Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Yak mari....


Masih di hari itu.
Di luar, gerimis mulai turun. Mendung sejak siang mulai menumpahkan isi perutnya.
Di dalam, hawa dingin. Karena pengatur suhu. Juga karena pengaruh hujan di luar.

Tapi perasaan kami berdua, tidak segampang itu dijelaskan.

Aku kembali ke meja kerja. Bohong kalo kubilang menyibukkan diri di urusan kerjaan.
Pikiran melayang. Jauh mengambang tak tentu arah.
Detak jantung belum kembali normal.

Tentu yang paling parah, kondisi si adik kecil.
Kasian dia. Sudah bersitegang. Sudah berpengharapan.
Namun,
Gagal dibasahi. Gagal dipuaskan.
Sari sari kehidupan masih bersemayam di dua kantong selangkangan.
Batal menghirup udara luar.
Maaf.

Aku tipe pria yang tak sembarangan membuang cairan itu.
Aku tak bisa dipuaskan oleh sabun, tisu, ataupun cairan pelicin termahal sekalipun.
Tidak oleh tanganku sendiri.
Aku, mungkin juga beberapa pria lain, butuh sentuhan wanita.
Tangan, mulut, kemaluan. Terbatas. Tidak asal asalan.

Perasaan ini masih kuingat.
Pernah kualami yang serupa. Tapi tidak sedahsyat ini.
Mbak Ais, sosok yang dipuja banyak orang itu, hari ini hampir kugauli.
Sedikit lagi. Tinggal sejengkal, tapi gagal.

Momen telah terlewat.

Kutengok sekilas satu-satunya ruang yang masih bersuara.
Suara musik. Lagu tipe kesukaan Ais. Irama pop-jazz melo yang tengah populer.
Aku membayangkan.
Seandainya di gedung ini hanya ada kami berdua, pastilah ia sudah kugauli habis-habisan.
Aku perkosa dia.
Atau aku yang diperkosanya.
Atau kami sama-sama diperkosa nafsu dua manusia kesepian.
Tapi bayangan itu tipis.
Makin tipis saat suara-suara yang kukenal mendekat.

Suara langkah sepatu.
Ah iya. Shift security malam sudah aktif.
Seorang pria umur, 40-an. Berseragam lengkap, menyapaku. Basa basi mengucap selamat malam, sambil berkelakar sesuatu yang segera kulupakan. Aku tidak ingat sama sekali apa yang ia ucapkan. Pikiranku entah dimana. Plis dong ah.


Kulihat mbak Ais tengah berkemas, tampaknya ia akan segera pulang.
Sedikit berteriak, tanpa melihat ke arahku, seakan sambil lalu, menyapa. Basa basi mengajak segera pulang.

"Ayo. Ndang bali mas, selak udan neh. (segera pulang saja mas, keburu hujan lagi)"

"Yok"

Kulirik jam tangan. Pukul delapan lewat.
Hujan di luar mereda. Suara gerimis lirih masih kudengar.
Aku reflek mengambil jaket dan helm.
Aku ingin menyusul Ais.
Entah untuk apa. Dimana pikiranku, belum nemu juga.

Agak buru-buru, kupencet tombol presensi. Segera menyusul Ais ke tempat parkir. Tidak jauh dari lobi. Dekat pos security. Dua petugas tengah besantai di dalam. Hawa dingin memang teman setia bagi rokok dan kopi.

Itu saja yang kutangkap. Tujuanku bukan di situ.

Kini aku telah duduk di atas motor tuaku. Motor yang juga kupakai sejak kuliah dan pacaran dulu. Dengan Istriku, satu-satunya wanita yang pernah kupacari.

Di sisi kiri, ujung, dekat pohon talok, Mbak Ais tengah bersiap berkendara. Memakai masker. lalu helm. Jaketnya tebal. Saat melihatnya dengan pakaian seperti itu, dia lebih mirip bantal-guling-besar-empuk-hangat yang siap dikeloni.

Kukirimkan pesan singkat.

"Langsung pulang, mba?"

Dia tak membalas.
Bodoh. Kenapa gak disapa langsung. Kan cerak to yoh.

