Bagian Dua.
“Hah, apanya pak?”
“Maskernya dong, Dina,” balasku. “
Mosok yo, bajunya??”
“Oooh, iya pak,”
“Jaraknya cukup aman kan kita ini? dua meter ada lah ya…,” Aku memberinya isyarat jaga jarak. ”Kamu udah vaksin full kan?
Booster juga kan?”
“Sudah pak.”
Dina melepas maskernya. Matanya yang cokelat itu tak berani menatap langsung. Hanya sesekali saja, terlalu banyak menunduk. Coba kuamati wajah itu, sedikit berbeda dengan foto di dokumen yang ada di mejaku. Tetap saja, cantik, bersih, ada tahi lalat kecil di sana, samar sebenarnya, entah kenapa aku menemukannya. Sedikit gurat kelelahan, mungkin karena memang sudah sore.
“Tadi pagi nggak ikut apel perkenalan ya?” tanyaku. Seingatku memang baru pertama ini kami bertemu. Ya, sekadar memastikan jangan-jangan ingatanku salah.
“Betul pak, tadi itu, mmm…. sama bu Anggi (personel bagian kepegawaian, bukan nama sebenarnya-pen) ambil seragam batik. Saya
nyampe sini, acara sudah selesai.”
“Terus nggak ada inisiatif menghadap saya, gitu?”
“Ehmmm… lupa Pak, maaf.”
Hadeeeehhh. Polos apa ogeb sih sebenarnya perempuan ini.
Aku menghela nafas, membuka map merah maroon di depanku, dokumen kepegawaian Dina. Percakapan selanjutnya banyak membahas data diri. Soal kami satu kampus (hal yang tampaknya membuatnya sedikit rileks, mungkin merasa satu keluarga), tentang statusnya yang belum ber-SK, paling penting adalah soal catatan merah kedisiplinan.
“Pak Harry (pejabat lama yang meninggal) juga sudah sempat memanggil saya, Pak. Bulan lalu, dua minggu sebelum beliau positif. Eh bukan, awal bulan keknya, pas hujan deras…”
“Ibu Dina…,” potongku. “Saya tidak tahu kapan Pak Harry dinyatakan positif. Lebih jauh, saya juga tidak tahu kapan ada hujan deras di sini. Kantor saya kan di xxx, jauh banget lah dari sini.” Ucapku tegas, tapi lembut, disertai ekspresi prihatin, buah dari rasa geli-sedih-dongkol.
“Ah iya, maaf Pak.”
Aku ambil catatan disposisi di halaman terakhir. Ada tulisan Pak Harry, soal penyiapan surat peringatan, hukuman tertulis. Kuberikan kertas kecil itu untuk Dina. Kusampaikan bahwa catatan itu belum diproses. Kusampaikan pula bahwa aku tidak terlalu peduli soal disiplin jam kerja, disiplin berpakaian, dan urusan formalitas lain. Aku banyak berfokus pada hasil kerja, budaya-ritme kerja, dan teamwork atau bolehlah disebut membangun persaudaraan-kekompakan tim. Walau begitu, mengingat statusnya yang belum PNS, persoalan disiplin ini harus betul-betul dia perhatikan. Catatan negatif dari atasan langsung akan sangat mempengaruhi kariernya ke depan. Aku bahkan memintanya untuk terbuka soal rencana masa depan di jalur pemerintahan ini. Apakah hanya sekadar iseng, mendaftar-ujian-lulus, lalu diterima, atau memang ingin konsentrasi serius di lingkup pemerintahan.
Banyak hal kusampaikan sore itu. Banyak pula informasi baru yang kudapat. Dina di akhir usia 20-an ini sudah menikah, baru beberapa tahun, belum memiliki anak. Suami tinggal dan bekerja di luar kota. Sang suami harus bekerja beberapa minggu, baru kemudian bisa pulang beberapa hari untuk istirahat. Begitu ritme kerjanya, kurasa tidak perlu rincian lebih jauh.
Masalah disiplin Dina kebanyakan soal pelanggaran jam kerja, terlambat masuk kantor dan lupa presensi di saat pulang kantor. Sangat naif sebenarnya, persoalan yang terlampau sepele namun tidak diperhatikan CPNS. Kok bisa.
Informasi penting lain dari hasil pengamatanku, yang ini tentu perlu klarifikasi dan pembuktian adalah: tampaknya aset depan dan belakang tubuh Dina cukup menggiurkan. Ranum. Siap santap.
bersambung