mau tidur sama siapapun.

Di titik ini, logikaku mengalahkan semua racun itu.

Kuputuskan untuk tetap bersamanya.

Kali ini aku akan lebih egois.

Komunikasi kami yang makin intens gegara kejadian kemarin, seharusnya perlu pula disyukuri. Hal yang kemudian merubah cara pandang Ais tentang hubungan perselingkuhan kami. Tidak ada lagi batas yang ia buat. Semua hal dibukanya. Semua hal diceritakannya. Setidaknya demikian yang aku yakini.

Situasi memang kurang ideal. Suaminya memutuskan untuk tinggal dan menetap di kota ini, meninggalkan pekerjaannya, sekaligus berupaya untuk lebih ketat menjaga perempuan berhijab lebar itu. Langkah yang patut dipuji untuk memulai awal baru, setelah badai itu. Aku sejujurnya salut pada ketabahan sang suami, bisa memaafkan istrinya. Sulit membayangkan hal sama bisa kulakukan pada istri yang berselingkuh.

Ais pun mulai menempuh jalan baru. Tak lama setelah pengakuan itu, tawaran dari kantor sebelah diterima Ais. Tahun ini Ais dikontrak untuk bekerja sebagai konsultan non-teknis di salah satu unit kerja, masih di lingkungan kerja berbau pemerintahan. Kontrak yang lumayan panjang, bisa diperpanjang hingga empat tahun. Bidang kerja yang sebenarnya tidak terlalu terkait pekerjaan kemarin. Itu jadi salah satu syarat dari suaminya, Ais dilarang bekerja kembali di lingkungan kerja yang lalu. Gajinyapun kini hanya sedikit di atas UMR, jauh dari pendapatannya dulu. Untung bagi kami, posisi kantor kami berdekatan.

Jika memang ada yang namanya pengampunan, maka tahun ini benar-benar tahun yang kami lalui dengan banyak upaya untuk mencari ampun. Lebih dari itu, kami berintrospeksi. Semakin banyak batasan yang kami buat untuk mengamankan rahasia yang yang kami simpan sekian lama ini. Pesan-pesan, kami sisipi kode-kode khusus, kapan saat yang aman, kapan berbahaya, kapan saat untuk berhenti chatting. Pertemuan tatap muka kami kurangi, wajar lah, sudah beda kantor ini, beda urusan juga. Satu-satunya kesempatan bertemu adalah saat kumpul-kumpul dengan teman yang lain. Iya, aku berinisiatif mengumpulkan teman-teman ex-kantor yang lalu dengan agenda rutin per bulan, semacam arisan. Modus agar bisa ketemu Ais. Ide yang syukurnya disepakati teman-temanku itu.

Anak keduaku lahir tahun ini. Hal yang sempat membuat Ais ngambek cukup lama, iri karena dia belum juga hamil, juga marah akibat aku merahasiakan kehamilan istri. Dasar perempuan.

Kemarahan Ais baru reda setelah kuberikan treatment khusus beberapa minggu. Perhatian tulus yang sedikit kupaksakan, bersanding dengan hadiah-hadiah kecil yang kuberi, nyata-nyata membuat hatinya luluh juga. Dasar perempuan.

Satu waktu, pertengahan tahun ketujuh, hari jumat jelang tengah hari.

Suara adzan memanggil untuk ibadah mingguan. Aku menyempatkan diri mampir ke kantor Ais, tak lebih satu kilometer dari tempat kerjaku yang baru. Ada dokumen yang ingin kuproses di sana, modus saja lah, tentu aku hanya ingin bertemu Ais.

Ruang kerja Ais di lantai atas, ruang yang muat lima meja kerja itu, sudah kosong ternyata. Rekan seruangan Ais setauku berimbang, dua laki, dua perempuan, satu makhluk antara. Tiga orang diantaranya kuyakin sudah berangkat ke masjid terdekat. Kulihat tersisa Ais sendirian yang sedang serius mengetik entah apa. Masih dengan pakaian muslimah yang tampak anggun. Cantik kentu, eh tentu.

Wajahnya ayu, bahkan saat serius pun. Kadang kupikir dia lebih cantik saat tengah pasang tampang serius. Bibirnya itu loh, sensual, dengan lipstik tipis. Ah pasti enak saat penisku menyumpal mulut basah itu.

Fak, harus kutahan konakku.

"Kok sepi mbak?" tanyaku, tentu saja basa basi.

Ais bergeming. Tatapannya tampak serius memperhatikan layar laptop.

"Ihhh, masih ngambek kah? katanya udah normal?" godaku. Mengulangi pengakuannya padaku tempo hari lewat pesan singkat.

Masih belum ada respon.

Aku berinisiatif mendekat.

"Aku nemu warung kopi enak dekat sini. Baru buka. Mau?" ucapku lagi. Aku sudah sampai di dekatnya, persis di samping meja kerja.

Kubuka aplikasi penunjuk lokasi. Satu cafe, warung kopi tradisional nan sederhana, kutunjukkan padanya. Foto-foto yang tertayang di situ cukup menarik, instagramable.

Berhasil.

Ais berhenti bekerja. Dilihatnya foto-foto si smartphoneku itu.

Dia hela nafas sejenak.

"Jam empat" katanya. Disusul gerakan lain, melanjutkan aktivitas yang tadi. Pandangannya kembali ke layar laptop. Tatapan serius.

Umpan masyookk pak eko!!!

Cukup kupikir. Kulanjutkan saja nanti sore di warung kopi itu.

"OK. Kujemput jam empat kurang empat menit. Tepat."

Tidak ada reaksi beberapa saat.

"Hmmm..." ucapnya kemudian.

Hihihi,... sok jual mahal dia. No Problem, aku ikut permainan.

"Udah ah jumatan dulu," aku berpamitan, beranjak dari tempat itu.

Hampir sepuluh meter aku berjalan, tepat di tengah jalur tangga turun, kuhentikan langkah. Kondisi sepi, aku setengah horny. Harusnya ada yang bia kulakukan, lebih dari apa yang kulakukan tadi.

Bergegas kuputar langkah, kembali ke ruang Ais.

Ais, ternyata sudah berubah posisi. Kini ia berdiri, membawa sejumlah map. Mungkin ingin turun ke bagian layanan di lantai bawah.

Secara spontan, ia menatapku yang kembali ke tempat itu.

"Ngapain lagi?" ucapnya.

Aku tak menjawab. Segera kudatangi perempuan itu. Kucium tanpa aba-aba. Bibir yang menggoda itu, aku tak kuasa menahan desiran nafsu.

Ciumanku mendarat tepat di bibirnya.

Panas, mendadak, tiba-tiba. Sergapan yang mungkin tak ia duga-duga.

Keyakinanku benar, Ais tak menolak. Dasar perempuan.

Justru bibir itu turut bermain. Kami saling lumat.

Tanpa terasa, gerakanku makin kasar.

Kupepet wanita cantik itu ke dinding terdekat. Map di tangannya jatuh, berantakan di lantai.

Kembali kupagut bibir seksi itu, memainkan lidahku dengan sedikit liar, lalu kugeser area kerjaku ke leher. Bagian favoritku, juga bagian yang paling bisa membuat Ais mendesah. Ais terpejam, tampak menikmati serangan mendadak itu.

Benar saja, desahan erotis dimulai, game on.

"Aaaaahhhh... massssssjhhhhhh.... aaahh....."

Desahan dan erangan Ais makin deras seiring perlakuan kasarku ke area leher itu. Sesekali kucupang, kesesap aroma khas itu, sesekali pula kugigit.

Tanganku ikut beraksi, meremas kedua bukit kembar dengan postur yang aduhai itu. Remasanku menggila, Ais tampak tersiksa.

Tangan Ais kini mencengkeram rambutku yang sedikit berombak ini, jambakan di beberapa bagian.

Ais sudah berselimut nafsu. Tak kuasa mengedalikan birahi.

"Hmmmm... ssshhhh... oohhggg... u uuhhh..... hmmm...."

Nafasnya tak teratur. Mendengus sesekali. Membuat syahwatku turut meninggi.

Tepat saat tangan Ais menyentuh pusakaku yang menegang di bawah, gundukan tertutup celana ketat, suara panggilan terakhir berkumandang.

Panggilan bagi mereka yang berniat ibadah siang itu.

Time out.

"Ssssshh... Udah cukup... nanti lagi.. " kata sang wanita yang tengah dibuai gelombang panas itu.

Hijab Ais sudah tak berbentuk.

Nanti lagi?

Berarti masih ada babak lanjutan?

Oh yes, of course.

"Sure..."
ucapku. Merasa menang.

...bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd