Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisahku, yang....!!!!

Siapakah yang akan menjadi pendamping hidup Ivan..?

  • Risya

    Votes: 243 68,3%
  • Alya

    Votes: 75 21,1%
  • Dinni

    Votes: 73 20,5%
  • Nadira

    Votes: 49 13,8%
  • Karakter baru

    Votes: 61 17,1%

  • Total voters
    356
  • Poll closed .
UJIAN UNTUK CINTA SEJATI





1 hari sebelumnya...


Terlihat beberapa orang dengan pakaian kaos dan dilapisi jaket turun dari dua buah mobil. Empat orang turun dari mobil Jeep berwarna hitam dan lima orang turun dari mobil Kijang Kapsul. Mereka yang ternyata berjumlah 9 orang itu kemudian berjalan memasuki sebuah rumah sakit terbesar di kota ini. Mereka semua datang ke rumah sakit itu karena dipanggil oleh bosnya untuk diberikan sebuah pekerjaan.

Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah kamar VIP, yang mana di dalam nya terbaring seorang pria berumur 22 tahun dengan kondisi yang sangat parah. Padahal dia sudah dirawat selama lima hari di sini dengan ditangani oleh dokter-dokter terbaik. Dengan banyaknya luka robek di bawah kedua matanya, hidungnya yang patah sebenarnya bukan menjadi masalah bagi sebuah rumah sakit yang kinerja dari tenaga medisnya tak perlu diragukan lagi. Tapi, yang menjadi kendala adalah rusaknya dua jaringan penting pada alat kelamin pria tersebut, sehingga besar kemungkinan penisnya sulit untuk ereksi jika dua jaringan itu belum diperbaiki.



"Luka di bawah matanya yang sudah kita jahit beberapa hari yang lalu, mungkin dalam beberapa hari ke depan akan membaik. Dan hidungnya mas Bram juga masih dalam tahap penyembuhan setelah di operasi.." ucap seorang dokter bernama Fadly dan sudah menjadi dokter pribadi bagi keluarga Bambang Sutedja. Dokter itu baru saja memeriksakan kondisi anaknya Bambang.

"Terus apa yang menjadi kendalanya, dok..?" tanya Bambang menatap wajah anaknya yang masih belum siuman setelah dihajar habis-habisan oleh seorang pemuda. Dan dia masih belum mendapatkan siapa pemuda yang telah membuat anaknya jadi sampai seperti ini. Dokter itu pun berjalan mendekati Bambang yang berada di sisi ranjang satunya lagi.

"Masalah utamanya terletak di penisnya.." bisik dokter itu pada Bambang agar tak didengar oleh beberapa orang yang sedang berada di dalam kamar itu.

"Dua jaringan penting pada penisnya, yaitu Korpora Kavernosa dan Korpus Spongiosum sudah putus. Kedua jaringan itu adalah jaringan ereksi yang bisa mengembang sepanjang batang penis yang diisi dengan darah saat ereksi.." bisik dokter Fadly menjelaskan.

"Jadi, penisnya tidak dapat ereksi karena jaringan yang putus itu..?"

"Iya.." jawab dokter itu singkat.

"Tidak adakah caranya agar anakku segera pulih, dok..?" tanya Bambang datar setelah menatap wajah dokter Fadly.

"Ada. Tapi...."

"Lakukanlah.." kata Bambang pelan namun penuh dengan penekanan.

"Aku ingin anakku dirawat dengan penanganan maksimal dan lakukan yang terbaik untuknya.."

"Aku ingin anakku segera pulih.."

"Baiklah. Kalau begitu saya permisi pak.." pamit dokter Fadly.

"Silahkan.."




Setelah dokter Fadly keluar dari kamar yang di tempati Bram, Bambang lalu duduk di kursi sebelah ranjang anaknya itu sambil menatap wajah anaknya dengan tatapan yang kosong. Dia hanya diam dan tak dapat memikirkan apa yang akan dilakukannya saat ini. Namun, kemudian wajahnya berubah lagi dengan menunjukkan kesedihan yang mendalam. Tapi kedua tangannya yang berada di atas ranjang terkepal, seakan amarahnya terkumpul seluruhnya di kepalan tangannya yang besar itu.

Sedangkan beberapa orang yang berada di dalam kamar itu, hanya bisa tertunduk setelah melihat bosnya itu mengepalkan tangannya. Mereka semua tahu kalau bosnya jika sudah mengepalkan tangan seperti itu, berarti dia sedang memendam amarah yang ingin cepat-cepat dituntaskannya.


"Joe, bagaimana..? Apakah sudah ada kabar terbaru..?" tanya Bambang dengan mengeratkan giginya menahan emosi sambil tetap menatap wajah anaknya, berharap agar anaknya cepat sadar.

"Belum tuan, saya masih belum mendapatkan kabar tentang bocah itu. Padahal saya sudah mencarinya di segala penjuru kota ini bersama dengan beberapa anggota kita, tapi hasilnya tetap nihil.." jawab Joe menjelaskan hasil kinerjanya dan kemudian hanya bisa menunduk.

"Kamu adalah salah satu anggota terbaikku dalam mendapatkan informasi penting. Dan sebelumnya, kamu belum pernah gagal seperti ini dalam mendapatkan sebuah informasi.." kata Bambang lalu berdiri dan berjalan mendekati anak buahnya.

"Ma.. maaf tuan, saya mohon maaf. Tapi sepertinya bocah yang kita incar ini, bukanlah bocah sembarangan. Tampilan depannya saja dia seperti pemuda cupu, tapi dia sebenarnya petarung tangguh yang kuat....." kata Joe mencoba menceritakan tentang pemuda itu disaat mereka bertarung. Tapi belum selesai dia mengatakan semuanya, sudah dipotong oleh Bambang.

"Dani, aku ingin kau dan keempat anggotamu membantu Joe mencari pemuda itu secepatnya.." ucap Bambang tegas setelah menoleh ke arah seorang pria bernama Dani yang memiliki tato di lehernya.

"Lalu bagaimana dengan tugas kami untuk mencari cucu dari keluarga Ararya, Bos...?" tanya Dani.

"Jadi apa yang kau dapatkan setelah aku memberikan misi Level S itu padamu selama empat tahun belakangan..?" tanya Bambang menatap tajam ke arahnya. Dani pun hanya bisa terdiam dan menunduk, karena memang selama empat tahun ini dia belum mendapatkan dimana keberadaan cucu dari seorang pengusaha sukses di kota ini. Yang tak lain adalah Reyvan Ararya, yang saat ini menjadi pemilik seluruh aset kekayaan almarhum Syarief Ararya.

"Sementara ini lupakan dulu tentang cucu dari si tua bangka itu. Aku memberikanmu tugas Level S baru, yaitu menemukan pemuda yang menghajar anakku.." ucapku Bambang dengan kedua tangannya yang terkepal di sebelah pahanya.

"Baik Bos..." kata Dani singkat dan sedikit menunjukkan semangatnya akan tugas baru yang didapatkan.

"Maaf tuan, tapi misi yang sedang kita hadapi ini sepertinya berkaitan dengan misi Level S yang dikerjakan Dani.." sahut Joe disela percakapan Bambang dan Dani.

"Apa maksudmu, Joe..?" tanya Bambang, dia dan Dani pun menoleh secara bersamaan ke arah Joe.

"Musuh lama kita yang telah lama menghilang, sekarang sudah muncul lagi, dan dia yang datang membantu bocah itu waktu menyelamatkan si Risya, tuan.." jawab Joe berusaha menyembunyikan senyuman tipis di sudut bibirnya, karena sedikit mendapatkan titik terang dalam misi yang sedang mereka kerjakan.

"Ngomonglah langsung, jangan buat aku menunggunya terlalu lama. Siapa maksudmu..?" tanya Bambang kesal.

"Orang kepercayaannya Syarief Ararya, yang selalu menggagalkan rencana-rencana besar kita untuk menjatuhkan perusahaan keluarganya. Dia adalah Kevin Sanjaya.." jawab Joe diakhiri dengan menyebut nama seseorang yang paling tak disukainya. Namun yang heran, dia malah baru menyadari bahwa yang bertarung dengannya tempo hari adalah orang yang selalu menggagalkan misi-misi besarnya.

"APAAAA...!!" kata Bambang terkejut.

"Ada hubungan apa dia dengan pemuda yang menghajar Bram..?" tanya Bambang, kemudian tangan kanannya diangkat menuju ke mulutnya. Dia seperti memikirkan sesuatu.

"Kurang ajar... Ada maksud apa sebenarnya dia membantu bocah itu menyelamatkan Risya..? Setahuku, dia tak pernah ditugaskan oleh si tua bangka itu untuk menjaga Risya. Tapi dia selama ini ditugaskan untuk terus menjaga cucu kesayangannya agar jangan sampai keberadaan cucunya itu ketahuan olehku dan anggota-anggotaku.." analisa Bambang.

"Hemmm... Ini semakin menarik saja, dan kenapa pula pikiranku hanya tertuju pada bocah yang menyelamatkan Risya..? Seakan instingku mengatakan bahwa bocah itulah cucu kesayangannya si Syarief sialan itu, karena dia pasti menyelamatkan kakaknya yang aku tahu dari Joe bahwa Bram akan memperkosanya. Sepertinya gak salah lagi, bocah itulah orang yang selama empat tahun ini aku cari-cari.." kata Bambang dalam hati.

"Jika memang benar bocah itu adalah cucu dari Syarief Ararya yang terhormat, maka aku tidak akan bersusah payah mengeluarkan banyak tenaga mencarinya sampai ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri sekali pun tanpa perlindungan kakeknya yang telah tiada itu. Dia pasti akan terus di sini, karena dia yang akan memimpin perusahaan utama (Induk) keluarganya di kota ini.."

"
Sekian lama aku menunggu, kali ini aku harus dapat membunuhnya, dengan begitu perusahaannya akan oleng tanpa seorang pemimpin. Nah, setelah itu aku akan mengobrak-abrik perusahaannya dari dalam melalui karyawannya yang telah aku suap.."
kata Bambang dalam hati sambil menyeringai.



"Benar bos, pasti ini ada kaitannya antara bocah yang menyelamatkan Risya dengan Kevin yang notabene orang kepercayaannya Pak Syarief.." sahut Dani memberikan pendapatnya.

"Tok... Tok... Tok..." suara ketukan pintu dan masuklah seorang pemuda yang mirip dengan Bram, namun dia lebih muda beberapa tahun darinya. Dia lalu berjalan, tapi sedikit mengerutkan dahinya ketika melihat anak buah dari papahnya di kamar kakak lelakinya.

"Pah, gimana keadaan mas Bram..?" tanya pemuda itu ketika sudah berada di sisi sebelah ranjang Bram sambil menatap wajah kakak lelaki yang menjadi saudaranya.

"Belum ada perubahannya.." jawab Bambang pada anak bungsunya, kemudian melirik ke arah pintu berharap istrinya tak datang.

"Kenapa kamu ke sini..? Dan kenapa kamu meninggalkan mamah sendirian di rumah..?" tanya Bambang.

"Siapa yang ninggalin mamah di rumah, pah..? Radit ke sini bareng mamah kok.." ucap anak bungsunya itu lagi.

"Mamah lagi ke kantin beliin makanan buat kita.." sambungnya lagi.

"Huuuffff.. susah bener mamah kamu dibilanginnya.." kata Bambang.

"Oh ya buat kalian semua...!! Cari pemuda itu melalui orang yang bernama Risya, karena dia mungkin tak jauh-jauh dari wanita itu.." kata Bambang memberikan perintah pada anak buahnya.

"Siaaappppp...!!!" ucap semua anak buah Bambang dengan serentak. Dan mereka pun satu per satu keluar dari kamar itu.


"Papah sedang mencari siapa sih..?" tanya Radit penasaran dan menatap wajah papahnya dengan pandangan menyelidik.

"Bukan siapa-siapa kok, hanya untuk keperluan bisnis papah aja.." jawab Bambang yang tidak ingin memberitahukan pada anaknya perihal orang yang dia cari. Karena dia tidak pernah melibatkan anak dan istrinya untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.

"Ohh..." kata Radit singkat sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian dia menoleh ke arah pintu, seorang wanita paruh baya masuk sambil menenteng plastik kantong kresek berwarna hitam, dan wanita itu adalah ibunya sendiri.

Di wajah wanita itu tampak kekhawatiran yang coba terus disembunyikannya dalam beberapa hari belakangan. Namun, dia sama sekali tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya itu dari suaminya. Karena suaminya pasti akan sangat mengetahui jika keadaan anaknya seperti ini, pasti sang istrilah yang akan terus-menerus memikirkan kondisi anaknya.

Padahal pagi hari tadi Bambang telah menyuruhnya untuk istirahat di rumah, mengingat sudah lima hari ini istrinya terus-terusan menemani Bram hingga membuatnya kurang tidur. Karena siang malam menjaga anaknya yang masih belum siuman itu. Namun belum juga satu jam istrinya berada di rumah, dia malah balik lagi sampai membuat Bambang hanya bisa menggelengkan kepala.

"Pah, ini makan dulu. Tadi mamah ada beliin nasi buat sarapan kita.." kata istrinya sambil memberikan kantong kresek berisi makanan pada Bambang.

"Papah gak tahu lagi mau bilang apa sama mamah.." kata Bambang lalu sedikit menundukkan wajahnya.

"Kalian makan aja duluan, papah mau istirahat dulu.." kata Bambang lagi sambil berjalan ke arah sofa panjang yang terletak di sudut kamar.



*~*~*~*



Di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari sekolah terfavorit di kota ini. Jika dilihat dari luar, kafe itu memang tampak sepi tak seperti biasanya yang ramai akan pengunjung, baik dari siswa-siswi yang sekolah di dekat kafe itu maupun dari mahasiswa yang sekedar nongkrong menghabiskan waktunya hingga menjelang malam hari.

Nyatanya, beberapa saat yang lalu kafe itu memang ramai akan pengunjung. Tapi tak lama kemudian para pengunjung lari berhamburan keluar dari kafe setelah salah seorang dari beberapa preman yang datang terlibat perkelahian dengan seorang dari ketiga pemuda yang sedang duduk-duduk santai menghabiskan waktu liburnya.

Para preman itu datang ke kafe tersebut setelah mendapat kabar, bahwa sahabat dari orang yang mereka cari sering nongkrong di tempat itu. Bukannya mendapatkan jawaban seperti yang diharapkan para preman itu, melainkan malah makian yang diberikan oleh ketiga pemuda itu. Karena ketiga pemuda itu menolak memberitahukan keberadaan orang yang berada di dalam selembar foto yang diberikan oleh preman yang memiliki tato di lehernya. Pria yang berada di dalam foto tersebut adalah Reyvan Ararya.

Karena tidak mendapatkan jawaban akan keberadaan orang yang dicarinya. Dani, sang preman yang memiliki tato di lehernya pun naik pitam dan menghajar Dino yang terkenal akan makian yang sering keluar dari mulutnya. Dani terus menghajarnya hingga Dino pun tak sadarkan diri.

Melihat Dino dihajar, kedua temannya Adrian dan Lucky bermaksud ingin menolong. Namun, belum sempat mereka berdua mendekati Dani yang terus-menerus menghajar Dino secara membabi buta, Adrian dan Lucky malah dikeroyok oleh teman Dani yang berjumlah 8 orang.

Apa daya karena kalah jumlah, mereka bertiga tidak mampu untuk melawan Dani cs yang jumlahnya lebih banyak. Karena beberapa anggota Dani yang masih berada di parkiran kafe malah ikutan masuk dan ikut menghajar Adrian dan Lucky.



*~*~*~*



POV Risya


Risya Zhahira Ararya
90087877_255660645462783_8262343310719798573_n.jpg

427203e4-5cf7-4d43-ba71-0f8c75357ce2


Setelah Ivan menutup komunikasinya dengan mas Kevin melalui saluran telepon, aku menjadi semakin penasaran apa yang dibicarakan Ivan dengan mas Kevin barusan. Awalnya tadi aku hanya menatap wajahnya yang terlihat santai-santai saja saat masih menelpon dan memberitahukan keberadaannya saat ini pada mas Kevin. Namun tak lama kemudian ekspresinya berubah menjadi serius dan sedikit tegang, aku pun mendengar dia menanyakan kabar mereka. Tapi, mereka siapa yang dimaksud oleh Ivan..?

Begitu Ivan meletakkan hp nya di atas meja tepat sebelah ranjang. Aku masih terus memperhatikannya, kulit wajahnya yang putih berubah menjadi sedikit memerah, aku juga dapat mendengar dia mengeratkan giginya dan tubuhnya sedikit bergetar seperti menahan emosi yang seperti akan meledak. Ya aku sangat hapal sekali jika sudah melihat Ivan seperti ini, dia pasti emosi karena sesuatu hal. Tapi karena apa..?

Ivan termenung akan lamunannya sendiri. Akupun perlahan sedikit menggeserkan posisi dudukku untuk mendekatinya, kedua tanganku kemudian menyentuh kedua sisi pipinya hingga dia pun terkejut dan langsung menatap mataku. Aku berusaha untuk tetap tenang saat Ivan menatap ke arah mataku, karena aku paling tidak bisa melihatnya jika dia sudah menatap mataku seperti itu bahkan sejak kami berdua resmi berpacaran. Dan aku juga sebenarnya mulai curiga kalau dia sudah mengetahui bahwa hal itu adalah kelemahanku. Sampai-sampai dia menggunakan cara itu jika keinginannya tidak bisa untuk aku penuhi. Namun, aku sama sekali tak mempermasalahkannya. Bahkan apapun keinginannya itu, jika aku masih mampu untuk memenuhinya pasti akan aku penuhi.

"Karena aku mencintaimu, Reyvan Ararya.."

"
Apapun keinginanmu akan aku penuhi, termasuk yang aneh-aneh sekalipun.."

"Karena aku sayang kamu..."
batinku.




"Auuuwwww.. sakittt..!!" teriakku dan kaget saat kedua pipiku dicubit.

"Haahh... Akhirnya kamu sadar juga, Bee.." kata Ivan, dan wajahku pun sedikit bergerak ke kiri dan ke kanan karena dia masih mencubit kedua pipiku, tapi cubitannya tidak sekeras yang tadi.

"Jadi kaget tau tiba-tiba sayang cubit pipinya Risya. Gak bisa apa dipanggil aja tanpa harus dicubit.." ucapku yang tanpa sadar malah memanyunkan bibirku. Melihat ekspresi wajahku, Ivan malah mendekat ke wajahku. Namun aku cepat mengetahui apa yang akan dilakukan Ivan dan menutup mulutku dengan tangan kanan.

"Cuuup..."

Ciuman Ivan pun hanya mengenai punggung tangan kananku. Dia kemudian memundurkan kepalanya dan menatapku dengan tatapan yang selalu dapat meluluhkan hatiku. Aku bisa melihat ada sedikit rasa kecewa dari rauh wajahnya, tapi dia seolah menyembunyikannya dariku dengan memberikan sebuah senyuman.

"Van... jangan tinggalin aku ya..? Aku sayang banget sama kamu, apapun akan aku lakukan demi kamu. Aku janji, apapun akan aku lakukan asal kamu bisa terus bersamaku sayang.." batinku.

"eh..." ucapku terkejut karena Ivan tiba-tiba memelukku dengan sangat erat.

"Kamu kenapa sayang..?" tanyaku yang masih bingung.

"Gak apa-apa, Ivan cuma ingin meluk kamu aja kok.." kata Ivan sambil mengelus rambutku.

"Tumben.." ucapku singkat dan kedua tanganku pun dengan cepat melingkari tubuh Ivan. Aku memeluknya dengan erat hingga kedua payudaraku pun menekan kuat di dadanya. Tapi aku sama sekali tidak mempedulikan hai itu, aku hanya ingin tetap berada dalam pelukan laki-laki yang paling aku cintai ini.

"Gak boleh memangnya Ivan meluk sayang..?" tanya Ivan setelah melonggarkan pelukannya dan berusaha hendak memundurkan sedikit tubuhnya. Namun karena aku masih memeluknya, dia pun hanya diam saja.

"Kok ngomongnya gitu sih..? Ya boleh dong sayang kalau mau meluk Risya kapan pun itu. Lagian Risya juga gak akan larang kok.." ucapku yang memberikan kebebasan untuknya jika ingin memelukku. Ivan kemudian mendaratkan kepalanya di bahu kananku.

"Beneran sayang..? tanya Ivan berbisik di telingaku.

"Iya Ivan.." jawabku singkat.

Ivan lalu menegakkan kembali tubuhnya dan aku pun melepaskan pelukanku di tubuhnya. Aku menatapnya yang sedang tersenyum padaku, tapi senyumannya itu tidak dapat sama sekali aku memahaminya.

"Tapi... Masa hanya boleh meluk aja, Bee..?" tanya Ivan yang sedikit menggodaku.

"Hmmm... anu... i-itu..." aku pun jadi salah tingkah dengan pertanyaannya itu.

"Bo.. bo-boleh kok sa.. sayang.."

"Terserah kamu mau berbuat apapun pada tubuh ini, Risya gak akan larang. Selama apa yang Ivan lakukan tidak menyakiti hati Risya aja.." ucapku sambil menunduk, karena jika sudah seperti ini aku gak akan berani menatapnya.

"Hehe... Makasih ya, Bee...!!!"

"Gak salah kalau kamu aku pilih untuk kujadikan kekasihku.."

"Baik, cantik, perhatian, kamu yang paling khawatir kalau terjadi apa-apa sama Ivan dan yang paling penting, saat ini hanya kamu wanita yang paling Ivan cintai selain mama.." kata Ivan dan aku hanya mendengarnya dengan kepala yang masih menunduk. Aku sangat bahagia dengan apa yang diucapkan Ivan barusan. Hatiku seakan-akan jadi berbunga karena aku menjadi wanita yang dicintainya saat ini.

"Heeyyy sayang...!!!"

"Ivan ngomong daritadi, tapi kenapa kamunya malah menunduk gitu..? Lihat Ivanlah sayang kalau Ivan lagi ngomong.."

"Ma.. maaf sayang, Risya malu.." ucapku menaikkan kepala dan dengan mataku yang mulai berair ini aku berusaha untuk menatap wajahnya yang sedang tersenyum padaku.

"Nah, karena itu salah satunya kenapa Ivan bisa jatuh cinta sama kamu, Bee.."

"Pemalu dan manjanya kamu yang buat Ivan jadi jatuh hati padamu.." kata Ivan yang sedikit membuatku terkejut. Aku kemudian menundukkan kembali kepalaku, tapi Ivan dengan cepat menahan daguku. Aku hanya bisa menurunkan arah mataku ke bawah.

"Boleh Ivan minta satu hal padamu, Bee..?" tanya Ivan dengan suara yang lembut.

"A.. apa sayang..?" tanyaku sambil kembali menatapnya.

"Jangan pernah berubah ya..? Ivan mau sifat pemalu dan manja kamu itu harus tetap selalu ada pada dirimu, bisa..?"

"...." aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Cuuup..."

Ivan mengecup puncak keningku sesaat, kemudian beranjak turun dari ranjang dan berjalan menuju sudut kamar yang kami tempati.

"Kamu mau kemana sayang..?" tanyaku dan Ivan membalikkan badannya menghadapku.

"Ivan gak kemana-kemana kok. Kamu ganti baju aja dulu, terus duduk aja di sofa itu.." kata Ivan sambil menunjuk sofa panjang di dekat dinding kaca yang menampakkan pemandangan indah siang hari di puncak.

Aku juga beranjak turun dari ranjang dan mengikuti perintah dari Ivan untuk mengganti baju. Ada benarnya juga, sepertinya aku memang harus mengganti baju yang terlihat lebih santai aja.

Aku kemudian berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Namun aku sedikit kebingungan dengan baju apa yang akan aku kenakan.

"Aku harus pakai baju yang mana sih ini.." ucapku sangat pelan karena merasa bingung.

"Sayang.. Ivan kan sudah pernah bilang, kamu mau pakai baju apapun pasti akan tetap cantik kok.."

"Ivan jujur lho ini.." kata Ivan dan membuatku terkejut seketika.

Aku sedikit memundurkan tubuhku karena terhalang oleh pintu lemari yang terbuka. Dan aku melihat ke arah Ivan di sebelah kanan yang tengah sibuk membuat sesuatu di dapur mini di sudut kamar ini. Aku hanya bisa mengernyitkan dahiku karena melihat jarakku dengan posisi Ivan berdiri cukup jauh, tetapi dia mampu mendengar apa yang aku ucapkan tadi, bahkan dengan suaraku yang pelan.

"Ke.. kenapa Ivan bisa dengar ucapanku tadi..?" tanyaku dalam hati.

Sekarang aku malah jadi bertambah bingung, tapi aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Karena bukan itu hal yang harus aku pikirkan tentang Ivan saat ini.

Aku lalu mengambil sebuah dress santai yang panjangnya sedikit di atas lutut. Namun terdengar olehku dari tempat Ivan, sebuah mixer dinyalakan dan seperti mengocok sesuatu dalam gelas. Aku lalu menutup pintu lemari, tapi aku menoleh ke arah Ivan yang terlihat sibuk dan entah apa yang sedang dilakukannya. Kuurungkan niatku untuk mengganti baju di kamar mandi, dan kembali membuka pintu lemari hanya untuk menutupi tubuhku saja. Dengan posisi membelakangi lemari, aku cepat-cepat melepaskan baju dan celana yang sedang kupakai.

"Sudah mulai berani ya sekarang...!! Awas kamu ya Bee.." kata Ivan dan aku langsung merapatkan punggungku pada lemari yang berada di belakangku, kututupi tubuh bagian depanku dengan dress yang belum sempat kukenakan.

Tubuhku seketika bergetar, takut kalau Ivan melihatku yang hanya menggunakan bra dan celana dalam dengan warna yang sama. Aku sedikit memajukan kepalaku untuk mengintip Ivan, tapi dia masih dalam posisi membelakangiku dan terlihat sibuk dengan gelas yang dipegangnya. Aku kembali mengernyitkan dahi, dia dapat mengetahui apa yang aku lakukan tanpa melihatku secara langsung.

Dress yang kupegang tadi pun cepat-cepat kupakai. Setelah menutup pintu lemari, dengan perlahan-lahan aku berjalan menuju sofa dan duduk tepat di bagian tengah sofa tersebut. Tubuh ini sama sekali tidak dapat aku kontrol. Setelah apa yang diucapkan Ivan tadi saat aku mengganti baju, aku jadi sedikit takut dan tubuhku langsung bergetar.



"Nih sayang.." kata Ivan memberikan sebuah gelas padaku. Aku pun mengambil gelas itu dengan tangan kananku dan Ivan pun lalu duduk di sebelahku.

"Dalgona Coffe...?" tanyaku sambil menatap isi dari gelas yang kupegang.

"Iyaa... Kamu suka kan..?" tanya Ivan. Aku lalu menyeruputnya sedikit.

"He eeh.." aku menganggukkan kepala. Tanganku tiba-tiba kembali bergetar, gelas yang masih berada di tangan kananku, kini kupegang erat dengan kedua tangan.

Ivan memegang bahu kiriku dan menariknya hingga bahu kami pun bertemu. Ivan kemudian mengusap rambut belakangku, lalu sedikit menarik dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Maaf ya sayang, Ivan hanya bercanda kok tadi.."

"Kamu sih ganti baju bukannya di kamar mandi, malah di balik pintu lemari.."

"Iiihhhh Ivan... jangan diingetin lagi, Risya malu.." ucapku sedikit berontak dan memukul pahanya. Minuman yang kupegang dengan tangan kiri pun sedikit tumpah dan mengenai pahaku, tapi aku hanya membiarkannya aja.

"I-iyaa.. iyaa ampun sayang.." kata Ivan meraih tangan kananku yang memukul-mukul pahanya. Pergelangan tanganku dipegangnya erat, aku pun sedikit membelokkan pandanganku menatap Ivan yang pada saat itu juga sedang menatapku. Wajah kami sangat dekat sekali, hingga tak lama kemudian wajah Ivan semakin dekat.

"Cuuppp..."

"Muuuaaachhh..."

Ivan mencium bibirku dengan sangat lembut. Ciuman yang dilakukannya kali ini sangat berbeda dengan ciuman yang pernah dilakukannya padaku. Jika ciuman sebelumnya pada bibirku dibumbui dengan nafsu, namun ciuman yang barusan diberikan Ivan di bibirku tadi adalah ciuman tanda sebuah cinta. Ya, aku dapat merasakannya. Ciuman yang singkat, sangat lembut dan membuatku merasa nyaman.

"Maafin Ivan ya, Bee.." kata Ivan memelas.

"Iyaa sayang.." ucapku sambil menganggukkan kepalaku.


"Dapat mendengar apa yang aku katakan walau dengan suara yang sangat pelan. Dan kamu juga dapat mengetahui apa yang aku lakukan tanpa melihatku secara langsung...!!! Aku benar-benar tak percaya akan hal ini, rasanya ini semua sangat tidak masuk akal. Ternyata begitu banyak perubahan yang ada pada dirimu sama sekali belum kuketahui, Reyvan Ararya.." batinku dan aku langsung merasa senang.

"Ke.. kenapa Ivan bisa tahu kalau Risya lagi ganti baju..? Padahal sayang sama sekali gak ada lihat ke arah Risya tadi.."

"Sudah gak usah dibahas, Bee.." kata Ivan tersenyum dan memegang pipiku.

"Kenapa sayang..?" tanyaku lagi mendesaknya.

"Haahh.." kata Ivan menghela napas.

"Karena Ivan harus tahu apa yang sedang kamu lakukan.."

"Ta.. tapi kan gak harus tahu juga kalau Risya lagi ganti baju.."

"Cuma memastikan aja kok kalau istri Ivan itu dalam keadaan aman.." kata Ivan tenang dan santai sambil mengelus pipiku.