Motor distarter. Ais keluar kantor. Menyisakan bunyi klakson. Satu bagiku. Satu bagi petugas security. Pikiranku belum terkumpul. Biarlah.
Aku putuskan tuk pulang.

...

Belum 2 km. Hujan kembali turun. Aku bergegas mencari tempat berteduh. Tidak pernah membawa jas hujan. Tidak sabaran saat membuka dan memakainya. Aku memilih untuk untung-untungan mencari tempat naungan. Ketemu.

Di depan kantor ekspedisi. Sepi. Lampunya remang-remang. Hujan makin menjadi.
Iseng kubuka hape. Ada pesan masuk.

"Iyo niate langsung pulang. Hujan lagi mas." Pesan dari Ais.

"Udah sampe rumah?"

"Belum, aku berhenti di depan tukang tambal ban. Dekat gereja."

Loh, itu kan cuma seberang jalan tempatku berteduh. Clingak clinguk kulihat sekitar.
Benar saja ada bayangan samar, di seberang jalan, tidak jelas tentunya. Bias oleh hujan deras yang masih mengguyur jalanan.

Segera kukabari Ais untuk tetap di tempat. Aku akan menyusulnya.
Bodo amat, basah, basah sudah.

Tak lama, tak ada lima belas menit sejak pertemuan terakhir di parkiran, kami bersua kembali. Lucu. Koyo crito pacaran anak sekolahan.
Seolah bertemu teman sebaya, kami berbasa basi soal kenekatanku menembus hujan.
Tidak penting Ais. Ini demi ketemu kamu. Ah, pastilah ia paham. Tak perlu pula kujelaskan panjang panjang.

Momen berikutnya aku lupa.

Kami berpelukan depan belakang. Di atas motor maticnya. Mbak Ais di depan. Aku di belakang. Kami berpelukan. Seperti kekasih yang tengah melepas rindu. Makin syahdu karena hawa dingin tak kunjung pergi. Suara hujan makin deras. Makin berisik akibat airnya menggempur atap seng tempat kami bercengkrama.

Mbak Ais diam saja. Matanya melihat jauh kedepan. Tatapan kosong. Tapi kutahu ia tersenyum. Tengah bahagia kurasa.

Tangan kami bertaut. Tepat di perut mbak Ais. Jaket basah sudah kusingkirkan.
Belakangan aku baru sadar. Jaket itu jatuh di selokan. Teles kebes. Mambu. Asu.

"Mbak" kataku.

"hmmm" balasnya.

Kucium pipi kanannya. Masih dari posisi belakang.
Dia diam saja. Pura-pura tidak tahu?
Mulutku bergerak ke leher.
Dapat kain hijab. Lembut. Wangi. Sedikit bercampur dengan bau apek helm basah.
Tapi tetap wangi. Tetap menggoda. Ingin kusetubuhi dia. Di tempat itu.
Di pinggir jalan.
Di bengkel tambal ban.
Beraroma oli dan selokan dan tanah basah.

Untuk kali ini gelora itu tertahan.
Aku lebih ingin menikmati momen romantis.
Lebih gentle.
Lebih alus.

Penjelajahan di leher memberikan hasil. Mbak Ais tampak menikmati.
The game is on.
Nafasnya tampak kacau.
Ia segera memalingkan wajah. Menyamping
Kini mata itu menatapku.

Kami berciuman. Panas.
Sama seperti beberapa jam sebelumnya.

Tangan kanannya mengincar si adik kecil. Tetap di luar celana. Ia elus elus.
Ntabs. Langsung on si adik.

Tanganku tertahan di dadanya. Kini setiap gunungnya ada di genggaman tanganku.
Kuremas lembut. Perlahan. Lalu lebih kuat.
Benar saja. Ais mendesah. Desahan hebat.
Sama seperti desahan di mimpiku.
So hot.

Area mulut masih berpesta. Lidah kami makin semrawut.

Kuulangi lagi menikmati gunung kembarnya.
Kuremas lembut. Perlahan. Lalu lebih kuat.
Ais mendesah lagi. Kali ini lebih dahsyat.
Seperti dibumbui rintihan tipis. Memelas.
Ingin minta lebih kurasa.

Tapi tidak. Belum saatnya untuk lebih.
Kulepaskan bibirku dari ciuman maut itu.
Kugigit pundaknya. Tanpa bumbu kelembutan dan keromantisan.
Seperti Kucing menggigit mangsa.
Lebih mirip gigitan manja.
Menawarkan persahabatan.
Menurunkan tensi.
Mencoba meredam gejolak nafsu, yang jika dibiarkan, entah akan membawa kami kemana.

Hap. Grrrrr..... Bagai gumam bangsa kucing besar yang tengah menikamati buruannya.

Ais tertawa. Tawa ceria

"Iiih, mas ini. Nyebeli"

Kembali kami berpelukan. Badannya menggelayut, bersandar ke aku. Berat. Tapi hangat.
Tangan kiriku ogah beranjak dari susunya yang lembut.
Aku belum bisa membayangkan senikmat apa nanti, saat kugenggam bongkahan daging surga itu.
Sensasi kulit ketemu kulit surgawi.
Entah kapan. Pasti luar biasa.

Tangan kananku yang lebih terlatih sopan santun, kini menggenggam erat tangan Ais. Memberikan ketenangan bagi kami berdua.
Kiri setan, kanan malaikat.

Seolah kami telah menjadi satu.
Bukan lagi partner kerja.

We are in love.

BONUS
Mbak Ais saat Fam Gathering sekira empat tahun yang lalu



....bersambung lagi. Apel sore.
foto beginian gampang ngambil di akun FB orang, gak mesti dia, ceritanya agak ngarang
 
Tempat ini masih sama seperti saat terakhir kudatangi. Lokasinya tak terlalu mencolok. Di pinggir jalan besar, tapi tertutup beberapa pohon peneduh. Parkiran depan kosong. Aku duduk menanti pesanan. Di sebelah kanan, agak jauh, ada dua lelaki muda. Mungkin teman lama. Tampak seru bercakap. Di mejanya ada dua cangkir. Mungkin kopi. Sesekali asap rokok mengepul. Lengkap sudah.

"Ini Pak"

Pria tua memecah lamunanku. Dia memberi apa yang kupesan.

"Terima kasih" jawabku.

Aku beranjak dari tempat duduk. Sekilas kulihat kunci yang kupegang. 208. Lantai 2.

Ya, aku di hotel waru. Menuruti kemauan lonte laknat berjiwa iblis.

----

Aku akhirnya terbujuk rayuan maut mbak Ais. Kubatalkan agenda family time. Aku mengaku tengah rapat akhir tahun, sekalian menyortir arsip yang akan dihapus. Setidaknya sampai jam 9. Sekaligus kujanjikan untuk mengajak anak istriku ke taman hiburan esok hari. Seharian. Dua hari kalo perlu. Demi apa? demi 3 jam berpuas birahi.

Aku tengah berjalan menuju kamar. Ais mengikuti di samping. Tangan kami saling bergenggam. Erat. Lantai 2 artinya tak terlalu jauh dari parkiran tengah. Aku cukup beruntung. Kata resepsionis tadi, kamar sudah hampir penuh terisi. Sebagian besar dipesan oleh tim sepakbola dari luar kota. Mereka besok akan bertanding dengan tim dari kotaku. Entah pertandingan apa. Aku tak terlalu mengikuti perkembangan liga lokal. Tak terlalu tertarik.

Benar saja, sepanjang jalan kami sempat berpapasan dengan beberapa pemuda berbadan tegap. Berbaju santai, kaos dan celana pendek. Atletis. Kami berpapasan tanpa menyapa. Mereka tengah asik bercanda. Penampilan santai tapi jalannya gak santai. Tampaknya mereka bergegas. Mungkin ada agenda yang harus mereka penuhi. Dari logatnya, jelas jika para pemuda itu berasal dari tanah sunda. Ah, pemuda tanah sunda. Ada cerita menarik yang ingin kuceritakan tentang pemuda sunda. Tapi belum saatnya. Besok saja. Tunggu waktunya.

Saat berpapasan, sempat kudapati beberapa pemuda itu melirik ke ais. Sekilas saja. Aku tak keberatan. Toh wajah ais tertutup cadar. Bukan cadar sih. Lebih tepatnya masker kain. Pun kacamata coklat besar menutup sisa muka. Persis seperti tersangka koruptor yang kena tangkap tangan. Tak ingin identitasnya terkuak. Itu yang kusuka dari Ais. Bisa menjaga diri. Setidaknya dari pandangan singa-singa lapar.

Entah kenapa, fantasiku muncul tiba-tiba. Seru kali ya, kalo Ais dijamah para pemuda itu. Bergiliran. Rame-rame. Depan-belakang-atas-bawah. Ais mendesah, lirih kadang keras-keras, dalam ketidakberdayaan, sekaligus kenikmatan.

Ngaceng langsung. Asu tenan.

Segera kukubur fantasi gila itu. Kelewat batas. Aku lebih ingin menikmati Ais sendirian. Biarkan ia jadi milikku sepenuhnya. Biarkan ia meluapkan birahi yang berbulan-bulan tak diambil suaminya. Biarkan tubuhnya mendekap laki-laki yang ia inginkan, sesukanya. Dan aku yang jadi laki-laki itu. Bukan orang yang selalu menggodanya. Bukan para pejabat yang bertaruh tumpukan uang, berebut kesempatan untuk menjamahnya. Bukan. Dia pilih aku.

Makin ngaceng sudah.

----

Kamar 208. Kamar ini tepat diujung tangga dari lantai 1. Dari depan pintu, ada lorong ke kiri dan ke depan. Tidak jauh, ada tangga ke lantai atas. Kurang ideal untuk bersenggama. Berisik. Bisa didengar orang luar. Terlalu banyak akses wira-wiri. Terlebih di saat akhir minggu seperti sekarang. Menjelang akhir tahun pula. Sudah pasti cukup ramai tempat ini. Setidaknya itu analisisku.

Tapi tidak. Tuhan maha mendengar hambanya.

Tepat saat pintu kamar kubuka, hujan turun. Tidak deras. Tapi semoga nanti bertambah deras. Berkah bagi para pasangan mesum. Doa saat solat jumatku terkabul: Agar selalu diberkahi dalam setiap urusan.

Lebih dari itu, mesin AC nya ternyata cukup berisik. Wajar jika kamar ini masih kosong. Mungkin tak banyak yang menginginkan suasana berisik saat istirahat. Tapi buat kami, ini anugerah. Harus disyukuri.

Kulirik jam sebentar. Jam 7 malam. Sudah tak banyak waktuku. Harus segera dituntaskan.

----

Kami sudah di dalam kamar. Di luar, hujan makin deras. Berisiknya bukan main.

Kami tengah berciuman. Panas sekali. Ais tampak bernafsu. Aku tak mau kalah. Tersisa boxer di badanku. Ais masih lengkap.

Kami lepas kontrol tadi. Begitu masuk kamar, langsung berpelukan. Pelukan mesum. Tanganku segera meremas pantat wanita berhijab itu. Sekuat tenaga kuremas. Tak juga pecah. Tangan Ais lebih-lebih. Langsung mendarat di leher dan punggungku. Memaksa untuk melepas kemeja yang kupakai. Silakan saja. Jadilah ia melucuti pakaianku duluan. Sesekali sambil mencium bagian tubuhku. Acak. Tangan, Dada, Perut, Paha, Leher.

Kami belum mandi. Ciuman makin panas. Sedotan dan hisapan terjadi tak terbendung. Kadang dia pakai gigitan juga. Aku tak suka. Tapi kubiarkan saja. Serah lah. Sudah kepalang tanggung. Waktu mepet juga.

Ais curang. Aku ditelanjangi. Dia masih full armored. Aku berusaha melepas bajunya. Kucari kancingnya di bagian depan. Malah dapat tonjolan susu. Kuremas saja. Kancing tak ketemu, biar saja.

"Mas gak usah nyari-nyari deh. Pasrah aja. Aku yang pegang kendali" Kata Ais.

Ok lah. Yow, take your chance.

Ais kini menjelajah leherku. Diciumi bertubi tubi. Diselingi gigitan kecil. Geli.

"Jangan dicupang yo mbak" kataku

"Terserah aku donk"

Wong edan. Lanjut dia menjelajah.

Kini boxerku dipaksa turun melantai. Penny ku sudah ngaceng sedari tadi, akhirnya bisa bernafas lega. Ada rembesan air di ujung kepalanya. Tanda bahwa ia sudah tak sabar, ingin segera meledak.

Ais berlutut. Matanya melirikku sebentar, mendongak. Tampak senyuman nakal. Mulutnya sedikit membuka. Seolah berkata: "Wow, udah kenceng banget ini, siap kuhap"

Dan benarlah. Mulutnya segera menjilati penisku. Dari bawah, dari bola kembar di bawah. Dijilatinya perlahan. Berhenti di ujung helm. Sensasinya? LUAR BIASA.

Belum sempat aku menghayati kenikmatan itu, mulut Ais keburu melahap batangku. Setengah, lalu penuh. Terbenam senjataku di mulut ais yang basah dan hangat.

Ah gila. Enak banget. Aku memicingkan mata, menikmati momen ini. Tanganku hanya bisa membelai kepala Ais yang masih ditutupi hijab krem.

Sekujur badan lemas. Kakiku ingin menyerah. Ingin berbaring saja.

Ais menarik diri. Kini penisku basah, ngaceng, berkedut, lepas dari mulutnya. Ais menarik nafas agak dalam, lalu kembali mencaplok pedang pusaka itu. Dimaju-mundurkan dengan tingkat presisi yang sedemikian baik. Sama sekali gak kena gigi. Kadang seperti dihisap kuat-kuat. Kadang seperti diremas. Lidahnya begitu lincah mengolah sosis mentah. Ia layak diganjar sertifikat ISO kelas tertinggi, bintang lima.

Sesekali ujung lidahnya mendribel ujung helmku, nakal. Kadang tepat di titik rangsang terbaiknya, di sekitar bawah helm. Gak amatiran. No kaleng-kaleng. Kerja profesional ini.

Aku mendesah. Meracau tanpa arah.

"Enak sayang....lagi...jilatin...iya di situ, aahhhh,... enak banget, ooohhh....lagi sayang......aaaahhh, masukin lagi"

Tanpa sadar, tanganku kini menahan kepala Ais. Pinggulku mulai bergerak tanpa komando. Maju-mundur. Penisku menyodok, menghajar mulut ais. Memaksa gadis berhijab itu melumat batang kejantananku. Aku memperkosa mulut Ais.

Sensasinya lebih liar. Seolah kendali berpindah ke tanganku. Ais tampak tak melawan. Sesekali matanya melirik. Sesekali terpejam. Sepintas kulihat ada air mata yang keluar. Aku tak perduli. Kupastikan ia tunduk melayani nafsuku.

"Enak sayang? suka kontolku?" tanyaku. Memastikan sejauh apa Ais turut menikmati pelecehan itu.

"Hem-hem...." Jawabnya.

Aku bersasumsi dia turut menikmati. Setidaknya tidak menolak. Maka aku teruskan saja. Si adek sudah tegang maksimal. Aku tau pertahananku sebentar lagi runtuh. Lebih karena dia sudah ngaceng sejak 2 jam terakhir.

Aku menangkap sensasi yang teramat erotis. Ini yang kucari. Mungkin tak semua pria bisa memenuhi fantasi terliarnya. Tapi aku bukan pria itu. Aku pastikan bahwa apa yang kuinginkan tercapai. Untuk urusan fantasi seks, mimpiku terwujud. Aku bertelanjang bulat. Berdiri dengan nafas yang makin tak teratur. Dengan penis yang kaku sekaku-kakunya. Tengah menyodomi mulut perempuan. Memaksa mulut istri orang lain itu melahap penisku, tetap dengan gaun muslimahnya yang masih lengkap tak tertanggal. Lebih dari itu, sang perempuan menikmatinya. Kami benar-benar dibakar birahi.

Keringat makin mengucur. Aku sudah di ujung batas kekuatan. Sudah dekat. Sebentar lagi.

"Aku keluarin di mulut ya" kataku. "telan semua ya sayang..."

"Hmm-hmmm....hhppp...blebbbpp..." Ais tak bisa menjawab dengan jelas. Ia masih tampak menikmati daging segar.

Aku tak tahan...aku keluar....

Croootttt....creeetttt....cruuutttt.....croottttt.....cruttt....crotttt....

Spermaku muntah di dalam mulut Ais. Aku merasa menang. Sekaligus kalah. Aku melayang. Mataku spontan terpejam. Waktu seolah berhenti. Kosong.

Aku menikmatinya. Ini ennnnnaaaaaakkk....

Sekelebat muncul bayangan-bayangan indah. Senyuman Ais. Wajahnya saat menikmati sodokan penisku. Wajahnya saat mendesah. Juga saat pertama kali menerima muntahan pejuku, beberapa bulan yang lalu.

Aku Puas.

Mataku kubuka paksa. Penisku pelan-pelan Ais dorong keluar. Dengan cara yang sedemikian cantik. Dia mengurut dari pangkal. Menghisap semua bagian. Semuanya. Pelan-pelan. Hisapannya kuat. Seakan semua spermaku disedotnya. Tak rela ia sisakan barang setetespun.

Lalu blupp. Penisku terlepas.

Ais sedikit mendongak. Matanya tajam menatapku. Masih dalam posisi berlutut. Tampak mulutnya penuh.

"Hmmm...hmmm" katanya. Aku baca sebagai kode untuk memerhatikan mulut itu.

Betul, ia buka mulut. Tampak cairan kental, putih susu mengambang di dalam mulutnya.

"Hmmm-hmmm....." ucapnya lagi. Kali ini dengan sedikit isyarat menganggukkan kepala. Kurasa ia ingin berkata: "Lihat sayang, akan kutelan semuanya. Tak bersisa"

Tentu aku akan melihatnya sayang. Itu yang kuinginkan.

Dia lalu berusaha menelan cairan surgaku. Berusaha keras. Matanya terpejam. Aku menyaksikannya bagai slow motion. Ia menelannya sekali, tampak tenggorokannya bergerak. Sebagian cairan mendesak keluar lewat bibir. Ais tampak kepayahan. Kasihan.

Aku tak tega.

"Sudah. Kalo gak kuat dibuang aja" kataku.

Ais tak peduli. Gerakan kedua dicoba. Kembali matanya terpejam. Berhasil. Dilanjutkan gerakan ketiga, mungkin sebagai upaya untuk menggelontor sisa sperma dengan bantuan ludah.

Ais kini membuka mata. Masih tersisa air mata di ujung bola mata cantik itu. Entah kenapa wajahnya tampak bercahaya. Sumringah. Mungkin puas karena berhasil menaklukkanku. Senyum mulai mengembang. Disusul dengan mulutnya yang kembali membuka.

"Haaa..." suara Ais keluar.

Aku melihat rongga mulutnya. Kosong. Spermaku habis tak bersisa. Dilumat habis.

Kini lidah Ais menyapu bibir. Seakan mencuci mulut.

"Hmmm.. Nyummieee..." Ucapnya.

Kami merasa sama-sama menang. Dalam misi masing-masing. Dengan cara masing-masing.

AKU PUAS.

-------bersambung------

Mohon bersabar. TS tengah terlibat dalam gugus tugas penanganan virus laknat.
Harap dimaklumi, update tidak bisa segera tayang.

Family is the life's greatest blessing, treat them accordingly.
Stay safe everyone
.
ini ya jahat, dia yang merusak orang, dia sebut lonte berjiwa iblis, yang nulis apa gak lebih jahat
 
Sebelum lanjut, ada satu hal yang mesti kubagi. Belum pernah kuceritakan ke siapapun.

Sekian bulan lalu, saat menulis cerita lanjutan, ada kejadian ‘tidak wajar’ yang kualami. Ah sial, baru dua kalimat sudah merinding.

Kota ini barusan dilanda hujan, tidak deras, rata saja dan cukup lama. Hal yang membuat udara luar terasa lembab, dingin. Tentu berdiam di ruangan sembari ditemani kopi panas adalah kemewahan. Maka jadilah aku bermewah-mewahan malam itu.

Sore tadi aku sempat tidur sebentar. Mungkin itu juga yang membuat kantuk tak kunjung datang. Niat sudah bulat untuk begadang. Ya sudah, sekalian saja melanjutkan cerita. Begitu pikirku.

So… aku sedang mengetik bagian ke-4, lembar ke-8 (biasa kuberi kode 4.8). Menjelang dini hari. Duduk tenang, ditemani lantunan Top 50 Spot1fy dengan volume sedang. Masih di apartemen dekat tempat kerja.

Browsing sana sini.

Memeriksa beberapa email dari kolega.

Saatnya Me Time.

Fokus kupindahkan ke ingatan-ingatan tentang Dewi. Beberapa masih fresh, sebagian besar lainnya nyaris hilang tak berbekas. Payah sungguh. Memoriku memang tak sebaik itu, padahal ingatan belum genap setahun.

Baru beberapa alinea, ada suara aneh.

“Tengggg….. Tenggg…. “

Mirip suara pipa besi yang bertumbuk. Agak mirip dengan suara tiang listrik yang dilempar kerikil, tapi dengan sisa gaung di belakang.

Suaranya tidak terlalu keras, ada efek teredam. Dugaanku, suara itu dari balik tembok, mungkin dari ruang sebelah. Yang jelas, aku yakin bukan dari luar gedung. Ini di lantai atas, jendela dan pintu teras cukup kedap, harusnya suara macam itu nggak bakalan masuk.

Aku tidak yakin soal kemunculan suara sejenis sebelumnya. Seingatku, belum pernah kudengar suara macam itu di tempat ini.

Aktivitas kuhentikan sejenak. Mencoba memperhatikan seksama, antisipasi seandainya ada suara itu lagi. Sekian menit berlalu, senyap. Hanya ada suara musik yang kini ku-setting dalam volume lirih. Kuseruput sisa kopi di meja, tegukan terakhir.

Tidak ada suara sejenis.

OK, lanjut aku menulis. Volume musik kunaikkan sedikit.

Tulisannya baru nambah 2-3 kalimat…

“Tengggg….. Tenggg…. Tengggg… “

Lho.

Datang lagi suara misterius.

Respon pertama, kutengok penunjuk waktu di desktop. Jam 12 lewat sedikit. Kembali kuhentikan kegiatan. Dari meja kerja ini, bisa terlihat kerlap kerlip lampu di kejauhan. Sebagian pemandangan kota di malam hari, juga desa-desa di perbukitan sana. Tentu tidak seramai kota besar. Tidak banyak lampu bergerak, tanda kendaraan berseliweran. Jam sembilan sudah cukup larut bagi warga kota ini. Cocok lah untuk mencari ketenangan. Ketenangan yang malam ini justru diganggu bunyi-bunyian aneh.

Jadi, kesimpulan sementara: setiap kali menulis lanjutan cerita, suara itu muncul.

Ok lah.

Kusimpan draft cerita, ganti acara, menonton video sembarang di Y0utub3. Berusaha mengalihkan dari pikiran-pikiran aneh.

Hampir setengah jam berlalu, suara aneh tak berlanjut.

….

Malam selanjutnya, sehabis Isya.

Ada report yang harus kuperiksa dan kutuntaskan malam ini. Dengan kecepatan tinggi, sat-set, tugas beres.

Sengaja, ruangan kubiarkan sunyi. Samar-samar ada suara TV dari tetangga sebelah. Tidak jelas acara apa, dari tempatku duduk lebih seperti suara orang menyapu halaman.

Laptop masih terbuka, kumanfaatkan saja untuk membuka draft cerita, bertekad menyelesaikan cerita semalam.

Satu paragraf berikutnya…

“Tengggg….. Tenggg…. Tengggg… “

OM(F)G!!!
 
Terakhir diubah:
Sebelum lanjut, ada satu hal yang mesti kubagi. Belum pernah kuceritakan ke siapapun.

Sekian bulan lalu, saat menulis cerita lanjutan, ada kejadian ‘tidak wajar’ yang kualami. Ah sial, baru dua kalimat sudah merinding.

Kota ini barusan dilanda hujan, tidak deras, rata saja dan cukup lama. Hal yang membuat udara luar terasa lembab, dingin. Tentu berdiam di ruangan sembari ditemani kopi panas adalah kemewahan. Maka jadilah aku bermewah-mewahan malam itu.

Sore tadi aku sempat tidur sebentar. Mungkin itu juga yang membuat kantuk tak kunjung datang. Niat sudah bulat untuk begadang. Ya sudah, sekalian saja melanjutkan cerita. Begitu pikirku.

So… aku sedang mengetik bagian ke-4, lembar ke-8 (biasa kuberi kode 4.8). Menjelang dini hari. Duduk tenang, ditemani lantunan Top 50 Spot1fy dengan volume sedang. Masih di apartemen dekat tempat kerja.

Browsing sana sini.

Memeriksa beberapa email dari kolega.

Saatnya Me Time.

Fokus kupindahkan ke ingatan-ingatan tentang Dewi. Beberapa masih fresh, sebagian besar lainnya nyaris hilang tak berbekas. Payah sungguh. Memoriku memang tak sebaik itu, padahal ingatan belum genap setahun.

Baru beberapa alinea, ada suara aneh.

“Tengggg….. Tenggg…. “

Mirip suara pipa besi yang bertumbuk. Agak mirip dengan suara tiang listrik yang dilempar kerikil, tapi dengan sisa gaung di belakang.

Suaranya tidak terlalu keras, ada efek teredam. Dugaanku, suara itu dari balik tembok, mungkin dari ruang sebelah. Yang jelas, aku yakin bukan dari luar gedung. Ini di lantai atas, jendela dan pintu teras cukup kedap, harusnya suara macam itu nggak bakalan masuk.

Aku tidak yakin soal kemunculan suara sejenis sebelumnya. Seingatku, belum pernah kudengar suara macam itu di tempat ini.

Aktivitas kuhentikan sejenak. Mencoba memperhatikan seksama, antisipasi seandainya ada suara itu lagi. Sekian menit berlalu, senyap. Hanya ada suara musik yang kini ku-setting dalam volume lirih. Kuseruput sisa kopi di meja, tegukan terakhir.

Tidak ada suara sejenis.

OK, lanjut aku menulis. Volume musik kunaikkan sedikit.

Tulisannya baru nambah 2-3 kalimat…

“Tengggg….. Tenggg…. Tengggg… “

Lho.

Datang lagi suara misterius.

Respon pertama, kutengok penunjuk waktu di desktop. Jam 12 lewat sedikit. Kembali kuhentikan kegiatan. Dari meja kerja ini, bisa terlihat kerlap kerlip lampu di kejauhan. Sebagian pemandangan kota di malam hari, juga desa-desa di perbukitan sana. Tentu tidak seramai kota besar. Tidak banyak lampu bergerak, tanda kendaraan berseliweran. Jam sembilan sudah cukup larut bagi warga kota ini. Cocok lah untuk mencari ketenangan. Ketenangan yang malam ini justru diganggu bunyi-bunyian aneh.

Jadi, kesimpulan sementara: setiap kali menulis lanjutan cerita, suara itu muncul.

Ok lah.

Kusimpan draft cerita, ganti acara, menonton video sembarang di Y0utub3. Berusaha mengalihkan dari pikiran-pikiran aneh.

Hampir setengah jam berlalu, suara aneh tak berlanjut.

….

Malam selanjutnya, sehabis Isya.

Ada report yang harus kuperiksa dan kutuntaskan malam ini. Dengan kecepatan tinggi, sat-set, tugas beres.

Sengaja, ruangan kubiarkan sunyi. Samar-samar ada suara TV dari tetangga sebelah. Tidak jelas acara apa, dari tempatku duduk lebih seperti suara orang menyapu halaman.

Laptop masih terbuka, kumanfaatkan saja untuk membuka draft cerita, bertekad menyelesaikan cerita semalam.

Satu paragraf berikutnya…

“Tengggg….. Tenggg…. Tengggg… “

OM(F)G!!!
Hal mistis apa gerangan..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd