Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

"Menurutnya, atribut setiap manusia harus dilepaskan jika berbicara soal bercinta. Atribut status, umur, anatomi tubuh, profesi, bahkan gender. ----- Fantasi tidak boleh disimpan, justru harus dibuka lebar-lebar. Hal itu yang membuka arah eksplorasi."
--- terimaksih pelajaranny suhu @pendekarguolowo
 
Lembar 3 - Hadiah Kejutan


Tahun ke delapan.

Akhir tahun lalu, kantor kami mendapat tambahan tenaga. Beberapa pegawai senior dan sejumlah CPNS ditempatkan di unit kerjaku. Anggaran kegiatan juga dinaikkan, memungkinkan kami untuk menambah belasan tenaga pendukung yang terikat kontrak setahun ke depan. Mitra kerja dari lembaga penelitian di kota-kota besar Jawa juga berhasil kami gandeng. Urusan pekerjaan nyris tidak ada hambatan. Fokusku lebih banyak ke urusan keluarga, lebih-lebih setelah kehadiran anak perempuan yang menghiasi keluarga kecilku. Aku tak pernah lagi lembur kerja, maghrib pasti sudah sampai rumah, waktu kebersamaan dengan anak-anakku terasa hangat dan tak mau kutukar dengan hal-hal lain. Urusan di luar kota juga kuserahkan ke anak buah, muda-mudi yang lebih bisa bergerak bebas, sekaligus upaya pengkaderan agar roda organisasi dapat terus berputar. Semua tampak normal dan baik-baik saja.

Sayang, kehidupan ranjangku di rumah masih sama, hambar. Pasca melahirkan, kemesraan suami-istri tak bisa kami rangkai ulang, pernikahan ini serasa sempit, terbatas di urusan asal hidup, berburu penghidupan tanpa ada esensi kehidupan.

Apa yang kamu minta, itu yang kamu dapat.

Betul kiranya kalimat itu. Aku dulu meminta ibu untuk anak-anakku, itulah yang kudapat sekarang. Bukan sosok istri sebagai pelayan suami.

Tidak masalah, aku ikhlas saja. Urusan ranjang kusadarkan ke orang lain, Ais.

Sayangnya juga, Ais tengah disibukkan urusan lain. Ibunya memerlukan perawatan akibat penyakit serius. Dia bahkan beberapa kali harus izin tidak bekerja untuk mendampingi perawatan sang ibu. Kami semakin jarang bertemu, lebih sering lewat pesan pendek dan video call. Waktu yang relatif senggang tahun ini kumanfaatkan untuk aktif di forum dewasa. Forum 46 :)

Dari forum itu pula aku mendapatkan banyak pengetahuan, tidak hanya tentang aspek seksual, melainkan juga aspek psikis dan karakter perempuan. Hal yang membuatku sadar, ternyata ada orang-orang seperti Ais di luar sana. Ais ternyata tidak terlalu 'binal', masih banyak yang lebih 'parah'.

Kebutuhan biologisku memang tidak cukup terpenuhi, tapi melalui interaksiku yang intens dengan Ais, setidaknya ada bagian dari diriku yang telah merasa cukup. Percakapan dunia maya kami biasanya berakhir dengan tulisan dan gambar-gambar mesum.

Dirty text messaging.

Istilah itu yang kupakai. Fantasi liar soal pemerkosaan, bercumbu di kantor, ML di pinggir pantai, hanyalah sebagian hal yang kami lakukan lewat bertukar pesan. Bagian paling seru (kadang buatku sange parah) adalah saat kami bermain peran, Seks lewat tulisan. Bukti terlampir.













"Emutin sini"

"Slurrppp... hmmm... aku suka. Aku mau Es krim ku...."

Kata-kata itu membawa imajiku berpencar, berkeliaran tanpa arah.

Aduh, aku mungkin terlalu lemah, hanya digoda begitu saja penisku bereaksi.

Tentu tak sampai muncrat juga. Seperti yang kubilang di lembar-lembar awal, aku tak bisa ngecrot sembarangan. Tangan tak bisa memuaskanku. Tidak tanganku, tidak tangan orang lain, sekalipun tangan Ais. Minimal harus diservis lewat mulut, itu pun harus dengan teknik yang tepat. Pengalaman membuktikan, dan aku tak bisa memungkiri.

Pilihannya serba terbatas. Mari kita petakan situasinya.

