Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan



Ilustrasi saja, terlalu berisiko untuk berbagi gambar, orangnya cukup terkenal.
Kami lanjut makan malam. Lebih tepatnya nongkrong, ngopi santai. Beberapa hidangan, yang bagiku tergolong jenis makanan ringan, tersaji di meja resto spesialis masakan korea. Suasana cukup sepi, wajar tentu, pandemi belum usai.

Masih ada rona gembira-kaget-malu di wajah Dewi. Justru membuatnya makin menarik. Apalagi sedari tadi wangi parfumnya sedemikian menggoda.

Dari kejauhan, tampak seorang wanita berjalan menuju apotek di kios sebelah. Dewi sempat penasaran juga karena aku ketahuan mencuri pandang. Sejurus berlalu, tatapan aneh Dewi tertuju ke arahku. Aku mengangkat alis, sembari senyum tertahan.

"Gede ya?" tanyanya.

"Banget," balasku.

Kami berusaha keras menahan tawa. Wanita yang lewat di sisi resto tadi memang berbody semok. Rok pendek, berseragam, semacam corak khas sales. Rambut terurai, tetap dengan masker, jadi bentuk wajahnya tak tampak penuh. Dan memang, bempernya luar biasa bombastis.

Dewi tidak sebahenol itu, tapi justru yang begini yang aku suka, posturnya pas. Sempurna lah pokoknya.

Malam menjelang, acara makan dicukupkan. Kami berjalan menuju parkir, menyusuri tangga, sepi dari lalu lalang pengunjung, mungkin mereka lebih memilih jalur lift.

Kami kini sampai di mobil.

Aku selalu yakin dengan intuisi. Aku yakin setiap makhluk hidup dibekali kemampuan untuk membaca tanda-tanda, lalu mengartikannya. Akan ada situasi tertentu, sulit dijelaskan dengan kata-kata, dimana kita merasa telah sampai di level tertentu. Semacam proses menyelam, di mana pada satu titik kita sadar bahwa sudah melampaui batas. Begitu pula dengan urusan hubungan antar manusia. Lebih-lebih yang bernuansa kebutuhan biologis begini. Pastinya ada tahap yang disadari bersama bahwa kami telah cukup dekat. Momen pecah.

Kurasa, kami berdua sadar, sekarang lah waktunya, kami sudah sampai di sana.

Ada momen saling tatap, seakan saling meyakinkan diri. Sekarang?

Iya, sekarang.

Otomatis saja.

Kami saling mendekat, lalu berciuman. Ciuman panas. Penuh hasrat. Seperti membuka sekat-sekat yang selama ini kami jaga.

Tubuhku bergerak sendiri, spontan, merespon sekaligus menginisiasi. Menyelaraskan diri dengan gerakan tubuh Dewi. Luwes, seperti dua ular cobra yang menari, berpagutan, saling hubung.

Tubuhku memanas, jenis sensasi yang lama tak kualami. Tampak jelas usaha kami mengatur nafas. Berat. Lenguhan kecil mulai keluar dari mulut Dewi. Menyertai gerakan tangannya yang makin nakal.

Awalnya menahan pipi, lalu menjewer kupingku, mengacak acak rambut belakang kepala, turun ke leher, dan tiba-tiba saja stasioner di selangkangan. Mengelus lembut, aduh, pusakaku tak tertahan, segera bangkit dari kubur. Oh iya, tangan Dewi tidak terlalu halus. Bagiku, itu salah satu indikasi seorang pekerja keras. Tidak segan turun tangan. Hal positif tentu.

Tanpa sadar, entah dari kapan, tangan kananku juga sudah menempel di payudara Dewi. Tangan kiri masih di sekitaran leher, mengontrol permainan area atas.

Benar dugaanku, cukup besar memang gundukan surga itu. Tidak yang gede banget. Tapi cukup kencang, kenyal, dan kupikir ini ukuran yang sedikit di atas standar wanita dengan tubuh seperti Dewi. Ah, susah kali aku jelaskan. Pokoknya di luar ekspektasi lah.

Sekian detik, mungkin menit berlalu. Adegan kami hentikan. Sempat kulihat senyum dan suara tawa ringan.

Ku telusur pandangan, menyelidik kalau kalau ada sinyal bahaya di situ. Posisi kami di jok baris depan. Tepat di depan mobil ada akses jalan keluar lalu pagar besi pendek yang membatasi jalan akses dengan area parkir motor.

Mobil tepat di tengah ceruk area parkir, dibatasi dua tiang penyangga besar di kiri kanan. Tempat yang hanya cukup ditempati tengah kendaraan. Sedan tuaku dihimpit dua mobil keluarga cukup besar. Satu jaminan keamanan lainnya, kaca filmku cukup gelap, harusnya aman.

Area tempat kami mesum ini juga cukup terasing dari jalur masuk mall. Berada di sisi lain dari arah menuju lift dan tangga naik. Satu-satunya yang mengkhawatirkan adalah posisi depan, jalan terbuka. Untungnya masih sepi-sepi saja.

Aku juga agak kuatir soal kamera CCTV. Sempat celingukan ala maling, tak kutemui spot kamera di sekitar situ. Rada aneh sih, biasanya tempat seperti ini selalu diawasi ketat. OK lah, sementara ini ku abaikan saja.

Masih ngos-ngosan akibat serangan pembuka, dengan tangan kami yang masih bertaut erat, pandangan kami bertemu. Ada senyum dari dua manusia mesum ini. Senyum kebebasan, seolah kami sadar, sudah sampai di arena baru, arena yang sebenarnya sudah terasa amat dekat sejak lama.

Kulayangkan kembali intaian mata ke segala penjuru. Hanya segelintir pengunjung jauh di depan sana. Tidak ada petugas, tidak ada cctv, tidak ada yang mencurigakan.

Masih ada sensasi rasa yang tertinggal. Lembut bibir Dewi, halus sekali permainannya. Paling halus yang pernah kualami. Yang paling berkesan adalah wangi tubuhnya. Semacam bau mangga atau apel. Harum, tipis, tapi memicu birahi. Khususnya di sekitaran rambut.

Nah, soal rambut ini bagiku spesial. Berapa banyak laki (atau juga perempuan) yang terangsang karena rambut? Wajarkah fetish-ku ini?

Aku sangat menggilai rambut indah. Dewi punya itu. Rambutnya indah mengembang, panjang terurai, rapi berkilau, sedikit bergelombang, ada warna tipis merah-kecoklatan. Cocok lah jadi duta shampoo lain…

Terpenting dari semua, wangi, selalu wangi. Aku rela seumur hidup menghirup wangi itu. Segar, elegan, tidak berlebihan. Menggenapi paras ayu dan bentuk tubuhnya (yang sepertinya) sempurna.


Ku kira adegan ini akan stop sampai di sini. Tidak kawan, nyatanya masih lanjut.

“Udah tegang belum?” tanya Dewi.

“Hah? Apanya?”

“Itu,” Dewi melirik gundukan di antara dua pahaku.

“Mau lihat?” Godaku.

Dewi tidak membalas dengan kata-kata. Tangannya yang segera bertindak. Kerja nyata, untuk Indonesia.

Jari lentiknya telaten membuka resleting celanaku. Temponya pas, tidak grusa grusu. Pelan dan pasti. Menyembul sosis itu seketika.

“Gede juga ternyata,” ucapnya.

Entah sarkas atau apa, tapi menurutku tidak sebesar itu.

Mata Dewi fokus menatap jamur cokelat yang hampir mendekati bentuk optimal itu. Tangannya lembut mengelus sekitaran kepala dan batang berurat.

Happp….

Tanpa aba-aba, mulutnya mencaplok sang jamur.

Aku yang masih kaget dengan kelakuan tangan Dewi beberapa saat sebelumnya, kembali dikejutkan dengan tingkah binal perempuan cantik itu.

Aduh boss.

Surga dunia.

Double Job di bawah sana. Tangan dan lidah Dewi sama-sama terampil. Halus dan skillful. Walaupun ini serangan langsung, tanpa umpan-umpan di sekitar area penalti, langsung menghujam gawang, tapi tidak ada kekecewaan. Semua baik-baik saja. Aku menikmati oral sex ini dengan sepenuh jiwa raga.

Sudah lama tidak di-service, sekarang di tempat yang jauh dari ideal ini, Dewi memberi treatment spesial. Mungkin ini pula yang memberi sensasi lain, memacu adrenalin. Sesekali aku memejamkan mata, tak kuat melihat adegan panas di bawah. Tanganku manja mengelus, membelai rambut indah yang masih terus memancarkan pesona wangi. Mulut Dewi makin liar menjelajah batang kejantanan yang kini sudah tegang maksimum. Mengulum dan menyedot, kadang menjilat rakus, menyiksaku dengan kelihaian lidah yang sedemikian ahli. Makin lengkap saat suara desah tertahan mewarnai perjuangan itu.

“Emmm…. Uoohhhhhmm….”

Berpadu dengan suara becek sebagai residu pertarungan antar dua otot.

Geli sekali rasanya. Satu sisi, aku sudah melayang jauh hingga awang-awang. Sisi lain, masih ada di sana, sesekali memastikan kondisi aman untuk lanjut. Kuatir goyangan mobil terlalu kuat, pasti akan menimbulkan kecurigaan.

Mataku tertuju ke bagian kiri depan, berjarak sekitar 10-15 meter ada sesosok pemuda yang duduk di beton-besi melintang pembatas ruang parkir. Tidak terlalu jelas, apakah orang itu mengamati mobil kami, atau sekadar mengecek HP, mungkin juga menunggu seseorang di sana. Aku ingat dia berkaos gelap, berpenampilan kasual ala anak muda masa kini. Wajahnya tak tampak jelas, tentulah akibat masker yang dikenakan, tapi mungkin juga akibat kesadaranku belum penuh, tersandera permainan cantik yang sedang kami mainkan.

Aku tak berani menceritakan kehadiran pemuda itu ke Dewi, kuatir adegan dewasa ini bakal terputus di tengah jalan. Biarkan wanita binal ini menikmati es krim batangan, jangan diganggu. Toh selama sang pemuda tidak mengganggu kami, misalkan hanya menonton, biarlah dia bersenang-senang, berfantasi. Itung-itung kami sedekah.

Sekian menit berlalu.

“Mau dikeluarin nggak?” Dewi bertanya. Baru kali ini dia melepas kuluman.

Aku sudah hampir sampai, tentu saja aku iyakan.

“Iya...sssshhhh… ” kembali aku memintanya lanjut beraksi, sudah nanggung ini.

Dewi kembali mematuk tongkat sihir kehitamanku yang sudah mengkilat akibat perbuatannya tadi. Babak dua dimulai. Kali ini dengan lebih bertenaga, tempo cenderung naik, tapi dengan tetap menjaga presisi dan gocekan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kelelahan. Desahan ku makin menjadi. Kacau sudah. Kuacak-acak rambut Dewi yang lembut.

Aku sudah tak peduli dengan waktu permainan. Pastinya cukup lama, 10 sampai 15 Menit ada. Ya, bagiku sudah cukup lama itu.

“Udah mau keluar sayang,...” kataku memberi aba-aba.

Entah dia dengar atau tidak, Dewi masih saja fokus dengan hisapan mautnya. Kuyakinkan diri, dia mendengar dan paham situasinya sekarang. Dalam waktu singkat, dalam kondisi pusakaku masih memenuhi mulutnya, dalam belaian bibir Dewi yang lembut, dan tidak ada indikasi mau dilepas. Aku yakin diizinkan CIM. Hanya membayangkan ini saja, birahiku memuncak.

Tubuhku mengejan, tegang luar biasa. Kepala Dewi kutahan di posisi sekarang. Ini saatnya.

Crooooootttttttt….. Crrrrottt…. crrrruuuutttttt….

Beberapa kali menyembur, pejuku memancar di mulut Dewi. Aku sampai di puncak senggama. Lega dan bahagia, luar biasa bahagia.

Puncak nikmat ini makin bertambah kala Dewi mengompori. Mulutnya tidak diam, menyedot setiap semburan yang kuarahkan. Menghisap kuat-kuat, membersihkan tiap tetes calon bayi. Seakan tidak rela ada bagian yang terbuang.

Dewi beringsut menegakkan badan, diperlihatkannya hasil kerja yang memenuhi rongga mulutnya. Aku tanggap darurat, berusaha mencari tissue di sekitar kursi kemudi. Tidak ada. Di bawah jok, tidak ada. Ku tengok di kursi belakang, tidak ada juga. Kebingungan, panik aku jadinya.

“Nyari apa, sayang?” Suara Dewi menyadarkan panik ku.

“Tissue..” Kulihat mulut Dewi sudah tak cembung lagi.

“Sudah ku telan semua”

“Haaaah??”

Aku plonga plongo. Koyo Kebo.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd