Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Absen, baru tahu ceritanya lanjut kembali setelah ganti bulan hehe. Semoga cepat berlanjut, semoga tak ada kentang kali ini. 😁
 
Lembar 5 - Godaan Malaikat


Ais berpenampilan serba tertutup, sedikit lebih tertutup dari biasanya. Baju gamis (atau abaya? Aku tak terlalu paham jenis-jenis baju muslimah) hitam, hijab lebar menutup lebih dari setengah badan. Sebagian wajahnya tertutup masker biru muda. Hanya ada tas jinjing kecil yang terselip, dugaanku berisi satu-dua baju ganti.

Pintu mobil dibuka. Wanita itu masuk, duduk. Aku dibalut nuansa ceria. Bahagia. Entah dari mana datangnya. Padahal perempuan itu sudah sering kutemui. Mungkin karena sekian lama kami tak bersua. Pertemuan itu rasanya lain. Semacam melepas kangen. Kupandangi sejenak wajah yang kini menampakkan rona malu-malu mau. Tampak jelas karena maskernya sudah tertanggal.

"Kenapa?" ucapnya, diiringi senyum tipis.

"Ah, nggak," kataku cepat-cepat. Aku menggodanya. Pandangan segera kualihkan ke depan, tancap gas, kendaraan tuaku bergerak menuju jalan raya.

Telapak tangan kiriku waspada menggenggam tuas tranmisi saat tangan Ais mendadak menyentuh bagian punggungnya yang sedikit kasar berurat.

"Aku kangen"

"Aku tahu," jawabku.

Hening.

Entah seberapa lama kami bertahan di keheningan.

Pun aku tak ingat persis, apa topik percakapan kami setelahnya. Yang jelas, beberapa saat menjelang kami sampai di lokasi tujuan, suasana sudah cukup cair.

Ini pertama kalinya aku mengantar Ais ke rumahnya, rumah keluarga besar, lebih tepatnya. Pertama kali pula aku menyambangi tempat itu. Rumah Ais tidak terlalu besar. Tempatnya strategis, tepat di persimpangan jalan kampung. Di kiri-kanan penuh permukiman. Nyaris tidak ada tempat terbuka ataupun pepohonan. Di seberang rumah itu, sedikit tersekat oleh tiang listrik dan semacam papan pengumuman kampung, ada pos ronda lengkap dengan pentungan dan TV yang terkurung jeruji. Kuduga jadi tempat favorit bercengkerama warga sekitar di waktu-waktu tertentu.

Di sisi seberang yang lain, terdapat semacam teras tanpa pagar. Posisinya sedikit miring ke arah jalan beton di depannya.

Cukup sepi sebenarnya. Di pos ronda sekilas hanya tampak dua orang tengah bercakap. Satu di antaranya kuyakin adalah pedagang keliling yang tengah singgah, berlindung dari panasnya siang. Sepertinya dua orang itu tidak terlalu peduli dengan kehadiran kendaraan asing di lokasi.

Tetap saja, jantungku berdegup kencang. Ada adrenalin terpompa. Masih kutimbang-timbang, apakah pertemuan ini cukup sampai urusan antar-mengantar, atau bisa lanjut ke level lebih intim. Mataku menyelidik lingkungan itu sekali lagi. Tidak ada ruang parkir!

Mobil kuhentikan di depan rumah Ais, rumah dua lantai yang sejujurnya tampak terlalu ramai oleh tanaman gantung dan membuatnya berkesan tua.

"Oh ini rumahmu ya," ucapku basa basi.

"Iya, deket kan sebenarnya."

Kalau hitungan jarak, cukup dekat sih dari kantorku, ataupun kantor Ais. Tapi lokasinya agak masuk di perkampungan, tentu waktu tempuhnya tak bisa dibilang pendek.

"Udah kali ya, aku langsung aja," kataku. Kental nuansa keraguan.

"Masuk lah. Nggak sopan banget ninggal anak orang di depan rumah."

Shit lah.

"Parkir di seberang situ aja," imbuhnya. Menunjuk teras miring di sebelah kiri. "Suamiku juga kalo parkir di situ."

Ah, Ais sepertinya sudah membaca kekhawatiranku.

Ya sudahlah. Mari kita cum on saja.

Segera kuputar setir ke tempat parkir dadakan itu. Beberapa goyangan, maju mundur cantik, dan "greeeek." Rem tangan terangkat, mobilku nyaman nangkring di sana.

Kupastikan lagi, tidak ada orang di sekitar situ yang memberi perhatian berlebih. Dari spion, tidak ada gerakan mencurigakan dari dua orang di pos ronda. Aman.

Aku berusaha menenangkan diri, bersikap biasa. Seolah bagian dari penghuni rumah yang hendak pulang.

Tak lama, aku sudah duduk di ruang tamu. Masih saja aku celingukan, mencuri pandang ke arah luar rumah, kuatir ada mata-mata.

Ais paham, aku masih bimbang. Ditenangkannya kembali pria setengah berani ini. Aku salut dengan keberanian Ais. Itu satu hal yang kukagumi darinya. Dia tak pernah merasa canggung bersikap di depan orang lain. Sempat pula terpikir, jangan-jangan ketenangan itu buah dari pengalaman. Jangan-jangan sudah sekian laki-laki yang dibawanya masuk ke rumah ini?!

Obrolan kami berlanjut. Lebih banyak basa-basi soal rumah dan kondisi kesehatan ibundanya. Aku nggak terlalu konsen. Pandanganku berpendar ke sekitar. Ruang tamu ini cukup lega. Tidak banyak hiasan dinding, satu-dua kaligrafi tulisan arab. Potongan ayat suci sepertinya. Menegaskan bahwa keluarga Ais cukup religius, termasuk umat yang taat. Aku lebih banyak diam. Diam karena bingung apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Ruangan itu relatif gelap. Kurasa sengaja dibiarkan begitu agar tak terlalu nampak oleh orang yang lewat di jalan depan.

Aku rasa cukup dan hendak memutuskan untuk segera pulang, beberapa saat sebelum keputusan itu berubah total. Ais yang duduk di sebelahku tiba-tiba merapat, lalu ciuman itu datang, tepat sasaran di mulut kami.

Ciuman panas, french kiss.

Kami bercumbu.

Meluapkan birahi yang sejujurnya kami sudah tau sama tau, terpendam sejak awal pertemuan tadi. Kudekatkan badannya ke badanku. Hangat.

Nafasku kacau. Panas sekujur tubuh. Mungkin wajahku sudah sedemikian merah, dibakar nafsu.

Pakaian kami masih komplit, tapi tanganku sudah mengambil posisi serang. Mencengkeram dua gunung kembar yang masih tertutup beberapa lembar kain.

"Aku mau ini," kataku. Tanganku memijit balon kenyal itu, sedikit kasar.

Ais mendesah, menggigit bibir bawahnya.

Perempuan ini tengah terbakar pula.

Aku kenal aura wajah dan mimik muka itu. Ini Ais versi binal, pemuas fantasi pria-pria nakal. Perempuan yang dengan senang hati melayaniku dan pastinya mau kuperintah apapun itu.

Benar, tanpa jawaban verbal, dua gunung kembar kini terpampang tepat di depan wajahku, menantang. Putih mulus, dengan sedikit semburat urat-urat, dibumbui pemandangan dari leher indah Ais yang kini terbuka, tak kalah mulus, karena hijabnya tersibak ke belakang.

Aku tak tahan.

Kuciumi leher jenjang itu, selang-seling dengan gigitan kecil nan manja di salah satu titik terlemah Ais. Tercium aroma parfumnya yang khas, di sekitar tengkuk dan leher bawah. Titik rangsang yang selalu berhasil membuatnya melayang.

Desahan Ais menggema, setengah tertahan, mungkin kuatir terdengar dari luar. Erotis dan liar.

Tanganku terus memijat, memilin, meremas bongkahan surgawi yang didamba oleh para pria itu. Puting gelapnya jelas-jelas mengeras, berharap kujamah. Jangan kuatir cantik, tentu saja sebentar lagi permintaan itu kupenuhi.

Kuhentikan sejenak serangan bertubi-tubi di sekitar leher.

Kunikmati sejenak penampakan wanita berhijab yang tengah sange di hadapanku. Pakaiannya tak beraturan, sebagian terbuka, sebagian lain tertutup. Khas quickie.

Aku tertahan di sofa, sementara badan Ais setengah mengangkangiku, duduk di pangkuan. Tangannya menahan kepalaku bagian belakang, sesekali menjambak rambut yang tak seberapa panjang itu.

Tanganku kini merogoh apem lempit di bawah sana.

"Sudah basah belum?" Tanyaku.

Ais mengangguk pelan, diiringi tatapan nakal.

Segera kucaplok susu murni yang terpampang di atas. Di bawah, tanganku telah mencapai daging basah yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Betul, sudah basah memang.

"Gigit mas...." Katanya.

Oh Yes. Tentu sayang.

Aku selalu puas menyusu di dua daging kenyal itu. Besar, kencang, indah, putih mulus tanpa cela, warnanya kontras dengan puting gelap membal yang tahan uji. Ais tak pernah cukup jika sekadar diemut, dihisap, atau dijilat. Dia bermahzab gigitiyah. Semakin digigit, semakin mendesah. Tanda terangsang hebat.

Gigitanku menyasar kedua puting itu, bergantian. Ais menggila. Jambakannya makin terasa. Badannya sedikit bergoyang. Seolah tak rela jika adegan panas itu berakhir.

Aku tahu birahinya memuncak saat mendadak tubuhnya berganti posisi. Berdiri. Ais menarik tanganku. Kami berpindah ruang, tepat di tembok sebelah, kamar yang tak terlalu luas. Isi di dalamnya cukup berantakan. Beberapa pakaian tergantung di belakang pintu, juga beberapa tas di sisi tembok lainnya. Hanya ada satu lemari di seberang ranjang, lemari tua dengan kaca besar.

Ais mengagetkanku, tangannya mencoba meremas penisku yang sedari tadi terkokang di balik celana. Dengan cekatan dibukanya zipper dan kain penutup. Celanaku sudah melorot. Kini junior tak terhalang lagi. Lepas bebas, tegang penuh harap, sedikit basah karena rembesan pelicin alami. Tidak lama, perempuan yang belum juga melepas hijab besarnya itu berlutut.

Ah pastilah ini sajian utama. Ini adegan idaman.

Digenggamnya sebentar, sekadar mengurut dengan lembut. Jempol Ais menyeka ujung lubang pipis yang basah. Gerakan sederhana yang entah kenapa gelinya luar biasa.

Aku mendesah ringan.

Tatapan nakal itu tersaji kembali, sesaat, seolah berkata: "Pakai mulutku sesukamu."

Bless.....

Batang kejantananku amblas di mulut Ais. Hilang tak ada sisa. Ukurannya yang tak seberapa itu dengan mudahnya dilahap perempuan cantik nan haus kontol.

Oooh gila. Gile bener. Enak banget sob. Sumpah kawan. Maknyuss...

Sesaat aku terpejam, sebelum ide cemerlang terlintas.

Kubuka mataku lebar-lebar ke arah cermin besar di sisi kiri. Pemandangan indah. Perempuan berhijab, dengan sebagian dada yang terbuka, tengah mengoralku. Ah seksi to the max.

Ais paham betul seleraku. Betul-betul hanya mulutnya yang menservisku. Tangan Ais tak ikut turut serta. Semua jurus Ais keluar. Menjilat, mengulum, menyedot, dan ini yang spesial, tak pernah bosan aku ceritakan sejak awal cerita ini kutulis. Satu aksi spesial yang benar-benar membuatku lemas. Dijilatinya dua bola berbulu di bawah, telaten dan akurat, untuk kemudian dilanjutkan dengan jilatan mantap di sekujur batang kontol. Pelan dan pasti, inci demi inci, dari bawah ke atas, kadang kembali ke bawah. Persis adegan menjilat eskrim. Tak cukup sampai situ, gerakan lanjutannya yang damage nya ampun ampunan: mulut Ais mencaplok selonjor penis itu dengan sekali nafas. Menahannya beberapa saat. Membiarkan seluruh permukaan batang kaku terlumasi, sesekali lidahnya menggelitik. Seakan tak rela jika batang itu lepas dari sergapannya. Dirasa cukup, dilepaskan batang yang banjir itu, sedikit tergesa.

"Plupppp..."

Omaygat. Seksi paripurna saudara-saudara.

Sudah cukup permainan ini, aku sudah diujung birahi, bisa-bisa crot mendadak.

Segera kuangkat tubuh pelayanku itu. Kudorong cepat-cepat ke arah kasur, agak kasar. Tubuh Ais terhempas. Lagi-lagi dia paham apa yang kumau. Tanpa komando, diloloskannya semua kain penutup di area bawah. Kini bagian bawah tubuh indahnya terpampang tanpa penghalang. Ais mengangkang, menunjukkan bagian paling intim dari tubuh seorang perempuan. Lubang itu basah luar biasa. Bulu-bulu halus setia bertumbuh di sekitar. Bentuk vagina Ais ini beda jauh dengan punya istriku. Bentuk yang matang, siap santap, entotable, enjoyable.

Tak menunggu lama, akibat gairah yang meletup di ubun-ubun, segera kuarahkan kontolku yang meronta itu. Kugesek sesaat. Basah dan hangat. Binal betul.

Tancap langsung.

Blessss.....

Masuk.

Segera kugoyang tanpa ampun, mulai pelan.

Aduh mak. Enak ini. Legit. Jauh lebih legit dari biasanya. Lebih sempit dan terasa mencengkeram. Apa karena jarang dipakai?

Desahan dan erangan Ais segera memenuhi kamar. Sudah tak bisa menahan dia. Ais hanyut dalam persetubuhan ini. Tidak sesenyap pergumulan di sofa tadi. Ais lebih berani (atau nekat?!).

Tangannya menggenggam dua payudara yang tersaji di depanku. Seolah mengundangku untuk melibatkan dua daging itu dalam permainan.

Siap. Kuturuti saja.

Kukenyot, kuhisap, kugigit lagi. Kiri - kanan bergantian. Tanganku tak tinggal diam.

Ais dalam posisi tanpa kuasa. Badannya kutindih. Kontolku menjejali lubang surgawinya dengan pompaan bertenaga. Sementara mulut, leher, dan gunung kembarnya menjadi bulan-bulanan mulutku yang lapar.

Tak ada perlawanan darinya. Tubuhnya seakan bergerak mengikuti tempo yang kubangun.

Lama kami dalam posisi ini. Setidaknya menurutku, cukup lama lah.

Sesekali kulirik wajahnya yang tengah menikmati persenggamaan ilegal itu. Cantik, binal, memabukkan. Adegan panas itu membawa kami ke dimensi lain.

Aku merasakan sensasi luar biasa nikmat. Tidak tidak, kata "nikmat" tidaklah cukup menggambarkannya. Ini jauh lebih spesifik dari itu. Beda dari biasanya. Lain dari kelaziman. Sensasi baru. (Belakangan, Ais mengakui hal yang sama: persetubuhan kami sore itu terasa paling spesial dibanding pergumulan kami yang lain).

Menggauli Ais di rumahnya sendiri. Siang hari, saat orang berseliweran di jalan tak jauh dari kami, hanya berbatas tembok rumah. Dengan risiko tertangkap warga. Gila. Sungguh pengalaman yang tak terlukiskan kata-kata.

Ais pasrah saja, terkunci tapi lepas berekspresi, mendesah dan meracau, menerima siksaan yang kuberi tanpa ampun.

Satu posisi itu kupertahankan, tak ada niatan memuaskan Ais. Tak kutawarkan hal-hal lain untuknya. Tak seperti biasa, sore itu aku hanya ingin memuaskan diri sendiri. Peduli setan dia orgasme atau tidak. Tugasnya melayaniku.

Kubenamkan penisku dalam-dalam. Geli memuncak. Aku sudah tak tahan.

"Keluarin dalem ya mas..." bisik Ais

Sepersekian detik, kesadaranku tumbuh. Ada resistensi. Permintaannya justru hendak kulawan.

Hari ini bukan harimu Ais, keputusan aku yang buat, kau cukup pasrah saja.

Segera kucabut batang jantan yang memerah.

Crooot.....croooootttt....creeettttt....criiiittttt....

Memancar spermaku di perut Ais yang sedikit menggembung. Banyak dan meluber. Muncrat beberapa tetes ke sekitar bajunya yang tak tertanggal sempurna.

Aku menikmati puncak senggama ini. Indah dan agung. Tak peduli walaupun hanya 10 menit kami bercinta.

Aku puas.

"Iiiih,.. kenapa dicabut? di dalem aja," Ais merajuk, masih dalam nafasnya yang belum teratur.

Kucium keningnya, basah dan licin oleh keringat.

"Besok ya, saat mbak sudah jadi milikku"


....bersambung...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd