Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (KISAH NYATA) EXTRA TIME

BAGIAN LIMA.

Beberapa minggu berselang, awal tahun.

Pandemi kembali mengamuk. Aku putuskan untuk lebih banyak mengurusi kantor baru, proyek di perbukitan kupercayakan ke bawahanku. Praktis, aku lebih banyak tinggal di kotaku, bersama keluarga. Seminggu sudah jadwal WFH diaktifkan, prokes kembali diperketat.

Well, minggu lalu aku sempat terpapar. Untungnya hanya bergejala ringan, tidak sampai lima hari sudah negatif. Banyak pekerjaan di awal tahun, bagi pejabat baru sepertiku, hal menjadi semakin rumit karena harus dipusingkan urusan adaptasi dan manajemen tim kerja di situasi yang belum normal. Akan sangat merepotkan jika aku tidak bisa hadir hanya gara-gara sakit.

Hari ini aku dan Dina, plus sopir kantor, akan bertemu vendor mitra kerja sekaligus survei lokasi di kota sebelah. Sejatinya aku ingin berangkat berdua saja tanpa bantuan sopir, siapa tahu ada kesempatan untuk… sesuatu yang pasti sudah Anda duga. Namun, rasanya terlalu prematur. Masih butuh beberapa langkah yang perlu kami lewati. Kuminta dia duduk di sebelahku, baris kedua, di belakang sopir. Banyak hal yang perlu kami diskusikan sepanjang perjalanan. Sebagian besar isi pembicaraan kami adalah urusan persiapan kerjasama dengan mitra. Tentu kesempatan itu juga kupakai sebagai bagian dari upaya pendekatan. Sesekali aku menyinggung pertanyaan pribadi, tipis-tipis saja, seakan sebagai bumbu dialog, mencairkan suasana.

Dari situ aku baru tahu, ternyata Dina cukup terbuka soal pribadinya, bahkan cerita kehidupan rumah tangga pun sempat terlontar, tipis-tipis juga.Terlebih, hanya ada keluarga dari pihak suami yang bisa dibilang sebagai keluarga terdekat. Soal ketidakcocokan dengan mertua (dan keluarga dari pihak suami) yang tampaknya cukup mengganggu. Bisa dimaklumi, sudah beberapa tahun menikah tapi mereka belum juga dikaruniai keturunan. Mungkin bagi sebagian orang tua hal itu akan menjadi isu besar. Dengan status LDM begini, memang cukup sulit menjaga keharmonisan rumah tangga. Itu juga yang sempat kualami dulu di awal-awal pernikahanku. Hal itu pula yang kusampaikan ke Dina.

Ternyata responnya baik. Sepertinya memang perempuan ini bertipikal begitu. Cenderung nyaman pada orang yang memiliki kesamaan. Makin lama, obrolan kami soal kerjaan makin minim. Berganti menjadi tema receh, layaknya teman lama. Sesekali kami bercanda, yang berakhir dengan tawa lepas. Apalagi jika ada humor receh dari sopir kami yang ikut nimbrung. Sayang, senyum manis Dina belum juga kulihat. Sedari tadi kami memang bermasker.



Lepas tengah hari, dua mitra sudah selesai kami datangi. Kebetulan ada satu mitra kerja yang ternyata sudah kukenal, salah satu bagian dari jejaring bisnis yang jadi kerja sampinganku.

Mobil kami belokkan ke arah luar kota, menuju tempat makan yang juga resort terkenal di area itu. Tempatnya ada di dataran tinggi, cocok sekali untuk bersantai sembari menikmati pemandangan alam. Masih ada waktu dua jam yang bisa kami pakai untuk rehat dan makan siang di sana.

“Bang Iyan punya usaha di bidang xxx juga to?” tanya Dina. ‘Bang’ adalah budaya di kampus kami untuk memanggil kakak angkatan. Dina memang kubebaskan dari formalitas penyebutan ‘Pak’ ataupun ‘Bapak’ yang terkesan kaku, terutama di momen tidak resmi. Pun terkadang ia memanggilku dengan ‘Mas’. Tidak masalah bagiku.

Baru saja kami duduk, selesai memesan makan siang. Kami hanya berdua di meja itu, duduk nyaris berhadapan. Pak Sopir entah kemana, mungkin sedang asyik merokok di luaran. Di hadapan kami terpampang pemandangan indah. Kota, danau kecil, dan bentang alam hijau lainnya menjadi latar makan siang kami.

“Hmmm…,” aku buka jawabanku dengan senyum tipis. “Sebenarnya nggak banyak yang tahu soal itu loh. Kayaknya sekantor juga nggak ada yang tahu. Ya kecuali Pak Hasan (Kepala Kantor).”

Mulai lah aku bercerita. Panjang dan cukup detail. Tidak terasa, sampai makanan di meja kami tandas. Dina nampak tertarik. Mungkin karena masih nyambung dengan disiplin ilmu yang dia punya.

“Menarik ya. Seru banget kayanya,” ucapnya.

Kopiku masih separuh. Masih ada sensasi hangat yang kurasakan di telapak tangan.

“Lumayan. Profit sih nggak seberapa. Lebih ke kemanusiaan sama nambah saudara. Hehe… Niatnya untuk ngebantu orang. Kan *Sebaik-baik manusia diantara kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.*”

“Malah dapat ceramah,” celetuknya.

Kami sama-sama tersenyum. Aduh mak, senyumnya manis kali.

“Kenapa emang? Tertarik join?”

Ada wajah sumringah terpancar di depanku.

“Boleh?”

“Nggak.” jawabku.

Ekspresi Dina berubah. Lucu sekali. Kontras dengan keceriaannya tadi.

“Itu tadi kan baru bagian enaknya. Ada juga bagian nggak enaknya, bagian deritanya. Nggak semua serba enak. Besok lah kapan kita bahas lagi. Di sini aja kali ya, atau di manalah suka-suka kamu. Asal jangan di kantor lah.”

Serangan pertama.

“Kencan kita?” pandangannya tidak ke arahku. Aku tak bisa membaca keseriusan pertanyaan itu.

Nope. Lobi bisnis.”

Senyum Dina kembali merekah.

“Siap Pak. Perintah atasan nggak boleh ditolak,” ujarnya.

“Serah deh,” kutandaskan kopiku.

Sinyal positif.



Bersambung.
 

Bagian Dua.

“Hah, apanya pak?”

“Maskernya dong, Dina,” balasku. “Mosok yo, bajunya??”

“Oooh, iya pak,”

“Jaraknya cukup aman kan kita ini? dua meter ada lah ya…,” Aku memberinya isyarat jaga jarak. ”Kamu udah vaksin full kan? Booster juga kan?”

“Sudah pak.”

Dina melepas maskernya. Matanya yang cokelat itu tak berani menatap langsung. Hanya sesekali saja, terlalu banyak menunduk. Coba kuamati wajah itu, sedikit berbeda dengan foto di dokumen yang ada di mejaku. Tetap saja, cantik, bersih, ada tahi lalat kecil di sana, samar sebenarnya, entah kenapa aku menemukannya. Sedikit gurat kelelahan, mungkin karena memang sudah sore.

“Tadi pagi nggak ikut apel perkenalan ya?” tanyaku. Seingatku memang baru pertama ini kami bertemu. Ya, sekadar memastikan jangan-jangan ingatanku salah.

“Betul pak, tadi itu, mmm…. sama bu Anggi (personel bagian kepegawaian, bukan nama sebenarnya-pen) ambil seragam batik. Saya nyampe sini, acara sudah selesai.”

“Terus nggak ada inisiatif menghadap saya, gitu?”

“Ehmmm… lupa Pak, maaf.”

Hadeeeehhh. Polos apa ogeb sih sebenarnya perempuan ini.

Aku menghela nafas, membuka map merah maroon di depanku, dokumen kepegawaian Dina. Percakapan selanjutnya banyak membahas data diri. Soal kami satu kampus (hal yang tampaknya membuatnya sedikit rileks, mungkin merasa satu keluarga), tentang statusnya yang belum ber-SK, paling penting adalah soal catatan merah kedisiplinan.

“Pak Harry (pejabat lama yang meninggal) juga sudah sempat memanggil saya, Pak. Bulan lalu, dua minggu sebelum beliau positif. Eh bukan, awal bulan keknya, pas hujan deras…”

“Ibu Dina…,” potongku. “Saya tidak tahu kapan Pak Harry dinyatakan positif. Lebih jauh, saya juga tidak tahu kapan ada hujan deras di sini. Kantor saya kan di xxx, jauh banget lah dari sini.” Ucapku tegas, tapi lembut, disertai ekspresi prihatin, buah dari rasa geli-sedih-dongkol.

“Ah iya, maaf Pak.”

Aku ambil catatan disposisi di halaman terakhir. Ada tulisan Pak Harry, soal penyiapan surat peringatan, hukuman tertulis. Kuberikan kertas kecil itu untuk Dina. Kusampaikan bahwa catatan itu belum diproses. Kusampaikan pula bahwa aku tidak terlalu peduli soal disiplin jam kerja, disiplin berpakaian, dan urusan formalitas lain. Aku banyak berfokus pada hasil kerja, budaya-ritme kerja, dan teamwork atau bolehlah disebut membangun persaudaraan-kekompakan tim. Walau begitu, mengingat statusnya yang belum PNS, persoalan disiplin ini harus betul-betul dia perhatikan. Catatan negatif dari atasan langsung akan sangat mempengaruhi kariernya ke depan. Aku bahkan memintanya untuk terbuka soal rencana masa depan di jalur pemerintahan ini. Apakah hanya sekadar iseng, mendaftar-ujian-lulus, lalu diterima, atau memang ingin konsentrasi serius di lingkup pemerintahan.

Banyak hal kusampaikan sore itu. Banyak pula informasi baru yang kudapat. Dina di akhir usia 20-an ini sudah menikah, baru beberapa tahun, belum memiliki anak. Suami tinggal dan bekerja di luar kota. Sang suami harus bekerja beberapa minggu, baru kemudian bisa pulang beberapa hari untuk istirahat. Begitu ritme kerjanya, kurasa tidak perlu rincian lebih jauh.

Masalah disiplin Dina kebanyakan soal pelanggaran jam kerja, terlambat masuk kantor dan lupa presensi di saat pulang kantor. Sangat naif sebenarnya, persoalan yang terlampau sepele namun tidak diperhatikan CPNS. Kok bisa.

Informasi penting lain dari hasil pengamatanku, yang ini tentu perlu klarifikasi dan pembuktian adalah: tampaknya aset depan dan belakang tubuh Dina cukup menggiurkan. Ranum. Siap santap.

bersambung
Lanjut huu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd