Playboy yg sesungguhnya. Selalu tinggalkan ketika mulai mendekat, dan mangsa akan datang dengan sendirinya. Hahahaha.4
"Hari ini adalah hari yang pendek. Saya tadi ke luar jam 4, latihan sebentar di rumah Oyong, pergi ke hotel jam 7, sekarang sudah ada di rumah." Kata Puspa. "Silakan kopinya."
"Saya boleh merokok?"
"Boleh. Beranda ini area bebas merokok."
"Kalau hari yang panjang?" Suradi menyesap kopinya. Lalu menyalakan kreteknya.
"Bangun pagi, terhuyung-huyung ke kamar mandi. Langsung pergi ke tempat latihan, melatih aransemen baru; atau menghafal lagu baru yang sedang ngetren... aku tidak selamanya menyanyikan laguku sendiri... banyak lagu lain yang lebih bagus... manggung, show siang... istirahat sebentar, jalan lagi, show sore... biasanya agak ngantuk, cari tempat untuk tiduran, bisa di mobil atau di tempat ganti baju... show malam, istirahat sebentar, show tengah malam... baru terasa badan ini capeknya minta ampun. Pulang ke rumah jam 2 atau jam 3 pagi."
"Waw." Kata Suradi. "Sampai segitunya ya nyari duit." Suradi tersenyum.
"Itu bisa berlangsung sepanjang minggu." Kata Puspa.
"Uh. Pasti cape."
"Sangat. Tapi kadang rasa lelah bisa diobati dengan sanjungan dan pujian... pada awal-awal dulu show, terasa indah. Ada pemuja yang memberi bunga... terkadang mereka mengharapkan lebih. Ketika sebuah lagu dinyanyikan dengan penuh perasaan, seseorang akan tersentuh hatinya... tiba-tiba saja mereka merasa dekat dengan kita..."
"Bukan kita, kamu." Suradi tersenyum.
Puspa melirik ke arah lelaki itu.
"Tapi mereka tidak tahu sanjungan yang sesungguhnya untuk seorang perempuan." Kata Puspa
"Saya tahu."
"Sampai saat ini, menurutku, belum ada seorang laki-laki pun bisa menyanjung seorang perempuan dengan cara yang sesungguhnya." Puspa terdengar serius. "Semua yang terlihat di panggung adalah polesan, sebuah entertainment untuk menyentuh perasaan penonton... itu seringkali tidak ada hubungannya dengan hidup keseharian... bagaimana Kang Sura tahu? Dari istri?"
"Saya tahu, bukan dari istri saya." Suradi berkata serius. Matanya menatap jauh ke langit yang biru gelap.
"Kalau begitu, dari mana akang tahu?"
"Dari pengalaman." Kata Suradi, tenang dan datar. "Sanjungan terbaik untuk seorang perempuan adalah menerima dia apa adanya, secara tulus."
Puspa terdiam.
"Kedengarannya aneh." Kata Puspa. "Walau masuk akal."
Suradi menyesap kopinya sampai habis.
"Kalau seorang perempuan dipahami dan diterima dengan akal lelaki, takkan ada seorang lelaki pun di dunia ini yang sanggup melakukannya. Saya jamin."
Puspa tertawa lembut.
"Memang akal lelaki itu seperti apa?"
"Jangan tanya saya. Saya sendiri kurang paham dengan akal saya."
Puspa tertawa. Lelaki di depannya ini benar-benar aneh, tapi ada benarnya.
"Kang Sura pernah selingkuh?"
"Ya."
"Istri di rumah tahu?"
"Mudah-mudahan tidak. Itu akan melukainya."
"Bagaimana kalau dia tahu?"
"Entahlah. Mungkin lukanya takkan tersembuhkan."
"Ya, mungkin takkan bisa disembuhkan." Kata Puspa, nada suaranya terdengar gemetar.
"Tapi seorang perempuan takkan pernah tahu perasaan seorang lelaki ketika tahu istrinya selingkuh."
Puspa menatap lelaki itu dengan serius.
"Lelaki itu diam. Tak pernah memberi tahu istrinya bahwa dia tahu istrinya selingkuh. Setiap malam lelaki itu berpikir, mencari cara yang terbaik untuk bunuh diri." Suara Suradi terdengar gemetar.
"Setiap malam?"
"Ya, setiap malam."
"Tidakkah lelaki itu berpikir untuk membalas perbuatan istrinya?"
"Tidak. Lelaki itu mencintainya dan menyanjungnya dengan setulus hati."
"Waw."
"Apakah lelaki itu... kamu?"
"Bukan. Tapi saya tahu persis dia."
"Siapa?"
"Orang yang paling dekat dan paling berjasa dalam hidup saya."
"Siapa?"
Suradi terdiam.
"Dia ayah saya."
Pembicaraan tiba-tiba membeku.
"Kamu pernah selingkuh, Pus?" Tanya Suradi.
"Mau tambah kopinya?" Puspa membelokkan arah pembicaraan. "Bi, tolong kopinya tambah lagi. Sekalian dua." Katanya. "Pernah." Puspa berkata pelan. "Setelah dia lebih dahulu terciduk di suatu losmen."
"Ow. Bales dendam rupanya."
"Begitulah. Akhirnya kami pisah baik-baik."
"Bagaimana nasib dia? Selingkuhanmu itu?"
"Tidak lama, mungkin cuma seminggu dua minggu. Dia lebih buruk dari yang aku duga."
"Mau dapet apel malah tomat." Suradi tersenyum.
"Kamu sendiri?"
"Apanya?" Tanya Suradi.
"Selingkuhanmu?"
"Saya menikahinya."
"Kamu mencintainya?"
"Sangat."
"Terus?"
"Oh... saya ingin sekali melupakannya. Tapi sulit... Dia meninggal."
"Innalilahi... kenapa?"
"Kecelakaan lalu lintas. Sopir truk itu sedang teler ketika menabrak toko kelontongnya. Dia meninggal seketika bersama 2 orang pembeli." Suara Suradi benar-benar terdengar gemetar.
"Istrimu tahu dia?"
"Saya berrencana memberi tahunya jika sudah melahirkan."
"Dia hamil?"
"Ya."
"Tragis sekali."
"Kayaknya pembicaraan ini terlalu jauh." Kata Suradi.
"Ya, terlalu jauh. Tapi cangkir ke dua sudah datang." Kata Puspa sambil menyambut baki yang disodorkan pembantunya. "Makasih ya bi."
"Sama-sama neng."
Puspa menyesap kopinya. Dia mengambil kemasan rokok dari tas tangannya.
"Ini jatah terakhir untuk malam ini." Katanya sambil menyalakan sigaretnya. "Maksimal 6 batang sehari... saya merasa bodoh sekali... kita berbincang seperti sahabat yang sudah lama tidak berjumpa."
"Ya, aneh sekali. Entah bagaimana menjelaskannya. Kita seperti dekat, tapi jauh. Kita asing satu sama lain, tapi kita merasa dekat. Yang lebih aneh... ciumanmu tadi, sangat aneh."
"Sori, Kang. Aku keceplosan. Cuma di pipi koq." Kata Puspa, seperti tak acuh.
"Tidak, bukan itu. Saya merasakan hal yang sama."
"Hal yang sama, apa maksudnya?"
"Kesepian. Kita merasa kesepian." Kata Suradi. Dia menyesap kopinya dan menyalakan kreteknya. "Ini batang terakhir." Katanya. "Maksimal 1 bungkus sehari."
Puspa tertawa kering. Dia menakr-nakar perasaan lelaki itu.
"Mungkin jika di bibir akan terasa lebih aneh lagi." Kata Puspa.
"Tidak. Kau tidak mungkin menghentikannya." Kata Suradi.
"Aku tahu batas." Kata Puspa.
"Saya tidak berani membuktikannya."
Tiba-tiba saja Puspa menatap Suradi dengan tatapan menyelidik.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku bukanlah seorang biduan pujaan tua muda. Aku cuma perempuan biasa."
"Karena itu kau takkan bisa menghentikannya." Kata Suradi.
"Aku bisa."
"Tidak. Saya tidak ingin membuktikannya."
"Kamu takut?"
"Ya. Saya takut."
"Istrimu?"
"Bukan."
"Dirmu sendiri? Rasa bersalah?"
"Bukan."
Puspa terdiam sejenak.
"Kamu takut siapa? Aku janda. Tidak akan ada orang yang menuntutmu."
"Bukan juga." Kata Suradi sambil menyesap kopinya sampai habis. Mengisap kreteknya dan membunuh puntungnya di asbak. "Sebaiknya saya permisi pulang." Kata Suradi dengan nada bergetar.
Apakah ini Id pengganti Suhu @Sumandono ? Lanjutannya tambah bikin penasaran nih17
Ke luar dari kompleks Resort Dago Pakar, di mana kantor Bu Linda berada, Desti merasa terhuyung-huyung. Ketika menaiki motor tiger 2000nya, matanya berkunang-kunang. Dia cepat berhenti di terminal Dago dan menitipkan motornya di tukang rokok yang mangkal di situ. Dia mencari mushola dan tidur di emperannya. Dia terbangun ketika hari sudah larut sore.
"Hm." Dia menggumam. "Kelihatannya Bu Linda akan mengalami kesulitan."
Desti yakin, Valium iu dicampurkan ke dalam kopi pahitnya.
18
Winardi memasuki ruang kerja istrinya. Dia mengambil HP yang berada di dalam pelukan Melinda dan mematikannya. Menutup Laptop yang terbuka dan membereskan berkas-berkas dengan rapi. Dia kemudian membuka kancing dan risluting celana Melinda, menariknya sekaligus dengan celana dalamnya dan melemparkannya ke pojokan. Dia bergidik melihat gundukan berjembut tipis yang hitam itu dengan belahan pink di tengah-tengahnya.
Winardi melepaskan pantalonnya dan melemparkannya ke sudut lain di ruangan kerja itu. Dia kemudian meludahi tangannya dan menongolkan kontolnya yang kecil di depan memek Melinda. Dia melakukan onani sambil membuang muka dan akhirnya pejunya muncrat di sekitar liang memek Melinda yang rapat.
Winardi memperbaiki celana dalamnya dan pura-pura tidur di samping Melinda.
Beberapa lama kemudian, Papa Handono membuka pintu ruang kerja Melinda dan berdiri di ambangnya. Dia melihat sekilas dua insan itu sudah letih bercinta sampai tertidur sedemikian rupa. Pandangan matanya menyapu sekitar ruangan sebentar. Dia menarik nafas panjang.
Papa Handono mengangguk-angguk dan kemudian menutupkan kembali pintu itu.
Begitu ayahnya pergi, Winardi langsung bangun. Mengenakan celananya sendiri dan memakaikan celana dalam dan celana panjang Melinda sambil tersenyum penuh dengan kemenangan.
Valium yang dimasukkan ke dalam kopi oleh Bu Nar telah bekerja dengan baik.
"Tidak akan lama lagi, kalian akan kembali kerja di Jakarta." Katanya kepada Pak Gito dan Bu Sunarsih sebelum meninggalkan rumah mewah itu bersama pacarnya yang gagah dan tampan.
19
Melinda Liem terbangun ketika sore sudah larut. Dia berdiri dan melepaskan celana panjang dan celana dalamnya. Dia mengambil tissue dan membersihkan cairan yang mengering di sekitar memeknya. Membalikkan celana dalamnya dan mengenakannya kembali.
"Dia bodoh." Pikir Melinda sambil mengenakan celana panjangnya.
Dia kemudian berjongkok di depan filling kabinet dan membuka laci paling bawah. Dia menyembunyikan Laptop itu di situ dan melihat sekilas rekaman CCTV yang terjadi sekitar jam 9 pagi. Melinda mengangguk-anguk.
Dia kemudian mencopoti kabel power dan kabel yang tersambung ke kamera di colokan laptop. Mematikan Laptop dan melipat kabel power dengan rapi. Setelah itu barulah dia pelahan-lahan melepaskan kabel kamera dan mencabut kamera CCTV dengan menaiki lemari filling. Menggulungnya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam tas laptop.
Malam sudah jatuh ketika Melinda ke luar melalui jendela dan mengendap-endap ke kamarnya tanpa menyalakan lampu. Menyimpan tas laptop itu ke dalam tas koper bajunya. Melinda kemudian kembali lagi ke kamar kerjanya melalui jendela. Setelah mengacak-acak rambutnya sendiri, dia menyalakan lampu ruang kerjanya dan menemukan Pak Gito membuka pintu.
"Ibu tidur lama sekali." Katanya.
"I ya, Pak. Mungkin karena saya terlalu lelah." Jawab Melinda.
20
Melinda menyalakan HPnya dan menelpon Suradi.
"Halo, Bu. Bagaimana? Kapan?" Suara di seberang sana terdengar menuntut.
"Saya ingin membicarakannya secara langsung." Kata Melinda. "Bagaimana kalau malam ini, jam delapan. Di kafe Dago Tea House?"
"Saya... saya... ini lagi ada urusan. Mungkin selesai sekitar jam 9-an. Paling banter saya bisa tiba di kafe sekitar jam 11-an. Cimahi - Dago lumayan juga jaraknya."
"Tapi 2 jam rasanya kelamaan... Pak."
"Saya... saya kebetulan sedang nge-packing barang-barang."
"Masih sibuk rupanya." Kata Melinda.
"Tidak juga. Bagaimana, Bu? Boleh kan jam 11-an?"
"Baik. Saya tunggu."
21
Selesai menelpon Suradi, Melinda berencana menelpon Desti. Tapi justru gadis tomboy itu yang lebih dahulu menelponnya.
"Baru bangun ya, Bu?"
"I ya, koq tahu?"
"Hm." Dia mendengus. "Ibu merasa ada sesuatu yang janggal enggak?" Tanyanya.
Melinda tidak menjawab.
"Kamu bisa ke sini enggak, Des?" Kata Melinda. "Kalau bisa kamu jangan naik motor, nyarter taxi konvensional saja. Jangan taxi online."
"Rupanya ibu juga tahu ya?"
"Ya. Kamu nanti berhenti di luar pagar, masuk ke ruang kerja lewat jendela. Kamu bisa meloncati pagar halaman kan?"
"Keciiil."
"Kira-kira bisa datang jam berapa?"
"Saya tidak jauh, bu. Apa tidak bisa pake motor saja?"
"Saya bawa koper yang besar."
"Saya ke sana aja dulu, ya, bu. Tunggu lima menit."
22
Desti menerobos lewat jendela ketika Melinda melipat Laptop di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas.
"Bisa bawakan tas laptop saya dan koper baju saya ke Kafe Dago Tea House enggak, Des?"
"Bisa bu. Ibu punya gesper kulit?"
"Ada. Di kamar."
"Ibu bawa koper memang mau ke mana?"
"Kemungkinan pulang ke Jakarta, Des."
"Terus ke Dago Tea House?"
"Saya mau ketemu Suradi."
"Oh." Wajah Desti terlihat seperti kecewa. Melinda pura-pura tidak tahu.
"Saya sudah pesan meja nomor 11 jam 11. Kamu tunggu di depan pintu gerbang sampai aku datang."
"Ongkosnya 1 juta, Bu."
Melinda sejenak menatap Desti.
"Baiklah." Kata Melinda sambil mengambil uang cash 1 juta dari tas tangannya.
Melalui jendela mereka ke luar dari ruang kerja Melinda. Setelah mengambil koper baju dari kamar tidur, Desti melintasi halaman samping. Menyimpan koper baju itu di luar pagar dekat motor tiger 2000nya.
Melinda melihatnya melalui jendela.
Desti pertama-tama mengikat koper itu ke dadanya menggunakan gesper kulit. Setelah itu baru dia menyarungkan tali tas laptop dan menyimpannya di depan, di atas tanki bensin.
Kemudian dia pergi.
23
Sambil menelpon Mami, Melinda mengumpulkan berkas-berkas penting ke dalam tas tangan kerja. Sementara tas tangan yang biasa dia bawa-bawa, dia penuhi dengan sisa uang cash yang ada di brankas.
"Mi, naik taksi biasa aja. Jangan taksi online. Pergi ke Terminal Kampung Rambutan naik Bis Ke Leuwi Panjang. Dari Leuwi Panjang Mami naik angkot ke Hotel Singgah, Lin Lin udah pesenin kamar."
"Sebetulnya ada apa sih, Lin? Koq rasanya repot amat."
"Mi, ada masalah tingkat tinggi. Pokoknya Mami sekarang juga berangkat."
"I ya i ya." Kata Mami. "Mami juga tahu kamu bermasalah dengan si Win. Nyesel Mami nyuruh-nyuruh kamu kawin sama dia."
"Sudah, Mi. Semuanya sudah terlambat."