"Tapi.. kenapa kamu bisa sampai tahu kalau....." ucapku terhenti karena Ivan memotong pembicaraanku.

"Seorang suami itu harus memastikan kalau Istrinya itu baik-baik saja.." kata Ivan pelan dan tegas.

"Jadi kamu jangan sampai punya pikiran kalau Ivan itu punya maksud mau ngintipin kamu.." kata Ivan lagi sambil kedua telapak tangannya ditempelkan di kedua sisi pipiku.

"Iya.. Risya percaya kok sama sayang.." ucapku lalu tersenyum.

"Risya sangat bahagia jika sayang memegang kedua pipi Risya seperti ini. Tapi, jangan sampai tatap mata Risya lagi ya..? Beneran, Risya gak akan kuat jadinya kalau kamu tatapnya seperti kemarin-kemarin itu.." ucapku dalam hati.

"Ya sudah, sekarang kamu tidur aja. Ivan mau keluar sebentar.."

"Sayang mau kemana..?"

"Ke ruang keamanan.."

"Bu.. buat apa..?"

"Ada perlu sebentar.."

"Sayang..?"

"Haahh... cuma mau menghubungkan CCTV hotel ini ke hp Ivan, Bee.."

"Tapi sayang gak akan keluar dari hotelkan..?" tanyaku memastikan, aku takut kalau Ivan keluar dari hotel dan bertemu dengan ayahnya Bram lagi.

"Gak sayang... Ivan gak akan tinggalin kamu sendirian di sini.." kata Ivan lalu berdiri dan mengecup keningku.

"Ya sudah kalau begitu. Tapi kamu jangan lama-lama ya..?"

"Iyaa.." jawab Ivan singkat dan berjalan ke arah pintu kamar.



*~*~*~*



03.15 wib

Aku hanya duduk di sebuah sofa panjang sambil memandangi keindahan malam dengan dihiasi kerlap kerlip lampu di sepanjang kota ini. Kedua kaki kunaikkan pada ujung sofa dan aku memeluk kedua kakiku dengan sangat erat. Butiran air sudah banyak keluar dari sudut mataku dan jatuh entah kemana. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menangis dan mungkin sebentar lagi akan memasuki waktu ibadah subuh.

Kuambil hp Ivan yang berada di atas sofa tepat di sebelahku, bermaksud ingin melihat sudah jam berapa sekarang..? Jam model digital di layar depan hpnya menunjukkan pukul 03.20 pagi, tapi aku masih juga tak bisa tidur. Aku terus memikirkan bagaimana keselamatan Ivan nantinya, bahkan dari saat dia belum tidur pun aku sudah memikirkannya. Padahal kemarin setelah dia terima telpon dari mas Kevin, sebenarnya aku ingin menanyakan apa yang mereka bicarakan. Tapi entah kenapa aku malah jadi lupa setelah kejadian kemarin yang membuatku sangat malu.

Satu lagi yang terus mengganggu pikiranku. Dia dapat mendengar bahkan dengan frekuensi suara yang terbilang sangat rendah dan dia dapat melihat apa yang terjadi di belakangnya, padahal dia tak melihat secara langsung kejadian tersebut. Tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala, karena aku sama sekali tidak menemukan jawaban dari peristiwa kemarin.


"Van..."

"Dulu...."

"Kamu hanyalah pria cupu yang pergi ke sekolah menggunakan kacamata minus yang tergantung di atas hidungmu.."

"Dulu...."

"Aku yang selalu melindungimu, jika kamu bermasalah dengan temanmu saat kita masih satu sekolah.."

"Dulu...."

"Kamu sangat polos dan pendiem, bahkan kamu selalu menghabiskan waktumu di kamar sepulang dari sekolah.."

"Dulu...."

"Ketika aku menatapmu tajam, kamu pasti langsung menunduk.."

"
Tapi lihatlah sekarang...!! Aku bahkan tidak mampu lagi jika kita itu saling menatap dengan kontak mata secara langsung.."

"Kenapa...?"

"Apa karena aku itu mencintaimu..?"

"Kamu sudah berubah, Ivan.."


"Dan kamu berubah bukan hanya karena kamu cinta sama aku, pasti ada penyebab lain.."

"Di saat kamu kembali setelah pergi empat tahun yang lalu, kamu juga sudah kelihatan berubah saat itu.."

"Ya, aku tahu sekarang..!! Ini semua pasti karena kakek.."




Malam yang seakan begitu panjang kulalui. Aku hanya sibuk sendiri memikirkan orang yang kusayang. Tapi lihatlah dia, malah bisa tidur dengan nyenyaknya, seolah tidak akan terjadi apa-apa padanya. Padahal saat ini dia sedang diincar untuk dibunuh oleh orang yang menjadi pesaing bisnis keluarga kami.

"Huufffhhh..."

Tiba-tiba aku merasa kedua mataku begitu berat untuk aku buka. Aku sedikit memundurkan tubuhku hingga punggung dan kepalaku ini bersandar pada sandaran sofa. Kupejam mataku hingga tak lama kemudian menjadi gelap dan aku pun tertidur.



*~*~*~*



POV Ivan


Dengan mata yang masih tertutup, tanganku terus merabai kasur yang berada di sebelahku, tapi aku sama sekali tidak menemukan keberadaan kak Risya. Karena seingatku tadi malam dia memintaku untuk memeluknya, dia berada dalam pelukanku saat aku akan tertidur.

Aku kemudian duduk dan membuka mataku secara perlahan. Kepala yang masih agak pusing akibat baru bangun tidur, tetap berusaha kutahan agar tak kembali rebahan di kasur. Aku memalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan kekasihku. Dan aku melihat kak Risya lagi tidur di atas sofa tanpa adanya selimut yang menutupi tubuhnya, dia sedang memeluk kedua kakinya seperti orang yang merasa kedinginan. Tapi di tangan kanannya seperti sedang memegang hpku.

Aku pun turun dari ranjang dan berjalan menuju sofa. Aku menatap wajah kak Risya yang sedang tertidur, sesaat kemudian aku langsung terfokus pada kedua kelopak matanya yang sedikit membengkak.

"Apa yang kamu pikirkan hingga membuatmu tidur sampai larut malam atau bahkan menjelang pagi, hingga kamu pun malah tertidur di sofa ini tanpa ada selimut yang menutupi tubuhmu dengan cuaca yang dingin ini..?" tanyaku dalam hati ketika aku sudah duduk disebelahnya.

Aku mengangkat tubuh kak Risya dan memindahkannya ke ranjang. Hp yang masih ada di genggamannya pun kuambil dan meletakkannya di meja sebelah ranjang. Kutarik bad cover untuk menutupi kulit tubuhnya yang terasa dingin. Kecepunku pun mendarat di keningnya, tapi tubuh kak Risya langsung merespon kecupan dariku dengan menggeliatkan badannya dan memegang leher bagian belakangnya. Perlahan dia pun membuka matanya, aku tahu dia sebenarnya sangat berat untuk membuka matanya karena jam tidurnya masih kurang.


"Eh sayang, kamu udah bangun ya..?" tanya kak Risya berusaha untuk terus menahan kedua matanya agar tetap terbuka.

"Baru aja kok, Bee.."

"Ya sudah, kamu lanjutin lagi tidurnya. Lagian masih ngantuk juga kan kamunya.." ucapku mengusap-ngusap rambutnya.

"Gak... Risya mau buatin minum kamu dulu.." kata kak Risya bangun perlahan dan duduk.

"Aaauuwww..." kak Risya mengerang sambil memegang kepalanya dengan tangan kanan. Dia pasti merasa sakit di kepalanya karena kurang tidur tadi malam.

"Nah kan.. Sudah Ivan bilangin tidur aja tadi, masih ngeyel juga.."

"Tunggu sebentar Ivan ambil minyak angin dulu.."

Aku pun beranjak dari ranjang, berjalan menuju lemari untuk mengambil minyak angin yang ada di dalam tas kak Risya. Kemudian kembali lagi ke ranjang dan duduk bersandar di kepala ranjang bagian kanan, tepat di belakang kak Risya yang sedang memijat kepalanya.

"Sini tidur di paha Ivan, biar Ivan pijitin kepala sayang.."

"Sebentar sayang.."

Kak Risya merangkak ke ujung kepala ranjang bagian kiri mengambil ikat rambut, kemudian dia duduk dengan cara melipatkan kedua kakinya ke belakang sebagai tumpuan badan dan posisi duduknya menghadap ke kepala ranjang. Lalu dia mengikat rambutnya dengan kedua tangan. Tapi, mataku malah terfokus pada kedua payudara besarnya yang membusung ke depan dengan sangat indahnya. Cepat-cepat aku mengambil hp di meja sebelahku dan langsung mengambil gambar kak Risya dengan posenya yang sedang mengikat rambut itu.

Karena mengingat kak Risya yang lagi sakit, maka kuurungkan niatku untuk bermain dengan payudara besarnya itu. Aku kemudian menunduk dan tidak menatapnya lagi. Karena aku takut kalau kejadian seperti kemarin malah bisa terulang lagi, jika aku tak bisa menahan diriku walau hanya melihat posenya yang seperti itu.

"Cepetan.." ucapku menarik bahunya hingga kepalanya tepat mendarat di atas pahaku.

"Gak sabaran amat sih.." kata kak Risya kesal dan memanyunkan bibirnya. Aku lalu menatap bibir manyunnya, bukan bermaksud ingin menciumnya. Namun untuk memberi kode agar bibirnya jangan dimanyunkan lagi. Tapi dia hanya cuek saja dan menatap ke arah lain.

"Cuuppp..."

"Muuuaaacchhh..."

"Hemmmmm... Mmppppphh... hmmppff... Muuacchh..."

Tapi ciumanku pada bibirnya hanya berlangsung sesaat saja, karena kak Risya memegang pipiku dan sedikit mendorongnya. Kulihat butiran air yang bening keluar dari sudut matanya.

"Hiks.. Hikss.. Please Van.. Bukannya Risya gak mau, tapi kepala Risya lagi sakit banget.."

"Jadi Risya mohon, jangan sekarang ya.." kata kak Risya memelas dan secara bersamaan deraian air matanya masih terus mengalir.

"Ma.. maafin Ivan, Bee.." ucapku dengan bibir yang bergetar.

"Kenapa Ivan minta maaf..?"

"Ini salah Risya dan kamu itu gak salah kok. Mungkin karena waktunya aja yang gak tepat.." kata kak Risya sambil mengusap air mata di pipi kirinya, kemudian sedikit memijat keningnya.

"Tapi....."

"Sudahlah...!! Kalau memang sayang gak mau pijitin juga gak apa-apa, tapi tolong tinggalkan Risya sebentar, karena Risya mau istirahat dulu.." kata kak Risya sambil memejamkan kedua matanya dan dahinya berkerut mungkin karena menahan sakit di kepalanya.

"Kamu kenapa sayang..? Gak biasanya kamu bersikap kayak gini sama Ivan.." kataku dalam hati.


Hanya bisa diam dan aku tak menjawab lagi perkataannya. Lalu aku mengoleskan sedikit minyak angin di kening kak Risya, kemudian meratakannya ke seluruh bagian keningnya, pijatan pada keningnya kulakukan secara perlahan.

Aku melakukan pijatan di beberapa titik yang aku ketahui akan dapat membantu mengurangi rasa sakit kepalanya. Pijatan mulai kulakukan dari kedua titik tulang bajinya, kening dan jembatan hidung. Untuk bagian tulang baji dan jembatan hidung aku memijatnya sedikit lebih lama, karena di bagian itu terasa lebih nyaman saat dipijat. Sekilas aku melihat wajah kak Risya, matanya masih terpejam dan sekarang sudah kelihatan rileks.

"Setidaknya pijatanku dapat mengurangi rasa sakit di kepalanya.." ucapku dalam hati.

Sedikit kesulitan aku memijat kak Risya karena posisinya yang sedang berbaring. Aku lalu sedikit mengangkat kepalanya dengan tangan kiriku, pijatan kembali kulakukan pada sisi tulang belakang tepat pada dasar leher, kemudian naik sedikit di bagian tengah lehernya.

"Sayang, kamu tidurnya telungkup aja. Biar aku bisa pijatin punggung kamu.." ucapku pelan di dekat telinganya.

"Eh... ga.. gak usah sayang.."

"Kepala Risya udah agak mendingan kok.."

"Yang bener..? Kamu gak bohong kan..?"

"Be.. bener kok Van.."

"Ya sudah. Kamu tidur aja kalau gitu, biar siang nanti waktu kita pulang pusingnya sudah sembuh.." ucapku sambil mengusap-ngusap rambutnya.

"Iya. Ivan jangan pergi ya..? Temenin Risya tidur.."

"Iyaa Bee.." ucapku singkat. Kak Risya pun bangun dan rebahan di sebelahku, dia tiduran sambil membelakangiku.

"Sayang..?" panggil kak Risya, dia menoleh ke belakang menatapku.

"Iya.."

"Peluk.." kata kak Risya dengan manja.

"Haahh.. Iya iyaa.." ucapku sedikit malas tapi tetap menuruti permintaanya. Aku tiduran di sebelah kak Risya dan memeluknya dari belakang. Tangan kanan kumasukkan melalui celah antara tengkuknya dengan kasur, sedangkan tangan kiriku bergerak menangkup payudara kanan kak Risya dan sedikit meremas-remas payudaranya.

"Aaaaaahhhh... Oouuhhhh... Eeemmmhh...!!"

"Ivan..." suara kak Risya mulai agak berat saat memanggilku. Tangannya pun memegang punggung tanganku yang sedang meremas payudaranya.

"Sayang, sebentar aja bolehkan..?" bisikku di telinganya, tubuh kak Risya bergetar ketika aku berbisik di telinganya.

"Kepala Risya... Oouucchhhh... Eemmhhhh... masih sakit sayang.." kata kak Risya kemudian mendesah karena aku masih terus meremas payudaranya. Tangan kak Risya hanya memegang tanganku, bukannya menahan ataupun menyingkirkan tanganku dari bongkahan payudara kanannya yang masih aku remas.

"Bee.. siang nanti kita sudah pulang, jadi kita gak mungkin bebas melakukannya di rumah.." ucapku berusaha membujuknya.

"Please sayang, Risya mohon... Aaaaahhh.." kata kak Risya memelas dan aku pun menghentikan remasanku di payudaranya.

"Baiklah.." ucapku lemas.

"Maafin Risya ya.." kata kak Risya dengan suara yang getir.

"Iya Bee. Tapi tangan Ivan boleh tetap di sini kan..?" pintaku pada kak Risya agar tanganku tetap di payudaranya.

"Bo-boleh kok. Tapi...."

"Ya sudah kalau boleh, kamu tidur aja kalau gitu.."

Dan tak berapa lama kemudian aku mendengar dengkuran halus yang menandakan kak Risya sudah tertidur. Perlahan aku menarik tangan kananku, sedangkan tangan kiri masih berada di payudara kanannya. Aku kemudian menatap wajahnya yang tenang saat tidur, kembali aku meremas dengan pelan payudaranya yang kencang dan kenyal itu.

"Sssshhhhh... Heemmm..." desahnya dengan mata yang masih terpejam.

Wajahnya seketika berubah, mulutnya sedikit dibuka dan kemudian menggigit bibir bawahnya. Dadanya naik turun bersamaan dengan deru napasnya yang mulai memburu.

"Waduhh.. baru juga aku remas payudaranya, kak Risya udah kayak mau terangsang gitu. Ini kalau dia bangun bisa gawat, kalau gak nangis ya pasti bakal marah.." ucapku dalam hati.

Karena tak ingin sampai kak Risya terbangun, aku pun menghentikan aksi remasanku di payudara kenyalnya yang sangat kusukai itu. Dan deru napasnya perlahan-lahan terlihat mulai teratur kembali. Aku kemudian rebahan di sebelahnya dan ikutan tidur dengan kembali memeluk tubuh kekasih yang sangat kucintai ini.



*~*~*~*



Dan kak Risya juga sedang sibuk mengobrol dengan Putri dan Hana di meja resepsionis. Entah apa yang mereka bicarakan hingga kak Risya kelihatan sangat senang sekali, senyuman kebahagiaan tampak terukir di wajahnya yang cantik itu. Namun aku sama sekali tidak ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan, karena yang terpenting bagiku akan terus selalu membuatnya bahagia.

Saat ini aku sedang berada di lobby hotel, karena baru saja sedikit membicarakan kapan aku dan mbak Dina akan bertemu di kota tempatku tinggal, untuk membahas rencana pembangunan hotel cabang di kota kembang. Aku sengaja meminta mbak Dina untuk bertemu di tempatku saja, karena mengingat minggu depan itu aku akan menghadapi ujian kenaikan kelas, jadi tidak mungkin aku harus bolak-balik lagi ke puncak. Dan syukurnya mbak Dina setuju dengan permintaanku.

"Pokoknya kalau mbak sudah sampai, langsung hubungi Ivan ya..? Biar Ivan bisa jemput mbak dan tinggal di rumah Ivan aja.." ucapku menawarkan diri akan menjemputnya jika sudah tiba.

"Tidak perlu pak, saya bisa suruh adik saya saja nanti untuk jemput kalau sudah sampai dan saya rencananya mau tinggal di kontrakannya saja.."

"Maaf pak Ivan, saya gak mau ngerepotin bapak.." kata mbak Dina menolak halus tawaran dariku.

"Lho, mbak Dina punya adik yang tinggal di sana..?"

"Iya pak. Dia guru di sebuah SMA favorit di sana.." kata mbak Dina menjelaskan, dan entah kenapa aku malah mengingat seseorang yang nama belakangnya sama dengan nama belakang mbak Dina.

"Kenapa perasaanku jadi mengarah pada bu Yola ya..?" tanyaku dalam hati.

"Maaf mbak, kalau boleh tahu nama adiknya mbak siapa ya..?" tanyaku makin penasaran dan aku menatap mbak Dina menunggu jawaban darinya.

"Yola Nafisha, pak.."


"Busyett... sudah kuduga dari awal, bahwa cewek galak itu adiknya mbak Dina.." batinku.

"Tuh kan bener.." ucapku tanpa sadar.

"Maksud pak Ivan..?" tanya mbak Dina bingung.

"Eh.. ng.. gak apa-apa kok mbak.." ucapku malah jadi salah tingkah.

"Sayang, mobil kamu kok ada di depan..?" tanya kak Risya yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku.

"Owhh.. mungkin mas Kevin yang bawa mobilnya.." jawabku lalu menoleh ke arah parkiran yang ada di depan hotel. Mobil putih Ranger Rover punyaku sudah terparkir di sana. Aku kemudian kembali menatap kak Risya yang saat itu juga menatapku.

"Ngapain mas Kevin kesini..?" tanya kak Risya sambil menaikkan alis kanannya.

"Mau jemput kita sayang.."

"Kamu sudah siapkan..? Jangan sampai ada yang ketinggalan barang-barang kita.." ucapku mengingatkan.

"Sudah.." jawab kak Risya singkat dengan ekspresi jutek. Aku tahu dia pasti tak puas akan jawaban dariku tadi. Namun aku hanya cuek melihat ekspresinya itu.

Yuuk kita pulang sekarang.." ucapku lalu berdiri dan meraih Travel bag di sebelah sofa tepat di depan kak Risya. Mbak Dina pun ikutan berdiri dengan kedua tangannya saling dikaitkan di depan perutnya.

"Mbak, saya dan kak Risya pulang dulu ya..?" pamitku padanya.

"Hati-hati di jalan pak.." kata mbak Dina dan hanya kubalas dengan anggukan kepala.


Aku dan kak Risya berjalan keluar dari hotel menuju parkiran dimana mobilku terparkir di sana. Mas Kevin yang ada di sebelah mobilku terlihat sedang mengobrol serius dengan tiga orang yang tak kukenali seorang pun dari mereka. Dan mas Kevin pun melirik ke arahku saat aku sudah berada di dekatnya, tapi kemudian mas Kevin pun menghentikan obrolannya dengan ketiga orang itu.

"Gimana, kita berangkat sekarang Van..?" tanya mas Kevin. Aku hanya menatapnya, tapi dia paham akan maksud dari tatapanku.

"Ohh, kenalin dulu mereka temen-temen gue.."

"Ini Tristan.." kata mas Kevin mengenalkan temannya. Tristan pun menjulurkan tangannya di depanku.

"Ivan mas.." ucapku menjabat tangannya.

"Gio.." sahut orang yang di sebelah Tristan dan menjulurkan tangannya juga.

"Ivan.." kujabat tangannya

"Arief.." kata satu orang lagi yang hanya tersenyum padaku.

"Ivan mas.." ucapku sedikit menundukkan kepala.

"Ivan, dia kakak loe ya..?" tanya mas Gio menunjuk kak Risya dengan menggerakan sedikit wajahnya. Dari sudut mata, aku melihat kak Risya yang cuek mendengar pertanyaan dari mas Gio. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, mas Kevin dengan cepat memiting leher mas Gio.

"Loe mau gue hajar, haaa..?" kata mas Kevin berbisik sambil menarik leher mas Gio ke arah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari mobilku. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tindakan dari mas Kevin tadi.

Aku melihat mas Arief dan mas Gio masuk ke dalam mobil hitam tadi, mobil itu pun langsung dihidupkan oleh mas Arief yang duduk di kursi setir. Mas Kevin berjalan mendekat ke arahku sambil terus menatapku.

"Sya, kamu duduk di belakang ya..? Keburu sore nanti, jadi kita berangkat sekarang.." perintah mas Kevin pada kak Risya.

"Iyaa mas.." jawab kak Risya singkat dan dia segera masuk ke dalam mobil.


"Rencana awal, gue akan anterin loe sampai perbatasan dulu sekalian lihat kondisi di jalannya nanti gimana.."

"Tapi kalau kondisinya aman, gue akan anterin loe sampai rumah Van.." kata mas Kevin menjelaskan dengan suaranya yang pelan.

"Seberbahaya itukah situasinya, mas..?" tanyaku santai menatap mas Kevin.


"Darurat Van. Aku mendapat informasi bahwa seluruh anggotanya Bambang Sutedja dikerahkan menuju puncak. Makanya gue harus bawa temen-temen gue, buat jaga-jaga kalau ada apa-apa nanti.." kata mas Kevin menjelaskan dan aku bisa menangkap dari raut wajahnya bahwa mas Kevin sangat khawatir.

"Oke kalau gitu, kita berangkat sekarang.." ucapku dan menoleh ke samping mencari travel bag bawaanku sudah tidak ada lagi.

"Sudah aku masukin dalam mobil yang kamu cari, Van.." kata mas Tristan tiba-tiba. Dia seperti tahu apa yang sedang aku cari.

"Biar aku aja yang nyetir ya..?" tanya mas Tristan, aku pun hanya membalasnya dengan anggukan. Dan kami bertiga pun segera masuk ke dalam mobil.

"Kalian lama banget sih..?" tanya kak Risya cemberut ketika kami semua sudah di dalam mobil. Aku hanya meliriknya sebentar, kemudian menatap ke depan lagi.

"Sya, di kursi belakang ada bantal tuh. Pakai bantal aja biar kamu bisa enakan tidurnya.." kata mas Kevin tak menanggapi pertanyaan kak Risya.


Mobilku perlahan jalan dengan kecepatan yang sedang. Aku mengambil bantal yang berada di kursi belakang dan meletakkannya di pangkuanku. Kak Risya yang melihat bantal diletakkan di pangkuanku seakan paham keinginanku, tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Tatapan tajam langsung kuarahkan padanya, hingga membuatnya menunduk.

"Van, aku gak mau..!! Malu tahu diliat sama mereka..." kata kak Risya pelan dan sedikir gemetaran. Aku pun tak peduli, tangan kananku lalu memegang bahu kanannya dan menariknya hingga kepalanya mendarat di atas bantal.

"Gak usah malu, Sya. Tidurlah gimana nyamannya menurut kamu aja.." sahut mas Kevin menoleh sebentar ke belakang, melihat kak Risya yang sudah rebahan dengan kepala berada di atas pangkuanku, lalu dia menatap ke depan lagi.

"Ssstttt.." aku menempelkan jari telunjuk di bibirnya, bermaksud agar kak Risya untuk diam saja.

"Tidurlah.." aku mengatakannya dengan hanya melalui gerakan bibir tanpa bersuara. Kak Risya kemudian memejamkan matanya sambil jemari tangan kananku di genggamnya dengan erat. Aku pun memejamkan mataku perlahan-lahan berharap agar cepat terlelap. Aku tak ingin di perjalanan pulang ini malah jadi kepikiran tentang situasi yang diceritakan mas Kevin tadi. Namun perlahan kesadaranku mulai menghilang dan aku pun terlelap.



*~*~*~*



Saat terbangun dari tidurku yang aku rasa hanya sesaat, mobilku malah sudah memasuki pekarangan rumah yang tadinya masuk melewati pintu gerbang. Kak Risya juga masih tidur di atas pangkuanku dan jari-jemari kami berdua masih menyatu. Dia tidur dengan wajahnya menghadap keatas, jadi aku bisa terus memandangi wajahnya walau sebentar lagi sudah sampai di rumah. Aku mengecup dengan hati-hati puncak kepalanya agar tak mengganggu tidurnya.

"Bangun tidur main nyium aja. Belum puas apa tiga hari di hotelnya..?" tanya mas Tristan yang melirik dari spion tengah mobil.

"Kurang ajar..." ucapku pelan memakinya, tapi dia hanya terkekeh merespon makian dariku. Kak Risya tiba-tiba menggeliatkan tubuhnya seperti akan bangun dari tidur.


"Eh, kita sudah sampai ya sayang..?" tanya kak Risya setelah duduk dan menegakkan tubuhnya sambil mengucek mata. Kami sudah berhenti di depan garasi mobil rumahku.

"Baru aja kok, Bee.." jawabku dan kak Risya pun menggoyang-goyangkan kepalanya.

"Masih pusing ya sayang..?" tanyaku sambil sedikit memijat leher belakangnya.

"Sedikit.." jawabnya singkat.

"Yuk cepat turun biar kamu bisa tidur lagi di kamar.." perintahku padanya agar turun dari mobil, kak Risya pun keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah.

"Mas Kevin, mas Tristan ayo masuk ke dalam, kita makan dulu sambil ngobrol di dalam.."

"Sebentar ya, Ivan manggil mas Arief dan mas Gio dulu.." ucapku membuka pintu mobil dan hendak berjalan ke mobil yang terparkir tepat di belakang mobilku.

"Ivan.." panggil mas Kevin dan mereka berdua pun ikutan turun dari mobil.

"Iya mas.."

"Gak usah Van. Kami soalnya lagi ngejar waktu ini, ada keperluan lain yang harus kami kerjakan. Jadi kami semua mau pamit.." kata mas Kevin.

"Lho, kok buru-buru amat sih mas..?" tanyaku menatap mas Kevin, kemudian beralih ke wajah mas Tristan yang sudah terselip di bibirnya sebatang rokok yang akan dinyalakan.

"Jangan merokok di dekat Ivan mas, Ivan gak suka nyium bau asapnya.." ucapku tegas dan mas Tristan pun memasukkan lagi rokok di dalam bungkusannya.

"Kami pamit ya..!! kata mas Kevin. Dia dan mas Tristan pun berjalan melewatiku. Namun tiba-tiba mas Tristan menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang menatapku.

"Besok sepulang dari sekolah, datanglah ke kafe dekat sekolah kamu ya..? Ada yang mau aku bicarain.." kata mas Tristan. Mas Kevin pun seketika menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang setelah mendengar apa yang dibicarakan mas Tristan.

"Tristan.." suara mas Kevin sedikit berteriak.

"Sudah waktunya buat Ivan untuk tahu situasinya, mas.."

"Tapi...."

"Ayo kita pantau dulu keadaan sekitar mas.." kata mas Tristan dan berjalan masuk ke dalam mobil hitam.

"Masuklah Van. Kamu istirahat aja ya.." kata mas Kevin dan aku hanya menganggukkan kepalaku. Dia pun masuk juga ke dalam mobil hitam bersama ketiga temannya dan perlahan mobilnya meninggalkan area kompleks rumahku.

"Apa sebenarnya yang ingin dibicarakan mas Tristan ya..?" tanyaku dalam hati. Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikannya padaku.

"Haahh.." aku hanya menghela nafas dan berjalan masuk ke dalam rumah sambil membawa travel bag.



*~*~*~*



06.35 wib

Keesokan harinya aku kembali masuk sekolah seperti biasa. Namun kali ini aku malah menciptakan rekor, karena berangkat paling awal ke sekolah. Hahaha, asemmlah...

Tiga hari belakangan aku menghabiskan waktu liburanku di puncak bersama kak Risya. Memang tidak ada momen spesial yang aku alami di puncak bersama kekasihku. Tapi sebaliknya, aku malah mendapat kabar bahwa ketiga sahabatku dihajar habis-habisan oleh anggotanya Bambang Sutedja. Tempo hari anaknya yang cari gara-gara sama aku karena menculik kak Risya, sekarang malah bapaknya yang buat ulah sudah menghajar sahabat aku.


"Sial.." umpatku dalam hati.

"Kenapa dia malah menghabisi orang-orang yang dekat denganku.."

"Gggrrrrr... bajingan mereka semuanya.."
kesalku dalam hati.

Setelah mendapat kabar dari mas Kevin tentang ketiga sahabatku yang dihabisi anggotanya pak tua itu, saat di hotel aku memang tidak terlalu memikirkannya. Tapi begitu sampai di rumah, isi kepalaku malah dipenuhi dengan orang yang bernama Bambang Sutedja. Aku sama sekali tidak bisa fokus sekarang, karena aku terus memikirkan dia dan keadaan ketiga sahabatku.

"Bangsat.." makiku. Kepala ini rasanya mau pecah aja.

"Apa yang harus kulakukan sekarang..?" tanyaku sendiri dengan suara yang pelan.

"Aku tidak tahu.." kujawab sendiri pertanyaanku.

"Haruskah aku mencari mereka dan membalas perbuatan mereka..?"

"Tapi dimana aku harus mencari keberadaan mereka..? Aku sama sekali tak punya info tentang mereka.." ucapku dengan suara yang pelan.



"Ada masalah apa sampai kamu berurusan dengan preman-preman paling sadis dan bengis di kota ini, Reyvan..?" tanya seorang wanita yang keberadaannya tak jauh dari posisi aku berdiri sekarang. Aku pun kemudian menoleh ke arah sumber suara dan melihat bu Yola berdiri menyandarkan bahu kanannya di dinding lab komputer sekolah, kedua tangannya dilipat tepat di bawah payudaranya, hingga kedua payudaranya itu pun seakan makin membesar saja.

"Haaa..? Sejak kapan bu Yola berdiri di sana..? Dan kenapa aku sama sekali tak menyadari kedatangannya..?" tanyaku dalam hati.

"Ma.. maksud ibu apa..?" tanyaku bingung.

"Kenapa preman-preman itu mencarimu, Ivan..? Kamu ada salah apa sama preman itu..?" tanya bu Yola sambil terus menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Lho, kok bu Yola bisa tahu ya kalau aku sedang dicari sama mereka..?" tanyaku dalam hati.

"Saya gak tahu bu dan saya gak ada buat salah apa-apa sama mereka.." jawabku apa adanya.

"Aneh..!! Kalau memang kamu gak ada salah, kenapa kamu malah di cari seakan-akan kamu itu punya salah yang besar.." kata bu Yola, namun aku hanya mengangkat kedua bahuku.

"Huuffffhh.." aku mendengar bu Yola hanya menghela napasnya.

"Sebaiknya mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati lagi, Reyvan.."

"Sepertinya mereka punya niat jahat sama kamu. Dan ibu gak mau nasibmu sama seperti Adrian, Lucky dan Dino yang berakhir di atas ranjang rumah sakit.." kata bu Yola dengan bibir bergetar.

"Kenapa bu..?" tanyaku dan aku menunggu jawaban dari bu Yola.

"...."

"Bu...?"

"...."

"Kenapa ibu jadi perhatian gini sama Ivan..?"

"eh... gak apa-apa kok Van.."

"Kenapa bu..? Aku tau pasti ada sesuatu. Sifat ibu ini bukan seperti sifat ibu Yola Nafisha yang Ivan kenal selama ini.." ucapku pelan dan sangat hati-hati. Karena aku takut dia malah marah-marah lagi kalau aku salah dalam memakai kata yang keluar dari mulutku ini..

"Ka.. karena ibu cinta sama kamu, Reyvan.." jawab bu Yola dengan wajah tertunduk.


DUARRRR....


Seperti tersambar petir, aku terkejut dengan ucapan bu Yola barusan. Aku hanya bisa membelalakkan kedua mataku dan menatapnya yang masih menunduk. Dia kemudian mengangkat wajahnya dan tatapan kami saling bertemu, tapi dia kembali menundukkan wajahnya ketika melihatku juga menatapnya.

Aku kemudian berjalan ke arah bu Yola yang sedang berdiri menempel pada dinding ruang lab komputer, langkahku terhenti ketika aku sudah di hadapan bu Yola. Kupegang tangan bu Yola dan aku menariknya untuk masuk ke ruang lab komputer yang pintunya tidak dikunci.


"Maafin aku yang telah mencintaimu, Reyvan..!!" kata bu Yola memelas ketika kami berdua sudah ada di dalam lab. Kali ini dia memanggil dirinya aku bukan lagi ibu seperti biasanya.

"........." kenapa tiba-tiba aku sangat sulit untuk berbicara, mulutku seakan terkunci dan sulit mengungkapkan sesuatu walau hanya sepatah kata saja.

"Kenapa denganku..? Biarkan aku bisa mengatakannya kalau aku itu tidah bisa membalas cintanya.." kataku yang hanya bisa meresponnya dari hati.

"Ja.. jadi benar apa yang dikatakan Dinni beberapa hari yang lalu, kalau bu Yola itu jatuh cinta padaku.." kataku dalam hati setelah mengingat ucapan Dinni tempo hari di ruang UKS.

"Van, salah ya kalau aku cinta sama kamu..? Seorang guru yang jatuh cinta pada muridnya sendiri.." tanya bu Yola sambil menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Ivan gak tahu bu.." ucapku sambil menggelengkan kepala.

"Aku sadar Van, kalau kamu mustahil akan mau membalas cintaku ini. Apalagi usia kita yang terpaut tujuh tahun, jadi aku sadar akan semua itu.." kata bu Yola dengan bibir yang masih bergetar.

"Ibu ngomong apa sih, Ivan......"

"Jujur.. aku sama sekali tak berharap bahwa cintaku ini kamu balas, Van. Tapi aku hanya berharap, biarkan aku untuk terus bisa mencintaimu.. " kata bu Yola memegang tangan kananku dengan kedua tangannya, lalu sedikit mengangkat tanganku dan dia mencium punggung tanganku dengan lembut.

"Bangsat....!!! Apalagi ini maksudnya..? Tak berharap cintanya terbalas, tapi dia masih ingin terus mencintaiku..? Aaaarrgghhh.. kalau emang gak berharap cintanya terbalas, harusnya dia berhenti aja untuk mencintaiku...!!! Ggrrrr..." kataku kesal dalam hati.

"Bu....." tapi lagi-lagi ucapanku kembali terhenti setelah wajah bu yola mendekat hingga bibirku dan bibir bu Yola bersentuhan. Seketika itu juga tubuhku seperti terkena sengatan listrik dan secara perlahan merambat ke seluruh bagian tubuhku. Bibirku pun dikecupnya dengan sangat lembut.

"Cuuppp.."

"Muuuacchhh..." kecupannya pada bibirku pun terlepas.

"Gilaaa.. dia padahal hanya mengecup bibirku, tapi sensasi yang kurasakan sangat luar biasa. Aku gak bisa membayangkan kalau mendapatkan lebih dari sebuah ciuman darinya.." batinku yang mulai punya pikiran yang aneh-aneh.


"Ma-maaf Van.." kata bu Yola berjalan berlalu meninggalkanku seorang diri.

Wajah kak Risya saat dia tersenyum tiba-tiba terbayang dan menari-nari di dalam pikiranku, perasaan bersalah pun mulai menghantuiku.

"Ke-kenapa aku tidak mencegah ciumannya tadi supaya jangan sampai terjadi..?"

"Kenapa aku malah menikmati ciuman yang diberikannya..?"


"Aaaaarrrgghhhh.." teriakku emosi sambil kedua tanganku menjambak rambutku sendiri.



*~*~*~*



10.15 wib

Di sebuah kantin sekolah yang terletak di sudut sekolah, tampak begitu ramai pengunjung yang makan untuk mengisi perut mereka di waktu istirahat ini. Baik murid maupun guru yang mengajar di sekolah makin menambah keramaian di kantin yang tidak terlalu besar ini.

Biasanya jika waktu istirahat seperti ini aku selalu ditemani ketiga sahabatku, tapi kali ini tidak. Yang niat awalnya aku hanya ingin duduk sendiri, ini malah dipepet terus sama Dinni yang daritadi menempel terus di sebelahku.

"Haaaaahhh.." aku hanya menghela napas panjang.

"Kamu kenapa sih, Van..?" tanya Dinni yang menatap ke arahku dan memegang pipi kanannya dengan telapak tangan kanannya, sikunya pun bertumpu di atas meja yang kami tempati.

"Gak apa-apa.." jawabku singkat sambil mengaduk-ngaduk es teh manis pesananku dengan sangat malasnya.

"Terus kenapa muka kamu ditekuk kayak gitu..? Kamu gak suka kalau aku duduk bareng kamu disini..?"

"Aaargghh.. iya aku gak suka...!!! Soalnya aku lagi gak mau diganggu.." batinku kesal.

"Bukannya gak suka Din, perut aku lagi gak enak aja ini.." jawabku berbohong.

"Maaf Din aku ke toilet dulu bentar ya.."

"Ya sudah, jangan lama-lama ya Van.." kata Dinni tersenyum manis ke arahku.

"He eeh.."


Aku pun berdiri dan keluar dari kantin. Tapi tujuanku sebenarnya bukan ke toilet, tapi langkahku berbelok menuju kelas. Saat aku berjalan, aku merasa seperti ada yang mengikutiku dari belakang. Namun aku tak berniat sedikit pun berbalik untuk melihat siapa yang mengikutiku dan aku hanya membiarkannya saja.

Begitu sampai di dalam kelas yang sedang kosong. Aku mengambil tas di laci mejaku dan memakainya, kemudian aku keluar dari kelas, berjalan melalui lorong sekolah yang mengarah ke belakang bangunan sekolah ini.

Tembok beton setinggi 3 meter yang menjadi pembatas area sekolah pun sudah terlihat di depan mata, posisiku berdiri hanya berjarak kurang lebih 7 meter dengan tembok beton itu. Aku lalu berlari, disaat hampir sampai pada tembok itu, aku melakukan lompatan dengan kaki kiriku yang menjadi tumpuan untuk aku meraih ujung tembok itu.

"Reyvan.." suara seorang perempuan yang seketika itu juga aku langsung kehilangan fokus dan gagal meraih ujung tembok.

"Kurang ajar..!! Kenapa sih dia selalu datang disaat seperti ini..?" tanyaku dalam hati setelah aku menatapnya yang sudah ada di belakangku.


"Ka-kamu mau ngapain, Van..?" tanya bu Yola dengan suara yang lembut.

"Basi... gak usah dilembutin lagi tuh suara. Ini pasti trik baru dia lagi, biar aku berpikir kalau aku gak akan dihukum. Haaah, lagu lama. Aku tau yang ada pasti juga ntar kena hukum lagi.." ucapku dalam hati.


"Ivan mau cabut pulang.." jawabku jutek.

"Reyvan, minggu depan kita sudah ujian semester genap, jadi kamu harus ikutin mata pelajaran yang ketinggalan tempo hari karena kamu gak masuk sekolah.." kata bu Yola dengan mata yang berkaca-kaca dan menceramahiku masih dengan suara yang lembut.

"Ivan gak bisa fokus belajar kalau situasinya kayak gini ibu Yola Nafisha.." ucapku sambil menyebut namanya dengan penuh penekanan. Bu Yola sedikit kaget mendengar ucapanku barusan.

"Kalau ibu mau menghukum Ivan, lakukanlah esok hari. Karena hari ini Ivan hanya ingin pulang.." ucapku berbalik dan berjalan ke tempat posisi awal aku berlari tadi. Namun saat akan melewati bu Yola, langkahku terhenti karena dia menahan tanganku.

"Hiks.. aku minta maaf, Van. Aku benar-benar minta maaf.. Hikss..." kata bu Yola disela tangisannya. Dia menatapku dengan air mata terus mengalir membasahi wajah cantiknya.

"Sudahlah bu, lupain aja semuanya..."

"Gak, aku tidak akan kasih izin kamu untuk pulang sebelum kamu maafin aku.."

"Beughh.." tiba-tiba bu Yola dengan cepat dan kuat mendekap tubuhku erat sekali, dagunya dia sandarkan di pundakku, dadanya bergetar karena dia masih menangis dalam pelukan ini dan kedua payudaranya yang terasa empuk itu menekan dengan kuat di dadaku.

"Terlalu banyak cobaan untukku dalam menjaga cintaku ini padamu, Risya.." batinku.


"Maaf jika aku mencintaimu dan maaf juga kalau cinta ini salah di matamu, Van.."

"Hiks.. aku sudah gak sanggup lagi memendam semua cinta ini. Maafin aku.. Hikss.." kata bu Yola tulus dan terdengar sedih dari kata-kata yang diucapkannya itu.

"Aku jadi heran, sebenarnya letak salahnya bu Yola itu dimananya coba..?" tanyaku dalam hati.

"Haahhh.." suara helaan napas yang aku keluarkan.

"Iya-iya, Ivan maafin bu Yola.." ucapku dan bu Yola pun melonggarkan pelukannya pada tubuhku. Dia menatapku sambil memasang wajah cemberut.

"Kalau wanita yang dihadapanku ini adalah Risya, udah aku cium daritadi jika melihat bibirnya yang dimanyunkan seperti itu.." kataku dalam hati dan aku masih terus menatap bibirnya yang merekah itu.


"Jangan panggil aku ibu lagi, kedengarannya kayak aku ini tua banget jadinya.." kata bu Yola dengan bibir masih dimanyunkan.

"Lah, kan memang seharusnya gitu bu.." ucapku bingung.

"Ihhhh Ivan, aku gak mau. Cari panggilan yang lain aja, aku gak suka dipanggil ibu sama orang yang aku sayang.." kata bu Yola manja.

"Kurang ajar... kenapa wanita ini dan kak Alya malah ngikutin manjanya kak Risya..?" tanyaku kesal dalam hati.

"Terus Ivan manggilnya apa dong..? Tante gitu..?" tanyaku menggoda dan heran melihat sikapnya ini.

"iiihhhh Ivan.."

"Yola aja atau dek juga boleh.."

"Tapi kalau kamu mau manggil sayang juga gak masalah kok, aku malahan seneng.." kata bu Yola menundukkan wajahnya.

"Huushtt.. gak sopan banget manggil nama. Apalagi dek, gimana ntar tanggapan murid lain kalau Ivan manggilnya gitu.."

"Please Van mau ya..? Kan kamu manggilnya disaat kita berdua kayak gini aja, mau ya Van..?" kata bu Yola memohon dan memegang kedua tanganku.

"Haahh.. iya-iya bu.."

"...." bu Yola langsung menatapku tajam.

"eh maaf, iya yola sayang. Kita bukan pasangan kekasih lho, kok jadi sayang gini manggilnya.."

"Bisa mampus aku ini kalau ketahuan sama kak Alya dan Risya.." kataku dalam hati dan aku sedikit bergidik mengingat mereka pasti marah jika melihatnya secara langsung.

"Gak apa-apa kok aku senang dengernya kamu manggil aku sayang.." kata bu Yola tersenyum.

"Sekarang Ivan sudah boleh pulang kan..?"

"Iya boleh, tapi pulangnya lewat depan aja.."

"Biar Yola urus surat izin pulangnya sama guru piket ya.."

Aku pun berjalan mengikutinya dari belakang. Bu Yola masuk ke ruangan khusus yang mengurus segala hal tentang surat izin sekolah ini dan aku hanya menunggunya dari luar. Tak lama kemudian, bu Yola keluar dari ruangan itu sambil memegang surat, kemudian dia memberikannya padaku.

"Yo-yola, Ivan pulang dulu ya.." pamitku setelah melihat keadaan sekitar ketika memanggil namanya, karena aku takut juga jika didengar sama orang lain.

"Iya sayang.." kata bu Yola sambil tersenyum manis.

"Mati aku, mati... sudah main sayang-sayangan pula lagi ini.." kataku dalam hati dan menepuk jidatku sendiri.

"Sayang, mulai sekarang kita Backstreet ya..?"

"Haahhh.."

"Ivan pamit pulang.." ucapku berlalu meninggalkannya.



Setalah pulang dari sekolah tadi, aku pergi ke rumah sakit untuk menjenguk sahabatku. Tapi sesampainya disana, aku malah tak diperbolehkan menemui mereka. Suster yang berjaga di ruang itu mengatakan bahwa mereka tidak boleh di besuk untuk sementara waktu, karena diharuskan untuk banyak istirahat dulu.

Aku pun sempat bertemu dan memperkenalkan diriku dengan orang tuanya Adrian yang menunggu di depan kamarnya.

Setengah jam lamanya aku berada di rumah sakit, aku lalu pun pamit pada ibunya Adrian. Dan sebelum pulang, aku pergi ke bagian administrasi rumah sakit, bermaksud untuk membayar semua biaya pengobatan sahabatku. Dan setelah membayar biaya pengobatan mereka, aku pun pergi dari rumah sakit.



*~*~*~*



Di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari sekolah, aku memilih duduk di meja yang dekat dengan kaca dan menghadap ke arah pintu masuk kafe. Setelah memesan minuman, mataku menangkap dua orang sosok yang baru masuk ke dalam kafe. Dua orang tadi pun melihatku, mereka kemudian berjalan mendekati meja yang kutempati dan duduk di kursi yang berada di sebelah kanan dan kiriku.

"Loe udah pulang jam segini, Van..?" tanya mas Kevin setelah melihat jam di pergelangan tangan kirinya.

"Hehe.. palingan dia cabut mas. Lagian mana ada jam segini sekolah yang sudah membolehkan siswanya untuk pulang .."sahut mas Tristan dan meletakkan hpnya di atas meja. Mas Kevin pun menatapku seakan meminta jawaban dari apa yang diucapkan mas Kevin tadi..

"Hehe.." aku hanya tertawa cengengesan.

"Loe lagi ada masalah..? Buruan cerita ama gue, Van.." kata mas Kevin.

"Gak ada kok.."

"Ohiya, apa yang mau mas bicarain..?" tanyaku menatap wajah mas Tristan.

"Cepat amat, kami belum juga pesan minuman.." kata mas Tristan, kemudian dia memanggil pelayan kafe dan memesan minuman.

Aku lalu menoleh ke arah mas Kevin, dia seperti sedang memperhatikan seseorang. Tapi dari posisiku duduk, aku tidak dapat melihat siapa yang diperhatikan oleh mas Kevin. Karena arah pandanganku terhalang oleh tiang bangunan kafe.

"Van, sebaiknya mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati lagi ya. Karena sekarang situasinya sudah gak aman lagi. Anggotanya BS sudah tersebar di area sekitar kita, jadi aku harap kamu harus meningkatkan lagi kewaspadaanmu.." kata mas Tristan panjang lebar.

"Anggotanya BS terkenal sadis dalam menyiksa korbannya, jadi aku harap kamu agar lebih hati-hati lagi mulai sekarang.."

"Jadi yang kemarin itu mas mau bicarain soal ini..?" tanyaku sambil mengerutkan dahiku.

"Iyaa.." jawab mas Tristan singkat.

"Haahh.. kirain mau bicarain tentang apaan, malah tahunya tentang itu pula.." ucapku dengan sangat malas.

"Tuh lihat sendiri kan hasilnya..? Sudah gue bilangin loe gak usah ceritain tentang itu sama dia, karena dianya akan tetap cuek-cuek aja.." sahut mas Kevin ditengah obrolanku dengan mas Tristan.

"Ya kan aku gak tau mas ternyata dia orangnya kayak gini.." kata mas Tristan lemas.

"Van, loe jangan coba-coba main api dengan cewek lain ya.." kata mas Kevin tegas sambil menatapku serius


DEGH...!!!


"Apa mas Kevin tahu tentang kak Alya atau bu Yola yang pagi tadi mengungkapkan perasaannya padaku..?"
tanyaku dalam hati sambil menatap mas Kevin dengan santai.

"Apa maksud mas..?" tanyaku mencari tahu maksud dari kata-katanya barusan.

"Loe jangan pura-pura bodoh, Van.."

"Siapa cewek yang duduk di meja nomor 18 itu..? Karena gue lihat semenjak gue duduk di sini dia terus memperhatikan loe.." kata mas Kevin yang seperti menoleh ke arah meja yang dia maksud, kemudian menoleh dan menatapku dengan tatapan yang menyelidik.

Aku sedikit menggeserkan kursi yang kutempati ke sebelah kanan agar dapat melihat siapa wanita yang dimaksud oleh mas Kevin.


DEGH...!!!


Kedua mataku langsung terpaku pada seorang wanita yang duduk pada meja yang dimaksud oleh mas Kevin.

"Sejak kapan dia ada di sini..?" tanyaku dalam hati.






To Be Continue...!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd