---------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------
Cerita 124 – Erotic Zone
[Part 2] – Belajar Praktik..!!
“Iiih.. Bapak nih.. kaya apa aja..!?”
“Habis .. Bapak kangen..” kurabai tubuh belakangnya.
“Bapak bisa aja..”
“Bener. Eh.. pinggul kamu makin bulet aja.. dada kamu makin gede..”
“Iya nih.. nambah 2 kilo, Titin makin gendut ya Pak..?”
“Justru makin bagus.. engga terkesan kurus. Apalagi kenceng gini..” kataku meremasi pantatnya.
Titin balas memelukku kenceng juga..
sehingga ketika penisku yang menempel di perutnya mulai mengembang, aku yakin dia mengetahuinya.
Dia tak berusaha menghindari ‘desakan’ penisku ini, seperti yang dia lakukan dulu.
Masih saja memelukku.
“Gimana latihannya.. sempet engga..?” Titin mengangguk.
“Lancar..?”
“Rasanya sih iya..”
“Bagus..” Kucium pipinya, lalu bibirnya.
Kami berpagutan saling mengisap bibir dan lidah. Nafasnya mulai sesak, memburu.
“Kita latihan lagi yuk..!?” Ajakku.
Titin senyum tipis dan mengangguk lalu menyeretku ke dipan.
Tapi aku ingin yang lain untuk wanita muda seperti Titin ini.
“Kita ke kamar Bapak aja..!” Kupeluk bahunya dan kubimbing dia ke belakang menuju kamarku.
Baru kali ini aku membawa pasien ke kamar pribadiku.
“Wow.. engga sangka, kamar dukun rapi juga..” komentarnya.
“Siapa yang dukun..?” Kucium lagi bibirnya.. kuremas-remas pantatnya.
Eh.. tangannya menyusup ke jubahku dan dielus-elusnya penisku yang menegang.
Kulepas jubahku dan aku langsung bugil. Titin melepas bajunya sendiri.
Kubantu dia sampai telanjang bulat.
Kugendong tubuhnya menuju ranjang.. seperti layaknya pengantin baru saja.
Titin memang banyak mengalami kemajuan. Aku berhasil penetrasi walau pun dengan susah payah.
Ughhh..!! Baru kali ini aku menjumpai vagina yang seperti ini.
Sudah susah masuknya, mau memompa pun tak lancar.
Rasanya di dalam sana ada yang menggenggam dan menahan penisku.
“Coba.. kamu santai dulu, jangan tegang..” kataku sambil terengah-engah.
Perlahan aku memompa lagi. tetap saja ‘banyak hambatan’.
Clebb.. clebb.. clebb.. crebb.. crebb.. crebb.. clebb.. clebb.. clebb..!! Erggghh.. Perreeettt..!!
Kadang aku berhenti, diam dalam posisi ‘nanggung’.. tak masuk seluruhnya.
Ambil nafas panjang, lalu tusuk dan tarik lagi.
Tapi lama-lama lancar juga. Dan nikmatnya.. tak bisa kugambarkan.
Ketika aku menarik pun susah. “Kamu apakan sih..?” Tanyaku. Titin hanya menggeleng.
“Jangan.. dikeluarin.. di .. dalam ..” bisiknya di tengah pompaanku yang makin cepat.
Aku menurut, kutumpahkan di atas perutnya. Luar biasa.
Nikmatnya pengalaman memompa di dalam liang vagina yang lekat erat begitu mengesankan.
“Luar biasa.. sedapnya, gila..!!” Kataku dengan nafas masih memburu.
Titin tak menjawab.. kepalanya masih tengadah.. nafasnya pun masih memburu.
“Tadi Bapak di luar semua kan..?”
“Iya..”
“Engga telat kan..?”
“Engga. Kenapa..?”
“Engga lucu dong, baru dicerai kok bunting..?” Benar juga.
“Gimana tadi Tin.. masih sakit..?”
“Sedikit ..”
“Kok engga bilang tadi..?”
“Cuma sedikit.. engga apa-apa kok Pak..”
“Punya kamu kok begitu..? Diapain sih tadi..?”
“Engga ngapa-ngapain kok, engga suka ya..?”
“Wow.. suka banget. Luar biasa nikmatnya. Kamu gimana..?”
“Enak juga..”
“Bener nih..? Katanya tadi sakit..!?”
“Mula-mula sih iya, tapi lama-lama enak. Saya suka Bapak bisa sabar..”
“Sabar..?”
“Iya, kalau Kang Hadi selalu maksa masuk..”
-------ooOoo--------
Meski pun Titin sudah beberapa jam lalu pergi.. aku masih saja mengingat-ingat..
betapa nikmatnya sensasi memompa liang vaginanya yang mencengkeram kuat.
Aku tadi menginginkan ‘second round’.. tapi dia begitu terburu waktu, khawatir dicari kakaknya.
Setelah urusan perceraian selesai.. sekarang dia tinggal di rumah kakaknya.
Bahkan yang mengejutkanku, dia tadi sekaligus pamitan mau pindah.
Setelah sendirian lagi.. dia ingin tinggal di kampungnya saja.
Ini berarti dalam waktu lama aku tak akan bertemu dengannya, sebab dia tak ada keperluan lagi di Jakarta.
Aku akan kehilangan dia, juga kehilangan kewanitaannya yang luar biasa sedapnya itu.
Ah..! Aku bisa saja berkunjung ke kampungnya, walau pun jauh.
Tapi tak akan ada kesempatan untuk berduaan di kamar.
“Aku akan nginap di hotel dan kamu bisa datang..” kataku.
“Engga ada hotel di kampungku, Pak..”
“Losmen, atau penginapan, atau apa pun namanya..”
“Ada penginapan memang.. tapi seluruh penghuni kampung bisa heboh kalau saya ke sana masuk kamar.
Kampung kecil Pak, semuanya kenal..”
Kembali aku ingat persetubuhanku dengannya di kamarku tadi.
Aku ingat persis bagaimana rasa sensasi gesekan dan ‘sedotan’ liangnya pada penisku.
Hanya dengan mengingat begini saja penisku menggeliat dan mengembang.
Makin diingat makin membuatku gelisah. Tiba-tiba aku melihat adanya celah jalan keluar bagi Titin dan Aku.
Kucari-cari kertas catatan nomor telepon kakaknya. Ketemu. aku segera meneleponnya.
“Kamu pulangnya kapan..?”
“Besok Pak..”
“Sebelum berangkat bisa ke sini dulu..?”
“Engga bisa Pak, pakai kereta paling pagi..”
“Sekarang ajalah ke sini..”
“Ada apa sih Pak..?”
“Kangen..”
“Ah, baru tadi ketemu..”
“Selain itu Bapak ada usulan buat kamu ..”
“Usulan apa Pak..?”
“Engga bisa bicara lewat telepon, kamu ke sini aja..”
“Emang apa sih Pak, kok gitu banget..”
“Penting bagi kamu..”
“Baiklah, entar agak sorean saya ke sana..” Cihuy..!!
“Jam berapa Tin..?”
“Jam empatan-lah..!” Berarti dua jam lagi.
“Okay, Bapak tunggu ya..!?”
“Tapi sebelum Maghrib saya harus sudah sampai di rumah..”
Begitu dia tiba, aku tanpa basa-basi lagi menyeretnya ke kamarku. Tak ada lagi proses terapi.
Yang ada hanyalah proses di mana seorang lelaki hendak menyetubuhi wanita pasangannya.
Mulai dari raba-raba dan cium-cium.. membuka pakaiannya satu per satu.. diselingi rabaan dan ciuman.
Sementara dia pun membantuku melepaskan pakaianku.. sesuatu yang baru kali ini dia lakukan.
Aku juga memberinya ‘aksi baru’.. kubentang pahanya lebar-lebar.. kujilati seluruh permukaan kewanitaannya.
Oh iya.. aku memang pernah melakukan seperti ini padanya.. hanya dulu itu ‘kan dalam rangka terapi.
Jelas berbeda dengan sekarang.. saat ini aku menikmatinya.
Juga menghantarnya meningkatkan rangsangan agar dia siap menerima pertautan kelamin dengan nikmat..
Sekaligus memberiku kenikmatan yang sangat di puncak nanti.
Benar.. beberapakali telah aku buktikan.
Titin.. wanita muda yang baru saja berstatus janda kembang, memiliki kewanitaan yang lain daripada yang lain.
Juga memiliki ketrampilan untuk ‘memainkannya’.. sehingga beberapakali punyaku serasa ‘terkunci’ di dalamnya.
Perpaduan antara pemberian alam dan skill yang amat jarang dimiliki oleh seorang wanita secara sekaligus.
Amat jarang.
Pada kelompok yang lebih banyak, umumnya memiliki salahsatu diantaranya.
Kelompok yang lebih besar lagi bahkan tidak memiliki dua-duanya.
Ketika aku masih menindih tubuh telanjangnya.. bahkan masih dengan ceceran mani di perutnya..
kukemukakan rencanaku untuk merekrutnya.
Daripada dia pulang kampung tak melakukan apa-apa, dia bisa kerja membantuku..
seperti layaknya suster di tempat-tempat praktek dokter.
Selain mendapatkan gaji bulanan.. aku juga menanggung biaya hidup dan menyediakan tempat tinggal.
Dia bisa memakai kamar sebelah yang selama ini memang kosong.
“Ah.. Bapak ini kaya’ yang bener aja..”
“Aku serius, Tin..”
“Kenapa Bapak mau sama saya yang orang kampung..?”
“Sudahlah.. Bapak hanya ingin jawaban mau atau tidak..”
“Mau dong..”
-------ooOoo-------
Titin urung pulang kampung. Keesokan harinya dia pindah ke rumahku dan mulai bekerja membantuku.
Sedangkan malam harinya.. dia jarang tidur di kamarnya. Lebih sering kuajak dia tidur di kamarku.
Aku benar-benar seperti sedang berbulan madu bersamanya. Tiap malam kami bersebadan.
Bahkan pagi harinya begitu bangun tidur, aku juga sering memintanya lagi.
Aku benar-benar puas, dan Titin sudah bisa menikmati enaknya bersenggama.
Inilah malam-malam indah.
Malam di mana aku menikmati sensasi cengkeraman dinding-dinding liang senggama Titin.
Malam di mana aku menikmati ‘genggaman’ otot-ototnya di dalam sana.
Kalau pun ada yang mengganjal.. dari sisiku aku tidak bisa ejakulasi di dalam rahimnya.
Sedangkan dari sisi Titin..
walau pun mampu merasakan nikmatnya bersenggama.. dia belum merasakan sampai puncaknya.
Tapi itu tidak lama.
Pada malam ketiga dia menginap.. di kamarku dia menangis setelah kami selesai bersetubuh.
Tangisan bahagia rupanya. Baru kali itu dia menemukan puncaknya nikmat hubungan seks.
Nikmatnya sangat berbeda, katanya.
“Seumur-umur, baru kali ini saya merasakannya..” tambahnya.
“Artinya, kamu sudah benar-benar menjadi wanita normal..” kataku.
Dia menurut saja ketika kukemukakan keinginanku untuk ejakulasi di dalam tubuhnya..
Dan aku memakai kondom.
Dia maklum aku belum pengin punya anak. Dia juga mengerti aku tak akan menikahinya.
Dan yang membuatku terharu.. dia tak keberatan bila ‘terjadi sesuatu’ antara aku dan pasien.
Dia bisa mengerti dalam proses terapi aku menjadi terangsang.
Dia cuma minta, kalau boleh ikut menontonnya.
Aku sih tak keberatan.. tapi jelas saja pasienku yang menolak.
Makanya aku buatkan suatu ruangan khusus di pojok yang kita sebut ‘Sudut’.
Suatu ruang kecil di mana dia bisa menyaksikan persetubuhanku dengan pasien.
Aku sendiri yang membuatnya, dia yang membantu, tanpa bantuan tukang.
Agar rahasia ruang ini tetap pada kami berdua.
Kalau kemudian dia juga memasak dan bersih-bersih rumah, itu atas inisiatifnya sendiri.
Aku tak meminta. Jadi dia benar-benar menjadi ‘asisten komplet’.
Membantuku dalam segala hal.. termasuk seks.
Rasanya, kualitas jepitannya tak berkurang walau pun sering ‘kupakai’.
Agar pembaca bisa ‘menghayati’ kekuatan otot-otot vaginanya, saya akan memberikan contoh:
Suatu malam sebelum aku penetrasi.. Titin bilang agar aku keluarkan saja di dalam tubuhnya..
Walau pun malam itu aku tak memakai kondom. Sebab malam itu menjelang mens-nya, jadi amanlah.
Maka bermainlah kami malam itu dengan bebasnya.. tanpa waswas untuk segera mencabut.
Nah.. ketika pompaanku makin cepat dan sedetik lagi menjelang orgasmeku..
Nyutt.. nyuttt.. nyutt.. nyuttt..!! Titin mengerahkan otot dalemnya menjepitku.
Maka ketika aku orgasme, spermaku masih tertahan di ujung.
Barulah ketika Titin mengendorkan ototnya.. crettt... crettt.. crett.. crett..!! Aku ejakulasi.
Naaahhh.. bisa Anda bayangkan kekuatannya yang mampu menahan pancaran maniku.
Ide oral seks pun datang dari dia.
Suatu malam.. ketika aku minta dan dia ternyata sedang berhalangan, dia lalu melahap penisku.
Ketika aku komplain kenapa sewaktu sampai di puncak malah ‘ditinggal’..
Esok paginya dia koreksi dengan membiarkan aku ejakulasi di dalam mulutnya.
Duhh..! Aku benar-benar berbahagia memiliki Titin.
Bersama Titin juga aku mengintrodusir gaya-gaya hubungan seks yang nikmat.
Salahsatu contohnya adalah:
Ketika suatu siang kami sedang di ruang praktek menunggu pasien yang tak jadi datang.
Bermula dari terbukanya sebuah kancing blus Titin.. sehingga belahan buah dadanya tampak.
Aku memanggilnya mendekat.. kemudian ‘iseng’ menyelipkan tanganku ke situ.
Kemudian merogoh dadanya.. lalu meremas-remas. Titin jadi terangsang dan kemudian aku juga.
Lalu kami melucuti pakaian masing-masing dan pindah ke dipan untuk ‘bergulat’.
Pada saatnya dia sudah terlentang dengan posisi kaki membuka lebar menantang dan aku siap penetrasi..
Tiba-tiba aku berubah pikiran. “Tin.. kamu miring ke kanan..” aku mengarahkan.
Lalu kulipat kaki kirinya ke atas sampai lututnya hampir menyentuh dadanya dan vaginanya terbuka.
Slebbb.. blessepp..!! Perlahan aku masuk dengan gaya ‘standar’.
Setelah beberapakali pompaan dan batang penisku sedang tenggelam seluruhnya..
kuminta dia meluruskan lagi kakinya yang tadi terlipat. Wuaah.. penisku rasanya dipilin.
Lalu kuminta dia menelungkupkan tubuh perlahan-lahan..
dengan aku mengikuti gerakan tubuhnya supaya penisku tak terlepas.
Setelah tubuhnya sempurna tengkurap.. tubuhku telungkup menindihnya dan perlahan mulai memompa.
WOW.. rasanya bukan main, susah digambarkan. Posisinya seperti gaya ‘doggie’ tapi dua-duanya tengkurap.
“Bapak nih.. macam-macam aja..” komentarnya setelah selesai.
“Tapi enak kan..?”
“Iya..” jawabnya sambil tersenyum.
–cobalah Pembaca, ditanggung..–
Pernah aku bilang.. bagaimana kalau aku menikahinya. Jawabannya di luar dugaanku.
Pikirkanlah dulu masak-masak.. jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Hubungan seperti ini pun dia bahagia.
“Saya bukan jodoh Bapak..” katanya.
“Rasanya kita banyak cocoknya. Seks kita pun memuaskan..”
“Feeling saya, jodoh Bapak adalah seorang perawan, bukan janda seperti saya..”
Dan kami tak pernah mendiskusikan lagi tentang pernikahan.
“Jalani saja dulu apa adanya, Pak..” katanya.
Itulah sekelumit kisah hubunganku dengan Titin.
Hubungan komplet tak sekedar pekerja – pemberi kerja. Hubungan yang membuat keduanya bahagia.
Tapi.. kebahagian memang tak kekal.
Apalagi kebahagian yang ditimbulkan dari ‘perkeliruan’ seperti hubunganku dengan Titin.
------------------------ooOoo------------------------
Siska
“Bu Siska ya..? Tolong Ibu ceritakan dulu masalah yang Ibu hadapi..”
Kataku setelah nyonya muda dan cantik itu selesai mengisi form data pasien.
Usia 26 tahun.. masih muda. Usia pernikahan pun belum setahun. Belum punya anak.
“Eemm.. cerita gimana ya..?” Tanyanya masih belum ngerti.
“Cerita apa saja tentang masalah seksual yang Ibu alami, selengkap mungkin..” ujarku.
“Uumm.. susah.. mulai dari mana..?”
“Dari mana saja boleh terserah Ibu..”
Kulitnya putih, tubuhnya padat seksi, dadanya begitu ‘menjanjikan’.
“Saya perlu informasi lengkap dari Ibu dulu, agar saya bisa memberikan terapi yang tepat..”
Tambahku ketika si Ibu cantik ini tampak ragu-ragu.
“Baiklah Pak, saya malu sebenarnya..”
“Tak perlu malu, Bu.”
Akhirnya.. dengan terpatah-patah, loncat-loncat tak berurutan..
Yang kuselingi pula dengan pertanyaan-pertanyaanku untuk lebih menjelaskan maksudnya..
Siska menceritakan seluruh masalahnya.
Kuringkaskan saja untuk pembaca, begini: Siska.. sejak malam pertama sampai sekarang..
belum pernah merasakan nikmatnya hubungan seks, apalagi orgasme.
Yang dia rasakan hanyalah kesakitan.. apalagi waktu malam pertama.
Kebiasaan suaminya jika ‘main’ adalah langsung ‘naik’.. tanpa pemanasan yang cukup..
Sehingga harus dibantu dengan olesan cairan khusus pada penis dan vaginanya.
Gaya permainannya lebih sering missionaris.. tak ada variasi.
Tak pernah melakukan oral sex atau seks ‘aneh-aneh’ lainnya.
“Ibu sudah tau prosedur terapi yang saya lakukan..?” Wajah cantik itu tampak bingung, hanya sekilas.
Lalu bibir sensual itu –Mirip bentuk bibir Lola Amaria– mulai bergerak. “Belum..”
“Saya akan ceritakan sedikit cara pengobatan saya, kalau Ibu setuju kita bisa teruskan.
Kalau Ibu tidak berkenan.. Ibu bebas untuk membatalkannya dan kami tak mengenakan biaya apapun..” jelasku.
Mata perempuan cantik itu sedikit membelalak, oh.. mata yang indah.
Dia lalu mengangguk.
Aku menceritakan langkah-langkahku, tentu saja hanya 4 saja.
Langkah terakhir tak kusebut. aku menunggu reaksinya.
“Mengosongkan pikiran.. mungkin susah Pak bagi saya..” katanya.
“Saya akan bantu, Bu. Dan saya juga nanti minta kerjasama dari Ibu..”
“Kerjasama apa..?”
“Nanti saya akan sering nanya apa yang Ibu rasakan. Lebih baik lagi kalau Ibu yang memberitau saya..
apa yang sedang Ibu rasakan sewaktu dalam proses pengobatan nanti..”
“Ehm. Baik..”
“Sebelum Ibu memutuskan, ada satu hal penting yang akan saya sampaikan..”
“Apa itu, Pak..?”
“Dalam proses nanti Ibu harus bersedia buka baju..”
Sepasang mata indah itu membelalak lebih lebar dibanding yang tadi.
Ada rasa tak senang yang tertangkap di roman mukanya.
“Semuanya..!?” Nadanya agak tinggi.
“Tak harus semuanya.. tergantung kemajuan Ibu. Tahap pertama pakaian luar saja.. pakaian dalam engga..”
Tubuh seksi itu mematung. Kelihatan ada keraguan. “Lagian Titin selalu di sini membantu saya..”
Pandangan matanya beralih ke Titin yang siap berdiri di samping dipan periksa.
Titin mengangguk sambil senyum tipis.
“Silakan.. Ibu boleh pikir-pikir dulu di rumah. Saya memang harus sampaikan hal-hal ini lebih dulu sebelumnya..
Agar tercapai kerjasama antara saya dengan pasien.. sehingga proses penyembuhan menjadi lancar.
Juga untuk mencegah timbulnya masalah dan salah paham..” lanjutku.
“Baiklah Pak, saya akan pikir-pikir dulu..”
“Silakan Bu.. Ibu telepon lagi kalau sudah ada keputusan..” ujarku setelahnya.
Nyonya muda itu bangkit dari duduknya.. kemudian berjalan menuju pintu..
Meninggalkan sesuatu yang susah dilupakan .. Gerakan pinggul yang indah..! Ahhh..!!
Sepasang bongkahan pantat yang sedang besarnya..
Tapi bulat dan padat serta ‘membonceng’ bergerak-gerak bergantian yang indah bila pemiliknya berjalan.
Sayang memang.. membiarkan makhluk indah ini berlalu. Apa boleh buat.
Itu memang ‘prosedur kerja’ yang harus kulakukan untuk mencegah terjadinya masalah di kemudian hari.
Aku hanya bisa berharap semoga Bu Siska memutuskan untuk lanjut.
-------ooOoo-------
Rezeki memang tak ke mana. Suatu pagi dua hari kemudian Bu Siska menelepon.
“Saya bersedia Pak..”
Aku berusaha untuk tetap tenang, padahal dalam hatiku bersorak-ria.
“Baik Bu, saya catat dulu..”
“Kapan Pak mulainya..?”
Kalau menuruti kata hatiku sih jawabannya sekarang saja.
“Sebentar Bu, saya lihat jadwalnya dulu..”
Kutaruh gagang telepon dan aku pura-pura membuka-buka lembaran kertas.
“Pagi ini sampai sore sudah ada, malam.. ada juga. Hmm.. besok pagi aja gimana Bu..?”
Aku sengaja memberinya waktu pagi ada alasannya: Yaitu agar dia bisa santai tak keburu waktu..
Sementara suaminya ngantor, dan udara pagi masih lumayan sejuk.
Waktu paling ideal untuk pengobatan sebenarnya malam hari.
Tapi Bu Siska berobat tanpa sepengetahuan suaminya.. sehingga hanya bisa pada jam-jam kantor.
“Jam berapa..?”
“Pagi-pagi aja, Bu..”
“Berapa lama kira-kira Pak..?”
“Biasanya berkisar antara 2 sampai 3 jam.. tergantung kelancaran prosesnya..”
“Okay.. jam setengah sembilan saya sampai sana..”
“Saya tunggu ya, Bu..”
-------ooOoo-------
Bu Siska sudah sampai di ruang praktekku hanya terlambat 5 menit.
Aku sudah siap dengan pakaian ‘kebesaran’ku.. jubah dan ikat kepala hitam, tanpa pakaian dalam.
“Ibu tak ada acara lain siang ini, kan..?”
“Kenapa gitu..?”
“Supaya Ibu bisa konsentrasi dan akan memudahkan proses pengobatan..”
“Engga ada rencana lain..”
“Bagus kalau begitu. Kita mulai saja, Bu..? Titin, kamu siapin..!”
“Seperti yang saya bilang kemarin, Titin akan membantu saya di sini..”
“Silakan Bu.. maaf, buka dulu pakaian Ibu..” Titin melakukan tugasnya.
Agak ragu-ragu sambil memandang Titin.. Bu Siska mulai membuka kancing blus-nya.
Titin sibuk merapikan dipan.. tak mengacuhkan pandangan Bu Siska.
Uhhh..! Berdesir dadaku menyaksikan pemandangan ini.
Pemandangan yang sudah biasa sebetulnya, tapi kali ini lain.
Pasien kali ini adalah seorang ibu muda yang cantik dan sungguh seksi.
Bayangkan.. wanita berkulit putih dan seksi ini sedang membuka blus-nya di hadapanku.
Buah dada kencang bulat dan putih.. seakan ‘memberontak’ dari topangan bra warna krem.
Desiran di dada langsung ‘nyambung’ ke bawah.. batangku mulai mengembang.
Hanya.. aku tak berani terus-terusan menatapi wanita ini membuka pakaian.
Aku pura-pura sibuk memberesi kertas-kertas catatan di meja kerjaku. Sesekali saja aku melihatnya.
Bu Siska menarik rits rok-nya ke bawah.. dan srettt..! Rok itu meluncur.
Menampakkan celana dalam sewarna dengan bra.. dan sepasang paha putih dan mulus.
Uhhhhh..!! Benar-benar mulus.. tak ada guratan apapun.
Warna semburat kehitaman membayang pada bagian depan Celdam-nya.
“Silakan Ibu berbaring..” Aha.. suaraku.. jangan sampai serak-seraknya terdengar.
Aku membawa ‘kacamata’ mendekat ke dipan.
“Sekarang Ibu rileks, santai.. kosongkan pikiran, jangan mikir apapun..”
Aduuh.. sebagian bongkahan daging di dada Bu Siska membuat tegang.
Jelas saja ada yang menonjol di bagian bawah tubuhku.
Dia tak akan melihatnya karena letak dipan yang tinggi sepinggulku.
Paling-paling cuma Titin yang melihat tonjolan ini.
Dan itu bagi dia suatu pemandangan sehari-hari, sudah biasa. Sudah ngga anek lagi.
“Ini bisa membantu Ibu untuk bisa rileks, pakailah..” kataku sambil mengangsurkan penutup mata dari kain..
Seperti yang biasa dipakai orang kalau tidur di perjalanan.
Aku bantu Bu Siska memakai ‘kacamata’. Oh.. tangannya begitu halus.
Lalu seperti biasanya.. aku memberi tanda pada Titin untuk keluar ruangan..
dan langsung mengunci pintu dengan amat pelan.
Ini juga merupakan ‘prosedur’ praktek yang tak pernah diketahui oleh pasien.
Sambil menunggu proses relaksasi ini adalah merupakan peluang bagiku..
untuk mengamati tubuh Bu Siska dengan bebas tanpa sungkan-sungkan lagi..
Toh pemilik tubuh indah ini tak melihatnya.
Glekk..! Bulatan halus buah kembar yang turun-naik seirama embusan nafas memang menggairahkan.
–Aku harus menelan ludah..– Perut halus rata tanpa kerutan.
Beberapa helai bulu yang mencuat dari samping Celdam.
Sepasang paha putih halus bulat dan berbulu halus.. dan lonjoran kaki bersih.
Seluruhnya tak lepas dari pengamatanku.
Dan.. makin membuatku sesak nafas dan ketegangan maksimum dari penisku.
Sabar.. kelak akan tiba giliranku..!
Nafas Bu Siska mulai teratur dan normal.. kaki dan tangannya sudah tergeletak lemas.
Suatu tanda bahwa dia telah relaks. Langkah kedua dimulai.
“Coba, sekarang ibu membayangkan hal-hal yang erotis..”
“Membayangkan apa ya..?” Tanyanya dengan nada tenang.
“Umm.. misalnya.. sewaktu Ibu bersebadan dengan suami.. atau sewaktu Ibu pacaran dulu..
Lagi bermesraan.. atau lainnya. Pokoknya yang bisa membuat Ibu terangsang. Okay.. mulai Bu, ya..!?”
Beberapa menit berlalu.. aku mengamati tubuhnya.. tak ada perubahan yang berarti.
Nafasnya masih normal-normal saja. Tak ada gerak anggota tubuh yang menandakan rangsangan.
“Kita ulang lagi ya Bu.. bayangkan hal-hal yang erotis lainnya..” Tetap belum ada reaksi.
Justru aku yang berubah..! Aladalahh..!!
Begitu intensnya mengamati dada.. perut, dan paha.. rangsanganku bertambah.
Wahh..!! Tampaknya Ibu ini benar-benar ‘dingin’.
Langkah ketiga dimulai. “Bu, kita akan coba menemukan titik-titik erotik di tubuh Ibu.
Maaf.. saya harus menyentuh Ibu ya..!?” Bu Siska mengangguk.
Aku mulai dengan membelai-belai rambutnya. “Kerjasama Ibu saya harapkan.
Ibu nanti katakan di bagian mana yang Ibu rasakan enak.. nikmat.. geli.. atau perasaan-perasaan lainnya. Okay..?”
Dari rambut aku turun meraba ke kening, pipi, hidung, telinga, bibir, dan dagunya.
Belum ada reaksi yang signifikan.. embusan nafasnya pun masih normal.
Juga ketika aku merabai lehernya.
“Belum merasakan sesuatu, Bu..?”
“Belum. Biasa aja tuh..”
Aku harus dengan sabar mengulangi lagi meraba-raba seluruh wajahnya.
Rabaan yang lebih intens. Kadang mengelus, ganti rabaan mengambang, sesekali menekan-nekan.
Ulangan ini perlu.. agar tak ada titik erotis yang terlewat. Masih biasa-biasa saja. Tak ada reaksi.
Lalu aku turun ke dada. Rabaan ke dada yang tak tertutup bra..
Kemudian menyelipkan jari-jari ke belahannya.. mengelusi lereng bukit.
Setelah itu bergerak turun ke perut dan pusar. Masih belum. Kuulangi lagi mulai dari bahu.
Lengan atasnya sedikit bergerak ketika aku menyusup ke belahan dadanya.
“Gimana Bu..?” Tanyaku untuk konfirmasi.
“Belum ada..” jawabnya singkat.
Yaahh.. memang dibutuhkan kesabaran yang tinggi.
Suaminya pun engga pernah sampai intens mengelus begini, mana sabar.
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------