Ada kebutuhan biologis yang harus kupenuhi. Hanya Ais yang kupunya. Tempat harus penginapan bonafit. Pengalaman yang lalu, beberapa kali ada razia di hotel-hotel melati sekitaran kotaku. Aku tak mau mempertaruhkan reputasi dan karierku dengan terjerat kasus memalukan seperti itu. Untungnya posisi kantorku di pinggiran kota, memungkinkan untuk menjangkau beberapa hotel yang memang cukup banyak tersebar di sekitaran. Sekarng tinggal urusan waktu. Waktu yang tersedia hanya saat jam kerja, itupun harus menyesuaikan jadwal masing-masing. Jam kerjaku relatif lebih fleksibel, hanya terkendala karena kewajiban presensi jam datang dan jam pulang. Jam kerja Ais lebih sulit diatur, masih harus membagi waktu dengan perawatan ibunda, lalu ada pula tugas-tugas tambahan lain yang biasanya diserahkan untuk Ais. Waktu Ais lebih "mahal".

Persoalan waktu ini susah-susah gampang. Kupikir asal komunikasi kami lancar, kedekatan personal bisa kami jaga, urusan waktu bisa gampang kami atur. Nyatanya tydac.

Sampai tengah tahun, baru dua kali kami bisa menyempatkan diri "rekreasi" di hotel. Itupun hanya sebentar, tak lebih dari tiga jam. Waktu yang kurasa sangat kurang. Untuk satu ronde terlalu kerja keras, untuk dua ronde waktu recovery terlalu sempit. Tidak banyak yang bisa kubagi untuk dua kesempatan itu, terlalu monoton, terlalu biasa, aku bahkan sudah lupa. Ingatan di semester pertama ini tak banyak tersisa.

Akan kuceritakan satu peristiwa yang kuingat betul. Semoga cukup akurat.

...


Pertengahan tahun kedelapan.

Beban kerjaku tak terlampau berat, aku memutuskan untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Merangkul beberapa teman lama, juga memanfaatkan jaringan yang beredar di urusan birokrasi, aku nekat membangun satu usaha. Bisnis itu pelan-pelan tumbuh. Berangkat dari proyek kecil, strategiku untuk selalu fokus ke reputasi dan kualitas layanan nyatanya cukup ampuh untuk meraih pasar. Pendapatanku dari bisnis bahkan melebihi gajiku dari pemerintah.

Akhir agustus, satu proyek besar berhasil kudapat. Keuntungan bersih yang masuk kantongku cukup lumayan. Tadinya ingin kumasukkan ke tabungan jangka panjangku di bidang properti. Satu curhatan Ais sore itu, merubah niatan awal.

Ais sedang terbelit urusan ekonomi (lagi). Kali ini sedikit lebih kompleks, menyangkut ke keluarga besarnya. Di sisi lain, pendekatan Bobby ke Ais semakin berbahaya. Laki-laki ceking itu nampak loyal, sanggup memberi hadiah-hadiah mahal. Hadiah yang pada akhirnya Ais tolak, menuruti saranku tempo hari.

Satu lagi, cerita tentang seorang pria tenaga medis yang tengah merawat ibundanya juga sering disampaikan Ais. Pemuda ini perawakan dan penampilannya menurutku sangat kekinian. Mirip-mirip artis atau model. Tinggi besar, dengan penampilan klimis, dihiasi tattoo di beberapa bagian tubuh, sehari-hari menunggangi motor sport. Gambaran tipikal pria muda yang biasa di-highlight belakangan ini. Cukup layak lah untuk jadi selebgram. Lebih gawatnya, sang pemuda beberapa kali menawarkan bantuan untuk keluarga Ais. Ais bahkan mengaku, pernah bertengkar hebat dengan suami gara-gara sang suami cemburu dengan pemuda itu.

Aku teringat kejadian yang lalu-lalu. Saat Ais terperdaya oleh rayuan Bang Cuan. Aku tak mau hal itu terulang. Potensi Ais untuk kembali tergoda pria lain masih sangat terbuka. Mungkin harus kuantisipasi sejak dini. Mungkin harus aku yang turun tangan segera, memenuhi kebutuhan Ais. Menjaganya agar tak lepas dari pelukanku.

Ais beberapa hari ini tak masuk kantor. Dia menginap di Rumah Sakit, tak jauh dari kantorku, menunggui ibunya yang menjalani rawat intensif.

Di hari ketiga dia absen, perempuan berhijab lebar itu memintaku menemaninya ke toko perhiasan. Ia akan menjual perhiasan milik keluarga, amanah dari ayahnya, untuk biaya pengobatan ibunda. Sempat kutawari uang cash dari kantongku. Ais menolak, tidak ada alibi yang bisa ia pakai sebagai alasan darimana uang itu berasal. Perselingkuhan ini masih kami jaga rapat-rapat. Suaminya tidak mengenalku sama sekali. Namaku tidak ada di daftar pria-pria yang dicemburuinya. Kami harus jaga betul agar hal itu tetap demikian adanya. Opsi uang bantuan itu akhirnya kami abaikan.

Tetap saja, ada hal yang ingin kulakukan untuk Ais. Sekadar memberi hadiah mungkin. Aku ingat-ingat lagi, cukup pelit memang aku ini. Sama sekali tak mau berurusan dengan uang yang menyangkut hubunganku dengan Ais. Aku merasa, sekali ada keterlibatan materi, hubunganku tak akan lagi sehat. Ais bukan pelacur. Ini bukan transaksi jual beli. Ini suka sama suka. Harusnya tak melibatkan uang, begitu pikirku.

Satu rencana kusiapkan. Sore ini akan kuantar dia ke toko perhiasan, setidaknya setengah hari ini akan kutemani dia menyelesaikan beberapa urusan.

Tepat tengah hari, Ais kujemput di satu lokasi, tak jauh dari gerbang rumah sakit. Ais tampak lelah, fisik dan psikis. Kuarahkan mobil miniku ke arah jalan raya, menuju satu pusat belanja terkemuka di tengah kota.

Sesampai di sana, ditemani suasana deg-degan karena baru kali ini kami berkeliaran di tempat umum, saat jam kerja lagi. Berdua lagi. Sambil berjalan, kuamati sekitar. Kalau-kalau ada orang yang kukenal memergoki. Aku sudah memakai jaket, semacam kamuflase. Hal yang sesungguhnya nggak ngaruh-ngaruh amat.

Toko perhiasan itu di lantai atas. Ramai oleh pengunjung yang sibuk mondar-mandir, ramai bercakap dengan puluhan karyawan toko berseragam yang tampak sigap melayani aktivitas jual-beli. Ais menyerahkan perhiasan yang hendak dijual.

Tiba-tiba ide itu terlintas.

"Mbak, mau lihat yang itu dong." Ucapku pada pelayan yang tepat berada di depanku. Kami berhadapan, dibatasi etalase kaca. Aku menunjuk ke arah jajaran cincin warna putih perak, rapi tersusun di dalam kaca display. Sang pelayan wanita berkacamata memenuhi permintaanku. Dibawakannya tiga-empat cincin.

"Buat cewek ini mas," katanya sembari merapikan posisi cincin-cincin itu, tergeletak di depanku. "Cocok untuk hadiah" imbuhnya lagi.

Kuambil satu model. Aku tak mengerti tentang perhiasan. Istriku tak pernah kubelikan perhiasan.

"Yang itu bagus," kata Ais. Dia duduk di sebelahku, di semacam kursi cafe.

"Kamu mau?" tanyaku. Mataku serius mengamati lekukan di satu cincin yang kupegang.

"Mau apa?"

"Ya yang itu" tegasku.

"Apaan sih? Gak jelas."

"Serius." kataku. Kali ini pandangan kuarahkan ke Ais. Pandangan tegas dengan senyum tanggung.

Ais tampak kaget, mungkin masih tak percaya.

"Yakin?" tanyanya.

"Dua ribu rius"

Kami sama-sama diam. Hening.

"Nih cobain" kataku lagi, menyerahkan satu cincin yang ditunjuknya tadi.

"Masukin dong, Romantis dikit gitu," Ais memosisikan jari manisnya, bersiap menerima balutan cincin dariku.

"Heleh" ucapku. Tetap saja kupenuhi kemauan Ais, kumasukkan cincin itu. Macam orang tunangan.

Agak sulit cincin itu masuk, tangan Ais memang agak kasar, lebih mirip tangan laki-laki. Mungkin harus kujilati dulu, biar licin gitu?

Usaha kami gagal, ukurannya terlalu kecil untuk jari Ais. Pelayan menawari opsi lain. Modelnya lebih simpel. Kali ini pas di jari wanita itu. Wajahnya tampak memerah, ada senyum gemas yang kulihat.

"Ya wis. Bungkus yang ini mbak," ucapku ke pelayan.

"Eh, sekarang? Mas bawa cash?" Ais tampak kaget.

"Gampang lah itu," sombong aku. Jumawa dan bangga.

Proses jual-beli selesai. Jelang sore, kami sudah meninggalkan tempat itu.

Ais mendapat uang hasil penjualan perhiasan keluarga. Ais juga mendapatkan satu hadiah dariku. Cincin warna putih itu tak terlalu mencolok, tidak mencitrakan kemewahan, lebih mirip cincin perak, kurasa suaminya juga tak mungkin curiga. Aman.

Dompetku yang tidak aman.

Acara dadakan itu menguras uang jajan, setara gaji dan tunjangan sebulan.

...

Kendaraan kami menuju ke kantor Ais. Ada dokumen yang harus ia kerjakan malam ini, tumpukan tugas yang tak tersentuh akibat beberapa hari absen dari kantor. Malam ini dia tak harus lanjut jaga di rumah sakit, ada sanak saudara yang sudah mewakili.

Sekitar jam lima, kami sampai di tempat itu. Suasana sudah sepi, parkiran kosong. Kantor layanan administrasi umum memang tak mengenal lembur. Hanya ramai saat jam layanan saja. Hanya segelintir orang yang kutemui, satpam di pos jaga depan, dan dua OB yang bersih-bersih menuntaskan tugas harian.

Mobil kuparkir di bagian belakang, dekat musala. Aku berniat untuk sekalian ibadah sore. Ais bergegas ke ruang kerja di lantai atas.

Selesai wudu, Ais tampak turun membawa map kerjaan.

"Bareng aja mas, aku juga belum solat" ucapnya, tergopoh. Ada aura letih yang teramat sangat.

Aku hanya mengangguk.

...

Musala ini kecil. Mungkin hanya sanggup menampung 2-3 sof, masih lebih luasan ruang kerjaku. Di luar, gerimis turun. Selepas ibadah, kami beristirahat sebentar di dalam. Selonjoran, bersandar di dinding. Ternyata aktivitas setengah hari ini cukup melelahkan, bukan fisik, lebih ke mental. Mataku dipaksa waspada, awas akan situasi sekitar, perasaan tak tenang saat kami berdua berjalan di area publik. Kunikmati momen rehat sejenak itu.

Ais melepaskan pakaian ibadah, duduk bersimpuh. Dipandanginya cincin yang melingkar di jari itu. Senyumnya merekah lagi.

"Aku ndak ngira mas bakal beliin aku" ucapnya.

"Aku juga nggak," kataku. Badan kurebahkan di alas hangat bekasku bersujud tadi. Cukup nyaman, aku bisa tidur kalau kebablasan.

"Berasa surprise aja. Mas nggak ada kasih kabar soal ini sebelum-sebelumnya."

"Memang nggak ada niat kok" ucapku, santai.

"Pokoknya aku suka. Suka."

"Banget?"

"Iyah" Ais mengangguk-angguk

"Jangan sering-sering minta tapi ya."

"Issh, baru juga seneng"

"Iya... iya...."

"Sini cium dulu" kalimat Ais bernada manja, badannya berpose siap memeluk.

Lah, di tempat ini? gila aja!

Eh tunggu dulu. Tidak terlalu gila juga. Tempatnya sepi, tersembunyi. Kemungkinan kecil ada orang yang datang ke ruangan itu sesore ini.

Sabi nih. Pikiran jahatku melongok, seiring birahi yang tiba-tiba datang.

Aku bangkit dari rebahan, melongok lewat celah kaca di pintu. Sepi, tidak ada tanda manusia selain kami berdua.

"Berani nggak?" tantang Ais, masih dalam posisi bersimpuh, bersandar ke dinding bagian belakang.

Aku mengalihkan pandangan ke arahnya. Pandangan penuh konsentrasi. Wajah manis itu, tempat ini, momen ini. Ya atau tidak. Harus kuputuskan cepat-cepat.

Bodoamat. Tancap bos.

Aku bergegas berlutut, mendekati posisi Ais, kudekap tubuhnya. Kami berpelukan.

Hangat dan intens.

Parfum Ais kusesap dalam-dalam. Aku suka aroma ini.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Aku kangen" kata Ais lirih. "Terimakasih untuk hari ini"

Aku enggan menjawab.

Ada kepuasan yang kurasakan, bangga. Juga sange, akibat bongkahan payudara Ais yang menekan dadaku. Tanganku nakal, berusaha meremas pantat Ais yang suwemoookkk polll.

Ais beringsut dari posisi pelukan, telapak tangannya menghimpit pipiku dua sisi.

"Cintaku. Suamiku." katanya. Lanjut nyosor kemudian.

Kami berciuman. Ciuman orang dewasa. Bibir dan lidah saling pagut. Panas. We Are Passionate.

Tanganku berpindah posisi. Kali ini meremas gundukan buah dada Ais yang dari tadi memberi sinyal, minta dijamah, dua-duanya. Kenyal dan besar. Ah, penisku langsung greeeenggg, mendesak rit celana.

"Hmmmmm..... Sssshhhh.... hhhmmmhhhmmhhssshhh.....ceepppppp... spppphh...." Desahan kami lirih, tertutup suara ciuman basah.

Sekian menit dalam pergumulan, saling pagut, saling remas, saling mendesah tertahan.

Cukup.

Kulepaskan badanku, berdiri, untuk kemudian kembali melongok celah kaca. Mengamati suasana luar. Deg-degan. Panas dingin. Sensasi ini candu. Aku mengingat momen saat bercinta di ruang kepalaku, dulu, saat badanku tengah meriang. Pernah kutulis di lembar depan. Kuatur nafas, berusaha meredam gejolak nafsu yang meronta. Rontaan yang juga dialami rudal balistik yang masih terkekang.

Kupejamkan mata, kuambil nafas panjang, kutekan birahiku dalam-dalam. Tampaknya akan berhasil. Tampaknya adegan ini cukup.

Tidak. Ternyata memang tak mungkin berhasil. Bukan karena aku yang gagal menguasai diri. Tapi karena tangan Ais yang berhasil menguasai tonjolan di selangkanganku.

"Kok udah tegang aja sih? Aku heran deh, mas cepet banget tegangnya. Mau kuemut nggak?"

Wah kuntilanak!!!!

Setan betina!!!!

Kembali kuperiksa lubang tinjau itu. Masih sepi, suasana makin gelap, masih gerimis.

Tatapanku kembali fokus ke Ais. Tangannya mengelus-elus tonjolan yang makin mendesak itu. Tanganku mengelus wajah Ais, pipi kirinya. Elusan yang berlanjut ke sekitar hidung, lalu turun ke mulut, mengusap mulut seksi dan tebal itu.

Hmmm, nafsuku meletup-letup. terbayang nikmat hisapan Ais.

"Hadiah karena mas ngasih kejutan" ucapnya lagi.

Tangannya lalu sibuk membuka gesper dan zipper. Cepat, presisi. Dua kuncian itu mudah saja terbuka, untuk kemudian dipelorotkan celanaku turun setengah, celana dalamku ikut drop.

Sesekali kuperiksa lubang kaca di belakangku. Memastikan.

Aku berdiri dengan celana melorot separuh. Ais bersimpuh, mengusap penisku

Tangan Ais sibuk mengocok penisku yang makin tegang. Lirikan mata Ais menghujam ke arahku seakan berkata: Akan kupuaskan kontolmu ini.

Blessss.....

Mulutnya langsung mencaplok batang kaku.

Enak banget bro.

Sumpah enak.

Nggak ada matinye udeh.

Nikmat mat mat mat!!!

Aku melenguh sesaat setelah pusakaku lenyap dalam mulut Ais.

Diemutnya perlahan, untuk pelan-pelan dikeluarkan. Kontolku keras menjulang, basah oleh liur sang penantang. Lirikan Ais kembali dilemparkan. Bahasa tubuh ahli sepong. Menyemburkan angin yang makin membakar birahi.

Ais tau aku minta lebih.

Ais tau apa yang kumau.

Aku tau apa yang ia akan lakukan, gerakan spesial. Gerakan trademark.

Penisku dipaksa mendongak, lidah Ais menggelitik dua bola naga. Menjilati area sensitif itu dengan teliti, lembut, penuh hayat.

Geli yang menjalar hebat, terasa hingga ujung kaki dan tangan.

Dihisapnya kedua bola, bergantian. Lidahnya lalu menyapu, tegas dan mantap, menelusuri dari area bawah, pelan-pelan naik, mengurut batang kejantananku hingga di ujung lubang pipis.

Aku bergidik, geli-geli nikmat, penisku berkedut-kedut, tegang luar biasa. Tampak ada pelumas yang keluar di ujung palkon.

Sesaat saja pelumas itu tampak, Ais segera melumat batangku lagi, menangkap dengan beringas.

Lagi, kontol itu keenakan, berkedut, makin kaku, makin lapar. Ais tampak lebih lapar, gairahnya tampak betul dari caranya menikmati sajian sosis mentah. Penuh gelora, penuh semangat, Ais dikendalikan nafsu.

Aku mendengus, mendesah dan melenguh. Lirih dan tertahan. Mataku fokus menikmati pemandangan indah di bawah sana. Badanku melemas, efek kakunya dipindahkan ke satu titik, satu titid.

"Mas yang ngawasin loh," masih sempat Ais mengingatkan itu.

Iya memang hanya aku yang bisa melihat situasi luar, aku yang mengurusi spionase, Ais sepong-ase.

Lagi kuedarkan pandangan keluar lewat celah cahaya sempit.

Ais masih mengulum.

Menjilat.

Menyedot.

Menghisap.

Mengunyah.

Memijat.

Semua jurus dikeluarkan.

Oh Tuhan, aku bersyukur atas serpihan surga ini.

Nikmat asli!! Ori. Otentik.

Pemandangan saat Ais melumat batang kejantanan. The Best lah sudah.

Cantik. Erotis. Indah. Seksi. Membius nurani.

Lama adegan kami.

Ais terus saja melayani pusakaku, dimandikan dengan telaten dan teliti. Runtut metodologis. Detailing versi sepong.

Lonte sejati memang.

Aneh, penisku tak ada tanda-tanda akan crot.

Deg-degan, iya.

Enak, iya.

Adrenalin terpacu, iya juga.

Nikmat, pastinya.

Puas? iya dan tidak.

Aku ingin nyemprot, memuntahkan sperma di mulut Ais, mungkin memaksanya menelan benih bernyawa itu. Tapi kontolku seakan mengunci pintu rapat-rapat. Tegang dia. terangsang dia. Tapi enggan muntah.

Aneh betul.

Hampir maghrib.

Aksi Ais masih berlanjut, erangan dan desahanku masih menghiasi kesunyian ruangan, beradu dengan suara gerimis yang makin deras, juga suara kelaminku yang sedang dimandikan.

"Kok gak keluar-keluar sih?" tanya Ais heran. Tangannya mengocok penisku lagi.

Aku juga heran.

"Keluarin di mulut ya sayang?" ucapku. "Telan ya?"

Ais melirikku lagi, wajah manja. Ah cantik kali ini anak. Binal dan jalang. Dia mengangguk.

OK. Izin sudah ada. Harusnya makin mudah, tidak ada yang perlu kutahan.

Kembali kurahkan kepala Ais untuk menghisap tongkat kakuku.

Slepppp....

Masyyyyooookkk lagi.

Kepala berkerudung itu maju mundur, sesekali menjilat area bawah, lalu kembali mengulum.

Masih enak, masih nikmat, masih kaku, masih terangsang.

Tapi tak ada tanda-tanda memuncak.

Apa yang terjadi denganku?

Impoten?

Testisku kering?

Berhenti produksi?

No sperm?

Pikiranku kacau.

Di luar makin gelap. Waktu menipis. Aku kasian dengan Ais.

Cukup sudah.

"Udah.. udah.... Hhhhhhhhhhmmmmhh... udah aja mbak," perintahku. Kutarik penisku dari penyedot yang masih aktif.

Ais menjilati bibir, seakan menyapu eskrim yang tertinggal di sekitaran mulut. "Kenapa?"

"Nggak mau keluar," kataku. Wajahku dengan ekspresi kesal dan kecewa.

Kucium kening Ais kemudian, sembari membetulkan celana.

"Yakin?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk, mengalihkan pandangan ke arah celanaku yang kubereskan. Enggan memandang wajah Ais yang pasti menggodaku lagi, yang bisa saja membuatku berubah pikiran.

"Besok lagi aja ya. Udah malam juga. Nggak enak sama security," kataku, memberi alasan sekenanya.

"Hmmmmh... ya udah deh. Maaf ya, batal crot." Ais pasrah, membalas dengan nada kecewa.

"No problemo" kubetulkan posisi berdiri, ber-relaksasi agar penisku kembali ke bentuk mini, mode hibernate lemah daya.

"Atau perlu kukocok pakai susu?"

"NGGAK!!!" jawabku mendelik.

.

..

...

....

.....

......bersambung...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd