Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

mantapp huu. marathon baca dari salre sampai pagi. ludess.
cerita menarik dengan tata bahasa favorite.
merangsang dengan seni.
Coeg!!!
 
Tipis tipis dulu ya

---

Lembar 4 - Sesi Siang Satu Sisi


Tahun ke delapan.

Sekian bulan sejak 'pertarungan setengah matang' dengan Ais, kami kemudian dipisah ruang dan waktu. Tidak lagi ada kesempatan untuk bertatap muka. Kami sama-sama disibukkan berbagai urusan hidup. Hubungan lewat pesan pendek dan telepon masih terjaga. Pertemuan raga tidak lagi bisa terlaksana.

Selain karena memang tidak ada kesempatan, sesungguhnya ada hal lain yang mencemaskanku.

Pertama, ada teman sekantorku yang terjerat urusan polisi akibat ketahuan selingkuh. Antara bego atau apes kebangetan. Dia tertangkap basah oleh istrinya, sedang berduaan di kamar hotel dengan istri simpanan. Berita yang juga sempat menghebohkan kota kami, sampai-sampai dimuat di halaman muka koran lokal. Bagi birokrat, skandal seperti ini dipastikan berbuntut panjang dan bisa berujung pemecatan.

Kedua, adegan persepongan kami kemarin terindikasi bocor alus. Ada desas-desus yang beredar di lingkungan kantor Ais, tentang dua orang yang berbuat mesum di mushola. Berita yang sempat ditelusuri pula oleh Ais. Menurutnya, kabar itu berasal dari para OB. Kuduga mereka sempat melihat saat kami solat berdua sore itu. Apakah mereka sempat mengintip saat kami adegan dewasa, atau bahkan sampai menemukan adanya bukti rekaman? Entah, kami tak juga berhasil mengorek lebih dalam.

Yang jelas, keduanya membuat kami makin berhati-hati.

Di awal bulan ini, Ibunda Ais kembali harus dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya makin drop, semakin lemah, menuju kritis dari hari ke hari. Ais kembali harus bolak-balik ke rumah sakit. Kesempatan untuk kami bertemu, nyaris tertutup. Logika bilang begitu, takdir tidak.

Suatu siang, secara tidak sengaja aku makan siang di belakang rumah sakit, saat perjalanan pulang dari rapat kerja di kota sebelah. Warung makan sederhana, di tepi sungai kecil, menunya khas rumahan. Tidak ada yang istimewa. Tempat yang tidak terlalu terkenal, rasa masakan biasa saja, bukan favoritku juga. Itu kali kedua aku makan di sana. Itupun karena jalurnya sejalan dengan arah pulang, terlebih warung makan terkenal yang tadinya hendak kutuju, hari itu justru tutup. Sementara perut sudah berdangdut, pilihan makan di warung kecil itu terpaksa kupilih.

Baru saja aku duduk, sepiring makan siang juga baru saja dihidangkan, belum sempat kucicip. HPku berdering. Deringan khas, telepon klasik. Satu panggilan masuk dari Ais.

"Mas lagi di daerah ****** ya?" tanyanya, selepas kami berbalas salam.

Tak langsung kujawab, kopi susu hangat sudah terhidang di meja, dekat tempat sendok bertuliskan teh botol cocro. Sayang untuk kuabaikan begitu saja. Kuseruput minuman itu sejenak.

"Aaahhhh..." kubuang nafas, tanda nikmat hangat, tanda syukur karena sebagian perut sudah terisi. "Iya, ini baru mau makan di warung *****. Kok tau?"

"Iya lihat statusmu barusan."

Baru kuingat, tadi aku sempat update status. Kubagikan satu foto bertuliskan "TUTUP/HABIS". Potret warung terkenal yang jadi pilihan pertama tadi, yang entah kenapa hari ini tutup. Kusertai emot kecewa.

"Oooh, iya ya." kataku. "Mbak lagi dimana?"

"Masih di RS ini"

Ais lalu bercerita panjang lebar tentang kondisi ibunda yang makin melemah. Tahun ini memang berat, beberapa kali beliau harus naik meja operasi. Aku teringat sanak familiku yang juga mengidap penyakit serupa, berjuang dengan pengobatan segala rupa, tetap saja akhirnya harus menyerah, meninggal bahkan sebelum operasi.
Cerita Ais itu penuh nuansa kesedihan, mendalam dan menagih simpati. Memelas, jelas sekali dari suaranya yang dibumbui isak. Tipis tapi menyayat. Nada suara Ais juga menunjukkan kelelahan. Perempuan itu mengaku sudah dua malam tidak pulang ke rumah, tidak tega meninggalkan ibunda, padahal ada kerabat lain yang turut menunggui.

Sembari mendengar rangkaian kisah sedih, tak terasa cangkir minumku kosong, kopi susuku tandas.

Makan siang belum tersentuh, saat permintaan Ais itu terucap.

"Jemput dong Mas. Anterin pulang. Aku mau mandi dan ambil baju ganti."

Kesempatan emas. Aku bisa ketemu Ais barang sejenak. Bisalah aku berpura-pura sebagai taksi online. Satu kalimat Ais, membulatkan tekadku kemudian.

"Rumah kosong kok."

Oh yes baby, yes.

...

Kesempatan itu datang, bahkan tanpa diundang. Alasan yang mendasari keputusanku untuk menemui Ais sesungguhnya tidak sederhana. Sebagaimana keputusan hidupku yang lain, jawaban atas permintaan Ais itu melibatkan sekian banyak pertimbangan.

Pertama dan terutama, soal celah waktu yang tersedia. Ais berencana untuk pulang ke rumah orang tuanya, mengambil logistik, bersih-bersih, berikut rentetan agenda housing lain. Sementara malam harinya dia berencana untuk kembali ke rumah sakit. Peranku hanya menjemputnya dari Rumah sakit, membersamai selama perjalanan yang tak lebih dari sepuluh kilo, mengantar hingga tujuan, sudah. Waktunya sempit, paling lama pertemuan kami hanya setengah jam. Sekian lama kami tak bertemu, setengah jam itu kupikir sangatlah berharga.

Durasi pertemuan juga tergantung situasi rumah. Setauku, kediaman keluarga besar Ais berada di tengah permukiman padat penduduk. Dari cerita Ais, posisinya bahkan cukup mencolok karena berada tepat di pinggir jalan kampung, tidak jauh dari semacam pos keamanan lingkungan. Bisa dipastikan selalu ramai. Situasi yang sedikit tricky. Tentu aku ingin berbuat 'sesuatu', yang jelas tidak di mobil. Tidak mungkin juga kami menyempatkan mencari tempat khusus untuk bermesum sesiang itu. Rumah Ais adalah opsi tempat paling logis. Tentu harus melihat kondisi di sana nanti.

Selanjutnya adalah soal kepastian rumah kosong. Ais yakin rumah itu kosong, tidak akan ada orang yang datang, setidaknya tidak ada agenda kedatangan sejauh yang Ais ketahui. Hal yang menurutku sangat tidak meyakinkan. Tidak ada jaminan rumah kosong. Semua serba mungkin. Itu yang lebih kuyakini.

OK. Rencana awal adalah sebatas drop shipping.

Makan siangku sama sekali tak terjamah, kuminta pelayan warung untuk membungkusnya. Perutku hanya sempat terisi secangkir besar kopi susu hangat. Cukuplah untuk menghangatkanku, sebagaimana aku yang terbakar perasaan antusias karena akan bertemu Ais.

Mobil kuarahkan ke titik temu di ujung jalan depan gerbang rumah sakit besar itu, persis seperti pengalaman yang lalu. Ais sudah menunggu di bawah bayang pohon besar, tepat di pinggir jalan berdebu.


....bersambung...
 
Bimabet
Dan aku maraton dari depan,
mengangkat kembali rangkaian kisah,
setelah sekian lama hilang jejak dari cerita ini.

Terima kasih untuk beberapa hikmah kehidupan.
Sekali pun datangnya dari situasi yang tidak normal bagi yang sok normal.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd